Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA RINGAN (CKR)

OLEH:

Nama : Juolanda Kristin Surati


NIM : 21062059
Lahan Praktek : Sentra Medika Hospital Minahasa Utara

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO
2022
A. DEFINISI
Cedera kepala merupakan bentuk trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen
(Riskesdas, 2013).
Brain Injury Assosiation of America menyebutkan bahwa cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell,
2010).
Menurut Hudak dan Gallo (2010) cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik,
serta edema serebral di sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnyakontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008).

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


a) Kulit Kepala Kulit
Kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu Skin atau kulit,
Connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponereutika,
loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat liseran kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak – anak.
b) Tulang Tengkorak Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fosa
anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak serebelum.
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium
dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, diploe dan lapisan
dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan diploe
merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga / fosa:
fosa anterior (didalamnya terdapat lobus frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis,
parietalis, oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).
c) Lapisan pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, arakhnoid dan piameter.
1) Durameter (lapisan sebelah luar) Selaput keras pembungkus otak yang berasal
dari jaringan ikat tebal dan kuat. Durameter ditempat tertentu mengandung
rongga yang mengalirkan darah vena ke otak.
2) Arakhnoid (lapisan tengah) Merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan
otak yang meliputi susunan saraf sentral.
3) Piameter (lapisan sebelah dalam) Merupakan selaput tipis yang terdapat pada
permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan araknoid melalui
struktur – struktur jaringan ikat yang disebut trabekel (Ganong, 2002).
d) Otak

Otak terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu:


a) Sereblum
Sereblum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini
terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik,
juga mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia. Sereblum dibagi menjadi
hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah dalam yang disebut fisura
longitudinalis mayor. Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansial
grisea yang disebut sebagai kortek serebri, terletak diatas substansial alba yang
merupakan bagian dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla. Kedua
hemisfer saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus
kalosum. Di dalam substansial alba tertanam masa substansial grisea yang disebut
ganglia basalis. Pusat aktifitas sensorik dan motorik pada masingmasing hemisfer
dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan bagian tubuh yang berlawanan.
b) Otak tengah
c) Otak belakang Suzanne C Smeltzer (2001), Nervus kranialis dapat terganggu bila
trauma kepala meluas sampai batang otak karna edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus yaitu:
1) Nervus Alfaktorius (Nervus Kranialis I)
Nervus alfaktorius menghantarkan bau menuju otak dan kemudian diolah
lebih lanjut. Fungsi saraf pembau.
2) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju plasma optikum,
kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk dikenali
dan diinterpretasikan. Fungsi: Bola mata untuk penglihatan.
3) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata).
4) Nervus Troklearis (Nervus Kranialis IV)
Sifatnya motorik, fungsi memutar mata, sebagai penggerak mata.
5) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus Trigeminus membawa serabut motorik maupun sensorik dengan
memberikan persarafan ke otot temporalis dan maseter, yang merupakan
otot-otot pengunyah.
6) Nervus Abdusen (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital. Fungsi: Sebagai saraf
penggoyang bola mata.
7) Nervus Facialis (Nervus Nervus Kranialis VII)
Fungsi: Otot lidah menggerakkan lidah dan selaput lendir rongga mulut
8) Nervus Auditorius (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensorik, mensarafi alat pendengar membawa rangsangan dari
pendengaran dari telinga ke otak. Fungsinya: Sebagai saraf pendengar.
9) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk, mensarafi faring, tonsil dan lidah, saraf ini dpat membawa
rangsangan cita rasa ke otak.
10) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mengandung saraf-saraf motoric,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
11) Nervus Assesoris (Nervus Kranialis XI).
Saraf ini mensarafi muskulus sternocleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
12) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.

C. ETIOLOGI
a) Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang dapat
mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local
meliputi Contosio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b) Trauma tumpul merupakan jenis trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera
menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, multiple pada
otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer, cerebral, batang otak atau
keduanya (Wijaya, 2013).

