Anda di halaman 1dari 50

KERTAS KERJA PERORANGAN

“URGENSI VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA


PENCABULAN TERHADAP ANAK”
(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEFAMENANU NOMOR:
75/PID.SUS/2020/PN.KFM)

DIAJUKAN OLEH :

NAMA : DHANITYA PUTRA PRAWIRA , S.H.


KELAS : KELAS VI – PPPJ77
NO. PESERTA : 13
SATKER : KEJARI TIMOR TENGAH UTARA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN


KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
KERTAS KERJA TUGAS JAKSA TINGKAT DASAR

“URGENSI VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA


PENCABULAN TERHADAP ANAK”
(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEFAMENANU NOMOR:
75/PID.SUS/2020/PN.KFM)

Untuk memenuhi persyaratan kelulusan bagi siswa Diklat Pendidikan Dan


Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Kejaksaan RI Tahun 2020

DISUSUN OLEH :
NAMA : DHANITYA PUTRA PRAWIRA,SH
PANGKAT/GOL : YUANA WIRA TU (III/a)
NIP/NRP : 19930425 201902 1 003 / 61993349
PPPJ/KELAS : PPPJ 77 / KELAS VI
NO. PESERTA : 13

Jakarta, 07 Desember 2020


Mengetahui
Widyaiswara / Pembimbing Penguji

ASRUL ALIMINA SH.,M.Hum. ABDOEL KADIROEN, S.H.,M.H.


Jaksa Utama Pratama Nip. 19740710 200012 1 001 Jaksa Utama Madya Nip. 19601115 198703 1 001
KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

petunjuk serta rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas kerja

ini, yang merupakan salah satu syarat untuk dinyatakan lulus sebagai Jaksa

pada Pendidikan Pelatihan dan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Tahun 2020 di

Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia. Sholawat

serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW

sebagai suri tauladan dan penuntun jalan kebaikan bagi seluruh umat manusia.

Kertas kerja ini berjudul ““URGENSI VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA

TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK” (STUDI KASUS

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEFAMENANU NOMOR:

75/PID.SUS/2020/PN.KFM)

Kertas kerja ini penulis buat guna memenuhi salah satu persyaratan yang

telah ditentukan dalam mengikuti proses pembelajaran Diklat Pendidikan

Pelatihan dan Pembentukkan Jaksa Tahun 2020.

Pembuatan kertas kerja ini penulis sadari tidak akan berhasil tanpa ada

bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati

tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Bapak Dr. ST. BURHANUDDIN,

SH.,MH, dan WAKIL JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Bapak Setia

i
Untung Arimuladi, SH. MHum yang telah menyediakan sarana dan prasarana

bagi penulis dan peserta diklat lainnya dalam mengikuti diklat PPPJ tahun

2020;

2. Yth. Bapak Tony Tribagus Spontana, S.H.,M.Hum selaku Kepala Badan

Diklat Kejaksaan Republik Indonesia;

3. Yth. Bapak Judhy Sutoto, S.H.M.H. selaku Kepala Pusat Diklat Teknik

Fungsional Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia;

4. Yth. Bapak Muslikhuddin, S.H.,M.H selaku Kepala Bidang Penyelenggara

DTF Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia;

5. Yth. Bapak Asrul,S.H.,M.H selaku Pembimbing penulis dalam pembuatan

Kertas Kerja Perorangan (KKP)

6. Para Penyelanggara Kelas dan Widyaiswara yang telah memberikan ilmu

pengetahuan dan membuka wawasan untuk penulis dalam dunia hukum baik

teori dan berpraktik sebagai jaksa nantinya;

7. Orang tua saya khususnya Ibu Tercinta Hj. Retno Wulandari, S.Pd., M.M,

keluarga, serta kekasih tercinta Afissa Rahma Ayunda, S.Kep.Ns yang selalu

memberikan do’a, semangat dan dukungan yang tidak ternilai bagi Penulis

untuk menyelesaikan Pendidikan ini dengan baik;

8. Teman-teman Siswa PPPJ angkatan LXXVII Tahun 2020, terutama kelas VI

dan sahabat penulis yang telah bersama suka dan duka selama 4 (empat)

bulan ini.;

ii
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu, baik secara langsung maupun tidak hingga

terselesaikannya kertas kerja ini.

Penulis menyadari bahwa pembuatan kertas kerja ini masih jauh dari

sempurna, Semoga kertas kerja ini dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Wabillahi taufiq wal hidayah ,Wassalamuallaikum Wr. Wb.

Kefamenanu, 07 Desember 2020.

Penulis

Dhanitya Putra Prawira, S.H

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i

DAFTAR ISI .............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN………………………………………… ............. 1

A. LATAR BELAKANG ........................................................... 1

B. RUMUSAN MASALAH .............................................. ......... 5

C. MAKSUD DAN TUJUAN .................................................... 6

1. Maksud .......................................................................... 6

2. Tujuan ............................................................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………… 8

A.Tinjauan Umum tentang Visum et Repertum ........................ 8

B.Tinjauan Tindak Pidana ......................................................... 8

C.Tinjauan Umum Pencabulan Terhadap Anak ........................ 11

BAB III LANDASAN TEORI …………………………………………….. .. 13

A. Teori Tujuan Hukum ..................................................................... 13

B. Teori Pembuktian .......................................................................... 17

BAB IV PEMBAHASAN …………………………………………………… 24

A. KASUS POSISI .................................................................. 24

B. IMPLIKASI KETIADAAN VISUM ET REPERTUM

DALAM PERKARAPENCABULAN TERHADAP

ANAK PADA PUTUSAN

NOMOR:75/PID.SUS/2020/PN.KFM .................................. 25

iv
C. URGENSI VISUM ET REPERTUM DALAM HAL

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA

PENCABULAN……………………………………… .............. 33

D. Penggunaan Visum et Repertum untuk

Pembuktian Perbuatan Cabul ......................................... 35

BAB IV PENUTUP ……………………………………………….. .............. 40

A. KESIMPULAN .................................................................... 40

B. SARAN .............................................................................. 40

DAFTAR PUSTAKA

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan jaman yang begitu pesat didalam kehidupan

bermasyarakat meningkatkan kualitas hidup dan megubah gaya hidup

dan moral manusia. Bahwa interaksi satu dengan lainnya ini sering

terjadi perbuatan yang melanggar hukum yang atau norma-norma

masyarakat.Akhir-akhir ini kekerasan yang banyak disoroti terjadi

didalam masyarakat adalah kekerasan fisik berupa pencabulan, yang

notabene korbannya adalah anak-anak dan pelakunya bisa orang

dewasa dan/atau juga anak-anak. Bahwa merosotnya moral manusia ini

menghilangkan nilai-nilai kerohanian, kejujuran, cinta kasih,

persaudaraan, toleransi, kekeluargaan, kerukunan dan iman. Moralitas

adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata

bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moraliats

mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.1

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar

kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan

negara, setiap Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya

untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental,

1Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek. Remadja Karya CV
Bandung,1986.. hlm. 102.

