Anda di halaman 1dari 10

PROBLEMATIKA METAFISIKA DALAM FILSAFAT ISLAM

(PERBANDINGAN ANTARA AL-GHAZALI DAN IBNU RUSYD)

Apep Nuryaman (201002039)


Program Studi Ekonomi Syariah
Fakultas Agama Islam
Universtias Siliwangi

ABSTRAK

Filsafat memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada peranan otak dalam


berfikir. Pekerjaan berfikir itu semata-mata karena hendak mengetahui kepastian sesuatu
persoalan. Apakah setelah itu ia diharuskan percaya atau tidak, hal itu perkara lain. Misalnya
dalam menjelajahi alam metafisika menurut filsafat. Apakah alam ghaib itu ada atau tidak, itulah
tugas otak untuk berfikir sedalam-dalamnya dan sepanjang mungkin. Setelah diketemukan
kongklusinya, maka apakah seorang filosuf harus mempercayainya atau tidak, itu adalah urusan
lain. Dengan demikian, maka filsafat selamanya mendudukkan dirinya sebagai “penonton” yang
berada di luar garis. Ambillah contoh suatu aliran dalam filsafat mengenai Tuhan. Otak manusia
digerakkan untuk berfikir dan berfikir, untuk mendapatkan penyelidikan serta penjelajahan
sampai pada satu kesimpulan diketemukan apa itu Tuhan. Kesimpulan dari tugas otak dan fikiran
tentang Tuhan, filsafat tidak mau berhenti hingga di situ. Keadaannya menjadi sangat berbahaya,
jikalau akhirnya bukan orang harus tunduk serta menyerah kepada otak manusia.

Kata Kunci : Filsafat Islam, Berfikir, Filosofis


PENDAHULUAN
Filsafat islam merupakan salah satu bidang studi islam yang keberadaannya telah
menimbulkan pro dan kontra. Sebagian mereka yang berpikiran maju dan bersifat liberal
cenderung mau menerima pemikiran filsafat Islam. Sedangkan bagi mereka yang bersifat
tradisional yakni yang berpegang teguh pada doktrin ajaran Al-Qur’an dan Al-hadits secara
tekstual, cenderung kurang mau menerima filsafat, bahkan menolaknya. Dari kedua
kelompok tersebut nampak kelompok terakhir masih cukup kuat pengaruhnya di
masyarakat dibandingkan dengan kelompok pertama. Kajian filsafat islam baru di lakukan
sebagian mahasiswa pada jurusan tertentu di akhir abad ke-20 ini. Sedangkan pada
masyarakat secara umum seperti yang terjadi di kalangan pesantren, pemikiran filsafat
masih di anggap terlarang, karena dapat melemahkan iman. Kalau pun di pesantren di
ajarkan logika, yang pada hakikatnya merupakan ilmu yang mengajarkan cara berpikir
filosofis, namun hal ini tidak di terapkan, melainkan hanya semata-mata sebagai hafalan.

Berbagai analisis tentang penyebab kurang di terimanya filsafat dikalangan masyarakat


Islam Indonesia pada umumnya adalah karena pengaruh pemikiran Al-Ghazali yang di
anggapnya sebagai pembunuh pemikiran filsafat. Anggapan ini selanjutnya telah pula
dibantah oleh pendapat lain yang mengatakan penyebabnya bukanlah Al-Ghazali,
melainkan sebab-sebab lain yang belum jelas.

Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) dikenal sebagai ulama yang banyak mengkritik


pendapat para filosof pendahulunya, seperti Aristoteles (382-322 SM), Al-Farabi (874-999
M), Ibnu Sina (980-1037) dan yang lainnya. Adapun pendapat mereka yang ia kritik adalah
20 masalah metafisika. Tiga diantaranya Al-Ghazali mengatakan bahwa filsafat mereka
membawa kepada kekufuran yaitu:

 Bahwa aliran alam tidak bermula (qadim).

 Bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juz’iyat) yang terjadi di
alam.

 Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-jasad) di akhirat.

