Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN STEMI

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan oklusi total dari
arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh
ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada
EKG (Black & Hawks, 2014).
STEMI merupakan bagian dari Sindrom Koroner Akut (SKA) yang
pada umumnya diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis yang
mengakibatkan oklusi total pada arteri koroner dan disertai dengan tanda dan
gejala klinis iskemia miokard seperti munculnya nyeri dada, adanya J point
yang persistent, adanya elevasi segmen ST serta meningkatnya biomarker
kematian sel miokardium yaitu troponin (Wahyunadi, Sargowo, &
Suharsono, 2017).
STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala
iskemia miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi
ST yang persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard (Setiati,
et al. 2015).

2. Etiologi
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat
beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara
lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional dan penyakit dalam
lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua)
bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko
yang dapat diubah menurut (Smeltzer, Bare, Hankle, & Cheever, 2013) yakni:
1. Faktor yang tidak dapat diubah
1) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ
pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia
antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat
lima kali lipat.
2) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita pre- menopause
kecuali jika terdapat diabetes, hiperlipidemia dan hipertensi berat.
Setelah menopause, insiden penyakit yang berhubungan dengan
atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar jika dibandingkan
dengan pria. Hal ini diperkirakan merupakan pengaruh dari hormone
estrogen.
3) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner
(saudara, orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50
tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
2. Faktor risiko yang dapat diubah:
1) Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan tingginya kolesterol dengan kejadian
penyakit arteri koroner memiliki hubungan yang erat. Lemak yang
tidak larut dalam air terikat dengan lipoprotein yang larut dengan air
yang memungkinkannya dapat diangkut dalam sistem peredaran
darah. Tiga komponen metabolisme lemak, kolesterol total,
lipoprotein densitas renah (low density lipoprotein) dan lipoprotein
densitas tinggi (high densitlipoprotein). Peningkatan kolesterol Low
Density Lipoprotein (LDL) dihubungkan dengan meningkatnya
risiko koronaria dan mempercepat proses arterosklerosis. Sedangkan
kadar kolesterol High Density Lipoprotein (HDL) yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria
dengan cara mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan
kemudian diekskresi.
2) Hipertensi
Hipertensi juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan penyakit
arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan dapat meningkatkan
gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri saat
memompa darah. Tekanan darah yang tinggi terus menerus dapat
mengakibatkan suplai kebutuhan oksigen di jantung meningkat.
3) Merokok
Merokok dapat membuat penyakit koroner semakin memburuk di
akibatkan karena karbondioksida yang terkandung dalam asap rokok
akan lebih mudah mengikat hemoglobin daripada oksigen, sehingga
oksigen yang dikirim ke jantung menjadi berkurang. Nikotin pada
tembakau dapat memicu pelepasan katekolamin yang mengakibatkan
konstriksi pada arteri dan membuat aliran darah serta oksigen ke
jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat meningkatkan adhesi
trombosit yang akan dapat mengakibatkan kemungkinan
peningkatan pembentukan thrombus.
4) Diabetes mellitus
Penyakit DM dapat menginduksi hiperkolesterolemia serta
meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Penderita diabetes lebih
berisiko menderita infark miokard dari pada yang tidak menderita
diabetes. Penderita diabetes mellitus mempunyai prevalensi yang
lebih tinggi mengalami aterosklerosis, karena hiperglikemia dapat
mengakibatkan peningkatan agregasi trombosit yang dapat
membentuk thrombus.
5) Stres psikologik
Stres dapat mengakibatkan peningkatan katekolamin yang bersifat
aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

