Anda di halaman 1dari 7

HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

Mata Kuliah : Hukum Islam


Dosen Pengampu : Duwi Apriyanti,S.H.,M.H.

OLEH :
KELOMPOK 4
I Wayan Adi Sumerta (10)
Ida Ayu Gede Mila Cahyanthy (13)
Ni Luh Ayu Sinta Dewi (19)
Putu Widhia Laksmi Dewi (24)

2A KHUSUS

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
2021
Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional

 Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional


Hukum islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia merupakan bagian dari
agama islam yang universal sifatnya. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, di
dalamnya mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam
kehidupan bermasyarakat. Karenanya, dalam pembangunan hukum nasional, hukum Islam
merupakan unsur yang perlu diperhatikan.
Menurut Zarkowi Soejoeti, yang dikutip Said Agil Husain alMunawar dalam bukunya
Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, menyatakan bahwa kalau mengacu kepada Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, maka agama dapat dijadikan solusi dalam pembangunan hukum
nasional. Karena itu, hukum Islam sebagai salah satu sistem ajaran Islam yang dianut oleh
sebahagian besar rakyat Indonesia, berpeluang besar memberikan kontribusinya kepada
pembangunan hukum nasional.
Aspirasi tentang implementasi hukum Islam dalam konteks hukum nasional sangat
terkait dengan pandangan atau orientasi seseorang atau suatu kelompok tentang posisi Islam
dalam konteks kehidupan bernegara. Orientasi Islam ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok. Pertama, adalah orientasi yang berupaya memperjuangkan implementasi ajaran
secara komprehensif (kaffah), baik bidang aqidah, syari’ah maupun etika moral. Kedua,
adalah orientasi yang hanya berupaya memperjuangkan implementasi akidah dan etika moral
Islam. Ketiga, orientasi yang berupaya memperjuangkan sedapat mungkin implementasi
syari’ah disamping aqidah dan etika moral atau minimal prinsip-prinsipnya yang terintegrasi
ke dalam sistem nasional. Orientasi pertama menjadikan Islam sebagai ideologis, kedua
menjadikan Islam sebagai sumber etika moral, dan ketiga menjadikan Islam sebagai sub-
idiologi.
Orientasi pertama ini didukung oleh mereka yang masih tetap concerned terhadap
orientasi Islam sebagai ideologi yang manifestasinya berbentuk pelaksanaan syari’ah Islam
secara formal sebagai hukum positif. Orientasi ini mendukung pendekatan struktural dalam
sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam. orientasi ini sebenarnya sudah dimiliki oleh
para tokoh Islam menjelang dan pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, kemudian
sejalan dengan era globalisasi, orientasi ini banyak dipengaruhi ide-ide ikhwanul muslimin
yang berdiri di Mesir tahun 1928 dan kini sudah berkembang di sejumlah Negara Timur
Tengah.
Orientasi kedua didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar
dari pada orientasi keislaman. Orientasi ini hanya mendukung pelaksanaan etika moral Islam
dan menolak pelaksanaan syari’ah dalam konteks kehidupan bernegara. Orientasi ini
mendukung pendekatan kultural dan menolak pendekatan struktural dalam hal sosialisasi dan
