Anda di halaman 1dari 16

Kosmologi dan Prinsip Logika Aristoteles

Oleh:
Zaimul Am
Abstrak
Filsafat Aristoteles secara umum dapat dianggap sebagai filsafat yang berusaha
menengahi kesenjangan antara apa yang ada di dalam pikiran (universalitas
wujud) dan apa yang ada di dalam realitas (partikularitas wujud). Pada mulanya
perbedaan pemikiran seperti ini terjadi pada dua orang filsuf kuno Yunani:
Permenides, yang menyatakan bahwa yang ada berifat kekal, tak berubah dan
universal dan Herakleitos yang berpendapat sebaliknya bahwa yang ada adalah
yang bersifat fana, berubah dan partikular. Upaya Plato untuk menengahi
perbedaan pendapat ini dengan menyatakan adanya dua alam, yakni alam ide
(yang mirip dengan ajaran Islam tentang alam akhirat) dan alam materi, ditolak
oleh Aristoteles.
Kata Kunci: Kosmologi, Epistemologi, Metafisika, Univesal, Partikular, Deduksi
dan Induksi.
A. Pendahuluan
Werner Jaeger menyatakan bahwa fase pertama perjalanan (travel period)
riwayat hidup Aristoteles merupakan awal gerakannya menjauh dari Platonisme,
terutama dalam pandangan tentang metafisika dan epistemologi yang lebih
mengarah kepada empirisisme. Perkembangan ini berlanjut hingga fase kedua
kehidupan Aristoteles di Athena, yakni ketika Aristoteles memimpin kampusnya
sendiri dan meninggalkan Platonisme demi menjadi seorang empirisis.1
Apa yang dikemukakan Jaeger ini mengundang persoalan tentang kapan dan
benarkah dia meninggalkan Platonisme untuk menjadi seorang empirisis radikal?
Kebanyakan pakar meragukan ini sebab mereka yakin bahwa tak ada jalan terang
dari Platonisme kepada empirisisme yang dapat ditemukan di dalam karya-karya
Aristoteles. Platonisme telah sangat lama berpengaruh terhadap seluruh pemikiran
Aristoteles, sebagaimana terlihat jelas dalam karya-karyanya, terutama
Metaphysics. Benar bahwa Aristoteles mengkritik Platonisme, namun hal ini
tentunya sangat berbeda dari pernyataan bahwa dia telah menyingkirkan semua
pemikiran Plato. Bahkan beberapa hasil kajian justru telah menarik kesimpulan
yang sangat bertentangan dengan apa yang disimpulkan oleh Jaeger, yakni bahwa
Aristoteles justru beralih dari empirisisme kepada Platonisme.2
B. Kosmologi Aristoteles
Kosmologi Aristoteles membagi alam ke dalam dua bagian: alam langit
(sphere of heavenly bodies) dan alam bawah bulan (sublunary world). Alam
langit, mirip dengan Alam Ide Platonik, memiliki unsur yang kekal dan tetap yang
oleh Aristoteles disebut eter. Sedangkan alam adalah alam yang penuh perubahan
dan fana.3 Sesuai dengan sifatnya, semua yang ada di alam bawah bulan
mengalami perubahan dan pergantian. Organisme tumbuh lalu mati dan
“menyerahkan” jasad mereka kepada lingkungan agar bagian-bagian kecil
keempat unsur dapat terus berubah melalui siklus transmutasi. Sedangkan di atas
bulan, ada sistem wujud spiritual (divine beings). Karena jisim langit (heavenly
bodies) itu hidup, maka hidup dan aktifitasnya bersifat kekal. Bagi orang Yunani,
inilah sifat para dewa. Mereka selalu mengaitkan langit dengan para dewa dan
argumen sistematik Aristoteles bagi kekekalan langit telah memperkuat keyakinan
masyarakat awam Yunani ketika itu. 4
Dalam kosmologi Aristoteles juga ada konsep tentang tatanan yang baik
(good order) yang selalu dijelaskannya dari waktu ke waktu. Dalam Metaphysics,
Aristoteles membuat analogi antara komandan dalam tentara dengan Tuhan
(supreme deity) yang memimpin alam semesta—mungkin sebagai penggerak
langit planet-planet, atau mungkin “tuhan” dalam sebuah pengertian kolektif yang
berarti semua penggerak langit. Kebaikan yang dihasilkan adalah keabadian
tatanan alam. Artinya bahwa Tuhan atau para dewa secara langsung menjamin
keberlangsungan gerak abadi semua lapisan langit (heavenly spheres) yang berarti
pula menjamin prinsip saling mempengaruhi antara hal-hal yang bertentangan
(contraries) di dalam alam bawah bulan dan keberlangsungan kekal semua spesis
yang hidup di dalamnya.5
Pada sisi yang lain, karena argumen Aristoteles menyatakan adanya gerak
dan bahwa segala sesuatu yang digerakkan berarti digerakkan oleh sesuatu selain
dirinya sendiri, maka tentu harus ada yang menggerakkan, apakah rangkaian
penggerak yang tidak ada batasnya atau ada batasnya yakni yang berujung pada
suatu penggerak akhir. Tetapi mustahil rangkaian penggerak itu tidak ada
batasnya. Maka mestilah ia berujung pada suatu penggerak akhir. Penggerak akhir
ini tidak bergerak tapi memiliki kekuasaan mutlak karena dia “bertanggungjawab”
atas keabadian gerak alam semesta.6
Kosmologi Aristoteles kemudian dipahami sebagai salah satu bukti adanya
Tuhan yang “menciptakan” dalam arti menggerakkan alam semesta atau
menjamin keabadian geraknya. Thomas Aquinas, misalnya, mengakui argumen
