Anda di halaman 1dari 31

PENGEMBANGAN TEORI PEMBELAJARAN BAHASA ASING

MELALUI KAJIAN FENOMENA “GOOD LANGUAGE LEARNERS”

Oleh
Haryanto
Universitas Negeri Makassar

Assalamualaikum Wr Wb.

Yang saya hormati:


Ketua dan Anggota Dewan Penyantun Universitas Negeri Makassar;
Rektor Universitas Negeri Makassar;
Ketua Majelis Guru Besar Universitas Negeri Makassar;
Para Anggota Senat
Para Pejabat Struktural
Dosen dan mahasiswa Universitas Negeri Makassar;
Keluarga besar Bpk. S. Atmowardoyo dan Bpk. H. Husain Suaib;
Para sahabat dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia (Hidayat Nahwi Rasul), dari
Majelis Ulama Indonesia, dari Senkom Mitra Polri, dan dari Persinas Asad
Serta Para hadirin yang tak dapat saya sebutkan satu per satu.

Alhamdulillahirobbil’alamiin, saya panjatkan syukur kehadirat Alloh SWT karena


atas rahmatNya, saya dan para hadirin bisa berada dalam forum sidang terhormat
dalam acara pengukuhan guru besar. Selanjutnya, perkenankan saya memanjatkan
salawat untuk Rasululloh Muhammad SAW, Nabi yang telah mengajarkan kita
tuntunan hidup untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Saya juga
mengucapkan banyak terima kasih atas kehadiran Bapak-bapak, Ibu-ibu, serta
saudara-saudara untuk mengikuti acara pengukuhan Guru Besar ini.
Pada kesempatan ini, ijinkan saya menyampaikan Pidato Pengukuhan
Guru Besar dengan judul:

PENGEMBANGAN TEORI PEMBELAJARAN BAHASA ASING


MELALUI KAJIAN FENOMENA “GOOD LANGUAGE LEARNERS”

Pendahuluan

Kajian fenomena melalui kegiatan penelitian ilmiah pada hakikatnya ditujukan


untuk mengembangkan teori formal dalam bidang tertentu. Dalam bidang
pembelajaran bahasa asing, pengembangan teori dilakukan antara lain dengan
melalui penelitian terhadap fenomena Good language Learners (GLL). Banyak
peneliti yang telah melakukan kajian mengenai hal tersebut, baik di luar negeri
maupun di dalam negeri. Paling kurang terdapat 25 artikel penelitian tentang
GLL yang mengambil konteks luar negeri, yang kemudian diedit menjadi sebuah
buku berjudul Lessons from Good Language Learners (Griffith, 2008).
Khusus di Indonesia, kajian ini menaraik oleh karena keberhasilan
pembelajaran bahasa merupakan suatu yang luar biasa. Sejauh ini pada umumnya
pembelajar tak mampu menguasai keterampilan berbahasa Inggris yang
diharapkan. Banyak penelitian yang telah membuktikannya, antara lain penelitian
Gunarwan (2000) yang menyimpulkan bahwa kualitas pengajaran Bahasa Inggris
di Indonesia rendah. Hal itu didasarkan pada temuan bahwa kemampuan
membaca teks berbahasa Inggris para lulusan sekolah lanjutan, yang merupakan
tujuan pertama, pada umumnya belum memadai. Sebelumnya, Hamied (1997)
juga menemukan bahwa tingkat pencapaian siswa dalam belajar Bahasa inggris
masih sangat rendah. Demikian pula Huda (1990) yang juga melakukan penelitian
tentang pengajaran Bahasa Inggris pada sekolah lanjutan di delapan propinsi. Ia
juga menyebutkan hal serupa. Temuan yang diperoleh menyebutkan bahwa 69,7
persen siswa mengatakan bahwa pelajaran Bahasa Inggris sulit atau sangat sulit.
Penelitian-penelitian ini memang telah cukup lama dilakukan, namun fenomena
seperti itu tidak bisa secara cepat berubah. Oleh karena itulah keberhasilan
mempelajari Bahasa Inggris di Indonesia masih menjadi suatu hal yang langka.
Penelitian-penelitian tentang GLL, baik yang dilakukan di luar negeri
maupun di dalam negeri, telah menunurunkan berbagai butir teori yang berkaitan
dengan deskripsi karakteristik GLL, tipe-tipe GLL, dan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap keberhasilan belajar bahasa asing.

Karakteristik Pembelajar Bahasa yang Berhasil


Paling sedikit ada empat penelitian yang telah berhasil mengungkap
karakteristik GLL. Pertama adalah Stern (1983) yang melakukan penelitian
tentang karakteristik GLL. Dengan metode pengamatan dan pamanfaatan intuisi,
Stern berhasil menyajikan daftar karakteristik dari pembelajar yang diduga
berpengaruh terhadap keberhasilan belajar bahasa asing. Kedua, Rubin telah
melakukan sedikitnya dua kali penelitian (1975 dan 1981) Yang pertama
bertujuan untuk mengeksplorasi karakteristik GLL; sedangkan penelitian kedua
berusaha menyelidiki lebih dalam mengenai strategi belajar yang berpengaruh
terhadap keberhasilan pembelajaran bahasa asing. Pada penelitian pertama,
dengan menggunakan metode pengamatan dan pemanfaatan intuisi, Rubin (1975)
berhasil merumuskan bahwa GLL mempunyai karakteristik tertentu.
Kemudian, pada penelitian kedua, Rubin (1980) berhasil mengidentifikasi
strategi belajar yang berpengaruh secara langsung dan strategi belajar yang
berpengaruh secara tidak langsung. Yang berpengaruh langsung meliputi
menebak dan berpikir induktif; sedangkan yang berpengaruh secara tidak
langsung adalah menciptakan kesempatan berlatih.
Ketiga, Naiman dkk (1978) melakukan penelitian untuk menggali lebih
lanjut karakteristik pembelajar bahasa asing yang berhasil. Mereka menggunakan
metode wawancara yang terbagi menjadi dua macam: wawancara tentang riwayat
hidup dan diskusi mengenai strategi yang digunakan oleh partisipan dalam
berbagai macam situasi belajar. Dari hasil penelitian yang ditemukan, mereka
menyimpulkan ada sejumlah jenis strategi yang diduga menjadi kunci
keberhasilan.
Kempat, Reiss (1985) melakukan penelitian untuk memvalidasi temuan
Rubin. Ia meneliti karakteristik pembelajar bahasa yang berhasil dengan
menggunakan metode survei lapor diri (self-report survey) dan menemukan
temuan yang hampir sama dengan temuan Rubin.
Hasil penelitian-penelitian tersebut telah mengarah pada rumusan daftar
karakteristik GLL sebagai berikut:
a) Memiliki dorongan yang kuat untuk berkomunikasi;
b) Secara konstan berusaha menemukan pola-pola bahasa;
c) Gemar melakukan latihan;
d) Memonitor ujaran sendiri maupun ujaran orang lain;
e) Mampu menemukan situasi-situasi pembelajaran yang mereka sukai.
f) Terlibat aktif dalam proses pembelajaran bahasa;
g) Menyadari bahasa sebagai sistem dan alat komunikasi.
h) Secara konstan memperluas dan merevisi pemahaman individual terhadap
bahasa sasaran.
i) Secara bertahap mengembangkan kebiasaan berpikir dalam bahasa
sasaran.
j) Memperlihatkan tuntutan afektif dalam belajar bahasa.
k) Cenderung menggunakan teknik menebak.
l) Lebih meperhatikan makna ketimbang bentuk.
m) Dapat memanfaatkan kesempatan untuk melakukan praktek berbahasa.

Tipe Pembelajar Bahasa yang Berhasil


Tipe GLL berbeda-beda. Stevick (1989), melalui sebuah penelitian
terhadap GLL menemukan tujuh tipe. Pertama, intuitive learner. Pembelajar ini
lebih banyak menggunakan intuisi dalam menafsirkan makna wacana, dan lebih
banyak menggunakan pendengaran dibandingkan penglihatan dalam memahami
pelafalan. Selain itu, pembelajar tersebut juga mampu memanfaatkan kesempatan
di mana saja ia dapat mempelajari bahasa asing secara alamiah.
Kedua, formal learner. Tipe ini cenderung lebih banyak menggunakan
pendekatan tata bahasa di dalam mempelajari bahasa asing. Oleh karena itu, ia
merasa lebih cocok belajar secara formal melalui metode tata bahasa-terjemahan
dan metode audio-lingual.
Ketiga, informal learner. Ia memiliki ciri-ciri berani mengambil resiko
(risk taking) dan bersifat terbuka. Berbeda dangan formal learner, pembelajar ini
tidak terlalu banyak memahami dan mengingat kaidah-kaidah tata bahasa di
dalam mengembangkan kemampuannya berbahasa asing. Ia lebih mangandalkan
teknik belajar dengan memperhatikan cara penutur asli berbicara baik melalui
televisi maupun secara langsung.
Keempat, imaginative learner. Ia banyak menggunakan imajinasi untuk
memikirkan kaidah-kaidah tata bahasa asing. Ia menyadari bahwa kaidah setiap
bahasa berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, ia berusaha menciptakan
sendiri cara-cara memahami masing-masing bahasa.
Kelima, active learner. Ia cenderung mengaktifkan diri dengan teknik-
teknik membaca keras untuk dirinya sendiri, menghafal materi-materi yang telah
diketahui, dan menggunakan kaset untuk memahami pelafalan. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa pembelajar tipe ini sangat serius dalam mengaktifkan diri
dengan berbagai kegiatan belajar secara mandiri untuk menguasai bahasa asing.
Keenam, deliberate learner. Pembelajar dengan tipe ini tidak menyukai
metode audiolingual di mana ia harus mengulang-ulang frasa atau kalimat secara
lisan tanpa terlebih dahulu membaca tulisannya. Ia lebih senang terlibat secara
aktif dalam praktek berbahasa. Misalnya, saat hendak melakukan sesuatu yang
belum ia ketahui, ia akan bertanya dengan menggunakan bahasa asing itu kepada
orang lain sampai orang lain itu mengerti benar maksud pertanyaannya.
Pembelajar dengan tipe ini mengaku cocok belajar dengan menggunakan metode
Total Physical Response, dimana guru memberikan perintah-perintah dalam
bahasa asing hingga murid memahami apa yang dimaksud.
Terakhir, self-aware learner. Ia mempelajari bahasa asing mulai dari
kaidah tata bahasa yang menarik bagi dia. Kemudian, ia melakukan latihan-
latihan untuk memahami kaidah tersebut dan berusaha menerapkannya dalam
percakapan.

