Suatu kenyataan bahwa tak ada satupun bangunan Sipil yang tidak
berinteraksi dengan batuan dan tanah. Terutama pembangunan bendungan
yang cakupannya menjangkau areal relatif luas.
Batuan dan Tanah adalah bagian dari kulit bumi, yakni suatu planet yang aktif,
dinamik dan selalu berubah dari waktu ke waktu melalui proses geologi.
Keruntuhan Fork Site Dam di Kalifornia, USA pada tahun 1933. Batuan
fondasi yang tersingkap dipermukaan berupa batu granit. Walaupun keras,
utuh serta strength-nya tinggi, namun setelah penggalian ternyata dijumpai
”shatered zone” (zona alterasi akibat proses hidrotermal) yang mudah
hancur dan lunak yang menyebabkan tejadinya longsoran besar-besaran
sehingga pembangunannya terpaksa dihentikan/dibatalkan.
1
Bencana keruntuhan bendungan serupa kasus Malpaset di atas pernah
menimpa bendungan beton St. Francis di Kalifornia, USA pada tahun
1928, yakni 2 tahun setelah pelaksanaan konstruksinya (1926) dan menelan
korban 426 orang meninggal. Penyebab bencana adalah melemahnya zona
sesar dan konglomerat di tumpuan kanan yang sebagian tersemen oleh
gipsum yang mudah larut di dalam air.
Vaiont Dam, Italia, 1963. Longsoran besar terjadi di kolam waduk. Over
topping atau limpasan yang terjadi (setinggi 100 m) tidak meruntuhkan
bendungan bertipe busur-beton ini, namun korban meninggal 3000 orang
serta kerusakan fisik lainnya di daerah hilir bendungan.
2
Foto: 1 Longsoran yang terjadi akibat “elastic rebound” setelah peng-
galian fondasi sarana olah raga (bendungan Jatigede, Cirebon)
3
dasar kolam waduk yang tda. karstic limestone. Bendungan
Rakawatu akibat kebocoran pada dinding kolam waduk yang terdiri
atas batu gamping (Gambar: 1)
DAR’ 09
Dari latar belakang fakta dan sejarah di atas, pengalaman dan pembelajaran
yang dapat kita peroleh antara lain sebagai berikut:
4
sebelumnya yang justru diakibatkan/dipicu oleh pembangunan bendungan itu
sendiri.
Oleh karena itu, kondisi geologi teknik merupakan faktor penting yang
sangat berpengaruh dan perlu dipertimbangkan dalam setiap tahap
pembangunan, terutama didalam pembangunan bendungan. Tidak hanya
menentukan karakter dan watak batuan fondasinya, kondisi geologi juga
mengisyaratkan tersedia tidaknya material konstruksi dari segi kualitas
maupun kuantitasnya.
5
Catatan: Kondisi Geologi/Geoteknik di suatu lokasi proyek (site) dapat didalami
melalui WWW.Geologi.com dan http://WWW.Geotek.co.id ( ??
)
Proses geologi terjadi akibat gaya Eksogen dan Endogen. Akibat gaya-gaya
Endogen dan Eksogen, bumi kita selalu berubah dari waktu ke waktu. Kondisi
geologi di suatu tempat seringkali bahkan selalu berbeda dengan di tempat lain,
meskipun dalam beberapa hal bisa dikorelasikan.
Gaya endogen yang ditimbulkan oleh arus konveksi pada lapisan mantel
(akibat rotasi dan revolusi bumi) menyebabkan terjadinya pergerakan pada kerak
bumi (continental drift) sehingga kulit bumi terpecah-pecah dan terbagi-bagi
6
menjedi lempeng-lempeng (plate) yang saling berdesakan dan/atau berjauhan
(plate tectonic). Proses ini mengakibatkan terjadinya retakan-retakan pada
kulit bumi (joints), terlipat-lipat (folding) bahkan terpatahkan/tersesarkan
(faulted). Lihat Gambar: 1-2
Gaya eksogen yang berasal dari luar bumi, terutama oleh pengerjaan iklim
yang dikendalikan oleh matahari, mengakibatkan terjadinya proses pelapukan
pada batuan, mekanik maupun kimiawi. Batuan yang semula masif (padu), keras
dan pejal menjadi lunak, pecah-pecah bahkan hancur dan urai menjadi tanah. Yang
semula kedap-air (impermeable) menjadi lulus-air (permeable) dan/atau
sebaliknya.