Aristoteles di atas sebagai bagian dari bukti adanya Tuhan. Menurut Aquinas,
gerak di dalam alam hanya dapat berlaku jika ada penggerak pertama yang tidak
bergerak. Rangkaian sebab-sebab efisien di dalam alam mestilah mengarah
kepada suatu sebab yang tidak disebabkan lagi oleh sesuatu yang lain. Demikian
pula wujud yang bersifat mungkin (contingent) dan fana mestilah bergantung pada
suatu wujud yang bersifat niscaya (necessary being) dan kekal.7 Berkaitan dengan
metafisika, Aquinas juga menjadi pengikut setia Aristoteles. Dia menerima
analisis tentang jisim-jisim material menurut konsepsi materi dan bentuk, dan
tesis bahwa perubahan harus dijelaskan sebagai wahana bagi perubahan bentuk
pada materi yang sama. Dia juga menerima doktrin Aristoteles bahwa materi
merupakan prinsip individuasi. Contohnya, seandainya ada dua buah batu yang
benar-benar serupa dalam bentuk maupun beratnya, maka keduanya tetaplah
merupakan dua buah batu dan bukan satu batu karena keduanya tetap merupakan
dua serpihan batu yang berbeda.8
Daya tarik metafisika Aristoteles kemungkinan terletak pada pengkajiannya
yang cukup elaboratif tentang wujud (being). Menurut Aristoteles, pertanyaan
tentang apa wujud (being) itu dan untuk apa suatu wujud berada (What is it for
something to be?) membutuhkan sebuah pertanyaan lain, “Apa wujud primer
(primary being) itu?”. Argumen ini—yang menyimpulkan bahwa kita dapat
mencari apa wujud itu dengan mencari apa wujud primer itu—jelas mengantarkan
kita kepada teori tentang wujud primer (ousia) dan perbedaan antara wujud secara
umum (to on) dengan wujud primer.9
Prinsip pertama yang harus dipahami menyangkut metafisika Aristoteles
adalah bahwa pertanyaan “Apakah wujud itu?” memang berkaitan dengan wujud,
bukan dengan kata benda (noun) wujud atau kata kerja berada (to be). Sejak awal
karyanya, Metaphysics, Aristoteles menyebutkan sifat khas metafisika—yang
pada tahapan ini disebutnya hikmah (wisdom, sophia)—sebagai upaya untuk
menemukan penjelasan (aitiai, yang dapat pula diterjemahkan sebagai “sebab-
sebab”) dan pengetahuan yang mampu memberikan penjelasan (explanatory
knowledge), misalnya pengetahuan tentang mengapa sesuatu itu menjadi
sebagaimana adanya. Secara khusus, dia menyatakan bahwa metafisika
merupakan ilmu yang paling penting, sebab ia berupaya menemukan penjelasan-
penjelasan tentang hal yang paling penting pula. Penjelasan ini disebutnya
“penjelasan pertama” atau “prinsip pertama” yang menjelaskan tentang semua
wujud dan segala sesuatu yang ada.10
Metafisika kemudian juga dikenal di dalam sejarah filsafat sebagai bagian
dari kajian filosofis yang melampaui peristiwa atau substansi fisik dan karena itu
disebut sebagai kajian yang bersifat metafisik. Penataan subjek ini ke dalam
filsafat yakni sebagai metafisika mestilah dinisbatkan kepada dua faktor: 1). Topik
kajian yang dibahas Aristoteles dalam karyanya, First Philosophy—yakni realitas
tertinggi atau bersifat metafisik, yang mencakup kajian tentang wujud (ontology),
teori pengetahuan (epistemology) dan teologi natural (genesis atau sebab alam dan
eksistensi Tuhan. 2). Ajaran-ajaran kaum Skolastik yang memandang metafisika
sebagai ranah yang meninggalkan hal-hal yang bersifat fisik untuk masuk ke
dalam alam transendental, alam yang berada di atas indera, alam spiritual.
Christian Wolf, misalnya, mengembangkan pandangan modern tentang metafisika
yang mencakup empat bidang ilmu: ontologi, kosmologi, psikologi dan teologi
rasional.111
Topik kajian yang biasa dikaitkan dengan metafisika Aristoteles, antara lain
adalah topik tentang yang universal dan yang partikular, hubungan bentuk dengan
materi, empat sebab, dan yang paling menarik adalah pembahasan mengenai
Tuhan dan sebab-sebab.
Persoalan mengenai yang universal di dalam yang partikular ini sebenarnya
telah dibahas oleh Plato. Bagi Plato, ada dualisme yang di dalamnya Ide-ide yang
kekal menjadi prinsip-prinsip yang mengendalikan dan memiliki pola-pola
inheren yang berhubungan dengan segala sesuatu yang ditangkap oleh indera.
Semua fenomena yang ada di dalam alam berkembang dari suatu tingkatan kepada
tingkatan yang lain dan setiap tahapan perkembangan ini mengikuti atau
berhubungan dengan Ide-ide. Aristoteles menolak pemisahan dua alam yang
berbeda ini—alam Ide dan alam objek-objek yang dipersepsikan oleh seseorang.
Aristoteles lebih memilih pandangan empirisistik yang menyatakan bahwa Ide-ide
yang dipostulatkan oleh Plato sebenarnya merupakan esensi objek-objek persepsi
indera. Realitas Ideal (Ide-ide Platonik) mengungkapkan dirinya sendiri di dalam
alam fenomena, yakni alam yang dikenal melalui persepsi indera.13
Aristoteles kemudian menjelaskan hubungan antara bentuk (esensi) dan
materi (substansi). Baginya, ada sebuah prinsip atau proses alam yang menarik
