ABSTRAK
Bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juz’iyat) yang terjadi di
alam.
PEMBAHASAN
a. Kritik Al-Ghazali
al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filosof tentang metafisika
bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua tokoh
Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu Rusyd), yaitu dalam masalah alam tidak
bermula (qadim), Tuhan tidak mengetahui perincian dalam dan pembangkitan jasmani
tidak ada.
Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari segi zat
(tingkatan), seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari segi kausalitasnya,
seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut
sebenarnya sama-sama mulai dan sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman.
Berarti Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi
zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman
dimana (tidak ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam.
Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya untuk didapat dikatakan bahwa benda
itu baru. Yang baru hanyalah form, sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang mendatangkan
kepada benda. Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filosof tersebut dengan
membedakan antara iradat yang qadim dengan apa yang dikehendakinya. Kehendak
Allah yang azali adalah mutlak, artinya bisa memilih sewaktu-waktu tertentu, bukan
waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendakNya
sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak
lagi bebas.
Menurut al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah maksudnya
adalah bahwa tuhan sudah ada sendirian pada saat alam belum ada, kemudian Ia
menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan ada beserta alam. Pada keadaan pertama
adanya zat Tuhan yang sendirian dan pada keadaan yang kedua adanya zat Tuhan zat
alam, sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum ada ada benda ( alam)
tentu saja belum ada alam.
Selanjutnya menurut Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang berdiri
sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan berkembang dnegan dirinya,
dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud, sistem dan hukum-hukumnya bertopang
padaAllah. Dia lah yang mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan dan
mematikan segala sesuatu.
Dengan demikian menurut Al-Ghazali bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula
tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab, menurut teologi Islam Tuhan adalah
pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada
(creatio ex nihilo). Kalau alam dikatakan qadim, berarti alam tidak diciptakan, dengan
demikian Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al Qur’an menyebutkan bahwa Tuhan
adalah pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali alam haruslah hadist (Bermula).Jika
alam qadim berarti ada banyak yang qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau
justru tidak perlu adanya Tuhan sang pencipta.
“dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak
membaca suatu ayat Al-Qur’an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan,
melainkan kami menjadi saski atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak luput dari
pengetahuan Tuhan biarpun sebesar Zarrah di bumi ataupun di langit, tidak ada yang
lebih kecil dan tidak pula yang besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam kitab yang
nyata(Lauh Mahfuz).”
“ia berkata: “siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur
luluh?,katakanlah: “ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali.”
(yaitu) pdada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
langit, dan meraka (manusia) berkumpul (dipadang Mahsyar) menghadap Allah Yang
Maha Esa, Maha Perkasa)
yang menjelaskan bahwa alam ini berkelangsungan dan diwujudkan terus menerus.
Dengan alasan itu menurutnya bahwa pendapat para filosof tersebut tidak bertentangan
dengan Alquran al-Karim.
Menurut Ibnu Rusyd, untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak membutuhkan alat
indra sebagai mana manusia, jika Al-quran menggambarkan Tuhan mendengarkan dan
melihat hal itu tidak dapat diartikan secara fisik, dan hal itu dimaksudkan untuk
menginginkan manusia agar mengetahui bahwa Tuhan tidaklah dapat dihalang-halangi
oleh jenis pengetahuan macam apapun. Karena Ia melihat dan mendengar segala secara
dengan caranya sendiri. Jadi tuhan tidak mengetahui segala sesuatu secara juz’I
sebagaimana halnya manusia.
Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak
pernah terdengar oleh telinga, mengindikasikan bahwa di dalam Surga bahwa nannti
manusia tidak berbentuk wujud jasad. Oleh karena itu ayat Al-Quran mengenai hal ini
harus difahami secara metaforis. Lebih lanjut Ibnu rusyd menganalogikan antar tidur
dan kematian. Menurutnya, bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu
merupakan bukti yang terang untuk menyatakan bahwa jiwa itu hidup terus, karena
aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara tidak bekerjanya organ-organ
tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa itu tidaklah berhenti. Oleh karena itu
sudah semestinya keadaan jiwa pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur.
PENUTUP
Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan
pendapat antara Al-Ghazali dan kaum filosof tentang arti baru dan qadim. Baru menurut Al-
Ghazali berati mewujudkan dari tiada, sedangkan menurut kaum filosif kata itu berarti
mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan qadim menurut Al-Ghazali ialah
suatu yang berwujud tanpa sebab,sedangkan menurut kaum filosof adalah tidak selalu tanpa
sebab bisa juga bererti sesuatu yang berwujud dengan sebab.
Al-Ghazali telah salah memahami pendapat para filosof, bahwa sebenarnya para
filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang sifatnya partikular,
namun untuk mengetahui hal itu Tuhan dapat mengetahuinya dengan pengetahuan tuhan
yang sifatnya kully. Dalam persoalan jasmani, Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali tidak jauh
berbeda karena Ibnu Rusyd tidak menafikan adanya pembangkitan jasmani dan ruhani,
tetapi itu dipergunakan untuk penjelasan bagi orang awam karena hal-hal yang bersifat
ruhani jauh lebih tinggi daripada hal-hal yang bersifat materil.
REFERENSI
Al-Qur’an
Musa, Mhd. Yusuf, Bain al-Din wa al-Falsafah. Kairo: Dar Ma’arif, 1971.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld II. Jakarta: UI-Press, 1979.
Syarif, M.M (ed), A History of Muslim Philosofhy, vol Ibnu Rusyd-II,. Wesbaden: Otto
Harrowits, 1963.
Rusyd, Ibnu, Tahafut al-Tahafut, (ed), Sulaiman Dunya. Mesir: Dar al-Ma’arif, tt.