3. Klasifikasi Stemi Antero Septal


Infark miokard akut dibagi menjadi NSTEMI (Non-ST Elevation
Myocardial Infarction) dan STEMI (ST Elevation Myocardial
Infarction). Pada NSTEMI disebabkan oleh penurunan pasokan oksigen
dan/atau oleh peningkatan oksigen miokard. Sedangkan pada STEMI
biasanya terjadi ketika aliran darah koroner menurun tiba-tiba setelah
oklusi trombotik dari arteri koroner akibat dari arterosklerosis (Fauci et
al., 2012).
Selain itu, infark miokard diklasifikasi kedalam berbagai jenis,
berdasarkan pada perbedaan patogologis, klinis dan prognostik. Terdapat
5 tipe infark miokard (Thygesen et al., 2012).
1. MI tipe 1 : infark miokard spontan
2. MI tipe 2 : infark miokard sekunder ketidakseimbangan iskemik
3. MI tipe 3 : infark miokard yang mengakibatkan kematian ketika
nilainilai biomarker tidak tersedia
4. MI tipe 4 : infark miokard berkaitan dengan intervensi Percutaneus
Coronary Intervention (PCI) 5) MI tipe 4b : infark miokard berkaitan
dengan thrombosis stent, yang didokumentasikan oleh angiography
atau otopsi.
5. MI tipe 5 : infark miokard yang berkaitan dengan Coronary Artery
Bypass Graft (CABG)

4. Patofisiologi Stemi Antero Septal


STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun
secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang
ada sebelumnya (Ashar, 2017). Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya pembuluh darah kolateral sepanjang waktu. STEMI
terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi dan akumulasi lipid (Ginanjar & Sjaaf, 2019). Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis
dan akumulasi lipid. Sehingga terjadi trombus mular pada lokasi ruptur
yang mengakibatkan oklusi koroner. Penelitian histologis menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrosis cup
yang tipis dan kaya inti. Pada STEMI gambaran patologi klasik terdiri
dari fibrin rich red trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga
STEMI memberikan respon terapi trombolitik (Ulinnuha, 2017).
Kemudian pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen,
ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya
akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor
lokal yang paten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan
formasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi
fungsinya, reseptor mempunyai fungsi tinggi terhadap sekuen asam
amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von
willebrand dan fibrinogen dimana keduanya adalah molekul multivalent
yang dapat mengikat platelet yang berbeda secara simultan.
Menghasilkan ikatan silang platelet yang agregasi (Ashar, 2017).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konkersi
protrombin menjadi thrombin yang kemudian mengonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30 – 45 menit akan menyebabkan
kerusakan sel irreversible serta nekrosis atau kematian otot. Bagian
miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti
berkontraksi secara permanen (Ginanjar & Sjaaf, 2019). Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Ulinnuha, 2017).
5. WOC STEMI ANTERO SEPTAL

STEMI

B1 (Breath) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bledder) B5 (Bowel) B6 (Bone)

Pembesaran Obstruksi arteri Iskemik berlangsung Iskemik jaringan Gagal jantung Suplai darah ke arteri koroner
ventrikel kiri koroner lama miokard berkurang
Peningkatan vena
Peningkatan Suplai darah ke Disfungsi sistem kerja Disfungsi sistem cava inferior
Penurunan perfusi jaringan
beban kerja arteri koroner jantung pompa jantung
Jantung berkurang Congesti visera dan
Infark miokard Infark miokard jaringan perifer
Tirah baring lama
Menurunnya Iskemik jaringan
kontraktilitas miokard Dekompensasi Dekompensasi Congesti vena
Jantung kordis kordis abdomen Kelemahan
Perubahan
Penuruna O2 metabolisme anaerob Suplai O2 ke Jar. Gangguan aliran Anoreksi, mual, Intoleransi Aktivitas
ke perifer Miokard menurun balik sirkulasi darah muntah
Disfungsi arah
Hambatan upaya jantung Penurunan aliran Penumpukan cairan Kurangnya asupan
napas arteri atau vena pada ekstremitas makanan
Perubahan irama
Pola Napas jantung Kelebihan asupan Defisit Nutrisi
Perfusi Perifer
Tidak Efektif cairan
tidak efektif
Penurunan
Curah Jantung Hipervolemia
6. Manifestasi Klinis Stemi Antero Septal
Tanda dan gejala yang dirasakan pada pasien STEMI menurut (Black &
Hawks, 2014):

