Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TEOSOFI

“ALIRAN MU’TAZILAH”

Dosen Pengampu :
Kivah Aha Putra, M.Pd.I.
Asisten Dosen :
Alin Ratna Nulinnaja

Oleh :
Moch Hasbi Ashidqy (210605110104)

Jurusan Teknik Informatika


Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
2022
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum wr. wb.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang senantiasa
melimpahkan r a h m a t d a n h i d a y a h n y a s e h i n g g a p e n u l i s d a p a t
m e n y e l e s a i k a n m a k a l a h y a n g b e r j u d ul “ A l i r a n M u ’t a z i l a h ” untuk
melengkapi tugas mata kuliah Teosofi.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak dengan ilmu-ilmu dari berbagai sumber yang
digunakan sebagai rujukan dari makalah saya ini.
Saya juga menyadari bahwa makalah ini memiliki banyaka
kekurangan karena keterbatasan pengetahuan yang saya memiliki, dan
sumber bacaan yang saya ketahui. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran yang halus terhadap makalah yang saya buat. Semoga
makalah ini memiliki manfaat sebagai pengetahuan tentang ilmu kalam
yang ada di Islam

Probolinggo, 24-Maret-2022

Moch Hasbi Ashdidqy


Daftar Isi
Bab 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran Islam, telah tumbuh dan berkembang berbagai
mazhab atau aliran keagamaan, baik di bidang politik, hukum maupun
akidah/kalam. Dalam bidang Kalam berkembang aliran-aliran seperti
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Salafiyah, Syiah, Khawarij dll. Aliran
Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang mengutamakan kerasionalan, sehingga
ajaran-ajarannya bercorak rasional dan liberal. Pada Makalah ini, saya akan
membahas seluk beluk aliran Mu’tazilah.

2. Rumusan Masalah
 Apa itu Mu’tazilah?
 Bagaimana sejarah munculnya Mu’tazilah?
 Siapa saja tokoh dalam aliran Mu’tazilah?
 Apa saja ajaran-ajaran di Mu’tazilah?
 Apa kesalahan pada aliran Mu’tazilah?

