Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENGANTAR USHUL FIQIH

“HUKUM ISLAM DAN UNSUR-UNSUR PEMBENTUKANNYA”


Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Pengentar Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Rahmad Setyawan, M.H.

Disusun Oleh:

Imas Talitha Wardani (212121196)

Syakila Firdausia Mahali (212121198)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM/2F

FAKULTAS SYARIAH

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami bisa
menyelesaikan makalah pengantar ushul fiqih ini yang berjudul "Hukum Islam dan Unsur-Unsr
Pembentukannya"

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rahmad Setyawan, M.H.

selaku dosen mata kuliah pengantar ushul fiqih yang telah memberikan ilmunya kepada kita
semua.

Kami menyadari ada kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik
senantiasa diharapkan demi perbaikan tugas makalah ini. Kami juga berharap semoga makalah
ini mampu memberikan pengetahuan kepada semua yang membacanya.

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ....................................................................................................................... 4
B.Rumusan Masalah.................................................................................................................... 5
C.Tujuan Penulisan ..................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 6
A.Pengertian Al-Ahkam .............................................................................................................. 7
B.Penjelasan Terhadap Mahkum Bih, Mahkum Alaih, Al-Hukmu dan Al-Hakim .................. 11
C.Kesimpulan ............................................................................................................................ 11
D.Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam adalah salah satu agama samawi yang diturunkan Allah Swt kepada rasul-
Nya Muhammad Saw. Beliau menjadi penerima wahyu dan sekaligus menyampaikan wahyu
tersebut kepada umatnya, itulah yang disebut sebagai tugas rasul. Salah satu dari beberapa
macam wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah Al-Quran. Al-quran
adalah wahyu yang berbentuk fisik yang diterima Nabi Muhammad. Dan Alquran adalah
pedoman kehidupan manusia, baik itu pedoman berupa perintah, larangan, anjuran, atau
disimpulkan sebagai sumber hukum dalam hidup manusia, dan alquran juga berisikan sejarah
masa lalu, dan berita umat yang akan datang.

Selain Al quran, yang dijadikan sumber hukum adalah Hadis Nabi Muhammad Saw.
Fungsi dari hadits tersebut adalah sebagai penjelas dalam atau menerangkan kalimat-kalimat
yang ada dalam Al quran. Dalam hal ini sesuai dengan kemajuan zaman, dan perbedaan
budaya dalam hidup manusia, terkadang ada hukum-hukum yang ditetapkan pada zaman
Nabi Muhammad tidak relefan dengan keadaan setelahnya. Juga ada hal-hal atau peristiwa-
peristiwa yang terjadi sekarang, belum terjadi pada zaman rasul, sahabat dan tabi’in, yang
berakibat belum jelasnya status suatu hukum pada peristiwa tersebut. Dalam mengatasi
hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah diatas, maka yang menjadi acuan adalah
hasil dari Ijma’ Ulama.

Hukum yang diatur Al-qur’an dan hadits ada juga ditemukan pembahasan-pembahasan
hukum secara global, namun dalam paradikma para ulama hal tersebut adalah sebuah
khazanah pengetahuan dalam islam, dan hal seperti itu adalah dalam wilayah-wilayah
pembahasan Ushul Fiqh. Seperti yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang Al
hukmu,Al Hakim,Mahkum Bih dan juga Mahkum alaih
B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas pada makalah kali ini adalah:

1. Bagaimana pengertian dan penjelasan al ahkam ?


2. Bagaimana penjelasan terhadap mahkum bih, mahkum alaih, al hukmu dan al hakim ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan Rumusan Masalah diatas,maka tujuan penulisan makalah ini adalah:

1.Untuk mengetahui dan memahami apa saja pengertian dan penjelasan al ahkam

2.Untuk mengetahui dan memahami apa saja penjelasan terhadap mahkum bih, mahkum alaih, al
hukmu dan al hakim
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian al ahkam
Al-ahkam dilihat dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata hukmun yang
artinya keputusan / ketetapan. Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan"

Dari pengertian diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam
1. Tuntunan
Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan sesuatu (perintah) atau pun
tuntunan untuk meninggalkan sesuatu (larangan) baik itu berupa keharusan (wajib)
ataupun hanya keutamaan
2. Pilihan
Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya tidak ada suatu ketentuan
syara’ yang mengatur maka akan menjadi suatu kebebasan untuk memilih melakukan
ataupun tidak atau sering disebut mubah
3. Peletakan
Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau
sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan. Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah”
atau “batal”.

Al-ahkam dalam bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait
dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut
hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut
syara’ maka yang dikehendaki adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia,
yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan
akhlak.2 Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang
bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah dan akhlaq.

