Tes Dok
Tes Dok
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Untuk mencapai tujuan ini, manusia harus menyelaraskan antara iman dengan
amal, dan bahkan meningkatkan menjadi ihsan. Keimanan tanpa amal tidak memadai;
sama dengan amal tanpa iman akan menjadi hampa. Dengan kata lain, tidak ada
seorangpun termasuk seorang muslim yang dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kecuali setelah keimanannya terejawantah secara
dinamis dalam berbagai aspek kehidupannya. Dengan demikian, keimanan bukanlah
sekedar pernyataan kosong. Tetapi, harus ditegakkan di atas dasar-dasar yang kokoh,
yang disertai dengan amal yang kontinyu dan selalu meningkat. Disinilah terletak
kesinambungan dan kesatuan yang esensial antara iman, Islam dan ihsan.
B. RUMUSAN MASALAH
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibadah Ritual dalam Islam
1. Ritual
Ritual merupakan bagian esensial dari kehidupan manusia. Manusia
mengirim dan menerima berbagai pesan melalui ritual. Tindakan ritual turut
berpengaruh pada kehidupan manusia, sebaliknya kehidupan manusia ikut
mengisi berbagai tindakan ritual di dalam kehidupan sosial masyarakat. Ritual
ini dapat mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada hal-hal yang
mistis. Keempat, ritual faktitif yakni dilakukan dalam bentuk kelompok
dengan tujuan untuk mengingatkan produktifitas dan kesejahteraan
masyarakat. Ritual faktitif dapat dipadukan dengan ritual konstitutif dengan
menyatukan tindakan-tindakan yang dapat membawa perubahan sosial.
Dhavamony, dalam buku fenomenologi agama, membagi empat jenis
ritual, yakni: Pertama, tindakan magis. Tindakan magis memiliki kaitan
dengan adanya pemakaian benda benda tertentu yang memiliki kekuatan
magis. Kedua, Tindakan religius. Tindakan religious terdapat kekuatan-
kekuatan yang berasal dari para leluhur. Ketiga, ritual konstitutif. Ritual ini
dapat dapat mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada hal-hal yang
mistis. Keempat, ritual faktitif yakni dilakukan dalam bentuk kelompok
dengan tujuan untuk mengingatkan produktifitas dan kesejahteraan
masyarakat. Ritual faktitif dapat dipadukan dengan ritual konstitutif dengan
menyatukan tindakan-tindakan yang dapat membawa perubahan sosial.1
2. Macam-Macam Ritual:
1
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta, Kanisius: 2010) h. 175
3
4
3
George, J. M. (1996). Personality, affect,and behavior in groups. Journal of Applied
Psychology, 75: hlm. 107-116
9
4
Ernst Cassirer, An Essay on Man, (New York: Yale University Press, 1944)
10
keagamaan bisa berjalan dengan cara yang berbeda sesuai dengan pola
persepsi masyarakat tersebut terhadap nilai-nilai simbolik agama.
5. Makna simbol
Makna adalah sesuatu yang mengandung arti penting. Simbolik adalah
makna tertentu dalam benda atau suatu hal, yang mewakili suatu hal yang
ingin disampaikan. Jadi makna simbol adalah hal tertentu dalam benda atau
suatu hal yang mewakili sesuatu hal yang ingin disampaikan dan memiliki
arti penting. Integritas manusia sepanjang hidupnya berkecimpung dalam
simbol, simbol merupakan bagian integral dari hidup manusia.menurut
pendapat Maram bahwa pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai
tidak dapat eksis tanpa adanya simbol-simbol. Simbol memungkinkan
manusia untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan mengambil bagian
serta mengalihkan komponen-komponen kebudayaan ke generasi berikutnya.
Adapun makna dari simbol-simbol yang terkandung dalam
pelaksanaan tradisi ritual sebagai berikut :
a. Makna Simbolis dalam Interaksi Masyarakat
b. Makna Simbolis Peralatan Ritual
c. Makna Simbolis Tedzong
d. Makna dan Simbolis Sesajen
e. Makna dan Simbolis Atraksi Pagelaran Seni Budaya
f. Makna dan Simbolis Ziarah ke Makam Leluhur.
Islam merupakan agama yang hadir sebagai rahmat bagi alam semesta
(rahmatan lil ‘alamin). Islam bersifat universal, mengatur segala aspek kehidupan
manusia, terutama bagi umatnya yang beriman. Dalam setiap sendi kehidupan,
Islam memberi panduan yang lengkap agar kehidupan manusia berjalan dengan
selamat. Bagi umat Islam hukum Allah telah jelas. Al-Qur’an dan Al-Sunnah
11
memiliki prioritas utama sebagai sumber rujukan bagi bangunan sistem kehidupan
yang Islami. Islam menyediakan wacana atau khazanah yang begitu kaya atas
pelbagai dimensi kehidupan manusia dalam beraktifitas, termasuk di dalamnya
aktifitas sosial sehari-harinya.5 Sejak lahirnya belasan abad yang lalu, Islam
memang telah tampil sebagai agama yang memberi perhatian pada keseimbangan
hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan manusia dengan Tuhan; antara
hubungan manusia dengan manusia; dan antara hubungan manusia dengan alam
semesta. Islam itu sempurna, artinya memenuhi kebutuhan manusia untuk semua
persoalan hidupnya sehingga ajaran Islam akan meliputi tuntunan tentang cara
berhubungan dengan Allah (hablum min Allah) dan cara berhubungan dengan
manusia (hablum min al-nas) dan termasuk cara berhubungan dengan alam
sekitarnya yang disebut dengan (hablum min al-‘alam).
5
Nurcholis Majid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respond An Transformasi Nilai-
Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Mediacita, 2000), Cet I, hlm. 339
6
Fuad Amsyari, Islam Kaaffah Tantangan Social Dan Aplikasinya Di Indonesia, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 61
12
Ajaran Islam dibidang sosial termasuk yang paling menonjol karena seluruh
bidang ajaran Islam itu akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Namun,
khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling
menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan
derajat), tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran derajat manusia dalam
pandangan Islam bukan ditentukan oleh nenek moyangnya, kebangsaannya,
warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain sebagainya yang berbau rasialis.
Kualitas dan derajat seseorang ditentukan oleh ketakwaannya yang bermanfaat
bagi manusia. Atas dasar ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki
kesempatan yang sama.
Senada dengan penelitian yang dilakukan Jalaluddin rahmat yang dikutip oleh
Abuddin Nata, Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari
aspek kehidupan ritual. Hal ini dapat dilihat misalnya apabila urusan ibadah ritual
bersamaan waktunya dengan urusan ibadah sosial maka ibadah ritual diperpendek
atau ditangguhkan (diqashsar atau dijama’ dan bukan ditinggalkan). Selanjutnya
islam menilai bahwa ibadah ritual (shalat) yang dilakukan secara berjamaah atau
bersama-sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi daripada ibadah ritual
(shalat) yang dilakukan secara perorangan dengan pebandingan 27 derajat.7
Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa ibadah sosial lebih utama daripada
ibadah individual. Lebih lanjut Yaqub membandingkan antara pahala haji mabrur
dan menyantuni anak yatim. Haji mabrur termasuk ibadah individual yang
mendapatkan pahala surga saja tanpa disamping Nabi Muhammad SAW.,
sedangkan menyantuni anak yatim merupakan ibadah sosial yang dijanjikan
masuk surga disamping Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Yaqub juga mengutip
7
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, hlm. 89
13
hadis qudsi riwayat Muslim bahwa Allah SWT. dapat ditemui disisi orang sakit,
orang kelaparan, orang kehausan dan orang yang menderita. Nabi SAW. tidak
menyatakan bahwa Allah dapat ditemukan disisi ka’bah, dengan kata lain Allah
dapat ditemui melalui ibadah sosial. Kaidah fikih menyebutkan al Mutaaddiyah
afdhal minal qashirah (Ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual). 8
Begitu pula dalam ibadah sosial lainnya seperti halnya zakat, di dalam zakat
juga ditemukan pengaruh yang begitu besar, baik bagi orang yang memberi
maupun bagi orang yang menerima zakat. Bagi orang yang menerima zakat dapat
memelihara dirinya dari kehinaan, kesusahan dan aib kemiskinan, serta
memantapkan iman dalam hati dan memperkokoh dasar jihad dijalan Allah serta
menegkan kemaslahaan umum. Para ibnu sabil dapat meneruskan perjalanannya
dengan pertolongan zakat. Masyarakat yang terlantar dapat disantuni dalam
tempat tertentu dengan baiaya yang dikumpulkam dari harta zakat.9
Disinilah, hubungan yang harus dijelaskan tentang hubungan Islam dan nilai-
nilai kemanusiaan. Betapa tidak, melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri
adalah bagian horizontal dari pengaplikasian nilai-nilai ke-Islaman. Sebab di
dalam Islam bukan saja digariskan norma-norma dan kaidah-kaidah ilahiyah,
tetapi juga nilai-nilai yang berhubungan dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali ‘Imran [3]: 112
ا ُءوا44َس َوب ِ ل ِمنَ النَّا4 ٍ 4 ٍل ِمنَ هَّللا ِ َو َح ْب4وا ِإاَّل بِ َح ْب44ُا ثُقِف44الذلَّةُ َأيْنَ َم ِّ ِربَتْ َعلَ ْي ِه ُم4 ض
ُ
ِ ا44َ ُرونَ بِآي4ُانُوا يَ ْكف44َأنَّ ُه ْم َك4ِكَ ب44ِ َكنَةُ َذل4س
ِ ت هَّللا ْ ت َعلَ ْي ِه ُم ا ْل َم4ْ َ ِرب4ض
ُ ب ِمنَ هَّللا ِ َوٍ 4ض َ بِ َغ
ٍّ َويَ ْقتُلُونَ اَأْل ْنبِيَا َء بِ َغ ْي ِر َح
َ ق َذلِكَ بِ َما ع
)112( ََص ْوا َو َكانُوا يَ ْعتَدُون
8
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015), hlm. 4-5
9
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Kuliah Ibadah, (Semarang: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 180
14
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan
mereka durhaka dan melampaui batas”.
Dalam hal ini, agama senantiasa melibatkan apa yang seharusnya dilakukan
dan apa yang senyatanya diterima. Karena memang ia merupakan dua sisi dari
mata uang yang sama. Dengan kata lain, pesan yang terkandung di dalam firman
Allah senantiasa memiliki dimensi mikro (hablumminallah) dan dimensi makro
(hablumminannas). Dimensi mikro, proses kritis dan koreksi tentang penghayatan
iman, penghayatan kedekatan kepada al-khalik, sang pencipta alam semesta,
dengan pendirian hidup yang memiliki sinar, memancarkan pijar dan cahaya.
Dimensi yang menggerakan diri untuk khusyuk dalam ibadah mahdhah. Dimensi
makro, panggilan fitrah kaum beriman untuk memproyeksikan kehambaannya ke
dalam tingkat universal, yaitu membawa manfaat dan rahmat terhadap sesama
umat manusia semesta alam.10
1. Pengertian wajib
Wajib menurut bahasa adalah pasti atau tepat, 11 sedangkan menurut istilah
Ushul Fiqih adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dikerjakan oleh
mukalaf secara pasti dan perintah itu disertai dengan petunjuk yang
10
Nurcholis Majid, Op. Cit. hlm. 36
11
Taufiq Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hlm. 83
15
menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib.12 Petunjuk itu bisa berupa
kalimat perintah itu sendiri atau kalimat yang terdapat petunjuk harus
melakukannya. Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana
orang yang apabila di laksanakan akan mendapatkan pahala dan apabila
meninggalkannya akan berdosa.
2. Pembagian Wajib
Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat:
a. Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya.
Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua, yaitu
wajib muthlaq (tidak terikat waktu) dan wajib muqayyad (terikat waktu).
1) Wajib muthlaq (tidak terikat waktu) adalah sesuatu yang dieprintah
oleh syari’ untuk melakukannya secara pasti dan tidak ditentukan
waktu pelaksanannya.13 Seperti orang yang melanggar sumpah, dia
harus membayar denda. Pelaksanaan pembayaran denda ini tidak
ditentukan waktunya. Ia dapat melaksanakannya langsung setelah
melanggar sumpah atau dalam jeda beberapa waktu.
2) Wajib muqayyad (terikat waktu) adalah sesuatu yang diperintah oleh
syari’ untuk melakukannya secara pasti dlam waktu tertentu. 14 Seperti
shalat lima waktu. Masing-masing shalat dibatasi waktu tertentu
sehingga tidak boleh bagi mukalaf untuk melaksanakan sebelumnya
atau ia akan mendapat dosa jika melaksanakannya di luar waktu yang
ditentukan tanpa uzur. Wajib muqayyad (terikat waktu), jika waktu
wajib yang ditetapkan oleh syari’ memuat satu kewajiban dan hal-hal
lain yang sejenisnya, maka waktu itu disebut muwassa’ au dzorf (yang
luas atau memuat). Contohnya adalah waktu zuhur, di dalam waktu itu
mukalaf bisa menunaikan shalat zuhur dan shalat-shalat selainnya
12
Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 53.
13
Ibid. Hlm. 56
14
Ibid.
16
seperti shalat sunnah sebelum shalat zuhur. Jika waktu yang ditetapkan
oleh syari’ hanya untuk kewajiban itu saja tidak yang lain, maka waktu
itu disebut muqayad au mi’yar (yang sempit atau dibatasi), misalnya
waktu puasa Ramadan. Dalam bulan ini seorang mukalaf tidak bisa
menjalankan puasa lain selain puasa Ramadan. Jika waktu yang
ditetapkan oleh syari’ tidak untuk kewajiban selainnya dari satu segi
sedangkan dari segi yang lain bisa memuat hal-hal selain kewajiban
itu, maka waktu itu disebut dzasysyibhain (yang memiliki dua
kesamaan). Contoh: waktu haji (bulan-bulan hari). Dari segi mukalaf,
dia dapat menunaikan haji hanya satu kali dalam setahun. Dari segi
bahwa ibadah haji tidak menghabiskan seluruh bulan-bulan hajji maka
waktu itu menjadi luas dan memuat hal-hal lain yang sejenisnya.
Wajib ditinjau dari segi sifatnya terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu)
dan wajib mukhayyar (pilihan).
1) Wajib mu’ayyan (tertentu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’
dengan sendirinya tanpa pilihan antara satu kewajiban dengan
kewajiban lainnya. Maksudnya mukalaf harus melaksanakan
kewajiban itu sendiri tanpa memilih yang lainnya. Seperti shalat, maka
mukalaf harus melakukan kewajiban itu dengan sendirinya.
2) Wajib mukhayyar (pilihan) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’
secara samar yang mencakup semua perkara yang ditentukan.19
Maksudnya, mukalaf diharuskan untuk memilih salah satu diantara
kewajiban itu, sehingga hilanglah tanggungannya dengan
melaksanakan salah satunya. Misalnya denda bagi orang yang
melanggar sumpah. Allah swt mewajibkan kepada orang yang
melanggar sumpah untuk memberi makanan kepada sepuluh orang
miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak.
Mukalaf bisa mimilih salah satu diantaranya.
3. Pengertian Pemberdayaan.
Pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata dasar daya (power)
yang berarti kemampuan atau kekuatan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pemberdayaan merupakan proses, cara, perbuatan memberdayakan.
Secara umum, pemberdayaan merupakan suatu proses memberikan daya
(power) bagi suatu komunitas atau kelompok masyarakat untuk bertindak
mengatasi masalahnya, serta mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan
mereka.
