Oleh
Haryanto
Universitas Negeri Makassar
Assalamualaikum Wr Wb.
Pendahuluan
Faktor Personal
Dinamika Kelompok
Faktor dinamika kelompok mengacu pada suasana belajar secara
berkelompok yang dapat menghambat atau menunjang keberhasilan pembelajaran
bahasa asing. Dalam suasana belajar secara berkelompok seringkali ada
pembelajar yang tampil lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain. Bagi
pembelajar tertentu, suasana seperti itu dapat menimbulkan rasa cemas atau
rendah diri yang kemudian menjadi penghambat belajar. Akan tetapi, bagi
pembelajar yang lain hal itu justru dapat menjadi tantangan untuk belajar lebih
keras, yang selanjutnya membuahkan hasil.
Dalam kepustakaan lain, faktor dinamika kelompok tampaknya dijelaskan
sebagai bagian dari konsep kecerdasan emosional (emotional intelligence).
Menurut Goleman (1997), salah satu unsur yang tercakup dalam konsep
kecerdasan emosional adalah kemampuan motivasi diri. Bagi orang yang tidak
memiliki kemampuan memotivasi diri, kecemasan yang timbul akibat
menghadapi dinamika kelompok dapat mengalahkan dan bahkan melumpuhkan
otak nalar. Jika ini terjadi, orang tersebut menjadi tidak mampu berbuat sesuatu
untuk mencapai cita-citanya dan akibatnya, ia gagal. Sebaliknya, bagi orang yang
memiliki kemampuan memotivasi diri yang baik, kekhawatiran yang muncul
dalam dinamika kelompok justru dapat menjadi pemicu atau tantangan untuk
bekerja lebih keras guna mencapai cita-citanya.
Masing-masing orang memiliki kadar kemampuan memotivasi diri secara
berbeda-beda. Sayang sekali bahwa hingga kini, sebagaimana diungkapkan oleh
Goleman sendiri, belum ada tes tertulis tunggal yang menghasilkan nilai
kemampuan yang termasuk dalam konsep kecerdasan emosional ini.
Sikap
Sikap terhadap guru dan sikap terhadap materi pelajaran juga merupakan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembelajaran bahasa asing. Ellis (1986:
103) menjelaskan bahwa sebagian pembelajar mungkin lebih menyukai guru yang
mengajar secara ketat sesuai dengan prosedur yang telah direncanakan
sebelumnya.
Selain terhadap guru, para pembelajar juga memiliki kecenderungan yang
berbeda-beda terhadap materi pelajaran. Berdasarkan rangkuman dari beberapa
penelitian, Ellis menyebutkan bahwa pembelajar dewasa kurang menyukai materi
pelajaran yang disusun secara ketat karena tidak memberi kesempatan kepada
mereka untuk menggunakan cara mereka sendiri.
Pembicaraan mengenai faktor sikap rupanya tidak saja terbatas pada sikap
terhadap guru dan materi pelajaran,tetapi juga sikap terhadap penutur asli bahasa
asing yang dipelajari. Sikap ini secara konsisten berpengaruh terhadap pencapaian
pembelajaran bahasa asing. Meskipun demikian, pengaruhnya tidak bersifat
langsung terhadap pembelajaran, melainkan melalui faktor motivasi (Gardner
dan Lambert, 1972: 132). Dengan kata lain, sikap berpengaruh terhadap
terbentuknya motivasi, yang selanjutnya—sebagaimana akan dijelaskan
kemudian dalam pembahasan faktor motivasi—menjadi faktor penting dalam
pembelajaran bahasa asing. Oleh karena itu, peran sikap pun dipertimbangkan
sebagai salah satu faktor penting dalam pembelajaran bahasa asing.
Teknik Belajar
Faktor personal lain yang berpengaruh penting terhadap pembelajaran
bahasa asing adalah teknik-teknik belajar. faktor-faktor ini secara lebih terinci
akan dijelaskan melalui bagian pembahasan faktor strategi belajar bahasa.
Faktor Umum
Selanjutnya, pada bagian berikut dijelaskan secara singkat faktor-faktor
yang bersifat umum, yakni usia, bakat, gaya kgnitif, motivasi, dan kepribadian.