c. Faktor-faktor yang Menunjang Keberhasilan Belajar Bahasa Asing


Banyak penulis yang menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan pembelajaran bahasa asing. Beberapa penulis mengemukakannya
secara berbeda-beda.
Menurut Schumann (1978), ada sembilan faktor yang berpengaruh terhadap
keberhasilan atau kegagalan pembelajaran bahasa asing. Kesembilan faktor itu
dikenal dengan taksonomi Schumann, dan meliputi faktor-faktor social, afektif,
kepribadian, kognitif, biologis, bakat, personal, masukan, dan pengajaran.
Masing-masing dari kesembilan faktor tersebut dirinci menjadi sejumlah kategori
yang lebih spesifik, sehingga jumlah keseluruhannya menjadi sangat banyak.
Sayang sekali bahwa dalam tulisannya itu Schumann tidak menjelaskan satu per
satu dan ia juga tidak menjelaskan secara filosofis munculnya pendapat tersebut.
Pakar lain, Ellis (1986), mengklasifikasikan faktor-faktor pembelajaran
bahasa asing ke dalam dua kategori pokok, yakni faktor personal dan faktor
umum. Faktor personal adalah kondisi yang mungkin melekat pada pembelajar
lain. Faktor ini meliputi tiga macam: dinamika kelompok, sikap terhadap guru
dan materi pelajaran, dan tekhnik atau strategi pembelajaran.
Sebaliknya, faktor umum adalah kondisi yang secara universal terdapat pada
pembelajar, namun berbeda-beda dalam kadar keberadaannya. Faktor ini meliputi
usia, intelegensi/bakat bahasa, gaya kognitif, motivasi, dan kepribadian. Secara
singkat, masing-masing faktor tersebut diuraikan dalam bagian selanjutnya.

Faktor Personal
Dinamika Kelompok
Faktor dinamika kelompok mengacu pada suasana belajar secara
berkelompok yang dapat menghambat atau menunjang keberhasilan pembelajaran
bahasa asing. Dalam suasana belajar secara berkelompok seringkali ada
pembelajar yang tampil lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain. Bagi
pembelajar tertentu, suasana seperti itu dapat menimbulkan rasa cemas atau
rendah diri yang kemudian menjadi penghambat belajar. Akan tetapi, bagi
pembelajar yang lain hal itu justru dapat menjadi tantangan untuk belajar lebih
keras, yang selanjutnya membuahkan hasil.
Dalam kepustakaan lain, faktor dinamika kelompok tampaknya dijelaskan
sebagai bagian dari konsep kecerdasan emosional (emotional intelligence).
Menurut Goleman (1997), salah satu unsur yang tercakup dalam konsep
kecerdasan emosional adalah kemampuan motivasi diri. Bagi orang yang tidak
memiliki kemampuan memotivasi diri, kecemasan yang timbul akibat
menghadapi dinamika kelompok dapat mengalahkan dan bahkan melumpuhkan
otak nalar. Jika ini terjadi, orang tersebut menjadi tidak mampu berbuat sesuatu
untuk mencapai cita-citanya dan akibatnya, ia gagal. Sebaliknya, bagi orang yang
memiliki kemampuan memotivasi diri yang baik, kekhawatiran yang muncul
dalam dinamika kelompok justru dapat menjadi pemicu atau tantangan untuk
bekerja lebih keras guna mencapai cita-citanya.
Masing-masing orang memiliki kadar kemampuan memotivasi diri secara
berbeda-beda. Sayang sekali bahwa hingga kini, sebagaimana diungkapkan oleh
Goleman sendiri, belum ada tes tertulis tunggal yang menghasilkan nilai
kemampuan yang termasuk dalam konsep kecerdasan emosional ini.

Sikap
Sikap terhadap guru dan sikap terhadap materi pelajaran juga merupakan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembelajaran bahasa asing. Ellis (1986:
103) menjelaskan bahwa sebagian pembelajar mungkin lebih menyukai guru yang
mengajar secara ketat sesuai dengan prosedur yang telah direncanakan
sebelumnya.
Selain terhadap guru, para pembelajar juga memiliki kecenderungan yang
berbeda-beda terhadap materi pelajaran. Berdasarkan rangkuman dari beberapa
penelitian, Ellis menyebutkan bahwa pembelajar dewasa kurang menyukai materi
pelajaran yang disusun secara ketat karena tidak memberi kesempatan kepada
mereka untuk menggunakan cara mereka sendiri.
Pembicaraan mengenai faktor sikap rupanya tidak saja terbatas pada sikap
terhadap guru dan materi pelajaran,tetapi juga sikap terhadap penutur asli bahasa
asing yang dipelajari. Sikap ini secara konsisten berpengaruh terhadap pencapaian
pembelajaran bahasa asing. Meskipun demikian, pengaruhnya tidak bersifat
langsung terhadap pembelajaran, melainkan melalui faktor motivasi (Gardner
dan Lambert, 1972: 132). Dengan kata lain, sikap berpengaruh terhadap
terbentuknya motivasi, yang selanjutnya—sebagaimana akan dijelaskan
kemudian dalam pembahasan faktor motivasi—menjadi faktor penting dalam
pembelajaran bahasa asing. Oleh karena itu, peran sikap pun dipertimbangkan
sebagai salah satu faktor penting dalam pembelajaran bahasa asing.

Teknik Belajar
Faktor personal lain yang berpengaruh penting terhadap pembelajaran
bahasa asing adalah teknik-teknik belajar. faktor-faktor ini secara lebih terinci
akan dijelaskan melalui bagian pembahasan faktor strategi belajar bahasa.

Faktor Umum
Selanjutnya, pada bagian berikut dijelaskan secara singkat faktor-faktor
yang bersifat umum, yakni usia, bakat, gaya kgnitif, motivasi, dan kepribadian.
Ellis (1986: 100) mengelompokkan faktor-faktor ini sebagai faktor umum oleh
karena faktor-faktor ini melekat pada setiap pembelajar. faktor umum tersebut
berbeda bukan dalam hal ada atau tiak adanya pada pembelajar tertentu secara
individual, tetapi dalam kadar keberadaannya. Berikut ini masing-masing
dijelaskan secara singkat.

Usia
Usia merupakan salah satu faktor yan banyak dikemukakan dalam diskusi
mengenai pembelajaran bahasa asing. Menyangkut faktor ini, ada pendapat yang
menyebutkan bahwa masa kanak-kanak lebih mudah mempelajari bahasa asing
ketimbang masa dewasa. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Lenneberg (1967:
142) dan dikenal dengan sebutan hipotesis periode kritis. Hipotesis ini
menyebutkan bahwa dalam usia manusia terdapat masa-masa di mana ia dapat
mempelajari bahasa secara mudah dan alamiah. Masa-masa tersebut berada pada
usia sebelum masa puber tiba. Dalam usia tersebut, otak manusia masih lentur
sehingga dapat dengan mudah mempelajari bahasa.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat Lenneberg tersebut diperkuat
dan diperjelas melalui beberapa penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan pribadi,
Dardjowidjojo (1986: 148-149) memang membenarkan hipotesis tersebut.
Kemudian, Snow dan Hoefnagel-Hohle memberi penjelasan yang lebih spesifik
mengenai usia mana yang terbukti paling potensial untuk belajar bahasa secara
cepat. Dari sebuah penelitian terhadap pembelajar bahasa Belanda sebagai bahasa
asing, mereka menemukan bahwa usia yang paling potensial adalah 12 sampai 15
tahun (Snow dan Hohle dalam Baradja, 1974: 6).

Intelegensi/Bakat Bahasa (aptitude)


Istilah intelegensi mengacu pada kemampuan menguasai dan
menggunakan keseluruhan keterampilan yang bersifat akademis. Dalam istilah
lain, intelegensi disebut dengan kapasitas otak.
Menyangkut peranan faktor ini dalam pembelajaran bahasa, Ellis (1986:
110-111) menyimpulkan adanya dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama
menyebutkan bahwa intelegensi secara umumlah yang berpengaruh terhadap
pembelajaran bahasa asing. Sebaliknya, pendapat kedua menyebutkan bahwa
bukanlah intelegensi secara umum yang berpengaruh, tetapi intelegensi khusus
yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Intelegensi tersebut dibagi dalam
dua jenis, yakni cognitive/academic language proficiency (CALP) dan basic
interpersonal communication skills (BICS). Dalam istilah lain, keduanya dapat
disebut dengan bakat bahasa.

