Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDAHULUAN : FONDASI EKONOMI SYARIAH


Mata Kuliah : Marketing Syariah
Dosen Pengampuh : Dr. Radlyah Hasan Jan, M.Si

Disusun Oleh Kelompok 1 : HES 4C

Gusti Muhaimin Al’aziiz Managaweang : 20112058

FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MANADO
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran ekonomi Islam dalam ekonomi Indonesia khususnya ekonomi
rakyat pada dasarnya memiliki posisi yang cukup penting, terutama ketika melihat
mayoritas penduduknya Indonesia adalah muslim (88,8 %). Dari jumlah yang sangat
besar tersebut, umat Islam memiliki potensi besar untuk berperan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun sebaliknya, dengan jumlah yang
mayoritas umat Islam akan menjadi beban untuk Indonesia, jika tidak dikelola dengan
baik, terutama disebabkan oleh banyaknya penduduk miskin yang sebagian besar
adalah muslim. Peran ekonomi Islam dalam menciptakan keadilan ekonomi dapat
diharapkan mengembangkan koperasi syari‟ah yang dibutuhkan oleh masyarakat
kecil.
Sistem keuangan Islam yang berpihak pada kepentingan kelompok
mikro sangat penting. Berdirinya bank syari‟ah yang terus mengalami perkembangan
pesat membawa andil yang sangat baik dalam tatanan sistem keuangan di Indonesia.
Peran ini tentu saja sebagai upaya untuk mewujudkan sistem keuangan yang adil.
Oleh karenanya, keberadaannya perlu mendapat dukungan dari segenap lapisan
masyarakat muslim.
Pembiayaan merupakan aktivitas Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan
Syari‟ah (KSPPS) dalam menyalurkan dananya kepada pihak nasabah yang
membutuhkan dana. Pembiayaan sangat bermanfaat bagi Bank, nasabah, dan
pemerintah. Dan memberikan hasil yang paling besar diantara penyaluran dana
lainnya yang dilakukan oleh bank syari‟ah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Syariah

2. Apa Prinsip-Prinsip Syariah Dan Karakteristiknya


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syariah Dan Beberapa Istilah Yang Berkaitan

Pengertian syariah secara sederhana ialah jalan yang jelas yang ditunjukkan
Allah kepada umat manusia. Jalan ini berupa hukum dan ketentuan dalam agama
Islam, yang bersumber dari al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas.
Tujuan dari syariah tidak lain dan tidak bukan adalah agar umat manusia tidak tersesat
dalam hidup, baik di dunia atau di akhirat. Karena Allah telah memberitahukan jalan
mana yang harus dilalui itu tadi.

Tidak banyak yang tahu bahkan dari umat Islam sendiri, bahwa istilah syariah
sudah digunakan sejak dulu, yakni pada zaman Nabi Muhammad. Akan tetapi, istilah
yang dipakai bukan yang dalam bentuk tunggal, namun bentuk jamak yakni syara’i.
sedangkan, syariah sendiri adalah kata berbentuk tunggal dalam bahasa Arab. Bahkan
penggunaannya tidak hanya di Arab Saudi tempat kelahiran Nabi Muhammad, akan
tetapi menyebar ke seluruh daratan Arab.

Meski dapat dimaknai sebagai jalan yang berbentuk hukum dan ketentuan
dalam agama Islam, arti harfiah syariah sendiri bukan seperti itu. Syariah dalam
bahasa Arab adalah sumber air. Banyak juga orang Arab yang menggunakan istilah
syariah untuk menyebut jalan setapak menuju sumber air.
Sementara menurut para ulama, definisi syariah mencakup hukum dasar yang
ditetapkan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, dengan
sesama manusia, dan juga kepada alam. Hal ini sesuai dengan QS. An-Nisa ayat tiga
belas.
Karena syariah adalah hukum dasar, maknanya menjadi masih bersifat terlalu
umum. Hal ini dapat tergambar pada poin-poin hukum yang terdapat dalam al-Quran
dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Namun, hukum dasar yang masih sangat umum tersebut tentu perlu dikaji
lebih dalam agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan disesuaikan
dengan perkembangan zaman kehidupan manusia. Oleh karena itu, dibentuklah satu
bidang ilmu pengetahuan yang khusus untuk mempelajari hukum dasar dan
menyesuaikannya dengan hukum-hukum spesifik yang dibutuhkan oleh manusia.
Bidang ilmu tersebut bernama ilmi fiqih dan orang yang memiliki keilmuan dalam
bidang itu disebut faqih.
Oleh sebab itu, banyak salah paham yang menyamakan pengertian syariah
dengan pengertian fiqih. Padahal, ada dua hal dasar yang sangat membedakan fiqih
dengan syariah. Bahasan dalam syariah bersifat umum, mencakup akidah dan akhlak
manusia. Oleh karena itu, syariah bersifat pasti atau niscaya. Sementara dalam fiqih,
lingkup yang dibahas kepada cara atau amaliah tingkah laku manusia dan tidak ada
satu kepastian dalam fiqih karena sifatnya yang merupakan hasil buah pemikiran para
ulama mujtahid.

B. Prinsip-Prinsip Syariah Dan Karakteristiknya

a. Prinsip-Prinsip Syariah

Secara umum, prinsip ekonomi syariah adalah kesempatan


berusaha yang sama bagi tiap orang dalam mencari rizki yang halal.
Rezeki halal tersebut kemudian dibagi dalam bentuk barang atau uang.
Berikut prinsip ekonomi syariah selengkapnya:

1. Semua jenis sumber daya alam merupakan pemberian dan ciptaan


Allah SWT, sehingga harus digunakan dengan hati-hati dan
bertanggung jawab.
2. Pendapatan bisa menjadi haram jika diperoleh dengan cara yang tidak
jelas atau illegal.
3. Dilarang bermalas-malasan dan wajib mengusahakan berbagai cara
dalam mencari rizki yang halal.
4. Kekayaan harus selalu mengalir atau dibagi pada orang lain yang
membutuhkan, sehingga kesejahteraan mereka bisa meningkat.
5. Semua orang punya hak yang sama dalam berusaha, mendapatkan
keinginannya, dan memiliki suatu materi.
6. Wajib selalu membersihkan harta yang diperoleh dengan zakat, sesuai
ketentuan yang berlaku.
7. Selalu percaya, taat, dan tunduk pada ketentuan Allah SWT,
firmanNya dalam Al Quran, serta sunnah dari Nabi Muhammad SAW.
8. Dilarang melakukan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan riba,
gharar, dzulum, dan unsur lain yang diharamkan dalam Islam.

9. Aktivitas muamalah dalam ekonomi syariah harus dilakukan tanpa


…..paksaan.

b. Karakteristik Ekonomi Syariah

Ciri-ciri atau karakteristik ekonomi syariah menjadikan sistem


ini berlandaskan pada Islam dan kebersamaan. Karakteristik ekonomi
syariah..adalah:

1. Sebuah sistem Islam yang bersifat universal.


2. Kegiatan perekonomian bersifat pengabdian.
3. Kegiatan ekonomi syariah memiliki cita-cita yang luhur.
4. Pengawasan yang sebenar-benarnya dilakukan dan ditetapkan dalam
kegiatan ekonomi syariah.
5. Ekonomi syariah menciptakan keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat.

C. Fiqh Sebagai Aplikasi Syariah

Adapun fiqih secara bahasa, kata ini bermakna faham. Sedangkan dalam
istilah syar’i, maka secara mudah bisa diartikan sebagai pemahaman terhadap syariah
diatas.

Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa “pemahaman” yang


dimaksud bukanlah pemahaman semua orang. Karena pemahaman di sini adalah
sebuah hasil dari proses panjang nan melelahkan dengan mengerahkan segala
kemampuan dan keterampilan. Proses itulah yang dikenal dengan ijtihad.

Dan tidak berhenti sampai di sini saja. Proses ijtihad tersebut hanya boleh
dilakukan oleh mereka yang memiliki multi ketrampilan dalam mengolah sumber-
sumber fiqih. Merekalah para mujtahid; manusia-manusia mulia yang memang
memiliki semua perangkat ijtihad dan pirantinya.
Perlu diketahui juga, bahwa objek pembahasan fiqih yang sedang kita bahas
ini, adalah fiqih dalam maknanya yang telah mengalami penyempitan hanya terbatas
pada amaliyah saja. Inilah fiqih yang kita kenal sekarang. Sedangkan kajian seputar
i'tiqadiyah, telah terpisah dan memiliki ruangnya sendiri dalam sebuah ilmu yang
dikenal dengan aqidah. Adapun tema tentang khuluqiyyah, bisa kita jumpai dalam ilmu
Tasawwuf.

