Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PELAYANAN
KESEHATAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
TUBERKULOSIS SENSITIF OBAT (TB SO) DAN
TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT (TB RO) DI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN.
LAMPIRAN
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL
PELAYANAN KESEHATAN
NOMOR
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
INFEKSI TUBERKULOSIS SENSITIF OBAT
(TB SO) DAN TUBERKULOSIS RESISTEN
OBAT (TB RO) DI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan 10 penyebab kematian di dunia pada tahun
2018. Penyakit ini juga sebagai penyebab kematian pada orang – orang
dengan HIV dan penyebab terbesar kematian yang dikaitkan dengan
rsisten antimikroba. Estimasi kejadian baru penyakit TB pada tahun
2018 sebesar 9 – 11, 1 juta orang di seluruh dunia dimana terdapat 5,7
juta terjadi pada laki – laki, 3,2 juta pada perempuan dan 1,1 juta pada
anak – anak serta 9 % dari total keseluruhan angka kejadian TB pada
orang – orang hidup dengan HIV. Ada 8 negara yang dengan penemuan
kasus baru sekitar 66 % antara lain India, Cina. Indonesia, Filipina,
Pakistan, Nigeria, Bangladesh dan Afrika Selatan.
Pada tahun 2018 terdapat 1,5 juta orang di dunia meninggal karena
TB termasuk 251.000 orang dengan HIV. Angka kematian TB secara
global menurun 42 % di antara tahun 2000 dan 2018. Pengobatan TB
menyelamatkan 58 juta kehidupa secara global antara tahun 2000 dan
2018. Angka keberhasilan pengobatan untuk orang yang baru didiagnosa
TB adalah 85 %. Pada tahun 2018, ada 484.000 orang yang berkembang
dari TB menjadi TB resisten obat terutama Resisten Rifampicin (RR) yang
merupakan obat lini pertama yang sangat efektif dan 78 % lainnya
resisten multi obat (MDR). Sekitar 187.000 kasus dari TB MDR/ RR yang
terdeteksi dan tercatat pada tahun 2018. Ada sekitar 156.000 yang
-6-
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Memberikan panduan secara teknis tentang pelaksanaan
pengendalian dan pencegahan infeksi TB SO dan TB RO di
Fasyankes.
2. Tujuan Khusus
Terwujudnya penerapan kewaspadaan transmisi penularan
Tuberculosis.
C. Sasaran
1. Manajemen Fasyankes
2. Dinas Kesehatan
3. Komite/tim PPI
4. Tenaga Medis
5. Tenaga Kesehatan
D. Penularan TB
Cara penularan terutama secara airborne. Sumber penularan adalah
pasien TB Paru yang saat batuk, bersin, berbicara mengeluarkan percikan
dahak (droplet nuklei, percik renik) yang mengandung kuman M.
tuberculosis dan terhirup oleh mereka yang berada di dekatnya. Percik
renik ini berukuran 1-5 mikron dan dapat bertahan di udara selama
beberapa jam.
Meningkatnya peluang paparan kuman M. Tuberculosis terkait
dengan:
1. Jumlah kasus menular di masyarakat
2. Peluang kontak dengan kasus menular
3. Tingkat daya tular dahak sumber penularan
4. Intensitas batuk sumber penularan
5. Kedekatan kontak dengan sumber penularan
6. Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
Beberapa keadaan TB yang dapat meningkatkan risiko penularan
adalah:
1. Batuk produktif.
2. BTA positif.
3. Kavitas.
4. Tidak mendapat OAT.
-8-
BAB II
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENULARAN TUBERKULOSIS SENSITIF
OBAT (TB SO) DAN TUBERKULOSIS RESISTEN OBAT (TB RO)
DI FASYANKES
A. Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif merupakan prioritas utama dalam
mengurangi penyebaran TB di fasyankes. Pelaksanaan pengendalian
infeksi secara administratif seperti identifikasi pasien dengan gejala TB
sehingga dapat dipisahkan dan segera mendapatkan pengobatan.
Pengendalian administratif adalah upaya utama yang penting dilakukan
- 10 -
B. Pengendalian Lingkungan.
Pengendalian Lingkungan adalah upaya peningkatan dan pengaturan
aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah
penyebaran dan mengurangi / menurunkan kadar percik renik di udara.
Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi utraviolet
sebagai germisida. Pemilihan metode pengendalian lingkungan berkaitan
dengan desain bangunan dan konstruksi. Metode juga berhubungan
dengan iklim dan keadaan sosioekonomi.