D. KLASIFIKASI
Menurut dewantoro, dkk (2007) cedera kepala diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
berdasarkan nilai GCS (Glasglow Coma Scale) yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Cedera kepala minor/ringan
Dengan nilai GCS 13-15. Keadaan pasien sadar penuh, membuka mata bila
dipanggil. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit dan disorientasi. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia, cerebral dan
hematoma.
b) Cedera kepala sedang
Dengan nilai GCS 9-12. Pasien kehilangan kesadaran, namun masih menuruti
perintah yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 mneit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c) Cedera kepala berat
Dengan nilai GCS 3-8 dimana pasien kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intracranial. Dengan perhitungan GCS sebagai berikut:
✓ Eye: nilai 1 atau 2
✓ Motorik: nilai 5 taau <5
✓ Verbal: nilai 2 atau 1
Dengan penjabaran kategori nilai Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai berikut:
a) Membuka mata
Spontan :4
Terhadap rangsang suara : 3
Terhadap nyeri :2
Tidak ada :1
b) Respon Verbal
Orientasi baik :5
Orientasi terganggu :4
Kata-kata tidak jelas :3
Suara tidak jelas :2
Tidak ada respon :1

c) Respon Motorik
Mampu bergerak :6
Melokalisasi nyeri :5
Menghindari nyeri :4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi :2
Tidak ada respon :1

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan
derajat kepala.
Sedangkan menurut Menurut Wijaya dan Putri (2013) jenis cedera kepala dapat
dibedakan menjadi :
a) Cedera kepala terbuka
Mampu menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak. Luka
kepala terbuka akibat cedera kepala pecahnya tengkorak atau luka penetrasi,
besarnya cedera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari
benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan
masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan
kuman/pathogen memiliki akses masuk langsung ke otak.
b) Cedera kepala tertutup
Disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas.
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :
a) Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani perobital ecimos (brill
haematoma), memar di daerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan, hilang
pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan
vertigo.
b) Concussion
Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari 5 menit,
amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah. Contusion dibagi menjadi 2
yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat adalah sebagai
berikut :
1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan atau cepat.
2) Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak bagian
atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalam pupil.

F. PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses
sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu
trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak.
Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub
temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi
selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex
adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik
dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera
kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya
fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan
otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat
kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam,
percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur
tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian
langsung pada daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan
primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai
gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti.
Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi
dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas.
Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis
yang tergantung lokasi kerusakan.

Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya
baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai
ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan
timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi
hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem
vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang
berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam
jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria
yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat mengalami kerusakan
langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks
medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal
dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi
nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam
fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan
saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas
dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan
timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi
diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.

G. PATHWAY

Trauma Kepala

Cedera primer (langsung) Cedera sekunder (tak langsung)

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitus Terputusnya


Kerusakan saraf otak
jaringan kulit, otot dan kontinuitus jaringan
(contusio, laserasi)
vaskuler
Perdarahan Produl ATP
Perubahan sirkulasi
hematoma menurun
Gangguan CSS
autoregulasi
Nyeri akut
Edema Kekurangan
cerebral energi
Proses dalam
metabolisme
otak terganggu fatig
Peningkatan TIK
Resiko
perfusi Defisit
Penurunan serebral perawatan diri
suplai darah tidak efektif Mual dan muntah
dan oksigen

Anoreksia
Perubahan pola
nafas

Pola nafas tidak Defisit nutrisi


Sesak
efektif
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
d) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
f) MRI (Magnetic Resonance Imaging): untuk mengevaluasi cedera vascular serebral
dengan cara noninvasive.
g) EEG (elektro ensefalogram): mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio
korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal.
h) BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP (Somatosensory Evoked
Potensial): pemeriksaan prognostic yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil
abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakan diagnosis
disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional yang
bermakna.

I. KOMPLIKASI
a) Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru.
Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom
distress pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleks cushing.
b) Kebocoran Cairan Serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak untuk
mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada
fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari
tulang temporal.
c) Kerusakan saraf cranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang
jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
2) Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera
(trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya
perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus,
skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan
kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada
mata tersebut bersifat irreversible.
3) Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4) Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada
lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut moncong,
semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea,
vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu
organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
d) Disfasia
Secara ringkas, disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia
membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena
masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech
therapy.
e) Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang
otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
f) Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi
seksual.
g) Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri karotis
interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera pada dasar
tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar
pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, disertai hyperemia dan pembengkakan
konjungtiva diplopia dan penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
h) Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu pertama
pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih dari satu
minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam
tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun
kemudian.

