Anda di halaman 1dari 14

Resensi Buku “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang

Salib; Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama Untuk


Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Literasi Sejarah

DISUSUN OLEH:

Meli Yana Marlina (11210220000055) SPI 1B

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Zakiya Darojat, M.A.

Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam

Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2021
Resensi Buku
1. Identitas Buku

a. Judul Buku : Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang


Salib; Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama Untuk Membangkitkan Umat
dan Merebut Palestina
b. Judul Edisi Asli : Hakadza
Zhahara Jil Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al Quds
c. Nama Pengarang : Dr. Majid ‘Irsan Al-Kilani
d. Penerbit : Kalam Aulia Mediatama
e. Penerbit Edisi Asli : Ad-Dur As-Su’udiyah
f. Penerjemah : Asep Sobari, Lc dan Amaluddin, Lc. MA.
g. Tahun Terbit : 2007
h. Tahun Terbit Edisi Asli : 1985
i. Nomor ISBN : 978-979-1103-01-5
j. Jumlah Halaman : 360 halaman
k. Ukuran Buku : 15 x 23 cm

2. Intisari Buku
Buku ini membahas tentang pola pemikiran masyarakat Muslim yang
berkembang menjelang serangan dari kaum Salib (Eropa) sampai pola-pola sejarah dan
implementasi kontemporer setelah berakhirnya penyerangan tersebut. Dalam buku ini,
dijelaskan ada beberapa mazhab yang tumbuh dan berkembang. Contohnya dari kalangan
mazhab Hambali dikenal gigih untuk merekrut masyarakat awam untuk bergabung dan
juga kepiawaiannya dalam berdialog dengan berbagai aliran dan kelompok yang
berseberangan paham. Selain mazhab Hambali, ada juga mazhab Asy’ari Syafi’I yang
dikenal dengan pengetahuannya yang luas dan mampu menghadapi aliran filfafat dan
kebatinan.
Pada awalnya, mazhab ini hanya merupakan madrasah (institusi) intelektual atau
bisa kita sebut sekarang sebagai sebuah sekolah. Namun, seiring dengan berjalannya
waktu berubah menjadi aliran mazhab yang kita kenal sekarang. Adanya sikap fanatisme
antar-mazhab yang menganggap dirinya memiliki ajaran yang lebih baik, menyebabkan
adanya perpecahan dan perselisihan di antaranya. Hal itu menyebabkan karya/pemikiran
hanya berputar di satu lingkungan yang sama. Pola ini menghambat pola pemikiran Islam
untuk melakukan inovasi dan ijtihad.
Dampak fanatisme mazhab pada masa itu menyebabkan rusaknya tujuan
pendidikan karena ruang lingkup persebaran ilmu menjadi sempit, hanya terbatas pada
kajian-kajian yang bergantung dari cara pandang mazhab. Selain itu, adanya pertikaian
antar-pelajar yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi ajang membela pandangan
suatu mazhab dan menjatuhkan pandangan lain yang tidak sejalan.
Dampak sosial juga timbul dari adanya fanatisme mazhab tersebut. Masyarakat
yang terbecah belah ditelai perselisihan antar-mazhab menjadi lalai dalam menghadapi
berbagai ancman yang datang dari dalam maupun luar. Nahasnya, perpecahan itu tak
hanya terjadi pada mazhab yang berbeda, namun terjadi pula dalam satu mazhab yang
sama.
Pengaruh mazhab juga merembet pada situasi politik pada masa itu. Adanya
persaingan para tokoh mazhab dalam menjalin hubungan dengan Sultan atau penguasa
untuk mendapatkan jabatan di institusi pemerintahan. Hal itu tak lepas dari hubungan
yang tercipta, sesuai dengan sikap pemerintah terhadap mazhab-mazhab tersebut.
Selain mazhab, buku ini juga menyorot persoalan tasawuf pada masa itu. Tasawuf
pada mulanya terbentuk sebagai institusi pendidikan (Madaris Tarbawiyah) yang
bertujuan membersihkan jiwa dan membangun akhlak. Fokus kegiatan madrasah ini
berkisar antara mengakodifikasikan tradisi Sufi dan membangun konsep-konsep tasawuf