Gaya Kognitif
Istilah ‘gaya kognitif’ mengacu pada cara seseorang merasakan,
mengkonseptualisasi, mengorganisasi, dan merumuskan kembali informasi.
Dalam kepustakaan pembelajaran bahasa asing, misalnya Brown (1987: 85-88),
gaya kognitif sering diidentikkan dengan (a) gaya tergantung pada lapangan (field
dependent) dan (b) gaya tidak tergantung pada lapangan (field independent).
Perbedaan antara kedua gaya kognitif tersebut adalah bahwa pembelajar
dengan gaya tergantung pada lapangan memiliki ciri: (a) menganut pandangan
yang berasal dari orang lain; (b) memiliki kepekaan social sehingga mampu
menjalin hubungan baik dengan orang lain; (c) memandang lapangan secara
holistik; dan (d) memiliki orientasi personal, dalam arti bahwa pembelajar
tersebut menggunakan kerangka pikir eksternal dalam memproses informasi.
Pembelajar dengan gaya tidak tergantung pada lapangan memiliki karakteristik
sebaliknya.
Terkait dengan ciri-ciri tersebut, muncul pendapat bahwa gaya tergantung
pada lapangan amat menunjang proses pembelajaran yang terjadi secara alamiah;
sedangkan gaya tidak tergantung pada lapangan menunjan pembelajaran yang
dilakukan secara formal. Alas an yang mendasari pendapat itu adalah bahwa
dalam latar alamiah, pembelajar yang tergantung pada lapangan (field dependent)
akan lebih banyak mengadakan kontak dengan penutur asli sehingga memperoleh
lebih banyak masukan kebahasaan; sedangkan pembelajar yang tak tergantung
pada lapangan (field independent) memiliki lebih banyak kesempatan untuk
menganalisis kaidah-kaidah formal bahasa.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa gaya kognitif mana pun
berpotensi untuk menunjang proses pembelajaran bahasa asing. Perbedaannya
hanya terletak pada konteksnya. Dalam konteks pembelajaran secara alamiah,
gaya kognitif tergantung pada lapangan lebih berperan; dan dalam konteks
pembelajaran formal, gaya tak tergantung pada lapanganllah yang lebih berperan.

Kepribadian
Dalam kepustakaan pembelajaran bahasa asing, kepribadian dipandang
sebagai salah satu faktor yan berpengaruh pula. Kepribadian merujuk pada sifat
ekstrover dan introver. Pembelajar yang berkepribadian ekstrover memiliki
karakteristik pandai bergaul, berani mengawali interaksi, terbuka dan terus terang,
dan suka bekerja secara berkelompok; sedangkan pembelajar yang berkepribadian
introver memiliki sifat-sifat sebaliknya.
Istilah ekstrover dan introver ini sebenarnya merupakan label konseptual
yang diberikan pada dua kutub kepribadian yang saling berlawanan. Seorang
pembelajar tidak harus berada pada salah satu kutub, melainkan biasanya berada
pada suatu kontinum antara ekstrovert dan introvert. Ada pembelajar yang lebih
dekat pada kutub ekstrovert, dan ada pula yang lebih cenderung pada kutub
introvert.
Sebuah mitos kuno menyebutkan bahwa pembelajar yang lebih dekat pada
kutub ekstrovert dapat menguasai bahasa dengan lebih cepat dibandingkan
dengan mereka yang berkepribadian introversi. Akan tetapi berdasarkan
pembuktian yang dilakukan oleh Naiman dkk. Dalam Ellis (1986: 122), misalnya,
ternyata ditemukan tidak adanya korelasi yang signifikan antara skor skala
ekstrovert/introvert dengan skala skor pada kemampuan menyimak. Demikian
pula Swain dan Burnaby dalam Ellis (1986) yang juga tidak menemukan adanya
hubungan antara ekstrovert/introvert dengan keberhasilan menguasai bahasa
asing. Temuan serupa dikemukakan pula oleh Carrel dkk (1996: 75-99)yang
melakukan penelitian tentang pengaruh ektrover/introver pada penguasaan bahasa
inggris oleh pembelajar di Indonesia.
Namun demikian ada pula penelitian dan pendapat yang mendukung mitos
tersebut. Rossier, misalnya, sebagaimana dikutip oleh Ellis (1986: 122)
menemukan bahwa kemampuan berbahasa lisan berkolerasi secara signifikan
dengan ekstrovert/introvert.
Sementara Schumann dan Ellis mengklasifikasikam faktor-faktor dalam
pembelajaran bahasa asing ke dalam beberapa jenis yang cenderung sangat
spesifik, Spolsky tidak. Ia hanya menyebutkan empat macam faktor , yaitu
penegetahuan awal, kemampuan, motivasi, dan kesempatan yang dimiliki oleh
pembelajar. Berdasarkan pendapat itu, ia mengemukakan formula sebagai berikut:
Kf = Kp + A + M + O. “Kf” adalah symbol dari pengetahuan atau keterampilan
berbahasa yang akan dicapai (future knowledge or skill); “Kp” symbol
pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada saat ini (present knowledge or
skill); “A” adalah kemampuan fisiologis, biologis,intelektual, maupun kognitif
(aptitudes); “M” adalah motivasi (motivation); dan “O” adalah kesempatan
(opportunity). Dengan rumus tersebut berarti Spolsky (1989: 15) memprediksi
bahwa keberhasilan mempelajari bahasa asing tergantung pada empat faktor
tersebut.
Dengan demikian, secara singkat dapat disimpulkan bahwa ada tiga
macam klasifikasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pembelajaran bahsa asing. Pertama adalah klasifikasi menurut Schumann, kedua
menurut Ellis, dan ketiga menurut Spolsky. Ketiga klasifikasi itu dapat disajikan
melalui Tabel 2 sebagai berikut:

Jenis Klasifikasi Jenis Faktor


Schumann (1978) Faktor-faktor sosial, afektif, kepribadian,
kognitif, biologis kemampuan, personal,
masukan, dan pengajaran.
Ellis (1986) Faktor Personal: dinamika kelompok, sikap
terhadap guru, dan sikap terhadap materi
pelajaran.
Faktor Umum: usia, bakat, gaya kognitif,
motivasi, dan kepribadian.
Spolsky (1989) Faktor-faktor pengetahuan awal, kemampuan,
motivasi, dan kesempatan.

Apabila dicermati, baik Spolsky, Ellis, maupun Schumann sebenarnya


menyebutkan faktor-Faktoryang sama. Perbedaan diantara mereka hanya terletak
pada sifat pernyataan masing-masing. Spolsky mengemukakannya dengan
pernyataan yang bersifat umum dan sederhana; Ellis sedikit lebih spesifik; dan
Schumann lebih spesifik lagi.

Faktor Motivasi
Hakikat Motivasi
Motivasi dapat didefinisikan sebagai suasana batin yang mendorong
pembelajar untuk melakukan aktivitas belajar. Batasan ini dibuat berdasarkan dua
pendapat yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Pertama adalah pendapat
Steers dan Porter (1991) yang menyebutkan bahwa motivasi berkaitan dengan
“what enegizes human behavior. Dari pendapat ini secara jelas terkandung makna
bahwa motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang melakukan aktivitas.
Kedua, pendapat Brown (1987) yang menyebutkan motivasi adalah “an inner
drive, impulse, emotion, or desire that moves one to a particular action.”
Motivasi acapkali diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Gardner dan
Lambert mengklasifikasikannya dalam dua jenis: motivasi instrumental dan
motivasi integrative. Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa asing,
motivasi instrumental adalah dorongan untuk menguasai bahasa asing sebagai
upaya mencapai sasaran-sasaran tertentu, misalnya untuk memperoleh pekerjaan.
Sebaliknya, motivasi integratif adalah dorongan untuk menguasai bahasa asing
sebgai upaya agar pembelajar dapat masuk ke dalam budaya pemakai bahasa
asing itu (Gardner dan Lambert, 1972: 3).
Lebih lanjut Graham dalam Brown (1987: 117) membagi lagi motivasi ke
dalam dua jenis yang sedikit berbeda: motivasi integratif dan motivasi
asimilatif. Motivasi integratif adalah keinginan pembelajar bahasa mempelajari
bahasa asing agar dapat berkomunikasi dengan para anggota kelompok budaya
bahasa tersebut. Motivasi asimilatif adalah dorongan pembelajar untuk
mempelajari bahasa asing dengan maksud agar dapat menjadi penutur yang sama
dengan penutur asli bahasa tersebut.
Ada pula klasifikasi motivasi yang dikemukakan Bailey (1986). Ia
menyebutkan bahwa motivasi integratif dan motivasi instrumental masing-masing
dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu motivasi intrinsic dan motivasi
ekstrinsik. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan asal munculnya motivasi itu: dari
dalam diri sendiri atau dari orang lain. Bila motivasi itu muncul dari dalam diri
sendiri, maka itu disebut motivasi intrinsik; sebaliknya, bila muncul dari orang
lain, maka motivasi itu disebut motivasi ekstrinsik. Dengan demikian, Bailey
mengklasifikasikan motivasi ke dalam empat jenis: motivasi integratif intrinsic,
motivasi integratif ektrinsik, motivasi instrumental intrinsic, dan motivasi
instrumental ekstrinsik. Secara tabular, klasifikasi motivasi tersebut dapat
diilustrasikan melalu Tabel 1 seperti berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Motivasi oleh Para Ahli

Nama Ahli Jenis-jenis Motivasi Pengertian


Gardner dan Lambert Instrumental Dorongan belajar sebagai upaya
(1972) mencapai sasaran-sasaran tertentu
Integratif Dorongan belajar sebagai upaya masuk
atau berintegrasi dengan budaya penutur
asli
Graham Instrumental Sama dengan pengertian Gardner dan
(1984) Lambert
Integratif Dorongan belajar agar dapat
berkomunikasi dengan penutur asli
Asimilatif Dorongan belajar agar dapat berintegrasi
dengan budaya penutur asli
Bailey Integratif Intrinsik Motivasi integratif yang muncul dari
(1986) dalam diri pembelajar
Integrative Ekstrinsik Motivasi integratif yang muncul karena
dorongan orang lain
Instrumental Intrinsik Motivasi instrumental yang muncul dari
dalam diri pembelajar
Instrumental Ekstrinsik Motivasi instrumental yang muncul
karena dorongan orang lain