J. PENATALAKSANAAN
a) Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,
Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan
dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain:
A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/
environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut
ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan
dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat.
Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Setelah
survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang
dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah
stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo
vestibuler) dan refleks kornea.
b) Penatalaksanaan Khusus:
1) Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT-Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
• Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal
• Foto servikal jelas normal
• Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat
jika timbul gejala perburukan
• Kriteria perawatan di rumah sakit:
• Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT-Scan
• Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
• Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
• Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
• Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
2) Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak),
dengan skala korna Glasgow 15 dan CT-Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien
ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut
yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3) Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf
segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera
dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera
kepala berat dilakukan di unit rawat intensif.
• Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
• Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw
trust.
• Monitor tekanan darah
• Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor
GCS < 8, bila memungkinkan.
• Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena
air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W)
dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
• Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
• Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
• Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300
mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus
dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil
pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko
infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya
dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
• Profilaksis trombosis vena dalam
• Profilaksis ulkus peptic
• Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi
risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan
serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko
infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
• CT Scan lanjutan
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. PENGKAJIAN
Anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian
psikososial (Muttaqin, 2008).
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, nyeri kepala hebat, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah
bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau
gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi
letargi, tidak responsif, dan konia.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan
kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan
lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat
kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh
dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya,
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang
timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).

Sedangkan menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma


kepala dapat dilakukan primary dan secondary survei. Yaitu sebagai berikut :
1) Primary Survey
a) Airway
Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien.
• L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi
sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
• L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
• F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan
pipi perawat
b) Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea,
bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti
snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas
pasien.
c) Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya
takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga
kondisi akral dan nadi pasien.
d) Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya
respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan
mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat dengan metode
AVPU. Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A
yaitu aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.
• A = Alert: Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
• V = Verbal: Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras
di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau
menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
• P = Pain: Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah
adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain
itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan
juga areal diatas mata (supra orbital).
• U = Unresponsive: Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak
bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
e) Exposure of extermitas
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas,
laserasi, contusio, bullae, atau abrasi.

2) Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey
hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak
mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem.(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika
berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang
terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang
yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan
gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
• Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah.
• Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
• Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
a) A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
b) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
c) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal)
d) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
e) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)

2. PEMERIKSAAN FISIK
1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal,
ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Arif Muttaqin, 2008).
2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
a) Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor
atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami
miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan
acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan,
rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan,
serta diplopia.
b) Hidung: periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
c) Telinga: periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan,
penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
d) Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
e) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
f) Mulut dan faring: inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi,
apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan
apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya
tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri.
3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4) Toraks
a) Inspeksi: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Musliha, 2010)
b) Palpasi: seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
c) Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
d) Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).
5) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam
status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Pada pemeriksaan
neurologis inspeksi adanya kejang, atau twitching, dan parese, bahkan hemiplegi
atau hemiparese (gangguan pergeraka), distaksia (kesuakan dalam
mengkoordinaskan otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine
board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada
fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas
kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan
leher sebagai sumbu. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis.
Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran
perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan
neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC).Perlu
adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi
ditentukan ahli bedah syaraf (Satyanegara, 2010).

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan suplai darah dan oksigen ke
jaringan oksigen.
b) Nyeri akut b/d agen cidera biologis.
c) Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan.
d) Pola nafas tidak efektif b/d hiperventilasi dan nyeri
e) Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuluskeletal
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
a) Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d penurunan suplai darah dan oksigen ke
jaringan oksigen.
Tujuan dan Kriteria hasil (SLKI):
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam maka resiko perfusi
jaringan serebral membaik dengan kriteria hasil:
• Tingkat kesadaran meningkat
• Sakit kepala menurun
• Gelisah menurun
Intervensi (SIKI):
Observasi:
1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2) Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
3) Monitor status pernapasan
4) Monitor intake dan output cairan
Teraupetik:
5) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
6) Berikan posisi semi fowler
7) Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi:
8) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan jika perlu
9) Kolaborasi pemberian diuretic osmosis jika perlu

b) Nyeri akut b/d agen cidera biologis.