sebagai proses penyucian diri yang menopang iman dan tauhid.
Gerakan kebatinan muncul (al Bathiniyyah) muncul dari fenomena fanatisme
mzhab dan kemunduran pemikiran Islam-Sunni, setra implikasi dari kezaliman rezim-
rezim penguasa. Gerakan ini muncul pertama kali pada abad 4 Hijriah dan berhasil
merekrut anggota yang berasal dari kalangan filsuf dan intelektual seperti kelompok
Ikhwan ash Shafa, kalangan sastrawan seperti Abu al ‘Ala’ al-Ma’arri, kalangan ulama
seperti Abu Hayyan at-Tauhudi, dan sebagainya. Pada abad 5 Hijriah, gerakan ini behasil
membentuk divisi militer teroris di bawah komandi Al-Hasan ash-Shabah.
Pengaruh kerancuan pemikiran terhadap kehidupan masyarakat Muslim dialami
pada periode pra-invasi tentara Salib. Fenomena ini menyebabnkan beberapa
permasalahan, seperti rusaknya aspek ekonomi, sosial, politik, dan kemiliteran.
Saat para penguasa Muslim sedang terlibat pertikaian satu sama lain, terjadi
penyerangan oleh tentara pasukan Salib yang berhasil menghancurkan kekuasaan Bani
Saljuq di Asia Kecil dan menguasai ibu kota Nicea. Pada tahun 491 H/1097 M mereka
menguasai Athanakiyah. Serangan terus berlanjut hingga pada tahun berikutnya, Baitul
Maqdis di Palestina jatuh ke tangan pasukan Salib. Saat itu, kaum Muslimin dihadapkan
pada dua pilihan. Melakukan perubahan dari dalam atau menyerah kepada ancaman yang
datang.
Proses perubahan yang dilakukan juga terbagi dalam dua fase. Pada fase pertama,
perubahan sangat bernuansa politik yang diusung oleh penguasa Bani Saljuq dengan
corong kelompok mazhab Asy’ari Syafi’i, namun tidak memperoleh hasil yang
diharapkan. Pada fase kedua, perubahan dimulai dari aspek aqidah serta segala aspeknya.
Model fase kedua ini terus berlanjut hingga membentuk komunitas masyarakat Muslim
yang ideal dan sehat.
Masalah besar yang menghambat bersatunya kepemimpinan karena adanya
berbagai hal yang terbelenggu nilai-nilai fanatisme, kepentingan individu, status sosial,
dan nafsu untuk menguasai sarana publik. Al-Ghazali mendiagnosa penyakit masyarakat
Islam pada masa itu, di antaranya; rusaknya misi ulama yang menjadikan aqidah berada
di bawah pengaruh kekuasaan politik sehingga sibuk memperdebatkan isu-isu kecil
dibandingkan yang krusial.
Rusaknya misi ulama berdampak pada pudarnya aqidah, sistem pendidikan yang
sehat, dan corak Islami dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini bisa terjadi saat seorang
ulama jauh dari sifat seorang Muslim yang ideal dan memandang ilmu sebagai sarana
untuk mencapai keuntungan pribadi semata. Mereka disebut sebagai orang yang berhasil
menguasai ilmu-ilmu, namun lalai dalam mengamalkannya dan mereka yang
meninggalkan ilmu-ilmu pokok, lalu menyibukkan diri dengan ilmu lain.
Menurut al-Ghazali, akar pemasalahan masyarakat Muslim karena ketiadaan
ulama dan pendidik yang berbuat untuk akhirat bukan untuk dunia terdapat beberapa
syarat, yaitu;
- Ulama tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan ilmunya
- Fokus pada keilmuan yang bermanfaat untuk akhrirat dan mendorong ketaatan di
dunia dan menghindari ilmu-ilmu yang kurang bermanfaat
- Ulama tidak boleh cenderung pada kemewahan duniawi
- Ulama harus menjaga jarak dengan penguasa dan berhati-hati dalam bergaul dengan
mereka
- Tidak tergesa-gesa dalam mengeluarkan fatwa
- Ulama harus memberikan perhatian yang besar terhadap taubat yang benar (Taubat al
Yaqin)
- Menjadikan sebagian besar bidang kajiannya tentang ilmu-ilmu yang bersifat praktis
dan tentang faktor-faktor yang merusaknya, faktor yang menumbuhkan keraguan
serta membangkitkan keburukan
Itulah ciri ulama yang diharapkan mampu mengemban misi al Amr bil Ma’ruf wan
Nahy ‘an al Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran)
menurut al-Ghazali.