Peranan Motivasi
Dalam teori pembelajaran bahasa asing, secara umum motivasi dipandang
memiliki peran yang sangat penting. Para ahli dalam bidang pengajaran bahasa
asing, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, pada umumnya setuju
dengan pernyataan ini. Sebagai contoh adalah Sadtono (1996), Dardjowidjojo
(1997), dan Renandya (1997). Tanpa mengesampingkan faktor-faktor lain,
mereka setuju bahwa keberhasilan atau kegagalan pembelajaran bahasa asing
sering ditentukan oleh seberapa jauh seseorang memiliki motivasi untuk
menguasai bahasa asing tersebut.
Para ahli dari luar negeri juga demikian. Brown (1987), misalnya,
menyebutkan bahwa motivasi merupakan istilah yang paling banyak digunakan
(the most catch-all term) untuk menjelaskan keberhasilan atau kegagalan
seseorang dalam melakukan tugas yang sangat kompleks. Dalam pembelajaran
bahasa asing, seseorang pembelajar akan berhasil apabila ia memiliki motivasi
yang cukup untuk menguasai bahasa asing yang dipelajarinya.
Pandapat Brown tersebut juga didukung oleh pendapat Spolsky (1989:
148-166) yang menyebutkan bahwa semakin besar motivasi seseorang
pembelajar, semakin banyak waktu yang ia pergunakan untuk mempelajari bahasa
asing; dan seterusnya, semakin banyak kesempatan, semakin banyak pula yang
dipelajari.
Namun demikian, secara lebih spesifik ada beberapa argument yang
berbeda mengenai jenis motivasi mana yang lebih berperan dalam menunjang
keberhasilan pembelajaran bahasa asing. Dalam paparan selanjutnya Brown
menyebutkan beberapa penelitian, antara lain beberapa penelitian Lambert dan
penelitian Spolsky yang menemukan bahwa motivasi integratif secara umum
berpengaruh positif terhadap pembelajaran bahasa asing. Karena itu, mereka
menyimpulkan bahwa motivasi integratif merupakan faktor penting dalam
pembelajaran bahasa asing.
Sebaliknya, ada pula temuan yang berbeda. Dari sebuah penelitian,
Lukmani dalam Brown (1987: 116) menemukan bahwa motivasi instrumentallah
yang berpengaruh positif terhadap pembelajaran bahasa. Karena itu, disimpulkan
pula bahwa jenis motivasi yang menjadi faktor penting dalam pembelajaran
bahasa adalah motivasi instrumental. Pendapat ini diperkuat oleh Braj Kachru
dalam Brown (1987: 116) yang berargumen bahwa dalam negara-negara dunia
ketiga, dimana Bahasa Inggris dipergunakan sebagai bahasa internasional,
keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris hanya dapat dicapai dengan bekal
motivasi instrumental.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul temuan-temuan yang tidak
perlu dipertentangkan dengan pendapat yang mengedepankan motivasi integratif.
Temuan-temuan itu pada intinya berkesimpulan bahwa dalam konteks-konteks
tertentu, motivasi integratif lebih penting dibandingkan motivasi instrumental;
namun dalam konteks lain terjadi sebaliknya: motivasi integratif lebih penting
ketimbang motivasi instrumental. Temuan itu juga menyimpulkan bahwa dua
jenis motivasi tersebut saling mengisi. Pembelajaran bahasa asing tidak hanya
ditunjang oleh salah satu dari keduanya. Sebagai contoh adalah kasus pembelajar
Bahasa Inggris orang Arab yang menimba ilmu di Amerika Serikat. Mereka
mungkin belajar Bahasa Inggris atas dasar kedua macam motivasi tadi, yaitu
untuk keperluan akademis dan keperluan membaur dengan budaya orang-orang
Amerika. Dengan kata lain, mereka belajar bahasa Inggris atas dorongan motivasi
instrumental meupun motivasi integratif.
Gardner sendiri yang sebelumnya bersama-sama dengan Lambert
menemukan bahwa motivasi integratif itu lebih penting dibandingkan dengan
motivasi instrumental (Gardner dan Lambert, 1972), dalam penelitian terbarunya
bersama McIntyre menemukan bukti bahwa motivasi instrumental tidak kalah
penting dari motivasi integratif. Keduanya tidak bisa lagi dibedakan berdasarkan
mana yang lebih penting oleh karena kedua-duanya sama-sama penting (Brown,
1995: 206-225).

Faktor Strategi Belajar Bahasa


Faktor strategi belajar bahasa (disingkat: SBB) telah banyak memperoleh
perhatian dari para peneliti. Cukup banyak buku dan artikel mengenai
permasalahan ini yang dapat dijumpai di perpustakaan. Beberapa di antaranya
adalah buku karya O’Maley dan Chamot (1990) dan karya Brown (1994) yang
dalam salah satu babnya membahas masalah SBB. Selain buku, ada sejumlah
artikel mengenai hal tersebut, antara lain tulisan Oxford dan Crookall (1989: 404-
419), tulisan Green dan Oxford (1995: 261-297); dan tulisan Oxford dan Nyikos
(1989: 291-300).
Dari kepustakaan-kepustakaan tersebut diperoleh beberapa macam definisi
mengenai SBB. Oxford dan Nyikos menyebutkan bahwa strategi belajar adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pembelajar dalam memperoleh,
menyimpan, dan mengolah informasi. Definisi serupa dikemukakan lagi dalam
tulisan Oxport bersama Crookall. Strategi mengacu pada tekhnik, perilaku, atau
kegiatan belajar.
Di samping definisi-definisi tersebut, ada pula definisi yang dikemukakan
oleh Brown (1994). Ia menyebutkan bahwa strategi belajar adalah metode-metode
khusus dalam mendekati masalah atau tugas, atau tindakan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan, atau rancangan-rancangan yang direncanakan untuk mengontrol
dan memanipulasi informasi tertentu. Ada pula definisi yang dibuat oleh
O’malley dan Chamot (1990). Mereka menyebutkan bahwa strategi belajar adalah
“ide-ide atau perilaku khusus yang dilakukan oleh individu dalam memahami,
mempelajari, atau menyimpan informasi.”
Apabila disimak, definisi-definisi tersebut sebenarnya masih bersifat
umum. Artinya, definisi-definisi itu dapat pula diterapkan pada strategi belajar
pada umumnya, bukan khusus pada SBB. Karena itulah, dalam karya selanjutnya
Oxford merasa perlu untuk merevisinya. Dalam tulisannya yang lain bersama
Green, mereka membuat definisi yang lebih spesifik dengan menyebutkan bahwa
SBB adalah tindakan-tindakan khusus yang dipergunakan oleh pembelajar,
biasanya secara sengaja, untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan
berbahasa asing (Green dan Oxford, 1995).
Selanjutnya, melalui berbagai macam penelitian para ahli telah
menginventarisasi sejumlah tindakan yang dikategorikan ke dalam SBB. Oleh
para ahli, tindakan-tindakan itu diklasifikasikan secara berbeda-beda dalam
beberapa jenis. Berikut ini diuraikan beberapa macam klasifikasi SBB.

Klasifikasi Rubin
Rubin (1981: 124-125) mengklasifikasikan SBB ke dalam dua jenis berdasarkan
sifat kontribusinya terhadap pembelajaran bahasa asing, yaitu SBB yang secara
langsung dan SBB yang secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap
pembelajaran bahasa. Jenis pertama meliputi aktivitas bertanya untuk keperluan
klarifikasi, melakukan koreksi, memorisasi, menebak, menyimpulkan,
membandingkan bahasa lain dengan bahasa sasaran, dan melakukan praktek
pengunaan bahasa. Jenis kedua meliputi upaya-upaya menciptakan kesempatan
melakukan praktek penggunaan bahasa. Jenis kedua meliputi upaya-upaya
menciptakan kesempatan melakukan praktek.

Klasifikasi Naiman dkk


Naiman dkk (1978) membagi SBB dalam lima jenis. Pertama, pendekatan
tugas aktif (active task approach). Yang termasuk jenis ini adalah merespon
secara positif terhadap kesempatan belajar, melakukan aktivitas belajar tambahan
di luar kelas (Misal: membaca buku-buku lain yang berkaitan dengan pelajaran
sekolah, mendengarkan kaset, dll.), dan melakukan praktek berbahasa (missal:
menirukan bentuk mulut penutur asli ketika berbahasa).
Kedua, menyadari bahasa sebagai system. Yang termasuk dalam jenis ini
adalah perilaku menganalisis masalah-masalah individual dengan cara, misalnya
membaca keras sendiri untuk mendengarkan bunyi-bunyi; membuat perbandingan
antara bahasa pertama dan bahasa sasaran, menganalisis bahasa sasaran untuk
menarik kesimpulan, dan memanfaatkan fakta bahwa bahasa itu merupakan suatu
system.
Ketiga, menyadari bahasa sebagai alat komunikasi. Yang termasuk dalam
jenis ini adalah skap lbih menekankan pada kefasihan (fluency) daripada
ketepatan (accuracy). Ini dimunculkan melalui perilaku, misalnya, tidak takut
dalam berbicara. Selain itu, jenis SBB ini juga mencakup upaya memperoleh
situasi komunikasi dengan penutur bahasa sasaran. Ini muncul melalui perilaku
komunikasi dalam bahasa sasaran selama memungkinkan, menjalan kontak
pribadi yang akrab dengan penutur bahasa sasaran, dan melakukan korespondensi
dengan sahabat pena dalam bahasa sasaran.
Jenis SBB yang keempat adalah manajemen tuntutan afektif. Jenis ini
meliputi perilaku mengatasi hambatan dalam berbicara, tidak malu membuat
kesalahan, dan siap menghadapi kesulitan.
Terakhir, jenis kelima adalah memonitor kinerja bahasa sasaran. Jenis ini meliputi
perilaku merevisi secara spontan perilaku berbahasa sasaran dengan cara menarik
kesimpulan serta mengujinya dengan bertanya pada penutur asli bahasa sasaran.

Klasifikasi O’Malley dan Chamot


O’Malley dan Chamot (1990: 197) membagi SBB ke dalam tiga jenis:
strategi metakognitif, strategi kognitif, dan strategi social/afektif. Strategi
metakognitif meliputi aktivitas memperhatikan secara selektif (misal:
memperhatikan pada aspek-aspek bahasa tertentu seperti kata-kata atau frasa-
frasa kunci), aktivitas merencanakan (missal: merencanakan organisasi wacana
lisan atau tulisan), aktivitas memonitor, dan aktivitas mengevaluasi (misal:
mengecek kembali pemahaman setelah membaca atau menyimak suatu wacana).
Strategi kognitif meliputi aktivitas pengulangan, pengelompokkan, penyimpulan,
peringkasan, penerapan, pemanfaatan gambar-gambar untuk memahami makna,
dan pemanfaatan pengetahuan kebahasaan. Dan, strategi social/afektif meliputi
aktivitas bekerjasama, bertanya untuk klarifikasi, dan penguatan diri.