Ellis (1986: 100) mengelompokkan faktor-faktor ini sebagai faktor umum oleh
karena faktor-faktor ini melekat pada setiap pembelajar. faktor umum tersebut
berbeda bukan dalam hal ada atau tiak adanya pada pembelajar tertentu secara
individual, tetapi dalam kadar keberadaannya. Berikut ini masing-masing
dijelaskan secara singkat.
Usia
Usia merupakan salah satu faktor yan banyak dikemukakan dalam diskusi
mengenai pembelajaran bahasa asing. Menyangkut faktor ini, ada pendapat yang
menyebutkan bahwa masa kanak-kanak lebih mudah mempelajari bahasa asing
ketimbang masa dewasa. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Lenneberg (1967:
142) dan dikenal dengan sebutan hipotesis periode kritis. Hipotesis ini
menyebutkan bahwa dalam usia manusia terdapat masa-masa di mana ia dapat
mempelajari bahasa secara mudah dan alamiah. Masa-masa tersebut berada pada
usia sebelum masa puber tiba. Dalam usia tersebut, otak manusia masih lentur
sehingga dapat dengan mudah mempelajari bahasa.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat Lenneberg tersebut diperkuat
dan diperjelas melalui beberapa penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan pribadi,
Dardjowidjojo (1986: 148-149) memang membenarkan hipotesis tersebut.
Kemudian, Snow dan Hoefnagel-Hohle memberi penjelasan yang lebih spesifik
mengenai usia mana yang terbukti paling potensial untuk belajar bahasa secara
cepat. Dari sebuah penelitian terhadap pembelajar bahasa Belanda sebagai bahasa
asing, mereka menemukan bahwa usia yang paling potensial adalah 12 sampai 15
tahun (Snow dan Hohle dalam Baradja, 1974: 6).
Gaya Kognitif
Istilah ‘gaya kognitif’ mengacu pada cara seseorang merasakan,
mengkonseptualisasi, mengorganisasi, dan merumuskan kembali informasi.
Dalam kepustakaan pembelajaran bahasa asing, misalnya Brown (1987: 85-88),
gaya kognitif sering diidentikkan dengan (a) gaya tergantung pada lapangan (field
dependent) dan (b) gaya tidak tergantung pada lapangan (field independent).
Perbedaan antara kedua gaya kognitif tersebut adalah bahwa pembelajar
dengan gaya tergantung pada lapangan memiliki ciri: (a) menganut pandangan
yang berasal dari orang lain; (b) memiliki kepekaan social sehingga mampu
menjalin hubungan baik dengan orang lain; (c) memandang lapangan secara
holistik; dan (d) memiliki orientasi personal, dalam arti bahwa pembelajar
tersebut menggunakan kerangka pikir eksternal dalam memproses informasi.
Pembelajar dengan gaya tidak tergantung pada lapangan memiliki karakteristik
sebaliknya.
Terkait dengan ciri-ciri tersebut, muncul pendapat bahwa gaya tergantung
pada lapangan amat menunjang proses pembelajaran yang terjadi secara alamiah;
sedangkan gaya tidak tergantung pada lapangan menunjan pembelajaran yang
dilakukan secara formal. Alas an yang mendasari pendapat itu adalah bahwa
dalam latar alamiah, pembelajar yang tergantung pada lapangan (field dependent)
akan lebih banyak mengadakan kontak dengan penutur asli sehingga memperoleh
lebih banyak masukan kebahasaan; sedangkan pembelajar yang tak tergantung
pada lapangan (field independent) memiliki lebih banyak kesempatan untuk
menganalisis kaidah-kaidah formal bahasa.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa gaya kognitif mana pun
berpotensi untuk menunjang proses pembelajaran bahasa asing. Perbedaannya
hanya terletak pada konteksnya. Dalam konteks pembelajaran secara alamiah,
gaya kognitif tergantung pada lapangan lebih berperan; dan dalam konteks
pembelajaran formal, gaya tak tergantung pada lapanganllah yang lebih berperan.