7
Gambar: 1-2 - Blok Diagram menggambarkan “plate tektonik”
8
Seperti diuraikan pada butir 1.2.2 dan 1.3.1, “hal yang sama” di atas didekati
dari dua arah yang berbeda dengan melahirkan ilmu terapan yang “berbeda namun
sama”, yakni Geologi Teknik dan Geoteknik. Mengingat bobot pendekatan yang
berbeda serta pengalaman dan kenyataan yang ada bahwa “alam tidak bisa
diperkosa” dan harus dikelola sesuai dengan sifat-sifat alaminya, maka di dalam
setiap pembangunan terutama bendungan, seorang enjiner harus bekerja sama
dengan ahli geologi.
9
(a) DAUR PETROLOGI GAYA EKSOGEN
(Pelapukan) UDARA
DARATAN
(E r o s i)
(Gerak tektonik)
(transport)
Bat.Beku LAUT/AIR
Magma (pengendapan)
(Peleburan/Pelelehan)
(Sementasi+Litifikasi)
GAYA ENDOGEN
(b) DAUR PETROLOGI
MAGMA
TEKTO-GEOMORFIK
PENGANGKATAN (OROGENESA): PELAPUKAN & EROSI AGRADASI
DEGRADASI PENEPLAIN
PENURUNAN : SEDIMENTASI
10
DAUR HIDROLOGI
AWAN
HUJAN
(evapotranspirasi)
Aliran PermukaanInfiltrasi/Meresap
11
II GEOMORFOLOGI
Peta Topografi seringkali disebut peta kontur (contour map) karena bentuk
rupa muka bumi digambarkan/diwakili dengan garis-garis kontur, yakni garis
yang menghubungkan titik-titik dengan ketinggian (elevasi) yang sama. Beda tinggi
(elevasi) antara dua kontur yang berurutan disebut interval kontur yang biasanya
sebesar 1/2000 x skala peta. Beda tinggi atau interval kontur juga bisa
diketahui dari indeks kontur, yakni kontur yang dicetak tebal dan dilengkapi
dengan angka yang menunjukkan ketinggian atau elevasinya.
12
Dataran Pantai Perlapisan Horisontal
13
biasa dilakukan dengan bantuan foto udara, kemudian dibuat peta
topografi berdasarkan sifat “paralax”-nya, yakni pergeseran semu daripada
suatu titik pada
(b) Pola Paralel (Sejajar); me- nunjukkan kemiringan lereng yang dikontrol oleh kond
luas (lokal-lokal).
Gambar: 2-2 Contoh pola aliran sungai kaitannya dengan kondisi geologi
potret udara yang berdampingan. Dengan mengitung paralax suatu titik dengan
menggunakan “paralaxbar”, maka timbulan atau cekungan pada daerah yang
diamati dapat dihitung dan digambarkan.
14
Pola Trellis; struktur perlipatan dengan seri sesar 2 seja
Pola Dendritic; resistensi seragam, kontrol
struktur kurang (relatif horisontal)
15
Klas Sub-Klas Keterangan Pertimbangan untuk desain
Puncak sedang Relief dan lereng landai di pegunungan yang Pelapukan tebal, kemunginan se-bagai
dikelilingi oleh lereng curam lokasi borrow area
Kemiringan sayap/ diselingi bagian-bagian cembung, depressi, Perlu diwaspadai, kemungkinan daerah
lereng sedang kadang datar, berundulasi longsoran
Merupakan bdg.erosi pada permukaan batuan Perhatian khusus thd. intensi-tas
Lereng curam vulkanik lapuk di daerah vulkanik pelapukan pada batuan non-vulkanik.
Problem utk.fondasi
Daerah
Kemiringan lereng ± 35o Hati-hati thd. kemungkinan bidang
pegunung longsoran
an/perbuk Lembah antar pegugunungan/perbukitan Kemungkinan adanya sesar di
Lembah
itan sepanjang pelurusan lembah
Talus Hasil longsoran batuan lapuk pada kaki lereng Tidak stabil sebagai fondasi
terjal bendungan
Kenampakan khusus Daerah longsoran, runtuhan, gelinciran Tidak cocok untuk fondasi. Di daerah
genangan perlu diketa-hui skalanya
Bidang erosi pada lapisan batuan hori-sontal, Rongga-rongga pada dataran lava,
Dataran Daerah pedataran, dataran banjir yang telah meng-alami sedimen piroklastik, batu gamping.
tinggi dataran teras pengangkatan Intensitas pelapukan batuan di bawah
teras
Aluvial Dataran banjir, tertutup endapan sungai Kurang terkonsolidasi, sangat lulus air.
Kurang cocok untuk fondasi
Pedataran di dasar Lembah memanjang tertutup sedimen hasil Perlu diwaspadai topogafi dan struktur
Dataran lembah erosi geologi batuan di bawahnya
rendah
Kipas aluvial Topografi berbentuk kipas pd. pertemuan Sangat lulus air, problem untuk
dataran rendah dgn.bukit fondasi.
Sumber mate-rial kerikil dan pasir
16
Skala Peta Peruntukan
Selain itu, interpretasi foto udara juga sangat membantu dalam pembuatan
peta geologi, terutama untuk lokasi-lokasi yang sulit diijangkau akibat topografi
maupun vegetasi, kemudian “tinggal” dilakukan checking di lapangan. Unsur-unsur
yang bisa diidentifikasi di dalam interpretasi foto udara di dalam pemetaan geologi
adalah seperti pada Tabel: II-3
Seperti diuraikan pada butir 1.2.2 bahwa akibat gaya eksogen dan endogen,
bumi kita bersifat dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu melalui suatu
proses yang panjang (lama) dan secara umum disebut proses geologi. Proses
geologi yang tergolong proses geomorfik adalah agradasi dan degradasi yang
diakibatkan oleh pengangkatan,
pelapukan dan “litifikasi”, yang diikuti dengan erosi dan pengendapan(sedimentasi).
Proses geomorfik ini berlangsung secara bergantian dan berkesinambungan
mengikuti suatu daur “tektonik – geomorfik” (lihat hal-11).
17
Pengelompokan tanah dan batuan berdasarkan karakteristika foto
(tone dan tekstur) serta ekspresi morfologi dan posisi topografi
Delineasi batas tanah penutup dengan massa batuan di bawahnya
Identifikasi proses geodinamik (longsoran, gawir, amblesan, dll.)
Anotasi struktur geologi, kondisi geohidrologi dan vegetasi’
Identifikasi:
Lintasan survai untuk check lapangan
Lokasi dan aksesibilitas singkapan untuk observasi rinci dan
pengambilan sampel
Lokasi alternatif bendungan, rute relokasi jalan, batas
genangan waduk
Bangunan-bangunan buatan manusia (artificial/man made
structures)
T Lokasi-lokasi borrow area dan quarry area
Tabel: II-3 Unsur-unsur yang dapat diidentifikasikan lewat interpretasi foto udara
18
SURVAI & INVESTIGASI
Sampling + Pengujian
Tabel: II-5 : Organisasi / Jalur Survin Geoteknik ( modifikasi dari Fookes, 1967)
TABEL -
1
III. BATUAN dan TANAH
Batuan adalah istilah umum dari segala material padat penyusun kulit bumi,
terutama ditinjau berdasarkan genesanya, yakni batuan beku, batuan sedimen, dan
batuan metamorf. Batuan dari jenis tertentu disebut batu, misalnya: batu pasir,
batu lempung, batu gamping, batu andesit, batu sabak, dll. Dari sudut geoteknik,
batuan atau batu adalah segala jenis material yang penggaliannya hanya bisa
dilakukan dengan bantuan alat mekanik dan/atau blasting.
Batuan induk yang semula pejal dan keras selain mengalami pelapukan fisik
juga deformasi akibat gerak tektonik sehingga retak-retak bahkan pecah-pecah.
Penetrasi air (larutan) ke dalam retakan mempercepat terjadinya proses
pelapukan kimiawi yang kompleks. Kedua proses pelapukan alami di atas,
intensitasnya bisa meningkat oleh pengerjaan atau ulah manusia maupun binatang
yang disebut dengan pelapukan organik.