1. Nyeri dada sentral yang berat terjadi secara mendadak dan terus menerus
tidak mereda, biasanya dirasakan diatas region sternal bawah dan abdomen
bagian atas, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa
diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung lebih dari 20 menit, tidak
berkurang dengan pemberian nitrat. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang
dan leher. Gejala yang menyertai yaitu berkeringat, pucat, mual, sulit
bernapas, cemas dan lemas
2. Ekstremitas yang teraba dingin, perspirasi, rasa cemas dan gelisah akibat
pelepasan katekolamin
3. Tekanan darah dan denyut nadi pada mulanya meninggi sebagai akibat
aktivasi sistem saraf simpatik. Jika curah jantung berkurang, tekanan darah
mungkin turun. Bradikardi dapat disertai gangguan hantaran, khususnya
pada kerusakan yang mengenai dinding inferior ventrikel kiri
4. Keletihan dan rasa lemah akibat penurunan perfusi darah ke otot rangka
5. Nausea dan vomitus akibat stimulasi yang bersifat refleks pada pusat
muntah oleh serabut saraf nyeri atau akibat refleks vasovagal
6. Sesak napas dan bunyi krekels yang mencerminkan gagal jantung
7. Suhu tubuh yang rendah selama beberapa hari setelah serangan infark
miokard akut akibat respon inflamasi
8. Distensi vena jugularis yang mencerminkan disfungsi ventrikel kanan dan
kongesti paru
9. Bunyi jantung S3 dan S4 yang mencerminkan disfungsi ventrikel

7. Komplikasi Stemi Antero Septal


1. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik pada pasien denga STEMI dapat disebabkan oeh left
ventricle infark luas atau dengan komplikasi mekanik, termasuk pecah
papiler otot, septum ventrikel pecah, bebas dinding pecah denga
tamponade dan righ ventricle infark. Timbulnya syok kardiogenik akibat
komplikasi mekanik setelah STEMI. Kebanyakan kasus terjadi dalam
waktu 24 jam. Bagi mereka dengan kegagalan pompa, 15% kasus terjadi
saat STEMI sedang berlangsung dan 85% berkembang selama di rumah
sakit (Wahyudi & Gani, 2019).
2. Gagal jantung berat
Perkembangan gagal jantung atau heart failure setelah STEMI merupakan
indikasi untuk melakukan angiografi denga maksud untuk melanjutkan
dengan revaskularisasi jika tidak dilakukan sebelumnya. Left ventricle
miokardium mungkin iskemik, tertegun, hibernasi atau injuri yang tidak
dapat diperbaiki serta penilaian kelayakan mungkin diperlukan tergantung
pada waktu revaskularisasi (Gayatri, Firmansyah, S, & Rudiktyo, 2016).
3. Infark ventrikel kanan
Infark right ventricle paling sering disebabkan oleh oklusi proksimal arteri
koroner kanan dan berkaitan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.
Triase klinis hipotensi, bidang paru- paru yang jelas dan tekanan vena
jugularis yang meningkat (Fitriadi & Putra, 2018).

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penderita STEMI menurut (Smeltzer et al.,
2013) yaitu:
1. Elektrokardiogram (EKG)
EKG memberi informasi mengenai elektrofisiologi jantung. Lokasi dan
ukuran relative infark juga dapat ditentukan dengan EKG. Pemeriksaan
EKG harus dilakukan segera dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di
IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG dengan interval 5-
10 menit atau pemantauan EKG 12 lead secara lanjutan harus dilakukan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi
kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk
mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.
2. Angiografi koroner
Angiografi koroner adalah pemeriksaan diagnostik invasif yang dilakukan
untuk mengamati pembuluh darah jantung dengan menggunakan teknologi
pencitraan sinar X. Angiografi koroner memberikan informasi mengenai
keberadaan dan tingkat keparahan PJK.
3. Foto polos dada
Tujuan pemeriksaan adalah untuk menentukan diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
4. Pemeriksaan laboratorium
1. Creatinine Kinase-MB (CK-MB) meningkatkan setelah 2-4 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 12-20 jam dan kembali
normal dalam 2-3 hari.
2. Creatinine Kinase (CK) meningkat setelah 3-6 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 12-24 jam dan kembali normal 3-
5 hari.
3. cTn ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2
jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
cTn T masaih dapat di deteksi setelah 5- 14 hari sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.

