Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

QATH'I DAN ZHANNI SUATU DALIL NASH

Dosen Pengampuh:

Humaidi S, S.EI., M.E.

Mata Kuliah : Ushul Fiqih Dan Qawaid

Kelompok 4 :

KAMRAN (2104020006)

DEWI YULINDRA (2104020026)

ADE PUTRA SUGIMAN (2104020027)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
kesehatan kepada saya sehingga saat ini saya masih bisa menyelesaikan makalah
yang diberikan oleh dosen. Shalawat dan salam selalu saya curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Sebagai suri teladan bagi setiap insan. Adapun materi dalam
makalah ini diambil dari sebagaian buku dan beberapa dari internet dimana
berkaitan dengan materi yang akan saya bahas. Materi yang akan saya bahas tidak
lain adalah tentang”QATH'I DAN ZHANNI SUATU DALIL NASH".. Kami
menyadari sepenuhnya bahwa makalah saya ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun tetap kami nantikan
dari teman-teman sekalian terutama kepada dosen kita.

Semoga makalah ini mampu memberikan manfaat dan nilai tambah


kepada para pembacanya.

Palopo, 30 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

a. Latar Belakang ................................................................................................ 1


b. Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
c. Tujuan Rumusan masalah ...............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

a. Pengertian Qath'i Dan Zhanni .......................................................................... 3


b. Ciri-Ciri Dari Qath’i Dan Zhanni .................................................................... 4
c. Kaitan Qath’i Dan Zhanni Dengan Ijtihad ....................................................... 4
d. Penafsiran Tekstual Dan Kontekstual Dalil Ekonomi Syariah ......................... 8
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 10

a. Kesimpulan ................................................................................................... 10
b. Saran ............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Ushul fiqih ialah ilmu yang mengkaji tentang dalil fiqih berupa kaidah untuk
mengetahui cara pengguaannya, mengetahui keadaan orang yang menggunakannya
(muttahid) dengan tujuan mengeluarkan hukum amali ( perbuatan) dari dalil dalil
secara terperinci dan jelas. Objek pembahasannya mengkaji dalil yang masih bersifat
umum dilihat dari ketetapan hukum yang umum pula puncak tujuan mempelajarinya
adalah untuk memelihara agama Islam dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil-
dalil syara’, hingga terhindar dari kecerobohan yang menyesatkan. Sumber hukum
dalam agama Islam yang paling utama dan pokok dalam menetapkan hukum dan
memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah al-Qur’an dan al-Hadis. al-
quran Sebagai sumber paling utama dalam Islam.

Al-Qur`an merupakan sumber pokok dalam berbagai hukum Islam. Al-Qur’an


sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah lengkap. Selain
itu juga al-Qur`an memberikan tuntunan bagi manusia mengenai apa-apa yang
seharusnya ia perbuat dan ia tinggalkan dalam kehidupan kesehariannya. Sedangkan
al-Hadis merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Disamping sebagai
sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati
Rasulullah Saw, juga karena fungsinya sebagai penjelas sebagainya. Al-Qur’an
merupakan hidayah Allah yang melengkapi segala aspek kehidupan manusia. Sumber
paling utama dalam Islam adalah al-Qur’an, yang merupakan sumber pokok bagi
aqidah, ibadah, etika, dan hukum. al-Qur’an merupakan sumber primer karena tidak
lepas dari apa yang dikandung oleh al-Qur’an itu sendiri.

Nash-nash Al-Qur’an, seluruhnya bersifat qath’i (pasti) dari segi kehadirannya


dan ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita. Maksudnya,
kita memastikan bahwa setiap nash Al-qur’an yang kita baca itu ialah hakekat nash

1
Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Kemudian Rasul yang
makshum itu menyampaikannya kepada ummatnya tanpa ada perubahan dan tidak
pula ada penggantian. Lantaran ma’sumnya Rasulullah saw, maka ketika turun surat
atau ayat disampaikannya oleh Rasulullah saw kepada para sahabat dan dibacakan
untuk ditulis (ada pula yang menulis untuk dirinya sendiri) serta untuk dihafal dan di
baca waktu melakukan shalat. Mereka juga beribadah dengan cara membaca pada
setiap saat. Akan tetapi, hukum-hukum yangg dikandung Al-Qur’an adakalanya
bersifat qath’i dan ada kalanya bersifat zhanni.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian qath’I dan zhanni ?
b. Apa saja ciri-ciri dari qath’I dan zhanni ?
c. Apa kaitan qath’I dan zhanni dengan ijtihad ?
d. Bagaimana penafsiran tekstual dan kontekstual dalil ekonomi syariah ?