materi untuk memperoleh bentuk tertentu, atau, dari perspektif sebaliknya,
memampukan bentuk untuk menjadi aktual di dalam materi. Ide tentang bunga
mawar, menurut Aristoteles, menjadi sempurna jika ia mendapatkan aktualitas di
dalam substansi material, yakni bunga mawar itu sendiri. Bagi Aristoteles, alam
semesta bersifat dinamis dan tidak statis. Sebab ia merupakan proses aktif yang di
dalamnya alam materi mendapatkan bentuk atau desain, dan dengan demikian
selalu berada di dalam upaya untuk menyempurnakan dirinya sendiri.14
Menurut Aristoteles, materi yang belum diaktualisasikan atau yang belum
mendapatkan sebuah bentuk atau desain, berarti belum berada di dalam Wujud
(Being). “Materi murni” seperti itu harus dianggap mati atau tak memiliki aktifitas
sebab yang baru dimilikinya hanyalah potensi, yaitu kemungkinan untuk
diaktifkan. Materi tak dapat bergerak dengan sendirinya, tetapi harus digerakkan
dan bergantung pada sesuatu yang lain yang dapat mendorongnya untuk menjadi
sebuah aktualitas dari keadaan latennya yang hanya merupakan kemungkinan.
Prinsip yang dengannya masing-masing esensi di dalam fenomena merealisasikan
dirinya sendiri adalah entelechy, istilah Yunani yang digunakan oleh Aristoteles
untuk menyatakan tujuan batin (inner purpose). Karena semua materi memiliki
entelechy, konsekuensinya adalah tidak adanya materi tanpa bentuk (matterless
form). Materi dalam bentuk (esensinya) hanyalah merupakan kemungkinan materi
untuk menjadi teraktualisasikan, yakni agar ia menjadi nyata (real). Oleh karena
itu, proses kosmik alam sebenarnya merupakan esensi-esensi di dalam fenomena
yang tengah merealisikan diri menurut entelechy-nya.15
Dengan konsep entelechy Aristoteles, konsep telelogis tentang alam
mencapai puncaknya sebagai sebuah prinsip filosofis. Setiap aspek alam, maupun
alam secara keseluruhan, dipandang selalu berkembang sesuai dengan tujuannya
yang telah ditetapkan. Menurut Aristoteles, alam tidak menciptakan sesuatu yang
sia-sia, sebab semua yang diciptakan Tuhan diciptakan-Nya dengan sebuah
tujuan.16 Oleh karena itu, metafisika Aristoteles kemudian berlanjut kepada
pembahasan mengenai Tuhan.
Aristoteles mengemukakan cukup banyak argumen untuk membuktikan
eksistensi Tuhan. Pertama, dalam dialog On Philosophy, dia menjelaskan apa
yang disebutnya sebagai antisipasi argumen ontologis. Jika ada yang lebih baik,
menurutnya, tentu ada yang terbaik. Kini di antara segala sesuatu yang ada, yang
satu lebih baik daripada yang lain. Oleh karena itu, tentu ada yang terbaik, yakni
Tuhan. Aristoteles juga menggunakan argumen teleologis. Dalam dialog yang
sama, dia mengumpamakan adanya sekumpulan orang yang baru pertama kali
melihat keindahan bumi dan laut, dan kehebatan langit dengan bintang gemintang,
lalu mereka menarik kesimpulan bahwa ciptaan yang luar biasa ini tentu
bersumber dari Tuhan.17
Argumen kosmologis Aristoteles menyatakan bahwa substansi merupakan
sesuatu yang pertama bereksistensi dalam hierarki wujud yang ada di alam
semesta. Oleh karena itu, jika substansi musnah, maka segala sesuatu yang ada di
dalam alam juga musnah. Tetapi ada dua hal yang tak dapat musnah, yakni
perubahan dan waktu. Waktu mustahil muncul terkemudian dan mustahil berhenti
bereksistensi. Sebab hal itu akan berarti bahwa ada waktu sebelum waktu, atau
akan ada waktu setelah waktu berhenti bereksistensi. Di sisi yang lain, perubahan
haruslah berlangsung bersama waktu. Sebab waktu, jika memang tidak identik
dengan perubahan, tentu berselaras dengannya. Satu-satunya perubahan yang
berlangsung secara terus menerus adalah perubahan tempat dan satu-satunya
perubahan tempat yang berlangsung secara terus menerus adalah gerakan
melingkar (circular motion).18
Bagi Aristoteles, untuk menghasilkan gerakan yang kekal, haruslah ada lima
macam syarat. Pertama, Substansi yang kekal. Kedua, substansi kekal ini mampu
menimbulkan gerak. Ketiga, substansi kekal ini bukan sekadar memiliki daya, tapi
mampu menggunakannya. Keempat, esensi substansi kekal ini bukanlah daya, tapi
aktifitas. Sebab jika tidak demikian, tentu dia tak akan mampu menggunakan daya
tersebut. Kelima, substansi itu haruslah bersifat imaterial sebab dia harus kekal.19
Menurut Aristoteles, kesimpulan ini telah dibuktikan oleh pengalaman, yang
menunjukkan adanya sesuatu dengan gerak lingkar yang tiada henti, misalnya
gerakan bintang gemintang. Tentu harus ada sesuatu yang menggerakkannya. Kini
yang bergerak dan yang digerakkan berada di tengah-tengah dan kita tak akan
mencapai kesimpulan akhirnya. Oleh karena itu, haruslah ada sesuatu yang
menggeraknya yang tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Penggerak yang
tidak bergerak itu, yang keberadaannya telah dibuktikan oleh pengalaman,
