Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ilham Alfahrezi

Semester 3

NIM:050120.00022

Matkul: Hadist Tarbawi

1. para ulama yang ahli dalam ilmu hadis dan paham benar sanad maupun matannya. Mengelompokkan
hadis berdasarkan kualitasnya, diantaranya:

Hadis Sahih

Sahih secara bahasa adalah sehat. Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung (muttasil), diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabit (mempunyai daya ingat yang kuat),
serta tidak beryadz (kontroversi) dan tidak 'illat (cacat). Dikutip dalam buku 'Ulum al-Hadits oleh
Nurrudin 'Itr, dijelaskan bahwa para ulama telah memberikan definisi hadis sahih yang telah diakui dan
disepakati kebenarannya oleh para ahli hadits.

Hadis Hasan

Hasan secara bahasa adalah sifat musybahah dari 'Al-Husna', artinya bagus. Menurut Ibnu Hajar, hadis
hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, tetapi kualitas
hafalannya tidak seperti hadis sahih, tidak terdapat syadz dan illat. Perbedaan hadis hasan dan hadis
sahih, terletak pada keadilan hadis hasan disandang oleh rawi yang tidak begitu kuat ingatannya,
sedangkan pada hadis sahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya.

Hadis Dhaif

Dhaif menurut bahasa adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Hadis dhoif adalah yang tidak
terkumpul padanya sifat hadis sahih dan hasan. Maka dapat dikatakan bahwa hadis dhoif tidak
memenuhi tiga syarat. Sanad hadis dhoif ini terputus, perawinya tidak memiliki ingatan yang kuat, dan
matannya terdapat 'illat (cacat)

2. angkah awal dari penelitian hadis adalah takhrij hadis, yaitu penelusuran letak hadis pada kitab-kitab
primer (mashadir ashliyah) yang mencantumkan hadis secara lengkap dengan sanadnya.

Tujuan dan manfaat takhrij al-Hadits baik dari segi sanad maupun matan, secara umum adalah untuk
mengetahui kualitas hadits yang diteliti. ... Tujuan yang lain untuk mengetahui seluruh riwayat bagi
hadits yang akan diteliti. Tujuan selanjutnya untuk ada atau tidaknya syahid dan mutabi` pada sanad
yang diteliti.

Ulama menurut Ensiklopedi Islam membagi beberapa metode dalam ilmu takhrij hadis. Petama, takhrij
berdasarkan awal kata dari isi hadis. Guna melakukannya terlebih dahulu harus diketahui seluruh atau
minimal awal dari matan hadis tersebut. Yang juga penting adalah huruf awal dari kata yang paling awal
dalam matan hadis tersebut.

Misalnya hadis, man gassana fa laisa minna (barang siapa menipu, bukan umatku). Potongan hadis ini
dapat ditelusuri dari kitab takhrij bab mim dan nun karena huruf awal dan kedua dari kata tersebut
terdiri dari huruf mim dan nun. Pada kitab takhrij akan ditemui hadis utama yang mencantumkan hadis
tersebut ada di kitab mana saja.
Keberadaan kitab takhrij yang disusun berdasar metode alfabetis ini sangat penting. Beberapa ulama
menuliskan kitab takhrij dengan model ini, seperti al-Jami as-Sagir min Hadis al-Basyir an-Nazir, al-Farh
al-Kabir fi Damni az-Ziyadah ila al_jami as-Sagir, dan Jam'u al-Jawami' karya Imam Suyuti. Ada pula Kanz
al-Haqaid fi Hadis Khair al-Khalaiq karya Abdur Rauf bin Tajuddin Ali.

Metode kedua dengan mendasarkan pada lafal-lafal matan hadis. Metode ini dilakukan dengan cara
menelusuri hadis berdasarkan huruf awal kata dasar pada lafal-lafal yang ada pada matan hadis. Baik itu
berupa ism (kata benda) maupun fi'il (kata kerja). Dalam metode ini huruf tidak dijadikan pegangan.

Misal terdapat hadis, innama al-a'mal bi an-niyyat (sesungguhnya setiap amal tergantung dari niat).
Hadis ini dapat ditelusuri dari lafal al-a'mal dari ain sebagai huruf awal dari kata dasar al- a'mal yakni
amal atau amalan.