C. Tujuan Rumusan Masalah


a. Untuk mengetahui pengertian dari qathi dan zhanni
b. Untuk mengetahui ciri-ciri dari qath’I dan zhanni
c. Untuk mengetahui kaitan qath;I dan zhanni dengan ijtihad
d. Untuk mengetahui penafsiran tekstual dan kontekstual dalil ekonomi syariah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qath'i dan Zhanni


Dari segi etimologi/bahasa kata qath’i berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Qat’u,
yang berarti “memotong, tajam, menjadikan sesuatu dengan yang lainnya jelas.”
Menurut Abdul Wahab Khallaf, qath’I adalah sesuatu yang menunjukan kepada
makna tertentu dari suatu teks (ayat atau hadits). Qath’i tidak mengandung
kemungkinan ta’wil (mengembalikan sesuatu kepada tujuannya) serta tidak dapat
memaknai selain makna dari teks tersebut.
Menurut Abu al-Ainain Badran al-Ainain seorang guru besar ushul al-Fiqh di
Mesir bahwa qath’i adalah sesuatu yang menunjuk kepada hukum tertentu dan tidak
mengandung kemungkinan makna lain

Sedangkan kata hanni berasal dari bahasa rab yang akar katanya ‫ ظـن‬berarti
ragu atau sangkaan. Zanni juga berarti tidak kuat atau diragukan, maka dapat
disimpulkan bahwa zanni adalah sesuatu yang bersifat dugaan, relatif, sangkaan dan
tidak pasti.

Menurut Abu al-Ainain Badran al-Ainain seorang guru besar ushul al-Fiqh di
Mesir zanni adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang
mengandung pengertian lain.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf zanni, nas yang menunjukkan atas makna yang
memungkinkan untuk dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna
yang lain.

3
B. Ciri-Ciri Qathi Dan Zhanni
Qathi mengandung satu makna yang sifatnya pasti, dan tak boleh di ganggu
gugat dan tak dapat di takwilkan. keberadaannya pasti. Artinya, secara meyakinkan
semua Ayat-ayat tersebut pasti berasal dari Rasululullah SAW. dan tidak ada satu
ayat atau satu kata pun di dalamnya yang berasal dari pemikiran atau reka-rekaan
sahabat. Sebab semua kata-kata dan ayat-ayatnya diriwayatkan secara mutawatir dan
melalui suatu verifikasi ilmiah yang sangat teruji. Yang sampai sekarang belum ada
satu penelitian ilmiah yang mampu menandingi ketelitiannya.
Zhanni, artinya sangkaan yang mengandung dua makna yang sifatnya tidak pasti.
Dapat ditakwilkan atau di alihkan kepada makna yang lain.

C. Qathi Dan Zhanni dalam Al-Quran dan Hadis Serta Kaitannya Dengan
Ijtihad.
Ijtihad secara etimologi yaitu pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit. ijtihad secara terminologi adalah penelitian dan
pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan
sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud
dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.

Istilah qath’I dan zhanni masing-masing terdiri dari dua bagian yaitu
menyangkut wurud (kedatangan) atau tsubut (penetapan) dan menyangkut dalalah
(petunjuk) atau pengertian makna. Pembagian status qath’I dan zhanni terhadap dalil
al-Quran dan al-Sunnah dilakukan dalam upaya merumuskan dan menentukan
wilayah ajaran Islam yang tidak dapat lagi dilakukan ijtihad dan wilayah yang boleh
dilakukan ijtihad. Sebuah dalil dikatakan qath’i dari segi dalalah artinya dalil-dalil
yang menunjukkan satu pengertian tertentu dan tidak mengandung kemungkinan
takwil maupun peluang untuk memberikan pengertian yang lainnya. Adapun dalil
yang berstatus zhanni al-dalalah adalah dalil yang menunjukkan satu pengertian
namun terhadap dalil itu masih dimungkinkan dilakukan takwil yang menghasilkan