a, Perbedaan Syariah dan Fiqh

Dengan melihat pengertian syariah dan juga fiqih yang sederhana


diatas, bisa kita simpulkan bahwa syariah itu berbeda dengan fiqih. Sisi-sisi
perbedaan tersebut bisa kita himpun dalam beberapa poin berikut :

1. Syariah Tak Akan Pernah Salah

Syariah tak akan pernah salah, karena ia merupakan paket yang


langsung diturunkan oleh Allah SWT. Itulah Al Qur’an dan juga As
Sunnah yang secara ilmiah benar-benar terbukti bersumber dari Nabi
SAW. Keduanya adalah wahyu. Sedangkan fiqih mengandung
kemungkinan benar dan salah. Karena ia adalah pemahaman manusia
terhadap syariah itu. Fiqih adalah pemahaman akal manusia terhadap
Al Qur’an dan As Sunnah itu.

2. Syariah Lebih Umum dan Luas

Syariah lebih umum dan luas cakupannya dari pada fiqih.


Kalau syariah meliputi aqidah, akhlak dan amaliyah. Sedangkan fiqih
hanya mencakup sisi amaliyah saja.

3. Syariah Mengikat Semua Manusia

Syariah bersifat mengikat untuk semua manusia. Maka


siapapun yang telah melengkapi syarat-syarat taklif, wajib mengikuti
aturan syariah. Baik aturan aqidah, akhlaq maupun ibadah. Sedangkan
fiqih yang merupakan pemahaman para mujtahid itu, maka tidaklah
mengikat.

Hasil kesimpulan fiqih seorang mujtahid tidaklah mengikat


mujtahid lain untuk mematuhinya. Bahkan kesimpulan fiqih juga
tidaklah mengikat seorangpun muqallid. Jika si muqallid ini mendapati
kesimpulan mujtahid lain yang ingin diikutinya, ia boleh
melakukannya.

4. Syariah Bersifat Tetap dan Tidak Berubah

Syariah bersifat tetap dan tak berubah. Sedangkan fiqih bisa


berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, kondisi, dan lain-
lain. Perlu dicatat disini, bahwa perubahan fiqih -karena adanya salah
satu atau beberapa faktor tadi- hanya Halaman 20 dari 34 muka | daftar
isi boleh terjadi atas rekomendasi seorang mufti atau mujtahid.

b. Contoh Aplikasi

Untuk memudahkan memahami perbedaan di atas, ada beberapa


contoh kasus yang bisa kita temukan dalam kitab-kitab fiqih para fuqaha.
Sebagian kecil dari contoh-contoh itu antara lain ;

1. Dalam Shalat

Shalat lima waktu dihukumi wajib adalah syariah. Jumlah


rakaat masing-masing shalat lima waktu tersebut juga syariah.
Makanya kita tak mengenal madzhab-madzhab dalam hukum shalat
lima waktu. Semuanya sepakat bahwa hukumnya adalah fardhu.

Tidak boleh sama sekali menyebutkan bahwa shalat lima waktu


itu wajib dalam pandangan syafi’iyyah misalnya. Karena ini syariah,
maka karakternya; tidak pernah salah, mengikat semua mukallaf, dan
tidak akan pernah berubah. Begitu juga dengan jumlah rakaat masing-
masing shalatnya.

Akan tetapi ketika kita menelusuri lebih detail gerakan, bacaan


shalat dan cara melakukannya, kita akan menemukan setiap gerakan
dan bacaan yang berbeda sesuai dengan perbedaan madzhab yang ada.

Dimulai dari hukum niat shalat itu sendiri apakah syarat atau
rukun. Membaca basmalah sebelum al Fatihah dan pembacaannya
secara pelan atau keras. Turun ke sujud apakah lutut atau tangan
terlebih dahulu. Qunut dalam shalat subuh, apakah sunnah Halaman 21
dari 34 muka | daftar isi atau bukan ? Dan lain sebagainya yang
jumlahnya jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan yang sudah
disepakati. Itu semuanya adala fiqih. Dan sesuai dengan karakternya,
masing-masing mengandung kemungkinan salah, kita boleh memilih
yang menentramkan hati kita tanpa paksaan dari siapapun, dan bisa
jadi pilihan itu suatu saat berubah karena satu dan lain hal.