Dalam menjalankan tugasnya dalam mengemban misi al Amr bil Ma’ruf wan
Nahy ‘an al Munkar, al-Ghazali juga berusaha merumuskan sistem baru, yakni
pendidikan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia. Kebahagiaan yang dimaksud
adalah kebahagiaan akhirat yang berhubungan erat dengan kehidupan dunia dan
kebijakan-kebjakan yang menganutnya. Al-Ghazali membuat sistem pendidikan yang
terarah dan kurikulum independen setelah membangun sekolah pribadinya, sehingga
mampu menghasilkan banyak murid yang mengikuti visi dan misinya.

Dalam memberantas aliran-aliran pemikiran sesat yang berusaha menggerogoti


dasar-dasar Islam, al-Ghazali menggunakan metode ilmiah berdasarkan kajian dan
penelitian. Sasaran kritik al-Ghazali pada sumber-sumber dasar sikap fanatisme mazhab
dan aliran kebatinan yang bertentangan denan syariat Islam kemudian mencabut akarnya
lalu membuatnya tumbang.

Pengaruh al-Ghazali yang paling signifikan dapat dilihat dari pola dakwah yang
menjadi model dari sejumlah tokoh dari berbagai mazhab dan kelompok Islam dan
berhasil mengikis aliran-aliran pemiiran sesat. Gerakan reformasi yang dilancarkan al-
Ghazali kemudian berhasil menghancurkan kekuatan tentara Salib dan merebut kembali
tempat-tempat suci umat Islam.

Fase penyebaran gerakan Islah dan pembaruan madrasah setelah kemunduran


tentara Salib terbagi menjadi dua bagian, yakni madrasah yang didirikan di ibu kota
Baghdad (memfokuskan penerimaan murid cemerlang dari madrasah cabang untuk
menjadikannya tokoh pendidikan, pemerintahan, dan sosial) dan madrasah yang didirikan
di pedesaan (bertugas untuk mendidik masyarakat umum). Berikut adalah nama-nama
madrasah pada masa itu:

