DISUSUN OLEH:
DOSEN PENGAMPU:
2021
Resensi Buku
1. Identitas Buku
2. Intisari Buku
Buku ini membahas tentang pola pemikiran masyarakat Muslim yang
berkembang menjelang serangan dari kaum Salib (Eropa) sampai pola-pola sejarah dan
implementasi kontemporer setelah berakhirnya penyerangan tersebut. Dalam buku ini,
dijelaskan ada beberapa mazhab yang tumbuh dan berkembang. Contohnya dari kalangan
mazhab Hambali dikenal gigih untuk merekrut masyarakat awam untuk bergabung dan
juga kepiawaiannya dalam berdialog dengan berbagai aliran dan kelompok yang
berseberangan paham. Selain mazhab Hambali, ada juga mazhab Asy’ari Syafi’I yang
dikenal dengan pengetahuannya yang luas dan mampu menghadapi aliran filfafat dan
kebatinan.
Pada awalnya, mazhab ini hanya merupakan madrasah (institusi) intelektual atau
bisa kita sebut sekarang sebagai sebuah sekolah. Namun, seiring dengan berjalannya
waktu berubah menjadi aliran mazhab yang kita kenal sekarang. Adanya sikap fanatisme
antar-mazhab yang menganggap dirinya memiliki ajaran yang lebih baik, menyebabkan
adanya perpecahan dan perselisihan di antaranya. Hal itu menyebabkan karya/pemikiran
hanya berputar di satu lingkungan yang sama. Pola ini menghambat pola pemikiran Islam
untuk melakukan inovasi dan ijtihad.
Dampak fanatisme mazhab pada masa itu menyebabkan rusaknya tujuan
pendidikan karena ruang lingkup persebaran ilmu menjadi sempit, hanya terbatas pada
kajian-kajian yang bergantung dari cara pandang mazhab. Selain itu, adanya pertikaian
antar-pelajar yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi ajang membela pandangan
suatu mazhab dan menjatuhkan pandangan lain yang tidak sejalan.
Dampak sosial juga timbul dari adanya fanatisme mazhab tersebut. Masyarakat
yang terbecah belah ditelai perselisihan antar-mazhab menjadi lalai dalam menghadapi
berbagai ancman yang datang dari dalam maupun luar. Nahasnya, perpecahan itu tak
hanya terjadi pada mazhab yang berbeda, namun terjadi pula dalam satu mazhab yang
sama.
Pengaruh mazhab juga merembet pada situasi politik pada masa itu. Adanya
persaingan para tokoh mazhab dalam menjalin hubungan dengan Sultan atau penguasa
untuk mendapatkan jabatan di institusi pemerintahan. Hal itu tak lepas dari hubungan
yang tercipta, sesuai dengan sikap pemerintah terhadap mazhab-mazhab tersebut.
Selain mazhab, buku ini juga menyorot persoalan tasawuf pada masa itu. Tasawuf
pada mulanya terbentuk sebagai institusi pendidikan (Madaris Tarbawiyah) yang
bertujuan membersihkan jiwa dan membangun akhlak. Fokus kegiatan madrasah ini
berkisar antara mengakodifikasikan tradisi Sufi dan membangun konsep-konsep tasawuf
sebagai proses penyucian diri yang menopang iman dan tauhid.
Gerakan kebatinan muncul (al Bathiniyyah) muncul dari fenomena fanatisme
mzhab dan kemunduran pemikiran Islam-Sunni, setra implikasi dari kezaliman rezim-
rezim penguasa. Gerakan ini muncul pertama kali pada abad 4 Hijriah dan berhasil
merekrut anggota yang berasal dari kalangan filsuf dan intelektual seperti kelompok
Ikhwan ash Shafa, kalangan sastrawan seperti Abu al ‘Ala’ al-Ma’arri, kalangan ulama
seperti Abu Hayyan at-Tauhudi, dan sebagainya. Pada abad 5 Hijriah, gerakan ini behasil
membentuk divisi militer teroris di bawah komandi Al-Hasan ash-Shabah.
Pengaruh kerancuan pemikiran terhadap kehidupan masyarakat Muslim dialami
pada periode pra-invasi tentara Salib. Fenomena ini menyebabnkan beberapa
permasalahan, seperti rusaknya aspek ekonomi, sosial, politik, dan kemiliteran.