9. Penatalaksanaan Stemi Antero Septal


1. Penatalaksanaan Farmakologis
1) Nitrogliserin
Nitrogliserin (NTG) seblingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG
selain untuk mengurangi nyeri dada juga untuk menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. NTG harus
dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
pasien yang dicurigai mengalami infark ventrikel kanan (Bosson et al.,
2019).
2) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tata laksana nyeri dada pada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2 - 4 mg dapat tingkatkan 2 - 8 mg IV serta
dapat di ulang dengan interval 5 - 15 menit. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriol
melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan
mengurangi curah jantung dan tekanan arteri (Tussolihah, 2018).
3) Aspirin
Aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
dengan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin
bukal dengan dosis 162 mg - 325 mg di ruang emergensi dengan daily
dosis 75-162 mg (Tussolihah, 2018).
4) Beta blocker
Beta‐blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil.
Jika tidak ada kontraindikasi, pasien diberi beta‐ blocker kardioselektif
misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus
terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi
terapi beta‐blocker adalah: hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<100 mmHg bradikardi <50 denyut/menit, adanya heart block, riwayat
penyakit saluran nafas yang reversible, beta‐blocker harus dititrasi
sampai dosis maksimum yang dapat ditoleransi (Tussolihah, 2018).
5) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi
lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi
(PCI) yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan
obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik) (Bosson et al., 2019).