Kepribadian
Dalam kepustakaan pembelajaran bahasa asing, kepribadian dipandang
sebagai salah satu faktor yan berpengaruh pula. Kepribadian merujuk pada sifat
ekstrover dan introver. Pembelajar yang berkepribadian ekstrover memiliki
karakteristik pandai bergaul, berani mengawali interaksi, terbuka dan terus terang,
dan suka bekerja secara berkelompok; sedangkan pembelajar yang berkepribadian
introver memiliki sifat-sifat sebaliknya.
Istilah ekstrover dan introver ini sebenarnya merupakan label konseptual
yang diberikan pada dua kutub kepribadian yang saling berlawanan. Seorang
pembelajar tidak harus berada pada salah satu kutub, melainkan biasanya berada
pada suatu kontinum antara ekstrovert dan introvert. Ada pembelajar yang lebih
dekat pada kutub ekstrovert, dan ada pula yang lebih cenderung pada kutub
introvert.
Sebuah mitos kuno menyebutkan bahwa pembelajar yang lebih dekat pada
kutub ekstrovert dapat menguasai bahasa dengan lebih cepat dibandingkan
dengan mereka yang berkepribadian introversi. Akan tetapi berdasarkan
pembuktian yang dilakukan oleh Naiman dkk. Dalam Ellis (1986: 122), misalnya,
ternyata ditemukan tidak adanya korelasi yang signifikan antara skor skala
ekstrovert/introvert dengan skala skor pada kemampuan menyimak. Demikian
pula Swain dan Burnaby dalam Ellis (1986) yang juga tidak menemukan adanya
hubungan antara ekstrovert/introvert dengan keberhasilan menguasai bahasa
asing. Temuan serupa dikemukakan pula oleh Carrel dkk (1996: 75-99)yang
melakukan penelitian tentang pengaruh ektrover/introver pada penguasaan bahasa
inggris oleh pembelajar di Indonesia.
Namun demikian ada pula penelitian dan pendapat yang mendukung mitos
tersebut. Rossier, misalnya, sebagaimana dikutip oleh Ellis (1986: 122)
menemukan bahwa kemampuan berbahasa lisan berkolerasi secara signifikan
dengan ekstrovert/introvert.
Sementara Schumann dan Ellis mengklasifikasikam faktor-faktor dalam
pembelajaran bahasa asing ke dalam beberapa jenis yang cenderung sangat
spesifik, Spolsky tidak. Ia hanya menyebutkan empat macam faktor , yaitu
penegetahuan awal, kemampuan, motivasi, dan kesempatan yang dimiliki oleh
pembelajar. Berdasarkan pendapat itu, ia mengemukakan formula sebagai berikut:
Kf = Kp + A + M + O. “Kf” adalah symbol dari pengetahuan atau keterampilan
berbahasa yang akan dicapai (future knowledge or skill); “Kp” symbol
pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada saat ini (present knowledge or
skill); “A” adalah kemampuan fisiologis, biologis,intelektual, maupun kognitif
(aptitudes); “M” adalah motivasi (motivation); dan “O” adalah kesempatan
(opportunity). Dengan rumus tersebut berarti Spolsky (1989: 15) memprediksi
bahwa keberhasilan mempelajari bahasa asing tergantung pada empat faktor
tersebut.
Dengan demikian, secara singkat dapat disimpulkan bahwa ada tiga
macam klasifikasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pembelajaran bahsa asing. Pertama adalah klasifikasi menurut Schumann, kedua
menurut Ellis, dan ketiga menurut Spolsky. Ketiga klasifikasi itu dapat disajikan
melalui Tabel 2 sebagai berikut:
Faktor Motivasi
Hakikat Motivasi
Motivasi dapat didefinisikan sebagai suasana batin yang mendorong
pembelajar untuk melakukan aktivitas belajar. Batasan ini dibuat berdasarkan dua
pendapat yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Pertama adalah pendapat
Steers dan Porter (1991) yang menyebutkan bahwa motivasi berkaitan dengan
“what enegizes human behavior. Dari pendapat ini secara jelas terkandung makna
bahwa motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang melakukan aktivitas.
Kedua, pendapat Brown (1987) yang menyebutkan motivasi adalah “an inner
drive, impulse, emotion, or desire that moves one to a particular action.”
Motivasi acapkali diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Gardner dan
Lambert mengklasifikasikannya dalam dua jenis: motivasi instrumental dan
motivasi integrative. Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa asing,
motivasi instrumental adalah dorongan untuk menguasai bahasa asing sebagai
upaya mencapai sasaran-sasaran tertentu, misalnya untuk memperoleh pekerjaan.
Sebaliknya, motivasi integratif adalah dorongan untuk menguasai bahasa asing
sebgai upaya agar pembelajar dapat masuk ke dalam budaya pemakai bahasa
asing itu (Gardner dan Lambert, 1972: 3).
Lebih lanjut Graham dalam Brown (1987: 117) membagi lagi motivasi ke
dalam dua jenis yang sedikit berbeda: motivasi integratif dan motivasi
asimilatif. Motivasi integratif adalah keinginan pembelajar bahasa mempelajari
bahasa asing agar dapat berkomunikasi dengan para anggota kelompok budaya
bahasa tersebut. Motivasi asimilatif adalah dorongan pembelajar untuk
mempelajari bahasa asing dengan maksud agar dapat menjadi penutur yang sama
dengan penutur asli bahasa tersebut.
Ada pula klasifikasi motivasi yang dikemukakan Bailey (1986). Ia
menyebutkan bahwa motivasi integratif dan motivasi instrumental masing-masing
dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu motivasi intrinsic dan motivasi
ekstrinsik. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan asal munculnya motivasi itu: dari
dalam diri sendiri atau dari orang lain. Bila motivasi itu muncul dari dalam diri
sendiri, maka itu disebut motivasi intrinsik; sebaliknya, bila muncul dari orang
lain, maka motivasi itu disebut motivasi ekstrinsik. Dengan demikian, Bailey
mengklasifikasikan motivasi ke dalam empat jenis: motivasi integratif intrinsic,
motivasi integratif ektrinsik, motivasi instrumental intrinsic, dan motivasi
instrumental ekstrinsik. Secara tabular, klasifikasi motivasi tersebut dapat
diilustrasikan melalu Tabel 1 seperti berikut:
Peranan Motivasi
Dalam teori pembelajaran bahasa asing, secara umum motivasi dipandang
memiliki peran yang sangat penting. Para ahli dalam bidang pengajaran bahasa
asing, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, pada umumnya setuju
dengan pernyataan ini. Sebagai contoh adalah Sadtono (1996), Dardjowidjojo
(1997), dan Renandya (1997). Tanpa mengesampingkan faktor-faktor lain,
mereka setuju bahwa keberhasilan atau kegagalan pembelajaran bahasa asing
sering ditentukan oleh seberapa jauh seseorang memiliki motivasi untuk
menguasai bahasa asing tersebut.
Para ahli dari luar negeri juga demikian. Brown (1987), misalnya,
menyebutkan bahwa motivasi merupakan istilah yang paling banyak digunakan
(the most catch-all term) untuk menjelaskan keberhasilan atau kegagalan
seseorang dalam melakukan tugas yang sangat kompleks. Dalam pembelajaran
bahasa asing, seseorang pembelajar akan berhasil apabila ia memiliki motivasi
yang cukup untuk menguasai bahasa asing yang dipelajarinya.
Pandapat Brown tersebut juga didukung oleh pendapat Spolsky (1989:
148-166) yang menyebutkan bahwa semakin besar motivasi seseorang
pembelajar, semakin banyak waktu yang ia pergunakan untuk mempelajari bahasa
asing; dan seterusnya, semakin banyak kesempatan, semakin banyak pula yang
dipelajari.
Namun demikian, secara lebih spesifik ada beberapa argument yang
berbeda mengenai jenis motivasi mana yang lebih berperan dalam menunjang
keberhasilan pembelajaran bahasa asing. Dalam paparan selanjutnya Brown
menyebutkan beberapa penelitian, antara lain beberapa penelitian Lambert dan
penelitian Spolsky yang menemukan bahwa motivasi integratif secara umum
berpengaruh positif terhadap pembelajaran bahasa asing. Karena itu, mereka
menyimpulkan bahwa motivasi integratif merupakan faktor penting dalam
pembelajaran bahasa asing.