1
maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk

mewujudkan kesejahteraan Anak dengan memberikan jaminan terhadap

pemenuhan hak-haknya tanpaperlakuan diskriminatif.Negara

menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi

Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan

pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-

undangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat

internasional.2

Anak-anak sangat rentan menjadi korban pencabulan karena

disamping mudah dirayu juga tidak mempunyai kekuatan untuk

melawan. Pelaku kekerasaan seksual pada umumnya adalah orang

yang dekat atau yang dikenal oleh anak, seperti orang tua kandung,

orang tua tiri anak, kakek tetangga, sahabat dari orang tua atau teman,

pengasuh, guru maupun orang yang sama sekali tidak dikenal oleh

korban.

Menurut Ratna Batara Munti3 unsur penting dari pelecehan seksual

adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-

bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan

seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan

2 Penjelasan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-


Undang Nomor 23 tahun 2002
3 Artikel judul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,Kelemahan Aturan dan Proses

Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan”

2
santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak

dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu

bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Hampir sama dengan

kasus perkosaan, perbuatan cabul juga harus dibuktikan dengan apakah

ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Sebagaimana

disebutkan baik dalam pasal 289 KUHP maupun dalam Pasal 76E

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mesti adanya

kekerasan atau ancaman kekerasan dalam perbuatan cabul ini, lagi-lagi

seperti halnya perkosaan menjadi kendala utama perempuan untuk

memproses kasusnya secara hukum.4

Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam suatu tahap

pelaksanaan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

dipengadilan tidak lepas kaitannya dari ilmu pengetahuan lain seperti

ilmu kedokteran kehakiman atau bisa disebut ilmu kedokteran forensik

yang merupakan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan

dalam membantu pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman

dimana persoalannya hanya dapat dipecahkan menggunakan ilmu

pengetahuan ini.5

4 Ibid.
5 Arsyadi, Fungsi dan Kedudukan Visum et Repertum dalam Perkara Pidana, Jurnal
Ilmiah Universitas Tadulako, Fakultas Hukum, Tadulaku, 2014, Vol 2, Edisi 2,

3
Bahwa dalam hal pembuktian hukum pidana berdasarkan pasal

184 KUHAP mengenai alat bukti yaitu:6

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Bahwa dalam hal pelecehan seksual bukti-bukti terebut dapat

digunakan sebagai alat bukti. Dalam kasus perkosaan atau pencabulan

yang dimana dalam rumusan pasal terdapat adanya unsur ancaman

kekerasan atau kekerasan biasanya menggunakan alat bukti berupa

Visum et Repertum. Dalam hal pembuktian di persidangan penggunaan

Visum et Repertum juga di atur dalam pasal 133 ayat (1) KUHAP.7

Menurut JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo,

Visum et Repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli

mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap

mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di

pengadilan. Dalam proses pembuktian bahwa dengan adanya Visum et

Repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada

korban dan membuat terang suatu tindak pidana. bahwa terhadap tindak

pidana pencabulan terhadap anak bentuk ancaman kekerasan yang

6 Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
7 Pasal Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

4
dapat berupa paksaan tersebut harus dituangkan dalam Visum et

Repetum yang memiliki peran penting di dalam suatu perkara pidana

Pencabulan. Adanya hasil Visum et Repertum bisa menjadi bukti yang

kuat untuk kepastian hukum bagi korban tindak pidana pencabulan

khususnya pada anak dan bagi terdakwa didalam persidangan.

Bahwa terhadap perkara Pidana Nomor:

75/Pid.Sus/2020/PN.Kfm yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dengan terdakwa Agustinus Binsasi Alias Agus yang terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Memaksa Anak

melakukan perbuatan Cabul”. Penulis tertarik dikarenakan dalam hal

pembuktian tindak pidana Pencabulan terhadap anak tidak dicantumkan

laporan hasil Visum et Repertum sebagai alat bukti di persidangan.

Berdasarkan uraian tentang latar belakang penelitian sebagaimana

yang telah dijelaskan maka penulis tertarik untuk melakukan Penulisan

Kertas kerja Perorangan dengan Judul URGENSI VISUM ET

REPERTUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCABULAN

TERHADAP ANAK (Studi Kasus Putusan Perkara Pidana Nomor:

75/Pid.Sus/2020/PN.Kfm)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah implikasi ketiadaan Visum et Repertum dalam Perkara

Pencabulan terhadap anak pada putusan

Nomor:75/Pid.sus/2020/PN.Kfm?

5
2. Bagaimanakah Urgensi Visum et Repertum dalam hal Pembukian

Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak pada putusan

Nomor:75/Pid.sus/2020/PN.Kfm

3. Bagaimana kedepannya terhadap penggunaan Visum et Repertum

dalam pembuktian Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak.

C. Maksud dan Tujuan.

➢ Maksud :

a. Penulisan Kertas Kerja Tugas Jaksa Tingkat Dasar ini diajukan

sebagai salah satu persyaratan untuk dinyatakan lulus sebagai Jaksa

pada Pendidikan Pelatihan dan Pembentukan Jaksa Angkatan 77

Tahun 2020 di Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

b. Untuk melakukan Analisa implikasi ketiadaan Visum et Repertum

dalam Perkara Pencabulan terhadap anak pada putusan

Nomor:75/Pid.sus/2020/PN.Kfm;

c. Untuk mengetahui Urgensi Visum et Repertum dalam hal Pembukian

Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak pada putusan

Nomor:75/Pid.sus/2020/PN.Kfm

d. Untuk memberikan pandangan kedepan atau saran terhadap

penggunaan Visum et Repertum dalam pembuktian Tindak Pidana

Pencabulan terhadap anak

6
➢ Tujuan :

Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan Kertas Kerja Tugas

Jaksa Tingkat Dasar ini adalah :

1. Tujuan Akademis :

Untuk mengetahui kekuatan Visum et Repertum dalam sistem

pembuktian Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak melalui

interpretasi hukum yang komprehensif serta pendekatan-pendekatan

teori hukum yang relevan.

2. Tujuan praktis :

Untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai persyaratan akhir

kelulusan sebagai Jaksa pada Pendidikan Pelatihan dan

Pembentukan Jaksa Angkatan 77 Tahun 2020 di Badan Pendidikan

dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan R.I;

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. VISUM ET REPERTUM

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu

Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum

berasal dari bahasaLatin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang

dari arti etimologi atau tatabahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda

melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti

tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan,

sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa

yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara

etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.1

Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik.

Mengenai disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan Ilmu

Kedokteran Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa

Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu

yang menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu

peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain

(perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman

adalahmembantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.

