Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

HUKUM PIDANA MILITER

Nama : Antoinette Alodia Amanda


NIM : xxxxxxxxx
Kelas/Semester : B/III (Tiga)
Dosen PA : Dr.xxxxxx, S.H., M.Hum
Fakultas Hukum

Soal:

Membuat ringkasan tentang sistematika KUHPM dan KUHP serta memberikan


analisis/komentar mengenai perbandingan pengaturan percobaan, penyertaan, dan gabungan
tindak pidana, serta permufakatan jahat dalam KUHP dan KUHPM.

Jawaban:

PERBANDINGAN SISTEMATIKA KUHP DAN KUHPM

Pada dasarnya sistematika antara KUHP dan KUHPM adalah mirip, karena keduanya sama-sama
dimulai dengan ketentuan umum kemudian diikuti dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana.
Perbedaannya ialah sebagai berikut:

No KUHP KUHPM

1 Terdiri atas 3 buku, yaitu: Terdiri atas 2 buku, yaitu:

Buku 1 tentang Ketentuan Umum Buku 1 tentang Ketentuan Umum

Buku 2 tentang Kejahatan Buku 2 tentang Kejahatan

Buku 3 tentang Pelanggaran


2 KUHP membedakan tindak pidana kejahatan KUHPM hanya mengenal kejahatan
dan pelanggaran

3 Buku 1 terdiri atas 9 Bab, termasuk di Buku 1 terdiri atas 7 Bab, tetapi tidak
dalamnya terdapat bab tentang Percobaan memiliki judul Percobaan dan Penyertaan
dan Penyertaan

4 Tidak ada pendahuluan Pada Bab 1 diadakan judul


PENDAHULUAN yang terdiri dari 3 Pasal

5 Jenis pemidanaannya terdiri atas (Pasal 10 Jenis pemidanaannya terdiri dari (Pasal 6
KUHP): KUHPM):

a. Pidana Pokok: a. Pidana-pidana Utama:

 Pidana Mati  Pidana Mati

 Pidana Penjara  Pidana Penjara

 Pidana Kurungan  Pidana Kurungan

 Pidana Denda  Pidana Tutupan (UU 20/1946)

b. Pidana Tambahan: b. Pidana-pidana Tambahan:

 Pencabutan hak-hak tertentu  Pemecatan dari dinas militer dengan


atau tanpa pencabutan haknya untuk
 Perampasan barang-barang tertentu
memasuki angkatan bersenjata
 Pengumuman putusan hakim
 Penurunan pangkat

Pencabutan hak-hak yang disebabkan pada


pasal 35 ayat (1) pada no: ke-1, ke-2, dan
ke-3 KUHP

Pada umumnya, isi dari bab-bab pada Buku 1 KUHPM adalah penambahan, pengurangan,
atau penyimpangan dari ketentuan yang ada dalam KUHP.
ANALISA / KOMENTAR SAYA TERHADAP PERBANDINGAN PERCOBAAN,
PENYERTAAN, DAN GABUNGAN TINDAK PIDANA SERTA PERMUFAKATAN
JAHAT ANTARA KUHP DAN KUHPM

Berdasarkan apa yang telah saya ringkas sebelumnya mengenai perbandingan sistematika KUHP
dan KUHPM, dapat saya simpulkan bahwa KUHPM pada dasarnya adalah pengkhususan dari
KUHP sendiri. Ini dikarenakan subjek dari KUHPM adalah anggota militer, lain halnya dengan
subjek KUHP yang merupakan rakyat sipil. Karena perbedaan subjek inilah KUHPM perlu
diadakan agar tercipta perbedaan antara peraturan bagi rakyat sipil dan anggota militer.

Meskipun KUHPM merupakan sebuah hukum khusus, tidak berarti bahwa peraturan yang ada
dalam KUHP tidak berlaku bagi para militer. Sebab, bila ada ketentuan yang tidak diatur dalam
KUHPM, maka ketentuan yang ada di dalam KUHP lah yang akan digunakan. Oleh sebab itulah
KUHPM tidak boleh bertentangan dengan KUHP.