4
pengertian lain. Ketika berbicara qath’i dan hanni dalam al-Sunnah akan berbeda
dengan al-Qur’an, dimana disepakati status wurud/tsubutnya bersifat qath’i. Dalam
Sunnah status wurudnya dapat bernilai qath’i dan zhanni. Hal tersebut karena adanya
pembedaan Sunnah dilihat dari segi periwayatannya, ada yang mutawatir dan ada
sebagian lain yang ahad . Status Wurud Sunnah Wurud Sunnah dapat berstatu qath’i
apabila Sunnah tersebut diriwayatkan secara mutawatir, yakni suatu Sunnah yang
diriwayatkan oleh jamaah yang karena kualitas dan kuantitas Jemaah itu secara logika
mustahil akan bersekongkol untuk berdusta. Dan kondisi tersebut terpelihara
semenjak diterimanya hadis tersebut dari Rasul sampai sanad yang terakhir. Sunnah
Mutawatir dinilai qath’I wurudnya dari rasul, karena kemutawatiran periwayatan
menunjukkan kepastian shahihnya Sunnah tersebut. Sebagian ulama berpendapat
bahwa sunnah yang berkategori ahad yang berkualitas shahih itu berstatus qath’i,
dengan alasan Sesuatu yang berstatus zhanni mempunyai kemungkinan mengandung
kesalahan. Sunnah yang telah diteliti dengan cermat dan ternyata berkualitas shahih
terhindar dari kesalahan. Karenanya sunnah yang berkualitas shahih, walaupun
berkategori ahad, memiliki status qath’i wurud Nabi Muhammad Saw pernah
mengutus sejumlah muballigh ke berbagai daerah. Jumlah mereka tidak mencapai
kategori mutawatir. Sekiranya penjelasan tentang agama harus berasal dari berita
yang berkategori mutawatir, niscaya masyarakat tidak dibenarkan menerima dakwah
dari muballigh yang diutus Rasulullah Saw. Umar bin Khattab pernah membatalkan
hasil ijtihadnya ketika ia mendengar hadis Nabi yang disampaikan oleh al-Dhahhak
bin Sufyan secara ahad. Bahwa wurud sunnah itu berstatus zhanni, apabila
periwayatannya tersebut tidak memenuhi persyaratan mutawatir, yakni sunnah ahad.
Karena sunnah ahad tidak menjamin kepastian, sehingga ada juga para ulama yang
mempermasalahkan bahkan menolak kehujjahan sunnah ahad.

Nash yang Qath’i ad-dalalah adalah nash yang menunjukkan kepada arti yang
terang/jelas sekali untuk dipahami, hingga nash itu tidak bisa ditakwilkan dan
dipahami dengan arti yang lain. Artinya nash tersebut telah memberikan makna

5
tertentu dengan jelas dan tidak ada peluang untuk merubah, mengembangkan, dan
mengalihkan pada makna yang lainnya. Katagori nashqath’i menurut Muhammad
Adib Salih adalah jika suatu lafadh itu mencakup dua hal yaitu: pertama,
mengandung nilai aqidah. Kedua, lafadh itu mengandung nilai-nilai universal dan
tidak bertentangan dengan prinsip moral, seperti menegakkan keadilan, berbuat baik
kepada kedua orang tua, menyambung silaturrahim, dan menepati janji. Terhadap
nash qath’i Imam al-Ghazali menegaskan bahwa: “semua yang diketahui secara
pasti (qath’i) dalam agama, tidak ada tempat untuk melakukan ijtihad, dan tidak ada
pula tempat untuk memperselisihkannya, dan yang benar itu hanya satu tidak ganda.”

Berdasarkan pengertian tersebut jelaslah bahwa nash qath’i tidak ada peluang
untuk berijtihad untuk mengalihkan maknanya kecuali memahami makna sesuai
dengan bahasa yang terkandung di dalamnya,sehingga dalam mengamalkannya harus
seperti apa adanya. Nash qath’I juga tidak boleh terkontaminasi dengan pengaruh
perubahan dan perkembangan sosio-cultur, ia bersifat ta’abbudi( diterima dan
dilaksanakan tanpa komentar) dan ia bersifat tetap tidak berubah sampai akhir
zaman. Dalam bidang hukum misalnya ayat mawaris, surat an-Nisa:12 yang artinya:

“ Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta, yang di tinggalkan


oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang di tinggalkannya
setelah di penuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah di bayar) hutangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah di penuhi) wasiat yang kamu
buat, atau (dan setelah di bayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik itu
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara
perempuan (seibu) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-

6
sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang di buatnya atau
(dan setelah di bayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepala ahli waris)
demikian ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun”.