B. TINDAK PIDANA

Istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal

dari terjemahan kata Strafbaarfeit dalam Bahasa Belanda. Kata

8
strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam

bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menerjemahkan

kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: Tindak

Pidana, Delict, Perbuatan Pidan 1 Sementara itu dalam berbagai

perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjuk

pada pengertian kata strafbaarfeit.

Menurut Tongat, Penggunaan berbagai istilah tersebut pada

hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaanya

disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya.2

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-

peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak

pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan

jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari

dalam kehidupan masyarakat.3Secara singkat dalam bukunya asas-asas

hukum pidana Moeljatno memberi definisi perbuatan pidana sebagai:

“Suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu hukum yang mana

larangan ini disertai sanksi (ancaman) berupa pidana tertentu, bagi

barangsiapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum

1 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perpektif Pembaharuan,UMM


Press, Malang, 2009, hlm. 101.
2 Tongat, Op.Cit., hlm. 102.
3 Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta. hlm. 62.

9
dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan

ditujukan pada perbuatan (yaitu keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya

ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan)”.4

Kata ‘Perbuatan’ dalam frasa ‘Perbuatan pidana’ menurut Noyon

dan Langemeijer dapat bersifat positif dan negatif. Perbuatan bersifat

positif berarti melakukan sesuatu, sedangakan perbuatan negatif

mengandung arti tidak melakukan sesuatu. Tidak melakukan apa yang

menjadi kewajiban atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya

dilakukan dikenal dengan istilah omissions.5

Untuk terjadinya perbuatan/tindak pidana harus memenuhi

beberapa unsur diantaranya:

1. Adanya perbuatan (manusia);

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat

formil);

3. Bersifat melawan hukum (syarat materiil).

Moeljatno sama sekali tidak menyingung mengenai kesalahan atau

pertanggungjawaban pidana kesalahan adalah faktor penentu

pertanggungjawaban pidana. Karenanya tidak sepatutnya menjadi bagian

definisi perbuatan pidana. Selanjutnya secara tegas dinyatakan

4Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 6, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 55.
5 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta,2016, hlm.122

10
Moeljatno,”apakah in konkreto, yang melakukan perbuatan pidana tadi

sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah diluar arti

perbuatan pidana”.6 Pandangan ini dikenal sebagai pandangan dualistis

karena secara tegas membedakan dan memisahkan antara “perbuatan

pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” sekaligus.7

C. PENCABULAN TERHADAP ANAK

Perbuatan cabul terhadap anak diatur menurut Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan

Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35

tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak(“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya

dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana

yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak Menjadi Undang-Undang (“UU 17/2016”).

6 Chairul Huda, dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan


Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm.
27.
7 Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana, Airlangga University Press, Surabaya,

2014, hlm.43.

11
Bahwa dalam mengenai definisi anak menurut undang-undang

yaitu diatur dalam pasal 1 ayat (1) uu 23 tahun 2002 yaitu Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam hal yang

dimaksudkan anak dalam perkara ini adalah mengacu kepada ndang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Dijelaskan dalam (Pasal 1 Ayat (3)) Anak adalah anak yang telah berumur

12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

diduga melakukan tindak pidana8

Menurut Bisma Siregar, menyatakan bahwa: dalam masyarakat

yang sudah mempunyai hokum tertulis diterapkan batasan umur yaitu

16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan

pada usia itulah si anak bukan lagi termasuk atau tergolong anak tetapi

sudah dewasa9

8 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak


9 Bisma Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional, Rajawali,
Jakarta,1986, hlm.105.

12
BAB III

LANDASAN TEORI

A. Teori Tujuan Hukum

1. Asas Keadilan

Keadilan adalah nilai penting dalam hukum, berbeda dengan

kepastian hukum yang bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan

bersifat individual, sehingga dalam pelaksanaan dan penegakan

hukum, masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam

pelaksanaan penegakan hukum tersebut keadilan harus diperhatikan.

Menurut Plato, keadilan adalah kemampuan untuk

memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.

Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil yang bisa

diberikannya kepada masyarakat. Adapun Sudikno Mertokusumo,

mengartikan keadilan sebagai penilaian terhadap perlakuan seorang

terhadap yang lainnya dengan menggunaan norma tertentu sebagai

ukurannya.1 Sementara menurut Van Apeldoorn, keadilan bukanlah

penyamarataan, keadilan bukanlah berarti setiap orang memperoleh

bagian yang sama.2

Menurut John Rawls, keadilan adalah fairness yang

mengandung asas-asas bahwa orang-orang yang merdeka da

1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999,


hlm. 71-72
2 Van Apeldoorn, pengantar ilmu hukum, terjemahan dari inleiding tot de studie het

nederlandse recht oleh Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan XXIV, 1990, hlm.
12.

13
rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingannya

hendaknya memperoleh kedudukan yang sama pada saat

memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka

yang memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki yang

mengatakan bahwa keadilan adalah suatu kebijakan politik yang

aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-

aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang menjadi hak.3

Berdasarkan definisi keadilan diatas menunjukkan bahwa

untuk mewujudkan sesuatu itu adalah adil tidaklah mudah seperti

yang dibayangkan. Adil bagi kelompok tertentu belum tentu adil bagi

kelompok lainnya. Dalam hal ini yang bisa dilakukan adalah

mendekatkan keputusan hukum pada rasa keadilan yang dihayati oleh

masyarakat agar pelaksanaan hukum lebih menciptakan ketertiban

pada masyarakat itu sendiri.4

2. Asas Kemanfaatan

Kemanfaatan merupakan salah satu tujuan hukum. Hukum

yang baik adalah yang mendatangkan kemanfaatan bagi manusia.

Kemanfaatan dapat juga diartikan kebahagiaan (hapiness), sehingga

dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, masyarakat

mengharapkan adanya kemanfaatan. Jangan sampai berakibat

3 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan; Catatan


Kuliah Ilmu Hukum dan Teori Hukum, PDIH Universitas Diponegoro, Semarang,2003, hlm. 164
4 Dr. H. Margono, SH, M.Hum, MM, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum

Dalam Putusan Hakim, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2019, hlm. 107

14
sebaliknya, penegakan hukum malah menimbulkan keresahan

masyarakat.

Menurut Jeremy Bentham, negara dan hukum semata-mata

ada hanya untuk manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.

Menurut John Rawls, hukum itu haruslah menciptakan suatu

masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat yang mencoba

memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan (the

greatest hapiness of the greatest number people).5

Berdasarkan definisi keadilan diatas menunjukkan bahwa

kepastian hukum serta keadilan bukanlah jaminan bagi tegaknya

supremasi hukum dalam arti hukum yang mencerminkan kebutuhan

dan memberi kepuasan atau kemanfaatan bagi masyarakat pada

umumnya perlu juga diwujudkan. Dengan kata lain keadilan dan

kepastian hukum dapat terpenuhi, namun jika kemanfaatan itu tidak

ada maka hal tersebut akan sia-sia.