2. Penatalaksanaan Non Farmakologis


1. Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal
infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien
dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam
pertama. Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus
didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung
kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam
pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya
menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan
komplikasi lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi
dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau
ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m
minimal tiga kali sehari (Smeltzer et al., 2013).
2. Istirahat fisik
Bedrest dengan posisi semifowler atau menggunakan cardiac chair
dapat mengurangi nyeri dada dan dispnea. Posisi kepala yang lebih
tinggi sangat bermanfaat bagi pasien karena: Volume tidal dapat
diperbaiki karena tekanan isi abdomen terhadap diafragma berkurang
sehinngga pertukaran gas dapat lebih baik, (2) Drainase lobus atas paru
lebih baik serta (3) Aliran balik vena ke jantung (preload) berkurang
sehingga mengurangi kerja jantung (Gusti, 2019).
3. Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien
hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam
pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ±
300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori
total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Perlu ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku, agama,
nomor register, pendidikan, tanggal MRS, serta pekerjaan yang
berhubungan dengan stress atau sebab dari lingkungan yang tidak
menyenangkan. Identitas tersebut digunakan untuk membedakan antara
pasien yang satu dengan yang lain.
b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien STEMI biasanya
baik atau compos mentis (CM) dan akan berubah sesuai tingkatan
gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat
2) Tanda-tanda vital
Didapatkan tanda-tanda vital, suhu tubuh meningkat dan menurun,
nadi meningkat lebih dari 20 x/menit.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Keluhan utama klien dengan STEMI biasanya nyeri dada dapat
menjalar, perasaan sulit bernapas.
b) Riwayat penyakit saat ini
Keluhan utama dengan melakukan serangkaian pertanyaan
tentang nyeri dada klien secara PQRST adalah:
- provoking incident
nyeri setelah beraktivitas dan kadang tidak berkurang dengan
istirahat
- quality of pain
seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien,
sifat keluhan nyeri seperti tertekan
- regio, rediation, relief
lokasi nyeri di daerah subternal atau di atas perikardium.
Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri serta
ketidakmampuan bahu dan tangan
- severng (scale) of pain
klien bisa ditanya dengan menggunakan rentang 0-5 dan
klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang di rasakan.
Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5
skala (0-5)
- time
sifat mula timbulnya onset, gejala timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit.
c) Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah
tinggi, DM, dan hiperlipidemia.Tanyakan mengenai obat-obat
yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang masih
relevan. Tanyakan juga mengenai rekasi alergi obat dan reaksi
apa yang timbul.
d) Riwayat keluarga
Riwayat di dalam keluarga ada dalam menderita penyakit
jantung, diabetes, stroke, hipertensi, perokok.
e) Observasi
1) B1 (Breathing)
Inspeksi: Bentuk dada (Normochest, Barellchest,
Pigeonchest atau Punelchest). Pola nafas: Normalnya = 12-24
x/ menit, Bradipnea/ nafas lambat (Abnormal), frekuensinya
= < 12 x/menit, Takipnea/ nafas cepat dan dangkal
(Abnormal) frekuensinya = > 24 x/ menit. Cek penggunaan
otot bantu nafas (otot sternokleidomastoideus) → Normalnya
tidak terlihat. Cek Pernafasan cuping hidung → Normalnya
tidak ada. Cek penggunaan alat bantu nafas (Nasal kanul,
masker, ventilator).
Palpasi: Vocal premitus (pasien mengatakan 77) Normal
(Teraba getaran di seluruh lapang paru)
Perkusi dada: sonor (normal), hipersonor (abnormal,
biasanya pada pasien PPOK/ Pneumothoraks
Auskultasi: Suara nafas (Normal: Vesikuler,
Bronchovesikuler, Bronchial dan Trakeal). Suara nafas
tambahan (abnormal): wheezing → suara pernafasan
frekuensi tinggi yang terdengar diakhir ekspirasi, disebabkan
penyempitan pada saluran pernafasan distal). Stridor → suara
pernafasan frekuensi tinggi yang terdengar diawal inspirasi.
Gargling → suara nafas seperti berkumur, disebabkan karena
adanya muntahan isi lambung.
2) B2 (Blood)
Inspeksi: CRT (Capillary Refill Time) tekniknya dengan cara
menekan salah satu jari kuku klien → Normal < 2 detik,
Abnormal → > 2 detik. Adakah sianosis (warna kebiruan) di
sekitar bibir klien, cek konjungtiva klien, apakah konjungtiva
klien anemis (pucat) atau tidak → normalnya konjungtiva
berwarna merah muda.
Palpasi: Akral klien → Normalnya Hangat, kering, merah,
frekuensi nadi → Normalnya 60 - 100x/ menit, tekanan darah
→ Normalnya 100/ 80 mmHg – 130/90 mmHg.
3) B3 (Brain)
Cek tingkat kesadaran klien, untuk menilai tingkat kesadaran
dapat digunakan suatu skala (secara kuantitatif) pengukuran
yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS
memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien
terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon
terbaik buka mata, respon verbal, dan respon motorik (E-V-
M). Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari
ketiga komponen tersebut. Tingkat kesadaran adalah ukuran
dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan
dari lingkungan, tingkat kesadaran (secara kualitatif)
dibedakan menjadi:
a) Compos Mentis (Conscious), yaitu kesadaran normal,
sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya.
b) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh
c) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal.
d) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran
menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat
e) pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh
tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
f) Stupor, yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri
g) Coma, yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea
maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).
Pemeriksaan Reflek:
a) Reflek bisep: ketukan jari pemeriksa pada tendon
muskulus biceps brachii, posisi lengan setengah ditekuk
pada sendi siku.
Respon: fleksi lengan pada sendi siku
b) Reflek patella: ketukan pada tendon patella.
Respon: ekstensi tungkai bawah karena kontraksi
muskulus quadriceps femoris.
Nervus 1 (Olfaktorius) : Tes fungsi penciuman (pasien
mampu mencium bebauan di kedua lubang hidung)
Nervus 2 (Optikus): Tes fungsi penglihatan (pasien mampu
membaca dengan jarak 30 cm (normal)
Nervus 3, Nervus 4, Nervus 6 (Okulomotorius, Trokhlearis,
Abdusen): Pasien mampu melihat ke segala arah (Normal)
Nervus 5 (Trigeminus):
a) Sensorik: pasien mampu merasakan rangsangan di dahi,
pipi dan dagu (normal)
b) Motorik: pasien mampu mengunyah (menggeretakan
gigi) dan otot masseter (normal)
Nervus 7 (Facialis):
a) Sensorik: pasien mampu merasakan rasa makanan
(normal)
b) Motorik: pasien mampu tersenyum simetris dan
mengerutkan dahi (normal)
Nervus 8 (Akustikus): Tes fungsi pendengaran (rine dan
weber).
Nervus 9 (Glososfaringeus) dan N10 (Vagus): pasien mampu
menelan dan ada refleks muntah (Normal).
Nervus 11 (Aksesorius): pasien mampu mengangkat bahu
(normal).
Nervus 12 (Hipoglosus): pasien mampu menggerakan lidah
ke segala arah (normal).
4) B4 (Bladder)
Inspeksi: integritas kulit alat kelamin (penis/ vagina) 
Normalnya warna merah muda, tidak ada Fluor Albus/
Leukorea (keputihan patologis pada perempuan), tidak ada
Hidrokel (kantung yang berisi cairan yang mengelilingi testis
yang menyebabkan pembengkakan skrotum.
Palpasi: Tidak ada distensi kandung kemih. Tidak ada
distensi kandung kemih.
5) B5 (Bowel)
Inspeksi: bentuk abdomen simetris, tidak ada distensi
abdomen, tidak accites, tidak ada muntah,
Auskultasi: peristaltik usus Normal 10-30x/menit
6) B6 (Bone)
Inspeksi: warna kulit sawo matang, pergerakan sendi bebas
dan kekuatan otot penuh, tidak ada fraktur, tidak ada lesi
Palpasi: turgor kulit elastis.

