Anda di halaman 1dari 8

MERETAS PARADIGMA ZAKAT

DARI POLA KONSUMTIF KE PRODUKTIF


(TRANSFORMASI MUSTAHIQ MENUJU MUZAKKI)
Oleh Peserta 376

⬧ ⚫◆❑  ➔


⧫➔◆ ➔⬧➔
  ◼⧫ ◆ 
◆  ⚫ ⬧ ⬧❑◼
 ⧫ ☺
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(QS. At-Taubah : 103)

Pendahuluan
Salah satu pilar utama dalam rukun Islam adalah perintah zakat. Disebut
demikian karena perintah zakat bukan sekedar praktik ibadah yang memiliki dimensi
spiritual, tetapi juga sosial. Zakat merupakan ibadah dan kewajiban sosial bagi kaum
muslim yang kaya (Aghniyaa) ketika memnuhi nisaab (batas minimal) dan hawl
(waktu satu tahun). Secara sosiologis zakat bertujuan untuk memeratakan
kesejahteraan dari orang kaya kepada orang miskin secara adil dan mengubah
penerima zakat menjadi pembayar zakat. Oleh karena itu, jika zakat diterapkan dalam
format yang benar, selain dapat meningkatkan keimanan juga mendorong
pertumbuhan ekonomi secara luas.1
Gagasan untuk mengimplementasikan zakat dari semua hasil usaha yang
bernilai ekonomis, baik dari sektor jasa maupun profesi2 belum sepenuhnya diterima

1
Nik Mustapha, “Zakat in Malaysia Present and Future Status”, dalam Journal of Islamic
Economics, Volume 1, nomor 1 (September, 1987), 50.
2
Yusuf al-Qardawi menyebutkan istilah profesi dengan Kasb al-‘Amal wa al-Mihan al-
Hurrah. Kasb al-‘Amal adalah pekerjaan seseorang yang tunduk pada perseoan atau perseorangan
sepeti pegawai negeri, karyawan, wiraswasta, dengan menerima upah atau gaji. Sedangkan al-Mihan al
Hurrah, yaitu pekerjaan bebas tidak terikat pada orang lain atas kemampuan atau pemikiran yang
dilakukan untuk orang atau badan lain dengan menerima imbalan, seperti dokter, insinyur, advokat,
seniman, penjahit, tukang kayu, dan lain-lain. Sjechul Hadi Permono, Formula Zakat (Surabaya, Aulia
2005), 215.

Meretas Paradigma Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif | 1


oleh umat Islam di Indonesia. Untuk merealisasikan tujuan zakat, di samping
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat, tidaklah memadai bila
yang dikenai zakat hanya terbatas pada ketentuan teks secara eksplisit. Sementara itu,
realitas ekonomi di masyarakat menunjukkan semakin meluas dan bervariasinya jenis
lapangan kerja dan sumber penghasilan pokok dibarengi dengan berkurangnya minat
sebagian masyarakat terhadap jenis pencarian yang potensial terkena kewajiban
zakat. Lalu apa jadinya bila suatu saat jenis penghasilan yang terkena kewajiban
zakat makin berkurang, sedangkan pencaharian tak kena zakat semakin bertambah.
Fenomena di atas, secara esensial bertentangan dengan prinsip keadilan Islam, sebab
petani yang penghasilannya kecil justru diwajibkan membayar zakat, seemntara
seorang eksekutif, seniman atau dokter justru dibiarkan tidak membayar zakat.
Sedangkan potensi zakat di Indonesia tercatat 351 triliun lebih pada tahun 2018, yang
jika diberdayakan, hal ini akan menghadirkan muzakki-muzakki baru yang akan
menopang perekonomian Islam di Indonesia.