a. Madrasah pusat:
Madrasah Al-Qadiriyyah didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jilani
b. Madrasah cabang:
1. Madrasah al ‘Adawiyyah dirintis oleh Syaikh ‘Ady bin Musafir
2. Madrasah as Suhrawardiyyah dirintis oleh Syaikh Abu an Najib Abdul Qahir as
Suhrawardi
3. Madrasah al Bayaniyyah didirikan oleh Syaikh Abu al Bayan Naba’ bin
Muhammad bin Mahfuzh ad Dimasyqi atau lebih dikenal sebagai Ibn al Hawrani
4. Madrasah Syaikh Ruslan al Ja’bari didirikan dengan nama pendirinya, yaitu
Syaikh Ruslan bin Ya’qub bin Abdullah al Ja’bari
5. Madrasah Hayat bin Qais al Harrani didirikan oleh Syaikh Hayat bin Qais bin
Rahhal al Ansari
6. Madrasah ‘Aqil al Manbaji didirikan oleh Syaikh ‘Aqil al Manbaji
7. Madrasah Syaikh Ali bin al Hiti didirikan sesuai dengan nama pendirinya, yakni
Syaikh Ali bin al Hiti
8. Madrasah al Hasan bin Muslim didirikan oleh Syaikh Abu Ali al Hasan bin
Muslim bin Abu al Jud al Farisi
9. Madrasah al Jausaqi didirikan oleh Syaikh Abu al Hasan al Jausaqi
10. Madrasah ath Thafsunji didirikan oleh Syaikh Abdurrahman ath Thafsunji al
Asadi
11. Madrasah Musa az Zauli didirikan oleh Syaikh Musa bin Mahan az Zauli
12. Madrasah Muhammad bin ‘Abd al Bashri didirikan oleh Syaikh Muhammad bin
‘Abd
13. Madrasah Jakir al Kurdi didirikan oleh Syaikh Jakir al Kurdi
14. Madrasah-madrasah al Batha’ihiyyah ar Rifa’iyyah dirintis oleh Syaikh Abu
Bakar bin Hawara
15. Madrasah Qailawi didirikan oleh Syaikh Abu Sa’id Ali al Qailawi
16. Madrasah Ali ar Rabi’i didirikan oleh Syaikh Ali bin Wahb ar Rabi’i
17. Madrasah Baqa bin Bathu didirikan oleh Syaikh Baqa bin Bathu
18. Madrasah Utsman bin al Qurasy didirikan oleh Syaikh Utsman
19. Madrasah Abu Madyan al Maghribi didirikan oleh Syaikh Abu Madyan Syu’aib
bin Husain al Andalusi
20. Madrasah Abu as Su’ud al Harimi didirikan oleh Syaikh Abu as Su’ud
21. Madrasah Ibnu Makarim an Na’al didirikan oleh Mahmud bin Usman bin
Makarim an Na’al al Baghdadi
22. Madrasah Umar al Bazzaz didirikan oleh Umar bin Mas’ud al Bazzaz
23. Madrasah al Jubba’i didirikan oleh Abdullah al Jubba’i

Antara tahun 564 Hijriah-550 Hijriah (1151 Masehi-1155 Masehi) terbentuk


geliat untuk membangun koordinasi dan komunikasi antarmadrasah Islah untuk
bekerjasama. Pertemuan pertama dihadiri lebih dari 50 syaikh dan diadakan di ribath
madrasah al Qadairiyyah, di kawasan al Halabah, Baghdad. Pertemuan kedua dihadiri
oleh seluruh tokoh madrasah Islah di dunia Islam.

Gerakan reformasi yang dipelopori oleh madrasah al-Ghazali dan diikuti oleh
madrasah-madrasah lain melahirkan generasi baru yang menyebar dan menempati posisi
strategis dalam institusi politik, militer, pendidikan, sosial, dan ekonomi mampu
melahirkan kebijakan dalam menghadapi persoalan umat Islam dalam menghadapi
ancaman dari luar. Hal itu menyebabkan lahirnya Ummat al Mahjar (komunitas solid
yang merangkul segenap potensi Islah) yaitu Kesultanan Zanki.

Sejak berakhirnya kekacauan pada tahun 521 Hijriah, ‘Imanuddin Zanki


menerapkan kebijakan baru. Ia lebih memfokuskan membangun kesultanan yang baru
dan mempersiapkan dari segala bentuk ancaman yang akan datang, terutama dari
kerajaan-kerajaan Salib (Kristen). Konsekuensi dari perbahan ini, para aktivis Islah dan
pembarua lebih menyibukkan diri dengan usaha membangun umat Islam yang baru
daripada bersusah-payah memperbaiki umat Islam yang sedang sekaeat dengan elemen
yang rapuh. ‘Imanuddin Zanki tewas dibunuh oleh pemberontak kemudian posisinya
digantikan oleh puteranya, Nuruddin Zanki.

Di masa perintahan Nuruddin Zanki, kesultanan Zanki menjadi pusat pertemuan


tokoh-tokoh yang memiliki visi reformis dan murid-murid madrasah reformasi. Dengan
penuh semangat, kesultanan baru ini membangun sejumlah institusi pendidikan yang
terbagi menjadi dua. Pertama, madrasah institute kajian Al-Quran dan Hadist yang
bertujuan melahirkan generasi baru yang beraqidah lurus dan berintelektual dengan
mental yang optimal sebagai standar Muslim yang ideal. Kedua, masjid yang selain
menjadi tempat ibadah juga berfungsi sebagai pusat pendidikan tidak formal yang
menyuburkan kembali semangat Islam.