Saat para penguasa Muslim sedang terlibat pertikaian satu sama lain, terjadi
penyerangan oleh tentara pasukan Salib yang berhasil menghancurkan kekuasaan Bani
Saljuq di Asia Kecil dan menguasai ibu kota Nicea. Pada tahun 491 H/1097 M mereka
menguasai Athanakiyah. Serangan terus berlanjut hingga pada tahun berikutnya, Baitul
Maqdis di Palestina jatuh ke tangan pasukan Salib. Saat itu, kaum Muslimin dihadapkan
pada dua pilihan. Melakukan perubahan dari dalam atau menyerah kepada ancaman yang
datang.
Proses perubahan yang dilakukan juga terbagi dalam dua fase. Pada fase pertama,
perubahan sangat bernuansa politik yang diusung oleh penguasa Bani Saljuq dengan
corong kelompok mazhab Asy’ari Syafi’i, namun tidak memperoleh hasil yang
diharapkan. Pada fase kedua, perubahan dimulai dari aspek aqidah serta segala aspeknya.
Model fase kedua ini terus berlanjut hingga membentuk komunitas masyarakat Muslim
yang ideal dan sehat.
Masalah besar yang menghambat bersatunya kepemimpinan karena adanya
berbagai hal yang terbelenggu nilai-nilai fanatisme, kepentingan individu, status sosial,
dan nafsu untuk menguasai sarana publik. Al-Ghazali mendiagnosa penyakit masyarakat
Islam pada masa itu, di antaranya; rusaknya misi ulama yang menjadikan aqidah berada
di bawah pengaruh kekuasaan politik sehingga sibuk memperdebatkan isu-isu kecil
dibandingkan yang krusial.
Rusaknya misi ulama berdampak pada pudarnya aqidah, sistem pendidikan yang
sehat, dan corak Islami dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini bisa terjadi saat seorang
ulama jauh dari sifat seorang Muslim yang ideal dan memandang ilmu sebagai sarana
untuk mencapai keuntungan pribadi semata. Mereka disebut sebagai orang yang berhasil
menguasai ilmu-ilmu, namun lalai dalam mengamalkannya dan mereka yang
meninggalkan ilmu-ilmu pokok, lalu menyibukkan diri dengan ilmu lain.
Menurut al-Ghazali, akar pemasalahan masyarakat Muslim karena ketiadaan
ulama dan pendidik yang berbuat untuk akhirat bukan untuk dunia terdapat beberapa
syarat, yaitu;
- Ulama tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan ilmunya
- Fokus pada keilmuan yang bermanfaat untuk akhrirat dan mendorong ketaatan di
dunia dan menghindari ilmu-ilmu yang kurang bermanfaat
- Ulama tidak boleh cenderung pada kemewahan duniawi
- Ulama harus menjaga jarak dengan penguasa dan berhati-hati dalam bergaul dengan
mereka
- Tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan fatwa
- Ulama harus memberikan perhatian yang besar terhadap taubat yang benar (Taubat al
Yaqin)
- Menjadikan sebagian besar bidang kajiannya tentang ilmu-ilmu yang bersifat praktis
dan tentang faktor-faktor yang merusaknya, faktor yang menumbuhkan keraguan
serta membangkitkan keburukan
Itulah ciri ulama yang diharapkan mampu mengemban misi al Amr bil Ma’ruf wan
Nahy ‘an al Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran)
menurut al-Ghazali.
Dalam menjalankan tugasnya dalam mengemban misi al Amr bil Ma’ruf wan
Nahy ‘an al Munkar, al-Ghazali juga berusaha merumuskan sistem baru, yakni
pendidikan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia. Kebahagiaan yang dimaksud
adalah kebahagiaan akhirat yang berhubungan erat dengan kehidupan dunia dan
kebijakan-kebjakan yang menganutnya. Al-Ghazali membuat sistem pendidikan yang
terarah dan kurikulum independen setelah membangun sekolah pribadinya, sehingga
mampu menghasilkan banyak murid yang mengikuti visi dan misinya.