haruslah bersifat kekal dan merupakan wujud aktual murni yang eksistensinya
telah dibuktikan. Tetapi penggerak yang tidak bergerak itu menyebabkan gerak
dengan cara yang tidak bersifat fisik, yakni dengan menjadi objek yang dicintai,
yang membuat keseluruhan bagian alam semesta bergerak ke arahnya.20
Penggerak yang tak bergerak itu juga lebih utama daripada semua wujud
yang lain. Kata “lebih utama” dalam hal ini digunakan bukan dalam arti temporal,
tetapi untuk menyatakan kebergantungan. Misalnya, A lebih utama dari B jika kita
dapat memiliki A tanpa B dan tidak dapat memililki B tanpa A. Jika tak ada
penggerak yang tak bergerak, tentu tak akan ada langit dan alam semesta. Jika tak
ada substansi, tentu tak akan ada wujud yang lain. Dalam konteks ini, Aristoteles
juga menyatakan bahwa filsafat pertama mengkaji bidang yang universal, sebab ia
berupaya mengetengahkan penjelasan mengenai segala sesuatu. Filsafat pertama
adalah ilmu mengenai wujud dan bahkan ilmu tentang Tuhan. Sebab apa yang
dijelaskannya, dijelaskannya dengan menyebutkan Tuhan sebagai Penggerak yang
tak bergerak.21
Apa yang dipaparkan di atas telah menunjukkan bahwa akhirnya Aristoteles
tiba pada pembahasan mengenai sebab tertinggi atau sebab pertama bagi segala
wujud yang ada di dalam alam. Inilah topik kajian utama pada filsafat pertama
yang, menurut Aristoteles, merupakan ilmu yang paling utama karena objek
kajiannya adalah Wujud yang paling utama atau Tuhan.
B. Prinsip Logika Aristoteles
Kata logika tidak dikenal oleh Aristoteles. Nama yang diberikan oleh
Aristoteles kepada cabang ilmu ini adalah Analytica. Pada dasarnya nama ini
merujuk pada analisis tentang penalaran hingga bentuk-bentuk silogisme dan
bahkan dapat diperluas kepada penalaran tentang silogisme hingga proposisi dan
tentang proposisi hingga term-term.22
Logika pada dasarnya merupakan sebuah metode untuk menarik kesimpulan
yang benar. Menurut Aristoteles, ada dua bentuk utama penarikan kesimpulan
yang logis. Pertama, silogisme yakni penarikan kesimpulan melalui penalaran
dari yang bersifat universal (prinsip) kepada yang bersifat partikular (kasus atau
contoh yang bersifat khusus) yakni dengan menggunakan deduksi. Kedua, melalui
induksi yang merupakan kebalikan dari deduksi, yakni penarikan kesimpulan dari
yang bersifat partikular kepada yang bersifat universal (prinsip atau kaidah ilmu).
Dalil yang kuat (genuine proof) dapat dicapai ketika kesimpulan yang benar
berhasil ditarik dari premis-premis yang benar, yakni proposisi-proposisi yang
kebenarannya tak terbantahkan (self evident propositions) atau dari premis-premis
yang didasarkan atas proposisi yang benar dan tak terbantahkan—yakni aksioma
yang tak perlu lagi dibuktikan kebenarannya (self evident). Penalaran logis
memastikan kebenaran kesimpulan dan memberikan dalil ilmiah menyangkut
proposisi atau pernyataan yang kebenarannya diterima secara universal. Dengan
demikian, penarikan kesimpulan yang bersifat ilmiah (scientific inferences) berisi
kesimpulan-kesimpulan yang didasarkan atas prinsip atau premis tertentu yang
benar. Bentuk penalaran lainnya adalah inferensi dialektik yang kesimpulan-
kesimpulannya berasal dari data yang kongkret, bukan proposisi aksiomatik.
Kesimpulan-kesimpulan tersebut bersifat tentatif. Kemudian Aristoteles
menjelaskan cara ketiga untuk menarik kesimpulan yakni penarikan kesimpulan
sofistik yang cuma menghasilkan asumsi-asumsi yang keliru sebab ia didasarkan
atas premis-premis yang keliru. Aristoteles mendefinisikan inferensi sebagai
penciptaan pengetahuan baru yang berasal dari informasi maupun hipotesis yang
sebelumnya telah diketahui.23
Karya Aristoteles yang membahas teori silogisme adalah Prior Analytics.
Silogisme24 terdiri dari tiga kalimat dan masing-masing kalimat oleh Aristoteles
disebut proposisi. Secara umum dapat dikatakan bahwa proposisi merupakan
sebuah kalimat dengan ciri yang logis. Proposisi ketiga pada contoh yang telah
disebutkan—yakni yang didahului kata “maka”—oleh Aristoteles disebut sebagai
kesimpulan silogisme. Dua proposisi lainnya dapat saja disebut sebagai premis,
meski Aristoteles sendiri tidak mempunyai istilah teknik yang konsisten untuk
membedakannya. Proposisi pertama pada contoh silogisme dimaksud diawali
dengan kata “setiap”. Oleh Aristoteles, proposisi semacam itu disebut sebagai
proposisi yang bersifat universal. Namun contoh dimaksud bukanlah satu-satu
jenis proposisi yang universal. Sebab masih ada jenis proposisi universal lainnya
seperti “tak ada orang Yunani yang menjadi kuda.” Hanya saja jenis proposisi
yang pertama merupakan proposisi universal yang positif (karena kalimatnya
merupakan kalimat positif) sedangkan proposisi yang kedua merupakan proposisi