Bagian-bagian dari harta yang ditinggalkan untuk suami oleh isteri ½ bila tidak
meninggalkan anak dan ¼ bila ada anak adalah bersifat qath’I, sehingga tidak boleh
diijtihadkan dengan alasan apapun. Misalnya diberikan untuk suami ¼ baik ada anak
maupun tidak ada anak karena suami mungkin sudah mapan dari segi ekonominya,
sementara anak masih panjang perjalanan hidupnya. Sebaliknya diberikan untuk
suami ½ dengan alasan suami akan membelanjakan anak- anaknya. Demikian juga
pembagian harta warisan ini tidak boleh diberikan lebih atau kurang dari yang telah
ditentukan dalam ayat yang tergolong kedalam ayat qath’i. Kemudian ayat-ayat al-
Qur‟an yang menjelaskan kadar hukuman had yang telah tercantum dengan jelas
mengenai kuantitas dan kualitas hukumannya tergolong qath’i. misalnya hukuman
dera seratus kali bagi penzina tidak boleh lebih dan kurang atau ditakwilkan dengan
mengumpulkan seratus alat cambuk dan dicambuk satu kali.
Nash yang zhanni ad-dalalah adalah nash yang menunjukkan kepada arti yang
masih dapat dita’wilkan atau dialihkan kepada arti yang lain. Artinya nash yang
zhanni ada peluang untuk diijtihadkan, karena sifat nash ini memang tidak
tegas/terang atau satu lafadh memiliki banyak arti. Ali Hasballah yang dikutip Abd.
Salam Arief menjelaskan tentang luasnya ruang lingkup ijtihad, ia mencakup zanni
al-tsubut yang perlu diijtihadkan disini adalah sanadnya dan zanni al-dalalah yang
perlu diijtihadkan adalah penafsiran dan takwilnya. Abdul Wahhab Khallaf
mengambil surat al-Baqarah ayat 228 sebagai contoh ayat zhanny.
Lafadh quruu dalam bahasa Arab merupakan lafadh musytarak yang
mempunyai arti lebih dari satu, ia dapat diartikan “suci” dan dapat juga diartikan
“haidh”. Jadi dalam ayat tersebut ada kemungkinan bahwa wanita-wanita yang di
talak oleh suami masa tunggunya bisa tiga kali suci dan biasa tiga kali haidh

7
D. Penafsiran Tekstual Dan Kontekstual Dalil Ekonomi Syariah
Ekonomi Islam terbangun dari dasar hukum Naqli dan Aqli. Dalil Naqli adalah
dalil yang di ambil dari Al-qur’an atau hadits Nabi Muhammad S W. Dalil Naqli
bisa diartikan juga seperti tanda bukti atau petunjuk dari teks ayat Al-Qur'an, yang
tertera dalam mushaf al-Qur’an atau Hadis mutawatir, yang tertera didalam kitab-
kitab hadis, lalu diambil dan disalin dari tulisan yang telah baku. Dalil tersebut
kebenarannya merupakan kebenaran yang haqiqi/mutlak. Sedang dalil Aqli adalah
dalil yang bisa di nalar oleh akal. Dalil aqli bisa diartikan juga seperti petunjuk dan
pertimbangan akal fikiran yang sehat dan obyektif, tidak dipengaruhi oleh keinginan,
ambisi atau kebencian dari emosi. Tegasnya dalil aqli adalah penerimaan akal secara
murni dan bebas, kebenarannya merupakan nisbi (relatif), karena merupakan prodak
manusia. Adapun bentuk dalil aqli berupa Ijtihad: ijma dan qiyas. Dari dua dasar
hukum tersebut, bahwa prinsip prinsip ekonomi Islam tidak boleh menyimpang dari
al-Qur'an dan al-Hadits. Sedang dalam pengembangan pemikiran ekonomi Islam
tidak lepas dari dasar hukum aqli berupa Ijtihad.

Al-Qur'an memberi arahan dan ketetapan yang sangat unggul, lengkap dan
mendasar terkait ekonomi untuk dipahami dan dilaksanakan oleh segenap manusia.
Adalah peluang dan tantangan para ulama, ilmuwan muslim dan praktisi ekonomi
Islam untuk terus mengembangkannya. Jika ketentuan tersebut ditaati dengan penuh
keimanan dan konsistensi maka akan tercapai kesejahteraan dan kebahagian hidup
ummat manusia di dunia maupun di akhirat. Jika tidak ditaati maka akan selalu terjadi
berbagai masalah kezhaliman dan ketidakadilan dalam bidang ekonomi. Secara
filosofis, normatif dan aplikatif ilmu ekonomi Islam lebih dahulu tumbuh dan
berkembang daripada ekonomi konvensional. Bahkan ekonomi Islam memberikan
kontribusi terhadap perkembangan ekonomi konvensional. Kejujuran histori menjadi
penting dan sangat diperlukan dalam penulisan sejarah pemikiran ekonomi yang ada
di dunia. Tidak hanya bersifat filosofis, idiologis dan normatif, yang lebih penting
adalah berjalannya sistem ekonomi Islam secara riil di tengah masyarakat dan