Namun kenyataannya, ada beberapa kekurangan atau penyimpangan dalam KUHPM terhadap
KUHP, yaitu berupa ketentuan mengenai percobaan, penyertaan, dan gabungan tindak pidana,
bahkan juga tentang permufakatan jahat.

1. Percobaan

Jika diihat sebagai ketentuan umum, maka KUHPM menganut ketentuan pada Pasal 53 KUHP,
sehingga dapat dikatakan bahwa KUHPM tidak menyimpang dari KUHP.

Namun, jika dilihat sebagai ketentuan khusus, maka terdapat penyimpangan dalam KUHPM.
Misalnya, pada KUHPM Pasal 66 ayat (2) ke-3 disebutkan bahwa "seorang militer dengan
maksud mempersiapkan pemberontakan militer, menyimpan alat-alat yang diketahuinya bahwa
alat-alat itu disediakan untuk melakukan kejahatan tersebut..."

Ditinjau dari sisi kejahatan, maka suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai pemberontakan
militer apabila telah terjadi suatu perlawanan bersenjata oleh sejumlah (anggota) militer yang
terorganisir. Namun, jika ditinjau dari sudut pandang percobaan, maka perbuatan menyimpan
alat-alat dengan maksud mempersiapkan kejahatan tersebut sudah termasuk dalam tindak
percobaan, khususnya percobaan subjektif.

Tetapi, Pasal 66 menentukannya sebagai sebuah kejahatan yang berdiri sendiri dan ancaman
pidananya pun disamakan dengan ancaman pidana pada pemberontakan militer itu sendiri.

2. Penyertaan

Sebagai sebuah ketentuan umum, penyertaan tidak diatur dalam KUHPM. Jadi, KUHPM juga
menganut ketentuan umum mengenai penyertaan yang ada dalam KUHP.

Tetapi, dalam KUHPM terdapat beberapa bentuk penyertaan yang dianggap sebagai suatu tindak
pidana yang berdiri sendiri dan merupakan syarat untuk pemberaran ancaman pidana. Contohnya:

 Mereka yang melawan melakukan suatu tindakan.

Perlawanan nyata yang dilakukan oleh satu orang merupakan tindak pidana (Pasal 106
KUHPM) yang diancam dengan pidana maksimum 9 tahun. Sekiranya dua orang
(bersama-sama) melakukan tindakan tersebut seharusnya masing-masing dipidana
sebagai petindak dalam pasal 106 KUHPM. Namun dalam hal mereka bersama-sama
melakukan tindak pidana tersebut bukannya hanya melakukan ’’perlawanan nyata’’
melainkan telah melakukan tindak pidana ’’perlawanan nyata bersama-sama’’ (muiterij)
yang diatur dalam pasal 108 KUHPM yang berarti merupakan tindak pidana tersendiri
seharunya apabila diterapkan ketentuan umum Penyertaan, maka mereka dituduhkan
melanggar pasal 106 jo pasal 55 KUHP hal ini disampingi dalam KUHP.

 Mereka yang menyuruh melakukan suatu tindakan

Seorang militer atasan dengan sengaja memerintahkan bahwannya melakukan sesuatu,


yang asing dalam kepentingan dinas dengan melampaui batas kekuasannya (Pasal 129
KUHPM). Misalnya: seorang perwira memerintahkan kepada bintara pembawa
perbekalan untuk memberikan kepada dia sejumlah kopi bubuk yang merupakan
perediaan dari kesatuan tersebut dalam hal ini tidak disyaratkan apakah hal yang disuruh
sudah melksanakan yang diperintahakan itu atau tidak.
 Mereka yang turut serta melakukan suatu tindakan

Anggota-anggota dari satuan (regu) penjaga yang bukan penjaga turut serta melalaikan
tugasnya dipidana menurut pasal 118 ayat (5) KUHPM, bukan dengan pasal 118
KUHPM ayat (1) jo Pasal 55 KUHP.