3. Tujuan
Untuk mengetahui tentang aliran Mu’tazilah
Bab II
Pembahasan
1. Sejarah Munculnya Mu’tazilah
 Aliran Mu’tazilah
Aliran ini dinamakan juga aliran Qodriyah, karena mereka berkeyakinan
bahwa segala perbuatan manusia itu dilakukan dengan sengaja. Bahwasanya
manusia memiliki kendali penuh atas perbuatannya sendiri, tanpa campur
tangan Allah.
Aliran ini dalam menjalankan agama sangat mengedepankan pikiran
(rasionalisme) , yang bercampur dengan filsafat-filsafat Yunani . Aliran ini
bertebaran di Syam, Yaman, Irak, Iran dan Hindustan. Dalam menafsirkan
Qu’ran dan Hadist menggunakan aliran rasionalisme.
Muktazilah secara bahasa berarti memisahkan diri (alinfishaal wat
tanahhii) . Dan secara istilah, Muktazilah berarti nama sebuah kelompok yang
muncul pada awal abad kedua hijriyah, yang menggunakan akal dalam
membahas teologi Islam. Kelompok ini merupakan pengikut Washil bin Atha
yang keluar dari Majlis Hasan Al-Bashri. Dari Tasy Kubra Zadah menceritakan
bahwa pada suatu hari Qatadah ibn Da’amah as Sadusy (w.117/118 H) masuk
ke masjid Bashrah dan mengikuti majelis Amr ibn Ubaid yang dia sangka
majelis Hasan al-Bashri. Tetapi dia menyadari bahwa majelis ini bukan
majelisnya Hasan al-Bashri, ia pun bergegas meninggalkannya sambil berkata
“ini kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, kelompok
mereka dinamakan kaum Mu’tazilah.
Kaum Ahlussunnah Waljamaah menyebut kaum Mu’tazilah yakni
golongan yang menafikan sifat Tuhan. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri pada zat. Selain itu, ada pula yang
menjuluki dengan istilah kaum al-Qadariyah, karena mereka menganut paham
bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan kemampuan berbuat.
Selain itu ada pula yang menamakan dengan al-Wa’idiyah, karena mereka
mengajarkan paham bahwa ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak
taat pasti berlaku.
Kaum Mu’tazilah sendiri sebenarnya menamakan golongan mereka
dengan sebutan “Ahlu al-‘adli wa al-tauhid, yakni golongan yang
mempertahankan keadilan dan keesaan Tuhan. Sebutan ini lebih mereka sukai
karena bersumber dari dua ajaran pokok yaitu al’Adlu dan alTauhid.
Berdasarkan keterangan di atas menunjukkan perbedaan pendapat
mengenai penamaan Mu’tazilah. Satu pendapat mengatakan penamaan berasal
dari pihak luar, dan satu pendapat mengatakan penamaan dari kaum Mu’tazilah
sendiri, atau sekurang-kurangnya mereka tidak menolak dengan nama tersebut.
Tapi jika mengacu pada awal munculnya nama tersebut, maka pemberian nama
itu berasal dari pihak luar, yaitu berasal dari ucapan Hasan al-Bashri, bukan
dari kaum Mu’tazilah sendiri.
 Munculnya Mu’tazilah
Pada zaman seorang Tabi’in yang bernama Hasan al-Bashri (692-728 M)
yang mempunyai sebuah majelis di Kota Bashrah. Di majelis ini seperti
biasanya Hasan al-Bashri mengajar tentang agama Islam, suatu ketika ada
seseorang yang bertanya tentang dosa besar kepada beliau. Sebelum sempat
menjawab, seorang yang bernama Washil bin Atha’ (699- 748) menyatakan:
“pembuat dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir”. Kemudian ia
meninggalkan majelis gurunya dan membentuk majelis sendiri untuk
mengembangkan pendapatnya.
Dalam sejarah islam, ada beberapa teori munculnya Mu’tazilah. Terdapat
2 aspek yang mendasari munculnya aliran ini, yaitu :
◦ Dari Aspek Politik
Nama Muktazilah pernah muncul satu abad sebelum munculnya
Muktazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha‟. Sebutan Mu‟tazilah
ketika itu merupakan julukan bagi kelompok yang tidak mau terlibat
dengan urusan politik, dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah
semata. Secara khusus sebutan Mu‟tazilah itu ditujukan kepada mereka
yang tidak mau ikut peperangan, baik perang Jamal antara pasukan
Saidina Ali ibn Abi Thalib dengan pasukan Siti Aisyah, maupun perang
Siffin antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib melawan pasukan