2. Diagnosa keperawatan
a. Penurunan curah jantung
b. Nyeri Akut
c. Pola napas tidak efektif
d. Hipervolemia
e. Intoleransi aktivitas
a. Penurunan curah jantung ( D.0008 )
1) Definisi: Ketidakmampuan jantung memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolism tubuh.
2) Penyebab
a) Perubahan irama jantung
b) Perubahan frekuensi jantung
c) Perubahan kontaktilitas
d) Perubahan preload
e) Perubahan afterload
3) Gejala dan tanda mayor
a) Subjektif
1) Perubahan irama jantung
- Palpitasi
2) Perubahan preload
- Lelah
3) Perubahan afterload
- Dyspnea
4) Perubahan kontraktilitas
- Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
- Ortopnea
- Batuk
b) Objektif
1) Perubahan iram jantung
1. Bradikardia/takikardia
2. Gambaran EKG aritmia atau gangguan konduksi
2) Perubahan preload
1. Edema
2. Distesnsi vena jugularis
3. Central venous pressure (CVP ) meningkat / menurun
4. Hepatomegaly
3) Perubahan afterload
1. Tekanan darah meningkat/ menurun
2. Nadi perifer teraba lemah
3. Capillary refill time > 3 detik
4. Oliguria
5. Warna kulit pucat dan/atau sianosis
4) Perubahan kontaktilitas
1. Terdengar suara jantung S3 dan atau S4
2. Ejection fraction (EF) menurun
4) Gejala dan tanda minor
1) Subjektif
a) Perubahan preload
 Tidak tersedia
b) Perubahan afterload
 Tidak tersedia
c) Perubahan kontraktilitas
 Tidak tersedia
d) Perilaku/ emosional
1. Cemas
2. Gelisah
2) Objektif
a) Perubahan preload
1. Murmur jantung
2. Berat badan bertambah
3. Pulmonary artery wedge pressure (PAWP) menurun
b) Perubahan afterload
1. Pulmonary vascular resistence (PVR) meningkat /
menurun
2. Systemic vascular resistence (SVR ) meningkat /
menurun
c) Perubahan kontraktilitas
1. Cardiac indeks (CI) menurun
2. Left ventricular stroke work index (LVSWI) menurun
3. Stoke volume index (SVI) menurun
d) Perilaku/emosional
 Tidak tersedia
5) Kondisi klinis terkait
1. Gagal jantung kongestif
2. Syndrome coroner akut
3. Stenosis mitral
4. Regurgitasi mitral
5. Stenosis aorta
6. Regurgitasi aorta
7. Stenosis tikuspidal
8. Regurgitasi trikuspidal
9. Stenosis pulmonal
10. Regurgitasi pulmonal
11. Aritmia
12. Penyakit jantung bawaan (SDKI, 2017).