Zakat dan Syariah


Zakat adalah landasan perekonomian Islam dan menjadi tulang punggung.
karena perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik asal,
maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak penyaluran harta.
Zakat merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah dalam pemilikan,
bukan seluruhnya sebagaimana yang dipahami sebagian orang selama ini. Allah Swt.
berfirman dalam surah At-Taubah ayat 103:

⬧ ⚫◆❑  ➔


 ⧫➔◆ ➔⬧➔
⬧❑◼   ◼⧫ ◆
⧫ ☺ ◆  ⚫ ⬧

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui. (QS. At-Taubah : 103)

Meretas Paradigma Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif | 2


Selain nash syar'i, zakat juga mendapat pengakuan secara konstitusional dalam
kehidupan bernegara, yang dituangkan dalam bentuk undang-undang:

1. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang perubahan ketiga Undang-


undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasialan
3. Keputusan menteri agama RI Nomor 581 Tahum 1999 tentang pelaksanaan
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaaan zakat.
4. Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat islam dan
penyelenggaraan haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang pedoman teknis
pengelolaan zakat.3

Islam telah menegakkan tiga prinsip dasar sebagaimana diisyaratkan oleh ayat 60
surah At-Taubah, mengenai mustahiq zakat, seperti: dikemukakan ulama fiqih
kontemporer, Yusuf Al-Qardawi:

1. Prinsip kemerdekaan bagi setiap individu masyarakat

2. Prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip ini mewujudkan


dengan menyerahkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Sehingga
mencegah tindakan destruktif yang dikhawatirkan terjadi.
3. Prinsip memelihara aqidah dan pendidikan. Prinsip ini dimaksudkan untuk
mensucikan dasar-dasar fitrah manusia dan terutama untuk menghubungkan
manusia dengan Allah. Memberikan pandangan kepada seseorang tentang
hakikat tujuan hidupnya dan tentang hakikat tujuan hidupnya dan tentang hari
akhirat yang pasti akan dihadapinya

Jika potensi zakat umat Islam didayagunakan secara efektif dan profesional,
maka akan kita temukan suatu zaman seperti yang pernah terjadi pada masa Khalifah

3
Kompilasi Hukum Syariah Edisi Revisi (Bab Zakat)

Meretas Paradigma Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif | 3


Umar bin Abdul Azis4. Seperti dikisahkan oleh Yahya bin Said: "Umar bin Abdul
Azis telah mengutus kepadaku untuk mengambil zakat penduduk Afrika. Setelah aku
melakukannya, aku mencari orang-orang fakir untuk ku serahkan zakat, tetapi
ternyata aku tidak menemukannya. Dan tidak menemukan pula orang yang menganbil
zakat dariku..5

Paradigma Pola Konsumtif Dan Produktif

Sebenarnya persoalan pengentasan kemiskinan di tanah air ini dapat


dijalankan jika paradigma bantuan dan penyaluran zakat, infaq dan sedekah itu
dirubah 180 derajat. selama ini, harus kita akui bahwa bantuan pemerintah maupun
penyaluran zakat oleh lembaga amil zakat banyak diwujudkan dalam bentuk
"charity" otau derma. penyaluran jenis ini lebih banyak bersifat konsumtif atau
pemenuhan kebutuhan makan minum yang relatif singkat.
Paradigma yang seharusnya terus dibangun adalah menjadikan zakat sebagai
basis pemberdayaan ummat, sesuai dengan tingkatan kondisi masyarakatnya. Tujuan
finalnya adalah membangun harapan saudara kita yang hidup dalam kemiskinan
hingga mampu hidup mandiri. Kemudian, menjadikan mustahiq yang sudah mandiri
menjadi muzakki.
Peluang ke arah ini sangat terbuka lebar dengan melihat besarnya potensi
zakat, infaq dan sedekah di Indonessia. Potensi zakat disebutkan mencapai angka Rp.
351 triliun setahun6. Jumlah ini tentu belum termasuk potensi sedekah yang tak kalah
jauh lebih dahsyat dibanding zakat karena tidak terikat pada nishab dan hawl7.

4
Umar bin Abdul Aziz adalah Khalifah yang berkuasa dari tahun 717-720M (2-3 tahun) yang
berasal dari Bani Ummayah
5
Dalam masa kurang dari dua tahun, Umar bin Abdul Aziz telah berhasil memakmurkan
rakyatnya, melalui pendayagunaan zakat secara profesional. Kekhalifaan inilah yang begitu dikenal
yang dijalankan oleh beliau.
6
Data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) 2018
7
Nisab adalah jumlah batasan kepemilikan harta seorang muslim selama satu tahun untuk
wajib mengeluarkan zakat. Haul secara bahasa merupakan bentuk mufrad dari kata “hu’uulun” dan
ahwalun yang mempunyai makna sama dengan “as-sanah” yang berarti setahun.