universal negatif. Berbeda dengan proposisi universal, ada proposisi partikular
seperti: “Sebagian orang Yunani berjenggot” (proposisi partikular yang positif)
atau “Sebagian orang Yunani tidak berjenggot” (proposisi partikular yang
negatif). Pada berbagai jenis proposisi ini, kata Aristoteles, ada sesuatu yang
dijadikan predikat bagi sesuatu yang lain. Mati dijadikan predikat bagi kata
manusia, dan sebagainya. Ada atau tiadanya tanda negatif menjadi penentu
apakah predikat tersebut merupakan predikat yang positif atau negatif.25
Aristoteles juga mengemukakan adanya dua kaidah fundamental dalam
logika, yakni prinsip kontradiksi (bahwa sebuah proposisi tidak dapat menjadi
benar dan salah sekaligus) dan prinsip pemilahan tengah (bahwa sebuah proposisi
bisa benar atau salah). Prinsip-prinsip fundamental itu tidak perlu dibuktikan
karena memang merupakan kebenaran tertinggi yang digunakan untuk
membuktikan semua proposisi yang lain. Untuk membuktikan kebenaran sebuah
pernyataan, yang harus dilakukan adalah merujuk kepada proposisi yang lebih
umum dan lebih pasti sebagai dasar pernyataan itu. Ketika kebenaran yang paling
fundamental, tertinggi dan paling umum telah dicapai, maka tak ada lagi
kebenaran yang lebih luas sehingga ia harus diterima sebagai aksioma yang tak
terbantahkan. Atas dasar ini, kebenaran-kebenaran fundamental ilmu harus
diterima sebagai prinsip tak terbantahkan yang dapat digunakan untuk
membuktikan kebenaran semua proposisi yang lain.26
Pengelompokan benda-benda masih termasuk dalam ranah logika. Sokrates,
misalnya, memandang definisi yang tepat sebagai bersifat esensial dalam
pemahaman dan pengetahuan, sebab upaya untuk mendefinisikan suatu objek
akan memberikan dorongan untuk meneliti lebih seksama objek tersebut. 27
Aristoteles berpendapat bahwa definisi dapat didasarkan atas pengetahuan
langsung maupun pengetahuan induktif. Pendefinisian suatu objek diawali dengan
pengidentifikasian kelas umum (genus) dimana objek tersebut dapat dimasukkan
ke dalamnya lalu penambahan semua ciri khas kepada objek tersebut yang
membuatnya menjadi anggota spesisnya (diferentia). Dengan demikian, sebuah
objek dapat didefinisikan dengan tepat jika sifat-sifat khasnya yang juga dimiliki
oleh semua anggota spesisnya digabungkan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh
semua anggota genus atau kelas umumnya. Kemudian Aristoteles mengemukakan
bahwa sebuah konsep umum atau universal dapat diklasifikasikan ke dalam
konsep yang lebih umum dan demikian seterusnya hingga mencapai konsep final
atau tertinggi.28 Aristoteles kemudian menyusun daftar sepuluh konsep tertinggi
yang dia sebut sebagai kategoria (categories) yaitu: 1) substansi, 2) kuantitas, 3)
kualitas, 4) relasi, 5) lokasi (yang berkaitan dengan tempat), 6) waktu, 7) posisi, 8)
kepemilikian (possession), 9) aktif dan 10) pasif. Meski kategori-kategori itu
berhubungan dengan bentuk-bentuk eksistensi dan pemikiran (sebab kategori
merupakan pernyataan mengenai apa yang ada), namun ia juga berhubungan
dengan bagian-bagian pembicaraan. Banyak ahli yakin bahwa kategori
menjelaskan atau menggolongkan substansi berdasarkan sifat-sifatnya yang khas;
misalnya, ketika sebuah substansi terlihat, ia selalu memiliki hubungan tertentu
dengan tempat, waktu dan sekumpulan ciri khasnya. Aristoteles memandang
substansi sebagai esensi sesuatu, dan kategori-kategori lainnya sebagai sifat-sifat
yang menentukan jati dirinya. Dia menggunakan daftar kategori hanya sebagai
alat untuk mengidentifikasi kelompok atau genus tertinggi. Aristoteles juga
mengidentifikasi kebenaran sesuatu sebagai esensinya (wujud yang secara
ontologis bersifat nyata atau realitas ideal yang pernah dikatakan oleh Plato).
Karakter aksidentalnya (berbeda dengan sifat esensialnya) hanya semacam
menempel pada suatu objek dan bukan merupakan aspek mutlak darinya. Karakter
aksidental ini bisa hilang tanpa mempengaruhi substansi suatu objek.29
Dapat pula dikatakan bahwa pada prnsipnya ada kelanggengan tema bahasan
logika sejak Aristoteles hingga zaman modern. Secara ringkas dapat dikemukakan
bahwa logika dapat dibagi ke dalam tiga ranah luas. Pertama, teori penarikan
kesimpulan (theory of inference) dan pada bagian ini yang dikaji adalah argumen-
argumen yang digunakan untuk menjustifikasi argumen yang lain. Inilah muatan
logika Aristoteles dalam Prior analytics, Ibn Sina dalam Qiyâs dan Ramus dalam
Dialectica. Kedua, teori definisi (theory of definition). Pada bagian ini yang dikaji
adalah penggunaan kata-kata maupun simbol-simbol untuk mengidentifikasi atau
menyifati segala sesuatu yang mungkin saja kongkret maupun abstrak. Disini juga
ada beberapa bentuk standar yang bergantung pada sesuatu yang disifati. Ketiga,
