Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Merokok merupakan sebuah perilaku fenomenal yang sudah

menjadi kebiasaan sebagai masyarakat. Para perokok bukannya tidak

mengetahui bahaya merokok, namun mereka enggan untuk

menghentikan kebiasaan merokok. Banyak informasi yang telah

mereka terima, baik dari media cetak maupun elektronik baik berupa

poster, baliho maupun iklan di televisi tentang bahaya yang

diakibatkan oleh rokok. Namun sayangnya kebiasaan merokok sangat

sulit mereka tinggalkan (Samsugito, 2019)

Jumlah perokok dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Negara Indonesia menempati urutan ketiga di dunia berdasarkan

tingginya jumlah perokok setelah Cina dan India. Data RISKESDAS

(2010) menunjukkan bahwa 34,7% penduduk di Indonesia bersusia 10

tahun ke atas adalah perokok. Dua tahun sebelumnya 2 tahun (2008),

organisasi kesehatan duni (WHO) merilis data bahwa Indonesia

mnenduduki posisi ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia

setelah China dan India dan menduduki peringkat kelima sebagai

konsumen perokok terbesar setelah China, Amerika Serikat, Rusia,

dan Jepang. Data yang lain menunjukkan bahwa tembakau

merupakan faktor resiko pada 6 dari 8 kematian utama. Di dalam

rokok sendiri terkandung 4000 zat kimia berbahaya bagi kesehatan,

11
2

seperti nikotin yang bersifat adiktif, tar yang karsinogenik, dan bahkan

juga formalin. Rokok merupakan produk berbahaya dan adiktif yang

berisi 4000 bahan kimia dimana 69 diantaranya bersifat karsinogenik.

Jumlah perokok di Indonesia berdasarkan RisKesDas tahun 2013

berjumlah 24,3% dari total penduduk atau sekitar 48,40 juta perokok

(Kemenkes RI, 2015).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh lembaga dan institusi

pemerhati bahaya rokok, termasuk upaya pemerintah baik pemerintah

pusat yang menetapkan peraturan pemerintah nomor 109 tahun 2012

maupun peraturan walikota Samarinda no 51 tahun 2012 tentang

kawasan tanpa rokok (KTR) pada fasilitas umum. Namun upaya

tersebut belum mampu menurunkan jumlah perokok. Hal ini

desebabkan berbagai factor antara lain social budaya masyarakat,

tingkat pendidikan, fasilitas pendukung kawasan tanpa rokok, serta

pemberian sanksi yang kurang tegas (Riska, 2016)

DI Provinsi NTB, presentase penduduk umur diatas 10 tahun

yang merokok setiap harinya sebesar 63,1% dan sebagian besar

merokok di rumah ketika berkumpul dengan anggota keluarga,

berdasarkan hasil survey yang dilakukan di Kelurahan samarinda

terdapat minimal satu anggota keluarga di 420 kepala keluarga dari

845 kepala keluarga yang merupakan perokok aktif sejak lebih dari 10

tahun (62,4%), Perilaku merokok adalah salah satu dari berbagai

macam penyebab sebagian pernyakit kardiovaskular dan merupakan


3

penyebab paling umum kematian diseluruh dunia walaupun sebenrnya

dapat dicegah (Pyrgakis, 2009). Kerugian yang ditimbulkan rokok

sangat banyak bagi kesehatan, karena didalam asap rokok terdapat

4000 zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan, dua diantarnya adalah

nikotin yang yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik

(Suharjo, 2008). Selain itu, merokok dalam berbagai bentuk

merupakan faktor risiko utama untuk aterosklerosis, infark miokard

akut dan penyakit jantung koroner. Rokok menyebabkan peningkatan

konsentrasi serum kolesterol total, trigliserida, low density lipoprotein

(LDL). Berbagai mekanisme menyebabkan perubahan lipid oleh zat

yang terkandung dalam rokok yaitu nikotin pada seorang perokok. LDL

yang berlebihan akan menumpuk semakin lama akan mengalami

pengerasan dan dapat mempersempit lumen arteri sehingga

menyebabkan rusaknya dinding arteri coroner yang akan menjadi

infark miokard akut (Robbins, 2007). Gejala klinis pada infark miokard

akut adalah rasa sakit pada dada sentral atau retrosentral yang dapat

menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung.

Rasa sakit seperti ditekan, terbakar, ditindih benda berat, ditusuk.

Infark miokard akut terjadi sewaktu pasien dalam keadaan istirahat,

sering pada jamjam awal di pagi hari (Sudoyo, 2010)

Menurut American Heart Association and National Cholesterol

Education Programme (2011), salah satu faktor PJK adalah kadar

kolesterol, hipertensi, diabetes melitus dan merokok. Berdasarkan


4

wawancara dengan perawat di Rumah Sakit Sidoarjo pada 23 Februari

2016 didapatkan bahwa faktor pada pasien PJK adalah riwayat

perokok aktif. Oleh karena itu, untuk mengetahui hubungan antara

perilaku merokok dengan kejadian NSTEMI dan STEMI pada pasien

PJK perlu dikembangkan lebih lanjut.