Tujuan dari pengendalian lingkungan adalah untuk mengurangi
konsentrasi droplet nuclei di udara dan mengurangi keberadaan benda-
benda yang terkontaminasi sesuai dengan epidemiologi infeksi. Lokasi di
poli rawat jalan, rawat inap pasien TB, HIV dan TB-MDR dan
laboratorium.
1. Langkah dari pengendalian lingkungan adalah:
a. Ruangan untuk kewaspadaan berdasarkan transmisi airborne.
Ruangan dengan ventilasi alami atau mekanis dengan
pergantian udara (12 ACH) dengan sistem pembuangan udara
keluar atau penggunaan penyaring udara (HEPA Filter) sebelum
masuk ke sirkulasi udara area lain di RS.
b. Kebersihan dan desinfektasi (Cleaning and disinfection).
Saat ini untuk mengurangi risiko tinggi penularan, pergantian
udara minimal 12 ACH yang berarti 80l/detik/pasien untuk
volume 24m3. Pemilihan sistem ventilasi yang alamiah, mekanik
- 14 -
ACH = 0,65 x kecepatan angin (m/s) x luas bukaan terkecil (m2) x 3600 det/jam
Volume ruangan (m3)
Ventilation Rate (l/s) = 0,65 x kecepatan angin (m/s) x luas bukaan terkecil (m2)
x 1000 l/m3
ACH = 0,05 x kecepatan angin (m/s) x luas bukaan (m2) x 3600 det/jam
Volume ruangan (m3)
Ventilation Rate (l/s) = 0,05 x kecepatan angin (m/s) x luas bukaan (m2) x 1000
l/m3
Gambar 6. Berbagai jenis alat perlindungan diri, masker bedah (atas) dan
respirator N-95 (bawah)
- 20 -
BAB III
BANGUNAN DAN PRASARANA PELAYANAN TB SO DAN TB RO
C. Desain
Desain arsitektur mempunyai pengaruh yang signifikan dalam
penggunaan sistem ventilasi dalam bangunan. Pemilihan desain ventilasi
sangat tergantung pada iklim setempat. Ada empat jenis iklim yaitu panas
dan lembab, panas dan kering, sedang dan dingin. Ketika jenis ventilasi
dievaluasi terhadap variabel jenis iklim, maka prioritas terhadap aspek
kenyamanan termal dan pengendalian infeksi harus dipertimbangkan,
tetapi mengabaikan kinerja hemat energi.
Dikaitkan dengan kondisi iklim di Indonesia yaitu panas dan lembab,
maka berikut di bawah ini beberapa pertimbangan dalam desain :
1. Tata ruang: ruang yang relatif “kotor” harus ditempatkan sedemikian
rupa sehingga aliran udara balik yang tercemar dan bau tidak
mengkontaminasi ke ruang lain.
Jarak antar massa bangunan ruang infeksi (yang menggunakan
ventilasi alami) dengan massa bangunan lain tidak boleh berdekatan,
tentunya dipengaruhi oleh ketinggian bangunan. WHO
merekomendasikan minimal 8 meter.
- 27 -
Gambar 10. Ventilasi alami pada tipe koridor satu sisi di rumah sakit
7. Orientasi Bangunan.
Orientasi bangunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pengendalian sinar matahari dan silau yang masuk ke dalam
bangunan. Untuk memperluas ventilasi alami dan optimalisasi
cahaya matahari di siang hari, maka pertimbangan dalam desain
yaitu rancangan fasad yang memanjang (slope) dengan orientasi
jendela-jendela menghadap utara-selatan. Dalam hal ini luas
permukaan selubung bangunan berbahan kaca seminimal mungkin
dan jendela-jendela pada fasad timur-barat di hindari.
Penggunaan warna finishing permukaan selubung bangunan juga
penting untuk dipertimbangkan, karena warna terang memantulkan
radiasi sinar matahari lebih baik.
8. Kebisingan dan Akustik.
Posisi penempatan bukaan ventilasi juga harus mempertimbangkan
faktor kebisingan eksternal dan akustik. Bukaan/lubang ventilasi
sebaiknya jauh dari jalur kebisingan utama. Apabila kebisingan tidak
dapat dihindari secara maksimal, penggunaan partisi dan plafon
penyerap suara dan atau buffer penghijauan.