Klasifikasi Oxford dan Crookall


Oxford sendiri pada mulanya membagi SBB menjadi tujuh jenis: strategi
kognitif, strategi memori, strategi kompensasi, strategi komunikasi, strategi
metakognitif, strategi afektif, dan strategi social. Akan tetapi, dalam karya
selanjutnya bersama Crookall (Oxford dan Crookall, 1989: 404), mereka
menyederhanakan klasifikasi tersebut menjadi enam jenis, di mana strategi
komunikasi dimasukkan ke dalam strategi kompensasi. Karena itu, berikut hanya
diuraikan keenam jenis SBB tersebut, yaitu:
a) Strategi kognitif: meliputi perilaku-perilaku yang melibatkan manipulasi
atau transformasi bahasa secara langsung, misalnya, melalui penalaran,
analisis, menyimak, dan praktek-praktek fungsional dalam latar alamiah.
b) Strategi memori: meliputi tekhnik-tekhnik yang secara khusus diciptakan
untuk membantu pembelajar dalam menyerap informasi baru.
c) Strategi kompensasi: meliputi perilaku yang ditujukan untuk
mengkompensasi penegetahuan yang lepas, seperti menyimpulkan atau
menebak melalui konteks ketika menyimak atau membaca, atau
menggunakan sinonim-sinonim ketika berbicara atau menulis.
d) Strategi metakognitif, yaitu perilaku yang berkenaan dengan pengaturan,
pemusatan, perencanaan, dan pengevaluasian belajar.
e) Strategi afektif: meliputi tekhnik-tekhnik pengaturan dan penguatan diri.
Ini bermanfaat untuk membantu pembelajar dalam mengontrol emosi,
sikap, dan motivasi belajar bahasa.
f) Strategi sosial/afektif: meliputi perilaku yang melibatkan orang lain dalam
proses pembelajaran bahasa. Contohnya adalah bertanya dan bekerjasama
dengan pasangan atau kelompok.

Itulah beberapa klasifikasi SBB yang dikemukakan oleh para ahli. Agar lebih
mudah dibaca, klasifikasi-klasifikasi tersebut dirangkum dalam Tabel 3 berikut
ini.
Table 3. Klasifikasi Strategi Belajar Bahasa menrut Para Ahli

Nama Ahli Jenis-jenis SBB


Rubin (1981) 1. SBB yang secara langsung memberikan kontribusi: bertanya
untuk klarifikasi, melakukan koreksi memorisasi, menebak,
menyimpulkan, membuat perbandingan, praktek menggunakan
bahsa sasaran.
2. SBB yang secara tidak langsung memberikan kontribusi:
menciptakan kesempatan untuk praktek berbahasa,
memanfaatkan konteks untuk mengklarifikasi makna bahasa.
Naiman dkk (1978) 1. Pendekatan tugas aktif: merespon positif terhadap kesempatan
belajar, melakukan aktivitas belajar tambahan di luar kelas,
melakukan praktek berbahasa.
2. Menyadari bahasa sebagai system: menganalisis masalah-
masalah individual, membuat perbandingan, menganalisis bahasa
sasaran untuk menarik kesimpulan, memanfaatkan fakta bahasa
sebagai system.
3. Menyadari bahasa ebagai alat komunikasi: komunikasi dengan
penutur asli, menjalin kontak akrab dengan penutur asli,
korespondensi dengan penutur asli.
4. Manajemen tuntutan afektif: mengatasi hambatan dalam
berbicara, tak takut membuat kesalahan, siap menghadapi
kesulitan.
5. Memonitor kinerja bahasa sasaran: merevisi perilaku berbahasa
sasaran dengan menarik kesimpulan dan mengujinya dengan
bertanya pada penutur asli.
O’Malley dan 1. Strategi metakognitif: memperhatikan secara selektif pada aspek-
Chamot (1990) aspek bahasa tertentu, merencanakan organisasi wacana,
memonitor, dan mengevaluasi.
2. Strategi kognitif: mengulangi, mengelompokkan, menyimpulkan,
meringkas, menerapkan, dan memanfaatkan pengetahuan
kebahasaan.
3. Strategi social/afektif: bekerjasama, bertanya untuk klarifikasi,
dan menguatkan diri.
Oxford dan Crookall 1. Strategi kognitif: memanipulasi atau mentransformasi bahasa
(1994) secara langsung melalui penalaran, analisis, menyimak, dan
praktek fungsional.
2. Strategi memori: perilaku khusus untuk membantu pembelajar
dalam menyerap informasi.
3. Strategi kompensasi: menyimpulkan, menebak, menyimak, atau
membaca melalui konteks; menggunakan sinonim ketika
berbicara atau menulis.
4. Strategi metakognitif: mengatur, berkonsentrasi, merencanakan,
dan mengevaluasi belajar.
5. Strategi afektif: mengatur dan menguatkan diri untuk mengontrol
emosi, sikap, dan motivasi belajar.
6. Strategi social/afektif: bertanya dan bekerjasama dengan
pasangan atau kelompok.

Dari uraian tentang beberapa macam klasifikasi SBB tersebut, terdapat dua
benang merah yang dapat ditarik. Pertama, ada klasifikasi yang dibuat
berdasarkan sifat kontribusinya terhadap pembelajaran bahasa asing. Klasifikasi
ini dilakukan oleh Rubin (1981), dimana ia menyebutkan adanya dua macam SBB
yang memiliki sifat kontribusi berbeda. Ada SBB yang memberikan kontribusi
secara langsung dan ada yang secara tidak langsung. Kedua, sebagian yang lain
membuat klasifikasi berdasarkan bentuk tindakan yang dilakukan oleh
pembelajar. Ini dilakukan oleh Naiman dkk (1978), O’Malley dan Chamot
(1990), dan Oxford dan Crookall (1989).