Selain itu, jumlah perokok di Indonesia semakin besar menurut

Data Global Youth Tobbaco Survey 2014 (GYTS 2014) menyebutkan

20,3 % anak sekolah merokok (lakilaki 36%, perempuan 4.3%), 57,3%

anak sekolah usia 1315 tahun terpapar asap rokok dalam rumah dan

60% terpapar di tempat umum atau enam dari setiap 10 anak sekolah

usia 1315 tahun terpapar asap rokok di dalam rumah dan di tempat-

tempat umum. Dari data penelitian yang telah dilakukan pada tanggal

26 Mei 2016 di RSUD Sidoarjo didapatkan berjumlah 38 responden

(100%) responden dengan diagnose NSTEMI berjumlah 14 responden

dimana 8 responden (57,1%) dengan perilaku merokok sedang.

Responden dengan diagnosa STEMI berjumlah 24 responden dimana

15 responden (62,5%) dengan perilaku merokok berat.

Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2017

sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan

berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan

sekitar 2.650.340 orang. Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi

jumlah penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di

Provinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0,5%), sedangkan


5

Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu

sebanyak 1.436 orang (0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi

jumlah penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di

Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.127 orang (1,3%), sedangkan

jumlah penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat,

yaitu sebanyak 6.690 orang (1,2%) dan provinsi NTB prevalensi

penyakit jantung sekitar 1.5 % (Riskedas, 2018)

Data yang didapatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota

Mataram yang mengalami masalah kesehatan karna merokok

khususnya pada pasien dengan penyakit jantung NSTEMI prevalensi

59% dan STEMI prevalensi 41%

Peningkatan jumlah perokok ini juga berdampak pada

bertambahnya jumlah kasus akibat bahaya merokok dan peningkatan

angka kematian akibat rokok. Di perkirakan pada tahun 2030, angka

kematian akibat rokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa. 70% angka

tersebut tersebar di negara berkembang termasuk Indonesia. Saat ini

kematian akibat rokok di negara berkembang berkisar 50% dan jika

kecendrungan ini terus berlanjut maka akan didapatkan 650 juta

penduduk yang meninggal akibat rokok (Kemenkes RI, 2015). Oleh

karnanya perlu dilakukan pencegahan maupun tindakan agar

kebiasaan merokok ini dapat diturunkan angkanya.

Salah satu terafi berhenti merokok yang dikembangkan di

bidang ilmu psikologi adalah hypnoterafi. Hipnotis dipergunakan untuk


6

menghentikan kebiasaan merokok dengan cara merubah perilaku

dalam kondisi hipnotis. Pada saat kondisi seseorang terhipnotis,

perokok tersebut diberikan sugesti berupa pengaruh buruk atau hal hal

buruk tentang rokok, sehingga perokok tersebut harus menghentikan

kebiasaan merokoknya. Selain hipnoterafi juga terdapat terafi yang

menggunakan energy psikologis yang disebut terafi Spiritual Emotional

Freedom Technique (SEFT), terafi SEFT memadukan antara kekuatan

spiritual dan energy psikologi, dan didapatkan efek pelipat gandaan

(amplifying effect) (Zainuddin, 2012)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh metode Spiritual Emotional Freedom Technique

(SEFT) terhadap pengurangan frekuensi merokok pada pasien jantung

di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram Tahun 2019

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh metode Spiritual Emotional Freedom

Technique (SEFT) terhadap pengurangan frekuensi merokok pada

pasien jantung

2. Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi frekuensi merokok pada pasien jantung

sebelum dilakukan metode Spiritual Emotional Freedom

Technique (SEFT)
7

2. Mengidentifikasi frekuensi merokok pada pasein jantung setelah

dilakukan metode Spiritual Emotional Freedom Technique

(SEFT)

3. Menganalisis perbedaan frekuensi merokok sebelum dan

sesudah dilakukan metode Spiritual Emotional Freedom

Technique (SEFT)

D. Manfaat

1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana

pengembangan khususnya dalam bidang kesehatan.

2. Bagi Institusi Pelayanan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada

masyarakat terutama dalam hal pembatasan frekuensi dalam

merokok

3. Bagi Profesi

Pemberi pelayanan kesehatan mampu mengaplikasikan atau

menerapkan metode Spiritual Emotional Freedom Technique

(SEFT) sebagai salah satu cara untuk mengatasi pengurangan

frekuensi merokok.

4. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi

atau acuan bagi peneliti yang akan meneliti tentang Spiritual


8

Emotional Freedom Technique (SEFT) atau melakukan penelitian

sejenisnya.
9

Anda mungkin juga menyukai