Sebaliknya, ada pula temuan yang berbeda. Dari sebuah penelitian,
Lukmani dalam Brown (1987: 116) menemukan bahwa motivasi instrumentallah
yang berpengaruh positif terhadap pembelajaran bahasa. Karena itu, disimpulkan
pula bahwa jenis motivasi yang menjadi faktor penting dalam pembelajaran
bahasa adalah motivasi instrumental. Pendapat ini diperkuat oleh Braj Kachru
dalam Brown (1987: 116) yang berargumen bahwa dalam negara-negara dunia
ketiga, dimana Bahasa Inggris dipergunakan sebagai bahasa internasional,
keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris hanya dapat dicapai dengan bekal
motivasi instrumental.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul temuan-temuan yang tidak
perlu dipertentangkan dengan pendapat yang mengedepankan motivasi integratif.
Temuan-temuan itu pada intinya berkesimpulan bahwa dalam konteks-konteks
tertentu, motivasi integratif lebih penting dibandingkan motivasi instrumental;
namun dalam konteks lain terjadi sebaliknya: motivasi integratif lebih penting
ketimbang motivasi instrumental. Temuan itu juga menyimpulkan bahwa dua
jenis motivasi tersebut saling mengisi. Pembelajaran bahasa asing tidak hanya
ditunjang oleh salah satu dari keduanya. Sebagai contoh adalah kasus pembelajar
Bahasa Inggris orang Arab yang menimba ilmu di Amerika Serikat. Mereka
mungkin belajar Bahasa Inggris atas dasar kedua macam motivasi tadi, yaitu
untuk keperluan akademis dan keperluan membaur dengan budaya orang-orang
Amerika. Dengan kata lain, mereka belajar bahasa Inggris atas dorongan motivasi
instrumental meupun motivasi integratif.
Gardner sendiri yang sebelumnya bersama-sama dengan Lambert
menemukan bahwa motivasi integratif itu lebih penting dibandingkan dengan
motivasi instrumental (Gardner dan Lambert, 1972), dalam penelitian terbarunya
bersama McIntyre menemukan bukti bahwa motivasi instrumental tidak kalah
penting dari motivasi integratif. Keduanya tidak bisa lagi dibedakan berdasarkan
mana yang lebih penting oleh karena kedua-duanya sama-sama penting (Brown,
1995: 206-225).
Klasifikasi Rubin
Rubin (1981: 124-125) mengklasifikasikan SBB ke dalam dua jenis berdasarkan
sifat kontribusinya terhadap pembelajaran bahasa asing, yaitu SBB yang secara
langsung dan SBB yang secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap
pembelajaran bahasa. Jenis pertama meliputi aktivitas bertanya untuk keperluan
klarifikasi, melakukan koreksi, memorisasi, menebak, menyimpulkan,
membandingkan bahasa lain dengan bahasa sasaran, dan melakukan praktek
pengunaan bahasa. Jenis kedua meliputi upaya-upaya menciptakan kesempatan
melakukan praktek penggunaan bahasa. Jenis kedua meliputi upaya-upaya
menciptakan kesempatan melakukan praktek.
Itulah beberapa klasifikasi SBB yang dikemukakan oleh para ahli. Agar lebih
mudah dibaca, klasifikasi-klasifikasi tersebut dirangkum dalam Tabel 3 berikut
ini.
Table 3. Klasifikasi Strategi Belajar Bahasa menrut Para Ahli
Dari uraian tentang beberapa macam klasifikasi SBB tersebut, terdapat dua
benang merah yang dapat ditarik. Pertama, ada klasifikasi yang dibuat
berdasarkan sifat kontribusinya terhadap pembelajaran bahasa asing. Klasifikasi
ini dilakukan oleh Rubin (1981), dimana ia menyebutkan adanya dua macam SBB
yang memiliki sifat kontribusi berbeda. Ada SBB yang memberikan kontribusi
secara langsung dan ada yang secara tidak langsung. Kedua, sebagian yang lain
membuat klasifikasi berdasarkan bentuk tindakan yang dilakukan oleh
pembelajar. Ini dilakukan oleh Naiman dkk (1978), O’Malley dan Chamot
(1990), dan Oxford dan Crookall (1989).
