Anda di halaman 1dari 5

Diversifikasi pangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Diversifikasi pangan adalah suatu usaha untuk mengajak masyarakat memberikan


variasi terhadap makanan pokok yang dikonsumsi, agar tidak terfokus hanya pada
satu jenis saja. Konsep ini hanya berlaku untuk makanan pokok saja. Oleh karena
itu, diversifikasi pangan sering disamakan dengan konsep pengurangan
konsumsi beras, dengan penggantian makanan pokok yang bukan beras. Manfaat
dari diversifikasi pangan yaitu untuk memperoleh nutrisi dengan nilai gizi yang lebih
beragam serta seimbang.[1] Dalam pemenuhan gizi tersebut untuk hidup sehat bisa
dimulai dari proses penyusunan hidangan. Gizi yang baik akan berpengaruh
terhadap kesehatan dan perkembangan kecerdasan anak. Berdasarkan penelitian,
manusia untuk mencapai gizi sehat diperlukan 45 jenis zat gizi yang harus diperoleh
melalui makanan. Namun, dalam satu makanan belum ada yang bisa mencapai
jumlah tersebut. Oleh karena itu, gizi tersebut dapat diperoleh
melalui konsumsi makanan yang beragam dan bergizi seimbang.[2] Indonesia
memiliki keragaman sumber hayati penghasil karbohidrat yang tinggi dan masih
berpotensi untuk terus dikembangkan dalam program menurunkan tingkat
ketergantungan masyarakat terhadap komoditas beras dan berperan dalam
menjaga ketahanan pangan. Usaha untuk memberikan pengetahuan tentang
konsumsi beras dan mengalihkannya ke konsumsi pangan yang lebih beragam
memiliki urgensi yang penting. Salah satu caranya dengan mengenalkan makanan
lokal pengganti nasi kepada masyarakat.[3] Program diversifikasi pangan
mengajarkan masyarakat untuk bersedia mengurangi ketergantungan terhadap
beras dan pangan impor, dan mulai mengembangkan produk makanan yang berasal
dari olahan makanan tradisional.[4]