Selain membangun pendidikan formal dan pengajian umum, kesultanan juga


mengembangkan aspek kemiliteran sehingga seluruh lapisan masyarakat mengikuti
latihan kemiliteran yang meliputi persiapan mental dan latihan fisik. Kegiatan akademik
dan pendidikan ini terus berjalan di bawah supervisi Kesultanan Zanki sehingga mampu
mengubah konstruksi sosial dan politik di kawasan Syam sehingga melahirkan sebuah
generasi Muslim yang memiliki pemikiran, persepsi, nilai, dan visi yang lebih maju
dibanding generasi sebelumnya. Di antara generasi baru ini, muncul seorang pemuda
yang bernama Shalahuddin bin Yusuf yang kemudian menggantikan posisi Nuruddin
Zanki.

Karakteristik umum kesultanan baru melahirkan elit politik, pemerintahan, dan


militer yang berpegang teguh pada aqidah Islam. Dapat dilihat dari sikap pejabat yang
tidak tamak dengan kenikmatan dan menjauhi praktik monopoli serta hidup glamor.
Keistimewaan lain yang didapat masyarakat adalah kebebasan berpendapat. Setiap orang
bebas menyampaikan pendapatnya tanpa takut dihina, sekalipun pemdapat itu ditujukan
kepada Nuruddin dan Shalahuddin menggunakan tutur kata yang agak keras dan kasar.
Tekad besar Nuruddin Zanki dalam membangun situasi yang konsusif dalam kebebasan
berpendapat tidak memberi peluang jabatan kepada orang yang munafik.
Indikator kerjasama madrasah-madrasah Islah dengan Kesultanan Zanki di
antaranya;

- Membantu mendidik putra-putra pengungsi di wilayah yang diduduki kaum Salib.


- Para ulama hijrah dan bekerja di madrasah-madrasah Kesultanan Zanki
- Para ulama bergabung dalam ketentaraan dan jihad militer
- Para ulama bergabung dalam intitusi-institusi politik

Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan insfrastruktur publik yang berdasarkan


cara pendapatan dan penggunaan yang legal menurut syari’at menjadikan merebaknya
kepedulian terhadap berbagai kepentingan publik dan peningkatan kemampuan
masyarakat dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan. Dampak lainnya dapat
dilihat dari kemajuan ekonomi dan terbukanya lapangan kerja. Nuruddin Zanki dan
Shalahuddin al Ayyubi menghabus berbagai macam pajak dan upeti yang memberatkan
rakyatnya.

Perhatian yang sangat besar juga ditujukan di bidang kemiliteran. Di masa


pemerintahan Nuruddin, pembangunan pagar sejumlah kota di kawasan Syam berhasil
dirampungkan. Ia juga membangun sejumlah menara yang menghubungkan wilayah
Muslim ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh pasukan Salib dan menempatkan pasukan
penjaga yang dibantu oleh burung merpati pos. Selain itu, Shalahuddin membentuk
departemen khusus yang menangani urusan-urusan angkatan laut dan membangun
pabrik-pabrik senjata guna melengkapi keperluan logistik yang diperlukan tentara
Muslim.

Upaya menyatukan wilayah-wilayah Islam dimulai sejak Damaskus berhasil


direbut oleh Kesultanan baru pada tahun 545 Hijriah/1151 Masehi dalam upaya
mewujudkan persatuan Islam, membebaskan tanah-tanah suci yang terjajah, dan berusaha
memulai kembali ekspansi Islam. Nuruddin terus menyerang pasukan Salib dan berhasil
merebut lebih dari 50 kota yang sebelumnya diduduki pasukan Salib. Selanjutnya
Nuruddin bertekad menguasai Baitul Maqdis (Palestina) namun ajal menjemputnya lebih
dahulu pada tahun 569 Hijriah/1184 Masehi.
Sepeninggalan Nuruddin Zanki, tugas suci itu jauh ke tangan panglima
terbesarnya. Di bawah komando Shalahuddin, pasukan Muslim terus menyerbu
pertahanan tentara Salib. Ketika ia merasa waktu yang tepat telah tiba, maka seluruh
pasukan Muslim menyerang al Quds. Pertarungan berkecamuk begitu sengitnya hingga
akhirnya berhasil dimenangkan oleh pasukan Muslim. Saat itu juga gelombang pasukan
Muslim bergerak menuju Masjid al Aqsa kemudian melaksanakan shalat Jum’at pertama.