3. Asas Kepastian Hukum

Tujuan hukum tidak hanya menjamin keadilan, akan tetapi

juga menciptakan kepastian hukum. Pada dasarnya hukum harus

ditegakkan dan dilaksanakan walaupun langit harus runtuh (fiat justitia

et perereat mundus). Masyarakat mengharapkan adanya kepastian

hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan

5 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis, Candra
Parata, Jakarta,1990, hlm. 88

15
lebih tertib. Hukum bertugas untuk menciptakan kepastian hukum

karena tujuannya adalah untuk ketertiban masyarakat.

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum pada

dasarnya pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga

masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan.

Kepastian hukum intinya adalah hukum ditaati dan dilaksanakan.

Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang berarti bahwa seorang akan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keaadaan tertentu.6

Menurut Van Apeldoorn, kepastian hukum adalah adanya

kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua

warga masyarakat termasuk konsekuensi hukumnya. 7 Kepastian

hukum dapat pula berarti hal yang dapat ditentukan dari hukum, dalam

hal-hal yang konkret.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua

pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum

membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak

boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu

dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang

6 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999,


hlm. 145
7 Van Apeldoorn, Op.Cit. Hal 24-25

16
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.8

Menurut Van Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai 2 (dua)

segi yaitu:9

1) Mengenai soal dapat ditentukannya hukum dalam hal-hal

yang konkrit. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin

mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang

khusus sebelum ia memulai suatu perkara.

2) Kepasian hukum berarti keamanan hukum. Artinya

perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.

B. Landasan Teori Pembuktian

Dalam rangka menerapkan pembuktian dalam hukum pidana

Indonesia dikenal beberapa teori hukum pembuktian. Secara teoretis

menurut Lilik Mulyadi, ilmu hukum acara pidana mengenal 3 (tiga) teori

hukum pembuktian, yaitu:

Pertama, teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara

positif yaitu dengan titik tolak adanya alat bukti yang secara limitatif

ditentukan oleh undang-undang.

8 Riduan Syahrani, rangkuman intisari ilmu hukum, penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, hlm. 23.
9 Asser C dan Paul Scholten, Penuntutan dalam mempelajari hukum perdata belanda

bagian umum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1983

17
Kedua, teori hukum pembuktian menurut keyakinan hakim.

Polarisasinya hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan

“keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan.

Ketiga, teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara

negatif yaitu hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada

terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan UU

dan didukung pula oleh keyakinan hakim terhadap eksisitensi alat-

alat bukti bersangkutan.10

Pada umumnya berdasarkan doktrin yang dikenal dalam hukum

acara pidana, sistem pembuktian dibagi menjadi 4 (empat) yakni:11

1. sistem keyakinan belaka;

2. sistem keyakinan dengan alasan logis;

3. sistem melulu berdasarkan undang-undang;

4. sistem menurut undang-undang secara terbatas.

Berikut penjelasan mengenai empat doktrin sistem pembuktian

dalam hukum acara pidana.

a. Sistem Keyakinan Belaka (Conviction Intime)

Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti

kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan

10 Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Alumni,


Bandung, 2007, hlm. 101.
11 Adami Chazawi. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.Cet.1, Bayu Media

Pulishing, Malang, 2011, hlm. 17

18
berdasarkan pada keyakinan saja, dan tidak perlu mempertimbangkan

dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang

dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya

tersebut. Hakim juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan

yang dibentuknya itu logis atau tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-

benar bergantung pada hati nurani hakim. Sistem ini mengandung

kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah

keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat

bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim

dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu pada sistem ini

terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktek penegakan hukum yang

sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin.12

b. Sistem Keyakinan dengan Alasan Logis (Laconviction In

Raisonne)

Sistem ini lebih maju sedikit daripada sistem yang pertama

walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap

didasarkan pada keyakinan. Dikatakan lebih maju karena dalam hal

membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik

kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak

pidana, sistem ini didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun

alasan-alasan itu dengan menggunakan alat-alat bukti baik yang ada

12 Adami Chazawi. Op.Cit., h. 17.

19
disebutkan dalam Undang-Undang maupun di luar Undang-Undang.

Dalam sistem ini, walaupun Undang-Undang menyebut dan menyediakan

alat-alat bukti, tetapi dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan

alat-alat bukti tersebut terserah pada pertimbangan hakim dalam hal

membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang

dipergunakan dalam pertimbangannya logis dan dalam membentuk

keyakinannya itu hakim bebas menggunakan alat-alat bukti dan dan

menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperolehnya dari alat-

alat bukti tersebut. 13 Jadi, keyakinan hakim di sini maksudnya adalah

keyakinan yang didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan

kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan

pembuktian tertentu sehingga bisa dikatakan putusan hakim dijatuhkan

dengan motivasi tertentu.14

c. Sistem melulu berdasarkan Undang-Undang (Positief Wettelijk

Bewijstheorie)

Sistem pembuktian ini disebut juga dengan sistem menurut

undang-undang secara positif. Maksudnya ialah dalam membuktikan

kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata

pada alat-alat bukti serta cara-cara mempergunakannya yang telah

ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Apabila dalam hal

membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih

13Ibid
14 Jur Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. keenam, Edisi Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 253

20
dahulu oleh undang-undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun

cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan

bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti.

Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan

yang boleh dipertimbangkan dalam menarik kesimpulan tentang

kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana.15 Sistem melulu menurut

undang-undang atau “positief wetwlijk” ini, yang sama sekali tidak

mengandung suatu kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan

perseorangan dari hakim, sebetulnya bertentangan dengan prinsip bahwa

dalam acara pidana suatu putusan hakim harus berdasar atas

kebenaran.16 Singkatnya, dalam teori ini hakim terikat kepada adagium

kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai dengan ketentuan

undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah, walaupun

hakim berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa tidak bersalah.

d. Sistem berdasarkan Undang-Undang secara negatif atau sistem

menurut undang-undang secara terbatas (Negatif Wettelijk

Bewijstheorie)

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak

sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang

ditentukan oleh undang-undang. Akan tetapi, pembuktian ini harus

15Adami Chazawi, Loc, cit.,19


16Wirjono Prodjodikoro. Hukum acara Pidana di Indonesia. Cetakan keduabelas, Sumur
Bandung, Bandung, 1985, hlm. 111

21
disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

pidana. 17 Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-

fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-

undang. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian

didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan

merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.

KUHAP menganut sistem ini. Hal ini dapat terlihat dari isi Pasal 183

KUHAP yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Dari kalimat tersebut terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan

kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut

dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang

diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Kesimpulannya adalah bahwa

dalam teori ini kriteria untuk menentukan bersalah dan tidaknya seorang

terdakwa, hakim harus memperhatikan aspek-asepek berikut.18

a. Kesalahan terdakwa haruslah terbukti dengan sekurang-

kurangnya dua alat bukti yang sah.