Pengaruh al-Ghazali yang paling signifikan dapat dilihat dari pola dakwah yang
menjadi model dari sejumlah tokoh dari berbagai mazhab dan kelompok Islam dan
berhasil mengikis aliran-aliran pemiiran sesat. Gerakan reformasi yang dilancarkan al-
Ghazali kemudian berhasil menghancurkan kekuatan tentara Salib dan merebut kembali
tempat-tempat suci umat Islam.
a. Madrasah pusat:
Madrasah Al-Qadiriyyah didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jilani
b. Madrasah cabang:
1. Madrasah al ‘Adawiyyah dirintis oleh Syaikh ‘Ady bin Musafir
2. Madrasah as Suhrawardiyyah dirintis oleh Syaikh Abu an Najib Abdul Qahir as
Suhrawardi
3. Madrasah al Bayaniyyah didirikan oleh Syaikh Abu al Bayan Naba’ bin
Muhammad bin Mahfuzh ad Dimasyqi atau lebih dikenal sebagai Ibn al Hawrani
4. Madrasah Syaikh Ruslan al Ja’bari didirikan dengan nama pendirinya, yaitu
Syaikh Ruslan bin Ya’qub bin Abdullah al Ja’bari
5. Madrasah Hayat bin Qais al Harrani didirikan oleh Syaikh Hayat bin Qais bin
Rahhal al Ansari
6. Madrasah ‘Aqil al Manbaji didirikan oleh Syaikh ‘Aqil al Manbaji
7. Madrasah Syaikh Ali bin al Hiti didirikan sesuai dengan nama pendirinya, yakni
Syaikh Ali bin al Hiti
8. Madrasah al Hasan bin Muslim didirikan oleh Syaikh Abu Ali al Hasan bin
Muslim bin Abu al Jud al Farisi
9. Madrasah al Jausaqi didirikan oleh Syaikh Abu al Hasan al Jausaqi
10. Madrasah ath Thafsunji didirikan oleh Syaikh Abdurrahman ath Thafsunji al
Asadi
11. Madrasah Musa az Zauli didirikan oleh Syaikh Musa bin Mahan az Zauli
12. Madrasah Muhammad bin ‘Abd al Bashri didirikan oleh Syaikh Muhammad bin
‘Abd
13. Madrasah Jakir al Kurdi didirikan oleh Syaikh Jakir al Kurdi
14. Madrasah-madrasah al Batha’ihiyyah ar Rifa’iyyah dirintis oleh Syaikh Abu
Bakar bin Hawara
15. Madrasah Qailawi didirikan oleh Syaikh Abu Sa’id Ali al Qailawi
16. Madrasah Ali ar Rabi’i didirikan oleh Syaikh Ali bin Wahb ar Rabi’i
17. Madrasah Baqa bin Bathu didirikan oleh Syaikh Baqa bin Bathu
18. Madrasah Utsman bin al Qurasy didirikan oleh Syaikh Utsman
19. Madrasah Abu Madyan al Maghribi didirikan oleh Syaikh Abu Madyan Syu’aib
bin Husain al Andalusi
20. Madrasah Abu as Su’ud al Harimi didirikan oleh Syaikh Abu as Su’ud
21. Madrasah Ibnu Makarim an Na’al didirikan oleh Mahmud bin Usman bin
Makarim an Na’al al Baghdadi
22. Madrasah Umar al Bazzaz didirikan oleh Umar bin Mas’ud al Bazzaz
23. Madrasah al Jubba’i didirikan oleh Abdullah al Jubba’i
Gerakan reformasi yang dipelopori oleh madrasah al-Ghazali dan diikuti oleh
madrasah-madrasah lain melahirkan generasi baru yang menyebar dan menempati posisi
strategis dalam institusi politik, militer, pendidikan, sosial, dan ekonomi mampu
melahirkan kebijakan dalam menghadapi persoalan umat Islam dalam menghadapi
ancaman dari luar. Hal itu menyebabkan lahirnya Ummat al Mahjar (komunitas solid
yang merangkul segenap potensi Islah) yaitu Kesultanan Zanki.
Menurut Shalahuddn, ekspansi Islam merupakan sebuah proyek besar yang hanya
bisa dilakukan dengan kerja sama antara seluruh kekuatan Islam. Pada tahun 589
Hijriah/1194 Masehi, Shalahuddi wafat di Damaskus dan dimakamkan di sebelah makam
Nuruddin Zanki.
Sejarah memiliki pola-pola yang mengatur semua peristiwa dan fenomena dan
mengarahkannya sesuai engan logika itu sendiri. Dengan demikian, suatu umat yang
dipimpin oleh para fuqaha’ yang mengerti tentang pola-pola kemajuan dan keruntuhan
masyarakat dan mampu menerapkannya dengan baik, maka pasti akan membawa
umatnya menuju kemajuan dan kejayaan.
