Anda di halaman 1dari 24

Dimensi Ibadah dalam Islam

1
BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG

Di dalam Islam, manusia adalah sentral sasaran ajarannya, baik hubungan


manusia dengan Tuhan, hubungan antar sesama manusia, dan antar manusia dengan
alam. Yang paling komplek yaitu hubungan antar sesama manusia. Untuk itu, Islam
mengajarkan konsep-konsep mengenai kedudukan, hak dan kewajiban, serta
tanggung jawab manusia. Apa yang dilakukan oleh manusia bukan saja mempunyai
nilai dan konsekuensi di dunia, namun juga sekaligus di akhirat kelak.

Untuk mencapai tujuan ini, manusia harus menyelaraskan antara iman dengan
amal, dan bahkan meningkatkan menjadi ihsan. Keimanan tanpa amal tidak memadai;
sama dengan amal tanpa iman akan menjadi hampa. Dengan kata lain, tidak ada
seorangpun termasuk seorang muslim yang dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kecuali setelah keimanannya terejawantah secara
dinamis dalam berbagai aspek kehidupannya. Dengan demikian, keimanan bukanlah
sekedar pernyataan kosong. Tetapi, harus ditegakkan di atas dasar-dasar yang kokoh,
yang disertai dengan amal yang kontinyu dan selalu meningkat. Disinilah terletak
kesinambungan dan kesatuan yang esensial antara iman, Islam dan ihsan.

Mensinergikan ketiga tiang agama tersebut dapat diimplementasikan


menggunakan dimensi ibadah ritual (individual) dan ibadah sosial, oleh karena itu
dalam makalah ini akan membahas tentang ibadah ritual dan ibadah sosial serta
efeknya terhadap pemberdayaan umat.

B.  RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dimensi ibadah ritual dalam Islam?

2. Apa yang dimaksud dimensi ibadah sosial dalam Islam?

3. Bagaimana pimilahan wajib (fardhu) dan efeknya terhadap pemberdayaan umat?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibadah Ritual dalam Islam

1. Ritual
Ritual merupakan bagian esensial dari kehidupan manusia. Manusia
mengirim dan menerima berbagai pesan melalui ritual. Tindakan ritual turut
berpengaruh pada kehidupan manusia, sebaliknya kehidupan manusia ikut
mengisi berbagai tindakan ritual di dalam kehidupan sosial masyarakat. Ritual
ini dapat mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada hal-hal yang
mistis. Keempat, ritual faktitif yakni dilakukan dalam bentuk kelompok
dengan tujuan untuk mengingatkan produktifitas dan kesejahteraan
masyarakat. Ritual faktitif dapat dipadukan dengan ritual konstitutif dengan
menyatukan tindakan-tindakan yang dapat membawa perubahan sosial.
Dhavamony, dalam buku fenomenologi agama, membagi empat jenis
ritual, yakni: Pertama, tindakan magis. Tindakan magis memiliki kaitan
dengan adanya pemakaian benda benda tertentu yang memiliki kekuatan
magis. Kedua, Tindakan religius. Tindakan religious terdapat kekuatan-
kekuatan yang berasal dari para leluhur. Ketiga, ritual konstitutif. Ritual ini
dapat dapat mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada hal-hal yang
mistis. Keempat, ritual faktitif yakni dilakukan dalam bentuk kelompok
dengan tujuan untuk mengingatkan produktifitas dan kesejahteraan
masyarakat. Ritual faktitif dapat dipadukan dengan ritual konstitutif dengan
menyatukan tindakan-tindakan yang dapat membawa perubahan sosial.1

2. Macam-Macam Ritual:

1
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta, Kanisius: 2010) h. 175

3
4

Sesuai dengan kebutuhan individu dalam memperkokoh keimanan dan


mempererat hubungan dengan Yang Maha Kuasa dalam kehidupan manusia,
ada 3 macam ritual diantaranya:
a. Ritual Suku-Suku Primitif
Kepercayaan suku-suku primitif terhadap ritual adalah berupa bentuk-
bentuk dari sesajian sederhana buah-buahan pertama yang ditaruh di
hutan atau di ladang, sampai pada upacara-upacara yang rumit di tempat-
tempat yang dianggap suci. Suku-suku primitive ini melakukan ritual
dengan cara tari-tarian dan melakukan upacara yang rumit. Pada upacara
tersebut, para peserta menggunakan topengtopeng dengan maksud untuk
mengidentikkan diri mereka dengan roh-roh. Tujuan dari ritual ini adalah
untuk mewujudkan atau mengulangi peristiwa primordial, sehingga
dunia, kekuatan-kekuatan vital, hujan, dan kesuburan diperbaharui serta
roh-roh leluhur atau dewa-dewa dipuaskan dan keamanan mereka
dijamin.
b. Ritual Hindu
Ada 2 macam ritual orang Hindu, yakni ritual keagamaan vedis dan
agamis.
1) Ritual vedis
Pada pokoknya meliputi korban korban kepada para dewa. Suatu
korban berupa melakukan persembahan, seperti mentega cair, butir-
butir padi, sari buah soma, dan dalam kesempatan tertentu juga
binatang, kepada suatu dewata. Biasanya, sesajian ini ditempatkan
pada baki suci kemudian dilemparkan ke dalam api suci yang telah
dinyatakan di atas altar pengorbanan. Imam-imam mempersembahkan
korban-korban melalui perantara dewi api (Agni) yang menjadi
perantara dewa dengan manusia. Ritual vedis tidak hanya bertujuan
untuk mengangkat dan memperkuat prosedur-prosedur sekuler yang
berkaitan, namun lebih dari itu ritual-ritual ini menetapkan suatu
5