17Adami Chazawi. Op.Cit., h. 19.


18 Lilik Mulyadi, Op.Cit., h. 97-98.

22
b. Bahwa atas dua alat bukti yang sah tersebut hakim memperoleh

keyakinan bahwa tindak pidana memang benar-benar terjadi

dan terdakwalah pelakunya.

Selain Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang

berbunyi sebagai berikut:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila

pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-

undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap

dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dituduhkan atas

dirinya.”

Berbeda dengan sistem keyakinan dengan alasan yang logis, yang

berpangkal tolak pada keyakinan hakim dan dasar konklusinya yang tidak

didasarkan pada undang-undang melainkan pada pada pengalaman

hakim, sistem pembuktian ini mengacu pada aturan-aturan pembuktian

yang telah disebutkan oleh undang-undang secara limitatif, tetapi hal itu

harus diikuti dengan keyakinan hakim.19

19 Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, Airlangga University Press,


Surabaya, 2015, hlm.124.

23
BAB IV

PEMBAHASAN

A. KASUS POSISI

bahwa ia terdakwa AGUSTINUS BINSASI Alias AGUS pada hari

kamis tanggal 02 Januari 2020 sekira pukul 16.00 Wita atau setidak

tidaknya pada waktu lain dalam bulan januari tahun 2020, bertempat di

kios terdkwa di Naiola RT 004 RW 001 Desa Naiola Kec. Bikomi Selata

Kabupaten Timor Tengah Utara atau setidak-tidaknya pada suatu tempat

lain yang masih termasik dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

Kefamananu yang berwenang memeriksa dan mengadili, “setiap orang

dialrang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa,melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak (BERNADETTE NOVIRIANI

LELANG Alias RIRIN sesuai Akta kelahiran Nomor: 1564/2008

berumur 12 Tahun) untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan Cabul” perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara

sebagai berikut:

berawal sebagaimana waktu dan tempat diatas saat itu saksi

THERESIA ARIK Alias TRES (ibu korban) menyuruh anak BERNADETTE

NOVIRIANU LELANG Alias RIRIN untuk membeli biscuit di kios milik

terdakwa. Kemudian anak berkata kepada terdakwa “om saya mau beli

biscuit” dengan menyerahkan uang Rp. 10.000 setelah itu terdakwa

membebrikan 2 buah biscuit kepada anak BERNADETTE NOVIRIANU

24
LELANG Alias RIRIN kemudian terdakwa dengan tangan kanannya

menarik tangan kiri anak BERNADETTE NOVIRIANU LELANG Alias

RIRIN sampai berdekatan dan dengan menggunakan tangan kirinya

terjdawa langsung memegang meremas payudara anak BERNADETTE

NOVIRIANU LELANG Alias RIRIN di bagian sebelah kiri selama + 2 (dua)

menit lalu terdakwa memberikan anak BERNADETTE NOVIRIANU

LELANG Alias RIRIN biscuit malkist coklat dan berkata, “pi jangan kasi

tau bapa dengan mama e” lalu anak BERNADETTE NOVIRIANU

LELANG Alias RIRIN pulang namun terdakwa masih berkata lagi “nanti

pulang lagi” sesampainya dirumah anak korban langsung menceritakan

kejadian percabulan tersebut ke kedua orang tua dan melaporkan ke

Polres TTU.

B. IMPLIKASI KETIADAAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA

PENCABULAN TERHADAP ANAK PADA PUTUSAN

NOMOR:75/PID.SUS/2020/PN.KFM

Bahwa visum et repertum ("visum") dikategorikan sebagai alat bukti

surat. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 187 KUHAP yang

menyatakan:

“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,

dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya,

25
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan

yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk

dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang

diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan

yagn diminta secara resmi dari padanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi

dari alat pembuktian yang lain.”

Terkait fungsinya bahwa Dalam perkara pidana, hasil visum adalah

sebagai fakta atau bukti tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh,

nyawa, dan kesehatan manusia. Hasil pemeriksaan yang tertulis secara

detail dalam visum et repertum diharapkan akan dapat menjadi bukti

pendukung agar hakim dapat memutuskan perkara dengan lebih adil.


1

Majelis hakim tidak mutlak harus mendasarkan diri pada Visum et

Repertum. Kekuatan bukti (bewijskracht) dari visum et Repertum

diserahkan saja pada penilaian hakim. Oleh karena itu penuntut umum

1
Diakses https://doktersehat.com/visum/ diakses pada tanggal 28 November 2020 pada
pukul 23.21 WITA

26
berusaha membuktikan kesalahan terdakwa di persidangan, berarti

beban pembuktian perkara pidana ada pada penuntut umum yang dalam

usaha mencari kebenaran materiil dan hakim tetap dibatasi pada alat-alat

bukti yang di ajukan olehnya seumpama penuntut umum tidak bersedia

menambah alat bukti yang hanya minimum2

dalam putusan pengadilan Negeri Kefamenanu Nomor

NOMOR:75/PID.SUS/2020/PN.KFM tersebut jaksa penuntut umum

dalam hal pembuktian di persidangan tidak mengajukan alat bukti surat

berupa visum Visum et Repertum. Bahwa terhadap alat bukti yang

diajukan jaksa penuntut umum dimana tanpa adanya Visum et Repertum

tersebut majelis hakim memutus bahwa terdakwa AGUSTINUS BINSASI

Alias AGUS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana “MEMAKSA ANAK MELAKUKAN PERBUATAN CABUL”

sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.

Terhadap tidak adanya Visum et Repertum tersebut dalam penjatuhan pidana

Majelis hakim harus mengacu kedalam pasal 183 KUHAP yaitu:

“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana pidana kepada seseorang

kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalkah yang bersalah melakukannya”

2Jurnal “Arti visum et repertum sebagai alat bukti dalam penanganan tindak pidana
perkosaan” Diponegoro law Jurnal, Volume 5, Nomor 3, 2016, hlm 12

28
maka hakim sebelum menjatuhkan pidana telah menetapkan

pertimbangan hukumnya. dalam putusan pengadilan Negeri Kefamenanu

Nomor Nomor:75/Pid.Sus/2020/Pn.Kfm dalam pandangan majelis hakim

bahwa sebelum majelis hakim mempertimbangkan unsur ke-2 yaitu

“Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa,

melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau

membujuk anak” sebagai unsur obyektif dari suatu delik itu sendiri,

maka selayaknya majelis hakim untuk terlebih dahulu membuktikan akan

membuktikan unsur obyektif lain sekiranya sebagai unsur pokok yang

harus dibuktikan terlebih dahulu adalah unsur “Melakukan atau

membiarkan perbuaran cabul” karena dengan mengetahui apakah

benar terjadi perbuatan cabul atau tidak barulah dapat di buktikan unsur

lainnya. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan atau tidak3

dalam pertimbangan majelis hakim terhadap unsur “melakukan

atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul” majelis hakim menilai

bahwa apabila mencermati rumusan unsur tersebut maka mengandung

pilihan yaitu “berbuat dan “membiarkan”, yang dimaksud berbuat

adalah suatu Tindakan aktif dari pelaku tindak pidana tanpa melihat

Tindakan perserta lainnya, atau perbuatan yang secara alami muncul dari

diri petindak pidana, sedangkan membiarkan merupakan delik

3 Pertimbangan Majelis Hakim Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu


NOMOR:75/PID.SUS/2020/PN.KFM,Kefamenanu 2020, hal.15

29
Commisionis per ommissionis commissa yang artinya delik yang berupa

pelanggaran terhadap arangan dalam undang-undang (delik

Commissionis) tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat, atas kedua

kata tersebut merupakan suatu pilihan yang tidak mengikat apabila

dirumuskan dalam merumuskan unsur suatu tindak pidana.