Beberapa kitab takhrij yang menggunakan metode ini, antara lain, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-
Hadis an-Nabawi karya AJ Weinsinck yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Dr Muhammad
Fu'ad Abdul Baqi. Muhammad Fu'ad Abdul Baqi juga menulis Fihris Sahih Muslim (Indeks Shahih
Muslim)

Metode ketiga adalah takhrij menggunakan perawi paling atas. Menelusuri hadis dengan cara ini lebih
dahulu harus mengetahui perawi paling atas dari hadis tersebut. Kitab-kitab yang memuat hadis dengan
metode ini, antara lain, Musnad Imam Ahmad karya Imam Ahmad, Atraf as-Sahihain karya Abu Mas'ud
Ibrahim bin Muhammad, Atrar Kutub as-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadl.

Metode keempat berdasarkan tema. Penelusuran dilakukan berdasar tema bahasan hadis apakah
hukum, fikih, tafsir, atau yang lain. Contoh kitab yang memakai metode ini adalah Kanz al-Ummal fi
Sunan al-Aqwal wa al-Af'al karya al-Burhanpuri, al Mughni Haml al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-
Akhbar karya al-Iraqi.

Kelima, metode berdasar sifat lahir hadis. Cara penelusuran ini dilakukan misal pada hadis mutawatir,
qudsi, mursal, dan maudu. Para ulama mengumpulkan hadis-hadis mutawatir dalam satu kitab seperti
al- Azhar al-Mutanasirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Imam Suyuti. Kitab yang memuat hadis qudsi
di antaranya al-Ittihafat as-Sunniah fi al-Ahadis al-Qudsiah karya al-Madani. n ed: hafidz muftisany

3. Menyimak pembagian prosedural ilmiah tersebut, dapat diketahui, bahwa Imam Syafi'I dalam
membina hukujm Islam, ia menemaptkan al-Qur`an dan hadis sebagai termpat bersandarnya ijma', qawl
sahabat dan qiyas. Dengan kata lain, bahwa sumber yang digunakan Imam Syafi'I dalam membina
hukum, hanyalah dua, yaitu al-Qur'an dan hadis. Adapun dalil dalil lain dalam urutan tingkatan di atas,
hanyalah merujuk kepada al Qur'an dan hadis.

Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam Syafi'i mengajukan sejumlah dalil yang membuktikan ke-hujjah-an al-
sunnah.

Hadis ahad, Imam Syafi'i menerimanya, namun dengan syarat sebagai berikut:

a. Periwayatnya adalah orang yangdipercaya

b. Periwayatnya berakal atau mema hami apa yang diriwayatkan


c. Periwayatnya dhabith

d. Periwayatnya benar-benarmendengar hadis itu dari orang yang meriwayatkannya

e. Periwayatnya tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis 17 yang sama.

Sedangkan hadis mursal, Imam Syafi'I tidak menerima secara mutlak dan tidak menolaknya secara
mutlak. Hadis mursal dapat diterima Imam Syafi'i dengan dua syarat; pertama, hadis mursal itu
disampaikan oleh tabi'in yang banyak berjumpa dengan sahabar; kedua, ada petunjuk yang menguatkan
sanad hadis ahad itu. Walaupun hadis mursal diterima Imam Syafi'i sebagai hujjah, namun menurutnya
tidaklah sederajat dengan hadsi ahad; dan demikian juga hadis ahad, dapat diterima, tetapi tidak sejajar
dengan al-Qur`an dan hadis mutawatir. 18

Adapun kedudukan hadis terhadap al-Qur'an, menurut adalah sebagai berikut: Imam Syafi'i

a. Menerangkan ke-mujmal-an al Qur'an, seperti menerangkan ke mujmal-an ayat shalat

b. Menerangakan 'am al-Qur`an, yaitu 'am yang dikehendaki khash

c. Menerangka fardu-fardu dari fardu-fardu yang telah ditetapkan alQur'an

d. Menerangkan mana yang nasikh dan mana yang mansukh dari ayat-ayat 19 al-Qur'an.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar dengan jelas, bahwa Imam Syafi'I dalam menetapkan
hukum menempatakn sunnah sejajar dengan al-Qur'an. Menurutnya, kedua dalil itu sama-sama berasal
dari Allah dan keduanya meruapakan sumber ajaran Islam.

Imam Syafi'i memakai ijma', qawl sahabat dan qiyas dengan merujuk pada kedua sumber ajaran Islam
tersebut. Selanjutnya, Imam Syafi'i menerima hadis ahad sebagai hujjah dengan syarat, harus dari
periwayat yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria tam al-dhabit. Imam Syafi'i menerima juga hadis
mursal dengan syarat, periwa yatnya banyak berjumpa dengan

: sahabat dan sanad-nya dapat dipercaya. Menurutnya, posisi hadfis mutawatir lebih tinggi dari pada
hadis ahad dan hadis mursal.

Anda mungkin juga menyukai