Anda di halaman 1dari 8

BAB I

TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Apa yang saudara pikirkan ketika mendengar kata teori perdagangan? Mungkin ada yang akan
berpikir mengenai teori yang rumit, yang lain mungkin akan berpikir mengenai komoditasnya, atau bisa
jadi berpikir ini tidak menarik dan tidak penting untuk diketahui? Wah, bila ada yang seperti itu mohon
untuk menyingkirkan jauh-jauh pemikiran apatis saudara dan mari kita mulai membahas mengenai teori
perdagangan internasional dimulai dari perkembangannya. Ini sangat menarik untuk diketahui. Pertama-
tama, mari kita mulai dengan sebuah analogi. Anne adalah seorang desainer pakaian asal Inggris dan
memiliki 5 orang tenaga kerja yang dalam 1 bulan bisa menghasilkan 30 pakaian, sedangkan Irene adalah
seorang pemintal benang asal Prancis yang bekerja dengan 4 orang tenaga kerja dan mampu
menghasilkan 50 gulungan benang dalam 1 bulan. Anne merupakan pelanggan Irene yang setia memeli
benangnya sebanyak 30 gulungan benang tiap bulan sedangkan Irene menjadi pelanggan setia Anne
karena menyukai pakaian hasil karya Anne dimana tiap bulannya Irene bisa membeli 1 sampai 2 potong
pakaian dari Anne. Ilustrasi mengenai Anne dan Irene dapat menggambarkan perdagangan internasional
secara serderhana. Ada mobilitas faktor produksi, komoditas yang diperdagangkan, kebudayaan, politik ,
dan kebijakan perdagangan yang berbeda, ada spesialisasi dari masing-masing pemiliki komoditas karena
adanya perbedaan faktor produksi yang dimilki, selain itu ada aktivitas dagang yang berkelanjutan dari
kedua belah pihak. Lantas apakah perdagangan internasional memang telah mengutamakan spesialisasi
sejak dulu? Baiklah, Kita mulai bahasan teori perdagangan internasional ya.

Perkembangan Teori Perdagangan Internasional secara garis besar dapat kita golongkan menjadi 3 yakni
Teori Perdagangan Pra Klasik, Teori Perdagangan Klasik, dan Teori Perdagangan Modern. Teori mana saja
yang termasuk kedalamnya? Berikut penjelasannya.