b. Nyeri Akut (D. 0077 )


a) Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan.
b) Penyebab :
1) Agen pencedera fisiologis (mis.Inflamasi, iskemia, neoplasma)
2) Agen pencedera kimiawi (mis.terbakar, bahan kimia iritan)
3) Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar,
terpotong mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan
fisik berlebihan)
c) Gejala dan Tanda Mayor
1. Subjektif
- Mengeluh nyeri
2. Objektif
1) Tampak meringis
2) Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)
3) Gelisah
4) Frekuensi nadi meningkat
5) Sulit tidur
d) Gejala dan Tanda Minor
1. Subjekif ( tidak tersedia )
2) Objektif
1. Tekanan darah meningkat
2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berfikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. diafrosis
e) Kondisi klinis terkait
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrome koroner akut
5. Glaukoma (SDKI,2017).
c. Pola napas tidak efektif ( D.0005 )
1) Definisi: Inspirasi dan ekspirasi yang tidak memberikan fentilasi
adekuat.
2) Penyebab
a) Depresi pusat pernafasan
b) Hambatan upaya nafas (miss. nyeri saat bernafas, kelemahan
otot pernafasan)
c) Deformitas dinding dada
d) Deformitas tulang dada
f) Ganguuan neuromuskuler
g) Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram [EEG] positif,
cidera kepala, gangguan kejang)
h) Imaturitas neurologis
i) Penurunan energi
j) Obesitas
k) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
l) Sindrom hipoventilasi
m) Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan syaraf C5 keatas)
n) Cidera pada medula spinalis
o) Efek agen farmakologis
p) Kecemasan
3) Gejala dan tanda mayor
a) Subjektif
1) Dispnea
b) Objektif
1) Penggunaan otot bantu pernafasan
2) Fase ekspirasi memanjang
3) Pola nafas abnormal (miss. takipnea, bradipnea,
hipeventilasi, kussmaul, cheyne-strokes)
4) Gejala dan tanda minor
a) Subjektif
1) Ortpnea
b) Objektif
1) Pernafasan pursed-lip
2) Pernafasan cumping hidung
3) Diameter toraks anterior-posterior meningkat
4) Fentilasi semenit menurun
5) Kapasitas fital menurun
6) Tekanan ekspirasi menurun
7) Tekanan inspirasi menurun
8) Ekskursi dada menurun
5) Kondisi klinis terkait
Deprei sistem saraf pusat, cedera kepala, trauma thoraks, gullian
barre syndrome, mutiple sclerosis, myasthenia gravis, stroke
(SDKI, 2017).