Mu‟awiyah.
Kedua peperangan ini terjadi karena persoalan politik. Akibat
perang ini umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok mengenai pelaku
dosa besar yang dipelopori oleh Khawarij yang menganggap bahwa Ali dan
pendukung arbitase adalah pelaku dosa besar karena mereka mengambil
hukum tidak berdasarkan hukum Allah SWT sehingga mereka dicap kafir.
Pernyataan ini dibantah oleh kelompok Murjiah, menurut mereka pelaku dosa
besar tetap mukmin dan persoalan dosanya dikembalikan kepada Allah SWT.
Reaksi dari dua kelompok tersebut, memicu timbulnya kelompok baru yaitu
Muktazilah, menurut mereka pelaku dosa besar tempatnya antara mukmin dan
kafir (al-manzilah bainal manzilatain).
◦ Dari Aspek Agama
Menurut syahrastani mengatakan bahwa nama mu'tazilah berasal
dari peristiwa perdebatan antara washil bin Atha dengan Hasan Basri
tentang pelaku dosa besar,kemudian Wasil memisahkan diri dari majelis
Hasan Al basri. Salah seorang penduduk Basrah yang akan mengikuti
majelis hasan al basri,tetapi majelis tersebut ternyata majelis umar bin
ubaid. Maka salah satu penduduk basrah tersebut memanggil majelis
tersebut dengan nama Mu'tazilah
◦ Perkembangan
Mu’tazilah memang muncul pada masa Bani Umayah, tepatnya pada akhir
kekuasaan Dinasi Umayah, tetapi pemikiran teologisnya yang sempurna dan utuh (al-
Ushul al-Khamsah) baru selesai dirumuskan pada masa pemerintahan Abbasiyah
periode pertama (132 H/750 M-232 H/847 M).19 Pemikiran teologis Washil bin
Atha’ , sebagai dijelaskan di atas, makin diperjelas dan disempurnakan oleh para
muridnya, terutama Abu Hudzail al-Allaf (135-235 H/752-849 M) dan an-Nazzam
(185-221 H / 801-835 M), sehingga keberadaannya semakin menemukan bentuk atau
formatnya yang baku. Hal ini setidaknya disebabkan oleh factor-faktor berikut ini :
 Pertama, terjadinya kontak umat Islam dengan pemikiran rasional Yunani,
lebih-lebih setelah aktivitas penterjemahan karya-karya Yunani itu di masa
Khalifah Harun ar-Rasyid dan al-Makmun;
 Kedua, adanya serangan atau kritikan terhadap ajaran kepercayaan
(Ketuhanan) Islam oleh musuh-musuh Islam dari kalangan out sider dengan
menggunakan filsafat (logika) sebagai media berfikirnya.
Dan kemudian pada gilirannya latar belakang yang demikian ini memberikan
pengaruh kuat terhadap corak pemikiran teologis Mu’tazilah yang bersifat khas.
Bahkan pada masa Abbasiyah periode pertama, Mu’tazilah mencapai puncak
kejayaannya, karena adanya dukungan dari pihak penguasa. Menurut Harun
Nasution, Mu’tazilah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan al-
Makmun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M) dan al-Watsiq (842-847 M).
Bahkan pada tahun 827 M, khalifah al-Makmum menjadikan Mu’tazilah sebagai
madzhab resmi negara. Al-Makmun memberikan dukungan kepada Mu’tazilah dan
mengangkat para pengwal dan menterinya dari kalangan mereka seperti Ahmad ibn
Abi Daud al-Mu’tazili, serta menyelenggarakan berbagai forum diskusi Mu’tazilah
dengan fuqaha’ dan ahli hadis hingga tahun 218 H. Kemudian kebijakan ini
diteruskan oleh penggantinya yakni al-Mu’tasim dan alWatsiq.
Tetapi sangat disayangkan diskusi-diskusi ilmiah zaman Khalifah al-Makmum
tersebut berubah secara drastis menjadi tindak pemaksaan untuk mengikuti doktrin
Mu’tazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an lewat kebijakan politik uji keyakinan
yang dinamakan mihnah. Kebijakan al-Makmun tentang mihnah ini adalah atas saran
menteri dan sekretasrisnya dari kalangan Mu’tazilah yakni Ahmad bin Abi Daud al-
Mu’tazili, yang tampaknya setelah ia sadar hubungan dekatnya dengan al-Makmun,
ia bermaksud memanfaatkan kekuasaan yang ada menjadi alat memaksakan ajaran
Mu’tazilah tentang al-Qur’an itu baru (makhluk). Setuju terhadap saran itu, al-
Makmun pada tahun 212 H memberlakukan kebijakan mihnah itu dengan sasaran
utamanya para pejabat pengadilan dan sejumlah tokoh masyarakat. Semula al-