9. Keselamatan Kebakaran.
Merancang bangunan dengan bukaan yang menghubungkan kamar-
kamar dapat bertentangan dengan persyaratan keselamatan
kebakaran dan pengendalian asap. Merancang bangunan berventilasi
alami agar sejalan dengan persyaratan kompartemenisasi untuk
pengendalian asap. Jalur kebakaran perlu diperhatikan, karena
desain ventilasi alami juga berdampak pada pola aliran asap.
10. Keamanan.
Bukaan-bukaan ventilasi dapat beresiko terhadap keamanan
bangunan rumah sakit, terutama di lantai dasar. Desain bukaan
ventilasi harus tetap aman.
11. Halaman.
Halaman adalah area tertutup yang dapat membantu menyalurkan
dan mengarahkan aliran udara sekitar bangunan, dalam hal ini juga
mempengaruhi iklim mikro di sekitar bangunan.
Berdasarkan posisi relatif ruangan perawatan dan koridor ke
halaman, jenis sistem ventilasi alami ini dapat dibagi menjadi
subtipe koridor dalam dan koridor luar (lihat gambar berikut
dibawah ini). Sistem ini dapat memasok lebih banyak ventilasi,
- 31 -
Resirku
Hubungan Total Seluruh lasi
Kelemba Pertukar
Tem tekanan pertuka udara di udara
ban an udara
pera terhadap ran buang di
Fungsi Ruang Udara dari luar
tur area udara langsung dalam
Relatif per jam
(°C) bersebela per jam ke luar unit
(%) (min)
han (min) bangunan ruanga
n
RAWAT INAP
Toiletf - - N Pilihan 10 Ya Tidak
Isolasi Infeksius 21- 55±5 N 2 6 Ya Tidak
24
Ruangan antara - - ± 2 10 Ya Tidak
Isolasi
LABORATORIUM
Laboratorium, 55±5 N 2 6 Ya Tidak
Bacteriologi 22±2
Bronchoscopy, 20- - N 2 12 Ya Tidak
sputum collection, 23
dan administrasi
pentamidine
RUANG RAWAT
JALAN
Pendaftaran dan 24±2 55±5 N 2 6 Ya Pilihanh
ruang tunggu
Ruangan poliklinik 24±2 55±5 N 2 6 Ya Tidak
Ket: P = Positif. N = Negatif, E = sama, ± = kontrol langsung secara terus menerus dibutuhkan
BAB IV
PROSEDUR PENCEGAHAN INFEKSI UNTUK TB SO DAN TB RO
2. Penempatan Pasien
Pasien dengan penyakit TB SO dan TB RO ditempatkan di ruang
isolasi tersendiri atau menggunakan sistim kohorting (menempatkan
beberapa pasien di dalam satu ruangan perawatan dengan
jenis/kasus penyakit yang sama) dengan ventilasi udara alamiah
minimal pertukaran udara 12 ACH atau ruangan bertekanan
negatif dengan menggunakan HEPA filter . Ruang isolasi adalah
ruang khusus yang digunakan untuk merawat secara terpisah
pasien dengan kasus tertentu dengan tujuan untuk mencegah
penyebaran penyakit atau infeksi dan mengurangi risiko pajanan
bagi pemberi layanan kesehatan sehingga dapat memutus siklus
penularan kepada pasien, petugas, pengunjung serta masyarakat
sekitarnya. Selama dalam perawatan di ruang isolasi pasien tidak
boleh di tunggu oleh keluarga.
a. Penempatan pasien di rawat jalan
1) Adanya sistem triase untuk deteksi pasien dengan terduga
TB SO dan TB RO atau kewaspadaan airborne di rawat
jalan dengan menempatkan petugas yang akan
mengarahkan pasien ke ruang tunggu yang terpisah.
2) Pasien diberikan masker bedah sesegera mungkin dan
diberikan edukasi tentang etika batuk pada saat menunggu
pelayanan rawat jalan, tempatkan pasien di ruangan
khusus (tidak bersama pasien lain) dan jika
memungkinkan segera lakukan pelayanan kesehatan.
3) Pada saat di ruang pemeriksaan, tempatkan pasien searah
sirkulasi udara keluar (exhaust/jendela yang berlawanan
arah dengan kipas angin/AC).
4) Batasi jumlah petugas yang berada di ruangan
pemeriksaan.