Meretas Paradigma Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif | 4


Dengan potensi zakat saja dapat memerdekakan dan memunculkan ribuan bahkan
jutaan usahawan yang nantinya menjadi cikal bakal muzakki baru di tanah air.
Harapan ini mendapatkan titik terangnya dengan perkembangan cukup
menggembirakan terhadap hadirnya lambaga amil zakat terkelolah profesional seperti
PKPU, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa dan lain-lain, disamping BAZNAS. Besarnya
potensi zakat, infak dan sedekah ini, perlahan namun pasti diikuti dengan grafik
meningkatnya kesadaran kaum Muslimin yang mampu mangeluarkan zakatnya
melalui Amil Zakat.

Mulai tumbuhnya tingkat kepercayaan terhadap lembaga zakat ini.


seyogyanya dibuktikan oleh lembaga amil zakat dengan melahirkan profil-profil
mustahiq sukses dan muzakki baru melalui penyaluran dalam bentuk pemberdayaan
berbasis zakat. Keberhasilan ini, akan mejadi gelindingan bola salju kemandirian
ummat .

Strategi Pemberdayaan Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif


Menurut Dawan Raharjo8 dkk. dalam bukunya “Islam dan Kemiskinan"
mengatakan: “Dalam gagasan strategi yang baru, yang disebut “basic strategy”
timbul gagasan untuk melakukan sesuatu yang disebut “pengalihan konsumtif”.
(transfer of consumption), “pengalihan pendapatan” (transfer of income),
“pengalihan kekayaan” (transfer of invest) ataupun “pembagian kembali kekuasaan”
(redistribution of powers). Maksudnya adalah bahwa hendaknya program-program
pembangunan itu ditujukan dan dapat diambil manfaatnya secara langsung oleh
golongan yang membutuhkan.
Untuk itu perlunya penggunaan zakat produktif tradisional dan zakat
produktif kreatif. Sebenarnya berdasarkan pengamatan dan bacaan kepustakaan dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa pemanfaatan zakat ada empat kategori yaitu:

8
Dewan raharjo (1942) terkenal sebagai ekonomi islam dan tokoh agama yang telah menulis
banyak buku-buku baik tentang ekonomi maupun islam

Meretas Paradigma Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif | 5


1. Zakat Konsumtif Tradisional, sifatnya dalam kategori ini, zakat dibagikan
kepada orang yang berhak menerimanya untuk dimanfaatkan langsung oleh
yang bersangkutan seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau zakat harta yang diberikan
kepada korban bencana alam.
2. Zakat Konsumtif Kreatif. Maksudnya adalah zakat yang diwujudkan dalam
bentuk lain dari barangnya semula, misalnya diwujudkan dalam bentuk alat
sekolah, beasiswa dan lain-lain.
3. Zakat Produktif Tradisional. Maksudnya adalah zakat yang diberikan dalam
bentuk barang-barang produktif. Misalnya kambing, sapi, mesin jahit, alat-
alat pertukangan dan sebagainya.
4. Zakat Produktif Kreatif. dalam bentuk ini dimakhsudkan semua
pendayagunaan zakat dan diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat
dipergunakan, baik untuk membangun suatu proyek sosial maupun untuk
membantu atau menambah modal seorang pedagang atau pengusaha kecil.