Implikasi Praktis
Disini perlu disadari oleh guru maupun orang tua perlunya menyediakan
fasilitas-fasilitas belajar yang diminati oleh anak. Guru atau orang tua tidak dapat
memaksakan anak menggunakan fasilitas belajar tertentu, namun harus
disesuaikan dengan minat anak. Kita perlu menyadari bahwa terdapat beberapa
tipe pembelajar yang berhasil, sehingga perlu memberi kebebasan kepada anak
dalam melakukan kegiatan belajar maupun menggunakan fasilitas belajar sesuai
dengan tipe anak itu sendiri.
Mungkin anak kita tekun belajar melalui buku-buku dan kaset sambil
mengurung diri dalam kamar. Itu merupakan tenik belajar yang sesuai dengan
tipenya, dan kita biasanya menganggapnya tidak menjadi masalah. Akan tetapi,
mungkin pula anak kita selalu keluar rumah bergaul dengan teman-temannya atau
bahkan dengan penutur asing. Ini juga merupakan teknik belajar yang harus pula
dimengerti, karena memang ada tipe pembelajar yang cenderung field-dependent,
bergantung pada kondisi diluar dirinya. Anak dengan tipe seperti ini tidak perlu
dipaksa untuk belajar dengan buku-buku dalam kamar atau perpustakaan. Biarlah
mereka bergaul selama pergaulan itu untuk meningkatkan keerampilan-
keterampilan positif, dan dalam batas waktu-waktu yang wajar serta tidak
meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam melaksanakan kegiatan keagamaan.
Guru bahasa asing juga perlu memahami karakteristik peserta didiknya.
Oleh karena tipe pembelajar berbeda-beda, guru perlu menggunakan variasi
metode mengajar yang berbeda-beda pula agar semua pembelajar dapat
memperoleh pelayanan yang sesuai selera. Caterall dalam Griffith dkk (2008:
110-119) bahkan menyarankan kepada guru bahasa asing agar menyadari
heterogenitas pembelajar baik dalam aspek motivasi, strategi belajar, gaya belajar,
maupun tujuan-tujuan yang ingin mereka capai.
Demikianlah pidato ini saya sajikan. Sudah pasti dalam pidato tersebut terdapat
kekurangan-kekurangan, akan tetapi saya berharap bahwa isi pidato tersebut dapat
memberikan kontribusi positif bagi praksis pengajaran bahasa asing, khusunya
bahasa Inggris buat anak-anak didik kita.
Selanjutnya, ijinkan saya menyampaikan penghargaan kepada individu-
individu yang telah berjasa kepada saya dalam menapaki kehidupan sehingga
mencapai Guru Besar seperti sekarang ini.
Pertama, saya ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-
tingginya kepada almarhum kedua orang tua saya, Bapak Soechemi
Atmowardoyo (wafat 1995 dalam usia 75 th) dan Ibunda tercinta Sri Jatoen
(wafat 2010 dalam usia 84 th). Beliau berdua adalah orang yang paling berjasa
dalam menafkahi, mengasuh, mendidik, serta mendoakan saya untuk menjadi
orang sukses di dunia dan di akhirat. Semoga jasa baik beliau berdua mendapat
imbalan yang lebih banyak dan lebih baik dari Alloh SWT.
Kedua, saya juga ingin menyampaikan penghargaan kepada kakak-kakak
saya Mas Haryono, Mba Haryati, Mba Hastuti, Mba Hartiningsih, dan Mba Sri
Puji Hartini (alm). Kakak-kakak saya ini juga amat berjasa dalam membantu
orang tua mengasuh dan membesarkan saya. Untuk itu saya ucapkan terima kasih,
matur mbahnuwun, atas segala bantuan dan jasa baik kaka-kakak. Semoga Alloh
SWT membalas budi baik tersebut dengan imbalan yang lebih baik.
Saya juga tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih saya kepada
saudara misan saya Drs. Troeno Sardjono dan Mba Ambarwati yang telah
membawa saya ke Ujung Pandang pada tahun 1980. Kepindahan itu menjadi
sebuah momen awal keberhasilaan saya dalam berkiprah sebagai mahasiswa
hingga menjadi dosen IKIP Ujung Pandang.