2. Dalam Ibadah Yang Lain

Sebenarnya dari masing-masing bab dalam fiqih bisa saja kita


ambil contoh untuk memudahkan penerimaan kita akan pemetaan fiqih
dan syariah ini. Akan tetapi karena keterbatasan ruang, beberapa
contoh yang sudah ada dalam pembahasan fiqih shalat, dan sedikit
tambahan berikut ini kiranya sudah bisa dikatakan cukup.

Shalat dalam kondisi sudah berwudhu adalah syariah. Tidak


boleh ada yang menyebut bahwa syarat thaharah (suci) adalah syarat
sah shalat dalam madzhab malikiyah misalnya. Tapi tentang
bagaimana cara bersucinya maka itu tergantung ijtihad masing-masing
madzhab.

Dan hasil kesimpulan ijtihad itulah yang kemudian disebut


sebagai fiqih. Karenanya, kewajiban berthaharahnya sama sekali tidak
boleh ditentang. Akan tetapi tentang tata caranya, masingmasing boleh
meyakini madzhab fiqihnya dan sekaligus memberi kritik kepada
madzhab yang lain. Tentu saja yang terakhir ini hanya berlaku bagi
yang ahli atau para mujtahid.

D. Ekonomi Syariah sebagai bagian Integral Agama Islam

Ekonomi syariah adalah satu kesatuan tak terpisahkan dengan ajaran


Islam yang komprehensif dan universal, sifat dan cakupannya yang luas serta fleksibel
khususnya di bidang mu’amalah sehingga dapat diterapkan pada setiap komunitas
termasuk non muslim.1 Secara historis eksistensi ekonomi syariah telah ada dan
dipraktikkan sejak eksisnya Islam di Nusantara. Sedangkan secara yuridis formal
ekonomi syariah diakui sejak 26 tahun silam, ditandai dengan berdirinya Bank
Muamalah Indonesia tanggal 1 Mei 1992, merupakan Bank Islam pertama di
Indonesia berbasis syariah sebagai salah satu bagian dari lembaga pengelola kegiatan
ekonomi syariah.

Ekonomi syariah di Indonesia tergolong relatif baru, dibandingkan


dengan industri-industri keuangan dan bisnis konvensional. Baru, tetapi dalam waktu
yang relatif singkat, ia tumbuh dan berkembang sangat pesat, dan pada saat ini telah
menjadi bagian terpenting dan strategis sebagai salah satu motor penggerak roda
perekonomian Indonesia.

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tidak


hanya disektor bisnis financial atau perbankan, termasuk ragam dan jenis kegiatan
ekonomi syariah mulai bermunculan seperti asuransi syariah, pegadaian syariah.
Dengan demikian ekonomi syariah telah menjadi bagian integral terhadap
pembangunan ekonomi Indonesia yang terbukti mampu bertahan di tengah
perekonomian dunia sedang mengalami gejolak.

Dengan semakin luas dan beragamnya pola bisnis berbasis ekonomi


syariah, maka aspek perlindungan dan kepastian hukum dalam penerapan asas
perjanjian dalam akad atau kontrak di setiap Lembaga dan transaksi ekonomi Syariah
menjadi sangat urgen diupayakan implementasinya. Karena pada tataran pelaksanaan
transaksi bisnis ekonomi Syariah tidak menutup kemungkinan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah
pihak. Sehingga dalam koridor masyarakat yang sadar hukum, tidak dapat dihindari
munculnya perilaku saling tuntut menuntut satu sama lain, yang mengakibatkan
kuantitas dan kompleksitas perkara-perkara bisnis syariah akan sangat tinggi dan
beragam.

Dan bila hal tersebut di atas terjadi, kemana dan siapa yang berwenang
untuk memeriksa dan memutuskannya. Apakah melalui jalur pengadilan atau luar
pengadilan. Dan apabila para pihak menempuh jalur pengadilan (litigasi), lembaga
peradilan mana yang memiliki kompetensi untuk memeriksa perkara tersebut. Karena
berdasarkan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, dalam Negara hukum Indonesia
dikenal ada empat badan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
Kekuasaan Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
tahun 2006 lebih luas dari pada Undang-undang Nomor 7 tahun 1989. Peradilan
Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bertugas menyelenggarakan
penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu, antar
orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Landasan hukum positif penerapan
hukum Islam diharapkan lebih kokoh dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
ini, karena telah menghapus permasalahan pilihan hukum.