3. Intervensi keperawatan
a. Penurunan curah jantung ( D.0008)
Luaran : curah jantung meningkat (L.02008)
 Kekuatan nadi perifer meningkat
 Bradikardi menurun
 Takikardia menurun
 Gambaran EKG aritmia menurun
 Edema menurun
 Dyspnea menurun
Intervensi
1. perawatan jantung ( I.02075)
Observasi
 Identifikasi adanya atau gejala primer penurunan curah jantung
( meliputi dyspnea, kelelahan, edema, ortopnea, paroxymal
nocturnal dyspnea, peningkatan CVP)
 Identifikasi tanda atau gejala sekunder penurunan curah jantung
(meliputi peningkatan berat badan, hepatomegaly , distensi vena
jugularis, palpitasi, ronchi basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika
perlu)
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis. Intensitas, lokasi, radiasi,
durasi, presivitasi yang mengurangi nyeri)
 Monitor EKG 12 sadapan
 Monitor aritmia ( kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis. Elektrolit, enzim
jantung,BNP,TNpro-BNP)
 Monitor fungsi alat pacu jantung
 Periksa tekanan darah dan fungsi nadi sebelum dan sesudah
aktivitas
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian obat
( mis. Beta bloker, AC inhibitor, calcium channel blocker,
digoxin)
Terapeurik
 Posisikan semi fowler atau fowler dengan kaki ke bawah atau
posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai ( mis. Batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan yang tinggi lemak )
 Gunakan stocking elastis atau pneumatic intermiten, sesuai
indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%
Edukasi
 Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
 Anjurkan beraktifiktas fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan
harian
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
 Rujuk ke program rehabilitasi jantung ( SIKI, 2018)

b. Nyeri Akut ( D.0077 )


Luaran : tingkat nyeri menurun ( L.08066 )
- Keluhan nyeri menurun
- Meringis menurun
- Sikap protektif menurun
- Gelisah menurun
- Prekuensi nadi membaik
- Tekanan darah membaik
- Pola napas membaik
Intervensi
1. Manajemen nyeri ( I.08238 )
Observasi
 Identifiaksi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplomenter yang sudah
diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan tehnik nonfarmakologis untuk mnegurangi rasa nyeri
(mis.TENS, hypnosis, akupresure, terapi music, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, tehnik imajinasi terbimbing,
kompres hangat atau dingin, terapi bermain)
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitas istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab periode dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan tehnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

c. Pola nafas tidak efektif ( D.0005 )


Luaran : pola nafas membaik (L.01004)
- Dispneu menurun
- Pernafasan cuping hidung menurun
- Frekuensi nafas membaik
- Kedalaman nafas membaik
Intervensi
1. Manajemen jalan napas ( I.01011)
Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi,kedalaman,usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis.gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering )
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma )
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
 Posisikan semi-fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan proses McGill
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hr,jika tidak kontaindikasi
 Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian broncodilator, ekspektoran,mukolitik, jika
perlu.(SIKI,2018)

4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan dapat disesuaikan dengan intervensi
keperawatan yang telah disusun.

5. Evaluasi keperawat
Evaluasi keperawatan adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil
dicapai.
DAFTAR PUSTAKA

Ashar, A. H. (2017). Analisa Asuhan Keperawatan Pada Pasien STEMI Dengan


Gangguan Rasa Aman Nyaman: Nyeri Akut Di Ruang ICCU RSUD Prof. DR.
Margono Soekarjo Purwokerto.

Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba
Emban Patria

PPNI,2017. SDKI edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

PPNI,2018. SIKI edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

PPNI,2019. SLKI edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.

Tussolihah, M. (2018). Analisa Praktek Klinik Keperawatan Pada Pasien Coronary


Artery Disease (CAD) Non Stemi Dengan Intervensi Inovasi Terapi Pijat Kaki
Terhadap Kualitas Tidur Diruang Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2018. Univesitas Muhammadiyah
Kalimantan Timur, 2, 227–249.

Ulinnuha, D. Y. (2017). Perbedaan rerata profil lipid pada pasien stemi dan non stemi
di rsud kota yogyakarta tahun 2016

Wahyunadi, N. M. D., Sargowo, D., & Suharsono, T. (2017). Perbedaan Keberhasilan


Terapi Fibrinolitik Pada Penderita ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
Dengan Diabetes Dan Tidak Diabetes Berdasarkan Penurunan ST-Elevasi. Jurnal
Ilmu Keperawatan, 5(1), 1689–1699.

Anda mungkin juga menyukai