Bahwa terhadap fakta persidangan dan keterangan saksi-saksi

terdakwa telah berbuat melakukan Tindakan cabul sehingga unsur pasal

ini telah terpenuhi. Kemudian terhadap unsur tersebut telah terpenuhi

maka selanjutnya majelis hakim membuktikan unsur Melakukan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa, melakukan tipu

muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk

anak” majelis hakim menilai bahwa:

Elemen unsur “Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan

atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul”. Merupakan unsur yang bersifat pilihan (alternative) atau

sebagai sub unsur terhadap suatu tindakannya, jika salah satu perbuatan

telah terpenuhi, maka unsur ini diangggap telah terpenuhi.

Bahwa dalam pertimbangan majelis hakim, berdasarkan fakta

persidangan ternyata terbukti terdakwa dipersidangan membenarkan

keterangan ana korban maupun saksi-saksi lainnya bahwa terdakwa

melakukan bujuk rayu terhadap anak korban dimana terbukti setelah

terdakwa meremas-remas payudara anak korban, lalu terdakwa

30
memberikan 1 (satu) bungkus biscuit malkist coklat ukuran kecil dengan

harga Rp. 10.000 (sepuluh ribu) kepada anak korban secara Cuma-Cuma

karena saat itu anak korban yang meminta kepada terdakwa dengan

mengatakan “kasi saya biscuit malkis roma yang kecil”, sehingga

terkdawa memberikannya kepada ana korban dan maksud dan tujuan

terdakwa memberikan kepada anak korban 1 (satu) bungkus malkis coklat

secara Cuma Cuma ahar anak korban tidak memberitahukan kepada

kedua orangtuanya bahwa terdakwa telah meremas-remas payudara

anak korban.

Bahwa dari fakta fakta yang terungkap dipersidangan dengan

dikorelasikan terhadap definisi hukum yang telah di uraikan maka

dapatlah dibentuk suatu konstruksi hukum perbuatan terdakwa terhadap

anak korban adalah “memaksa dan melakukan bujuk rayu anak untuk

berbuat cabul”. 4 dengan demikian unsur Melakukan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan

serangkaian kebohongan atau membujuk anak” yang mana

sebagaimana yang sudah dijelaksan diatas sebagai unsur alternatif dan

apabila salah satu perbuatan telah terpenuhi maka unsur ini dianggapa

terpenuhi.

Berlandaskan alasan – alasan tersebut diatas yang ingin penulis

sampaikan, bahwa ketiadaan Visum et Repertum kasus terhadap tindak

4
Pertimbangan Majelis Hakim Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu
Nomor:75/Pid.Sus/2020/Pn.Kfm Tahun 2020,Kefamenanu Hal.19

31
pidana pencabulan terhadap anak khusunya dalam Putusan Pengadilan

Negeri Kefamenanu NOMOR:75/PID.SUS/2020/PN.KFM dalam hal

pembuktian, majelis hakim mengacu alat bukti lain yang diperoleh dari

fakta-fakta dipersidangan yaitu berupa keterangan saksi-saksi, alat bukti

petunjuk yang mana kesesuaian dengan keterangan terdakwa yang dapat

dijadikan alat bukti petunjuk. Bahwa dalam hal pembuktin majelis hakim

terlebih dahulu membuktikan unsur pokok dalam tindak pidana

Melakukan atau membiarkan perbuatan cabul” dan kemudian setelah

unsur tersebut telah terbukti majelis hakim baru mempertimbangan unsur

berikutnya yaitu unsur Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian

kebohongan atau membujuk anak”.5 bahwa sesuai dengan pasal 183

KUHAP dalam hal menjatuhkan pidana majelis hakim didasarkan minimal

2 alat bukti dan ditambah dengan keyakinan hakim. terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Kefamenanu NOMOR:75/PID.SUS/2020/PN.KFM

Bahwa dalam keterangan saksi,petunjuk dan fakta di persidangan

walaupun tanpa adanya Visum et Repertum majelis hakim telah

mendapat Keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana.

5 Pertimbangan Majelis Hakim Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu


Nomor:75/Pid.Sus/2020/Pn.Kfm Tahun 2020,Kefamenanu Hal.19

32
C. Urgensi Visum et Repertum dalam hal Pembukian Tindak Pidana

Pencabulan

Kekuatan hukum Visum et Repertum dalam mengungkap tindakn

pidana kesusilaan/pencabulan adalah salah satu alat bukti yang sah dan

penting sesuai pasal 184 ayat (1) KUHAP butir c yaitu surat, dalam proses

pembuktian khususnya dalam mengungkap suatu kasus pencabulan.

Visum et Repertum dianggap sangat penting karena di dalam Visum et

Repertum terdapat hasil-hasil pemeriksaan pada diri korban yang memuat

keterangan dari dokter (dalam kapasitasnya sebagai ahli) untuk

menggambarkan luka akibat yang dialaim terutama tehadap korban hidup.

Visum Et Repertum merupakan pengganti sepenuhnya dari pada

barangbukti (Corpus Delicti) yang diperiksa, maka oleh karenanya pula

Visum Et Repertum pada hakikatnya adalah alat bukti yang sah. Visum Et

Repertum termasuk alat bukti surat dimana dibuat atas sumpah jabatan,

yaitu sebagai seorang dokter, sehingga surat tersebut mempunyai

keotentikan. Akan tetapi Visum Et Repertum sudah menjadi bagian dari

pada keterangan ahli yang mana keterangan ahli itu sendiri harus

memberikan pendapat berdasarkan ilmu dan keahlian yang khusus

mengenai suatu hal untuk pemeriksaan. Karena Visum Et Repertum

merupakan sarana utama dalam penyidikan perkara tindak pidana yang

menyebabkan korban manusia baik itu hidup maupun mati.6

6 R.Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Tarsito


bandung ,Banding, 1991,hlm 24

33
Hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum, semua

terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan

undang-undang. Mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar

sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian

yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Maka dari itu, majelis

hakim dalam mencari dan meletakan kebenaran yang akan dijatuhkan

dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan

undang-undang secara “limitatif”, sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 184 KUHAP.