logika terapan (applied logic). Disini dibahas penerapan bagian pertama dan
bagian kedua sebagai alat untuk menganalisis atau memecahkan persoalan-
persoalan praktis.30
Risalah-risalah Aristoteles tentang logika dapat dibagi ke dalam tiga bagian.
Pertama, Prior Analytics yang di dalamnya Aristoteles menjelaskan struktur
logika yang dipandangnya bersifat umum terhadap semua penalaran, yakni
silogisme. Terkadang silogisme disebut sebagai logika formal atau logika
konsistensi. Kedua, Posterior Analytics yang di dalamnya Aristoteles membahas
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penalaran agar ia tidak hanya sekadar
bersifat konsisten namun juga bersifat ilmiah. Ketiga, Topics dan Sophistic
Elenchi yang di dalamnya Aristoteles mengkaji bentuk-bentuk penalaran yang
secara silogistik tepat namun tidak memenuhi satu atau lebih syarat-syarat
pemikiran ilmiah. Categories dan De Interpretatione yang juga membahas term
dan proposisi dapat dianggap sebagai pengantar.31
Perspektif lain menyebutkan bahwa di dalam urutan tradisional karya
Aristoteles tentang logika, Categories merupakan karya paling awal. Categories
membahas term-term sederhana (subjek dan predikat) yang ketika digabungkan
akan membentuk sebuah pernyataan sederhana. Categories menjadikan substansi-
substansi primer sebagai subjek tertinggi bagi predikasi. Sedangkan De
Interpretatione, yang berada pada urutan kedua, membahas pernyataan (kalimat)
yang bersumber dari perpaduan kata benda dan kata kerja, dan termasuk pula
pembahasan mengenai berbagai hubungan kata bantu pada kalimat. Topik utama
pada dua karya Analytics Aristoteles adalah demonstrasi (epideixis), yakni tipe
argumen deduktif yang valid atau silogisme yang berkaitan dengan pengetahuan
ilmiah (episteme). Prior Analytics, yang berisi teori formal penalaran silogistik,
menunjukkan bagaimana pernyataan-pernyataan disusun untuk membentuk
argumen. Kemudian di dalam Posterior Analytics, demonstrasi dianalisis sebagai
silogisme penjelas dari prinsip-prinsip pertama.32
Bagian yang tak kalah penting adalah mengenai logika deduktif dan logika
induktif yang sama-sama dikemukakan oleh Aristoteles. Diakui bahwa deduksi
dan induksi adalah dua buah langkah pemikiran yang secara mendasar sangatlah
berbeda. Deduksi merupakan penarikan kesimpulan dari yang universal kepada
yang partikular. Sedangkan induksi adalah sebaliknya, yaitu penarikan
kesimpulan dari yang partikular kepada yang universal.33 Dalam Analytics,
Aristoteles tidak hanya membahas bukti ilmiah—dalam bentuk demonstrasi
maupun deduksi—tetapi juga induksi. Menurut Aristoteles, induksi ilmiah
merupakan induksi yang lengkap yang berproses melalui penghitungan semua
kasus. Induksi yang tak lengkap lazim digunakan oleh para orator. Aristoteles
menggunakan eksperimen namun tidak mengelaborasi sebuah metodologi ilmiah
dari induksi dan penggunaan hipotesis. Meski Aristoteles mengakui bahwa
silogisme melalui induksi adalah lebih jelas, namun kecondongannya tetaplah
kepada silogisme melalui deduksi atau melalui demonstrasi silogistik. Aristoteles
menempatkan analisis mengenai proses deduktif di tempat yang sangat tinggi.
Tetapi dia tidak melakukan hal serupa terhadap induksi. Hal ini konon dapat
dimaklumi mengingat di zaman kuno itu, matematika berkembang jauh lebih
pesat dibandingkan ilmu alam. Namun demikian, setelah menyatakan bahwa
persepsi indera semacam itu tidak dapat mencapai yang universal, Aristoteles
menambahkan bahwa orang dapat mengobservasi adanya kelompok-kelompok
yang berisi kata tunggal (singulars, particulars) atau menyaksikan berulangnya
suatu kejadian untuk kemudian, dengan menggunakan akal abstrak, tiba pada
pengetahuan tentang esensi atau prinsip yang bersifat universal.34
Dapat pula dikatakan bahwa sebenarnya logika Aristoteles tetap bersumber
dari doktrin Sokratik-Platonik tentang Ide. Yakni berkaitan dengan konsep tentang
yang umum atau yang universal dan pengetahuan mengenainya yang disebut
konsepsi. Dalam konteks ini, Aristoteles tetaplah seorang pengikut Plato. Apa
yang diserangnya di dalam sistem besar pendahulunya itu adalah asumsi Eleatik
mengenai ketiadaan hubungan (absence of relation), yakni hubungan antara yang
universal dan yang partikular, atau antara Ide dan fenomena, dan antara konsepsi
dan persepsi. Dengan kata lain, ketika Plato menyatakan adanya dua alam yang
berbeda yang muncul dari yang universal, yang hanya dikenal melalui konsepsi
dan yang partikular yang diketahui melalui persepsi, maka upaya Aristoteles
diarahkan untuk menghapuskan pemilahan ini di dalam konsepsi tentang realitas,
dan untuk menyatakan bahwa hubungan antara Ide dan fenomena yang
menciptakan pengetahuan konsepsional, tentu mampu menjelaskan objek persepsi
atau apa yang dipersepsikan.35