Penelitian GLL di Indonesia


Sadtono (1996) melakukan penyelidikan terhadap proses pembelajaran
bahasa Inggris yang terjadi pada tiga orang dosen Bahasa Inggris yang sedang
mengikuti program pasca sarjana pada IKIP Malang (kini Universitas Negeri
Malang). Dua dari subjek tersebut dapat dikategorikan GLL. Dari penyelidikan
terhadap dua GLL itu diperoleh kisah yang berbeda, namun memiliki sedikit
kesamaan.
Yang pertama, Joe Paijo (nama samaran), mulai belajar bahasa Inggris
ketika di SMP di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Setelah tamat SMP, ia
melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Selama sekolah di SMP dan
SPG itu Paijo tidak pernah belajar bahasa Inggris secara serius. Baru ketika ia
berhasil masuk Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada sebuah IKIP, ia mulai
secara serius mempelajarinya.
Dalam mengembangkan kemampuan berbicara, Paijo bersama tiga rekan
sekelasnya membentuk kelompok belajar. Kelompok ini mengadakan pertemuan
tiga kali seminggu dengan tujuan melakukan praktek berbahasa Inggris. Bahkan,
untuk menunjang kegiatan tersebut, mereka bertiga menyewa sebuah rumah dan
tinggal bersama-sama. Dengan cara demikian, mereka dapat secara lebih intensif
melakukan praktek berbahasa Inggris bersama.
Selain itu, Paijo juga berusaha praktek berbahasa Inggris dengan penutur
asli. Untuk itu, ia pergi ke tempat-tempat wisata di mana ia dapat menjumpai turis
asing penutur asli bahasa Inggris.
Usaha lain yang ia lakukan adalah bertanya atau meminta kepada dosen
untuk menjelaskan kembali apa yang ia belum mengerti. Ia melakukannya dengan
rasa bebas tanpa merasa takut berbuat kesalahan.
Dalam meningkatkan kemampuan membaca, Paijo membaca ceritera-
ceritera pendek sederhana yang telah ia kenal alur ceriteranya. Dengan cara
demikian, ia tinggal berkonsentrasi pada bahasanya. Ketika menemui kata-kata
yang sulit, ia membuka kamus, mencatatnya dalam buku, menempelkannya pada
tembok, dan berusaha keras untuk menghafal kata-kata itu. Ia lebih senang
menggunakan kamus monolingual (Inggris-Inggris) dibandingkan dengan kamus
bilingual, karena dengan kamus itu ia merasa memperoleh manfaat dari
penjelasan yang dinyatakan dalam bahasa Inggris.
Untuk meningkatkan kemampuan menyimak, Paijo memanfaatkan kaset-
kaset pelajaran Bahasa Inggris. Selain itu, ia juga kerap mendengarkan siaran
radio berbahasa Inggris.
Kesimpulan yang ditarik dari ceritera tersebut adalah bahwa Paijo, dalam
meraih keberhasilannya menguasai bahasa Inggris, ditunjang oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor itu meliputi bakat bahasa, sikap pro-aktif, sikap mandiri, dan
sikap tidak takut berbuat kesalahan.
Yang kedua, Harry Paimin (juga nama samaran), juga mulai serius belajar
bahasa Ingggris ketika di perguruan tinggi, yakni di Jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris sebuah IKIP. Sebelumnya, ia tak lebih hanya sekedar mengikuti pelajaran
Bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib di SMP dan SMA.
Paimin merupakan tipe pembelajar yang memiliki ingatan kuat.
Keberhasilannya mempelajari bahasa Inggris diakui diperolehnya melalui guru
dan penggunaan metode audiolingual. Selain itu, keberhasilannya ditunjang pula
oleh beberapa teknik belajar yang meliputi usaha merekam suara sendiri,
menirukan suara penutur asli dan eksperesi guru, membaca keras, dan melakukan
praktek monolog seolah-olah sedang berbicara dengan orang lain.
Kesimpulan yang ditarik dari kisah Paimin ini adalah bahwa
kemampuannya dalam berbahasa Inggris dipengaruhi oleh faktor intelegensi,
motivasi instrumental, sikap proaktif, sikap mandiri, disiplin yang tinggi, dan
guru yang baik.
Dari dua kisah keberhasilan itu terdapat perbedaan dan persamaan.
Perbedannya terletak pada teknik-teknik belajar yang digunakan; sedangkan
persamaanya terletak pada sebagian karakteristik mereka di mana keduanya sama-
sama memiliki motivasi yang tinggi, sikap pro-aktif, dan sikap mandiri.
Peneliti lain adalah Weda (2005) yang mengkaji strategi-strategi belajar
yang dipergunakan oleh pembelajar bahasa Ingris yang berhasil di SMA 9
Makassar. Dengan menggunakan SILL (Strategy Inventory for Language
Learning) ia melakukan penyebaran kuesionair kepada sejumlah siswa sampel.
Weda selanjutnya menyimpulkan bahwa pembelajar Bahasa Inggris yang berhasil
cenderung menggunakan Attend to Meaning dan Monitor Speech sebagai strategi
belajar mereka.
Saya sendiri pernah mencoba mengkaji lebih mendalam tentang sosok
pembelajar Bahasa Inggris yang berhasil (Haryanto, 1999) pada satu orang siswa
SMA yang memiliki kemampuan berbahasa Inggris amat menonjol. Siswa
tersebut bernama Indra, seorang siswa kelas II SMA. Dengan menggunakan
metode grounded theory yang didominasi oleh teknik pengamatan, wawancara,
dan analisis dokumen, ditemukan bahwa keberhasilan belajar bahasa Inggris Indra
ditentukan oleh dua faktor inti---motivasi dan strategi belajar. Disamping itu,
ditemukan pula faktor-faktor lain yang bersifat periferal yakni sikap, intelegensi,
peranan orang tua, desain materi pelajaran, kondisi lingkungan sekolah, dan
kebijakan sekolah. Faktor-faktor tersebut bermain secara bersama-sama dan
berkaitan satu dengan yang lain untuk mengarah pada keberhasilan belajar.
Menyangkut faktor motivasi, hasil penelitian tersebut memperkuat teori
yang menyebutkan bahwa motivasi merupakan faktor kunci dalam keberhasilan
melakukan tugas yang kompleks. Brown (1987) menyebutkan bahwa “motivation
is the most catch-all term in explaining the success or the failure of virtually any
complex task…” Oleh karena itu, saya kira tak perlu diragukan kebenaran
pepatah yang menyebutkan, “Where there is a will, there is a way.” Dengan
motivasi kuat, muncul berbagai macam tindakan belajar yang pada akhirnya
mengarah pada keberhasilan mempelajari bahasa Inggris.
Isu lain yang lebih penting menyangkut faktor motivasi adalah yang
berkaitan dengan jenis motivasi mana yang berpengaruh positif, serta bagaimana
cara menumbuhkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi belajar itu sendiri.
Dari kasus Indra tampak bahwa motivasi subjek dalam belajar bahasa Inggris
didasari atas keinginannya menguasai bahasa tersebut sebagai alat komunikasi
agar kelak ia tidak mengalami kesulitan dalam membaca buku maupun
berkomunikasi secara lisan dengan orang asing. Jadi, orientasinya bukan atas
dasar keinginannya masuk ke dalam budaya penutur asli bahasa Inggris. Oleh
karena itu, berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa motivasi
instrumentallah yang lebih berperan dalam mengantar keberhasilan subjek
menguasai bahasa Inggris ketimbang motivasi integratif.
Motivasi instrumental tersebut ternyata tidak semata-mata muncul dari
dalam diri subjek, akan tetapi juga oleh karena pengaruh beberapa faktor yang
berada di luar diri subjek, terutama faktor guru. Oleh karena itu dari kasus
tersebut tidak bijak melakukan dikotomi motivasi kedalam jenis motivasi intrinsik
dan ekstrinsik. Pada kesimpulannya dapat disebutkan bahwa motivasi yang
berperan dalam mengantar keberhasilan subjek adalah motivasi instrumental yang
ternyata bersifat intrinsik-ekstrinsik. Pernyataan ini ternyata sejalan dengan
pendapat Ellis (2003: 76) yang menyebutkan bahwa motivasi jelas merupakan
fenomena yang amat kompleks, dan jenis-jenis motivasi yang ada harus
dipandang sebagai suatu yang saling melengkapi, bukan sebagai suatu yang
berbeda dan dipertentangkan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan faktor
kunci dalam menentukan keberhasilan mempelajari bahasa asing. Dengan
motivasi tinggi, pembelajar dapat memanfaatkan setiap kesempatan dan setiap
fasilitas untuk meningkatkan kemampuannya dalam bahasa asing. Dalam konteks
Indonesia, sekolah belum dapat dijadikan sebagai andalan dalam
mengembangkan keterampilan bahasa Inggris. Pembelajar lebih dituntut
melakukan usaha ekstra dalam bentuk belajar secara autodidak menggunakan
buku-buku atau kaset pelajaran bahasa Ingris.

Implikasi Praktis
Disini perlu disadari oleh guru maupun orang tua perlunya menyediakan
fasilitas-fasilitas belajar yang diminati oleh anak. Guru atau orang tua tidak dapat
memaksakan anak menggunakan fasilitas belajar tertentu, namun harus
disesuaikan dengan minat anak. Kita perlu menyadari bahwa terdapat beberapa
tipe pembelajar yang berhasil, sehingga perlu memberi kebebasan kepada anak
dalam melakukan kegiatan belajar maupun menggunakan fasilitas belajar sesuai
dengan tipe anak itu sendiri.
Mungkin anak kita tekun belajar melalui buku-buku dan kaset sambil
mengurung diri dalam kamar. Itu merupakan tenik belajar yang sesuai dengan
tipenya, dan kita biasanya menganggapnya tidak menjadi masalah. Akan tetapi,
mungkin pula anak kita selalu keluar rumah bergaul dengan teman-temannya atau
bahkan dengan penutur asing. Ini juga merupakan teknik belajar yang harus pula
dimengerti, karena memang ada tipe pembelajar yang cenderung field-dependent,
bergantung pada kondisi diluar dirinya. Anak dengan tipe seperti ini tidak perlu
dipaksa untuk belajar dengan buku-buku dalam kamar atau perpustakaan. Biarlah
mereka bergaul selama pergaulan itu untuk meningkatkan keerampilan-
keterampilan positif, dan dalam batas waktu-waktu yang wajar serta tidak
meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam melaksanakan kegiatan keagamaan.
Guru bahasa asing juga perlu memahami karakteristik peserta didiknya.
Oleh karena tipe pembelajar berbeda-beda, guru perlu menggunakan variasi
metode mengajar yang berbeda-beda pula agar semua pembelajar dapat
memperoleh pelayanan yang sesuai selera. Caterall dalam Griffith dkk (2008:
110-119) bahkan menyarankan kepada guru bahasa asing agar menyadari
heterogenitas pembelajar baik dalam aspek motivasi, strategi belajar, gaya belajar,
maupun tujuan-tujuan yang ingin mereka capai.

Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan para hadirin yang saya muliakan.

Demikianlah pidato ini saya sajikan. Sudah pasti dalam pidato tersebut terdapat
kekurangan-kekurangan, akan tetapi saya berharap bahwa isi pidato tersebut dapat
memberikan kontribusi positif bagi praksis pengajaran bahasa asing, khusunya
bahasa Inggris buat anak-anak didik kita.
Selanjutnya, ijinkan saya menyampaikan penghargaan kepada individu-
individu yang telah berjasa kepada saya dalam menapaki kehidupan sehingga
mencapai Guru Besar seperti sekarang ini.
Pertama, saya ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih setinggi-
tingginya kepada almarhum kedua orang tua saya, Bapak Soechemi
Atmowardoyo (wafat 1995 dalam usia 75 th) dan Ibunda tercinta Sri Jatoen
(wafat 2010 dalam usia 84 th). Beliau berdua adalah orang yang paling berjasa
dalam menafkahi, mengasuh, mendidik, serta mendoakan saya untuk menjadi
orang sukses di dunia dan di akhirat. Semoga jasa baik beliau berdua mendapat
imbalan yang lebih banyak dan lebih baik dari Alloh SWT.
Kedua, saya juga ingin menyampaikan penghargaan kepada kakak-kakak
saya Mas Haryono, Mba Haryati, Mba Hastuti, Mba Hartiningsih, dan Mba Sri
Puji Hartini (alm). Kakak-kakak saya ini juga amat berjasa dalam membantu
orang tua mengasuh dan membesarkan saya. Untuk itu saya ucapkan terima kasih,
matur mbahnuwun, atas segala bantuan dan jasa baik kaka-kakak. Semoga Alloh
SWT membalas budi baik tersebut dengan imbalan yang lebih baik.
Saya juga tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih saya kepada
saudara misan saya Drs. Troeno Sardjono dan Mba Ambarwati yang telah
membawa saya ke Ujung Pandang pada tahun 1980. Kepindahan itu menjadi
sebuah momen awal keberhasilaan saya dalam berkiprah sebagai mahasiswa
hingga menjadi dosen IKIP Ujung Pandang.
Selanjutnya, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
keluarga besar Bapak H. Husain Suaib (alm) pada umumnya, dan khususnya
kepada Hj. Fifi Jabal Nur, istri dan sekaligus guru spiritual saya yang selalu setia
mendampingi kemana pun saya pergi, serta mendoakan saya setiap saat. Peran dia
amat penting dalam mengantarkan saya meraih gelar Magister, Doktor, dan
Profesor.
Demikian pula kepada anak-anak saya Eka Putri (alm) yang ikut
membantu mengetik sebagian naskah pidato ini; Luki Ahmadi, yang ikut
mendesain naskah dan sampul pidato ini, serta Rojo Wicaksono, Putri Pangestu,
Ahmad Fauzan Azdima, Muhammad Sapta Kalingga, Anom Haryanto, dan Luna
Purbandani yang kadang memunculkan inspirasi bagi saya untuk bekerja keras
dalam meraih kehidupan yang lebih baik. Juga kepada Ahmad Satrio, cucu saya
yang amat saya cintai. Kepada anggota keluarga Sulaiman Abdul Karim, Amin
Wahyu Ningsih, Muhammad Wahyu Ramli, Jadi martono dan Ani Susilowati,
saya juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dan doa yang telah
dipanjatkan untuk saya.
Perjalanan karir saya untuk mencapai Guru Besar juga amat ditunjang
oleh lingkungan kerja. Oleh karena itu, perkenankan saya juga menyampaikan
rasa hormat dan terima kasih saya kepada Rektor Universitas Negeri Makassar
(Prof. Dr. Arismunandar, M.Pd.), Dekan FBS UNM Dr. Kisman Salija, M.Pd.,
Ketua Majelis Guru Besar, Senior, dan mantan Dekan FBS Prof. Dr. Muhammad
Amin Rasyid, M.A., Mantan Dekan FBS Prof. Dr. Mansur Akil, M.Pd., Ketua
Jurusan Bahasa Inggris Dr. Muliati, M.Pd., mantan Ketua Jurusan Drs. Ahmad
Talib, M.Pd., serta seluruh kolega saya di FBS UNM.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur PPs UNM Prof. Dr.
Jasruddin, M.Si, Asisten Direktur I Prof. Dr. Suradi Tahmir, M.Si., Asisten
Direktur II Prof. Dr. H. A. Heri Tahir, M.H., para Ketua Program Studi, serta para
kolega di PPs UNM yang juga telah turut menciptakan kondisi kondusif bagi
pengembangan karir akademik saya.
Last but not least, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kawan-
kawan kami di Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Majelis Ulama Indonesia,
Senkom Mitra Polri, dan Persinas ASAD atas dukungan moral dan doa yang
mereka panjatkan untuk saya. Juga kepada pihak-pihak lain yang tak dapat saya
sebutkan satu per satu, yang telah memberikan sumbangan moral dan material
kepada saya dalam meraih jabatan tertinggi dalam dunia akademik ini.
Sekian dan terima kasih. Apabila ada hal yang kurang berkenan, saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Jazaakumullohukhoeron. Wassalamualaikum
Wr Wb.
DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. Douglas, 1987. Principles of Language Learning and Teaching. New