Makmun hanya menetapkan sanksi berupa pencopotan jabatan bagi yang tidak
mengakui kemakhlukan al-Qur’an, tetapi akhirnya sanksi itu ditingkatkan hingga
dalam bentuk hukuman penjara dan bahkan hukuman mati.
Puncak kemunduran Mu’tazilah adalah ketika Khalifah al-Mutawakkil (847-
861 M), pengganti al-Watsiq, membatalkan keputusan Khalifah sebelumnya al-
Makmun lalu diteruskan oleh al-Mu’tasim dan al-Watsiq, yang menetapkan
Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara. Kebijakan Khalifah al-Mutawakkil ini
menunjukkan bahwa Mu’tazilah bukan lagi madzhab resmi negara, dan bahkan
kebijakan itu kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah pembersihan birokrasi
pemerintahan Abbasiyah dari orang-orang Mu’tazilah. Jika sebelumnya Mu’tazilah
bisa mengalami kemajuan dikarenakan adanya dukungan dari penguasa, maka kini
ketika dukungan itu telah tiada lagi, karena dibatalkannya oleh al-Mutawakkil,
mereka mengalami kondisi anti klimaks dari masa kejayaannya.
Hilangnya dukungan penguasa tersebut semakin menenggelamkan keberadaan
Mu’tazilah ketika bersamaan dengan itu pula mulai berkembang aliran baru kalam
Asy’ariah (dibangun oleh al-Asy’ari yang lebih berpihak kepada rival Mu’tazilah
yakni ahi fiqih dan Ahli Hadis (Salaf). Terlebih lagi lahirnya Asy’ariyah yang dikenal
sebagai kelompok penegak sunah nabi, setelah lama keberadaan hadis atau sunah
nabi diabaikan oleh kaum Mu’tazilah yang mengedepankan akal.
Namun yang tersisa dari aliran ini hanyalah pemikirannya saja, sedangkan
penganut dari aliran ini sudah tidak ada. Pemikiran rasionil Mu‟tazilah dan sikap
kekerasan mereka, membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam.
Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak rasionil
dan liberal tersebut
2. Tokoh – tokoh dalam aliran Mu’tazilah
Dalam perkembangannya, Muktazilah tidak hanya berpusat di kota Basrah
sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang merupakan ibu
kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh pendukungnya maka kita
harus melihatnya dari kedua kota tersebut.
Menurut analisa Yoesoef Souyb, antara kedua daerah tersebut terdapat
beberapa perbedaan karakteristik, yaitu :
Pertama, Pemuka Mu‟tazilah di Basrah cenderung menghindari jabatan birokrasi di
pemerintahan maupun di pengadilan. Dengan demikian mereka dapat lebih fokus
pada bidang agama dan keilmuan dan dapat mengemukakan pemikiran secara leluasa
tanpa terikat dengan kepentingan pemerintah atau pihak lainnya. Sedangkan di
Bagdad, mereka menggunakan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan dengan
tujuan untuk mendapat dukungan sekaligus perlindungan.
Kedua, Pemuka di Basrah menyebarkan paham tanpa pemaksaan dan kekerasan,
melainkan lebih banyak menanti kesadaran umat untuk mengikutinya. Sedangkan di
Bagdad, terkadang berusaha secara sungguh-sungguh dan melakukan kekerasan agar
masyarakat mengikuti aliran Mu‟tazilah.
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Bashrah:
1. Washil ibn Atha (80-131 H).
Washil ibn Atha dilahirkan di Madinah dan kemudian menetap di Bashrah. Ia
merupakan tokoh pertama yang melahirkan aliran Mu’tazilah. Karenanya, ia diberi
gelar kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu’tazilah wa Qadimuha, yang berarti
pimpinan sekaligus orang tertua dalam Mu’tazilah. Washil juga salah satu orang yang
menyumbangkan ajaran Mu’tazilah yaitu Al-Manzilah bainal Manzilatain.
2. Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al Allaf.
Ia lahir di Bashrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia lebih populer dengan
panggilan al-Allaf karena rumahnya dekat dengan tempat penjualan makanan ternak.
Gurunya bernama Usman al-Tawil salah seorang murid Washil ibn Atha. Abu Huzail
al-Allaf adalah pendiri yang sebenarnya bagi aliran Mu’tazilah. Ia mengembangkan
pandangan-pandangan Mu’tazilah dan meramunya dengan informasi-informasi baru.