3.2 Batuan
2
Tabel III-1: Derajat Pelapukan Batuan, Indikasi, Sifat-sifat dan Peruntukan
2
mempunyai struktur dan komposisi kimiawi tertentu yang disebut atom. Susunan
atom-atom yang membentuk struktur tertentu dinamakan kristal sehingga mineral
yang kristalisasinya sempurna mencerminkan struktur atomnya.
Sifat fisik mineral bisa ditentukan dengan berbagai cara, antara lain dengan
warna torehannya, kekerasan, bidang belahan dan retakannya, kilat (luster), bentuk
kristalnya dan lain-lain. Namun didalam praktek, identifikasi di lapangan yang
seringkali digunakan adalah mengkaji kekerasan atau hardness-nya dan
membandingkannya dengan Skala Mohs, sbb:
2
yakni batuan beku, batuan sedimen atau batuan endapan dan batuan metamorf
atau batuan malihan (Tabel: III-2)
a) Batuan Beku
Batuan beku dianggap sebagai muasal batuan dan dihasilkan dari proses
pendinginan atau pembekuan magma yang secara alami bersifat kental, pijar dan
panas. Jenis-jenis batuan beku yang terbentuk tergantung kepada cepat-lambatnya
proses pembekuan dan lokasi pembekuannya. Kedua faktor tersebut
menentukan tekstur batuan beku
yang terbentuk dan digunakan sebagai dasar penggolongan batuan beku seperti
terlihat pada Tabel: III-3 dan Tabel: III-4
Dalam perjalanannya ke permukaan bumi, magma menerobos atau
mengintrusi batuan-batuan di sekitarnya dan seringkali membeku sebelum
mencapai permukaan bumi dan disebut batuan beku intrusif. Magma yang
2
mencapai dan membeku di permukaan bumi di sebut batuan beku ekstrusif. Bila
intrusinya sejajar bidang perlapisan disebut “sill” dan yang memotong bidang
perlapisan disebut “dyke”(Gambar: 3-2). “Laccolith” dan “phacolith” adalah
jenis-jenis intrusi minor, sedangkan yang tergolong intrusi mayor disebut
“batholith”.
Bervariasi, umumnya
Bervariasi,
tinggi. Orientasi kristal
Kuat batuan Tinggi dan merata umumnya
dapat memperlemah
rendah
batuan
TEKSTUR MIKRO
2
Gambar: 3-2 Bentuk-bentuk intrusi “sill” dan “dyke”
Magma yang proses pembekuannya relatif lambat seperti pada batuan intrusif,
kristalisasinya berlangsung sempurna (holocrys-taline) sehingga kristal yang
terbentuk relatif besar-besar. Sedangkan kristal yang terbentuk pada batuan beku
ekstrusif, kristalnya kecil-kecil bahkan ada yang tak sempat mengkristal (amorf)
seperti pada batu-gelas (obsidian) dan Pumice (batu apung).
Umumnya keras, pejal dan masif dengan strength serta durabilitas yang
tinggi. Uji palu menghasilkan suara nyaring, bahkan seringkali menimbulkan
percikan api sehingga disebut sound rock. Namun seringkali mengandung
sistem retakan, kekar bahkan sesar yang menyebabkan terjadinya zona
alterasi mineral-mineral(shatered zone) akibat proses hidrotermal dan
memacu proses pelapukan yang sangat variatif dan intensif. Oleh karena itu,
observasi lapangan perlu kajian mendalam (ingat kegagalan pembangunan
”Fork Site Dam” di Kalifornia, USA pada 1933).
Batu beku basa segar pada umumnya berwarna abu-abu muda sampai hitam
kelam. Semakin asam warnanya semakin cerah
2
Batuan beku ultra basa (peridotit, dunite, dll) relatif rentan terhadap
pelapukan. Lapukan batuan beku basa yang tidak terdrainase secara baik
akan menghasilkan mineral montmorillonite yang bersifat ekspansif
Cerah Gelap/Kelam
b) Batuan Sedimen
2
GRUP BATUAN BEKU ASAM BATUAN BEKU INTERMEDIATE BB. BASA BB. ULTRA B.
Fam bat.
Tekstur GRANIT GRANODIORIT SYENIT DIORIT GABBRO ULTRA BASA
Peridotit
Kasar (> 2 mm) Granit Granodiorit Syenit Diorit Gabbro Norit Pyroksenit
Serpentenit
Medium (0,1 – Mikro Grano- Dolerit
Mikro Granit Mikro Syenit Mikro Diorit Picrite
2,0 mm) diorit (Diabas)
Halus (< 0,1
Rhyolit Dasit Tracyt Andesit Basalt Limburgit
mm)
Tuff (< 4,0 mm)
Klastik Agglomerat (> 4,0 mm)
Kndgn. Silikat (berkurang)
Warna Cerah Kelam/Gelap
Tabel: III-4 Klasifikasi Batuan Beku
2
b.1 Batuan Sedimen Klastik
Sedimen klastik seringkali tercirikan oleh strukturnya yang berlapis dan tak
jarang yang mengandung fosil tumbuhan atau binatang yang mengindikasikan
masa dan lingkungan pengendapannya.
Terbentuk dari proses kimiawi, hasil kegiatan organisme atau hasil proses
penguapan. Di antaranya adalah batu gamping koral, travertyn atau tufa, chalk,
evaporite, dll. Secara geoteknik, sifat fisik-mekaniknya kurang/tidak memadai.
Klasifikasi umum batuan sedimen bisa dilihat pada Tabel: III-5.
Merupakan akumulasi pecahan batuan vulkanik padat yang terlempar keluar (ke
udara) sewaktu terjadi letusan gunung berapi, termasuk di dalamnya adalah lava
yang mengeras, batuan vesikuler dan batu apung. Mengingat media transportasinya
lewat udara, sifat-sifat batuan piroklastik sangat bervariasi ke arah lateral maupun
vertikal, mulai dari yang bersifat seperti tanah dengan kepadatan yang sangat
rendah hingga mudah runtuh, sampai yang berupa batuan padat dan padu yang
sangat keras.
2
A. Batuan Klastik B. Batuan Non-Klastik
1. Rudaceous: berbutir Kasar > 4,0 mm 1. Batuan Karbonat,
Konglomerat, fragmen bundar + terutama tersusun dari kalsit
Breksi, fragmen runcing/menyudut + Batu Gamping, batu Koral, Dolomit
2. Arenaceous: berbutir sedang 0,06 – 2 mm 2. Non Karbonat
Batu Pasir, Greywacke, Arkose SS + Flint & Chert, travertyn
3. Argillaceous: Berbutir halus < 0,06 mm + Gambut dan batu-bara
Batu Lanau, batu Lempung + Garam, Gypsum, evaporite; batu
mono-mineral yang terbentuk dari
evaporasi air
Perlu dikaji ada tidaknya lapisan-lapisan yang mudah larut seperti gypsum,
anhydrit, batu gamping, dolomit, dll.
c. Batuan Metamorf
Disebut juga batuan malihan karena merupakan hasil ubahan dari berbagai
batuan yang telah ada (batuan sedimen, beku maupun batuan metamorf itu
sendiri), kemudian mengalami tekanan (P) dan/atau suhu (T) yang relatif sangat
tinggi sehingga terjadi rekristalisasi dan tertransformasi membentuk batuan
yang sama sekali baru.
2
Penambahan suhu yang relatif tinggi, selain lokasinya yang jauh di dalam
perut bumi, juga akibat pengaruh dapur magma di sekitarnya (metamorfisme
kontak/thermal). Meta-morfisme yang terjadi akibat proses kondensasi magma
yang membawa serta/mengangkut beberapa larutan kimia di dalam magma disebut
metamorfisme hidrotermal. Klasifikasi dan jenis batuan metamorf disajikan
pada Tabel: III-6.
Walaupun yang masih segar pada umumnya keras dan padat sehingga sering
dikelompokkan sebagai sound rock, namun sifat fisik dan mekaniknya sangat
bervariasi, tergantung proses metamorfisme dan tektoniknya
Marmer, kwarsit dan gneiss umumnya pejal, keras dan masif dengan strength
yang tinggi
Batu sekis mempunyai bidang-bidang sekisan yang lemah dan mudah terbelah
serta bersifat lulus air sehingga pada umumnya relatif lunak dan mudah
longsor.Contoh adalah longsoran yang terjadi sewaktu penggalian bukit
tumpuan kiri bendungan Batu Tegi.
