Anda di halaman 1dari 5

Nama: Rolinta Diana Jelita

Npm: 190401050002

Kelas: Geografi 2019

1. Bagaimana terjadinya pergeseran paradigma menurut thomas kuhn?

2. Apa itu paradigma positivis dan kritik terhadap kelemahan paradigma?

3. Apa itu paradigma interpretif/konstruktiv (kualitatif) dan bagaimana perbandingannya dengan


paradigma positivis (kuantitatif

Jawab:

1. pergeseran paradigmaadalah perubahan asumsi dasar atau paradigma dalam sains.


Menurutnya, "paradigma adalah apa yang diyakini oleh anggota komunitas ilmiah" (The
Essential Tension, 1977). Paradigma tidak terbatas kepada teori yang ada, tetapi juga
semua cara pandang dunia dan implikasinya. Revolusi ilmiah berlangsung ketika
ilmuwan menemukan keganjilan yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma mereka saat
itu. Begitu paradigma bergeser, seorang ilmuwan tidak dapat, misalnya, menolak teori
kuman untuk menekankan bahwa miasma dapat menyebabkan penyakit, atau menentang
fisika modern untuk menekankan bahwa ether merupakan medium cahaya.
2. Paradigma positivis merupakan teori tertua yang digunakan ilmu sosial dan telah
mendominasi perkembangan ilmu sosial (Sarantakos,1995). 3 Pengadopsian paradigma
positivis dalam penelitian ilmu sosial khususnya ilmu ekonomi sebenarnya menimbulkan
beberapa konflik serta kebingungan. Paradigma positivis secara ketat mengatur bahwa
metode penelitian harus dilakukan secara ilmiah (scientific method). Inti
pendekatan kritis ini pada dasarnya sebagai kritik terhadap positivisme. Mereka
menunjukkan bahwa positivisme itu sangat bermasalah, karena pandangannya
adalah bagaimana penerapan Mereka menunjukkan bahwa positivisme itu sangat
bermasalah, karena pandangannya adalah bagaimana penerapan metode ilmu-ilmu alam
pada ilmu-ilmu sosial tak lain dari saintisme dan ideologi, bahkan pendekatan kritis
menilai positivisme hanya meng”kontemplasikan” masyarakat, positivisme melestarikan
status quo konfigurasi masyarakat yang ada (Budi Hardiman. 2007 :24) Jadi, bagi
pendekatan kritis, setiap penelitian harus memperoleh pengetahuan tentang das sein (apa
yang ada) dan bukan das sollen (apa yang seharusnya ada). Sehingga yang terjadi
pengetahuan tidak mendorong pada perubahan yang lebih baik, namun hanya menyalin
/data sosial tersebut.
3. Postitivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang pesat di abad 19. Dalam
padndangan penganut fisafat ini tujuan riset adalah untuk mendapatkan penjelasan
ilmiah. Positivisme memandang ilmu-ilmu sosial sebagai metode terorganisir dengan
menggunakan logika deduktif serta pengamatan empiris dari perilaku individu dalam
rangka menemukan dan mengkorfirmasi dugaan hubungan sebab-akibat. Hal ini
dilakukan untuk meramalkan pola umum kegiatan manusia.

Sifat dasar dari pendekatan ini adalah bahwa fakta empirik terpisah dari gagasan atau
pemikiran personal. Fakta empirik itu terjadi karena adanya hukum sebab dan akibat.
Pola realitas sosial itu bersifat stabil. Paradigma ini mengasumsikan bahwa tujuan sains
adalah mengembangkan meode-metode yang sangat obyektif untuk mendekati realitas.
Peneliti yang menggunakan pespektif ini menjelaskan bagaimana variabel-variabel saling
berinteraksi, membentuk suatu kejadian , dan menghasilkan sesuatu. Semuanya dilakukan
dengan pendekatan kuantitatif. Sering penjelasn-penjelasan tersebut dikembangkan dan
diuji dalam studi eksperimental. Diantara kontribusi penting dri tipe riset ini adalah
analisis multivariate dan teknik-teknik peramalan statistik.

Disisi lain, ada perspektif interpretivist/constructivist yang merupakan riset kualitatif,


memandang dunia sebagai sesuatu yang dikonstruksi, ditafsirkan, dan dialami oleh orang
dalam interaksinya dengan sesama serta dalam sistem sosial yang lebih luas. Menurut
paradigma ini sifat dasar penelitian adalah penafsiran, sedangkan tujuannya adalah untuk
memahami fenomena tertentu. Bukan untuk melakukan generlisasi dari populasi.
Penelitian pada paradigma ini besifat alamiah karena diterapkan pada situasi dunia nyata.
Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO f 6 Norman K. Denzin
membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi,ontologi, dan metod
ologi Paradigma Konstruktivisme; Paradigma konstruksionis memandang realitas
kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil
konstruksi.terkait dengan obyek material ilmu-ilmu sosial, ada dua aliran filsafat yang dominan
dalamkonteks ontologi, yaitu positivisme dan interpretivisme. Kedua aliran ini menjadi perspektif dalam

Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Positivisme menjadi dasar untuk


penelitiankuantitatif sedangkan interpretivisme menjadi dasar untuk penelitian kualitatif.Menurut
positivisme, obyek pengetahuan ilmiah harus empiris, keberadaannya harus dapatdiketahui melalui panca
indera manusia. Terkait dengan itu, teologi, logika dan matematika tidakdikategorikan sebagai
pengetahuan ilmiah karena keberadaan obyek materialnya tidak dapatdiketahui melalui panca indera
manusia. Dengan pernyataan lain, obyek dari ketiganyamerupakan metafisik. Terkait dengan itu, obyek
material pengetahuan ilmiah harus dapat diukursehingga dapat dihasilkan data kuantitatif/numerik, yaitu
berupa angka/bilangan. Dalampsikologi, inteligensi umum yang tidak dapat diobservasi secara langsung,
misalnya, diukurmelalui tes psikologi sehingga inteligensi itu dapat direpresentasikan dalam bentuk data
numerik.Jadi, obyek material ilmu pengetahuan harus dapat diukur sedemikian sehingga berbentuk
ataudireduksi menjadi data kuantitatif.