hubungan antara dunia Illahi dengan dunia manusia, bahkan memberi


wawasan tentang hakikat yang Illahi.
2) Ritual agamis
Memusatkan perhatian pada penyembahan puja-pujaan, pelaksanaan
puasa serta pesta-pesta yang termasuk bagian agama Hindu. Orang
Hindu tidak memandang pujaan sebagai penyerapan seluruh
keberadaan Tuhan. Mereka memandang gambaran itu sebagai suatu
lambang untuk Tuhan, dan bahkan ketika menyembah alam, mereka
melihat manifestasi dari kekuatan yang Illahi di dalamnya.
c. Ritual Jawa
Jawa memiliki tradisi dan bermacam ritual yang beragam, ritual Jawa
ditujukan untuk keselamatan, baik diri sendiri, keluarga dan orang lain.
Dalam istilah Jawa ritual disebut slametan. Slametan merupakan suatu
kegiatan mistik yang bertujuan untuk memohon keselamatan baik didunia
dan diakhirat, ritual juga sebagai wadah bersama masyarakat, yang
mempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan perseorangan pada
saat-saat tertentu. Contohnya: Ritual Kematian. Kematian merupakan
proses menuju kehidupan selanjutnya, pada masyarakat Jawa, kematian
adalah suatu hal yang sakral yang mana harus diadakan ritual supaya mayat
bias sempurna dan arwahnya bisa diterima oleh yang maha kuasa, dalam
kebiasaan orang Jawa kerabat dan keluarga mengadakan beberapa acara
ritual, diantaranya, ritual surtanah, slametan telung dino, mitung Dino,
metang puluh dino, nyatus dino, nyewu dino dan terahir slametan mendak
Beberapa sosiolog dan antropologi mengemukakan konsep ritual yang
berbeda. Ritual tidak hanya bersifat religius, tetapi juga merupakan bagian
dari peristiwa sosial yang terjadi didalam masyarakat. Perbedaan pengertian
tentang ritual, sangat ditentukan oleh orang yang membangunnya dan dalam
konteks di mana ritual dilakukan. Secara umum ritual tidak dapat dipisahkan
dari manusia dan aktivitas sosialnya. Artinya, belajar tentang ritual berarti
6

juga harus mempelajari aktivitas budaya di mana ritual dilaksanakan.


Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bell, bahwa untuk memahami ritual
mesti memahami konteks yang membangunnya. Konteks merupakan bagian
esensial dari ritual. Tindakan ritual dalam masyarakat selalu mengandung nilai
dan makna yang besar terhadap masyarakat itu sendiri. Karena itu, ritual
diungkapkan dalam berbagai cara dalam menata kehidupan umat manusia,
baik dalam relasinya dengan Tuhan maupun dengan sesama ciptaan.
Secara khusus Schrich dalam buku, ‘Ritual and Simbol in
Peacebuilding’ mengungkapkan bahwa ritual menggunakan tindakan simbolis
untuk mengkomunikasikan pesan pembentuk atau transformasi dalam ruang
sosial yang unik.Pengertian ini memperlihatkan tiga karakteristik ritual.
Pertama, ritual merupakan tindakan yang dikomunikasikan melalui simbol,
indra dan emosi daripada mengandalkan negosiasi melalui kata-kata dan
pemikiran rasional. Kedua, ritual dapat mengubah pandangan dunia, identitas
dan hubungan dengan orang lain. Ketiga, ritual dilakukan dalam ruang sosial
yang unik, terpisah dari kehidupan sehari-hari. Ritual dan simbol adalah alat
penting dalam membangun perdamaian.2
Ada lima dimensi keberagamaan sesorang yang dapat diukur untuk
mengetahui apakah seseorang tersebut religius atau tidak, yaitu, dimensi
keyakinan, dimensi praktek agama (ritual dan ketaatan), dimensi pengalaman,
dimensi pengetahuan agama, dimensi pengamalan atau konsekuensi. Dalam
konteks agama Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Indoneisa, lima dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagi berikut:
a. Dimensi Ritual; yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang
melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya;
pergi ke tempat ibadah, berdoa pribadi, berpuasa, dan lain lain. Dimensi
ritual ini merupakan perilaku keberagamaan yang berupa peribadatan
yang berbentuk upacara keagamaan
2
Lisa Schich, Ritual and Symbol in Peacebuilding (America: Kumarin Press, 2005), hlm. 17
7