Selanjutnya, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
keluarga besar Bapak H. Husain Suaib (alm) pada umumnya, dan khususnya
kepada Hj. Fifi Jabal Nur, istri dan sekaligus guru spiritual saya yang selalu setia
mendampingi kemana pun saya pergi, serta mendoakan saya setiap saat. Peran dia
amat penting dalam mengantarkan saya meraih gelar Magister, Doktor, dan
Profesor.
Demikian pula kepada anak-anak saya Eka Putri (alm) yang ikut
membantu mengetik sebagian naskah pidato ini; Luki Ahmadi, yang ikut
mendesain naskah dan sampul pidato ini, serta Rojo Wicaksono, Putri Pangestu,
Ahmad Fauzan Azdima, Muhammad Sapta Kalingga, Anom Haryanto, dan Luna
Purbandani yang kadang memunculkan inspirasi bagi saya untuk bekerja keras
dalam meraih kehidupan yang lebih baik. Juga kepada Ahmad Satrio, cucu saya
yang amat saya cintai. Kepada anggota keluarga Sulaiman Abdul Karim, Amin
Wahyu Ningsih, Muhammad Wahyu Ramli, Jadi martono dan Ani Susilowati,
saya juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dan doa yang telah
dipanjatkan untuk saya.
Perjalanan karir saya untuk mencapai Guru Besar juga amat ditunjang
oleh lingkungan kerja. Oleh karena itu, perkenankan saya juga menyampaikan
rasa hormat dan terima kasih saya kepada Rektor Universitas Negeri Makassar
(Prof. Dr. Arismunandar, M.Pd.), Dekan FBS UNM Dr. Kisman Salija, M.Pd.,
Ketua Majelis Guru Besar, Senior, dan mantan Dekan FBS Prof. Dr. Muhammad
Amin Rasyid, M.A., Mantan Dekan FBS Prof. Dr. Mansur Akil, M.Pd., Ketua
Jurusan Bahasa Inggris Dr. Muliati, M.Pd., mantan Ketua Jurusan Drs. Ahmad
Talib, M.Pd., serta seluruh kolega saya di FBS UNM.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur PPs UNM Prof. Dr.
Jasruddin, M.Si, Asisten Direktur I Prof. Dr. Suradi Tahmir, M.Si., Asisten
Direktur II Prof. Dr. H. A. Heri Tahir, M.H., para Ketua Program Studi, serta para
kolega di PPs UNM yang juga telah turut menciptakan kondisi kondusif bagi
pengembangan karir akademik saya.
Last but not least, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kawan-
kawan kami di Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Majelis Ulama Indonesia,
Senkom Mitra Polri, dan Persinas ASAD atas dukungan moral dan doa yang
mereka panjatkan untuk saya. Juga kepada pihak-pihak lain yang tak dapat saya
sebutkan satu per satu, yang telah memberikan sumbangan moral dan material
kepada saya dalam meraih jabatan tertinggi dalam dunia akademik ini.
Sekian dan terima kasih. Apabila ada hal yang kurang berkenan, saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Jazaakumullohukhoeron. Wassalamualaikum
Wr Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Makalah
1. Laboratorium Bahasa dan Pemanfaatannya dalam Pengajaran Bahasa
Asing, disajikan pada Konferensi Internasional Linguistik Tahunan
Atmajaya (KOLITA) 3 di Jakarta, 2005
2. Grammatical Errors in Indonesian EFL Learners’ Writing, disajikan pada
Konferensi Internasional Linguistik Tahunan Atmajaya (KOLITA) ke 5 di
Jakarta, 2007
3. Communication Formats Compatible to Multimedia Language
Laboratory, disajikan pada International Seminar on Bilingual Education
di Makassar, 2006
4. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, disajikan pada
Pelatihan Nasional tentang Metodologi Penelitian untuk Mahasiswa di
Makassar 2002
5. Metode Penelitian Kualitatif, khususnya Grounded Theory, disajikan pada
Pelatihan Metodologi Penelitian UKM Penalaran Universitas Negeri
Makassar, 2006.
6. Research Methods in TEFL Studies: A Lesson from Journal Articles,
disajikan pada Konferensi Internasional The 8th ASIA TEFL
CONFERENCE, di Hanoi, Vietnam 6-8 Agustus 2010.
7. Qualitative Research in TEFL Studies, disajikan pada International
Conference on Language Education, 3 - 4 Desember 2010 di Universitas
Negeri Makassar.
8. Case Study Method for TEFL Studies, disajikan pada International
Conference on Education, 22-23 Juli 2011 di Universitas Negeri Makassar
(Proceeding masih dalam proses penerbitan).
Publikasi Buku/Artikel:
1. Buku: Isu Pendidikan dan Pengajaran Bahasa, diterbitkan oleh Badan
Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2001
2. Buku: Student English Worksheet for Junior High School Kelas 1, 2, dan
3, 2001.
3. Artikel: Motivasi dan Strategi dalam Pembelajaran Bahasa Asing
diterbitkan dalam Jurnal Pancaran Pendidikan, Universitas Negeri Jember,
April 2007
4. Artikel: Kajian tentang Pembelajar Bahasa Inggris yang Berhasil,
diterbitkan dalam Jurnal Humaniora, Universitas Hasanuddin, Mei 2007
5. Artikel: Peranan Faktor Motivasi dalam Proses Pembelajaran Bahasa
Asing, diterbitkan dalam Jurnal Humaniora Universitas Hasanuddin, Mei
2007
6. Buku: Metode Penelitian Kualitatif: Teori Dasar, diterbitkan oleh Badan
Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2008 ISBN 9798416570
7. Buku (penulis kedua bersama Prof. Sukardarrumidi, Ph.D): Dasar-dasar
Penulisan Proposal Penelitian, penulis kedua, diterbitkan oleh Gajah Mada
University Press, 2008 ISBN 979-420-674-1
8. Buku (penulis kedua bersama Dr. H. Sukardi Weda, M.Hum., M.Pd.,
M.Si.): Program Pendidikan Gratis, Lembaga Pusat Pemberdayaan
Masyarakat Madani, Makassar 2009, ISBN 9789791673471.
9. Research Methods for Language and Literature Studies, Badan Penerbit
Universitas Negeri Makassar, 2010, ISBN 978-602-8111-94-2
10. Grammar Exercises for Academic Purposes, Badan Penerbit Universitas
Negeri Makassar, 2011, ISBN 978-602-8111-34-8
SEMINAR
1. Peserta TEFLIN Seminar, di Makassar, 1994
2. Peserta Seminar Nasional tentang Pendidikan Karakter, di Universitas
Negeri Makassar, 2010
3. Peserta Seminar Nasional dalam rangka Rapat Pimpinan Pasca Sarjana
LPTK se Indonesia dengan tema Pendidikan Karakter, Medan 2010
4. Peserta OHIO TESOL Conference di Columbus, Ohio, AS, tahun 2009
5. Peserta International Conference on Educational Practices Worldwide, di
Makassar, tahun 2011
KEPANITIAAN
1. Ketua Panitia Seminar Nasional tentang Karakter di Universitas Negeri
Makassar tahun 2010
2. Ketua Panitia Konferensi Internasional tentang Educational Practices
Worldwide di Hotel La macca, UNM, Makassar tahun 2011
3. Penanggung jawab Sosialisasi UUD 1945 kerjasama DPW LDII Sulsel
dengan dr. Ahmad Nizar Shihab (Anggota DPR-RI), 6 Agustus 2011 di
Mallebu Inn, Makassar
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Peserta Basic Training HMI Komisariat FPBS IKIP Ujung Pandang, 1980.
2. Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) Cabang Universitas Negeri
Makassar, 2003 – sekarang.
3. Ketua DPD Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kab Gowa, 1999 –
2004
4. Wakil Ketua DPD Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Provinsi
Sulawesi Selatan, 2005-2010
5. Ketua DPW Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Provinsi Sulawesi
Selatan, 2010 – 2015
6. Pengurus Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan 2011 – 2016
PENGHARGAAN
1. Dosen Teladan III Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Ujung Pandang, 1988
2. Dosen Teladan I Universitas Negeri Makassar, 2000
3. Satyalancana Karya Satya 20 tahun, 2007