Menurut Shalahuddn, ekspansi Islam merupakan sebuah proyek besar yang hanya
bisa dilakukan dengan kerja sama antara seluruh kekuatan Islam. Pada tahun 589
Hijriah/1194 Masehi, Shalahuddi wafat di Damaskus dan dimakamkan di sebelah makam
Nuruddin Zanki.

Setelah sepeninggalan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al Ayyubi, madrasah-


madrasah Islah dan pembaruan mengalami kemunduran karena tidak mampu menjaga
kelangsunga kesatuannya. Kurangnya pemahaman atas fiqih politik dan manajemen
membuat karya-karya besar yang diciptakan oleh generasi Shalahuddin lebih banyak
mementingkan keshalihan tokoh dibandingkan efektifitas institusi. Sehingga saat tokoh-
tokoh itu meninggal, muncul kembali fanatisme keluarga dan kabilah untuk memegang
kendali institusi pemerintahan.

Sejarah memiliki pola-pola yang mengatur semua peristiwa dan fenomena dan
mengarahkannya sesuai engan logika itu sendiri. Dengan demikian, suatu umat yang
dipimpin oleh para fuqaha’ yang mengerti tentang pola-pola kemajuan dan keruntuhan
masyarakat dan mampu menerapkannya dengan baik, maka pasti akan membawa
umatnya menuju kemajuan dan kejayaan.

Sejarah membuktikan fiqh Rasulullah Saw. lebih unggul dibanding orasi Abu
Jahal. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa Perang Badar. Rasulullah Saw. mendidik
umatnya dengan al matsal al a’la (nilai tertinggi), beliau mampu mengatur semua potensi
kekuatan dengan baik sekalipun jumpal pasukannya lebih sedikit. Di lain pihak, Abu
Jahal memimpin sebuah masyarakat yang tidak memiliki al matsal al a’la (nilai tertinggi)
selai kebanggaan fanatisme suku dan tidak pula mengerti cara memanfaatkan seluruh
potensi yan dimiliki selain merangkai bait-bait puisi dan menabuh gendang.
3. Biografi Pengarang

a. Latar Belakang
Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani lahir di Irbid, Yordania, tahun 1536H/1937. Riwayat
pendidikan:
- 1383 H/1963 : Bachelor’s degree in History, Cairo University
- 1389 H/1969 : Diploma in Education, University of Jordan
- 1393 H/1986 : Master level of Islamic History, American University of Beirut
- 1393H/1986 : Master’s degree in Educational Philosophy, University of Jordan
- 1401 H/1981 : Ph.D. School of Education, Pittsburg University of Pennsilvania
state

Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani pernah menjabat sebagai:

- Lecturer of History of Education at the Special Faculty of Women, Saudi Arabia.


- Director of the Center for Arabic Studies at the Department of Foreign
Languages, University of Pittsburgh, USA.
- Director of the Center for Educational Studies at the Ministry of Education of
Jordan.
- Lecturer and Professor of Islamic Education and Philosophy of Education at the
Faculty of Education University of King 'Abdul' Aziz and Ummul Qura
University, Saudi Arabia.