b. Dimensi Ideologis; yang mengukur tingkatan sejauh mana seseorang


menerima hal-hal yang bersifar dogmatis dalam agamanya.Misalnya;
menerima keberadaan Tuhan, malaikat dan setan, surga dan neraka, dan
lainlain. Dalam konteks ajaran Islam, dimensi ideologis ini menyangkut
kepercayaan seseorang terhadap kebenaran agama-agamanya. Semua
ajaran yang bermuara dari Al quran dan hadits harus menjadi pedoman
bagi segala bidang kehidupan. Keberagaman ditinjau dari segi ini
misalnya mendarma baktikan diri terhadap masyarakat yang
menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar dan amaliah lainnya dilakukan
dengan ikhlas berdasarkan keimanan yang tinggi.
c. Dimensi Intelektual; yaitu tentang seberapa jauh seseorang mengetahui,
mengerti, dan paham tentang ajaran agamanya, dan sejauh mana
seseorang itu mau melakukan aktivitas untuk semakin menambah
pemahamannya dalam hal keagamaan yang berkaitan dengan agamanya.
Secara lebih luas, Dimensi intelektual ini menunjukkan tingkat
pemahaman seseorang terhadap doktrin-doktrin agama tentang kedalaman
ajaran agama yang dipeluknya. Ilmu yang dimiliki seseorang akan
menjadikannya lebih luas wawasan berfikirnya sehingga perilaku
keberagamaan akan lebih terarah.
d. Dimensi Pengalaman; yaitu berkaitan dengan seberapa jauh tingkat
Muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan
pengalaman religius. Dalam Islam dimensi ini terwujud dalam perasaan
dekat dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan
tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakkal,
perasaan khusuk ketika melaksanakan sholat, perasaan tergetar ketika
mendengar adzan atau ayat-ayat al-qur’an, perasaan syukur kepada Allah,
perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.
e. Dimensi Konsekuensi; Dalam hal ini berkaitan dengan sejauh mana
seseorang itu mau berkomitmen dengan ajaran agamanya dalam
8

kehidupan sehari-hari. Misalnya: menolong orang lain, bersikap jujur,


mau berbagi, tidak mencuri, dan lain-lain. Aspek ini berbeda dengan
aspek ritual. Aspek ritual lebih pada perilaku keagamaan yang bersifat
penyembahan/adorasi sedangkan aspek komitmen lebih mengarah pada
hubungan manusia tersebut dengan sesamanya dalam kerangka agama
yang dianut. Pada hakekatnya, dimensi konsekuensi ini lebih dekat
dengan aspek social. Dimensi sosial adalah menifestasi ajaran agama
dalam kehidupan masyarakat, meliputi semua perilaku yang didefinisikan
oleh agama. Ditinjau dari dimensi ini semua aktivitas yang berhubungan
dengan kemasyarakatan umum merupakan ibadah. Hal ini tidak lepas dari
ajaran Islam yang menyeluruh, menyangkut semua sendi kehidupan. Jadi
religiusitas pada dasarnya merupakan perbuatan seseorang yang
berhubungan dengan masyarakat luas dalam rangka mengembangkan
kreativitas pengabdian (ibadah) kepada Allah semata. Berdasarkan lima
dimensi diatas, maka religiusitas dapat digambarkan sebagai suatu
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif,
perasaan agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama
sebagai unsur psikomotorik.3
3. Simbol
Simbol adalah ciri khas agama, karena simbol lahir dari sebuah
kepercayaan, dari berbagai ritual dan etika agama. Simbol dimaknai sebagai
sebuah tanda yang dikultuskan dalam berbagai bentuknya sesuai dengan
kultur dan kepercayaan masing-masing agama. Simbol merupakan alat atau
sarana yang digunakan manusia untuk menyampaikan satu atau beberapa
pesan. Manusia sebagai makhluk sosial, selalu terhubung dengan yang lain
dalam berbagai aktivitas kehidupan. Hubungan antara individu yang satu
dengan individu yang lain atau antara kelompok dengan kelompok,

3
George, J. M. (1996). Personality, affect,and behavior in groups. Journal of Applied
Psychology, 75: hlm. 107-116
9

membutuhkan simbol sebagai alat komunikasi. Simbol membantu manusia


untuk menyampaikan pesan yang tidak dapat dikomunikasikan secara
langsung.
Hubungan antara manusia dan simbol sangat erat, sebab manusia
berkomunikasi atau menghubungkan dirinya dengan yang lain dalam
berbagai cara. Ersnst Caissier, mengatakan bahwa manusia pada hakikatnya
adalah animal symbolicum. Caissier menandaskan bahwa manusia itu tidak
pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung tetapi
melalui berbagai simbol. Kenyataan adalah selalu lebih daripada hanya
tumpukan fakta- fakta, tetapi ia mempunyai makna yang bersifat kejiwaan,
di mana baginya di dalam simbol terkadang unsur pembebasan dan
perluasan pemandangan. Artinya bahwa manusia pada umumnya tidak hanya
hidup di dunia fisik saja, tetapi juga hidup di alam simbolis. Bahasa, mitos,
seni dan agama adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan dunia simbol.4
4. Simbol Keagamaan dalam islam.
Dengan menggunakan batasan simbol di muka, maka yang dimaksud
dengan 'simbol keagamaan' dalam tulisan ini adalah semua atribut, gejala, dan
atau penanda yang digunakan manusia untuk menunjukkan keberadaan serta
ciri tertentu suatu agama, termasuk di dalamnya sistem nilai dan system
kepercayaannya. Jika ditinjau dari klasifikasi Beattie (1964) tentang
pemaknaan manusia terhadap nilai-nilai simbolik, maka realisme simbolik
dalam agama bisa berbenturan dengan praktek keagamaan yang dianut
kelompok pengguna agama, karena praktek keagamaan dalam masyarakat
bisa bervariasi sesuai dengan kelompok atau kelas sosial. Kelompok yang
menamakan diri sebagai 'kelompok rasional' seperti masyarakat Amerika
Serikat, misalnya, lebih mengutamakan sisi praktek keagamaan disbanding
aspek simbolik agama. Sementara pada masyarakat yang lain, praktek