1. Teori Perdagangan Pra Klasik


Letakan dulu pemikiran saudara mengenai teori perdagangan dari Adam Smith karena kita akan
membahas teori yang sudah ada jauh sebelum mashab klasik Adam Smith. Adalah sebuah teori
yang disebut sebagai Teori Merkantilisme yang pada mulanya di abad ke-16 menjadi pengetahuan
wajib yang diberikan di sekolah-sekolah di Eropa. Teori ini menekankan pentingnya mencapai
pertumbuhan ekonomi nasional . Dikatakan bahwa suatu negara akan makmur dan sejahtera bila
negara tersebut mampu menciptakan surplus perdagangan (ekspor > impor) dan mengumpulkan
banyak logam mulia. Pada masa merkantilisme, perdagangan internasional memiliki peran yang
sangat penting dalam perekonomian bahkan terkesan cenderung memaksakan neraca
perdagangannya positif. Mengapa demikian? Karena dengan neraca perdagangan yang positif
maka negara mendapatkan lebih banyak logam mulia. Singkatnya, negara yang memiliki banyak
asset/modal maka dialah yang makmur dan kuat perekonomiannya. Atas dasar tersebut teori ini
menjadi awal timbulnya kapitalisme. Merujuk pada konsep dasarnya, Teori ini dalam praktiknya
kemudian memicu terjadinya ekspansi wilayah perdagangan/ekspansi kolonial bahkan tidak
jarang penjajahan dan perang.
Negara-negara besar di Eropa masa itu seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Belanda, dan Portugis
menerapkan praktik merkantilisme untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
negaranya. Praktik merkantilisme dilaksanakan masa abad ke-16 sampai abad ke-18. Menerapkan
tariff tinggi atas komoditas yang akan masuk ke negaranya dan menerapkan subsidi ekspor atas
komoditas negaranya merupakan kebijakan yang universal dalam praktik merkantilis. Beberapa
peraturan dan kebijakan khusus dalam praktik merkantilisme adalah sebagai berikut.
a. Melakukan eskpansi perdagangan dengan menciptakan daerah koloni dan melarangnya
untuk melakukan perdagangan dengan negara lain.
Untuk mendapatkan banyak logam mulia, maka negara-negara Eropa melakukan ekspansi ke
daerah-daerah lain di luar Eropa untuk melakukan perdagangan. Bahkan dalam menjalankan
praktik dagangnya tidak jarang mereka menjadikan daerah tersebut sebagai koloni dan
melarang daerah koloni untuk melakukan dagang dengan negara Eropa lainnya. Mengapa?
Agar pembayaran (logam mulia) didapat hanya untuknya.
b. Monopoli pasar
Dengan memiliki daerah-daerah koloni, negara-negara Eropa tersebut memonopoli pasar
daerah koloni dan hanya boleh menjual produk kepada mereka. Mereka biasanya mendirikan
perusahaan dagang di daerah koloni. Produk-produk unggulan daerah koloni hanya boleh
dijual pada perusahaan dagang tersebut dan melalui perusahaan dagangnya mereka
mendistribusikan produk-produk tersebut ke berbagai negara lainnya dengan harga yang jauh
diatas harga beli yang mereka berikan pada derah koloni. Salah satu contoh praktiknya adalah
perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di masa penjajahan Belanda.
c. Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor diberikan kepada industry-industri di negaranya sebagai suntikan agar mau
meningkatkan eskpor produk-produk yang dihasilkan.
d. Pengenaan tariff tinggi untuk komoditas yang masuk ke negaranya
Mengapa dikenakan tariff tinggi untuk komoditas yang akan masuk ke negaranya? Untuk
mengurangi penggunaan logam mulia sebagai alat pembayaran.

e. Berusaha menggunakan sesedikit mungkin cadangan logam mulia yang dimilikinya.


Ini dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan negaranya.
f. Mendorong produk nasional negaranya menjadi komoditas perdagangan internasional dan
memperkecil konsumsi domestic dengan kebijakan non-tarif.
Selain memberikan subsidi ekspor, produk-produk yang akan dikirim ke negara lain/daerah
lain dimana biasanya dikenakan cukai pelabuhan, cukai tersebut dihapus untuk meningkatkan
daya saing produknya di pasar dagang internasional.
g. Berusaha mengoptimalkan penggunakaan sumber daya alam yang dimiliki untuk mendukung
surplus perdagangan internasional. Bahkan bila sumber daya alamnya dirasa belum cukup,
maka negara-negara Eropa yang melakukan praktik merkantilisme mulai ekspansi ke daerah
lain dan menciptakan daerah koloni (seperti pada penjelasan bagian a).

Praktik Merkantilisme perlahan mulai ditinggalkan di abad ke-18 terutama karena munculnya
teori ekonomi baru yang diajukan oleh Adam Smith melalui Mahakarya nya yang diterbitkan
tahun 1776 yakni “An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations” atau yang
biasa dikenal dengan sebutan “The Wealth of Nations”, dimana dalam buku nya Adam Smith
menjelaskan sumber-sumber kekayaan bangsa dan dengan tegas menyebutkan bahwa kekayaan
bangsa-bangsa (negara) tidak diukur dari kepemilikan logam mulia melainkan dari total nilai
barang dan jasa yang diproduksi negara tersebut.