Jersey: Prentice Hall
Brown, H. Douglas, 1994. Teaching by Principles. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice Hall Regents.
Carrel, Patricia L., Moneta S. Prince, dan Gusti G. Astika, 1996. “Personality
Types and Language Learning in an EFL Context”, Langage Learning No.
46:1, pp. 75-99.
Dardjowidjojo, Soenjono, 1986. “Dasar-dasar Neurofisiologis dalam Penguasaan
Bahasa” dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed.), Pusparagam Linguistik
& Pengajaran Bahasa, Jakarta: Penerbit Arcan, pp. 148-149
Dardjowidjojo, Soenjono, 1997. “English Policies and their Classroom Impact in
some Asean/Asian Countries.” Dalam M. Jacobs (ed), Language
Classrooms of Tomorrow: Issues and Responses, Singapore: SEAMEO
Regional Language Centre, pp. 36-54.
Ellis, Rod, 1986. Understanding Second Language Acquisition, Oxford: Oxford
University Press.
Ellis, Rod, 2003. Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Gardner, Robert C. dan Wallace E. Lambert, Attitudes and Motivation in Second
Language Learning, Rowley, Massachussets: Newbury House Publishers,
1972) p. 3.
Goleman, Daniel, 1997. Kecerdasan Emosional, alih bahasa oleh T. Hermaya
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, p. 58.
Green, John M. dan Rebecca Oxford, “A Closer Look at Learning Strategies, L2
Proficiency, and Gender”, TESOL Quarterly Vol. 29 No. 2 (1995) pp.
261-297.
Griffith, Carol (ed.), 2008. Lessons from Good Language Learners, Cambridge:
Cambridge University Press.
Gunarwan, Asim. 2000. “Globalisation and the Teaching of English in
Indonesia,” Language in the Global Context : Implications for the
Language Classroom (ed.) Kam, Ho Wah dan Ward, Christoper, 312-325.
Singapura: SEAMEO Regional Language Centre.
Hamied, Fuad Abdul, 1997. “EFL Program Surveys in Indonesian Schools”,
dalam George M. Jacob (ed.), Language Classrooms of Tomorrow: Issues
and Responses, Anthology Series 38, Singapore: SEAMEO RELC.
Haryanto, 1999. Motivasi dan Strategi Belajar pada Pembelajar Bahasa Inggris
yang Berhasil di SMA, Disertasi S3, Jakarta : IKIP Jakarta.
Hashim, Rosna Awang & Sharifah Azizah Sahil, 1994. “Examining Learners
Language Learning Strategies” dalam “RELC Journal Vol.25 No.2,.
Huda, Nuril 1990, A Survey of the Teaching of English in Secondary Schools in
Eight Provinces, “TEFLIN Journal : An EFL Journal in Indonesia, III, I.
Lenneberg, Eric H., 1967. Biological Foundations of Language, New York: John
Willey & Sons, p. 142.
Naiman Neil, Maria Fohlich, H.H. Stern & Angie Todesco, 1978. The Good
Language Learner, Research in Education Series 7, Toronto : Ontario
Institute for Studies in Education.
Naiman, N., Maria Frolich, dan H.H. Stern, 1978. “The Good Language Learner”,
Research in Education No. 7, Toronto: Ontario Institute for Education,
sebagaimana dikutip O’Malley dan Chamot, 1990, p. 5.
Neil Naiman, Maria Frolich, dan H.H. Stern, 1986. “The Good Language
Learner”, dalam Ellis, op. cit. p.122.
O’Malley, J. Michael dan Anna Uhl Chamot, 1990. Learning Strategies in Second
Language Acquisition, Cambridge: Cambridge University Press.
Oxford, Rebecca dan David Crookall, 1989. “Research on Language Learning
Strategies: Methods, Findings, and Instructional Issues”, The Modern
Language Journal Vol. 73 No. 4, pp. 404-419.
Oxford, Rebecca dan Martha Nyikos, 1989. “Variable Affecting Choice of
Language Learning Strategies by University Students”, The Modern
Language Journal Vol. 73 No. 3, pp. 291-300.
Reiss, Ann, 1985. “The Good Language Learner: Another Look.” Canadian
Modern Lamguage Review 41: 511 – 23.
Renandya, Willy A., 1997. “Motivasi Integratif dan Instrumental: Sejauh mana
Relevansinya dalam Pembelajaran Bahasa Inggris?” dalam PELLBA 10
(Yogyakarta: Kanisius, pp. 220.
Robert C. dan William E. Lambert, Attitudes and Motivation (Massachussets:
Newbury House Publishers, 1972), p. 132.
Robert C. Gardner dan Peter D. McIntyre, 1995. “An Instrmental Motivation in
Language Study: Who says It Isn’t Effective?”, dalam H. Douglas Brown
dan Susan T. Gonzo, Readings on Second Language Acquisition (New
Jersey: Prentice Hall Regents, pp. 206-225.
Rossier, R., 1986. “Extroversion-Introversion as a Significant Variabel in the
Learning of Oral English as a Second Language”, Disertasi Doktor,
University of Southern California.
Rubin, Joan, 1975. “What the ‘Good Language Learner Can Teach Us.” TESOL
Quarterly 9, pp: 41 – 51.
Rubin, Joan, 1981. “Study of Cognitive Processes in Second Language Learning”,
Applied Linguistics Vol. 11 No. 2, pp. 124-125.
Sadtono, E., 1986. “Wanted: Good Language Learners”, TEFLIN Journal Vol.
VIII No. 1.
Schumann, John H., 1978. Understanding Second and Foreign Language
Learning, Massachussets: Newbury House Publishers, Inc., pp. 163-178.
Snow, C dan Hofnagel Hohle, 1978. “The Critical Age for Language Acquisition”
sebagaimana dikutip oleh M.F. Baradja, 1994, “Memperkenalkan
Pemerolehan Bahasa Kedua”, Journal Pendidikan Humaniora dan Sains
No. 1, p.6.
Spolsky, Bernard, 1989. Conditions for Second Language Learning, Oxford:
Oxford University Press.
Steers, Richard M. dan Lyman W. Porter, Motivation and Work Behavior (New
York: McGraw-Hill, Inc., 1991) p.6.
Stern, H.H. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford : Oxford
University Press, 1983.
Stevick, Earl W., 1989. Success with Foreign Languages. Englewood Cliffs:
Prentice-Hall.
Swain, M. dan B. Burnaby, 1986. “Personality Characteristics and Second
Language Learning in Young Children”, dalam Ellis, 1986.
Weda, Sukardi (2005). “English Language Learning Strategies Employed by
Senior Secondary School Students”, Makalah disajikan pada KOLITA 3,
Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas katolik Atmajaya Jakarta.
CURRICULUM VITAE

Nama : Prof. Dr. Haryanto, M.Pd.


Tempat/tgl lahir : Purbalingga, 29 Oktober 1959
NIP : 131574642/19591029 198601 1 001
Pekerjaan tetap : Dosen Bahasa Inggris FBS Universitas Negeri Makassar
sejak 1986
Pangkat/Jabatan : Pembina Tk I/ Guru Besar
Golongan : IVc
Alamat : Gowa Lestari Blok C No. 12 Sungguminasa Gowa, 92111
Telpon Rumah : 0411 843894
No HP : 08124209433
E-mail : aharyanto_fbsunm@yahoo.co.id
Pendidikan :
 SD Negeri Galuh Purbalingga, lulus tahun 1971
 SMP Santo Borromeus Purbalingga, lulus tahun 1974
 SMA Negeri Purbalingga, lulus tahun 1977
 S1 Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Ujung Pandang, lulus tahun 1985
 S2 Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Malang, lulus tahun 1994
 S3 Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Jakarta, lulus tahun 1999
Pelatihan :
 Lokakarya Metode Penelitian Kualitatif, Pusat Antar Universtas - Ilmu-
ilmu Sosial Universitas Indonesia, Depok, 1990
 Manajemen Pengelelolaan Laboratorium, DIKTI, di Makassar, 2003.
 Academic Recharging Program, DIKTI, di Ohio State University,
Columbus, Ohio, USA pada September 2009 – Januari 2010.