Perluasan kewenangan Pengadilan Agama (PA) disesuaikan dengan


perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Perluasan tersebut meliputi
bidang ekonomi syariah. Di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
antara lain diatur tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Prinsip syariah yang dimaksud adalah aturan perjanjian berdasarkan


hukum Islam antara pihak bank dan pihak untuk penyimpanan dana dan pembiayaan
kegiatan usaha atau kegiatan lain, yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain
mudharabah, musyarakah dan murabahah.

Berdasarkan Undang-undang Perbankan, masyarakat diberi


kesempatan untuk mendirikan bank, yang menyelenggarakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah. Termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum
untuk membuka kantor cabangnya, yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan
prinsip syariah. Selain Undang-undang perbankan tersebut, Bank Indonesia juga
mengeluarkan berbagai peraturan Bank Indonesia mengenai bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kedudukan


Badan Peradilan Agama semakin eksis. Hal ini seiring bertambahnya kewenangan
absolut Peradilan Agama dalam menangani perkara-perkara tertentu. Lebih jelasnya,
perbedaan mendasar tersebut adalah Peradilan Agama semakin mendapatkan
kepercayaan masyarakat dan negara Indonesia untuk mengadili dan menyelesaikan
perkara-perkara selain yang telah diuraikan di atas juga terhadap perkara-perkara
sebagai berikut : Pertama, Perkara zakat; sengketa zakat suatu saat pasti muncul jika
terjadi penyimpangan penggunannya, tidak didistribusikan sebagaimana mestinya,
dan lain-lain. Kedua, Perkara infaq; jika suatu saat institusi keagamaan yang dananya
bersumber dari infaq, lalu timbul gugatan. Ketiga, Perkara dibidang ekonomi syariah;
sektor ekonomi syariah yang lebih luas lagi dari pada zakat dan infaq dan keempat
Perkara Penetapan Pengangkatan Anak berdasarkan Hukum Islam.

Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau


kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi Bank Syariah,
Asuransi Syariah, Reasuransi, Reksadana Syariah, Obligasi Syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, Sekuritas Syariah, Pegadaian syariah, Dana
Pensiun Lembaga Keuangan Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro-Syariah.

Kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama dalam bidang


ekonomi syariah sudah meliputi keseluruhan bidang ekonomi syariah. Hal ini dapat
dipahami dari maksud kata ekonomi syariah itu sendiri yang dalam penjelasan dalam
pasal tersebut diartikan sebagai perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah. Artinya, seluruh perbuatan atau kegiatan apa saja dalam
bidang ekonomi yang dilakukan menurut prinsip syariah ia termasuk dalam jangkauan
kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama.

Setelah reformasi bergulir dan dilakukan amandemen Undang-Undang


Dasar 1945 khususnya Pasal 24 yang mengukuhkan Badan Peradilan Agama masuk
dalam dalam Sistem Hukum Nasional, maka politik hukum Indonesia mulai merespon
kepentingan dan kebutuhan hukum umat Islam dalam menjalankan syariatnya,
kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan yang
terpenting dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah sebagimana telah
diuraikan di atas. kegiatan-kegiatan usaha ekonomi syariah sebagaimana tersebut di
atas, pada dasarnya lahir karena adanya akad atau perjanjian yang didasarkan kepada
prinsip syariah.

Sedangkan makna prinsip syariah adalah sebagaimana dinyatakan


dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Dalam kaitannya menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, Pengadilan Agama
berwenang pula mengadili tentang tuntutan ganti rugi (ta’wid, daman) baik yang
disebabkan oleh adanya wanprestasi ataupun karena adanya perbuatan melawan
hukum. Acuan untuk mengadili ganti rugi ini adalah Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Pasal 19 jo Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 dan Fatwa
DSN Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004.