Sedang masalah metafisika yang lainnya Al-Ghazali mengidentikkan mereka dengan


Mu’tazilah. Sebagai pembelaan atas kaum filosof terhadap serangan-serangan Al-Ghazali,
Ibnu Rusyd (1126-1198 M) menulis buku yang berjudul “Tahafut al-Tahafut” (kekacauan
diatas kekacauan), sebagai bantahan dan jawaban terhadap buku Al-Ghazali yang berjudul
“Tahafut al-Falasifah” (kekacauan pemikiran filosof-filosof).

PEMBAHASAN
a. Kritik Al-Ghazali
al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filosof tentang metafisika
bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua tokoh
Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu Rusyd), yaitu dalam masalah alam tidak
bermula (qadim), Tuhan tidak mengetahui perincian dalam dan pembangkitan jasmani
tidak ada.

1.1 Alam Qadim


Dikalangan pemikir Yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa alam ini qadim
dalam arti tidak ada awalnya. Dan faham ini juga dianut para filosof muslim seperti Al-
Farabi dan Ibnu Rusyd, mereka membuat beberapa alasan yaitu:

 Mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari yang qadim.

 Tuhan lebih dahulu daripada alam.

Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari segi zat
(tingkatan), seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari segi kausalitasnya,
seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut
sebenarnya sama-sama mulai dan sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman.
Berarti Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi
zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman
dimana (tidak ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam.

Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya untuk didapat dikatakan bahwa benda
itu baru. Yang baru hanyalah form, sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang mendatangkan
kepada benda. Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filosof tersebut dengan
membedakan antara iradat yang qadim dengan apa yang dikehendakinya. Kehendak
Allah yang azali adalah mutlak, artinya bisa memilih sewaktu-waktu tertentu, bukan
waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendakNya
sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak
lagi bebas.
Menurut al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah maksudnya
adalah bahwa tuhan sudah ada sendirian pada saat alam belum ada, kemudian Ia
menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan ada beserta alam. Pada keadaan pertama
adanya zat Tuhan yang sendirian dan pada keadaan yang kedua adanya zat Tuhan zat
alam, sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum ada ada benda ( alam)
tentu saja belum ada alam.
Selanjutnya menurut Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang berdiri
sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan berkembang dnegan dirinya,
dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud, sistem dan hukum-hukumnya bertopang
padaAllah. Dia lah yang mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan dan
mematikan segala sesuatu.
Dengan demikian menurut Al-Ghazali bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula
tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab, menurut teologi Islam Tuhan adalah
pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada
(creatio ex nihilo). Kalau alam dikatakan qadim, berarti alam tidak diciptakan, dengan
demikian Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al Qur’an menyebutkan bahwa Tuhan
adalah pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali alam haruslah hadist (Bermula).Jika
alam qadim berarti ada banyak yang qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau
justru tidak perlu adanya Tuhan sang pencipta.

1.2 Tuhan tidak mengatahui hal-hal juz’iyyah.


Para filosof berpendapat bahwa tuhan tidak mengatahui hal-hal kecil kecuali yang
dengan cara kulliy. Dengan alasan yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu
berubah, sedangkan ilmu selalu tergantung kepada yang diketahui atau dengan kata lain
perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah,
yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan,
sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi.
Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak gerhana
dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak ada dan ketika
terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya gerhana, lalu ketika
gerhana berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari
contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan
yang lain.
Tuhan mengetahui gerhana dengan segala ifat-sifatNya, pengetahuan yang azali,
abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai terjadinta gerhana.jadi
ilmu Tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-sebab yang ditimbulkan oleh sebab-
sebab lain yang sifatnya juz’i.
Menurut Al-Ghazali, ilmu adalAh suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya
lain dari zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap
dalam keadaan-Nya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada yang berdiri di sebelah
kanan kita kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka sebenarnya yang berubah
adalah kita bukan Dia. Argumentasi Al-Ghazali ini juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang memberi petunjuk bahwa Tuhan mengetahui yang juz’iyah seperti firmanNya dalam
Surah Al-Hujurat Ayat 16: 

Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang


agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu?"
Dalam Surah Yunus Ayat 61: 

“dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak
membaca suatu ayat Al-Qur’an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan,
melainkan kami menjadi saski atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak luput dari
pengetahuan Tuhan biarpun sebesar Zarrah di bumi ataupun di langit, tidak ada yang
lebih kecil dan tidak pula yang besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam kitab yang
nyata(Lauh Mahfuz).”