4
Ernst Cassirer, An Essay on Man, (New York: Yale University Press, 1944)
10

keagamaan bisa berjalan dengan cara yang berbeda sesuai dengan pola
persepsi masyarakat tersebut terhadap nilai-nilai simbolik agama.
5. Makna simbol
Makna adalah sesuatu yang mengandung arti penting. Simbolik adalah
makna tertentu dalam benda atau suatu hal, yang mewakili suatu hal yang
ingin disampaikan. Jadi makna simbol adalah hal tertentu dalam benda atau
suatu hal yang mewakili sesuatu hal yang ingin disampaikan dan memiliki
arti penting. Integritas manusia sepanjang hidupnya berkecimpung dalam
simbol, simbol merupakan bagian integral dari hidup manusia.menurut
pendapat Maram bahwa pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai
tidak dapat eksis tanpa adanya simbol-simbol. Simbol memungkinkan
manusia untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan mengambil bagian
serta mengalihkan komponen-komponen kebudayaan ke generasi berikutnya.
Adapun makna dari simbol-simbol yang terkandung dalam
pelaksanaan tradisi ritual sebagai berikut :
a. Makna Simbolis dalam Interaksi Masyarakat
b. Makna Simbolis Peralatan Ritual
c. Makna Simbolis Tedzong
d. Makna dan Simbolis Sesajen
e. Makna dan Simbolis Atraksi Pagelaran Seni Budaya
f. Makna dan Simbolis Ziarah ke Makam Leluhur.

B. Ibadah Sosial dalam Islam

Islam merupakan agama yang hadir sebagai rahmat bagi alam semesta
(rahmatan lil ‘alamin). Islam bersifat universal, mengatur segala aspek kehidupan
manusia, terutama bagi umatnya yang beriman. Dalam setiap sendi kehidupan,
Islam memberi panduan yang lengkap agar kehidupan manusia berjalan dengan
selamat. Bagi umat Islam hukum Allah telah jelas. Al-Qur’an dan Al-Sunnah
11

memiliki prioritas utama sebagai sumber rujukan bagi bangunan sistem kehidupan
yang Islami. Islam menyediakan wacana atau khazanah yang begitu kaya atas
pelbagai dimensi kehidupan manusia dalam beraktifitas, termasuk di dalamnya
aktifitas sosial sehari-harinya.5 Sejak lahirnya belasan abad yang lalu, Islam
memang telah tampil sebagai agama yang memberi perhatian pada keseimbangan
hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan manusia dengan Tuhan; antara
hubungan manusia dengan manusia; dan antara hubungan manusia dengan alam
semesta. Islam itu sempurna, artinya memenuhi kebutuhan manusia untuk semua
persoalan hidupnya sehingga ajaran Islam akan meliputi tuntunan tentang cara
berhubungan dengan Allah (hablum min Allah) dan cara berhubungan dengan
manusia (hablum min al-nas) dan termasuk cara berhubungan dengan alam
sekitarnya yang disebut dengan (hablum min al-‘alam).

Islam dengan tegas menyatakan, bahwa prilaku manusia secara individual


maupun secara sosial yang sesuai dengan tuntunan Allah swt. akan berdampak
pada terwujudnya pribadi yang bahagia, sejahtera, masyarakat yang adil dan
makmur, serta alam semesta penuh rahmat. Sebaliknya apabila manusia hidup
mengikuti tuntunan lain maka secara pribadi akan memperoleh kesulitan dunia
akhirat, dan secara sosial akan mengakibatkan eksploitasi antar manusia sehingga
terjadilah kesenjangan sosial yang tajam, kerusakan dan pencemaran lingkungan,
serta kerusakan akhlak dan moral.6 Ajaran agama Islam adalah sistem yang saling
melengkapi, yang berinteraksi antara ibadah dan syiar-syiarnya dengan tugas-
tugas individual dan sosialnya. semuanya bermuara untuk kepentingan umat
manusia dengan tujuan untuk menyucikan hati, memperbaiki kehidupan, dan
tolong-menolong antar sesama manusia dan bantu-membantu untuk kebaikan,

5
Nurcholis Majid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respond An Transformasi Nilai-
Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Mediacita, 2000), Cet I, hlm. 339
6
Fuad Amsyari, Islam Kaaffah Tantangan Social Dan Aplikasinya Di Indonesia, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 61
12

kesalehan dan perkembangan dalam hidupnya. pada semua itu tercerminlah


rahmat yang besar dari Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya.

Ajaran Islam dibidang sosial termasuk yang paling menonjol karena seluruh
bidang ajaran Islam itu akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun,
khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling
menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan
derajat), tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran derajat manusia dalam
pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya,
warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis.
Kualitas dan derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang bermanfaat
bagi manusia. Atas dasar ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki
kesempatan yang sama.

Senada dengan penelitian yang dilakukan Jalaluddin rahmat yang dikutip oleh
Abuddin Nata, Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari
aspek kehidupan ritual. Hal ini dapat dilihat misalnya apabila urusan ibadah ritual
bersamaan waktunya dengan urusan ibadah sosial maka ibadah ritual diperpendek
atau ditangguhkan (diqashsar atau dijama’ dan bukan ditinggalkan). Selanjutnya
islam menilai bahwa ibadah ritual (shalat) yang dilakukan secara berjamaah atau
bersama-sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi daripada ibadah ritual
(shalat) yang dilakukan secara perorangan dengan pebandingan 27 derajat.7

Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa ibadah sosial lebih utama daripada
ibadah individual. Lebih lanjut Yaqub membandingkan antara pahala haji mabrur
dan menyantuni anak yatim. Haji mabrur termasuk ibadah individual yang
mendapatkan pahala surga saja tanpa disamping Nabi Muhammad SAW.,
sedangkan menyantuni anak yatim merupakan ibadah sosial yang dijanjikan
masuk surga disamping Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Yaqub juga mengutip

7
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 89
13

hadis qudsi riwayat Muslim bahwa Allah SWT. dapat ditemui disisi orang sakit,
orang kelaparan, orang kehausan dan orang yang menderita. Nabi SAW. tidak
menyatakan bahwa Allah dapat ditemukan disisi ka’bah, dengan kata lain Allah
dapat ditemui melalui ibadah sosial. Kaidah fikih menyebutkan al Mutaaddiyah
afdhal minal qashirah (Ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual). 8

Begitu pula dalam ibadah sosial lainnya seperti halnya zakat, di dalam zakat
juga ditemukan pengaruh yang begitu besar, baik bagi orang yang memberi
maupun bagi orang yang menerima zakat. Bagi orang yang menerima zakat dapat
memelihara dirinya dari kehinaan, kesusahan dan aib kemiskinan, serta
memantapkan iman dalam hati dan memperkokoh dasar jihad dijalan Allah serta
menegkan kemaslahaan umum. Para ibnu sabil dapat meneruskan perjalanannya
dengan pertolongan zakat. Masyarakat yang terlantar dapat disantuni dalam
tempat tertentu dengan baiaya yang dikumpulkam dari harta zakat.9

Disinilah, hubungan yang harus dijelaskan tentang hubungan Islam dan nilai-
nilai kemanusiaan. Betapa tidak, melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri
adalah bagian horizontal dari pengaplikasian nilai-nilai ke-Islaman. Sebab di
dalam Islam bukan saja digariskan norma-norma dan kaidah-kaidah ilahiyah,
tetapi juga nilai-nilai yang berhubungan dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 112

‫ا ُءوا‬44َ‫س َوب‬ ِ ‫ل ِمنَ النَّا‬4 ٍ 4‫ ٍل ِمنَ هَّللا ِ َو َح ْب‬4‫وا ِإاَّل بِ َح ْب‬44ُ‫ا ثُقِف‬44‫الذلَّةُ َأيْنَ َم‬ ِّ ‫ ِربَتْ َعلَ ْي ِه ُم‬4 ‫ض‬
ُ
ِ ‫ا‬44َ‫ ُرونَ بِآي‬4ُ‫انُوا يَ ْكف‬44‫َأنَّ ُه ْم َك‬4ِ‫كَ ب‬44ِ‫ َكنَةُ َذل‬4‫س‬
ِ ‫ت هَّللا‬ ْ ‫ت َعلَ ْي ِه ُم ا ْل َم‬4ْ َ‫ ِرب‬4‫ض‬
ُ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ َو‬ٍ 4‫ض‬ َ ‫بِ َغ‬
ٍّ ‫َويَ ْقتُلُونَ اَأْل ْنبِيَا َء بِ َغ ْي ِر َح‬
َ ‫ق َذلِكَ بِ َما ع‬
)112( َ‫َص ْوا َو َكانُوا يَ ْعتَدُون‬

8
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015), hlm. 4-5
9
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Kuliah Ibadah, (Semarang: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 180
14

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan
mereka durhaka dan melampaui batas”.

Dalam hal ini, agama senantiasa melibatkan apa yang seharusnya dilakukan
dan apa yang senyatanya diterima. Karena memang ia merupakan dua sisi dari
mata uang yang sama. Dengan kata lain, pesan yang terkandung di dalam firman
Allah senantiasa memiliki dimensi mikro (hablumminallah) dan dimensi makro
(hablumminannas). Dimensi mikro, proses kritis dan koreksi tentang penghayatan
iman, penghayatan kedekatan kepada al-khalik, sang pencipta alam semesta,
dengan pendirian hidup yang memiliki sinar, memancarkan pijar dan cahaya.
Dimensi yang menggerakan diri untuk khusyuk dalam ibadah mahdhah. Dimensi
makro, panggilan fitrah kaum beriman untuk memproyeksikan kehambaannya ke
dalam tingkat universal, yaitu membawa manfaat dan rahmat terhadap sesama
umat manusia semesta alam.10

C. Pimilahan Wajib (Fardhu) dan Efeknya Terhadap Pemberdayaan Umat

1. Pengertian wajib
Wajib menurut bahasa adalah pasti atau tepat, 11 sedangkan menurut istilah
Ushul Fiqih adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dikerjakan oleh
mukalaf secara pasti dan perintah itu disertai dengan petunjuk yang