3
Ukuran UCS
Nama Malihan dari Mineral Utama Struktur Kekuatan
Butir (Mpa)
Bervariasi,
Berbagai
Hornfels Halus mika, kwarsa, seragam sangat kuat 200
jenis batuan
lempung
kuat geser
Batu lem-
Batu bidang lemah,
pung, ser- Halus s.d.a 20 - 120
Sabak belah kuat pun-
pih
tir tinggi
Basalt, ande- mika, kwarsa,
kuat geser
sit, riolit, Halus - klorit, plagio-
Sekis sekisan sangat 20 - 70
gabbro, tuff, Kasar klas, amfibol,
rendah
serpih epidote
Kwarsa,
Granit, dio-
felspar, mika,
Genes rit, riolit, Kasar foliasi kuat > 100
mafik, amfibol,
sekis mika
garnet
Campuran Kasar, Kwarsa,
batuan beku sa-ngat felspar, mika, spt. pita sangat
Migmatit > 200
dan meta- ber- mafik, amfibol (banded) kuat
morf variasi
bervaria
Kalsit,
Batu gam- si - spt. kuat – 100 -
Marmer Halus magnesium,
ping, dolomit pita sangat kuat > 200
kalsium silikat
(banded)
kuat – 100 -
Kwarsit Batu Pasir Halus Kwarsa masif
sangat kuat > 200
3
DISKRIPSI BATUAN
PENGAMAT: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . CUACA : . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Observasi Lapangan:
........
3
Jenis/Klasifikasi Batuan
Secara Genetik (Tabel: III-2, 3, 4, 5, 6)
Secara Geoteknik (lihat Sub-Bab: 3.2.3 b)
Lain-lain: orientasi perlapisan, lensa-lensa, slickensides, sisipan tipis, dll.
Gambar: 3-3a
Kualitas massa batuan
kaitannya dengan metoda
penggaliannya (Franklin et al.
1971)
batuan(rockmaterial strength)
3
hammer) yang sering digunakan untuk uji kekuatan beton. Pada tahap
desain rinci, parameter kuat batuan hendaknya ditentukan dengan uji
laboratorium terhadap sampel/bongkah batuan (lumps) atau inti pemboran
(core).
o Kerapatan jarak antar kekar bisa diukur secara in situ terhadap singkapan
batuan di lapangan (Tabel: III-10) atau terhadap inti pemboran (core)
yang dinyatakan dengan RQD (Gambar: 3-4).
c1. Metode ITC (International Institute For Aerospace and Earth Sciences) , 1981
Dikenal juga dengan Metode Plotting Titik Sentral (Centre Point Plotting
Technique). Dikembangkan oleh Rengers and Soeters, ITC (1981), dimaksudkan
untuk penyederhanaan klasifikasi atau pengelompokan massa batuan di dalam
pemetaan geoteknik berdasarkan kuat massa batuan (rock mass strength).
Dikenal dengan metode Penaksiran Massa Batuan atau Rock Mass Rating System
(RMR), dikembangkan oleh Bieniawski (lihat Tabel: III-11a & b).
3
Core recovery: (perolehan core)
X 100%
(panjang pemboran)
(10 + 7,5 + 8)
RQD = X 100% = 53%
48
3
Kekuatan Batuan, σ (kg/cm2)
Kategori Uji Lapangan
BURNETT,1975 ISRM, 1978
SANGAT Patah bila dipukul palu geologi 1000 - 2000 1000 - 2500
secara kuat, suaranya agak nyaring
KUAT
3
Tabel: III-8 Tingkat Kekerasan Batuan
Klas Kekerasan Uji Lapangan Estimasi UCS (kg/cm2)
I Sangat keras Baru pecah bila dipukul dengan palu > 2000
geologi secara berulang- ulang
II Keras sekali Pecah bila dipukul dengan palu geologi 1000 – 2000
lebih dari satu kali di dalam genggaman
tangan
Sedang 20 cm – 60 cm Sedang
Tipis 6 cm – 20 cm Rapat
3
Catatan:
Rme = Medium Rockmass Strength
Rlo = Low Rockmass Strength
Rvl = Very low Rockmass Strength.