Pandangan al Quran tentang pemberdayaan masyarakat Islam
memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang individunya saling
19
Wahbah Az Zuhaili, hlm. 72
19
َّوا هَّللا َ ِإن44ُ ْد َوا ِن َواتَّق4 ا َونُوا َعلَى اِإْل ْث ِم َوا ْل ُع44َوتَ َعا َونُوا َعلَى ا ْلبِ ِّر َوالتَّ ْق َوى َواَل تَ َع
)2( ب ِ ش ِدي ُد ا ْل ِعقَا
َ َ هَّللا
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS.
Al-Maidah [5]: 2)
Prinsip ta’awun atau tolong-menolong ini merupakan prinsip yang
utama dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Karena sesungguhnya
program pemberdayaan itu adalah sebuah upaya menolong individu dan
masyarakat yang membutuhkan bantuan dan bimbingan. Upaya
pemberdayaan harus dimulai dari rasa kepedulian dan niat menolong individu
dan masyarakat yang membutuhkan. Hal ini berasal dari rasa persaudaraan
yang tumbuh dari ikatan ukhuwwah. Prinsip ta’awun atau tolong-menolong
ini juga dapat diartikan sebagai sebuah sinergi antara berbagai pihak yang
berkepentingan demi terwujudnya pemberdayaan yang optimal.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses kolaboratif, maka hendaknya seluruh
pihak saling membantu demi terwujudnya tujuan bersama. Pemberdayaan
bukanlah tanggung jawab pihak tertentu saja, melainkan tanggung jawab
seluruh pihak terkait. Pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah
sendiri tanpa bersinergi dengan pihak lain. Dengan ta’awun, pemerintah,
lembaga zakat, para ulama, organisasi Islam dan berbagai LSM dapat bahu-
membahu memadukan kekuatan finansial, manajemen, sumber daya manusia,
metodologi, dan penentuan kebijakan sehingga tercipta sinergi yang efektif
dalam melaksanakan pemberdayaan dan mengentaskan kemiskinan.
21
Zakat ini apabila dikelola secara baik dan profesional tentu akan
sangat berguna untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Indonesia
sendiri yang mana secara demografi berpenduduk mayoritas Islam tentu
sangat potensial dalam upaya menghimpun zakat. Namun, realita yang terjadi
saat ini belumlah sesuai harapan. Zakat yang telah terkumpul secara nasional
masih sangat jauh dari target yang diharapkan. Jumlah zakat yang terkumpul
secara nasional belumlah optimal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dimensi ritual yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang melakukan
kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke tempat ibadah,
berdoa pribadi, berpuasa, dan lain lain. Dimensi ritual ini merupakan perilaku
keberagamaan yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan.
Dimensi ibadah sosial dalam Islam termasuk yang paling menonjol karena
seluruh bidang ajaran Islam itu akhirnya ditujukan untuk kesejahteraan manusia.
Namun, khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-menolong,
saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan
derajat), tenggang rasa dan kebersamaan.
Pandangan al Quran tentang pemberdayaan masyarakat Islam memandang
masyarakat sebagai sebuah sistem yang individunya saling membutuhkan dan saling
mendukung. Antar individu masyarakat mempunyai hubungan yang idealnya saling
menguntungkan. Kesenjangan dalam hal pendapatan ekonomi merupakan sebuah
potensi yang dapat dimanfaatkan guna memupuk kerukunan dan silaturahim antar
sesama. Islam mendorong pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dengan berpegang
pada 3 prinsip utama; ketiga prinsip itu adalah Prinsip ukhuwwah, Prinsip ta’awun,
dan Prinsip persamaan derajat
B. SARAN
Demikian makalah yang dapat kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pengembangan Pemikiran Islam. Semoga dapat menambah pengetahuan tentang
dimensi ibadah dalam islam. Kami minta maaf jika dalam penulisan makalah ini
serta dalam penyampaiannya masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kami semua. Amin.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufiq. dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve)
Cassirer, Ernst. An Essay on Man, (New York: Yale University Press, 1944)
Khalaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul Fiqhi, (Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiah, 2006)
Schich, Lisa. Ritual and Symbol in Peacebuilding (America: Kumarin Press, 2005)
Yaqub, Ali Mustafa. Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2015)
24