Karya lain dari Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani:

- Hakadzā Zhahara Jīl Shalāh al-Dīn wa Hakadzā ‘Ādat al-Quds (Kemunculan


Generasi Shalahudin dan Kembalinya al-Aqsa Palestina), (Uni Emirat Arab: Dār
al-Qalam, 2002, cet. ke-3)
- Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah fī Tarbiyah al-Fard wa Ikhrāj al-Ummah wa
Tan-miyah al-Ukhuwwah al-Insāniyyah (Visi-Misi Pendidikan Islam dalam
Mendidik Pribadi, Mengkader Umat dan Menumbuhkembangkan Persaudaraan
Insani), (Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1998, cet. ke-2)
- Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Muqāranah baina Falsafah al-
Tarbiyah al-Islāmiyyah wa al-Falsafāt al-Tarbawiyyah al-Mu’āshirah (Filsafat
Pendidikan Islam: Studi Komparatif Filsafat Pendidikan Islam dan Filsafat
Pendidikan Kontemporer), (Mekkah: Maktabah al-Manārah, 1987, cet. ke-1)
- Al-Fikr al-Tarbawī ‘inda Ibn Taimiyyah (Pemikiran Pendidikan Islam Persfektif
Ibnu Taimiyyah v), (Madinah: Maktabah Dār al-Turāts, 1986, cet. ke-2)
- Tathawwur Mafhūm al-Nazhariyyāt al-Tarbawiyyah al-Islāmiyyah (Sejarah
Konsepsi Epistemologi Pendidikan Islam), (Madinah: Dār al-Turāts, 1985, cet.
ke-3)
- dsb

4. Kelebihan Buku

Buku “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib --- Refleksi 50
Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut
Palestina” menyimpan banyak informasi mengenai kehidupan masyarakat Muslim pada
masa sebelum terjadinya penyerangan dari pasukan Kaum Salib, hingga setelah
berakhirnya perang tersebut. Disertai dengan pandangan para ulama besar Islam dalam
menanggapi segala bentuk permasalahan yang dialami umat Islam di antaranya;
fanatisme agama, aliran sesat, perebutan kekuasaan, hingga lahirnya kekuasaan baru yang
membawa umat Islam pada Islah, Kesultanan Zanki, sebagai fase kemajuan umat Islam.
Di buku ini juga memuat sistem pendidikan yang ada pada zaman itu, sehingga akan
sangat cocok dibaca bagi tenaga pengajar maupun pelajar.

5. Kekurangan Buku
Buku “Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib --- Refleksi 50
Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut
Palestina” memuat permasalahan yang sangat kompleks tentang peristiwa yang terjadi
sebelum invasi pasukan Salib, hingga kehidupan umat Islam setelahnya. Buku ini
cenderung berat untuk dibaca --- meskipun sudah terdapat catatan kaki --- saya sendiri
memerlukan waktu yang cukup lama untuk memahami isinya secara keseluruhan.

6. Kesimpulan

- Sehat atau sakitnya suatu masyarakat berdasarkan pemikiran yang ada pada masa
masyarakat tersebut
- Ketika seluruh eksperimen Islah mengalami kegagalan, maka perlu dilakukan
evaluasi terhadap aspek pendidikan dan mencermati kembali seluruh proses
pelaksanaannya
- Walaupun Islam dapat melahirkan persadaban tingkat tinggi, namun ia tidak akan
memberikan peran yang signifikan terhadap peradaban kecuali jika dipahami oleh
“ulul albab” yang tercerahkan dan memiliki kemauan tinggi yang mulia
- Agama Islam akan mencapai kemajuan apabila pelaksanaannya dilakukan secara
optimal
- Masyarakat menjadi kuat apabila seluruh unsur kekuatannya telah matang dan
terpadu dalam sebuah siklus kombinasi yang tepat. Pengetahuan (al ma’rifah),
sumber kekayaan (ats tsarwah), dan kekuatan perang (al qudrah al qitaliyyah)
- Mengkombinasikan unsur ikhlas dengan strategi yang tepat dalam
mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada
- Jika Islah (reformasi) tidak dilakukan secara bertahap tanpa spesialisasi dan
pembagian peran, maka akan menuai kegagalan
- Gagasan reformasi dan persatuan harus diaktualisasikan dalam tindakan dan
aplikasi yang tepat supaya tidak terjadi perpecahan
- Tingkat kesuksesan strategi reformasi dan pembaruan dapat diwujudkan dengan
besarnya perhatian terhadap pola-pola keamanan sosial

Anda mungkin juga menyukai