Dalam keadaan dimana korban menjadi saksi, maka tersangka, ia

mungkin merupakan “bukti” yang paling membahayakan bagi penuntutan.

Bagi pengadilan, kesaksian korban dipandang oleh karena saksi ini dalam

persidangan akan dianggap mengetahui lebih banyak mengenai

pelanggaran hukuman dari pada siapapun, kecuali tersangka

sendiri.dalam kasus diatas bahwa jaksa penuntut umum dalam

pembuktian lebih menitik beratkan kepada keterangan saksi-saksi dan

keterangan terdakwa yang bersesuaian. yang dapat dijadikan sebagai

alat bukti petunjuk sesuai dengan ketentuan pasal 188.alat bukti yang ada

itu dalam pemeriksaan di persidangan mempunyai kekuatan pembuktian

berdasarkan batas minimum pembuktian seperti ditentukan Pasal 183

KUHAP dan bukan untuk mencari alat bukti.

34
Berlandaskan alasan – alasan tersebut diatas yang ingin penulis

sampaikan,Hal ini menandakan bahwa sebenarnya di dalam hukum acara

pidana Indonesia tidak ada satu alat bukti pun yang dapat dikatakan

sebagai alat bukti terkuat, karena setiap putusan pemidanaan nantinya

harus TETAP didasarkan dengan 2 alat bukti yang sah ditambah dengan

keyakinan hakim (kecuali untuk acara pemeriksaan cepat, cukup 1 alat

bukti ditambah dengan keyakinan hakim) sehingga bukti visum sebagai

alat bukti surat yang diajukan tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan harus

dilengkapi dengan alat bukti lainnya sesuai dengan ketentuan. Apabila

alat bukti Visum et Repertum tidak ada, maka keyakinan dari hakim

mendasari dalam pengambilan putusannya majelis hakim, dengan

demikian tidak mutlak menggantungkan putusannya kepada ada atau

tidaknya Visum et Repertum.

D. Penggunaan Visum et Repertum untuk Pembuktian Perbuatan Cabul

Dalam bukunya R.Soeparmono, SH. Mengatakan kedudukan

Visum Et Repertum didalam hukum pembuktian dalam proses acara

pidana, dapat berkedudukan sebagai alat bukti surat dan alat bukti

keterangan ahli. Dimana Alat Bukti Surat yang tertuang dalam Pasal 187

huruf c KUHAP yakni “surat keterangan dari seorang ahli yang memuat

pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu

keadaan yang diminta secara resmi dari padanya”. Begitu juga

Keterangan ahli (Pasal 1 Stb. 1937-350 jo Pasal 184 ayat (1) huruf b Kitab

Undang-Udang Hukum Acara Pidana) dimana dalam Pasal 1 Stb. 1937-

35
350 menyatakan bahwa “Visa Reperta seorang dokter, yang dibuat baik

atas sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu penyelesaian pelajaran

di Negeri Belanda ataupun di Indonesia, merupakan alat bukti yang s ah

dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan

keterangan-keterangan hal-hal yang dilihat dan ditemukan oleh dokter

pada benda yang diperiksa”. 7

kekuatan Visum et Repertum sebagai alat bukti Surat dalam

mengungkap suatu tindak pidana diuraikan sebagai berikut:

1. Visum et Repertum merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan yang

mutlak dan sangat penting digunakan dalam membuktikan adanya

suatu tindak pidana. Visum et Repertum tersebut dapat dikategorikan

sebagai alat bukti berupa surat yang dimana di dalam Pasal 187

KUHAP huruf a, b, dan c yang menyatakan bahwa surat merupakan

alat bukti yang sempurna. Hal tersebut dikarenakan surat merupakan

akta otentik yang dibuat secara resmi berdasarkan prosedur yang

ditetapkan telah oleh Undang- Undang. Sebagai alat bukti di dalam

persidangan, surat tidak memiliki kekuatan pembuktian mengikat.

2. Visum et Repertum merupakan alat bukti yang tidak dapat digunakan

tanpa di dukung oleh alat bukti lainnya, sehingga Visum et Repertum

tidak dapat alat bukti dikatakan yang berdiri sendiri. Sehingga adanya

Visum et Repertum saja tidak dapat membuktikan bahwa seseorang

7 R. Soeparmono, Keterangan Ahli &Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum


Acara Pidana, CV. Madar Maju Bandung,Bandung, 2016, hlm 125

36
telah melakukan suatu tindak pidana. Hal ini sesuai dengan prinsip

minimum pembuktian yang tertuang di dalam Pasal 183 KUHAP.

Ketentuan di dalam Pasal 183 KUHAP memiliki kaitan yang erat

dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP dimana menyatakan bahwa

adanya saksi tunggal dalam persidangan tidak cukup untuk

membuktikan adanya kesalahan pada terdakwa.8

Sebagai alat bukti tambahan untuk memperkuat penyidikan

aparat penegak hukum memiliki kewenangan untuk meminta

bantuan kepada ahli dalam hal ini psikiater atau psikolog untuk

melakukan pemeriksaan terhadap korban untuk memperjelas

kekerasan yang terjadi pada korban, yang dimana dalam beberapa

kasus kekerasan dapat menyerang psikis seseorang. Dalam hal

melakukan pemeriksaan terhadap korban, aparat penegak hukum

tidak memiliki kewenangan atau keilmuan yang cukup untuk dapat

menentukan bentuk dan penyebab kekerasan fisik tersebut. Hanya

dokter yang dengan kewenangannya memiliki legitimasi yuridis dan

keilmuan dikeluarkan untuk hasil Visum.9

Untuk menentukan kekuatan Visum et Repertum dalam

mengungkap suatu tindak pidana yaitu dengan cara mencocokan Visum

et Repertum dengan keterangan saksi sehingga mendapatkan

8 Abdul Mun’im Idriest dan Agung Legowon Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran
Forensik dalam Proses Penyidikan Edisi Revisi, Sagung Seto, Jakarta, 2005, hlm. 160
9 http://.kompasiana.polhukam.com/hukum/2013/06/16/3/473388/pengaduan-kdrt-dan-

Visum.html. diakses pada tanggal 01 Desember 2020 pukul 21.51

37
kesimpulan yang dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam menentukan

telah terjadi tindak pidana atau tidak dan menentukan kesalahan terdakwa

di persidangan.10

Ketika dalam proses peradilan,jika hakim timbul rasa keraguan

terhadap Visum Et Repertum. Maka hakim dapat memangil dokter

pembuat Visum Et Repertumke sidang pengadilan. Untuk menjelaskan

dan mempertanggungjawabkan Visum Et Repertum tersebut. Hal ini

diatur dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP. Demikian juga dalam penjelasan