 Mereka yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindakan

Seorang atasan menggerakkan seorang bawahan untuk melakukan sesuatu tindakan (baik
yang dibenarkan maupun yang tidak). Misalnya memakai mobil orang lain tanpa izin
untuk keperluan pribadi dengan penggantian bahan bakar dengan menyalahgunakan
kekuasannya/gezag (Psl 126 KUHP).

 Beberapa pasal KUHPM menentukan bahwa ’’penyertaan’’ itu merupakan pemberatan


ancaman antara lain pasal 78 ayat (2) ke-3, 88 ayat (1) ke-2, pasal 103 ayat (3) ke-3.

Sehubungan dengan ajaran atau pembahasan ketentuan tersebut kita temukan dalam pasal 132,
133 KUHPM perumusan yang hampi sama yaitu: dipidana sebagai pembantu. Dapat
dipersoalkan apakah penafsiran diteknkan kepada istilah DIPIDANA atau kepada istilah
SEBAGAI PEMBANTU artinya jika penekanan terletak pada istilah dipidana maka seorang
militer yang dengan sengaja membenarkan seorang bawahan melakukan suatu kejahatan maka ia
dipidana dan pidananya sama dengan pidana yang ditentukan pada seorang pembantu, yaitu 2/3
nya tetapi ia bukannlah seorang yang sama dengan pembantu. Tetapi jika penekanan pada istilah
sebagai pembantu maka militer yang memenuhi dari unsur-unsur rumusan tersebut di atas adalah
pembantu. Jika yang dianut adalah yang terakhir ini maka penafsiran ini adalah merupakan
penyimpangan terhadap ketentuan dalam pasal 56 KUHP.

Jadi, berdasarkan pemahaman saya, pada KUHPM ini ada beberapa kejahatan yang harus
dilakukan oleh dua orang atau lebih, misalnya:

 Pemberontakan militer (Pasal 65 KUHPM)

 Perlawanan nyata bersama-sama (muiterij, Pasal 108 KUHPM)

 Pengacauan militer (militer oproer, Pasal 113 KUHPM)

 Tindakan teror dengan kekuatan bersama (Pasal 173 KUHPM), dsb.


Perbuatan di atas seringkali disebut dengan delik militer kolektif, namun para pelakunya tidak
dikenakan pidana secara kolektif, melainkan tiap orang dikenakan pertanggungjawaban pidana
masing-masing. Ini jelas berbeda dengan ketentuan mengenai penyertaan dalam KUHP.

3. Gabungan

Sebagaimana diketahui, ada dua macam gabungan, yaitu Gabungan Tindak Pidana dan
Gabungan Pidana. Dalam KUHP, Gabungan diatur dalam Bab VI, Pasal 63 sampai 71.
Sedangkan dalam KUHPM memiliki judul pada Bab IV: Perbarengan Tindak Pidana. Akan
tetapi, pada bab ini tidak memiliki ketentuan yang jelas mengenai perbarengan/gabungan ini.
Jadi, dalam arti sempit, ini berarti bahwa KUHPM menganut ketentuan umum mengenai
Perbarengan Tindak Pidana yang ada dalam KUHP.

Untuk Perbarengan Pidana, ada perluasan pada Pasal 39 KUHPM. Jika pada Pasal 67 KUHP
menentukan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup hanya boleh "berbarengan dengan
pidana tambahan: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan-perampasan barang-barang
yang telah disita sebelumnya (pbs), dan pengumuman putusan hakim (pkh). Maka berbeda
dengan KUHPM, karena pada KUHPM ditambahkan "pemecatan dengan pencabutan haknya
untuk memasuki Angkatan Bersenjata 'berbarengan' dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup. Jadi dapat dirincikan sebagai berikut:

 Pidana mati dapat ditambah dengan pencabutan hak-hak tertentu (phk dan/atau pbs
dan/atau phk dan/atau pemecatan dengan pencabutan haknya untuk memasuki
angkatan bersenjata.