2. Teori Perdagangan Klasik


a. Teori Perdagangan Klasik diawali dengan teori dari Bapak Ilmu Ekonomi Modern yakni Adam
Smith. Adam Smith mengemukakan teori keunggulan mutlak (absolue advantage). Teori ini
menekankan bahwa nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang digunakan
untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan maka makin tinggi
nilai barang tersebut (labor theory of value). Teori nilai tenaga kerja ini memiliki sifat yang
sederhana karena menggunakan asumsi bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogen dan
merupakan satu-satunya faktor produksi. Dalam kenyataannya di lapangan, tenaga kerja
sangat keterogen dan bukan merupakan satu-satunya faktor produksi. Jika
mengesampingkan hal-hal tersebut, teori ini dapat memberikan kita manfaat dengan
memungkinkan kita mengilustrasikan secara sederhana tentang spesialisasi. Berikut
penjelasan mengenai keunggulan mutlak suatu negara dalam perdagangan internasional.

Tabel 1. Teori Keunggulan Mutlak


Produk/Negara Indonesia Jepang
Mobil 4 2
Kopi 3 6

Dalam Tabel 1 dimuat data perdagangan Indonesia dengan Jepang. Ada 2 komoditas yang
diperdagangkan yakni mobil dan kopi. Untuk memproduksi 1 unit mobil, Indonesia memerlukan
4 tenaga kerja sedangkan Jepang hanya membutuhkan 2 tenaga kerja. Untuk memproduksi 1
kwintal Kopi, Indonesia hanya membutuhkan 2 tenaga kerja sedangkan Jepang memerlukan 6
tenaga kerja. Berdasarkan ilustrasi tersebut, Indonesia memiliki keunggulan mutlak dalam
memproduksi Kopi sedangkan Jepang memiliki keunggulan mutlak dalam memproduksi Mobil.
Mengapa demikian?? Karena masing-masing negara tersebut dapat menghasilkan suatu produk
dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lainnya diukur dari penggunaan tenaga
kerja). Berdasarkan teori keunggulan mutlak, masing-masing negara akan memperoleh
keuntungan jika melakukan spesialisasi. Indonesia berspesialisasi dalam menghasilkan Kopi
sedangkan Jepang berspesialisasi dalam menghasilkan Mobil. Dasar spesialisasi ini adalah
keunggulan mutlak dalam berproduksi.

b. Teori Keunggulan Komparatif (Biaya Relatif) / Comparative Advantage


Dalam teori keunggulan mutlak Adam Smith dijelaskan bahwa negara-negara akan
memperdagangkan komoditas yang memiliki keunggulan mutlak. Lalu bagaimana bila negara
tidak memiliki keunggulan mutlak dalam komoditasnya? Teori perdagangan klasik yang lainnya
datang dari seorang ekonomi yang merupakan sahabat terdekat Robert Malthus yakni David
Ricardo. Teori ini merupakan pengembangan dari teori keunggulan mutlak yang memberikan
jawaban atas pertanyaan bagaimana bila negara yang diajak melakukan perdagangan tidak
memiliki keunggulan mutlak. Menurutnya, kerugian mutlak oleh dua negara dapat diatasi dengan
melakukan produksi komoditas yang tidak diunggulkan oleh negara yang diajak bekerja sama
dalam perdagangan. Negara harus melakukan produksi dan ekspor terhadap komoditas yang
memiliki keunggulan mutlak yang lebih besar dan melakukan impor terhadap komoditas yang
memiliki keunggulan mutlak yang lebih kecil. Berikut Tabel 2 yang akan menjelaskan teori
keunggulan komparatif milik David Ricardo.