institusionalisasi ajaran Islam. Menurut orientasi ini, munculnya partai-partai Islam di era
reformasi ini seharusnya bukan untuk memperjuangkan ideologi atau sistem Islam melainkan
hanya sebagai political force yang tidak ideologis.10 Di dunia Islam orientasi semacam ini
hanya terjadi di Turki yang telah menerapkan sekularisme sejak tahun 1924. Orientasi ketiga
lebih realistis dan moderat, dan meskipun ia berusaha sedapat mungkin melaksanakan
syari’ah atau prinsipprinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia masih tetap
mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Orientasi ini mendukung pendekatan kultural
dan sekaligus structural dengan cara yang konstitusional dan demokratis. Di samping itu, ia
juga mengupayakan implementasi sistem alternatif yang islami, meskipun tidak bersifat
struktural, seperti perbankan Islam, asuransi Islam dan sebagainya.
Terdapat tiga bentuk dalam memfungsikan hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional. Pertama, menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif yang hanya berlaku bagi
warga negara yang beragama Islam. Kedua, memfungsikan hukum Islam dengan cara
mengekspresikan materi hukum Islam atau prinsip-prinsip dan moralitas untuk diintegrasikan
ke dalam hukum nasional yang akan berlaku bagi semua warga negara. Prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah : (1) Tujuan hukum Islam (maqâsid al-Syar’iyah) yakni untuk mewujudkan
kemaslahatan, keadilan dan kasih sayang mencakup lima aspek yang disebut (al-Dururyyat
al-Khams) yang meliputi agama, akal, jiwa, kehormatan, dan harta benda. (2) Hakekat yang
terdapat dalam suatu aturan tertentu (asrâr al-Tasyri’) dalam hukum Islam. Ketiga,
memfungsikan hukum Islam dalam proses pengambilan kebijakan publik (Public Policy
Making).
Dengan ditetapkannya Undang-undang R.I No. 7 /1989 tentang Peradilan Agama dan
Inpres R.I No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dengan kedua peraturan
perundangan tersebut, hukum Islam bukan saja diakui keberadannya, akan tetapi secara
defenitif ia telah menjadi bagian hukum nasional dan pilar peradilan negara, baik secara
materil maupun formil. Hanya saja, sebagai hukum materil masih belum sepenuhnya
mendapatkan political will dari pengurus negara, masih di persimpangan jalan, dan wilayah
hukumnya masih sebatas hukum kewarisan, perkawinan, perwakafan, wasiat, hibah dan
shadaqah, tidak seberapa dengan kapabilitas hukum Islam yang sesungguhnya.
Sedangkan secara nilai, ketentuan-ketentuan hukum Islam tidak saja mewarnai Undang-
undang R.I No. 1 / 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang R,I No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, dan Inpres R.I No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam, akan tetapi juga turut masuk dalam ketentuan-ketentuan hukum Peraturan
Pemerintah R.I No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974,
Peraturan Pemerintah R.I No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan
Pemerintah R.I No. 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil dan Undang-
undang R.I No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