Pasal 186 diterangkan bahwa “keterangan ahli ini dapat juga sudah

diberikan pada waktu pemeriksaan penyidik atau penuntut umum yang

dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah

di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Namun dalam pemeriksaan

cepat penyidik dapat langsung menghadapkan ahli yang membuat

keterangan Visum Et Repertum tersebut kesidang pengadilan hal ini

didasarkan pada Pasal 205 ayat (2) KUHAP.11

Berlandaskan alasan – alasan tersebut diatas yang ingin penulis

sampaikan, bahwa dalam membuktikan suatu perkara pidana, hakim

secara aktif harus mencari dan menemukan kebenaran materiil

(kebenaran yang sesungguhnya), yaitu bahwa tindak pidana

sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum

terhadap terdakwa adalah benar-benar terjadi, dan benar terdapat

10Ibid.
11Jurnal “Arti visum et repertum sebagai alat bukti dalam penanganan tindak pidana
perkosaan” Diponegoro law Jurnal, Volume 5, Nomor 3, Semarang, 2016, hlm 12

38
kesalahan terdakwa (baik kesengajaan maupun kelalaian), serta dapat

dipertanggungjawabkannya tindak pidana tersebut oleh terdakwa.untuk

kepentingan pembuktian Jaksa Penuntut umum keberadaan Visum et

Repertum sebagai alat bukti tambahan untuk mencegah pelaku tindak

pidana lolos dari jerat hukum dan mempermudah untuk membentuk suatu

keyakinan hakim bahwa benar-benar terdakwa bersalah melakukannya

sesuai dengan ketentuan pasal 183 KUHAP.

39
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bahwa untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil (kebenaran
yang sesungguhnya), sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan jaksa
penuntut umum terhadap terdakwa adalah benar-benar terjadi, dan benar
terdapat kesalahan terdakwa (baik kesengajaan maupun kelalaian), serta
dapat dipertanggungjawabkannya tindak pidana tersebut oleh terdakwa
walaupun dengan tidak adanya Visum et Repertum dalam tindak pidana
pencabulan terhadap anak khususnya dalam Putusan Pengadilan Negeri
Kefamenanu NOMOR:75/PID.SUS/2020/PN.KFM dalam hal menjatuhkan
majelis hakim telah sesuai dengan ketentuan pasal 183 KUHAP yaitu
adanya minimal 2 (dua) alat bukti dan ditambah keyakinan hakim.
2. Bahwa Kekuatan hukum Visum et Repertum adalah sangat mutlak atau
sempurna dalam kasus tertentu seperti kasus Pencabulan. Alat bukti bukti
Visum et Repertum sebagai alat bukti surat yang diajukan tersebut tidak
dapat berdiri sendiri dan harus dilengkapi dengan alat bukti lainnya sesuai
dengan ketentuan. Apabila alat bukti Visum et Repertum tidak ada, maka
keyakinan dari hakim mendasari dalam pengambilan putusannya majelis
hakim, dengan demikian tidak mutlak menggantungkan putusannya
kepada ada atau tidaknya Visum et Repertum.

B. Saran
1. Pengaturan mengenai alat bukti yang sah dalam pemeriksaan
tindak pidana Pencabulan memerlukan peran aparat hukum untuk
berusaha melengkapi salah satu alat bukti yang sah, yaitu alat bukti surat
Visum et Repertum dengan suatu alat bukti yang sah lainnya, seperti
keterangan ahli, keterangan saksi, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
2. Untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil (kebenaran yang
sesungguhnya), yaitu bahwa tindak pidana sebagaimana diuraikan dalam

40
surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa adalah benar-
benar terjadi, dan benar terdapat kesalahan terdakwa. dan menghindari
alat bukti yang minim dipersidangan, alangkah baiknya jaksa penuntut
umum menambahkan Visum et Repertum sebagai alat bukti tambahan
untuk mencegah pelaku tindak pidana lolos dari jerat hukum dan
mempermudah untuk membentuk suatu keyakinan hakim bahwa benar-
benar terdakwa bersalah melakukannya sesuai dengan ketentuan pasal
183 KUHAP.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU
Abdul Mun’im Idriest dan Agung Legowon Tjiptomartono, Penerapan Ilmu
Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan Edisi Revisi, Sagung
Seto, Jakarta, 2005.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis, Candra
Parata, Jakarta,1990.
Adami Chazawi. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.Cet.1, Bayu Media
Pulishing, Malang, 2011.
Asser C dan Paul Scholten, Penuntutan dalam mempelajari hukum perdata
belanda bagian umum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
1983
Bisma Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional,
Rajawali, Jakarta,1986.
Chairul Huda, dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis
Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006.
Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, Airlangga University Press,
Surabaya, 2015.
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta,2016.
Jur Anrdi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. keenam, Edisi Kedua,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa,
Jakarta.2002.
Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Alumni,
Bandung, 2007.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 6, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

42
Margono, SH, M.Hum, MM, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum
Dalam Putusan Hakim, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2019.
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek. Remadja
Karya CV Bandung,1986..
R.Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science),
Tarsito bandung ,Banding, 1991.
R. Soeparmono, Keterangan Ahli &Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum
Acara Pidana, CV. Madar Maju Bandung,Bandung, 2016.
Riduan Syahrani, rangkuman intisari ilmu hukum, penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999.
Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan;
Catatan Kuliah Ilmu Hukum dan Teori Hukum, PDIH Universitas
Diponegoro, Semarang,2003.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
1999, hlm. 145
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
1999.
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perpektif
Pembaharuan,UMM Press, Malang, 2009.
Van Apeldoorn, pengantar ilmu hukum, terjemahan dari inleiding tot de studie het
nederlandse recht oleh Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta,
Cetakan XXIV, 1990.
Wirjono Prodjodikoro. Hukum acara Pidana di Indonesia. Cetakan keduabelas,
Sumur Bandung, Bandung, 1985.
2. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-Undang


Nomor 23 tahun 2002
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

43
3. JURNAL
Hamidah Siadari “Arti visum et repertum sebagai alat bukti dalam penanganan
tindak pidana perkosaan” Diponegoro law Jurnal, Volume 5, Nomor 3,
2016, hlm 12
4. ARTIKEL
Artikel judul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas,Kelemahan Aturan dan
Proses Hukum, Serta Strategi Menggapai Keadilan”
5. WEBSITE
https://doktersehat.com/visum/ diakses pada tanggal 28 November 2020

http://.kompasiana.polhukam.com/hukum/2013/06/16/3/473388/pengaduan-
kdrt-dan-Visum.html. diakses pada tanggal 01 Desember 2020
6. PUTUSAN
Putusan Pengadilan Negeri Kefamenanu
NOMOR:75/PID.SUS/2020/PN.KFM,Kefamenanu 2020

44

Anda mungkin juga menyukai