Tabel 2. Teori Keunggulan Komparatif


Negara/Produk Mobil Pakaian Rajut
Indonesia 7 hari 4 hari
Jepang 2 hari 3 hari

Berdasarkan Tabel 2, jika dilihat menggunakan keungulan mutlak Jepang memiliki


keunggulan mutlak dalam memproduksi pakaian rajut maupun mobil. Lantas apakah 2 negara ini
tidak bisa melakukan perdagangan antar negara? Menurut teori keunggulan komparatif,
jawabannya adalah Bisa dan kuncinya adalah SPESIALISASI. Untuk kasus diatas, Indonesia akan
berspesialisasi pada produksi pakaian rajut sedangkan Jepang akan berspesialisasi pada produksi
mobil. Mengapa demikian? Karena pada nilai tukar 1 unit mobil = 1 kwintal pakaian, Indonesia
akan mengorbankan 4 hari kerja (memproduksi 1 kwintal pakaian rajut) untuk mendapatkan 1
unit mobil yang jika diproduksi sendiri memerlukan waktu 7 hari. Jepang akan mengorbankan 2
hari kerja (memproduksi 1 unit mobil) untuk mendapatkan 1 kwintal pakaian yang jika diproduksi
sendiri memerlukan waktu 3 hari kerja. Pada intinya, masing-masing negara akan memproduksi
barang/komoditas yang benar-benar merupakan spesialisasinya. Spesialisasi ini berdasarkan pada
keunggulan faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara (merupakan pemikiran awal
Heckscher-Ohlin dalam mengembangkan teori proporsi faktor produksi).

3. Teori Perdagangan Modern


a. Teori perdagangan klasik disusun berdasarkan asumsi bahwa hanya ada 2 negara yang
melakukan perdagangan, 2 barang/komoditas yang diperdagangkan, keadaan full
employment, persaingan sempurna, mobilitas tinggi dari faktor-faktor produksi (tenaga kerja
dan modal/kapital) tetapi immobile secara internasional. Berdasarkan asumsi-asumsi
tersebut terdapat beberapa kritik yakni pada kenyataannya tenaga kerja tidak homogen,
mobilitas tenaga kerja dalam negeri mungkin tidak sebebas seperti dalam anggapan klasik
karena ada ikatan keluarga dan adanya ketidakpastian terhadap pekerjaan ditempat baru.
Namun demikian, perdagangan bebas/free trade yang dikemukakan klasik dapat
menimbulkan spesialisasi yang akan menaikkan efisiensi produksi. Teori klasik menjelaskan
bahwa keuntungan dari perdagangan internasional itu timbul karena adanya comparative
advantage yang berbeda antara dua negara. Teori nilai tenaga kerja menjelaskan perbedaan
itu karena disebabkan oleh perbedaan fungsi produksi antara dua negara tersebut. Jika fungsi
produksi sama maka nilai produksinya juga akan sama sehingga tidak akan terjadi
perdagangan antarnegara. Syarat timbulnya perdagangan adalah adanya perbedaan fungsi
produksi namun teori klasik belum bisa menjelaskan mengapa terdapat perbedaan tersebut.
Teori modern memulai dengan anggapan bahwa fungsi produksi itu sama dan
menjelaskan faktor penyebab terjadinya perbedaan dalam comparative advantage adalah
proporsi kepemilikan faktor produksi. Teori ini dikenal dengan nama Factor Proportions Theory /
Teori H-O (Heckscher-Ohlin) yang menjelaskan bahwa perbedaan dalam opportunity cost suatu
negara dengan negara lain karena adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi yang dimiliki.
Intinya adalah sebuah negara akan mengekspor produk yang menggunakan faktor produksi yang
murah dam melimpah di negaranya dan mengimpor produk yang menggunakan faktor produksi
yang langka di negaranya. Implikasi dari teori ini adalah ekspor negara yang memiliki sumber daya
modal yang berlimpah akan berasal dari industri yang menggunakan sumber daya modal secara
intensif, dan negara yang memiliki sumber daya buruh yang berlimpah akan mengimpor barang
tersebut dan mengekspor barang yang menggunakan tenaga buruh secara intensif. Namun, pada
tahun 1954, Professor Wassily W. Leontief menemukan bahwa Amerika Serikat, negara yang
sumber daya modalnya berlimpah, mengekspor komoditas yang menggunakan buruh secara
intensif dan mengimpor komoditas yang menggunakan modal secara intesif, sehingga
bertentangan dengan model ini. Permasalahan ini dijuluki sebagai paradoks Leontief.
b. Teori Keunggulan Kompetitif
Bila dalam teori-teori perdagangan terdahulu baik teori keunggulan mutlak, keunggulan
komparatif, maupun proporsi faktor produksi, teori-teori tersebut menyatakan keunggulan dalam
perdagangan dari aspek faktor produksi saja. Michael E. Porter mencoba melihat alasan
unggulnya suatu negara dalam perdagangan internasional secara holistic. Dalam teori keunggulan
kompetitif Porter membuat sebuah model yang dikenal dengan sebutan Porter`s Diamond Model
atau Porter Diamond Theory of National Advantage.
Porter`s Diamond Model
Source: Porter 1990a, p. 127