Dalam konteks ini, istilah “ positivisme” didasarkan pada pengalaman, nyata, meyakinkan,

empiris, bukan spekulatif. Terkait dengan ciri positivisme, obyek material dalam pengetahuanilmiah
lazim disebut sebagai variabel, bukan gejala seperti pada interpretivisme. Itu berarti bahwaobyek material
ilmu pengetahuan harus dapat diukur secara obyektif.

Istilah “interpretivisme” berkaitan dengan interpretasi, pemberian makna atas pengalaman


orang. Menurut interpretivisme, obyek material ilmu-ilmu sosial tidak dapat direduksi menjadi
datakuantitatif. Alasannya adalah bahwa perilaku manusia, sebagai obyek materialnya, tidak
dapatdiperlakukan sebagai benda fisik. Manusia memiliki perasaan dan berpikir reflektif sehinggahakikat
atau keberadaan perilakunya tidak dapat direduksi, tidak dapat diukur secara obyektif.Untuk memahami,
bukan untuk mengetahui, perilaku seseorang, kita harus mengeksplorasi danmengidentifikasi makna
yang melatari perilaku itu. Misalnya, variabel usia dalam penelitiankuantitatif lazim diukur dalam bentuk
usia kalender. Menurut interpretivisme, usia yang samadapat memiliki makna yang berbeda bagi orang
yang berbeda sehingga perilaku tiap orang dapatmenjadi berbeda terkait dengan usia yang sama itu. Bagi
orang-orang yang segera akan pensiun,misalnya, usianya dapat dimaknai secara berbeda oleh orang yang
berbeda. Mungkin ada orangyang memaknainya sebagai suatu berkah karena ia akan memiliki banyak
waktu mengunjungianak, menantu, cucu maupun tempat-tempat wisata yang selama ini tidak dapat
dikunjunginya.Sebaliknya, orang lain mungkin memaknainya sebagai penderitaan karena ia tidak lagi
memilikikekuasaan, penghasilannya berkurang atau tidak seperti pada waktu ia masih aktif bekerja.
Jadi,obyek material ilmu-ilmu sosial, menurut interpretivisme, bersifat subyektif.Menurut
interpretivisme, obyek material pengetahuan sosial (perilaku manusia) tidak bolehdireduksi tapi harus
dipandang sebagai satu keseluruhan, holistik, gestalt, serta mencakupmakna yang terkandung dalam
obyek itu. Dengan demikian, peneliti akan memperoleh hakikatdari obyek material itu. Dalam psikologi
maupun penelitian dikenal juga istilah halo effect, yaknikesan pertama kita terhadap seseorang akan
mempengaruhi sikap dan perilaku kita selanjutnyaterhadap orang itu, terlepas dari apakah pengaruhnya
tergolong besar atau kecil. Hal
itumanusiawi. Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di 
sini, yaitu bahwa “ A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that
deals withultimetes or principles. Keyakinan itu, menurut Guba, merepresentasikan pandangan
duniatentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani dimana ia diterima denganpenuh
kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa didahului penelitian sistematis,dalam filsafat
ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi dasar. Keyakinan (beliefs), aksiomaatau asumsi dasar
tersebut menempati posisi penting dalam menentukan skema konseptualpenelitian, ia merupakan dasar
permulaan yang melandasi semua proses dan kegiatanpenelitian. Berkait dengan proposisi di atas,
penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan

Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan


paradigmapositivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif
dibangunberlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).

1. Paradigma kuantitatif:
Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangunberdasarkan filsafat
positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsurmetafisik dan teologik dari realitas
sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis danteologis, positivisme kadang-kadang dianggap
sebagai sebuah varian dari Materialisme (bilayang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).Neuman
(2003) dan Smith (1983), misalnya, menyamakan pendekatan kuantitatifdengan pendekatan positivis,
sedangkan pendekatan kualitatif disamakan denganpendekatan interpretif. Setiap pendekatan memiliki
asumsi dasar yang berbeda. Asumsidasar inilah yang kemudian memengaruhi perbedaan cara pandang
peneliti terhadap sebuahfenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan. Asumsi yang
dimaksud adalahontologi, epistemologi, hakikat dasar manusia, serta aksiologi. 

Paradigma Penelitian Kuantitatif & Kualitatif A013171026/GOSO

Ketika pada suatu pagi kita yang tinggal di Jakarta mengalami kemacetan, kita akanmengeluh
mengapa macet. Kemudian, kita mengambil kesimpulan bahwa kemacetan terjadikarena hari pertama
kerja dari libur panjang. Padahal, Jakarta sudah sejak lama mengalamikemacetan karena jumlah
kendaraan yang semakin banyak dan tidak adanya modatransportasi massal yang memadai. Kalau tidak
ingin macet, pergilah di luar jam kerja,misalnya pukul 04.00 pagi atau saat hari libur Lebaran. Jadi,
keluhan kita tentang macet tidakakan pernah ada karena selalu diukur dari nilai yang berlaku secara
umum.

Anda mungkin juga menyukai