Pengalaman Menduduki Jabatan:


1. Kepala Laboratorium Bahasa Inggris, 2000 – 2007.
2. Sekretaris Pusat Bahasa UNM, 2008.
3. Ketua Program Studi Kekhususan Pendidikan Bahasa Inggris S2 Pasca
Sarjana UNM 2009
4. Ketua program Studi Pendidikan Bahasa Inggris S2 dan S3 Pasca Sarjana
UNM 2010 - sekarang
Pengalaman Penelitian:
1. Grammatical Errors in Writing Made by the Students of English
Department FPBS IKIP Ujung Pandang, 1985
2. Korelasi antara Nilai Ebtanas Murni dan Prestasi Akademik Mahasiswa
Jurusan Bahasa Inggris FPBS IKIP Ujung Pandang, 1987
3. Korelasi antara Sikap dan Prestasi Akademik Mahasiswa Jurusan Bahasa
Inggris FPBS IKIP Ujung Pandang, 1988
4. Cohesion in Descriptive Writings made by the Students of English
Department FPBS IKIP Ujung Pandang, 1994
5. Motivasi dan Strategi Belajar pada Pembelajar Bahasa Inggris yang
Berhasil di SMA, 1999
6. Faktor-faktor dalam Pembelajaran Bahasa Inggris, 2002
7. Analisis Kesalahan Tata Bahasa pada Karangan Mahasiswa Jurusan
Bahasa Inggris FBS Universitas Negeri Makassar, 2007
8. Program pendidikan Gratis untuk Meningkatkan Mutu Layanan
Pendidikan Dasar 9 Tahun di Kota Makassar, 2009

Makalah
1. Laboratorium Bahasa dan Pemanfaatannya dalam Pengajaran Bahasa
Asing, disajikan pada Konferensi Internasional Linguistik Tahunan
Atmajaya (KOLITA) 3 di Jakarta, 2005
2. Grammatical Errors in Indonesian EFL Learners’ Writing, disajikan pada
Konferensi Internasional Linguistik Tahunan Atmajaya (KOLITA) ke 5 di
Jakarta, 2007
3. Communication Formats Compatible to Multimedia Language
Laboratory, disajikan pada International Seminar on Bilingual Education
di Makassar, 2006
4. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, disajikan pada
Pelatihan Nasional tentang Metodologi Penelitian untuk Mahasiswa di
Makassar 2002
5. Metode Penelitian Kualitatif, khususnya Grounded Theory, disajikan pada
Pelatihan Metodologi Penelitian UKM Penalaran Universitas Negeri
Makassar, 2006.
6. Research Methods in TEFL Studies: A Lesson from Journal Articles,
disajikan pada Konferensi Internasional The 8th ASIA TEFL
CONFERENCE, di Hanoi, Vietnam 6-8 Agustus 2010.
7. Qualitative Research in TEFL Studies, disajikan pada International
Conference on Language Education, 3 - 4 Desember 2010 di Universitas
Negeri Makassar.
8. Case Study Method for TEFL Studies, disajikan pada International
Conference on Education, 22-23 Juli 2011 di Universitas Negeri Makassar
(Proceeding masih dalam proses penerbitan).

Publikasi Buku/Artikel:
1. Buku: Isu Pendidikan dan Pengajaran Bahasa, diterbitkan oleh Badan
Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2001
2. Buku: Student English Worksheet for Junior High School Kelas 1, 2, dan
3, 2001.
3. Artikel: Motivasi dan Strategi dalam Pembelajaran Bahasa Asing
diterbitkan dalam Jurnal Pancaran Pendidikan, Universitas Negeri Jember,
April 2007
4. Artikel: Kajian tentang Pembelajar Bahasa Inggris yang Berhasil,
diterbitkan dalam Jurnal Humaniora, Universitas Hasanuddin, Mei 2007
5. Artikel: Peranan Faktor Motivasi dalam Proses Pembelajaran Bahasa
Asing, diterbitkan dalam Jurnal Humaniora Universitas Hasanuddin, Mei
2007
6. Buku: Metode Penelitian Kualitatif: Teori Dasar, diterbitkan oleh Badan
Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2008 ISBN 9798416570
7. Buku (penulis kedua bersama Prof. Sukardarrumidi, Ph.D): Dasar-dasar
Penulisan Proposal Penelitian, penulis kedua, diterbitkan oleh Gajah Mada
University Press, 2008 ISBN 979-420-674-1
8. Buku (penulis kedua bersama Dr. H. Sukardi Weda, M.Hum., M.Pd.,
M.Si.): Program Pendidikan Gratis, Lembaga Pusat Pemberdayaan
Masyarakat Madani, Makassar 2009, ISBN 9789791673471.
9. Research Methods for Language and Literature Studies, Badan Penerbit
Universitas Negeri Makassar, 2010, ISBN 978-602-8111-94-2
10. Grammar Exercises for Academic Purposes, Badan Penerbit Universitas
Negeri Makassar, 2011, ISBN 978-602-8111-34-8

Artikel Ilmiah Populer


1. Cara Mudah Belajar Bahasa Inggris, Fajar 1994
2. Lokalisasi Pengajaran bahasa Inggris, Fajar 1994
3. Fisibilitas Lokalisasi pengajaran bahasa Inggris, Fajar 1994
4. Salesman, Ujung Tombak Perusahaan, Fajar 1994
5. Perlukah Revolusi Pengajaran Bahasa Inggris, Pedoman Rakyat, 1995
6. Mengungkap Kembali Ibadah I’tikaf, Pedoman Rakyat, 1994
7. Kiat Sukses Belajar Bahasa Inggris, Palopo Pos 2000
8. Mengenal Grounded Theory, Pedoman Rakyat 2001
9. Laboratorium Bahasa dan Fungsinya sebagai Media Pembelajaran Bahasa
Asing, Pedoman Rakyat, Pendidikan Network, 26 Februari 2005.
10. Communication Formats Compatible to Multimedia Language
Laboratory, Pendidikan Network, 3 April 2008.

Pengabdian pada Masyarakat


1. Pelatihan Bahasa Inggris untuk karyawan PT TELKOM Makassar, 1988
2. Bimbingan Bahasa Inggris Komputer untuk Remaja Karangtaruna
Kelurahan Batang Kaluku, Kec. Somba Opu, Kab. Gowa, 1995
3. Pelatihan Manajemen laboratorium Bahasa untuk Guru/Dosen Bahasa
Inggris se Sulawesi Selatan di Makassar 2006
4. Pelatihan Penggunaan Laboratorium Bahasa Multimedia untuk Dosen-
dosen Jurusan Bahasa Asing FBS Universitas Negeri Makassar, 2007
5. Pelatihan Manajemen Laboratorium Bahasa untuk Dosen Fakultas Sastra
Universitas Negeri Papua Manokwari, dalam rangka Detasering 2007
6. Pelatihan Persiapan TOEFL untuk Dosen Fakultas Sastra Universitas
Negeri Papua Manokwari, dalam rangka Detasering 2007.
7. Pelatihan Penyusunan POS Praktikum Laboratorium Bahasa untuk Dosen
Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua Manokwari, dalam rangka
Detasering 2007
8. Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah kepada Guru Bahasa Inggris Tingkat
SMP, SMA, dan SMK di Kota Bau-Bau, 2009
9. Menjadi instruktur pada Program Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru
sejak 2007 sampai sekarang.
10. Menjadi Instruktur pada pelatihan Metode Penelitian Kualitatif dosen UIN
Alauddin Makassar, Februari 2010.

SEMINAR
1. Peserta TEFLIN Seminar, di Makassar, 1994
2. Peserta Seminar Nasional tentang Pendidikan Karakter, di Universitas
Negeri Makassar, 2010
3. Peserta Seminar Nasional dalam rangka Rapat Pimpinan Pasca Sarjana
LPTK se Indonesia dengan tema Pendidikan Karakter, Medan 2010
4. Peserta OHIO TESOL Conference di Columbus, Ohio, AS, tahun 2009
5. Peserta International Conference on Educational Practices Worldwide, di
Makassar, tahun 2011

KEPANITIAAN
1. Ketua Panitia Seminar Nasional tentang Karakter di Universitas Negeri
Makassar tahun 2010
2. Ketua Panitia Konferensi Internasional tentang Educational Practices
Worldwide di Hotel La macca, UNM, Makassar tahun 2011
3. Penanggung jawab Sosialisasi UUD 1945 kerjasama DPW LDII Sulsel
dengan dr. Ahmad Nizar Shihab (Anggota DPR-RI), 6 Agustus 2011 di
Mallebu Inn, Makassar

PENGALAMAN ORGANISASI
1. Peserta Basic Training HMI Komisariat FPBS IKIP Ujung Pandang, 1980.
2. Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) Cabang Universitas Negeri
Makassar, 2003 – sekarang.
3. Ketua DPD Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kab Gowa, 1999 –
2004
4. Wakil Ketua DPD Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Provinsi
Sulawesi Selatan, 2005-2010
5. Ketua DPW Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Provinsi Sulawesi
Selatan, 2010 – 2015
6. Pengurus Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan 2011 – 2016

PENGHARGAAN
1. Dosen Teladan III Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Ujung Pandang, 1988
2. Dosen Teladan I Universitas Negeri Makassar, 2000
3. Satyalancana Karya Satya 20 tahun, 2007

Makassar, 17 Agustus 2011

Prof. Dr. Haryanto, M.Pd.

Anda mungkin juga menyukai