Daftar isi

 1Perkembangan
o 1.1Periode pra-kemerdekaan (1939-1945)
o 1.2Periode orde lama (1950-1966)
o 1.3Periode 1967-1974
o 1.4Periode 1975-1979
o 1.5Periode 1980-1984
o 1.6Periode 1985-1989
o 1.7Periode 1990-1994
o 1.8Periode 1995-1998
o 1.9Periode 1999-2002
o 1.10Periode 2002-2009
o 1.11Periode 2010-2014
o 1.12Periode 2015-2019
 2Kendala
o 2.1Konsep makan
o 2.2Pendapatan rumah tangga masih rendah
o 2.3Teknologi pengolahan pangan masih belum banyak
 3Referensi
Perkembangan[sunting | sunting sumber]
Periode pra-kemerdekaan (1939-1945) [sunting | sunting sumber]
Pada periode ini tidak ditemukan aktivitas diversifikasi pangan. Pemenuhan
kebutuhan pokok di Indonesia pada masa penjajahan Belanda didukung oleh
Yayasan Bahan Pangan. Organisasi tersebut didirikan tahun 1939, bertugas
sebagai pengadaan, penjualan, dan penyediaan bahan pangan. Pada
masa penjajahan Jepang, organisasi yang memiliki fokus dalam ketahanan pangan
dinamakan Sangyohu-Nanyo Kohatsu Kaisha pada tahun 1942.[5]
Periode orde lama (1950-1966)[sunting | sunting sumber]
Pada periode ini, dalam memperkuat ketahanan pangan Indonesia, pemerintah
membentuk Yayasan Badan Makanan yang dibentuk oleh Departemen Pertanian
Republik Indonesia dalam kurun waktu 1950-1952. Di tahun 1953-1957, yayasan
tersebut bertransformasi dengan nama Yayasan Urusan Bahan Pangan Makanan.
Di tahun 1964 berubah lagi namanya menjadi Dewan Bahan Makanan dan
Komando Logistik Nasional pada tahun 1965. Fokus ketahanan pangan pada
periode ini yaitu dalam program intensifikasi dan pembukaan lahan di tahun 1958.
[5]
 Program tersebut dinamakan Padi Sentra, yang tersebar di wilayah Nusa
Tenggara Barat, Jawa, Sumatra, Bali, dan Sulawesi Selatan. Selanjutnya Padi
Sentra ini dijadikan Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan
Tanah Kering (BMPT), tetapi gagal dan dihentikan di tahun 1963. Hal itu terjadi
karena penyelewengan, pengembalian kredit dalam bentuk padi. Selain itu,
para manager gagal dalam melakukan penyuluhan, pelayanan,
dan pemasaran sehingga sistem kredit menjadi kacau.[6] Di tahun
1959, pemerintah membuat kegiatan penyuluhan tentang kesejahteraan pangan di
tahun 1959. Program penyuluhan tersebut dinamakan Program Komando Operasi
Gerakan Makmur. Di tahun 1961 melakukan program irigasi dan penyediaan sarana
bagi petani.[5]
Periode 1967-1974[sunting | sunting sumber]
Pada periode ini dibentuk Badan Urusan Logistik atau Bulog. Badan ini didirikan
pada 10 Mei 1967, dan ditetapkan langsung dalam Keputusan Presiden nomor 272
tahun 1967. Dalam keputusan tersebut juga disebutkan bahwa Badan Urusan
Logistik merupakan pembeli dan pemasok tunggal beras bagi pemerintah.[7] Badan
tersebut juga bertugas untuk mengurus dalam hal distribusi dan pergudangannya. Di
tahun 1969 pemerintah membuat program swasembada beras dan UPGK (Usaha
Perbaikan Gizi Keluarga) yang memiliki tugas untuk melakukan penyuluhan agar
masyarakat sadar tentang pentingnya gizi bagi keluarga.[5]
Periode 1975-1979[sunting | sunting sumber]
Pada periode ini pemerintah mulai membuat program diversifikasi pangan, yang
ditegaskan dalam Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu
Makanan Rakyat (UPMMR). Produk unggulannya yaitu "Tekad", atau singkatan
dari Telo, Kacang, dan Jagung. Diversifikasi pangan juga ditegaskan dalam Instruksi
Presiden No. 20 tahun 1979 tentang pemberdayaan tanaman sagu di Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Namun program ini berlum berjalan lancar. Pemerintah
berfokus pada progran intensifikasi dan rehabilitasi pertanian, dengan tujuan untuk
mengingkatkan produksi dan impor beras.[8]
Periode 1980-1984[sunting | sunting sumber]
Program diversifikasi pangan mulai digarap kembali. Namun, pengembangannya
masih tetap lambat. Oleh karena itu, pemerintah meminta perusahaan swasta untuk
turut membantu program tersebut. Hasilnya produk mi instan berbahan
dasar terigu dijadikan makanan pokok superior dibandingkan makanan pokok
alternatif lainnya.[5]
Periode 1985-1989[sunting | sunting sumber]
Pada periode ini, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, sehingga
perogram diversifikasi pangan terbengkalai. Namun, pemerintah tetap berupaya
agar program penyediaan bahan pokok non-beras tetap terealisasikan. Salah
satunya, terus membawa isu ini dalam materi-materi kuliah di universitas.[5]
Periode 1990-1994[sunting | sunting sumber]
Di tahun 1990 pemerintah mengadakan program Gerakan Sadar Pangan dan Gizi.
Dalam program ini pemerintah berhasil membuat rumusan Pola Pangan Harapan
(PPH). Pola Pangan Harapan adalah susunan keragaman pangan yang
berdasarkan keseimbangan energi dan berbagai kelompok pangan. Tujuannya
sebagai pemenuhan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya, dengan
mempertimbangkan latar belakang daya terima, ketersediaan
pangan, ekonomi, budaya, dan agama.[9] Berdasarkan rumusan Pola Pangan
Harapan, kebutuhan karbohidrat bagi tubuh manusia yaitu 57-68%.
Jumlah protein yang dibutuhkan yaitu 10-13% dan jumlah lemak yang dibutuhkan
yaitu 20-30%. Namun, hasil dari penelitian tersebut kurang disosialisasikan
kepada masyarakat. Hal ini berdampak terhadap pola makan masyarakat Indonesia
yang masih mengkonsumsi karbohidrat sebanyak 70% atau 90%
dari beras. Pemerintah juga kurang memanfaatkan hasil penelitian mengenai Pola
Pangan Harapan ke dalam program diversifikasi pangan.[5]
Periode 1995-1998[sunting | sunting sumber]
Pada periode ini program diversifikasi pangan mulai masuk dalam
pembahasan GBHN. Hal penting yang terjadi dalam periode ini yaitu,
lahirnya Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan. Isinya memuat tentang
kebijakan pangan yang menjamin penyediaan pangan secara nasional, dan
mementingkan produksi dalam negeri, dan apabila dirasa kurang bisa melakukan
impor. Pemerintah juga menjamin ketahanan pangan. Selain itu terjaminnya
akses rumah tangga terhadap kebutuhan pangan yang disesuaikan dengan
daya beli. Pemerintah juga menjadi mutu makanan yang bergizi tinggi dan
seimbang, serta menjamin keamanan pangan.[5]
Periode 1999-2002[sunting | sunting sumber]
Pada periode ini pemerintah membuat program untuk meningkatkan
keragaman produksi, dan ketersediaan pangan yang bersumber
dari ternak, ikan, tanaman pangan, holtikultura, dan produksi olahannya. Selain itu,
menjamin produksi dan konsumsi yang beragam melalui kelembagaan.
Mengembangkan usaha bisnis pangan, dan menjamin tersedianya gizi dan pangan
bagi masyarakat. Program-program tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor
25 tahun 2000 tentang Ketahanan Pangan.[5]
Periode 2002-2009[sunting | sunting sumber]
Dua fokus dalam periode ini yaitu membuat konsumsi pangan yang beragam. Hal ini
ditangani langsung oleh Badan Ketahanan Pangan dan Industrialisasi Diversifikasi.
Isu kedua yaitu skema riset unggulan strategis nasional diversifikasi makanan pokok
yang ditangani oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi.[5]
Periode 2010-2014[sunting | sunting sumber]
Pada periode ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2013
yang berisi tentang penugasan perum Bulog untuk mengamankan harga dalam
penyaluran kedelai. Namun, adanya peraturan pemerintah tersebut tidak efektif, di
lapangan harga kedelai tetap tidak stabil. Badan Urusan Logistik juga tidak memiliki
wewenang yang tegas untuk mengimpor kedelai. Sebelumnya,
ditahun 2006 pemerintah sudah membentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP)
melalui Perpres Nomor 83 Tahun 2006. Tugas dewan tersebut yaitu untuk membuat
kebijakan yang mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Selain itu, DKP
juga melaksanakan evaluasi dan pengendalian yang juga untuk mencapai
ketahanan pangan nasional.[10]
Periode 2015-2019[sunting | sunting sumber]
Periode tahun 2015-2019 pemerintah mempunyai kebijakan pemantapan kedaulatan
pangan. Pemerintah mempunyai empat kebijakan, yaitu melakukan produksi secara
cepat melalui pemanfaatan sumber daya pertanian yang optimal. Kedua yaitu
melakukan koordinasi kebijakan diversifikasi pangan dan peningkatan ketahanan
pangan. Ketiga, menjalin kerja sama internasional dengan mengutamakan
pedekatan kawasan. Keempat yaitu mendukung pembangunan pertanian.[11] Salah
satu program diversifikasi pada periode ini yaitu gerakan One Day No Rice dan
pengembangan konsumsi pangan pokok lokal.[12]