Tanda panah menunjukkan kisaran kuat batuan dan jarak antar kekar
3
Tabel : III-11a Klasifikasi Taksiran Massa Batuan (RMR System), Bieniawski,
1973 4
Tabel III-11b: Pengaruh orientasi strike/dip terhadap arah terowongan
4
c5. Metode Stini and Lauffer (1965)
Metode Stini dan Lauffer ini (Gambar: 3-8 dan Tabel: III-13)
mengandalkan nilai RQD dari hasil pemboran di sepanjang terowongan. Meskipun
sederhana, metode ini dinilai kurang memperhitungkan kondisi geoteknik formasi
batuan yang tidak diambil sampelnya. Namun bila hasil survin mengindikiasikan
bahwa keragaman kondisi geotekninya dapat dinilai “hampir” seragam, metode ini
bisa juga digunakan, walaupun tidak terlalu dianjurkan.
4
Gambar: 3-8 “Stand Up Time” dinding terowongan tanpa
perkuatan (Stini & Lauffer, 1965). Lihat pula Tabel: III – 13.
4
c.6 Metode Kikuchi dan Sato, 1974
4
3.3 TANAH
peledak
a) Secara Genetik
Genetika tanah secara umum bisa dikelompokkan seperti pada Tabel: III-13.
Sedangkan penggolongan tanah secara rinci bisa dilihat pada Tabel: III-23.
b) Secara Geoteknik
4
(1) Tanah pindahan (Transported Soil):
Visual: > 50% butirannya bisa dilihat dengan mata telanjang (0,074 mm – 7
Mekanik: > 50% tertampung di ayakan US # 200
TANAH KASAR
Visual: > 50% butirannya tidak bisa dilihat dengan mata telanjang (< 0,074
Mekanik: > 50 % lolos ayakan US # 200
TANAH HALUS
4
parameter antar komponen tanah
e
Porositas (n) = (Vw + Va) / Vt (n) =-------------x 100%
1+e
Void ratio (e), secara matematis erat kaitannya dengan porositas, namun secara teknis
lebih sering digunakan daripada porositas e = (Vw + Va) / Vs
4
UNSUR UTAMA FRAKSI DIAMETER BUTIR
Bolder-------------------------------------------------------------> 30 cm
% Volume
Kobel----------------------------------------------------7,5 cm – 30 cm
Kerikil Kasar-------------------------------------------2 cm – 7,5 cm
Halus----------------------------# No.4 (4,75 mm) – 2 cm
Pasir Kasar - - - - - - - - - - - - - - - # No.10 (2 mm) - # No.4
100%
Sedang - - - - - - - - - - - # No.40 (0,425mm) - # No.10
Halus - - - - - - - - - - - - - # No.200 (0,75µm) - # No.40
Lanau dan Lempung - - - - - - - - - - - - - - - - - - Lolos # No.200
4
Pasir dan Kerikil Lempung dan Lanau
Kepadatan
N - SPT N - SPT Konsistensi Uji Manual
Relatif
0–3 Sangat lepas 0-1 Sangat lembek Digenggam, keluar di antara jari
10 – 29 Agak padat 5–8 Liat (Firm) Dengan tekanan sedang, ibu jari
dapat masuk beberapa cm.
> 50 Sangat padat 16 – 30 Sangat kaku Dapat ditakik dengan kuku jari.
Bagian runcing palu geologi ha-
nya menimbulkan lekukan kecil
31 - 50 Keras
Sulit ditoreh / ditakik dengan jari
> 50 Sangat keras
4
2,0 CLAY FRACTION (% PASSING # 2 µ)
1,5
VERY
HIGH
HIGH
ACTIVITY
1,0
LOW MED
0,5
0
10 20 30 40 50 60 70 80
70
60
Sangat Tinggi
50
PLASTICITY INDEX (PI)
40
30 Tinggi
20
Sedang
10
Rendah
0 10 20 30 40 50 60 70
% Clay # < 0,002 mm
Gambar: 3-8 Potensi swelling tanah lempung (Williams & Donaldson, 1980)