Sejarah membuktikan fiqh Rasulullah Saw. lebih unggul dibanding orasi Abu
Jahal. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa Perang Badar. Rasulullah Saw. mendidik
umatnya dengan al matsal al a’la (nilai tertinggi), beliau mampu mengatur semua potensi
kekuatan dengan baik sekalipun jumpal pasukannya lebih sedikit. Di lain pihak, Abu
Jahal memimpin sebuah masyarakat yang tidak memiliki al matsal al a’la (nilai tertinggi)
selai kebanggaan fanatisme suku dan tidak pula mengerti cara memanfaatkan seluruh
potensi yan dimiliki selain merangkai bait-bait puisi dan menabuh gendang.
3. Biografi Pengarang
a. Latar Belakang
Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani lahir di Irbid, Yordania, tahun 1536H/1937. Riwayat
pendidikan:
- 1383 H/1963 : Bachelor’s degree in History, Cairo University
- 1389 H/1969 : Diploma in Education, University of Jordan
- 1393 H/1986 : Master level of Islamic History, American University of Beirut
- 1393H/1986 : Master’s degree in Educational Philosophy, University of Jordan
- 1401 H/1981 : Ph.D. School of Education, Pittsburg University of Pennsilvania
state
4. Kelebihan Buku
Buku “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib --- Refleksi 50
Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut
Palestina” menyimpan banyak informasi mengenai kehidupan masyarakat Muslim pada
masa sebelum terjadinya penyerangan dari pasukan Kaum Salib, hingga setelah
berakhirnya perang tersebut. Disertai dengan pandangan para ulama besar Islam dalam
menanggapi segala bentuk permasalahan yang dialami umat Islam di antaranya;
fanatisme agama, aliran sesat, perebutan kekuasaan, hingga lahirnya kekuasaan baru yang
membawa umat Islam pada Islah, Kesultanan Zanki, sebagai fase kemajuan umat Islam.
Di buku ini juga memuat sistem pendidikan yang ada pada zaman itu, sehingga akan
sangat cocok dibaca bagi tenaga pengajar maupun pelajar.
5. Kekurangan Buku
Buku “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib --- Refleksi 50
Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut
Palestina” memuat permasalahan yang sangat kompleks tentang peristiwa yang terjadi
sebelum invasi pasukan Salib, hingga kehidupan umat Islam setelahnya. Buku ini
cenderung berat untuk dibaca --- meskipun sudah terdapat catatan kaki --- saya sendiri
memerlukan waktu yang cukup lama untuk memahami isinya secara keseluruhan.
6. Kesimpulan
- Sehat atau sakitnya suatu masyarakat berdasarkan pemikiran yang ada pada masa
masyarakat tersebut
- Ketika seluruh eksperimen Islah mengalami kegagalan, maka perlu dilakukan
evaluasi terhadap aspek pendidikan dan mencermati kembali seluruh proses
pelaksanaannya
- Walaupun Islam dapat melahirkan persadaban tingkat tinggi, namun ia tidak akan
memberikan peran yang signifikan terhadap peradaban kecuali jika dipahami oleh
“ulul albab” yang tercerahkan dan memiliki kemauan tinggi yang mulia
- Agama Islam akan mencapai kemajuan apabila pelaksanaannya dilakukan secara
optimal
- Masyarakat menjadi kuat apabila seluruh unsur kekuatannya telah matang dan
terpadu dalam sebuah siklus kombinasi yang tepat. Pengetahuan (al ma’rifah),
sumber kekayaan (ats tsarwah), dan kekuatan perang (al qudrah al qitaliyyah)
- Mengkombinasikan unsur ikhlas dengan strategi yang tepat dalam
mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada
- Jika Islah (reformasi) tidak dilakukan secara bertahap tanpa spesialisasi dan
pembagian peran, maka akan menuai kegagalan
- Gagasan reformasi dan persatuan harus diaktualisasikan dalam tindakan dan
aplikasi yang tepat supaya tidak terjadi perpecahan
- Tingkat kesuksesan strategi reformasi dan pembaruan dapat diwujudkan dengan
besarnya perhatian terhadap pola-pola keamanan sosial