 Selayang Pandang Hukum Islam dalam Hukum Nasional


A. UU Peradilan Agama (UU No.7 Tahun 1989)
UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini membuktikan
bahwa Peradilan Agama sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi
Indonesia. Hal ini membuktikan adanya kontribusi umat Islam sebagai umat yang
mayoritas.
UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama kemudian diperbaharui dengan UU
No. 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
UndangUndang ini menjelaskan keberadaan Peradilan Agama (PA) di Indonesia
yang menetapkan wewenang absolut dari Peradilan Agama yaitu bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah sebagaimana diatur dalam Pasal 49
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Lahirnya undang-undang tentang Peradilan Agama ini memiliki dampak yang luar
biasa terhadap perubahan kelembagaan instrumentatif penegakan hukum di Indonesia
dan identitas pembangunan hukum nasional. Lembaga Peradilan Agama menjadi bagian
yang tak dapat dipisahkan dengan lembaga peradilan yang berada di bawah naungan
Mahkamah Agung Republik Indonesia.

B. UU Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974)


Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa (Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun
1974). Pada pasal 2 Undang-undang ini, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Pasal 3, 4, 5 mengatur tentang
poligami, sebagaimana diatur oleh hukum perkawinan Islam. Materi pasal 6 ayat 6
(syarat-syarat perkawinan), pasal 8 (larangan kawin), Pasal 29 (perjanjian perkawinan),
pasal 37 (harta benda dalam perkawinan), adalah pengaturan materimateri yang dikaitkan
dengan agama seseorang. Bagi orang Islam adalah ketentuan yang berlaku dalam hukum
Islam.
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974, ada sejumlah materi pasal yang secara
substantif berasal dari hukum Islam. Materi itu adalah : 1. Larangan perkawinan dengan
mereka yang mempunyai hubungan susuan (pasal 8 ayat f). 2. Pengaturan jangka waktu
tunggu (iddah), sebagaimana diatur oleh pasal 11 Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974
Jo Pasal 39 Peraturan Pemerintah R.I No. 9 Tahun 1975, semuanya berasal dari hukum
Islam
Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang dimaksud pengadilan dalam
Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
Adanya perubahan batas minimal usia perkawinan yang terdapat dalam pasal 7 ayat
(1) undang-undang nomor 16 tahun 2019 perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun
1974, khususnya dengan dinaikan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dari
16 tahun menjadi 19 tahun. Ditinjau dari hukum perkawinan Islam bahwa secara formal
tidak ada ketentuan khusus tentang batas usia perkawinan, akan tetapi penambahan batas
usia Perkawinan yang ada dalam pasal 7 ayat (1) undang-undang nomor 16 tahun 2019
merupakan sebuah kemaslahatan yang bersifat dharuriyyah yang harus dipelihara karena
dengan dinaikannya batas usia perkawinan bagi perempuan maka dapat menghindari
resiko kecacatan anak yang dilahirkan serta dapat menghindarkan dari kematian ibu dan
anak sehingga hal tersebut dapat mewujudkan perlindungan terhadap jiwa(hifz al-nafs)
dan perlindungan terhadap keturunan(hifzal-nashl).
Penjelasan umum tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menyebutkan: Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan
negara dan berbagai golongan daerha seperti berikut:
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum, Agama
yang telah diresipir dalam hukum adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijke
Ordonantie Christen Indonesia.
4. Bagi orang Timur Asia Cina dan warga negara keturunan Cina berlaku ketentuan
Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
5. Bagi orang-orang timur asing lainnya dan warga negara keturunan Timur Asing
lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka.
6. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara keturunan Eropa dan warga negara
yang disamakan dengan mereka berlaku KUH Perdata.
Penjelasan undang-undang perkawinan tersebut, menetapkan hukum Islam sebagai
hukum yang berlaku di tengah masyarakat sebelum berlakunya undang-undang
perkawinan tersebut.

C. Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Term kompilasi diambil dari bahasa Latin compilare, yang kemudian berkembang
menjadi compilation dalam bahasa Inggris dan compilatie dalam bahasa Belanda. Dalam
Kamus Lengkap Inggris Indonesia-Indonesia Inggris yang disusun oleh S. Wojowarsito
dan W.J.S. Poerwadarminta, kata compilation diterjemahkan sebagai karangan yang
tersusun dan kutipan dari buku-buku lain. Abdurrahman menyimpulkan bahwa kompilasi
itu adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai
buku/tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai
sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku
tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan
dengan mudah.
Kompilasi Hukum Islam terdiri atas tiga buku, masing-masing Buku I: Tentang
perkawinan, Buku II: Tentang kewarisan, dan Buku III: Tentang perwakafan. Pembagian
dalam tiga buku ini sekedar pengelompokan bidang hukum yang dibahas yaitu bidang
hukum perkawinan (munakahat), bidang hukum kewarisan (fara`idl), dan bidang hukum
perwakafan. Dalam kerangka sistematikanya, masing-masing buku terbagi dalam
beberapa bab dan kemudian untuk bab-bab tertentu terbagi atas beberapa bagian yang
selanjutnya dirinci dalam pasal-pasal.
Kedudukan KHI dalam sistem hukum nasional adalah merupakan hukum positif
Islam untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang kedudukannya lebih
tinggi dan dijadikan rujukan. Dalam hubungan dengan unsur peradilan, KHI dijadikan
pedomam dalam penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama. Hal ini dilatarbelakangi penyusunan KHI dilakukan untuk mengisi
kekosongan hukum subtansial yang dijadikan rujukan dalam penyelesaian perkara yang
diajukan.
Dasar hukum pemberlakuan KHI ini tidak berbentuk undang-undang, melainkan
sebuah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, kompilasi ini sangat membantu para hakim
dalam memutuskan perkara di lingkungan Peradilan Agama. Instruksi Presiden ini
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena diinstruksikan oleh Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan negara.

Anda mungkin juga menyukai