10
Nurcholis Majid, Op. Cit. hlm. 36
11
Taufiq Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hlm. 83
15

menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib.12 Petunjuk itu bisa berupa
kalimat perintah itu sendiri atau kalimat yang terdapat petunjuk harus
melakukannya. Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana
orang yang apabila di laksanakan akan mendapatkan pahala dan apabila
meninggalkannya akan berdosa.
2. Pembagian Wajib
Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat:
a. Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya.
Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua, yaitu
wajib muthlaq (tidak terikat waktu) dan wajib muqayyad (terikat waktu).
1) Wajib muthlaq (tidak terikat waktu) adalah sesuatu yang dieprintah
oleh syari’ untuk melakukannya secara pasti dan tidak ditentukan
waktu pelaksanannya.13 Seperti orang yang melanggar sumpah, dia
harus membayar denda. Pelaksanaan pembayaran denda ini tidak
ditentukan waktunya. Ia dapat melaksanakannya langsung setelah
melanggar sumpah atau dalam jeda beberapa waktu.
2) Wajib muqayyad (terikat waktu) adalah sesuatu yang diperintah oleh
syari’ untuk melakukannya secara pasti dlam waktu tertentu. 14 Seperti
shalat lima waktu. Masing-masing shalat dibatasi waktu tertentu
sehingga tidak boleh bagi mukalaf untuk melaksanakan sebelumnya
atau ia akan mendapat dosa jika melaksanakannya di luar waktu yang
ditentukan tanpa uzur. Wajib muqayyad (terikat waktu), jika waktu
wajib yang ditetapkan oleh syari’ memuat satu kewajiban dan hal-hal
lain yang sejenisnya, maka waktu itu disebut muwassa’ au dzorf (yang
luas atau memuat). Contohnya adalah waktu zuhur, di dalam waktu itu
mukalaf bisa menunaikan shalat zuhur dan shalat-shalat selainnya
12
Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 53.
13
Ibid. Hlm. 56
14
Ibid.
16

seperti shalat sunnah sebelum shalat zuhur. Jika waktu yang ditetapkan
oleh syari’ hanya untuk kewajiban itu saja tidak yang lain, maka waktu
itu disebut muqayad au mi’yar (yang sempit atau dibatasi), misalnya
waktu puasa Ramadan. Dalam bulan ini seorang mukalaf tidak bisa
menjalankan puasa lain selain puasa Ramadan. Jika waktu yang
ditetapkan oleh syari’ tidak untuk kewajiban selainnya dari satu segi
sedangkan dari segi yang lain bisa memuat hal-hal selain kewajiban
itu, maka waktu itu disebut dzasysyibhain (yang memiliki dua
kesamaan). Contoh: waktu haji (bulan-bulan hari). Dari segi mukalaf,
dia dapat menunaikan haji hanya satu kali dalam setahun. Dari segi
bahwa ibadah haji tidak menghabiskan seluruh bulan-bulan hajji maka
waktu itu menjadi luas dan memuat hal-hal lain yang sejenisnya.

b. Wajib ditinjau dari segi ketentuannya dari syari’.


Wajib ditinjau dari segi ketentuannya dari syari terbagi menjadi wajib
muhaddad (ketentuan yang dibatasi) dan ghoiru muhaddad (ketentuan
yang tidak dibatasi).
1) Wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi) adalah suatu kewajiban
yang ketentuannya ditentukan oleh syari’ sehingga mukalaf tidak akan
keluar dari tanggungan kewajiban itu kecuali apabila ia telah
melakukannya sebagaimana syari’ telah menetapkannya.15 Misalnya
shalat lima waktu. Shalat fardlu ini harus dilakukan sesuai dengan
jumlah, rukun dan syarat yang telah dibatasi oleh syari’.
2) Wajib ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi) adalah suatu
kewajiban yang ketentuannya tidak dibatasi oleh syari’.16 Misalnya
infak di jalan Allah, saling tolong menolong pada kebaikan, dan
memberi makan orang yang lapar. Tujuan kewajiban ini tidaklah lain
15
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqhi, hlm.84
16
Ibid. hlm. 85
17

untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan ketentuan yang dapat


memenuhi kebutuhan itu tergantung yang dapat memenuhi kebutuhan
itu tergantung pada jenis kebutuhan.

c. Wajib ditinjau dari segi tuntunan penunainnya.


Wajib ditinjau dari segi tuntunan penunainnya terbagi menjadi dua, yaitu
wajib ‘aini (wajib ‘ain) dan wajib kifai (wajib kifayah).
1) Wajib ‘ain (wajib ‘ain) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’
supaya dilaksanakan oleh setiap mukalaf.17 Misalnya: shalat, zakat,
haji.
2) Wajib kifa’i (wajib kifayah) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’
untuk dilaksanakan tanpa melihat siapa yang melaksanakannya. 18 Jadi
syari’ hanya menuntut dari kelompok mukalaf, jika seorang mukalaf
telah melakukannya maka gugurlah dosa dari mukalaf yang lain, tapi
apabila tidak ada seorang mukalafpun yang melakukannya maka
semua mukalaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. Misalnya:
menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar, menshalatkan orang yang
meninggal, menolong orang lain. Wajib kifayah bisa menjadi wajib
‘ain apabila tidak ada yang bisa melakukannya kecuali mukalaf itu.
Contoh: ada seorang yang tenggelam, sedang semua orang yang
menyaksikan tidak ada yang pandai berenang kecuali satu orang, maka
wajib kifayah itu menjadi wajib ‘ain baginya. Atau contoh lain, dalam
satu negeri hanya terdapat satu dokter, maka menolong orang sakit
yang seharusnya wajib kifayah menjadi wajib ‘ain sehingga dokter itu
harus menolong orang yang sakit.

d. Wajib ditinjau dari segi sifatnya.