CATATAN KAKI:
1
Anagnostopoulos, A Companion to Aristotle, (Oxford: Blackwell, 2009), 23
2
Ibid., 24
3
Barnes (ed), The Cambridge Companion to Aristotle, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 150—151. Ini dapat dimaklumi karena merupakan
konsekuensi logis dari konsep Aristoteles membagi substansi ke dalam dua
bagian, yaitu (a) substansi yang dapat berubah dan dapat dipersepsikan, dan (b)
substansi yang tidak dapat berubah dan tidak dapat dipersepsikan. Lihat, Sarah
Broadie, “Heavenly Bodies,” dalam Anagnostopoulos, A Companion to Aristotle,
230
4
Sarah Broadie, “Heavenly Bodies,” dalam Anagnostopoulos, A Companion to
Aristotle, 231 dan 235
5
David Furley, “From Aristotle to Augustine”, in Routledge History of Philosophy
vol. 2, (New York: Routledge, 1999), 32
6
Christopher Shields, Aristotle, (New York: Routledge, 2007), 222
7
Anthony Kenny, An Illustrated Brief History of Western Philosophy, (Oxford:
Blackwell Publishing, 1998), 152-153
8
Ibid., 154
9
Vasilis Politis, Aristotle and the Metaphysics, (London: Routledge, 2004), 10
10
Ibid., 3-4
11
William S. Sahakian, History of Philosophy, (New York: Barnes and Noble
Books, tanpa tahun), 66
12
Ibid., 66—67. Dalam konteks ini, Copleston membedakan Plato dengan
Aristoteles. Plato tidak sungguh-sungguh peduli terhadap segala sesuatu yang ada
di dalam alam kecuali sebatas perannya untuk mengantarkannya kepada
pemahaman mengenai Bentuk-bentuk. Sedangkan Aristoteles sangat menaruh
perhatian terhadap alam yang nyata (visible world). Lihat, Frederick Copleston,
SJ. A History of Philosophy, (New York: Image Book, 1993), 292
13
William S. Sahakian, History of Philosophy, 66—67. Dalam konteks ini,
Copleston membedakan Plato dengan Aristoteles. Plato tidak sungguh-sungguh
peduli terhadap segala sesuatu yang ada di dalam alam kecuali sebatas perannya
untuk mengantarkannya kepada pemahaman mengenai Bentuk-bentuk. Sedangkan
Aristoteles sangat menaruh perhatian terhadap alam yang nyata (visible world).
Lihat, Frederick Copleston, SJ. A History of Philosophy, (New York: Image Book,
1993), 292
14
William S. Sahakian, History of Philosophy, 67. Bdk. Penjelasan Barnes tentang
hubungan antara yang universal dan yang particular atau antara bentuk dan materi.
Lihat, Barnes (ed), The Cambridge Companion to Aristotle, (Cambridge
University Press, 1999), 97
15
William S. Sahakian, History of Philosophy, h. 68. Ross menjelaskan bahwa
Aristoteles menggunakan istilah bentuk yang mencakup berbagai arti. Terkadang
ia digunakan untuk menunjukkan bentuk yang dapat terinderakan seperti bentuk
sebuah gelas, misalnya. Tetapi kata bentuk lebih sering digunakan untuk
menunjukkan suatu objek pikiran daripada objek indera, seperti hakikat batin
sesuatu yang terungkap di dalam definisinya. Lihat, Sir David Ross, Aristotle,
(London: Routledge, 1995), 76
16
William S. Sahakian, History of Philosophy, 68
17
Sir David Ross, Aristotle, 186
18
Aristoteles, Physics, n. 261 dalam McKeon, The Basic Works of Aristotle, (New
York: The Modern Library, 1941), 378
19
Sir David Ross, Aristotle, 186
20
Sir David Ross, Aristotle, 188. Bdk. Penjelasan Vasilis Politis bahwa sebab
tertinggi perubahan merupakan objek pikiran dan cinta karena sebab tertinggi
perubahan itu adalah maha baik. Aristoteles dengan berbagai cara menekankan
bahwa sebab tertinggi perubahan itu adalah baik, sempurna, indah dan dicintai.
Lihat, Vasilis Politis, Aristotle and the Metaphysics, 282
21
Anthony Kenny, An Illustrated Brief History of Western Philosophy, 89-90
22
Sir David Ross, Aristotle, 21
23
William S. Sahakian, History of Philosophy, 63-64
24
Silogisme merupakan metode utama dalam penarikan kesimpulan yang dapat
diilustrasikan melalui contoh yang sudah sangat terkenal, yakni: 1) Semua orang
Yunani adalah manusia., 2) Semua manusia akan mati, dan 3) Maka, semua orang
Yunani akan mati.
25
Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, 117-118.
26
William S. Sahakian, History of Philosophy, 64
27
Ibid., 64
28
Alan Code, “Aristotle’s Logic and Metaphysics”, dalam Routledge History of
Philosophy, Volume II, 42-44.
29
William S. Sahakian, History of Philosophy, 65
30
Wilfrid Hodges, “The Scope and Limits of Logic”, dalam Dale Jacquette (ed),
Philosophy of Logic, (Pensylvania: NIAS, 2007), 41
31
Sir David Ross, Aristotle, 22
32
Alan Code, “Aristotle’s Logic and Metaphysics”, dalam David Furley, From
Aristotle to Augustine, Routledge History of Philosophy vol. 2, 40
33
Sir David Ross, Aristotle, 38
34
Frederick Copleston, SJ. A History of Philosophy, 282
35
Wilhem Windelband, A History of Philosophy, (London: Macmillan Company,
1981), 133

DAFTAR PUSTAKA

Anagnostopoulos, A Companion to Aristotle, Oxford: Blackwell, 2009

Aristoteles, Physics, n. 261 dalam McKeon, The Basic Works of Aristotle, New
York: The Modern Library, 1941

Barnes (ed), The Cambridge Companion to Aristotle, Cambridge: Cambridge


University Press, 1999

Alan Code, “Aristotle’s Logic and Metaphysics”, in Routledge History of


Philosophy, Volume II, New York: Routledge, 1999

Copleston, Frederick, SJ. A History of Philosophy, New York: Image Book, 1993

Furley, David, “From Aristotle to Augustine”, in Routledge History of Philosophy


vol. 2, New York: Routledge, 1999

Hodges, Wilfrid, “The Scope and Limits of Logic”, dalam Dale Jacquette
(ed), Philosophy of Logic, (Pensylvania: NIAS, 2007

Kenny, Anthony, An Illustrated Brief History of Western Philosophy, Oxford:


Blackwell Publishing, 1998
Politis, Vasilis, Aristotle and the Metaphysics, London: Routledge, 2004

Ross, Sir David, Aristotle, London: Routledge, 1995

Sahakian, William S., History of Philosophy, New York: Barnes and Noble
Books, n.d

Shields, Christopher, Aristotle, New York: Routledge, 2007

Anda mungkin juga menyukai