Pada level industry, Porter menjelaskan mengapa suatu negara memiliki keunggulan dalam
perdagangan internasional. Berdasarkan investigasi / penelitian terhadap 100 industri di 10
negara, Porter menemukan bahwa ada empat faktor yang membentuk keunggulan kompetitif,
yakni Kondisi Faktor (Factor Conditions), Kondisi Permintaan (Demand Conditions), Industri
Terkait dan Pendukung (Related and Supporting Industries), dan Strategi, Struktur, dan
Persaingan Perusahaan (Firm strategy, structure, and rivalry). Keempat faktor ini membentuk
lingkungan di mana perusahaan lokal bersaing dan menentukan keberhasilan suatu negara dalam
persaingan internasional. Dalam gambar dapat dilihat bahwa masing –masing faktor saling terkait
dan membentuk sistem yang saling memperkuat di mana efek dari satu faktor bergantung pada
keadaan faktor lainnya. Masing-masing faktor akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Kondisi Faktor
Unsur pertama dari model Diamond Porter adalah kepemilikan negara atas faktor-faktor
produksi. Konsisten dengan teori proporsi faktor produksi (Heckscher-Ohlin), setiap negara
memiliki faktor produksi tertentu yang melimpah. Porter membedakannya ke dalam faktor
dasar dan lanjutan. Faktor-faktor dasar adalah faktor-faktor seperti tanah, iklim, sumber daya
alam atau demografi, sedangkan faktor-faktor lanjutan berhubungan dengan faktor-faktor
yang lebih canggih, termasuk stok sumber daya pengetahuan negara (misalnya pengetahuan
ilmiah, teknis atau pasar),tenaga kerja terampil, tingkat kecanggihan infrastruktur
transportasi dan komunikasi (Rugman/Collinson 2012, hal. 303).
Dalam Diamond Model, faktor-faktor lanjutan dianggap lebih signifikan pengaruhnya untuk
meciptakan keunggulan kompetitif. Faktor-faktor ini dapat diciptakan melalui pelatihan,
penelitian dan inovasi. Asumsi dasarnya adalah bahwa suatu bangsa harus terus
meningkatkan atau menyesuaikan kondisi faktornya. Faktor-faktor dasar memberikan
keuntungan awal bagi negara yang selanjutnya dapat diperkuat dengan berinvestasi pada
faktor-faktor lanjutan.
2. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan mengacu pada ukuran dan sifat dasar konsumen untuk produk /selera
konsumen, yang juga mendorong inovasi dan peningkatan produk. Semakin besar dan luas
akses pasar serta semakin dinamis pangsa pasar yang dimiliki maka akan menuntut
perusahaan untuk melakukan diferensiasi produk dan inovasi pada produk.
3. Industri Terkait dan Pendukung
Industri terkait dan pendukung mengacu pada industri hulu dan hilir yang memfasilitasi
inovasi melalui pertukaran ide. Ini dapat memacu inovasi tergantung pada tingkat
transparansi dan transfer pengetahuan. Industri pendukung terkait dalam model Diamond
sesuai dengan pemasok dan pelanggan yang dapat mewakili ancaman atau peluang.
4. Strategi, Struktur, dan Persaingan Perusahaan
Strategi, struktur, dan persaingan perusahaan mengacu pada fakta dasar bahwa persaingan
menyebabkan perusahaan menemukan cara untuk meningkatkan produksi dan
pengembangan inovasi teknologi. Dalam Hal ini kekuatan dan ketepatan pesaing dalam
menentukan konsentrasi kekuatan pasar, tingkat persaingan, dan kemampuan perusahaan
pesaing untuk memasuki pasar suatu negara sangat berpengaruh.

Anda mungkin juga menyukai