8
memberi solusi berbagai kezhaliman dan ketidakadilan yang tidak bisa disolusi oleh
sistem ekonomi non Islam. Kesatuan pandangan para ulama, ilmuwan, ekonom dan
pengusaha muslim sangat penting diupayakan dalam rangka mempercepat
perkembangan ekonomi Islam. Padahal Al-Qur'an sebagai sumber penggalian dan
pengembangan ajaran Islam, berisi segala hal yang menyangkut tata nilai mengenai
perilaku kehidupan manusia terutama terkait dengan ekonomi.

Filosofi ekonomi memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai Islami dan


batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis yang dapat
digunakan. Jadi ekonomi Islam bukan hanya sekedar ilmu tetapi sebuah system
kehidupan yang didalamnya juga berbicara ilmu. Proses integrasi doktrin dan ilmu ini
didasari pada paradigma hidup yang tidak hanya berhenti di dunia, tetapi berlanjut
pada kehidupan akhirat. Ditinjau secara filsafat ekonomi Islam menggunakan dasar
petunjuk Allah berupa wahyu (Al-Qur'an). Dalam Islam yang menjadi pendorong
adalah kehendak Allah swt (God Interest) yaitu dalam rangka mengabdi dan mencari
ridha Allah Swt.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Qath'i menurut bahasa adalah jelas dan pasti. Qath'i adalah sesuatu yang
menunjukkan kepada makna tertentu yang harus di pahami dari teks (ayat-ayat atau
hadis). Qath'i tidak mengandung kemungkinan takwil ( mengembalikan sesuatu
kepada tujuannya) serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain
makna yang di tunjukkan. sedangkan secara bahasa zhanni adalah perkiraan,
sangkaan (antara benar atau salah). Zhanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil
(ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian
lain. Berdasarkan pengertian tersebut jelaslah bahwa nash qath’i tidak ada peluang
untuk berijtihad untuk mengalihkan maknanya kecuali memahami makna sesuai
dengan bahasa yang terkandung di dalamnya, sehingga dalam mengamalkannya harus
seperti apa adanya. Nash qath’I juga tidak boleh terkontaminasi dengan pengaruh
perubahan dan perkembangan sosio-cultur, ia bersifat ta’abbudi( diterima dan
dilaksanakan tanpa komentar) dan ia bersifat tetap tidak berubah sampai akhir
zaman. Nash yang zhanni ad-dalalah adalah nash yang menunjukkan kepada arti
yang masih dapat dita’wilkan atau dialihkan kepada arti yang lain. rtinya nash yang
zhanni ada peluang untuk diijtihadkan, karena sifat nash ini memang tidak
tegas/terang atau satu lafadh memiliki banyak arti.

Ekonomi Islam terbangun dari dasar hukum Naqli dan Aqli. Dalil Naqli adalah
dalil yang di ambil dari Al-qur’an atau hadits Nabi Muhammad S W. Dalil Naqli
bisa diartikan juga seperti tanda bukti atau petunjuk dari teks ayat Al-Qur'an, yang
tertera dalam mushaf al-Qur’an atau Hadis mutawatir, yang tertera didalam kitab-
kitab hadis, lalu diambil dan disalin dari tulisan yang telah baku. Dalil tersebut
kebenarannya merupakan kebenaran yang haqiqi/mutlak.

10
B. Saran
demikianlah makalah yang telah kami jabarkan, semoga bermanfaat bagi siapa
saja yang membacanya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran atas makalah
ini. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terimah kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd.Rahman. 2018. USHUL FIQH. Jakarta: HAMZAH

https://www.academia.edu/38553682/MAKALAH_QATHI_DAN_ZHANNI

https://ilmuhukumidn.blogspot.com/2020/07/QATHIY-DAN-ZANNIY-DALAM-
PERSPEKTIF-PEMIKIRAN-ISLAM.html?m=1

https://jurnal.fdk.uinsgd.ac.id/index.php/tamkin/article/download/2550/504#:~:text=
Menurut%20Muhammad%20Hashim%20Kamali%20ayat,bagi%20pemaknaa
n%2C%20penafsiran%20dan%20ijtihad

12

Anda mungkin juga menyukai