Potensi zakat di Indonesia sesungguhnya belum berbanding lurus dengan


pencapaian selama ini. Andai saja penerapan pemotongan zakat penghasilan dan
profesi terintegrasi dengan baik, maka akan menjadi salah satu solusi pengentasan
problem-problem ekonomi di Indonesia. Misalnya potensi zakat yang dapat diambil
dari Aparatur Sipil Negara. Betapa tidak, jika melihat jumlah masyarakat yang
bekerja di lingkup pemerintahan, maka potensinya akan besar. Hal itu di gambarkan
pada tabel berikut:

No. Jabatan PNS Jumlah Persen (%)


1. Fungsional Umum 1.676.185 39,10 %
2. Fungsional Tertentu 2.150.747 50,17 %
3. Struktural 459.986 10,73 %
Jumlah 4.286.918 100%
Sumber: Badan Kepegawaian Nasional, 30 Juni 2019

Meretas Paradigma Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif | 6


Data tersebut memberikan gambaran bahwa potensi yang diperoleh dari
masyarakat yang bekerja dalam lingkup pemerintahan sangat besar. Bila mengambil
sebuah perumpamaan jika 70% dari jumlah tersebut adalah wajib zakat, maka dana
yang terkumpul akan sangat besar. Belum lagi jika dikalkulasikan dengan masyarakat
yang bekerja pada sektor lain.

Penutup
Pendistribusian zakat selama ini pada umumnya terfokus pada mustahiq yang
cendrung bersifat konsumtif, hanya sekedar memenuhi kebutuhan pada saat tertentu.
Dengan begitu, untuk selanjutnya mereka menjadi miskin kembali. Setiap tahun fakir
miskin, bukan semakin berkurang, bahkan semakin bertambah dalam antrian panjang
para penerima zakat. Kalau kondisi ini dibiarkan, maka ummat islam tidak dapat
menyelesaikan problema ekonomi ummatnya. Oleh sebab itu, diperlukan strategi
pendayagunaan zakat secara efektif yaitu sistem mendistribusikan zakat yang
berorientasi produktifitas. Cara yang ditempuh adalah memberikan bagian zakat pada
mustahiq untuk seumur hidupnya, yang pada gilirannya ia tidak lagi menjadi
mustahiq, tetapi meningkat menjadi muzakki. Sistem pendayagunaan dapat ditempuh
dengan jalan:
1. Zakat yang terkumpul dapat didayagunakan untuk mustahiq zakat sesuai
dengan ketentuan syar’i.
2. Zakat yang terkumpul dapat didayagunakan sesuai dengan skala perioritas
kebutuhan mustahiq dan dimanfaatkan untuk usia produktif.
3. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut:
a) Melakukan studi khalayak/analisis kebutuhan
b) Menetapkan jenis usaha produktif
c) Melakukan bimbingan dan penyuluhan
d) Mengadakan pemantauan, pengendalian dan pengawasan
e) Melakukan evaluasi secara komprehensif

Meretas Paradigma Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif | 7


f) Membuat laporan secara berkala

Berkenaan dengan pengawasan zakat, unsur pengawasan dapat meminta


bantuan akuntan publik9. Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan
terhadap Badan Amil Zakat atau lembaga Amil Zakat10. Untuk menghindari
kecurangan, dalam pelaksanaannya harus bersifat objektif, transparan dan
akuntabilitas. Agar esensi dari tujuan zakat dapat terpenuhi.

Daftar Pustaka

1. Alquran Terjemah. Kementerian Agama RI. 1995.


2. Aedy, Hasan. Indahnya Ekonomi Islam. Bandung, ALFABETA. 2006
3. Ahmad Al-Haritsi, Jaribah bin. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab. Jakarta:
Pustaka Al-kautsar 2014
4. Amin Suma, Muhammad H. Tafsir Ayat Ekonomi (Teks, Terjemah dan Tafsir).
Jakarta: AMZAH. 2015
5. Hadi, Muh. Sinergisitas Hukum Zakat Fitrah. Yogyakarta: Mahameru. 2012
6. _________, Prorblematika Zakat Profesi & Solusinya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2009
7. Khan, M. Fahim dan Suherman Rosyidi. Esai-Esai Ekonomi Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2014
8. Mustapha, Nik “Zakat in Malaysia Present and Future Status”, dalam Journal of
Islamic Economics, Volume 1. September, 1987.

9
Sesuai Undang-Undang Nomor 38 Pasal 18
10
Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Pasal 20

Meretas Paradigma Zakat dari Pola Konsumtif ke Produktif | 8

Anda mungkin juga menyukai