Atas prakarsa al-Allaf, tidak sedikit lahir tokoh besar Mu’tazilah. Ia lama berdomisili
di kota Basrah. Ia pernah diundang ke Baghdad untuk beberapa waktu. Ia diberi umur
panjang, hidup sekitar seratus tahun lamanya.
Ajaran-ajaran Abu al-Huzail merupakan kelanjutan dari ajaran Washil bin Atha
tentang peniadaan sifat Tuhan. Dan kemampuan akal manusia mengetahui masalah-
masalah ke-agamaan. Pertama, Tuhan adalah Maha Sempurna. Olehnya itu, Tuhan itu
tidak bisa tidak berbuat baik. Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal yang baik
bagi manusia. Asumsi ini melahirkan paham al-Shalih wa al Ashlah. Menurut al-
Huzail, betul Tuhan mengetahui tetapi bukan dengan sifat, malahan mengetahui
dengan pengetahuannya. Dan pengetahuannya adalah zat-Nya. Kedua, menurut al-
Huzail, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap agama
yaitu Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia
dapat :
a. mengetahui adanya Tuhan
b. mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
c. mengetahui apa yang baik dan buru
d. mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannya menjauhi
perbuatan jahat.
Ajaran kedua Abu al-Huzhail ini terpengaruh oleh filsafat Yunani yang
mengagungkan kekuatan akal.
3. Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham.
Nama lengkapnya adalah Ibrahim ibn Sayyar ibn Haniy dan lebih dikenal dengan
nama al-Nazhzham. Ia dilahirkan pada tahun 185 H di Basrah dan wafat pada tahun
231 H. Ia adalah salah satu tokoh Mu’tazilah yang paling muda usianya dalam
mengarungi dunia kemu’tazilahan. Ia adalah anak saudara perempuan al-‘Allaf dan
sekaligus muridnya. Dalam Mengenal keadilan Tuhan al-Nazhzham berpendapat,
karena Tuhan itu Maha Adil, ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Tentang hal ini ia
berpendapat lebih jauh dari gurunya, yaitu al-Allaf. Kalau al-Allaf mengatakan
bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka al-Nazhzham
menegaskan hal itu bukan hanya mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya
dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari
keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mu’jizat al-
Qur’an. Menurut al-Nazhzham, mu’jizat al-Qur’an terletak pada kandungannya,
bukan pada gaya bahasa (uslub) dan retorikanya (balaghah). Ia juga memberi
penjelasan tentang kalam Allah swt. Kalam adalah segala sesuatu yang tersusun dari
huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru
dan tidak qadim.
4. Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i.
Dilahirkan di Jubba sebuah kota kecil di propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H dan
wafat tahun 267 H. Panggilan akrabnya ialah Al-Jubba‟i dinisbahkan kepada daerah
kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah tiri dan juga guru dari pemuka Ahlussunnah
Waljamaah Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Salah satu hasil pemikirannya yaitu
mengenai peniadaan sifat Tuhan, al-Jubba’i berpendapat bahwa Tuhan mengetahui
melalui esensinya, demikian pula berkuasa dan hidup melalui esansinya
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Baghdad:
1. Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M).
Ia merupakan pendiri Mu‟tazilah di Bagdad.
2. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M).
Ia pemuka yang mengarang buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap
serangan ibn Al-Rawandy.
3. Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075-1144 M).
Ia lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di Khawarazm (sebelah
selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah menelorkan karya tulis yang
monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf
4. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani alAsadi. (325-425
H).
Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray Teheran. Ia lebih dikenal dengan
sebutan Al-Qadi Abdul Jabbar. Ia hidup pada masa kemunduran Mu’tazilah. Ia salah
satu orang yang berusaha menghidupkan paham Mu’tazilah dengan karya tulis. Di
antaranya yang cukup populer dan berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah dan
Al-Mughni fi Ahwali Wa al-Tauhid..
3. Ajaran – ajaran Mu’tazilah
Secara umum Muktazilah adalah kelompok yang menolak sifat azali bagi Allah
SWT yang bertujuan untuk mempertahankan konsep Tauhid mutlak bagi Allah SWT.
Mereka berpendapat seperti ini karena: Pertama, Menagkal pemikiran golongan Al-
Musyabbihah dan Al-Mujassimah yang meyerupakan Allah dengan makhluk dan
menyamakan Allah dengan makhluk. Kedua, Menolak pendapat agama Thanawi
yaitu agama yang menduakan Allah yang keduanya adalah azali dan qadim.
Muktazilah berpendapat bahwa menetapkan ma’na (setiap yang ada pada zat dan
wajib baginya dari segi hukum) akan menisbahkan dua Tuhan. Muktazilah menafikan
semua sifat Allah SWT, tetapi yang dinafikan adalah ma’na yang terkandung di
dalam nama-nama itu yang dianggap akan membawakan penisbahan berbilangnya
qadim. Ketiga, Menolak pendapat Kristen yang menganggap bahwa Tuhan ada 3
yaitu Bapak, Anak dan Ruh Kudus. Keempat, Menolak pendapat Yahudi yang
menggambarkan Allah SWT seperti makhluk.
Menurut pemuka Mu’tazilah, Abu al-Husain al-Khayyat, seseorang belum bisa
diakui sebagai anggota Mu’tazilah kecuali jika sudah mengakui dan menerima lima
dasar ajaran Mu‟tazilah (al-ushul al-khamsah). Sehingga Mu‟tazilah adalah aliran
yang mendasarkan faham keagamaan mereka pada lima ajaran ini.
Lima ajaran ini adalah : 1) “at-tauhid” keesaan Tuhan, 2) “al-adl” keadilan
Tuhan, 3) “al-wa’du wal wa’id” janji dan ancaman 4) “al-manzilah bainal
manzilatain” posisi antara dua posisi dan 5) “amar makruf nahi mungkar” (menyuruh
berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran).
1. Al-Tauhid.
Prinsip pertama dari al-Usul al-Khamsah adalah al-tauhid (Keesaan Allah). Dan ini
adalah merupakan prinsip dasar dan utama agama Islam. Faham keesaan Tuhan (al-
tauhid) menurut Mu’tazilah ini mengandung makna bahwa Allah betul-betul Maha
Esa, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu, mereka menolak faham
anthropomorphisme yang menggambarkan Tuhan dekat dan menyerupai
makhluknya, dan juga menolak beatific vicion yang mengatakan Tuhan dapat dilihat
manusia dengan mata kepala. Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah adalah sosok yang
berbeda dengan manusia. Oleh karena itu, kaum Mu’tazilah menolak adanya sifat-
sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri diluar zat Tuhan. Bagi mereka Tuhan
Maha Tahu, Maha Hidup, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat yang tak
dapat dipisahkan dengan zat-Nya sendiri. Jadi, naïf al-sifat bagi Mu’tazilah adalah
bukan semata-mata mengadakan sifat-sifat Allah, akan tetapi sifat itu sendiri berada
dalam esensi Allah. Kalau sifat itu berada di luar esensi Allah, maka sifat itu qadim,
dan faham semacam ini akan membawa kepada Tuhan syirik, yaitu adanya yang
qadim selain Allah. Dengan demikian, menurut Mu’tazilah, untuk membersihkan
ketauhidan dan untuk menjaga kemurniannya, maka sifat-sifat Tuhan tidak berada di
luar esensi Tuhan.
Keadilan Tuhan (Al-Adl)
Keadilan Tuhan bagi Mu'tazilah erat hubungannya dengan keesaan Tuhan (At-
Tauhid). Kalau At-Tauhid adalah mensucikan Tuhan dari adanya persamaan dengan
makhluk, maka Al-Adl adalah mensucikan Tuhan dari perbuatan dhalim. Keadilan
Tuhan adalah salah satu sendi pokok setalah keesaan Tuhan dalam pokok ajaran
Muktazilah. Mereka bangga menamakan diri sebagai ahlul ‘adl wat tauhid. Meskipun
seluruh kaum muslimin mengakui bahwa Allah adalah Maha Adil, namun Muktazilah
memberi penekanan khusus pada keadilan Tuhan. Ada tiga hal pokok yang menjadi
penekanan Muktazilah sehubungan dengan prinsip keadilan yaitu: Pertama, Allah
mengarahkan makhluknya kepada suatu tujuan dan bahwa Allah menghendaki yang