Kendala[sunting | sunting sumber]
Di tahun 2012 Kementerian Pertanian menyatakan bahwa program diversifikasi
pangan telah berhasil menurunkan konsumsi terhadap beras sebesar 1,4%. Di tahun
2009, jumlah konsumsi beras per kapita mencapai 102,22 kg dan menurun di tahun
2010 menjadi 100,76 kg. Sedangkan, jumlah konsumsi umbi-
umbian, ikan, buah, sayuran, dan hewan mengalami peningkatan. Angka-angka
tersebut bisa jadi keberhasilan dari program diversifikasi yang berhasil. Namun,
dalam pelaksanaanya masih sering terjadi kendala di lapangan, baik timbul dari
internal dan eksternal.[13]
Konsep makan[sunting | sunting sumber]
Suatu kebiasaan akan sulit dirubah, begitupun dengan budaya makan yang juga
dipengaruhi oleh akulturasi budaya. Budaya makan Indonesia yaitu belum dikatakan
makan apabila belum makan nasi.[14] Hal tersebut berdampak terhadap permintaan
beras di masyarakat, juga menghambat diversifikasi konsumsi pangan.[15] Sejak
zaman dahulu, paradigma mengenai beras sudah ditanamkan sebagai makanan
pokok yang memiliki status sosial yang elit. Namun, kini beras sudah menjadi
kebutuhan pokok yang lumrah di Indonesia. Ketersediaan beras yang melimpah dan
murah dijadikan sebagai bukti stabilitas politik. Hal ini berdampak terhadap kebijakan
pangan yang bias.[15]
Pendapatan rumah tangga masih rendah[sunting | sunting sumber]
Pendapatan rumah tangga yang rendah mengakibatkan masyarakat kesulitan untuk
memilih makanan yang layak konsumsi. Pendapat rumah tangga juga berpengaruh
terhadap diversifikasi pangan.[15]

Anda mungkin juga menyukai