Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

Ureterolithiasis

Pembimbing :
dr. Pandu Ishaq Nandana, Sp.U

disusun oleh :
dr. Jihan Anandya Alyka Fitri

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT RISA SENTRA MEDIKA
MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT
OKTOBER 2020 – JUNI 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,
Presentasi kasus di Rumah Sakit Sentra Medika periode 26 Agustus – 21
November 2020 dengan judul “Ureterolithiasis” yang disusun oleh :
Nama : dr. Jihan Anandya Alyka Fitri
NIP : 503/1001/KES/IX/2020
Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :
Pembimbing :
dr. Pandu Ishaq Nandana, Sp.U

Menyetujui,

(dr. Pandu Ishaq Nandana, Sp.U)

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha
Kuasa, atas Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
”Ureterolithiasis”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Pandu Ishaq Nandana, Sp.U selaku pembimbing dalam
penyusunan laporan kasus ini. Tujuan dari pembuatan laporan ini selain untuk
menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga ditujukan untuk
memenuhi tugas dalam menjalankan program dokter internsip periode III tahun
2020 di RS RISA Sentra Medika.
Penulis sangat berharap bahwa lapsus ini dapat menambah wawasan
mengenai batu saluran kemih serta penatalaksanaannya. Dan diharapkan, bagi
para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan mengenai keadaan kesehatan
yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya
masukan, kritik maupun saran yang membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga
tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Mataram, 20 oktober 2020

dr. Jihan Anandya Alyka Fitri

iii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL.............................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
I.1. Latar Belakang................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................. 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 11
3.1 Anatomi........................................................................................... 11
3.2 Fisiologi.......................................................................................... 16
3.3 Definisi............................................................................................ 19
3.4 Etiologi............................................................................................ 20
3.5 Epidemiologi................................................................................... 21
3.6 Klasifikasi....................................................................................... 21
3.7 Patofisiologi.................................................................................... 28
3.8 Gejala Klinis................................................................................... 29
3.9 Diagnosis......................................................................................... 30
3.10 Penatalaksanaan............................................................................ 33
3.11 Pencegahan................................................................................... 39
3.12 Komplikasi.................................................................................... 40
3.13 Prognosis....................................................................................... 40
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................ 41
BAB V KESIMPULAN.................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 44

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Urolitiasis atau dikenal dengan penyakit batu saluran kemih yang


selanjutnya disingkat BSK adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh
pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya
berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi.
BSK sudah diderita manusia sejak zaman dahulu, hal ini dibuktikan dengan
diketahui adanya batu saluran kemih pada mummi Mesir yang berasal dari
4800 tahun sebelum Masehi. Hippocrates yang merupakan bapak ilmu
Kedokteran menulis 4 abad sebelum Masehi tentang penyakit batu ginjal
disertai abses ginjal.1
Urolithiasis merupakan penyakit tersering ketiga di bidang urologi di
samping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna. Angka kejadian
urolithiasis berbeda pada setiap negara. Di negara-negara berkembang banyak
dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai
batu saluran kemih atas. Hal ini dapat terjadi karena adanya pengaruh status gizi
dan aktivitas pasien sehari-hari.2
Angka kejadian BSK di Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang
dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah 37.636 kasus baru,
dengan jumlah kunjungan 58.959 penderita. Sedangkan jumlah pasien yang
dirawat adalah 19.018 penderita, dengan jumlah kematian 378 penderita. Menurut
DepKes RI (2006), jumlah pasien rawat inap penderita BSK di Rumah Sakit
seluruh Indonesia yaitu 16.251 penderita dengan CFR 0,94% .3
Di Amerika Serikat, sekitar 250.000 sampai 750.000 penduduknya
menderita BSK setiap tahun, di seluruh dunia rata-rata terdapat 1 sampai 12%.
Kejadian pada pria empat kali lebih tinggi daripada wanita, kecuali untuk batu
amonium magnesium fosfat (struvit), lebih sering terdapat di wanita. Usia
rata-rata BSK terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun. 4, 5
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan

1
keadaan keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh
yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.6

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama : Tn. HS
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Gerung
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 29 september 2020
Tanggal Pemeriksaan : 29 september 2020

2.2 Anamnesis
 Keluhan Utama : Nyeri pinggang kanan
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD mengeluh nyeri pada pinggang sebelah kanan sejak 5
hari yang lalu. nyeri awalnya hilang timbul namun saat ini dirasakan semakin
memberat. Nyeri terasa seperti pegal tertusuk - tusuk dan dirasakan pada
pinggang sebelah kanan sampai ke lipatan paha dan kemaluan. Keluhan nyeri
pinggang seperti ini sering di alami pasien sejak 8 bulan yang lalu, akan tetapi
keluhan hilang timbul. Pasien mengaku tidak mengedan saat kencing,
pancaran urin baik, tidak bercabang, tidak terputus-putus. Namun kadang
terasa nyeri saat BAK, BAK berwarna kuning keruh, BAK darah disangkal.
Ada rasa mual tapi tidak sampai muntah BAB normal dan bisa kentut, riwayat
demam sebelumnya (-) trauma (-). Nyeri ulu hati (-). Pasien tidak
mengeluhkan adanya penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan.
Pasien mengaku, sudah sering ke dokter dan melakukan usg abdomen namun
hasilnya normal tak tampak ada batu atau sumbatan. Akan tetapi keluhan nyeri
tersebut sering kambuh dan membuat pasien merasa tidak nyaman. Pasien
masih dapat beraktifitas.

3
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi (-), asma (-), kencing manis (-). Riwayat trauma pada
kandung kemih (-). Riwayat kencing batu / berpasir disangkal pasien.
Pembesaran prostat disangkal.
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien menyangkal di keluarga ada yang mengalami keluhan yang sama
dengan pasien.
 Riwayat Pengobatan :
Pasien sering berobat ke dokter urologi dan beberapa kali melakukan usg
abdomen dan hasilnya tak tampak batu. Namun keluhan tidak membaik.
 Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap makanan atau pun obat-obatan
tertentu.
 Riwayat Pribadi dan Sosial :
Pasien adalah seorang pengusaha. Tidak merokok dan tidak mengkonsumsi
alcohol. Pasien mengaku sedikit minum air putih dan sering menahan kencing.

2.3 Pemeriksaan fisik


Keadaan Umum : sakit sedang Nadi : 76x/menit
Kesadaran : Compos Mentis Respirasi : 18x/menit
Tekanan darah : 120/80 mmHg Suhu : 36,8 ºC
Status Generalis :
o Kepala : Kesan & bentuk normal.
o Mata : Konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-, RP (+)
isokor 3mm/3mm
o Telinga : Kesan, bentuk dan fungsi normal
o Hidung : Kesan, bentuk dan fungsi normal
o Leher : Pembesaran KGB (-)
o Thorax-Kardiovaskuler
o Paru

4
Inspeksi : Bentuk dinding dada simetris, retraksi (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, nyeri tekan (-)
Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
o Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tampak pada ICS 5 midclavicula
Perkusi : Batas bawah ICS 2 midklavikula sinistra, batas kanan linea
parasternal dextra, batas bawah ICS 4 midklavikula sinistra,
batas kiri ICS 5 midklavikula sinistra.
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS 5 midklavikula sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), sikatriks (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+) seluruh regio
Palpasi : Defans muskuler (-), supel (+), massa (-), nyeri tekan (-),
hepar dan lien tidak teraba
o Urogenital
Regio Flank/CVA kanan kiri
Tanda radang (-) (-)
Ballotement sulit dinilai sulit dinilai
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri ketok (+) (-)
Massa (-) (-)
Jaringan parut/
bekas operasi (-) (-)
Suprapubik
Inspeksi : jejas (-), laserasi (-), hematom (-), massa (-)
Palpasi : Buli tidak penuh, nyeri tekan (-), Massa (-)
Genitalia eksterna : tidak dilakukan pemeriksaan
o Ekstremitas : hangat (+), edema (-)

5
o RT : tidak dilakukan pemeriksaan
2.4 Resume
Pasien mengeluh nyeri pada pinggang sebelah kanan sejak 5 hari yang lalu,
nyeri awalnya hilang timbul namun saat ini dirasakan semakin memberat. Nyeri
terasa seperti pegal dan dirasakan pada pinggang sebelah kanan sampai ke
lipatan paha dan kemaluan. Pasien mengeluh mual (+), nyeri saat BAK kadang
kadang. BAK darah disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign dalam batas normal. Tidak tampak
tanda-tanda anemis. Terdapat nyeri ketok CVA (+/-).

2.5 Diagnosa kerja


 Kolik renal ec ureterolitiasis dextra
 Striktur ureter
 Appendicitis akut

2.6 Pemeriksaan penunjang


 Laboratorium DL (29 september 2020)
HB : 13,3 g/dL
RBC : 4,35 x 10^6/uL
HCT : 36,1%
WBC : 8,91 x 10^3/uL
PLT : 263 x 10^3/uL
 GDS : 125 mg/dl
 Ureum : 31 mg/dl
 Cr : 0,9 mg/dl
 GOT : 18 u/l
 GPT : 15 u/l
 BT : 1 menit 45 detik
 CT : 10 menit 30 detik
 Elektrolit : Na=143mmol/L ; Cl=102mmol/L ; K=3,6 mmol/L

6
 RDT : Non reaktif
 CT scan abdomen

Kesan :
 Hidronefrosis ringan dan hidroureter kanan sampai distal ec batu ukuran 0,5
x 1 cm pada UVJ kanan.

Ro thorax PA :

Kesan :
 Pulmo dan cor normal
 Diafragma kiri letak
tinggi

2.7 Diagnosa pasti


 Diagnosis primer
Kolik renal ec ureterolithiasis dextra
 Diagnosis komplikasi
Infeksi saluran kemih
Hidronefrosis dextra
Hidroureter dextra
 Diagnosis sekunder
Diafragma kiri letak tinggi

7
2.8 Planning
 Maklum dr pandu sp.U :
MRS
Pro URS dextra tgl 30/9/2020 jam 12.00 wita
Harnal ocas 1 tab malam ini, 1 tab sebelum mulai puasa pre op
Terfacef 2 g pre op
 Maklum dr ommy sp.PD :
Saran konsul dr risky spP terkait diafragma letak tinggi
 Maklum dr batara sp.An dan maklum ruang ok : acc
Puasa 6 jam preop

2.9 Prognosis
Dubia ad bonam

2.10 Follow up
Tgl Subjectiv Objective Assesment Tatalaksana
e
30/9/202 Nyeri Kes : CM Ureterolitiasi Rencana URS tgl
0 pinggang E4M6V5 s dextra 30/9/2020 jam
kanan (+), TD : 130/80 12.00 wita
menjalar mmHg IVFD RL 20 tpm
dari Nadi : 84 x /menit Terfacef 2 g pre
pinggang Respirasi : 20 x op
kanan ke /menit Harnal ocas 1 tab
kemaluan Suhu : 36 C sebelum puasa
mual (+), Kepala Leher : Visite dr riski
muntah CP -/- SI -/- sp.P
(-), nyeri Thorax : Acc operasi, bila
BAK (+), VBS +/+, RH -/-, sesak nebulizer
BAB WH -/-. Cor s1s2 suprasma
normal

8
tgl reg murmur (-)
Abdomen : datar,
BU + dbn, Supel
Ketok CVA +/-
Ekstremitas :
Akral hangat ,
edem (–) seluruh
ekstremitas, CRT
< 2 detik
30/9/202 Nyeri Kes : CM Post URS ec -IVFD RL 20 tpm
0 dibekas E4M6V5 ureterolitiasi Dr batara sp.An :
operasi TD : 130/80 s dextra + dj -Inf Sanmol flash
mmHg stent dextra 1g/8 jam IV
Nadi : 84 x /menit - Inj trovensus 4
Respirasi : 20 x mg k/p
/menit Dr pandu sp.U :
Suhu : 36 C -inj terfacef 2x1 g
Kepala Leher : IV
CP -/- SI -/- -inj tranexid
Thorax : 2x500 mg IV
VBS +/+, RH -/-, -inj uresic 1x1
WH -/-. Cor s1s2 amp IV
tgl reg murmur (-) -harnal ocas 1x1
Abdomen : datar, tab PO
BU + dbn, Supel -Planning BOF
Ketok CVA -/- post op
Ekstremitas :
Akral hangat ,
edem (–) seluruh
ekstremitas, CRT
< 2 detik

9
1/10/202 Nyeri Kes : CM Post URS ec BPL
0 dibekas E4M6V5 ureterolitiasi Kontrol poli
operasi TD : 130/80 s dextra + dj urologi 3 hari lagi
membaik mmHg stent dextra Cefixime
Nadi : 84 x /menit 2x200mg tab PO
Respirasi : 20 x Asam mefenamat
/menit 2x500 mg PO k/p
Suhu : 36 C nyeri
Kepala Leher :
CP -/- SI -/- Edukatif post
Thorax : operatif : bed
VBS +/+, RH -/-, rest, disiplin
WH -/-. Cor s1s2 minum obat,
tgl reg murmur (-) jaga hygiene dan
Abdomen : datar, pola makan
BU + dbn, Supel sehat.
Ketok CVA -/-
Ekstremitas :
Akral hangat ,
edem (–) seluruh
ekstremitas, CRT
< 2 detik

BOF post op

Kesan :
Ujung proximal DJ stent di paralumbal
dikanan setinggi proyeksi L1, ujung distal
di VU. Tak tampak batu opaque.

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi 7,8,9


a. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk  seperti kacang, terdapat sepasang
(masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya
retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm)
dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal
sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12),
sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.
Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2
(kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah
pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal
kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
 Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari
korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
 Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
 Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal

11
 Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks
 Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut
saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
 Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
 Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
 Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
 Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
 Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Gambar 3.1 Anatomi Ginjal


Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/
Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada
tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh
kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta
kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letakya
nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus
renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit
saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta

12
medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula,
memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan
pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari
aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior.
Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri
sublobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal,
yaitu segmen superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta
posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan
simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan
aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
b. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil
penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju
vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal,
masing-masing satu untuk setiap ginjal.
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan
m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis.
Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu
melengkung secara ventro-medial untuk mencapai vesica urinaria. Adanya
katup uretero-vesical mencegah aliran balik urine setelah memasuki kandung
kemih. Terdapat beberapa tempat di mana ureter mengalami penyempitan
yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta muara ureter ke
dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk
batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca
communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan
persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis,
pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.

13
c. Vesica urinaria

Gambar 3.2 Anatomi Vesica Urinaria


Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli,
merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui
ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh
melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis
(pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ
reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan
saraf.
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri
atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga
permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi
(anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria
terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat
trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum
vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari

14
orifisium kedua ureter dan collum vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat
dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun
pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis. Sedangkan
persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan
parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor,
n.splanchnicus imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan
parasimpatis melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai
sensorik dan motorik.
d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria
menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan
wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi
sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan
uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua
otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan
bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra pars membranosa,
bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa
(distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars
membranosa dan pars spongiosa.
 Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan
aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m.
sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat.
Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis.
 Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus
kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding
bagian lainnya.
 Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis
melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh

15
m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter
(somatis).
 Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar
penis. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.

Gambar 3.3 Anatomi Vesica Urinaria – Uretra Laki-laki


Sedangkan uretra ada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding
uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara
pada orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m.
spchinter urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun
tidak seperti uretra pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.

16
Gambar 3.4 Anatomi Vesica Urinaria – Uretra Perempuan
3.2 Fisiologi 10,11
Fungsi ginjal selain mengatur keseimbangan biokimia tubuh dengan cara
mengatur keseimbangan air, konsentrasi garam dalam darah dan asam basa
ginjal juga berperan dalam produksi hormon seperti:
 Eritropoietin: menstimulasi produksi eritrosit di sumsum tulang.
Eritropoietin disekresikan saat ginjal mengalami hipoksia. Hampir semua
hormon eritropoietin yang terdapat dalam darah disekresi oleh ginjal.
 1,25-Dihydroxyvitamin D3 (calcitriol): merupakan bahan aktif dari vitamin
D. Prekursor vitamin D terhidroksilasi di ginjal. Calcitriol adalah vitamin
esensial untuk meregulasi kalsium deposisi pada tulang dan kalsium
reabsorbsi dalam traktus digestivus. Calcitriol juga mempunyai peran
penting dalam refulasi kalsium dan fosfat.
 Renin: berfungsi sebagai regulator tekanan arteri jangka pendek. Renin
bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan vaskuler dan
produksi aldosteron.
 Prostaglandin: berfungsi sebagai vasokonstriktor dan regulasi garam dan
air.
3 tahap pembentukan urin: 12,13
1) Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,
seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat
impermeabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel

17
terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino,
glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow)
adalah sekitar 22% dari curah jantung atau sekitar 1100 ml/menit. Sekitar
seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui
glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus
(GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s
disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat
antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah
dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan
oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan
osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding
kapiler
2)  Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif
zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.Hasil sisa
metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat sedikit di reabsorbsi pada
tubulus ginjal. Sebaliknya elektrolit seperti natrium, klorida dan bikarbonat
terreabsorbsi dalam jumlah banyak, hingga kadar elektrolit dalam urin akan
rendah. Beberapa zat hasil filtrasi akan direabsorpsi sepenuhnya, seperti
asam amino dan glukosa. Reabsorbsi terjadi dalam tubulus kontortus
proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transport aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak
terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang
secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-
ion hidrogen.
Pada tubulus kontortus distal, transport aktif natrium sistem carier yang
juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam

18
hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular,
cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular
“perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi,
hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang
akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari
ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation
dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan
yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti
mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa
pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat
dikoreksi secara teurapeutik.

Gambar 3.5 Mekanisme Pembentukan Urine(1)

3.3 Definisi
Urolitiasis atau dikenal dengan penyakit batu saluran kemih yang
selanjutnya disingkat BSK adalah pembentukan batu di saluran kemih yang
meliputi batu ginjal, ureter, buli, dan uretra. Pembentukan batu dapat

19
diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu infeksi, non-infeksi, kelainan
genetik, dan obat-obatan.23

Gambar 3.6 Contoh Urolithiasis

3.4 Etiologi 6,14


Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh
yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
a) Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
3.9 Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
3.9 Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 40-50 tahun.
3.9 Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan.
b) Faktor ekstrinsik diantaranya adalah:

20
1. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih
yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagi daerah
stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan
hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet
Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit
batu saluran kemih.
5. Pekerjaan
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.

3.5 Epidemiologi 2,3,4


Urolithiasis merupakan penyakit tersering ketiga di bidang urologi di
samping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna. Kejadian pada
pria empat kali lebih tinggi daripada wanita, kecuali untuk batu amonium
magnesium fosfat (struvit), lebih sering terdapat di wanita dan usia rata-rata
BSK terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun. Angka kejadian BSK di Indonesia
tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh
Indonesia adalah 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan 58.959
penderita. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat adalah 19.018 penderita,
dengan jumlah kematian 378 penderita.
3.6 Klasifikasi
Urolithiasis dapat di klasifikasikan berdasarkan lokasi batu, karakteristik x-
ray, etiologi proses pembuatan batu dan komposisi batu. Klasifikasi ini penting
dalam menatalakasanakan pasien karena daoat mempengaruhi terapi dan juga
prognosis.15

21
1) Lokasi batu 16,17
 Nefrolithiasis : Batu yang terbentuk pada pielum, tubuli hingga
calyx ginjal.
 Ureterolithiasis : Batu yang terdapat pada ureter.
 Cystolithiasis : Batu yang terdapat pada vasika urinaria.
 Urethrolithiasis : Batu pada saluran uretra
2) Karakteristik radiologi 15
 Radiopaque : kalsium oksalat dihidrat, kalsium oksalat
monohidrat, kalsium fosfat.
 Poor radiopaque : magnesium ammonium fosfat, apatit, sistein.
 Radiolucent : usam urat, ammonium urat, xantin, 2,8 dihidroxy-
adenine.
3) Etiologi 15
 Non-infeksi : kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat.
 Infeksi : magnesium ammonium fosfat, apatit, ammonium
urat.
 Genetik : sistein, xantin, 2,8 dihidroksiadenin.
4) Komposisi 18
Pada klinisnya, batu yang terbentuk pada saluran kemih terdapat
beberapa jenis. Jenis tersebut dibagi berdasarkan komposisinya. Pembagian
ini cukup penting karena setiap batu memiliki predisposisi yang berbeda,
sifat yang berbeda dan pada akhirnya memiliki terapi yang cukup berbeda
pula. Contoh komposisi batu yang mungkin terbentuk dalam saluran kemih
adalah batu kalsium oksalat, batu magnesium amonium fosfat (struvit), batu
asam urat, batu sistin dan batu lainnya.
 Batu kalsium oksalat
Insiden terjadinya batu kalsium oksalat adalah sekitar 70% dari
seluruh kasus batu saluran kemih. Sebenarnya batu kalsium fosfat juga
masuk golongan batu kalsium oksalat karena faktor predisposisi, sifat
dan terapinya sama. Prinsip terbentuknya batu ini adalah adanya keadaan

22
hiperkalsiuria (dan hiperkalsemia), hiperoksalouria, hipositraturia,
hiperurikosuria, pH urin rendah, asidosis tubulas ginjal dan
hipomagnesuria.
Pada keadaaan hiperkalsiuria (>4mg/kg/hari), kalsium bebas dalam
urin meningkat. Kalsium bebas tersebut memiliki kecenderungan untuk
berikatan dengan oksalat atau pun fosfat menjadi kalsium oksalat atau
kalsium fosfat (lebih jarang). Proporsi kalsium dengan oksalat dalam
kalsium oksalat adalah satu banding satu sehingga kelebihan kalsium
pada urin tanpa disertai kelebihan oksalat pada urin tidak terlalu
meningkatkan pembentukan kalsium oksalat. Kalsium oksalat pada suhu
tubuh secara normal berbentuk padat namun pada urin, kalsium oksalat
terlarut. Oleh karena itu pada keadaan tidak stabil (unstable), kalsium
oksalat akan menjadi kristal dan mengendap.
Hiperkalsiuria berbeda dengan hiperkalsemia dan kadar kalsium
tinggi dalam lumen usus. Kalsium yang terdapat dalam makanan (di
lumen usus) tidak semuanya diserap oleh sel usus. Perlu diingat bahwa
kalsium diserap di tubuh apabila ada vitamin D. Dengan vitamin D
kalsium bisa dibawa ke darah dan digunakan untuk kebutuhan kalsium
tubuh. Kalsium berlebihan akan dibuang melalui urin. Jadi jangan
sampai terjebak bahwa semakin banyak intake kalsium maka
kemungkinan batu saluran kemih akan meningkat. Pernyataan tersebut
kurang tepat karena kembali ke pernyataan tidak semua kalsium diserap
tubuh. Hal tersebut justru akan mengurangi kemungkinan batu saluran
kemih karena akan mengurangi penyerapan oksalat (kalsium memiliki
kecenderungan mengikat oksalat menjadi dan sel usus tidak akan
menyerap kalsium oksalat). Namun peningkatan kadar vitamin D dalam
tubuh akan meningkatkan angka kejadian batu saluran kemih karena
meningkatkan penyerapan kalsium. Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria
yang lebih cenderung meningkatkan risiko pembentukan batu saluran
kemih karena dua keadaan tersebut meningkatkan jumlah kalsium urin.

23
Ada 4 keadaan gangguan metabolik yang menyebabkan
hiperkalsiuria yaitu absorptif, renal, resorptif dan idiopatik. Absorptif
adalah peningkatan absorpsi kalsium dari lumen usus yang tidak normal.
Renal adalah berkurangnya penyerapan kembali kalsium dari hasil
filtrasi glomerulus oleh tubulus-tubulus nefron. Resorptif adalah
peningkatan hormon paratiroid sehingga menyebabkan hiperkalsemia.
Dan idiopatik adalah hiperkalsiuria yang tidak diketahui penyebabnya.
Pada keadaan hiperoksalouria (>40mg/hari), oksalat bebas dalam
urin akan terikat dengan kalsium membentuk kalsium oksalat. Sekadar
mengingatkan bahwa kadar kalsium dalam lumen usus tinggi maka akan
mencegah hiperoksalouria (apabila kadar vitamin D normal). Beberapa
makanan yang mengandung tinggi oksalat adalah teh hitam, coklat,
bayam, bits, kacang tanah, lada dan lain-lain
Pada keadaan hipositraturia (<320mg/hari), inhibitor pembentukan
kristal berkurang (mengingat sitrat merupakan inhibitor pada keadaan
metastabil). Sitrat memiliki sifat inhibitor karena sitrat memiliki
kemampuan mengikat kalsium menjadi kalsium sitrat (mengurangi
pembentukan kalsium oksalat) dan meningkatkan efek inhibitor lain
yaitu tamm-horsfal.
Pada keadaan hiperurikosuria (>600mg/hari), akan meningkatkan
monosodium urat yang juga akan meningkatkan pembentukan kalsium
oksalat dan menurunkan kerja inhibitor.
Pada keadaan pH urin rendah (<5,5), formasi batu asam urat dan batu
kalsium oksalat akan meningkat. Pada asidosis tubulus ginjal, terjadi
defek sekresi ion hidrogen. Pada hipomagnesuria, inhibitor pada keadaan
metastabil akan berkurang (mengingat magnesium adalah inhibitor
dengan mengikat oksalat menjadi magnesium oksalat. Namun keadaan
ini jarang terjadi.

24
Gambar 3.7 Gambaran bentuk batu kalsium oksalat
 Batu struvit (magnesium amonium fosfat)
Batu jenis ini terjadi pada sekitar 15% kasus batu saluran kemih di
Amerika Serikat dan 30% di dunia. Batu jenis ini merupakan satu-
satunya batu saluran kemih yang diakibatkan oleh infeksi saluran kemih.
Dua contoh golongan bakteri yang sering menyebabkan batu jenis ini
adalah golongan proteus dan stafilokokus.
Unsur penting penyebab batu ini ada 2 hal yaitu adanya amonia dan
pH urin yang meningkat (> 7,2). Amonia disebabkan oleh adanya infeksi
oleh mikroorganisme yang mengubah urea menjadi amonia dilanjutkan
menjadi amonium (diagram 3-4). Adanya amonium membuat reaksi
dengan magnesium dan fosfat menjadi amonium magnesium fosfat
(struvite).
Batu struvite biasanya terjadi apabila didahului dengan infeksi
saluran kemih. Batu struvit merupakan salah satu batu yang bisa
membentuk tanduk rusa (staghorn caliculi) di ginjal. Ditemukannya batu
tanduk rusa secara radiologis merupakan indikasi untuk dilakukan
intervensi secara cepat karena dapat mengganggu fungsi ginjal.

Gambar 3.8 Gambaran bentuk batu struvit


 Batu asam urat
Batu asam urat terjadi pada sekitar 10%-15% kasus batu saluran
kemih. Terjadi pada keadaan hiperurisemia seperti pirai dan leukemia.
Batu asam urat biasanya terbentuk apabila kadar asam urat dalam urin
lebih dari 600 mg per hari. Batu asam urat terjadi akibat asam urat yang

25
cukup banyak akan menurunkan pH urin menjadi dibawah 5,5. Pada
keadaan pH tersebut asam urat tidak dapat larut. Batu asam urat
memiliki sifat radiolusen sehingga tidak terlihat pada pemeriksaan foto
polos.

Gambar 3.9 Gambaran bentuk batu asam urat


 Batu sistin
Batu sistin sangat jarang terjadi, kira-kira sekitar 1%-2% dari
kejadian batu saluran kemih. Batu sistin disebabkan oleh defek genetik
pada reabsorpsi asam amino (terutama sistin) sehingga menyebabkan
sistinuria. Keadaan sistinuria akan membuat pH rendah sehingga batu
dapat terbentuk. Beberapa sumber mengatakan defek genetik reabsorpsi
asam amino ini merupaka autosomal resesif.

Gambar 3.10 Gambaran bentuk batu sistin


 Batu jenis lain
Pada klinisnya batu saluran kemih dapat disebabkan oleh hal-hal lain
selain yang dijelasakan di atas. Beberapa obat dapat membentuk batu
dengan komposisi obat itu sendiri. Contoh obat-obat tersebut adalah
indinavir, triamteren, guaifenesin,
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih
terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran
urine (stasis urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli.

26
Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis),
divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hyperplasia prostat
benigna, stiktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan
yang memudahkan terjadinya pembentukan batu. Batu terdiri atas kristal-
kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang
terlarut dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan
metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan
tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal
yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang
kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain
sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup
besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu
saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran
kemih (membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain
diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar
untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastabel dipengaruhi oleh
suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine, laju aliran urine di
dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran
kemih yang bertindak sebagai inti batu.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya renal kalkuli
seperti :5
A. Hiperparatiroidisme
B. Asidosis tubular renal
C. Malignansi
D. Penyakit granulomatosa ( sarcoidosis,tuberculosis)
E. Masukan vitamin D yang berlebihan
F. Masukan susu dan alkali
G. Penyakit mieloproliferatif (leukaemia, polisitemia, mieloma
multiple).
Serta faktor presipitasi seperti: gaya hidup, intake cairan kurang, retensi
urine, konsumsi vitamin C dosis tinggi, immobilisasi, dll. Semua kondisi

27
diatas akan mempengaruhi keadaan metastabel dari zat-zat yang terlarut
dalam urine, dimana keadaan metastabel ini sangat berkaitan dengan Ph
larutan, suhu, konsentrasi solut dalam urine, dan laju aliran urine yang jika
tidak seimbang maka akan menimbulkan pembentukan kristal-kristal urine
yang lama-kelamaan akan membesar dan menimbulkan obstruksi traktus
urinarius dan menimbulkan gejala seperti nyeri kostovertebral dan gejala
lain tergantung daerah batu terbentuk. Apabila sebagian dari tractus
urinarius mengalami obstruksi, urine akan terkumpul dibagian atas dari
obstruksi dan mengakibatkan dilasi pada bagian itu.
Otot-otot pada bagian yang kena berkontraksi untuk mendorong urine
untuk melewati obstruksi. Apabila obstruksinya partial, dilatasi akan timbul
dengan pelan tanpa gangguan fungsi. Apabila obstruksinya memberat,
tekanan pada dinding ureter akan meningkat dan mengakibatkan dilatasi
pada ureter (hydroureter). Volume urine yang terkumpul meningkat dan
menekan pelvis dari ginjal dengan akibat pelvis ginjal berdilasi
(hydrophrosis). Penambahan tekanan ini tidak berhenti pada pelvis saja
tetapi bisa sampai ke jaringan-jaringan ginjal yang kemudian menyebabkan
kegagalan renal.
Obstruksi juga bisa mengakibatkan stagnansi urine. Urine yang stragnant
ini bisa bisa menjadi tempat untuk perkembangan bakteri dan infeksi.
Obstruksi pada tractus urinarius bawah dapat menyebabkan distensi bladder.
Infeksi bisa timbul dan pembentukan batu.
Obstruksi pada tractus urinarius atas bisa berkembang sangat cepat
karena pelvis ginjal adalah lebih kecil bila dibandingkan dengan bladder.
Peningkatan tekanan pada jaringan-jaringan ginjal dapat menyebabkan
ischemia pada renal cortex dan medula dan dan dilatasi tabula-tabula renal.
Statis urine pada pelvis ginjal bisa menyebabkan infeksi dan pembentukan
batu, yang bisa menambah kerusakan pada ginjal. Ginjal yang sehat bisa
mengadakan konpensasi, akan tetapi apabila obstruksi diperbaiki , ginjal
yang sehat pun akan mengalami hypertrophy karena harus mengerjakan

28
pekerjaan ginjal yang tak berfungsi. Obstrusi pada kedua ginjal bisa
mengakibatkan kegagalan renal.

3.7 Patofisiologi
Terdapat 2 mekanisme pembentukan batu yaitu supersaturasi atau infeksi.
Batu yang dihasilkannyapun dapat berbeda, pada supersaturasi (free stone
formation) batu yang terbentuk biasanya adalah batu asam urat dan sistein.
Pada infeksi batu yang terbentuk adalah hasil dari metabolisme bakteri.
Sedangkan formasi batu yang frekuensinya paling banyak, kalkulus yang
mengandung kalsium, lebih kompleks masih belum dapat jelas dimengerti.19
Batu terdiri dari bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut
dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan metastable
dalam urin jika tidak ada keadaan keadaan tertentu yang menyebabkan
terjadinya presipitasi kristal. Kristal yang saling mengadakan presipitasi
membentuk inti batu yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik
bahan bahan lain sehingga menjadi Kristal yang lebih besar. Kristal tersebut
bersifat rapuh dan belum cukup membuntukan saluran kemih. Maka dari itu
agregat Kristal menempel pada epitel saluran kemih dan membentuk retensi
kristal. dengan mekanisme inilah bahan bahan lain diendapkan pada agregat
tersebut hingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran
kemih.20
Kondisi metastable dapat dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya
koloid di dalam urin, konsentrasi solute di dalam urin, laju aliran urin di dalam
saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang
bertindak sebagai inti batu. Batu asam urat lebih mudah terbentuk dalam
suasana asam, sedangkan magnesium ammonium fosfat cenderung terformasi
dalam keadaan basa. Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu
kalsium. Kalsium dapat berikatan dengan oksalat, fosfat membentuk batu
kalsium fosfat dan kalsium oksalat. 20
Ada beberapa zat yang dapat bertindak sebagai inhibitor pembentukan
batu. Ion magnesium dapat menghambat pembentukan batu kalsium oksalat

29
dengan cara berikatan dengan oksalat. Demikian pula sitrat jika berikatan
dengan ion kalsium akan membentuk garam kalsium sitrat sehingga dapat
mengurangi formasi batu yang berkomponen kalsium. Beberapa proteinpun
dapat bertindak sebagai inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan
kristal, menghambat agregasi kristal maupu menghambat retensi kristal.
senyawa itu antara lain adalah: glikosaminoglikan, protein Tamm Horsfall,
nefrokalsin dan osteopontin. 20

3.8 Gejala klinis 21


Gejala klinis pada batu ginjal berbeda tergantung lokasi batu, ukuran dan
penyulit yang telah terjadi:
 Nefrolithiasis : Nyeri pinggang non kolik akibat peregangan kapsul ginjal
karena hidronefrosis ataupun infeksi pada ginjal. Pemeriksaan ketuk CVA
positif. Jika ginjal telah mengalami hidronefrosis maka ginjal akan teraba
pada pemeriksaan ballottement. Jika ginjal mengalami infeksi pasien,
demam dapat ditemukan.
 Ureterolithiasis : Nyeri kolik pada pinggang yang dilewati batu. Nyeri
kolik ini disebabkan karena peningkatan tekanan intralumen karena usaha
gerakan peristaltik ureter ataupun sistem kalises. Dapat terjadi hematuria
karena trauma pada mukosa saluran kemih yang disebabkan oleh batu.
 Cystolithiasis : Kesulitan memulai BAK jika batu menutupi sphincter,
BAK yang tersendat dan lancar jika mengubah posisi badan, dapat terjadi
hematuria. Penderita juga dapat merasakan sensasi keluarnya pasir saat
berkemih. Pasien juga dapat merasakan perasaan tidak enak saat BAK,
frekuensi BAK yang meningkat karena pengecilan ruangan vesika, pada
anak dapat ditemukan enuresis nokturna, dan sering menarik penis ataupun
menggosok vulva.
Jika terjadi komplikasi seperti hidronefrosis ataupun infeksi maka gejala
obstruksi saluran kemih bagian atas seperti demam dan mual muntahpun
dapat dirasakan oleh pasien.

30
3.9 Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien dengan BSK mempunyai keluhan yang bervariasi mulai dari tanpa
keluhan, sakit pinggang ringan sampai dengan kolik, disuria,
hematuria,retensio urine, anuria. Keluhan ini dapat disertai dengan penyulit
seperti demam, dan tanda-tanda gagal ginjal. Setalah itu, menggali penyakit
terdahulu yang dapat menjadi faktor pencetus terbentuknya batu seperti
riwayat ISK dengan batu saluran kemih, kelainan anatomi, renal
insuffciency,dll.24,25
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu dan
penyulit yang ditimbulkan. Pada pemeriksaan fiisk khusus urologi dapat
dijumpai :
 Sudut kosto vertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok dan pembesaran ginjal
 Supra simfisis : nyeria tekan, teraba batu, buli-buli penuh
 Genitalia eksterna : teraba batu di uretra
 Colok dubur : teraba batu pada buli-buli pada saan melakukan palpasi
bimanual.24,25
c. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis makroskopik didapatkan gross
hematuria.Pemeriksaan sedimen urin menunjukkan adanya leukosituria,
hematuria, dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. 85 % pasien
dengan batu ginjal didapatkan hematuria maksoskopik dan mikroskopik.
Namun, tidak ditemukannya hematuria tidak berarti menghilangkan
kemungkinan menderita batu ginjal. Pemeriksaan kultur urin mungkin
menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.3,4
Pemeriksaan kimiawi ditemukan pH urin lebih dari 7,6 menunjukkan
adanya pertumbuhan kuman pemecah urea dan kemungkinan terbentuk

31
batu fosfat. Bisa juga pH urin lebih asam dan kemungkinan terbentuk batu
asam urat. 3,4
Pemeriksaan faal ginjal bertujuan untuk mencari kemungkinan
terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien
menjalani pemeriksaan foto PIV. Proteinuria juga disebut albuminuria
adalah kondisi abnormal dimana urin berisi sejumlah protein. Kebanyakan
protein terlalu besar untuk melewati filter ginjal ke dalam urin. Namun,
protein dari darah dapat bocor ke dalam urin ketika glomeruli rusak.
Proteinuria merupakan tanda penyakit ginjal kronis (CKD), yang dapat
disebabkan oleh diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit yang
menyebabkan peradangan pada ginjal. Sebagai akibat fungsi ginjal
menurun, jumlah albumin dalam urin akan meningkat. Perlu juga diperiksa
kadar elektrolit yang diduga sebagai faktor penyebab timbulnya batu
saluran kemih, antara lain kalsium, oksalat, fosfat, maupun urat. 3,4
Pemeriksaan darah lengkap, dapat menentukan kadar hemoglobin
yang menurun akibat terjadinya hematuria. Bisa juga didapatkan jumlah
lekosit yang meningkat akibat proses peradangan di ureter. 3,4,5
 Radiologis
Foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya
batu radioopak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan
kalsium fosfat bersifat radioopak, sedangkan batu asam urat bersifat radio
lusen.
Foto BNO-IVP untuk melihat lokasi batu, besarnya batu, apakah
terjadi bendungan atau tidak. Pada gangguan fungsi ginjal maka IVP tidak
dapat dilakukan, pada keadaan ini dapat dilakukan retrograde pielografi
atau dilanjutkan. Dengan anterograd pielografi, bila hasil retrograd
pielografi tidak memberikan informasi yang memadai. Pada foto BNO
batu yang dapat dilihat disebut sebagai batu radioopak, sedangkan batu
yang tidak tampak disebut sebagai batu radiolusen. Berikut ini adalah
urutan batu menurut densitasnya, dari yang paling opak hingga yang
paling bersifat radiolusen, kalsium fosfat(opak), kalsium oxalat(opak),

32
Magnesium (semi opak), amonium fosfat (semi opak), sistin(non opak),
asam urat (non opak). 3,4,5
 Pielografi Intravena (IVP)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan, fungsi ginjal.
Juga untuk mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non-opak
yang, tidak terlihat oleh foto polos abdomen.3,4
 Ultrasonografi
USG dikerjakan bila tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP yaitu
pada keadaan seperti allergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun dan pada wanita yang sedang hamil. Terlihat pada gambar echoic
shadow jika terdapat batu.3

 CT-scan
Teknik CT-scan adalah tehnik pemeriksaan yang paling baik untuk
melihat gambaran semua jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana
terjadinya obstruksi.3

3.10 Penatalaksanaan 21
Tujuan :
 Menghilangkan batu untuk mempertahankan fungsi ginjal
 Mengetahui etiologi untuk mencegah kekambuhan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya
harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat.
Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah
jika batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena
suatu indikasi social.
Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan
hidroureter atau hidronefrosis dan batu yang sudah menyebabkan infeksi
saluran kemih harus segera dikeluarkan. Kadang kala batu saluran kemih
tidak menimbulkan penyulit seperti diatas tetapi di derita oleh seseorang
yang karena pekerjaannya (misalkan batu yang diderita oleh seorang pilot

33
pesawat terbang) mempunyai resiko tinggi dapat menimbulkan sumbatan
saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang menjalankan profesinya,
dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti
diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan
batu yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko
tinggi dapat menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang
bersangkutan sedang menjalankan profesinya dalam hal ini batu harus
dikeluarkan dari saluran kemih. Pilihan terapi antara lain :
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti
disebutkan sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi
bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan
pemberian diuretikum, berupa :
a) Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
b) α - blocker
c) NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran
batu syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien,
ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK
menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan
adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal
tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi
terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi.

Indikasi adanya pengangkatan batu pada batu ginjal antara lain:15


• Pertambahan ukuran batu;
• Pasien risiko tinggi terjadinya pembentukan batu;
• Obstruksi yang disebabkan oleh batu;
• Infeksi saluran kemih;
• Batu yang menimbulkan gejala seperti nyeri atau hematuria;
• Ukuran batu >15 mm;

34
• Ukuran batu <15 mm jika observasi bukan merupakan pilihan terapi;
• Preferensi pasien;
• Komorbiditas;
• Keadaan sosial pasien (misalnya, profesi dan traveling)
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau prinsip
kerjanya semua sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin
generasi lama dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada generasi baru titik
fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi, sehingga
memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu ureter.
Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama, sehingga
pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas. Meskipun
demikian mesin generasi baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan
tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga untuk batu yang keras perlu
beberapa kali tindakan.
Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi
obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan
dikenakan gelombang kejut untuk memecahkan batunya  Bahkan pada
ESWL generasi terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi,
begitu lokasi ginjal sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan
ESWL di ruang operasi akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang
atau telungkup sesuai posisi batu ginjal.  Batu ginjal yang sudah pecah
akan keluar bersama air seni. Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan
dapat langsung pulang.
ESWL ditemukan di Jerman dan dikembangkan di Perancis. Pada
Tahun 1971, Haeusler dan Kiefer memulai uji coba secara in-vitro
penghancuran batu ginjal menggunakan gelombang kejut. Tahun 1974,
secara resmi pemerintah Jerman memulai proyek penelitian dan aplikasi
ESWL. Kemudian pada awal tahun 1980, pasien pertama batu ginjal
diterapi dengan ESWL di kota Munich menggunakan mesin Dornier
Lithotripter HMI. Kemudian berbagai penelitian lanjutan dilakukan secara

35
intensif dengan in-vivo maupun in-vitro. Barulah mulai tahun 1983,
ESWL secara resmi diterapkan di Rumah Sakit di Jerman. Di Indonesia,
sejarah ESWL dimulai tahun 1987 oleh Prof.Djoko Raharjo di Rumah
Sakit Pertamina, Jakarta. Sekarang, alat generasi terbaru Perancis ini sudah
dimiliki beberapa rumah sakit besar di Indonesia seperti Rumah Sakit
Advent Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga jenis
yaitu elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-masing
generator mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama
menggunakan air atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan
gelombang kejut. Air dan gelatin mempunyai sifat akustik paling
mendekati sifat akustik tubuh sehingga tidak akan menimbulkan rasa sakit
pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan
gelombang kejut antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan
ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL, masih harus ditinjau
efektivitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk
menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak
di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali
yang terhalang oleh tulang panggul). Hal laim yang perlu diperhatikan
adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu
yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu
beberapa kali tindakan. ESWL tidak boleh digunakan oleh penderita darah
tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan darah dan fungsi ginjal,
wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan berlebih (obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan
anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada
kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. Meskipun belum ada data
yang valid, untuk wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan
sejelas-jelasnya
3. Endourologi

36
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan
kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang
dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan
melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi
hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
 PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu
yang berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat
endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian
dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen
kecil. PNL yang berkembang sejak dekade 1980-an secara teoritis
dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Tapi dalam
prakteknya sebagian besar telah diambil alih oleh URS dan ESWL.
Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan
melekat masih ada tempat untuk PNL. Prinsip dari PNL adalah
membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan. Kemudian
melalui akses tersebut kita masukkan nefroskop rigid atau fleksibel,
atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil secara utuh
atau dipecah dulu. Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir
pasti dapat diambil atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua
karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Prosesnya berlangsung cepat
dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak. Kelemahannya
adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli urologi. Sebagian
besar pusat pendidikan lebih banyak menekankan pada URS dan
ESWL dibanding PNL.
 Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan
memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),
 Ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah tidak
bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu

37
alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk
menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada
pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan alat tersebut.
 Ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya
melalui alat keranjang Dormia).
4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk
tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, pengambilan
batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka
itu antara lain adalah: pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil
batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak
jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan
ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah
(pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami pengkerutan
akibat batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi atau infeksi yang
menahun.
Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih
dilakukan. Tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa
dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Meskipun demikian
dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2
persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi
atau ukuran batu ureter yang besar.
5. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter
terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam
penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis yang disertai
tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter
yang melekat (impacted).
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya

38
kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per
tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.

Gambar 3.11 Algoritma Tata Laksana Batu Ureter

3.11 Pencegahan
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang
tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan.
Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% pertahun atau kurang
lebih 50% dalam 10 tahun.

39
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasar atas kandungan unsur yang
menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada
umumnya pencegahan ini berupa:
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi
urin sebanyak 2-3 liter perhari.
2. Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu.
3. Aktivitas harian yang cukup
4. Pemberian medikamentosa

3.12 Komplikasi 2
Batu yang menyumbat pada saluran kemih dapat menyebabkan
komplikasi terhadap organ superior terhadap penyumbatan. Beberapa
komplikasi urolithiasis adalah obstruksi ureter yang dapat menyebabkan
hidroureter hingga hidronefrosis. Urin yang statis karena penyumbatan
ginjalpun dapat menjadi media yang baik untuk berkembangnya bakteri
hingga dapat menyebabkan infeksi hingga urosepsis. Pada keadaan tertentu
pyonefrosis juga dapat terjadi pada batu saluran kemih bagian atas. Perjalan
pengeluaran batu juga dapat menimbulkan trauma pada ureter hingga dapat
membetuk striktur ureter.Dalam jangka waktu yang lama batu dapat
mengiritasi mukosa vesika urinaria secara kronis, hingga dapat
menyebabkan komplikasi karsinoma sel skuamosa.

3.13 Prognosis 19
Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak
batu, dan adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu,
makin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi
dapat mempermudah terjadinya infeksi.
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60%
dinyatakan bebas dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang
karena masih ada sisa fragmen batu dalam saluran kemihnya. Pada pasien
yang ditangani dengan PNL, 80% dinyatakan bebas dari batu, namun hasil
yang baik ditentukan pula oleh pengalaman operator.

40
BAB IV
PEMBAHASAN

Dilaporkan pasien laki-laki berumur 53 tahun yang dirawat pada tanggal 29


september 2020 dengan diagnosis batu ureter dextra. Diagnosis didasarkan atas
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis ureterolithiasis dextra karena dari
anamnesis pasien mengeluhkan mual, nyeri pada pinggang kanan yang menjalar
ke lipatan paha kanan sampai kemaluan. Nyerinya sangat hebat, hilang timbul.
Ini merupakan gambaran khas dari nyeri kolik ureter. Nyeri kolik ini terjadi
karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat
dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik
itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan
dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.
Pada pasien ditemukan juga mual. Obstruksi saluran ureter sering dikaitkan
dengan mual dan muntah. Cairan intravena diperlukan untuk memulihkan keadaan
keseimbangan cairan. Cairan intravena tidak boleh digunakan untuk memaksa

41
diuresis dalam upaya untuk mendorong batu ureter ke bawah. Peristaltik ureter
bekerja secara efektif pada saat euvolemic.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto vertebra.
Hal ini sesuai dengan pemeriksaan fisik pada batu ureter. Bahwa batu ureter
dapat mengakibatkan hambatan aliran urin sehingga bisa menyebabkan kerusakan
ginjal. Sehingga apabila dilakukan pengetokan akan terasa sakit.
Dari pemeriksaan darah rutin dan kimia darah dalam batas normal. Pada
pemeriksaan rontgen thorax PA kesan diafragma letak tinggi. Namun setelah
ditelaah lebih dalam berdasarkan anamnesis riwayat penyakit dahulu dan
sekarang, pasien menyangkal memiliki keluhan dalam sistem pernapasan. Pada
pemeriksaan CTscan abdomen tanpa kontras terlihat kesan adanya hidronefrosis
ringan dan hidroureter kanan sampai distal ec batu ukuran 0,5 x 1 cm pada UVJ
kanan dimana ini mengindikasikan adanya batu di ureter dextra distal.
Pada pasien ini direncanakan untuk tindakan operasi jenis URS atau
ureterorenoskopi karena di lihat dari ukuran batu 0,5-1 cm dimana rekomendasi
lini pertama tindakan operatif pada batu ureter dengan ukuran tersebut adalah
URS berdasarkan IAUI tahun 2018.

42
BAB V
KESIMPULAN

Urolithiasis adalah keadaan dimana adanya batu pada saluran kemih dimulai
dari ginjal, ureter, vesika urinaria hingga uretra. Penyakit batu saluran kemih
menempati posisi ke dua paling sering ditemukan pada urologi dengan seiringnya
waktu karena perubahan pola hidup dan diet masyarakat. Ada beberapa jenis batu
yang dapat terakumulasi pada saluran kemih, batu kalsium oksalat, kalsium fosfat,
batu urat, batu struvit dan batu campuran. Gejala yang ditimbulkan pada penyakit
ini bergantung pada lokasi ataupun obstruksi yang ditimbulkan oleh batu tersebut.
Komplikasi batu saluran kemih yang sering tejadi adalah penyumbatan total
dari saluran sehingga menyebabkan flow back pada urin. Efek dari flow back dari
urin adalah dapat terjadinya hidroureter hingga hidronefrosis. Pada kasus tertentu
urosepsis dapat terjadi pada pasien. Gejala yang terdapat pada urolithiasis adalah
antara lain Obstructive Lower Urinary Track Syndrome, mual muntah, demam,
nyeri kolik pada pinggang, hematuria dan sensasi keluarnya pasir saat berkemih.
Penatalaksanaan urolithiasis antara lain adalah dengan medika mentosa
ataupun intervensi bedah. Tindakan bedah yang dilakukan dapat bersifat invasive

43
dan non invasiv. Tindakan invasiv seperti litotripsi, PNL, bedah laparoskopi.
Tindakan non-invasiv antara lain ESWL. Pasien dapat mencegah terjadinya batu
dengan cara mengatasi infeksi saluran kemih yang dialaminya, mengontrol kadar
zat dalam darahnya dan hidrasi yang cukup.

DAFTAR PUSTAKA

1. Menon M, R., Martin I. Urinary Lithiasis, Etiologi and Endourologi, in:


Chambell's Urology, 8 th. W.B. Saunder Company, Philadelphia, 2002.
Vol 14: p. 3230-3292
2. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Satu,
2014. Hal : 87- 101.
3. Rahayu Heni.2011. “Karakteristik Penderita Batu Saluran Kemih Rawat
Inap di RS Tembakau Deli PTP Nusantara II Medan Tahun 2006-2010”.
Diakses pada tanggal 13 mei 2016.
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:yoa7Jy8hpcQJ:repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/30750/5/Chapter%2520I.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
4. Smith RD., Urinary Stones in General Urology,. California, Lange
Medical Publications, Los Altes. 94022(10 th ed,): p. 222–31.
5. Ferri FF., Urolithiasis in Clinical Advisor Instant Diagnosis and
Treatment, Rhode Island. Department of Community Health Brown
Medical School Providence, 2004: p. 893–95.

44
6. Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Hlmn 378. Balai
Penerbit FKUI : Jakarta
7. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
8. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US:
FA Davis Company; 2007.
9. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill
Companies; 2001.
10. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II.
EGC: Jakarta
11. Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M.Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran., edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: EGC. 2001
12. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US:
FA Davis Company; 2007.
13. Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Ed. 6. Jakarta: EGC;
2011
14. Purnomo, Basuki 2007. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Sagung seto:
Jakarta
15. Turk C, Knoll T, Petrik A, Sarica K, Seitz C, Straub M. Guidelines on
Urolithiasis. European Association of Urology; 2011. P.289-293.
16. Sorensen, C. M., & Chandhoke, P. S. (2002). Hyperuricosuric calcium
nephrolithiasis. Endocrinology and metabolism clinics of North America,
31(4), 915-925
17. Takahashi, Naoki, Akira Kawashima, Randy D. Ernst, Illya C. Boridy,
Stanford M. Goldman, George S. Benson, and Carl M. Sandler.
"Ureterolithiasis: can clinical outcome be predicted with unenhanced
helical CT?." Radiology 208, no. 1 (1998): 97-102.
18. Shires, Schwartz. Intisari prinsip – prinsip ilmu bedah. ed-6. EGC :
Jakarta. 588-589
19. Knoll T. Epidemioloy, Pathogenesis and Pathophysiology of Urolithiasis.
European Urology Supplements 9 (2010). Department of Urology,
Sindelfingen-Boeblingen Medical Center, Germany. P.802-806.

45
20. Wein, Kavoussi, Novick, Partin, Peters. Campbell-Walsh Urology. Tenth
Edition. Philadelphia; 2012.
21. Tanagho E, McAninch J. Smith’s General Urology. 17 th edition. The
McGraw-Hill companies; 2008. P.246
22. Pearle, S. Margaret. Urolithiasis Medical and Surgical Management. USA:
Imforma healthcare ;2009.p.1-6
23. Rahardjo D, Hamid R. Perkembangan penatalaksanaan batu ginjal di
RSCM tahun 1997-2002. J I Bedah Indonesia. 2004;32(2):58-63
24. Wimpissinger, F., et al. The silence of the stones: asymptomatic ureteral
calculi. J Urol. 2007; 178:1341
25. Heidenreich, A., et al. Modern approach of diagnosis and management of
acute flank pain: review of all imaging modalities. Eur Urol. 2002;41:351.
26. Ray, A.A., et al. Limitations to ultrasound in the detection and
measurement of urinary tract calculi. Urology. 2010;76:295.
27. Smith-Bindman, R., et al. Ultrasonography versus computed tomography
for suspected nephro lithiasis. N Engl J Med. 2014;371:1100.

46

Anda mungkin juga menyukai