terbaik bagi hamba-Nya. Kedua, Allah tidak menghendaki keburukan, maka dari itu
tidak memerintahkan yang buruk. Ketiga, Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-
Nya yang baik maupun yang buruk; manusia itu bebas dan ia menciptakan
perbuatannya dan itu menjadi dasar adanya pahala dan hukuman. Menurut
Muktazilah, Tuhan yang Maha Bijaksana tidak akan bertindak secara semena-mena,
akan tetapi dalam tindakan-Nya itu terkandung kebijaksanaan dan tujuan. Orang bijak
mungkin berbuat untuk kepentingan dirinya atau untuk kepentingan orang lain, akan
tetapi Tuhan mustahil berbuat untuk kepentingan diri-Nya sendiri karena mengejar
kepentingan diri sendiri adalah pertanda kekurangan. Oleh karena itu pastilah Tuhan
berbuat baik untuk kepentingan orang lain dalam hal ini makhluk-Nya. Maka
kebaikan dan kemaslahatan makhluk adalah tujuan yang terkandung dalam perbuatan
Tuhan. Demi keadilan-Nya Allah tidak akan pernah berbuat buruk atau dzalim
terhadap makluk-Nya. Bahkan menurut suatu pandangan Muktazilah, Tuhan wajib
melakukan yang terbaik bagi hamba-Nya.Konsekuensi lanjut dari keadilan menurut
Muktazilah bahwa manusia menciptakan perbuatannya. Penegasan ini untuk
menjelaskan arti tanggung jawab manusia. Menurut mereka, tidak adil jika manusia
tidak menciptakan perbuatannya sehingga Tuhan menghukumnya atas sesuatu yang ia
tidak berdaya apa apa terhadapnya. Konsekuensi selanjutnya Mu’tazilah memberikan
penghargaam yang tinggi kepada kemampuan manusia dan kompetensi akalnya untuk
mengetahui yang baik dan yang buruk. Menurut Mu’tazilah baik dan buruk itu
bersifat dzati (objektif), padanya terdapat suatu kualitas yang dapat dipatoki untuk
menentukan baik dan buruk.
Janji dan Ancaman (Al-Wa’du dan Al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan kelanjutan dari prinsip keadilan. Mereka yakin bahwa
janji Tuhan akan memberikan pahala berupa syurga dan ancaman akan menjatuhkan
siksa yaitu neraka sebagai yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, pasti dilaksanakan
karena Tuhan sendiri sudah menjanjikan hal yang demikian itu. Siapa yang berbuat
baik akan dibalas kebaikan dan siapa yang akan berbuat jahat akan dibalas pula
dengan kejahatan. Siapa yang keluar dari dunia penuh dengan ketaatan dan taubat, ia
berhak akan pahala dan mendapatkan tempat di syurga..Sebaliknya siapa yang keluar
dari dunia sebelum taubat dari dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan
diabadikan di dalam neraka. Namun demikian menurut Mu'tazilah, siksa yang
diterimanya akan lebih ringan jika dibandingkan dengan yang kafir sama sekali.
Posisi antara dua posisi (Al-Manzilah bainal Manzilatain)
Al-Manzilah baina al-Manzilatain merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di
kalangan Muktazilah. Ini adalah satu istilah khusus yang digunakan oleh kaum
Mu’tazilah untuk merespon fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada
masa pemerintahan Amirul Mukmini Ali bin Abi Thalib. Yakni ketika terjadi selisih
paham antara kaum khawarij dan Murjiah menyangkut perkara kafir dan
mengkafirkan orang muslim yang kedapatan telah melakukan dosa besar (fasik). Bagi
kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa digolongkan kedalam
orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama saja dengan orang kafir. Atau
tegasnya, menurut kaum khawarij mereka itu adalah kafir. Sebaliknya, menurut
kelompok murjiah, sepanjang imannya masih utuh walaupun seseorang telah
melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia masih tetap dianggap orang
muslim. Alasan kelompok ini sederhana, bahwa urusan hati siapa yang tahu. Dan
iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang hatinya masih beriman maka dia adalah tetap
orang muslim. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa mereka termasuk manzilah wal
manziltain. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua
posisi, yakni antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu
bukanlah termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk
kedalam golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu. Doktrin inilah yang
kemudian melahirkan aliran Mu’tazilah yang digagas oleh Washil ibn Atha. Wasil
memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mukmin tidak
pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara
iman dan kafir.
Amar Makruf Nahi Mungkar
Muktazilah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi mungkar sebagai suatu bentuk dari
kontrol sosial wajib dijalankan. Kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau
terpaksa dengan kekerasan. Sejarah mencatat, Mu'tazilah pernah memakai kekerasan
dalam menyiarkan ajarannya yang menyangkut seorang ulama besar, yakni Ahmad
ibn Hambal terpaksa masuk penjara karena berbeda pendapatnya mengenai status Al-
Qur’an, dalam peristiwa “Mihnah”, semacam ujian monoloyalitas bagi pejabat-
pejabat negara.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Mu’tazilah memiliki arti memisahkan diri atau mengasingkan diri dari
kelompok yang ada. Terdapat 2 aspek mengenai awal mula kelompok Mu’tazilah :
 Aspek Politik :
Awal mula munculnya akibat pergolakan politik antara Ali dan Mu’awiyah mengenai
kekuasaan khalifah. Sehingga muncul lah 2 kelompok yaitu Khawarij dan Syiah,
akan tetapi ada salah satu kelompok yang tidak ingin terlibat dalam masalah ini.
Mereka pergi dari daerah konflik dan mendirikan kelompok sendiri yang berfokus
kegiatan dakwah dan ibadah semata. Mereka inilah dinamakan kelompok Mu’tazilah
 Aspek Agama :
Munculnya kelompok Mu’tazilah ini berasal dari Washil bin Ata’ yang berbeda
pendapat mengenai pelaku dosa besar dengan Hasan Al-Basri. Akibat kelancangan
Washil ini maka Hasan Al-Bashri memperintahkan Washil untuk keluar dari
Majelisnya. Sehingga orang-orang mengenalnya dengan Mu’tazilah ketika ada di
majelis Washil dan pengikutnya.
Tokoh dalam Mu’tazilah dibagi menjadi 2 berdasarkan kotanya. Tokoh
Mu’tazilah di Baghdad menggunakan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan
dengan tujuan untuk mendapat dukungan sekaligus perlindungan, sedangkan tokoh
Mu’tazilah di Bashrah lebih berfokus pada dakwah dan keilmuan. Salah satu tokoh
sangat berpengaruh adalah Washil bin Ata’ , dia menggagas salah satu ajaran
Mu’tazilah yaitu Al-Manzilah bainal Manzilatain.
Terdapat Lima ajaran dalam Mu’tazilah :
1) “at-tauhid” keesaan Tuhan ( meniadakan sifat-sifat Tuhan)
2) “al-adl” keadilan Tuhan ( Tuhan tidak dapat berbuat dzhalim)
3) “al-wa’du wal wa’id” janji dan ancaman (orang yang berbuat baik akan dijanjikan
surga dan orang yang berbuat buruk akan mendapatkan ancaman neraka)
4) “al-manzilah bainal manzilatain” posisi antara dua posisi (Orang yang melakukan
perbuatan fasik itu bukanlah termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan
pula termasuk kedalam golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.)
5) “amar makruf nahi mungkar” (menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala
kemungkaran).
Daftar Pustaka
Kiswati Tsuroya, 2013, “Ilmu kalam aliran sekte tokoh pemikiran dan analisa
perbandingan”,Surabaya,IAIN Sunan Ampel.

Atjeh Subakar, 1966, “Ilmu ketuhanan ( ilmu kalam)”,Djakarta,Tintamas

Madkour, Ibrahim.. Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta PT. Bumi Aksara, 2009)
hlm. 46-47 14Harun Nasution, Op Cit. hlm 40

Sharif (ed). Aliran-aliran Filsafat Islam. (Bandung : Nuansa Cendekia2004), hlm. 21

Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs Vol.7
No.13 Juli-Desember 2011

Hasbi Muhammad, 2015, “Ilmu Kalam”, Yogyakarta, Trustmedia

Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980)

Harun Nasution, Teologi Islam,Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:


UI Press, 1986).

Anda mungkin juga menyukai