17
Wahbah Az Zuhaili, Op. Cit., hlm.67
18
Abdul Wahhab Khalaf, Op. Cit., hlm.84
18

Wajib ditinjau dari segi sifatnya terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu)
dan wajib mukhayyar (pilihan).
1) Wajib mu’ayyan (tertentu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’
dengan sendirinya tanpa pilihan antara satu kewajiban dengan
kewajiban lainnya. Maksudnya mukalaf harus melaksanakan
kewajiban itu sendiri tanpa memilih yang lainnya. Seperti shalat, maka
mukalaf harus melakukan kewajiban itu dengan sendirinya.
2) Wajib mukhayyar (pilihan) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’
secara samar yang mencakup semua perkara yang ditentukan.19
Maksudnya, mukalaf diharuskan untuk memilih salah satu diantara
kewajiban itu, sehingga hilanglah tanggungannya dengan
melaksanakan salah satunya. Misalnya denda bagi orang yang
melanggar sumpah. Allah swt mewajibkan kepada orang yang
melanggar sumpah untuk memberi makanan kepada sepuluh orang
miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak.
Mukalaf bisa mimilih salah satu diantaranya.

3. Pengertian Pemberdayaan.
Pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata dasar daya (power)
yang berarti kemampuan atau kekuatan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pemberdayaan merupakan proses, cara, perbuatan memberdayakan.
Secara umum, pemberdayaan merupakan suatu proses memberikan daya
(power) bagi suatu komunitas atau kelompok masyarakat untuk bertindak
mengatasi masalahnya, serta mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan
mereka.
Pandangan al Quran tentang pemberdayaan masyarakat Islam
memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang individunya saling
19
Wahbah Az Zuhaili, hlm. 72
19

membutuhkan dan saling mendukung. Antar individu masyarakat mempunyai


hubungan yang idealnya saling menguntungkan. Kesenjangan dalam hal
pendapatan ekonomi merupakan sebuah potensi yang dapat dimanfaatkan
guna memupuk kerukunan dan silaturahim antar sesama. Islam mendorong
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dengan berpegang pada 3 prinsip
utama; ketiga prinsip itu adalah Prinsip ukhuwwah, Prinsip ta’awun, dan
Prinsip persamaan derajat. Prinsip-prinsip tersebut akan dijelaskan di bawah
ini. Pertama, prinsip ukhuwwah. Ukhuwwah dalam bahasa arab berarti
persaudaraan. Prinsip ini menegaskan bahwa tiap-tiap muslim saling
bersaudara, walaupun tidak ada pertalian darah antara mereka. Rasa
persaudaraan menjamin adanya rasa empati dan merekatkan silaturahim dalam
masyarakat. Prinsip ini berdasarkan pada firman Allah SWT:

)10( َ‫صلِ ُحوا بَيْنَ َأ َخ َو ْي ُك ْم َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُْر َح ُمون‬


ْ ‫ِإنَّ َما ا ْل ُمْؤ ِمنُونَ ِإ ْخ َوةٌ فََأ‬
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kamu kep pada
Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10)
Rasulullah mengumpamakan umat Islam sebagai sebuah bangunan
yang saling menguatkan satu sama lain. Di hadis lain Beliau berpesan bahwa
umat Islam hendaknya bersikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi
terhadap sesama layaknya sebuah tubuh, di mana jika ada satu bagian yang
merasa sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur dan merasakan
demam. Dalam konteks pemberdayaan, ukhuwwah merupakan motif yang
mendasari seluruh upaya pemberdayaan masyarakat. Rasulullah memiliki visi
masyarakat muslim yang saling menolong dan saling menanggung kesulitan
secara bersama. Islam mendorong pemeluknya untuk meringankan beban
saudaranya yang dilanda kesulitan melalui sabda Rasulullah SAW. “Barang
siapa yang melapangkan kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah
20

melapangkan darinya satu kesusahan di hari kiamat.” Islam merupakan


agama yang menanamkan kepedulian dalam diri pemeluknya.
Kedua, prinsip ta’awun. Allah SWT mendorong manusia untuk saling
tolong menolong sesamanya. Allah SWT berfirman:

َّ‫وا هَّللا َ ِإن‬44ُ‫ ْد َوا ِن َواتَّق‬4 ‫ا َونُوا َعلَى اِإْل ْث ِم َوا ْل ُع‬44‫َوتَ َعا َونُوا َعلَى ا ْلبِ ِّر َوالتَّ ْق َوى َواَل تَ َع‬
)2( ‫ب‬ ِ ‫ش ِدي ُد ا ْل ِعقَا‬
َ َ ‫هَّللا‬
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS.
Al-Maidah [5]: 2)
Prinsip ta’awun atau tolong-menolong ini merupakan prinsip yang
utama dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Karena sesungguhnya
program pemberdayaan itu adalah sebuah upaya menolong individu dan
masyarakat yang membutuhkan bantuan dan bimbingan. Upaya
pemberdayaan harus dimulai dari rasa kepedulian dan niat menolong individu
dan masyarakat yang membutuhkan. Hal ini berasal dari rasa persaudaraan
yang tumbuh dari ikatan ukhuwwah. Prinsip ta’awun atau tolong-menolong
ini juga dapat diartikan sebagai sebuah sinergi antara berbagai pihak yang
berkepentingan demi terwujudnya pemberdayaan yang optimal.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses kolaboratif, maka hendaknya seluruh
pihak saling membantu demi terwujudnya tujuan bersama. Pemberdayaan
bukanlah tanggung jawab pihak tertentu saja, melainkan tanggung jawab
seluruh pihak terkait. Pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah
sendiri tanpa bersinergi dengan pihak lain. Dengan ta’awun, pemerintah,
lembaga zakat, para ulama, organisasi Islam dan berbagai LSM dapat bahu-
membahu memadukan kekuatan finansial, manajemen, sumber daya manusia,
metodologi, dan penentuan kebijakan sehingga tercipta sinergi yang efektif
dalam melaksanakan pemberdayaan dan mengentaskan kemiskinan.
21