Kehadiran undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan


agama pada saat itu belum bisa menjawab sepenuhnya perihal penyelesaian sengketa
ekonomi syariah, karena masih banyak penyelesaian sengketa diselesaikan melalui
pengadilan negeri, terlebih lagi ketika muncul Undang-undang Nomor 21 tahun 2008
tentang perbangkan syariah terutama pada Pasal 55, dimana terdapat pasal yang
bertentangan antara satu dengan yang lainnya di dalam pasal tersebut, dan
bertentangan pula dengan Ketentuan Undang-undang no. 3 tahun 2006.

Munculnya Undang-undang No. 21 tahun 2008 khususnya Pasal 55


ayat 2 memunculkan polemik baru mengenai siapa yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, apakah menjadi kewenangan Pengadilan
Agama atau pengadilan Negeri.

Terhadap polemik tersebut akhirnya sebagain masyarakat mengujikan


pasal tersebut ke mahkamah konstitusi yang akhirnya melahirkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor : 93/PUU- X/2012, tanggal 29 Agustus 2013 sebagai penjelasan
akhir terhadap polemik tersebut, yang pada pokoknya penyelesaian sengketa ekonomi
syariah tersebut menjadi kewenangan absolut pengadilan agama sepanjang tidak
ditentuan penyelesaiannya melalu badan arbitrase.

Permasalahan muncul masih ada anggapan masayarakat di daerah


memahami pengadilan agama sebagai “pengadilan cerai”, dimana pengadilan agama
hanya bisa menyelesaiakan urusan masalah perceraian saja. Padahal mengenai
kewenangan Pengadilan Agama sudah jelas-jelas disebutkan dalam peraturan undang
undangan khususnya Pada Pasal 49 Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang
peradilan agama.

Dalam ilmu hukum dikenal teori fiksi hukum yang menyatakan bahwa
diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan oleh instansi yang berwenang
mengandaikan semua orang mengetahui peraturan tersebut. Dan kewajiban untuk
mempublikasikan peraturan yang dibuat dengan sendirinya gugur ketika peraturan
tersebut resmi diundangkan oleh pemerintah. Dengan kata lain tidak ada alasan bagi
pelanggar hukum untuk menyangkal dari tuduhan pelanggaran dengan alasan tidak
mengetahui hukum atau peraturannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuansosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang di lhamioleh nilai-nilai
islam. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat
perbedaan apapun antara ilmu ekonomi islam dan ilmu ekonomi modern.
2. konsep dasar islam adalah tauhid atau meng-Esa-kan allah,tauhid si bidang
ekoni berarti menempatakan allah sebagai sangmaha pemilik yang selalu hadir
dalam setiap nafas kehidupan
manusia muslim. Dengan menempatkan allah sebagai satu
satunya pemilik maka otomatis manusia akan di tempatkansebagai pemilik
“hak guna pakai” sementara terhadap yang dimilikinya.
3. Tujuan ekonomi sebagai berikut :
1) Mewujudkan kesejateraan hakiki bagi manusia yang merupakan
tujuan utama dari syariat islam (mashlahah al ibad), karenanya juga
merupakan tujuan ekonomi islam.
2) Ekonomi islam tidak hanya berorientasi ntuk pembangunanfsik
material dari individu, masyarakat dan negara
saja,tetapi juga memperhatikan pembangunan aspek-aspek lain yang ju
ga merupakan elemen penting bagi kehidupan yang sejahtera dan
Bahagia.
3) Mewujudkan keseimbangan dunia dan akhirat akan menjamin
terciptanya kesejahteraan yang kekal dan abadi.
4) Untuk meningkatkan kesejahteraan material sekaligus meningkatkan
kesejahteraan spritual
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jawi, Shiddiq Muhammad. Asas-Asas Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana, 2005.

Mannan, Muhammad Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT.DanaBakhti
Prima Yasa,1997. 

Nasution, Mustafa Edwin. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana, 2006.

P3EI. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Saddam, Muhammad. Ekonomi Islam. Jakarta: Taramedia, 2003.

Tarigan, Azhari Akmal. Pergumulan Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung:


CitapustakaMedia, 2007.

http://www.scribd.com/doc/2163104/sistem-ekonomi-Islam-dan-sistem-ekonomi-
konvensional. 

http://www.Islamic-center.or.id/-Islamic-learnings-mainmenu-29/syariah-main-menu-44/27-
syariah/424-sistem-ekonomi-Islam.

Anda mungkin juga menyukai