1.3 Tidak ada kebangkitan jasmani


Para filosof berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian, bukan materil.
Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada alam materil. Karena itu pikiran
tidaklah mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani,
surga atau neraka serta segala isinya.
Pada intinya menurut mereka mustahil manusia dibangkitkan kembali dengan jasad
yang semula, sebab jasad tersebut telah hancur dan terurai menjadi bahan makanan dan
menjadi bagian dari tubuh makhluk lain seperti hewan, tumbuhan atau bahkan manusia
lainnya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati, karena ia
merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut tidak berlawanan dengan
syara’, bahkan ditunjukkan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an dalam Surah Yasin ayat
78 dan 79:

“ia berkata: “siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur
luluh?,katakanlah: “ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali.”

b. Pembelaan Ibnu Rusyd


Para filosof seperti Ibnu Rusyd menolak kritik tersebut. Pembelaan tersebut akan
diuraikan sebagai berikut:

2.1 Tentang qadimnya alam


Ibnu Rusyd dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan mencari
kebenaran, lewat penafsirannya terhadap Al-Qur’an secara rasional telah menawarkan
keselarasan antara agama dan filsafat serta tentang ketidak bermulaan alam ini. Ibnu
menjelaskan bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikannya alam dari tiada itu tidak
berdasar pada argumen syariat yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang menyatakan
bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, lalu ia menjadikan alam: pendapat bahwa
pada mulanya yang ada hanya wujud Tuhan ( seperti pendapat Al-Ghazali ), menurut
Ibnu Rusyd hanyalah merupakan interprestasi kaum theologi semata, karena Alquran al-
Karim telah mengatakan bahwa alam ini bukan dijadikan dari tiada tapi dari sesuatu
yang ada, seperti yang disebutkan dalam surah al-Hud: “Dan Ialah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam hari dan tahtanya pada waktu itu berada di atas air”
Dapat diambil kesimpulan sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud
lain, yaitu air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan. Tegasnya sebelum langit
dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air dan tahta. Dan dari surah al fushilat ayat 11
yang artinya: kemudian ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Dapat
dipahami bahwa sebelum alam ini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air dan
uap. Menurut Ibnu Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya
alam. Alam dalam arti umumnya adalah kekal dari sejak zaman lampau atau qadim.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan oleh Tuhan, tetapi
penciptaan yang berlangsung terus menerus setia saat dalambentuk perubahan alam
yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam bentuk baru, menggantikan
bentuk lama. Pencipta aktif yang terus menerus inilah yang harus disebut pencipta.
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan alam itu Ibnu Rusyd lebih
lanjut merujuk kepada surah Ibrahim ayat 48:

(yaitu) pdada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula)
langit, dan meraka (manusia) berkumpul (dipadang Mahsyar) menghadap Allah Yang
Maha Esa, Maha Perkasa)
yang menjelaskan bahwa alam ini berkelangsungan dan diwujudkan terus menerus.
Dengan alasan itu menurutnya bahwa pendapat para filosof tersebut tidak bertentangan
dengan Alquran al-Karim.

2.2 Tentang Pengetahuan Tuhan.


Ibnu Rusyd menyatakan bahwa Al Ghazali telah memahami pendapat para
filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini. Para filosof ,
kata Ibnu Rusyd, tidak pernah menyatakan demikian, yang dikatakan oleh para filosof
terutama Ibnu Sina ialah bahwa cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat khusus ini
melalui ilmuNya yang bersifat kully, dan dengan mengetahui sebab-sebabnya saja
Tuhan dapat mengetahui segala akibat yang akan timbul darinya secara tidak langsung.
Dengan kata lain segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui oleh Tuhan
sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam bentuknya yang konkrit. Karena
ilmuNya terhadap sesuatu itu adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Jadi
kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil (juz’iyat), maka berarti pengetahuan
Tuhan disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan hal ini tidak wajar bagi
Tuhan.