Tujuan dan Kriteria hasil (SLKI):
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam, maka nyeri akut
membaik dengan kriteria hasil:
• Keluhan nyeri menurun
• Meringis menurun
• Gelisah menurun
• Kesulitan tidur menurun
Intervensi (SIKI):
Observasi:
1) Identifikasi skala nyeri
2) Identifikasi respon nyeri non verbal
3) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Teraupetik:
4) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
5) Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi:
6) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Kolaborasi:
7) Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu

c) Defisit nutrisi b/d ketidakmampuan menelan makanan.


Tujuan dan Kriteria hasil (SLKI):
Setelah dilakukan intervensi Keperawatan selama 1x24 jam maka resiko defisit
nutrisi membaik dengan kriteria hasil:
• porsi makanan yang dihabiskan meningkat
• perasaan cepat kenyang menurun
• berat badan membaik
• nafsu makan membaik
Intervensi (SIKI):
Observasi:
1) Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta kebutuhan kalori
Teraupetik:
2) Timbang berat badan secara rutin
3) Diskusikan perilaku makan dan jumlah aktivitas fisik
Edukasi:
4) Ajarkan pengaturan diet yang tepat
5) Ajarkan keterampilan koping untuk penyelesaian masalah perilaku makan
Kolaborasi:
6) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan, kebutuhan kalori
dan pilihan makanan
d) Pola nafas tidak efektif b/d hiperventilasi dan nyeri
Tujuan dan Kriteria hasil (SLKI):
Setelah dilakukan intervensi Keperawatan selama 1x24 jam maka pola nafas
membaik dengan kriteria hasil:
• pernafasan dalam batas normal
• tidak ada penggunaan oto bantu untuk bernafas
Intervensi (SIKI):
Observasi:
1) Identifikasi pola nafas
2) Monitor input dan output cairan
Teraupetik:
3) Atur posisi semi fowler
Edukasi:
4) Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik
Kolaborasi:
5) Kolaborasi pemberian terapi

e) Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuluskeletal


Tujuan dan Kriteria hasil (SLKI):
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 jam maka defisit
perawatan diri membaik dengan kriteria hasil:
• Kemampuan mandi meningkat
• Kemampuan mengenakan pakaian meningkat
• Kemampuan makan meningkat
• Kemampuan toilet (BAB/BAK) meningkat
Intervensi (SIKI):
Observasi:
1) Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
2) Monitor tingkat kemandirian
Teraupetik:
3) Sediakan lingkungan yang teraupetik
4) Damping dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
Edukasi:
5) Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan

5. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon pasien selama dan sesudah pelaksanaan
tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah & Walid, 2012).
Implementasi menurut teori adalah mengidentifikasi bidang bantuan situasi
yang membutuhkan tambahan beragam mengimplementasikan intervensi
keperawatan dengan praktik terdiri atas keterampilan kognitif, interpersonal dan
psikomotor (tekhnis). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien cedera
cedera kepala, pada prinsipnya adalah menganjurkan pasien untuk banyak minum,
mengobservasi tanda-tanda vital, mengawasi pemasukan dan pengeluaran cairan,
mengajarkan Teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri.
Mendokumentasikan semua tindakan keperawatan yang dilakukan ke dalam
catatann keperawatan secara lengkap yaitu: jam, tanggal, jenis tindakan, respon pasien
dan nama lengkap perawat yang melakukan tindakan keperawatan.

6. EVALUASI
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan
pasien dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah
& Walid, 2012).
Menurut teori evaluasi adalah tujuan asuhan keperawatan yang menentukan
apakah tujuan ini telah terlaksana, setelah menerapkan suatu rencana tindakan untuk
meningkatkan kualitas keperawatan, perawat harus mengevaluasi keberhasilan
rencana penilaian atau evaluasi diperoleh dari ungkapan secara subjektif oleh klien
dan objektif didapatkan langsung dari hasil pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan intrakranial & gangguan
peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.
Ganong, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. (Alih Bahasa Oleh: 1 Made Kariasa,
Dkk). Jakarta: EGC.
Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafa. Jakarta: Salemba Medika.
RISKESDAS, (2013). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Smeltrzer, Suzanna C & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Dan
Suddart. (Alih Bahasa Agung Waluyo). Edisi 8. Jakarta: EGC.
Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta: Media
Aescupius.
Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2. Yogyakarta: Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai