Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nyeri kepala atau cephalgia adalah nyeri yang dirasakan didaerah kepala atau

merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala

(Goadsby, 2002). Nyeri kepala merupakan gangguan sistem saraf yang paling

sering dijumpai di masyarakat tetapi untuk penanganannya belum dilakukan

secara serius karena migren tidak menyebabkan kematian secara langsung.

Klasifikasi The Internasional Headache Society (HIS) tahun 1988 membagi

nyeri kepala menjadi dua kategori utama yaitu primer dan sekunder. Nyeri

kepala sekunder terjadi karena gangguan organik lain seperti infeksi,

trombosis, penyakit metabolisme, tumor atau penyakit sistemik lain,

sedangkan nyeri kepala primer mencakup nyeri kepala karena ketegangan,

nyeri kepala cluster dan migren (Price, 2006).

Nyeri kepala primer merupakan 90% dari semua keluhan nyeri kepala, migren

merupakan salah satu nyeri kepala primer (Goadsby, 2002). Migren

menempati urutan kedua terbanyak (29,5%) dari seluruh nyeri kepala primer

setelah tipe tegang (Lipton, 2006). Prevalensi migren pada orang dewasa

adalah 10 – 12% setahun, laki – laki 6% dan perempuan 15 – 15%. Rasio

migren tanpa aura berbanding migren dengan aura adalah 5:1 (Ropper A,

2005).

1
2

Menurut Price (2006), nyeri kepala migren adalah suatu sindrom nyeri rekuren

episodik. Sementara Mansjoer (2002), menjelaskan migren merupakan

penyakit nyeri kepala berulang yang idiopatik, dengan serangan nyeri yang

berlangsung 4 – 72 jam, biasanya sesisi, berdenyut, intensitas nyeri sedang-

berat, diperhebat oleh aktivitas fisik rutin, dapat disertai nausea, fotofobia dan

fonofobia dan lokasi nyeri lebih sering bifrontal. Gejala yang paling sering

ditimbulkan pada migren adalah nyeri, terkadang disertai mual dan muntah.

Migren diklasifikasikan menjadi migren tanpa aura yang dahulu disebut

dengan migren biasa dan migren dengan aura (International Headache

Society, 2004). Migren tanpa aura merupakan nyeri kepala vaskuler, unilateral,

rekuren, dengan gejala khas yaitu kepala yang berdenyut, intensitas nyeri

sedang sampai berat, makin nyeri jika digunakan untuk beraktifitas, ada gejala

mual atau muntah, fotofobia atau fonofobia.

Laporan WHO menunjukan bahwa 3000 serangan migren terjadi setiap hari

untuk setiap juta populasi di dunia (WHO 2001). Di negara barat angka

kejadian migren berkisar antara 8 – 14% (WHO, 2001), sedangkan menurut

penelitian Cheung (2000) tentang prevalence of migraine, tension type

headache and other headache in Hongkong Asia lebih rendah yaitu 4 – 8%.

Data di Indonesia yaitu dari penelitian Zuraini dkk (2005), yang membahas

tentang karakteristik nyeri kepala migren dan tension type headeche

menunjukan angka kejadian migren di Medan sebesar 18,26% pada

perempuan dan 14,87% pada laki – laki sedangkan di Jakarta 52,5% pada
3

perempuan dan 35,8% pada laki. Serangan migren pertama kebanyakan

dialami pasien pada 3 dekade pertama kehidupan dan angka kejadian tertinggi

didapatkan pada usia produktif yaitu rentang usia 25 – 55 tahun (Lipton et al.,

2006).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 12 - 14 April

2016 terdapat 10 orang klien yang terdiagnosa cephalgia primer (migren)

dimana 70% migren banyak diderita pada perempuan dan 30% pada laki –laki.

Sedangkan untuk usia klien migren ada pada rentang 23 – 55 tahun. Adapun

skala nyeri pada rentang berbeda – beda yaitu 30% pada skala nyeri 6, 50%

pada skala nyeri 7 dan 20% pada skala nyeri 8. Selain itu meskipun mereka

berada di skala nyeri 6 mereka tidak bisa melakukan aktivitas. Sebagian besar

dari responden bekerja sebagai ibu rumah tangga, petani, pedagang dan

nelayan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi nyeri sebagian besar minum

obat warung, istirahat dan dikerik dengan menggunakan minyak angin.

Keluhan pertama yang dirasakan oleh penderita migren adalah nyeri pada

daerah kepala. Nyeri merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan yang

bersifat subyektif yang dapat mengganggu aktivitas. Walaupun merupakan

pengalaman subyektif dengan komponen sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan, nyeri memperlihatkan beberapa bukti obyektif, hal tersebut

dapat dibuktikan dengan mengamati ekspresi wajah pasien, mendengarkan

tangisan atau erangan dan mengamati tanda – tanda vital seperti tekanan

darah, kecepatan denyut jantung (Price, 2006). Menurut Mc Caffery (1979)


4

nyeri adalah pengalaman apapun yang dikatakan oleh pasien dan timbul pada

saat hal tersebut diungkapkan.

Migren pada saat ini menduduki urutan ke 20 dari semua penyakit yang

menyebabkan disabilitas di dunia (Migren Research Foundation), penelitian

sebelumnya juga melaporkan hal yang sama (Stovner, 2007), bahwa penderita

migren mengalami gangguan dalam melakukan aktivitas sehari – hari saat

serangan timbul.

Dampak nyeri pada perilaku dapat diamati dari ungkapan verbal pasien,

respon vokal, gerakan muka dan tubuh serta interaksi sosial. Nyeri yang tidak

diatasi akan menurunkan energi yang akhirnya mempengaruhi aspek

kehidupan. Pasien yang merasakan nyeri sering kali kesulitan melakukan

aktivitas sehari –hari. Nyeri yang menetap juga akan mengganggu konsentrasi

pasien (Craven & Hirnle, 2000).

Manajemen nyeri yang efektif dapat meningkatkan kualitas hidup, mengurangi

ketidaknyamanan secara fisik, menstimulus mobilisasi lebih awal sehingga

dapat kembali bekerja, serta berakibat pada menurunnya jumlah kunjungan ke

rumah sakit atau klinik dan meperpendek jangka waktu perawatan di rumah

sakit (Potter, 2010). Untuk mengatasi serangan sakit kepala orang biasanya

mengggunakan terapi farmakologi seperti minum obat pereda nyeri, tetapi

tidak jarang orang mengatasi nyeri dengan terapi non farmakologik seperti

biofeedback, pijat, akupunktur, aerobic, peregangan, yoga, latihan relaksasi,

terapi panas dingin dan aromaterapi.


5

Aromaterapi adalah salah satu terapi komplementer yang menggunakan

minyak essensial dari bau harum tumbuhan untuk mengurangi masalah

kesehatan dan meperbaiki kualitas hidup (Argi, 2013). Kajian etnofarmakologi

secara empiric tentang tumbuhan aromaterapi menunjukkan bahwa Indonesia

memiliki 49 jenis tumbuhan aromatic dari 22 jenis suku, 12 jenis diantaranya

digunakan secara empiric sebagai aromaterapi dengan efek menenangkan dan

menyegarkan tubuh (Muchtaridi, 2006). Aromaterapi merupakan salah satu

jenis pengobatan alternative yang menggunakan bahan cairan tanaman yang

mudah menguap, dikenal sebagai minyak esensial dan senyawa aromatic

lainnya dari tumbuhan yang bertujuan untuk mempengaruhi suasana hati atau

kesehatan seseorang, yang sering digabungkan dengan praktek pengobatan

alternative. Beberapa hasil penelitian aromaterapi mempunyai efek relaksasi

dan sedasi (Buckle, 1999). Aromaterapi telah digunakan sebagai bagian dari

terpadu, pendekatan multidisiplin untuk manajemen nyeri. Terapi ini dianggap

mampu meningkatkan respon parasimpatis melalui efek sentuhan dan bau,

mendorong relaksasi pada tingkat yang mendalam (Argi, 2013).

Aromaterapi digunakan untuk mempengaruhi emosi seseorang dan membantu

meredakan gejala penyakit. Sari minyak yang digunakan dalam aromaterapi

ini berkhasiat untuk mengurangi stress, melancarkan sirkulasi darah,

meredakan nyeri, mengurangi bengkak, menyingkirkan zat racun dari tubuh,

mengobati infeksi virus atau bakteri, luka bakar, tekanan darah tinggi,

gangguan pernafasan, insomnia (susah tidur), gangguan pencernaan dan

penyakit lainnya. Aromaterapi mempengaruhi sistem limbik di otak yang


6

mempengaruhi emosi, suasana hati dan memori, untuk menghasilkan

neurohormon di endorphin dan encephalin yang berfungsi untuk

menghilangkan rasa sakit dan serotonin yang berfungsi menghilangkan stress

serta kecemasan (Perez, 2003, dalam Astuti 2015).

Beberapa hasil penelitian, aromaterapi dapat menurunkan intensitas nyeri

secara efektif. Ini dibenarkan dengan hasil penelitian yang dilkakukan oleh

Argi (2013) dengan judul “pengaruh aromaterapi lavender terhadap intensitas

nyeri pada pasien pasca operasi”, desain penelitian pre-eksperimental bentuk

rancangan one group pretest-posttest design dengan purposive sampling dan

uji paired t-test pada 10 orang responden. Hasil yang didapatkan ada

perbedaan intensitas nyeri antara sebelum dan sesudah diberikan aromaterapi

lavender, dimana aromaterapi lavender sangat efektif untuk menurunkan

intensitas nyeri dan kecemasan. Selain penelitian dari Argi ada juga hasil

penelitian pre-ekperimental yang dilakukan oleh Dwijayanti (2014) yang

berjudul” Efek Aromaterapi Lavender Inhalasi Terhadap Intensitas Nyeri

Pasca Sectio Caesaria” dengan one group pretest – postest design dengan

sampel sebanyak 32 diambil secara convenience sampling dan menggunakan

uji pairet t-test, hasil penelitian menunjukkan perbedaan intensitas nyeri pasca

seksio caesar setelah pemberian aromaterapi lavender.

Menjawab pemasalahan penelitian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian pengaruh relaksasi (aromaterapi lavender) terhadap penurunan skala


7

nyeri pada klien dengan cephalgia primer (migren) di Puskesmas Margadana

Kota Tegal Tahun 2016

B. RUMUSAN MASALAH

Nyeri kepala atau cephalgia adalah nyeri yang dirasakan didaerah kepala atau

merupakan suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala

(Goadsby, 2002). Nyeri kepala merupakan gangguan sistem saraf yang paling

sering dijumpai dimasyarakat tetapi untuk penanganannya belum dilakukan

secara serius karena migren tidak menyebabkan kematian secara langsung.

Menurut Mc Caffery (1979), nyeri adalah pengalaman apapun yang dikatakan

oleh pasien dan timbul pada saat hal tersebut diungkapkan.

The Internasional Headache Society (IHS) tahun 1988 membagi nyeri kepala

(cephalgia) menjadi dua kategori utama yaitu primer dan sekunder. Dari

kedua klasifikasi tersebut, nyeri kepala (cephalgia) primer (migren) yang

paling sering terjadi di masyarakat adapun laporan WHO (2001) menunjukan

bahwa 3000 serangan migren terjadi setiap hari untuk setiap juta populasi di

dunia, Di negara barat angka kejadian migren berkisar antara 8 – 14%.

Sedangkan menurut (Cheung, 2000), di Asia lebih rendah yaitu 4 – 8% .

Sementara di Indonesia hasil penelitian Zuraini, dkk (2005), angka kejadian

migren di Medan sebesar 18,26% dan di Jakarta 52,5%. Pasien yang

merasakan nyeri sering kali kesulitan melakukan aktivitas sehari – hari. Nyeri

yang menetap juga akan mengganggu konsentrasi pasien (Craven & Hirnle,

2000).
8

Migren pada saat ini menduduki urutan ke 20 dari semua penyakit yang

menyebabkan disabilitas di dunia ( Migren Research Foundation), penelitian

sebelumnya juga melaporkan hal yang sama (Stovner, 2007), bahwa penderita

migren mengalami gangguan dalam melakukan aktivitas sehari – hari saat

serangan timbul.

Dampak nyeri pada perilaku dapat diamati dari ungkapan verbal pasien,

respon vokal, gerakan muka dan tubuh serta interaksi sosial. Nyeri yang tidak

diatasi akan menurunkan energi yang akhirnya mempengaruhi aspek

kehidupan. Pasien yang merasakan nyeri sering kali kesulitan melakukan

aktivitas sehari –hari. Nyeri yang menetap juga akan mengganggu konsentrasi

pasien (Craven & Hirnle, 2000).

Manajemen nyeri yang efektif dapat meningkatkan kualitas hidup, mengurangi

ketidaknyaman secara fisik, menstimulus mobilisasi lebih awal sehingga dapat

kembali bekerja, serta berakibat pada menurunnya jumlah kunjungan ke

rumah sakit atau klinik dan meperpendek jangka waktu perawatan di rumah

sakit (Potter, 2010). Untuk mengatasi serangan sakit kepala terapi non

farmakologik sangat efektif, minim efek samping dan mudah untuk dilakukan

seperti biofeedback, pijat, akupunktur, aerobic, peregangan, yoga, latihan

relaksasi, terapi panas dingin dan aromaterapi.

Aromaterapi adalah terapi komplementer dalam praktek keperawatan dan

menggunakan minyak essensial dari bau harum tumbuhan untuk mengurangi


9

masalah kesehatan dan meperbaiki kualitas hidup (Argi, 2013). Minyak

essensial merupakan hasil sulingan ekstrak tanaman yang biasanya disebut

dengan minyak atsiri (Price, 2006). Berbagai teknik relasasi dengan

(aromaterapi lavender) sudah sering digunakan dalam tatanan klinik dan

efeknya terhadap nyeri dan kecemasan sudah dijelaskan dalam literature dan

hasil riset, namun apakah efektifitas dapat lebih dicapai apabila relaksasi

(aromaterapi lavender) digunakan untuk mengatasi respon nyeri pada pasien

dengan cephalgia primer (migren).

Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 12 - 14 April 2016 terdapat

10 orang klien yang terdiagnosa cephalgia primer (migren) dimana 70%

migren banyak diderita pada perempuan dan 30% pada laki –laki. Sedangkan

untuk usia pasien migren ada pada rentang 23 – 55 tahun. Adapun skala nyeri

pada rentang berbeda – beda yaitu 30% pada skala nyeri 6, 50% pada skala

nyeri 7, dan 20% pada skala nyeri 8. Selain itu meskipun mereka berada

diskala nyeri 6 mereka tidak dapat melakukan aktivitas.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. TUJUAN UMUM

Mengetahui pengaruh relaksasi (aromaterapi lavender) terhadap penurunan

skala nyeri pada klien dengan cephalgia primer (migren) di Puskesmas

Margadana Kota Tegal


10

2. TUJUAN KHUSUS

a. Teridentifikasinya karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin

dan pengalaman nyeri pada klien cephalgia primer (migren) di

Puskesmas Margadana Kota Tegal

b. Teridentifikasinya skala nyeri pada klien cephalgia primer (migren)

sebelum dan setelah dilakukan relaksasi (aromaterapi lavender) di

Puskesmas Margadana Kota Tegal

c. Teridentifikasinya efektifitas aromaterapi lavender terhadap penurunan

skala nyeri pada klien cephalgia primer (migren) setelah dilakukan

tindakan intervensi di Puskesmas Margadana Kota Tegal

d. Teridentifikasinya pengaruh variabel confounding (usia, jenis kelamin,

dan pengalaman nyeri) terhadap penurunan skala nyeri pada klien

cephalgia primer (migren) di Puskesmas Margadana Kota Tegal

e. Teridentifikasinya perbedaan rata – rata skala nyeri klien sebelum dan

setelah deberikan relaksasi (aromaterapi lavender) pada klien

cephalgia primer (migren) di Puskesmas Margadana Kota Tegal

D. MANFAAT PENELTIAN

1. Institusi pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman atau acuan serta bahan

pembelajaran dalam pendidikan keperawatan dalam melaksanakan asuhan

keperawatan
11

2. Institusi pelayanan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai panduan perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami nyeri akibat

cephalgia primer (migren) dengan menggunakan terapi komplementer

relaksasi aromaterapi lavender.

3. Pengembangan ilmu keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan literatur untuk

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan aromaterapi lavender sebagai

salah satu terapi koplementer yang dapat digunakan dalam mengatasi nyeri

terutama nyeri pada klien migren.

Anda mungkin juga menyukai