Menurut Ibnu Rusyd, untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak membutuhkan alat
indra sebagai mana manusia, jika Al-quran menggambarkan Tuhan mendengarkan dan
melihat hal itu tidak dapat diartikan secara fisik, dan hal itu dimaksudkan untuk
menginginkan manusia agar mengetahui bahwa Tuhan tidaklah dapat dihalang-halangi
oleh jenis pengetahuan macam apapun. Karena Ia melihat dan mendengar segala secara
dengan caranya sendiri. Jadi tuhan tidak mengetahui segala sesuatu secara juz’I
sebagaimana halnya manusia.

2.3 Tentang kebangkitan jasmani


Dalam memnantah gugatan Al-Ghazali tentang perkara ini,Ibnu rusyd
mengatakan bahwa para filosif tidak mengingkari adanya kebangkitan, hanya saja ada
yang berpendapat bahwa kebangkitan tersebut secara ruhaniah bukan materi. Meskipun
demikian Ibnu Rusyd tidak mau menafikan kemungkina adanya kebangkitan jasmani
bersama ruhani. Tetapi kalaupun ada kebangkiatan jasmani, namun bukanlah jasad yang
ada didunia, sebab jasad tersebut telah hancur dan lenyap disebabkan kematian,
sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.

Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak
pernah terdengar oleh telinga, mengindikasikan bahwa di dalam Surga bahwa nannti
manusia tidak berbentuk wujud jasad. Oleh karena itu ayat Al-Quran mengenai hal ini
harus difahami secara metaforis. Lebih lanjut Ibnu rusyd menganalogikan antar tidur
dan kematian. Menurutnya, bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu
merupakan bukti yang terang untuk menyatakan bahwa jiwa itu hidup terus, karena
aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara tidak bekerjanya organ-organ
tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa itu tidaklah berhenti. Oleh karena itu
sudah semestinya keadaan jiwa pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur.

Selanjutnya Ibnu Rusyd menyatakan al-Ghazali sebagai orang yang tidak


konsisten. Dalam bukunya Tahafut al-Falasafah ia mengatakan bahwa kebangkitan itu
tidak hanya badan, tetapi dalam bukunya yang lain ia mengatakan kebangkitan bagi
kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk alam ruhani dan tidak dalam bentuk jasmani.
Tetapi meskipun demikian menurut Ibnu Rusyd, teori pembangkitan jasmani dan ruhani
itu diperlukan bagi orang awam.

PENUTUP
Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan
pendapat antara Al-Ghazali dan kaum filosof tentang arti baru dan qadim. Baru menurut Al-
Ghazali berati mewujudkan dari tiada, sedangkan menurut kaum filosif kata itu berarti
mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan qadim menurut Al-Ghazali ialah
suatu yang berwujud tanpa sebab,sedangkan menurut kaum filosof adalah tidak selalu tanpa
sebab bisa juga bererti sesuatu yang berwujud dengan sebab.

Al-Ghazali telah salah memahami pendapat para filosof, bahwa sebenarnya para
filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang sifatnya partikular,
namun untuk mengetahui hal itu Tuhan dapat mengetahuinya dengan pengetahuan tuhan
yang sifatnya kully. Dalam persoalan jasmani, Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali tidak jauh
berbeda karena Ibnu Rusyd tidak menafikan adanya pembangkitan jasmani dan ruhani,
tetapi itu dipergunakan untuk penjelasan bagi orang awam karena hal-hal yang bersifat
ruhani jauh lebih tinggi daripada hal-hal yang bersifat materil.
REFERENSI

Al-Qur’an

Ahmadi, A., Filsafat Islam. Semarang: Toha Putra, 1988.

Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al Dhalal. Kairo:Al-Matba’ah al-Islamiyah, 1977.

Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Duya, (ed). Kairo: Dar al Ma’arif,tt.

Daudi, Ahmad Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.

Hasbullah, H., Disekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: Tintamas, 1984.

Musa, Mhd. Yusuf, Bain al-Din wa al-Falsafah. Kairo: Dar Ma’arif, 1971.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld II. Jakarta: UI-Press, 1979.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Syarif, M.M (ed), A History of Muslim Philosofhy, vol Ibnu Rusyd-II,. Wesbaden: Otto
Harrowits, 1963.

Rusyd, Ibnu, Tahafut al-Tahafut, (ed), Sulaiman Dunya. Mesir: Dar al-Ma’arif, tt.

Anda mungkin juga menyukai