B. Penjelasan terhadap mahkum bih, mahkum alaih, al hukmu, dan al hakim


Berikut ini adalah unsur-unsur hukum islam :
1. Mahkum Bih
a. Pengertian Mahkum Bih
Mahkum bih adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan
hukum Allah (hukum syara’). Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan
Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
b. Syarat- syarat Mahkum Bih
Syarat-syarat mahkum bihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf
sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-
benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak
dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif/perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat
dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif
terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak
mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif/perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya,
supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.
2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah
Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya,
Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada
orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras. Perintah-perintah
tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-
anak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan
Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum
baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak
dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
melaksanakannya.
b. Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih
Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :
1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa
nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui
perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat
melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk
memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal
(gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar
dan pantas untuk menerima perintah tersebut.
3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT
dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain
sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
3. Al Hukmu
a. Pengertian Al hukmu/ hukum
Secara bahasa hukum berarti putusan. Dalam istilah ulama ushul, hukum
didefinisikan sebagai suatu khitab syari’ yang berkaitan dengan perbuatan-
perbuatan mukallaf, baik yang bersifat thalab (tuntutan), takhyiir (pilihan) atau
wadl’i (ketetapan). Sedangkan hukum menurut pakar fiqh adalah suatu sifat
syar’i yang merupakan pengaruh dari khitab tersebut. Dengan demikian,
pengaruh khitab Allah yang berimplikasi pada kewajiban mendirikan shalat dari
ayat “Aqiimu as-Sholaah” adalah sebuah hukum. Adapun hukum-hukum
menurut fuqaha sebagaimana umum diketahui, yaitu, wajib, mandud, haram,
makruh dan mubah.
b. Macam-macam hukum
1. Hukum Taklify
Hukum taklify terbagi menjadi dua, yakni yang berupa penututan (Al-
Iqtidlo’/Al-tholb)atau yang berupa kebebasan memilih (takhyiir). Yang di
maksud dengan Al-Iqtidlo’/Al-tholb ialah penuntutan harus atau tidak harus
dilakukan atau ditiggalkannya suatu pekerjaan. Secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa Iqtidlo’ terbagi menjadi empat bagian yakni Wajib,
Nadb, Haram, dan Makruh.
2. Al-Wadh’i
Al-wadh’i yaitu menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau pencegah
bagi hal yang lain. Lebih jelasnya Hukum scara wadh’i tidaklah membahas
tentang pembebanan sesuatu terhadap seorang mukallaf, namun disini lebih
menekankan pada ikatan syar’i antara dua hal, yakni penyebab dengan apa
yang disebabkan, syarat dan yang disyaratkan kemudian pencegah dan yang
dicegah. Seperti perintah untuk memotong tangan para pencuri dan hukum
warisan misalnya, perbuatan mencuri dan adanya hubungan keturunan
merupakan sebab agar dipotongnya tangan dan waris-mewaris.
4. Al-Hakim
a. Pengetian Al-Hakim
Kata “Hakim” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.
Dalam istilah fiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum
dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh,
hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama ushul sepakat bahwa yang menjadi pembuat hukum hakiki dari hukum
syariat adalah Allah, sebagaimana firman Allah yang berarti: “Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik”.(QS. Al-An’am: 57).
Dan menurut mereka juga, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu
ialah Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah
para rasulNya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan
kepada ummat manusia. Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara’ itulah
yang menjadi hakim sesudah Rosul dibangkit dan sesudah sampai seruannya
kepada yang dituju. Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi
hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul dibangkit. Golongan
mu’tazillah berpendapat, bahwa sebelum rasul dibangkit, akal manusia itulah
yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik atau
buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya. Oleh
kerena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan
meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah akan memberikan
pahala kepada para mekallaf yang berbuat baikberdasarkan kepada
pendapatnya, sebagaimana Allah memberi pahala berdasarkan apa yang
diketahui mukallaf dengan perantara syara’.
b. Perbedaan Tentang Baik dan Buruk Al Hakim
1. Golongan Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi kepada dua
kategori,Yang pertama adalah perbuatan yang sifat baik atau buruknya bersifat
esensial (hasan lidzātih dan qabīh lidzātih). Kekuatan akal yang sehat secara
independen mampu mengetahuinya. Fungsi wahyu untuk memberitahukan
suatu perbuatan adalah baik atau buruk, dikemas dalam bentuk perintah dan
larangan.Yang kedua adalah perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal
terhadap nilai baik dan buruknya,seperti ibadah dan cara-caranya. Secara
mutlak, diperlukan wahyu untuk mengetahui baik buruknya.
2. Golongan Maturidiyah
Golongan Maturidiyah membagi sesuatu perbuatan itu kepada: Hasan lidzātih,
qabīh lidzātih, dan sesuatu yang ada diantara keduanya dan ini tergantung pada
perintah dan larangan Allah Swt. Menurut mereka, akal semata tidak dapat
dijadikan landasan hukum, setiap hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.
3. Golongan Asy’ariyah
Golongan Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruk
menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datang
kemudian, bukan bersifat esensial. Yang membuat sesuatu baik atau buruk
adalah perintah atau larangan Allah Swt, akal tidak mempunyai kewenangan
menetapkannya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau
sabda Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang dikehendaki adalah hukum
yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang dibicarakan dalam ilmu fiqh,
bukan hukum yang berkaitan dengan akidah dan akhlak. Jadi, tidak termasuk bahasan al-
hakam dalam ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum aqidah
dan akhlaq.
Dalam ushul fiqih hukum hukum-hukum syariat di bagi menjadi dua macam.
Al-Ahkam at-Taklifiyyah (hukum taklifiyah)
Al-Ahkam al-Wadh'iyyah (hukum wadh’iyah)
Unsur-Unsur Hukum Islam yaitu Mahkum Bih, Mahkum ‘Alaih,Al-Hukmu dan Al-
Hakim.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, ‘Aly. Ushul Al-Tasyri’ al-islamy, Dar al-fikr, tth

Hamid, Abdul. Syarh Lathoif al-isyarat, al-haraomain, tth

al-‘imrithi, Syarifuddin. Taqrirat Nadzmu al-waroqot, tth

Dr. H. Nasrun Haroen Ushul Fiqh I(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), 298-303.

Prof.DR.Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2007),333.

Anda mungkin juga menyukai