Ketiga, prinsip persamaan derajat antar umat manusia. Islam telah


memproklamirkan persamaan derajat antar umat manusia sejak 14 abad yang
lalu. Allah SWT berfirman:

ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِمنْ َذ َك ٍر َوُأ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم‬


َّ‫ش ُعوبًا َوقَبَاِئ َل لِتَ َعا َرفُوا ِإن‬ ُ َّ‫يَا َأيُّ َها الن‬
)13( ‫ر‬4ٌ ‫َأ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ َأ ْتقَا ُك ْم ِإنَّ هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي‬
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui. Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Efek pemilahan wajib terhadap pemberdayaan umat adalah bisa
mempererat hubungan silaturahmi, mengurangi kesenjangan, dan bisa
memberantas kemiskinan. Salah satunaya wajib melaksanakan zakat, Dalam
zakat tidak hanya terkandung dimensi teologis tentang ketaatan seorang
hamba terhadap Rabb-nya. Tapi, ada dimensi sosiologis untuk menggugah
kesadaran kemanusiaan kita. Bahwa dalam harta kita ada hak orang yang tak
mampu.
Zakat mengajarkan kita tentang bentuk nyata mewujudkan cita-cita
keadilan sosial. Harta kekayaan kita tidak boleh berputar di golongan orang-
orang kaya saja. Dengan zakat diharapkan akan dapat mempersempit jurang
antara si kaya dengan si miskin. Artinya, keadilan sosial akan benar-benar
terwujud. Namun, salah satu keprihatinan saat ini ialah rendahnya kesadaran
orang Islam membayar zakat. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang
menganggap zakat yang wajib dibayar hanyalah zakat fitrah yang ditunaikan
menjelang hari raya Idul Fitri. Padahal, masih banyak macam-macam zakat
seperti zakat emas, perak, hasil dagangan, pertanian, ternak, dan pendapatan.
Oleh karenanya, perlu ditumbuhkan semangat membayar berbagai macam
zakat tersebut.
22

Zakat ini apabila dikelola secara baik dan profesional tentu akan
sangat berguna untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Indonesia
sendiri yang mana secara demografi berpenduduk mayoritas Islam tentu
sangat potensial dalam upaya menghimpun zakat. Namun, realita yang terjadi
saat ini belumlah sesuai harapan. Zakat yang telah terkumpul secara nasional
masih sangat jauh dari target yang diharapkan. Jumlah zakat yang terkumpul
secara nasional belumlah optimal.
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dimensi ritual yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang melakukan
kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke tempat ibadah,
berdoa pribadi, berpuasa, dan lain lain. Dimensi ritual ini merupakan perilaku
keberagamaan yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan.
Dimensi ibadah sosial dalam Islam termasuk yang paling menonjol karena
seluruh bidang ajaran Islam itu akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia.
Namun, khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong,
saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan
derajat), tenggang rasa dan kebersamaan.
Pandangan al Quran tentang pemberdayaan masyarakat Islam memandang
masyarakat sebagai sebuah sistem yang individunya saling membutuhkan dan saling
mendukung. Antar individu masyarakat mempunyai hubungan yang idealnya saling
menguntungkan. Kesenjangan dalam hal pendapatan ekonomi merupakan sebuah
potensi yang dapat dimanfaatkan guna memupuk kerukunan dan silaturahim antar
sesama. Islam mendorong pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dengan berpegang
pada 3 prinsip utama; ketiga prinsip itu adalah Prinsip ukhuwwah, Prinsip ta’awun,
dan Prinsip persamaan derajat

B.     SARAN
Demikian makalah yang dapat kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pengembangan Pemikiran Islam. Semoga dapat menambah pengetahuan tentang
dimensi ibadah dalam islam.  Kami minta maaf jika dalam penulisan makalah ini
serta dalam penyampaiannya  masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan  kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kami semua.  Amin.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq. dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve)

Amsyari, Fuad. Islam Kaaffah Tantangan Social Dan Aplikasinya Di Indonesia,


(Jakarta: Gema Insani Press, 1995)

Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi. Kuliah Ibadah, (Semarang: PT. Remaja


Rosdakarya, 2006)

Az-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqhil Islami (Damaskus: Darul Fikr, 2008)

Cassirer, Ernst. An Essay on Man, (New York: Yale University Press, 1944)

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama, (Yogyakarta, Kanisius: 2010)

George, J. M. (1996). Personality, affect,and behavior in groups. Journal of Applied


Psychology.

Khalaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul Fiqhi, (Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiah, 2006)

Majid, Nurcholis. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respond An


Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta:
Mediacita, 2000)

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012).

Schich, Lisa. Ritual and Symbol in Peacebuilding (America: Kumarin Press, 2005)

Yaqub, Ali Mustafa. Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015)

24

Anda mungkin juga menyukai