 Pidana penjara seumur hidup dapat ditambah dengan pht dan/atau phk dan/atau
pemecatan dengan pencabutan haknya untuk memasuki angkatan bersenjata.

Menurut saya, pemidanaan dalam KUHPM ini terlalu berlebihan sebab meski sudah ditentukan
pidana mati atau penjara seumur hidup, tetap disertakan pidana tambahan dan pencabutan hak
memasuki angkatan bersenjata. Padahal, menurut saya pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup tidak boleh dibarengi dengan pencabutan hak untuk memasuki angkatan bersenjata, sebab
sangat tidak mungkin seseorang yang sudah dijatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup
masih mampu menggunakan haknya untuk memasuki angkatan bersenjata.
Selain itu, pidana penurunan pangkat pun tidak dapat disertakan dalam pidana mati atau penjara
seumur hidup. Sebab, seorang militer yang telah melanggar ketentuan yang ada dalam KUHPM,
apalagi kejahatan dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, secara otomatis akan
mandapatkan sanksi penurunan pangkat, mengingat masih ada Hukum Disiplin Militer yang
berlaku bagi mereka dengan ketentuan hukum disiplin militer ini tidak menutup kemungkinan
untuk penjatuhan pidana.

4. Permufakatan Jahat

Permufakatan Jahat untuk melakukan kejahatan-kejahatan pada Pasal 79, 94, 116, 125, 144
KUHPM dipidana sebagai percobaan.

No. Permufakatan Jahat dalam KUHPM Percobaan dalam KUHP

1 Syaratnya lebih sedikit Syaratnya lebih banyak

2 Subjeknya harus dua orang atau lebih Subjeknya boleh satu orang atau lebih

Dalam hal perbedaan subjek antara percobaan dan permufakatan jahat dalam KUHPM, maka
seharusnya syarat dan ancaman pidananya adalah berbeda. Namun, kenyataannya ancaman
pidananya adalah sama.

Ancaman pidana bagi permufakatan jahat sendiri berbeda-beda. Adakalanya disamakan dengan
ancaman pidana terhadap suatu kejahatan tertentu yang telah sempurna, adakalanya seperti
percobaan, adakalanya ditentukan sendiri, dan bahkan adakalanya tidak ditentukan ancaman
pidananya, misalnya tidak ada ancaman pidana terhadap permufakatan jahat untuk melakukan
pencurian, penggelapan, dsb.
Kesimpulan:

Berdasarkan analisis saya sebelumnya, dapat saya simpulkan bahwa ada perbedaan antara KUHP
dan KUHPM, khsusnya di bagian mengenai percobaan, penyertaan, dan gabungan tindak pidana,
serta permufakatan jahat.

Menurut pendapat saya, percobaan, penyertaan, dan gabungan tindak pidana dalam KUHP
sendiri belum lengkap, sebab di dalamnya tidak dicantumkan secara tegas mengenai definisi
mereka masing-masing, melainkan hanya mencantumkan syarat-syarat dan penjatuhan
pidananya. Sedangkan untuk KUHPM, menurut saya seharusnya tidak boleh menyimpang dari
KUHP. Dapat dilihat bahwa ada beberapa penyimpangan atau perbedaan antara peraturan di
KUHPM dengan KUHP, khususnya di bidang percobaan, penyertaan, dan gabungan tindak
pidana, serta permufakatan jahat. Ini menyebabkan ada beberapa sanksi pidana dalam KUHPM
jauh lebih berat dari sanksi yang ada dalam KUHP.

Jadi menurut saya, sebaiknya KUHPM juga menyediakan suatu bab khusus untuk mengatur
mengenai percobaan, penyertaan, dan gabungan tindak pidana, serta permufakatan jahat agar
lebih jelas dan tegas pengaturannya sehingga tidak terjadi salah tafsir. Kalaupun tidak dibuatkan
bab khusus, ada baiknya jika ketentuan tadi tidak bertentangan atau menyimpang dari KUHP.

Anda mungkin juga menyukai