5) Petugas menggunakan masker bedah atau respiratori
particulat jika ada risiko terpapar aerosol saat
melakukan/mendampingi pemeriksaan atau berada
diruangan pemeriksaan.
- 38 -
d. Eye washer
Alat ini harus ditempatkan di dalam ruang kerja laboratorium
TB, digunakan untuk melakukan netralisasi bila terjadi
kecelakaan kerja berupa percikan larutan asam atau basa kuat
dan bahan infeksius pada mata.
e. Lemari penyimpan bahan media dan reagensia
Diletakkan di area bersih, terbuat dari logam yang tidak mudah
berkarat dan kaca.
f. Tekanan negatif
Laboratorium CDST (Culture and Drug Susceptibility Test)
dengan pendanaan yang cukup dapat meningkatkan level
laboratorium menjadi laboratorium BSL 2+. Laboratorium
BSL 2+ harus memiliki pertukaran udara 6 – 12 kali per jam
dan ruangan utama laboratorium harus bertekanan negatif
dibandingkan dengan ruang anteroom. Tekanan negatif
dalam ruang utama laboratorium menyebabkan udara
anteroom dapat masuk ke dalam laboratorium utama.
Fungsi tekanan negatif tersebut adalah untuk menjaga
keamanan lingkungan di sekitar laboratorium dan
kemungkinan kontaminasi yang berasal dari dalam
laboratorium
2. Laboratorium Molekuler TB
Pemeriksaan diagnosis TB berbasis biomolekuler dilakukan
dengan mendeteksi asam nukleat M. tuberculosis. Pemeriksaan
yang dilakukan di Indonesia saat ini menggunakan sistem Xpert
MTB/RIF yang mendeteksi M. tuberculosis dan identifikasi
kepekaan terhadap Rifampisin. Alat Xpert MTB/RIF berada di
ruang kerja laboratorium TB. Pengolahan contoh uji dari pasien
TB ekstra paru dilakukan di dalam BSC (Biosafety Cabinet).
Ventilasi sesuai dengan pengaturan aliran udara di laboratorium
mikroskopis TB.
3. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium
a. Penanganan tumpahan:
1) Untuk membersihkan tumpahan bahan infeksius,
petugas harus memakai alat pelindung diri, menutup
tumpahan dengan kain/kertas yang mudah menyerap.
Tuang larutan segar hipoklorit 1% sampai membasahi
- 47 -
BAB V
REKOMENDASI
Rekomendasi:
1. Triage untuk pasien dengan gejala atau penyakit TB SO dan TB RO
direkomendasikan untuk menurunkan transmisi MTB kepada petugas
kesehatan, pengunjung ataupun orang dengan risiko penularan yang
tinggi.
2. Pemisahan/Isolasi bagi pasien terduga terinfeksi TB SO dan TB RO
direkomendasikan untuk menurunkan transmisi MTB terhadap petugas
kesehatan ataupun pengunjung Rumah Sakit.
3. Inisiasi pengobatan TB SO dan TB RO secara dini pada penderita TB
direkomendasikan untuk menurunkan transmisi MTB terhadap petugas
kesehatan, pengunjung ataupun orang dengan risiko penularan yang
tinggi.
4. Etika batuk pada pasien terduga ataupu dinyatakan TB
direkomendasikan untuk menurunkan transmisi MTB terhadap petugas
kesehatan, pengunjung ataupun orang dengan risiko penularan yang
tinggi.
5. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi airborne pelu diupayakan
ventilasi yang adekuat di semua area pelayanan pasien di fasyankes.
6. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan
angka ventilation rate per jam yang minimal tercapai, yaitu:
a. 160/l/detik/pasien untuk ruangan yang memerlukan kewaspadaan
airborne (dengan ventilation rate terendah adalah 80l/detik/pasien).
b. 60/l/detik/pasien untuk ruangan perawatan umum dan poliklinik
rawat jalan.
c. 2.5l/detik untuk jalan atau selasar atau koridor yang hanya dilalui
sementara oleh pasien. Bila pada suatau keadaan tertentu ada
pasien yang dirawat di selasar RS maka berlaku ketentuan yang
sama untuk ruang kewasapadaan airborne atau ruang perawatan
umum.
7. Desain ruangan harus memperhitungkan fluktuasi dalam besarnya
ventilation rate. Bila ventilasi alamiah saja tidak dapat menjamin angka
ventilasi yang direkomendasikan maka dianjurkan menggunakan ventilasi
campuran atau ventilasi mekanik saja.