Anda di halaman 1dari 19

Referat

Perdarahan Intraserebral
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Oleh :
Jihan Nabila, S.Ked

Pembimbing:
dr. Basli Muhammad, Sp.S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Selawat beriring salam kita panjatkan
kehadirat Nabi Besar Muhammad SAW. Pembacaan referat yang berjudul
“Perdarahan intraserebral”, Diajukan sebagai salah satu tugas dokter muda
pada bagian ilmu penyakit saraf.
Ucapan terima kasih kepada dr. Basli Muhammad, Sp.S selaku dokter
pembimbing yang telah berkenan membimbing penulis untuk menyempurnakan
tulisan ini. Juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
tugas.
Penulis sangat berharap kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan
tulisan seperti ini dikemudian hari.

Aceh Utara, April 2022

Penulis

I
DAFTAR ISI
Kata pengantar.........................................................................................................
i
Daftar Isi...................................................................................................................
ii
BAB I Pendahuluan.................................................................................................
1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................
1
BAB II Tinjauan Kepustakaaan.............................................................................
2
2.1 Definisi...............................................................................................................
2
2.2 Epidemiologi......................................................................................................
2
2.3 Etiologi & Patofisiologi.....................................................................................
2
2.4 Diagnosis & Diagnosis Banding........................................................................
4
2.5 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................
6
2.6 Tata Laksana......................................................................................................
8
2.6.1 Tata Laksana Umum.....................................................................................
8
2.6.2 Tata Laksana Khusus....................................................................................
11
BAB III Penutupan.................................................................................................
14
3.1 Kesimpulan........................................................................................................
14
Daftar Pustaka..........................................................................................................
15

II
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke merupakan penyakit neurologis utama di usia dewasa, berdasarkan
tingginya angka kejadian, kegawatdaruratan, penyebab utama kecacatan, dan
kematian. Stroke menggambarkan suatu kejadian yang terjadi secara akut atau
tiba-tiba. Berdasarkan patologinya, stroke dibedakan menjadi stroke iskemik
(sumbatan) dan stroke hemoragik (perdarahan).1
Berdasarkan data American Heart Assocation (AHA)/ American Stroke
Association (ASA) tahun 2009, angka kematian stroke hemoragik mencapai
49,2%, hampir dua kali lipat stroke iskemik (25,9%).2 Broderick dkk melaporkan
angka kematian stroke hemoragik dalam waktu 30 hari berkisar 35-52%, dan
hanya 20% pasien yang mengalami pemulihan fungsional dalam waktu 6 bulan.3
Berdasarkan penelitian Elliott, setengah kasus stroke hemoragik mengalami
kematian dalam 24 jam pertama, menekankan pentingnya tatalaksana yang tepat
pada unit gawat darurat (UGD).4
Stroke hemoragik memiliki faktor risiko penyebab yang hampir sama
dengan keadaan stroke iskemik, namun penanganannya sangat berbeda dan
bahkan berlawanan. Pada stroke iskemik dilakukan terapi trombolisis dan
antiplatelet yang justru tidak boleh dilakukan pada kasus stroke hemoragik,
sementara stroke hemoragik lebih didominasi oleh gejala peningkatan TIK yang
membutuhkan penanganan segera sebagai tindakan life saving. Oleh karena itu,
penegakan diagnosis patologi stroke sangat penting untuk memberikan tata
laksana yang tepat, sehingga didapat keluaran yang lebih baik.5

1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi
Stroke hemoragik, atau yang dikenal juga sebagai perdarahan intraserebral
(PIS) spontan merupakan salah satu jenis patologi stroke akibat pecahnya
pembuluh darah intraserebral. Kondisi tersebut menimbulkan gejala neurologis
yang terjadi secara tiba-tiba dan seringkali diikuti gejala akibat efek desak ruang
atau peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Itu sebabnya angka kematian pada
stroke hemoragik menjadi lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik.1,2,5
2.2 Epidemiologi
Secara umum, angka kejadian stroke semakin meningkat.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia terdapat peningkatan prevalensi stroke dari
8,3 (tahun 2007) menjadi 12,2 (tahun 2013) per 1000 penduduk.6
Angka kejadian stroke hemoragik di Asia lebih tinggi di bandingkan di
negara barat. Hal ini dapat disebabkan tingginya angka kejadian hipertensi pada
populasi Asia. Berdasarkan data Stroke registry di Indonesia, yang dimulai sejak
tahun 2012 sebagai kerjasama antara Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) dengan Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2014 didapatkan 5411 kasus
stroke akut dari 18 RS dengan angka kejadian stroke hemoragik sebesar 33%.7
2.3 Etiologi dan Patofisiologi
Patofisiologi stroke hemoragik umumnya didahului oleh kerusakan
dinding pembuluh darah kecil di otak akibat hipertensi. Penelitian membuktikan
bahwa hipertensi kronik dapat menyebabkan terbentuknya aneurisma pada
pembuluh darah kecil di otak. Proses turbulensi aliran darah mengakibatkan
terbentuknya nekrosis fibrinoid, yaitu nekrosis sel/jaringan dengan akumulasi
matriks fibrin. Terjadi pula herniasi dinding arteriol dan ruptur tunika intima,
sehingga terbentuk mikroaneurisma yang disebut Charcot-Bouchard (Gambar 1).
Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat tekanan darah arteri meningkat
mendadak.1,9

2
Pada beberapa kasus, pecahnya pembuluh darah tidak didahului oleh
terbentuknya aneurisma, namun semata-mata karena peningkatan tekanan darah
yang mendadak.9

Gambar 1. Proses Pembentukan Mikroaneurisma Charcot-Bouchard pada Hipertensi


Kronis.1,9

Pada kondisi normal, otak mempunyai sistem autoregulasi pembuluh


darah serebral untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Jika tekanan darah
sistemik meningkat, sistem ini bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh darah
serebral. Sebaliknya, jika tekanan darah sistemik menurun, akan terjadi
vasodilatasi pembuluh darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah
meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya proses hialinisasi pada dinding pembuluh darah,
sehingga pembuluh darah akan kehilangan elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya
karena pembuluh darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan
fluktuasi tekanan darah sistemik, kenaikan tekanan darah secara mendadak akan
dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah.9,10
Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah
(hematom) di parenkim otak. Volume hematom tersebut akan bertambah,
sehingga memberikan efek desak ruang, menekan parenkim otak, serta
menyebabkan peningkatan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis pasien,
yang umumnya berlangsung dalam 24-48 jam onset, akibat perdarahan yang terus
berlangsung dengan edema disekitarnya, serta efek desak ruang hematom yang
mengganggu metabolisme dan aliran darah.1,9,10
Pada hematom yang besar, efek desak ruang menyebabkan pergeseran
garis tengah (midline shift) dan herniasi otak yang pada akhimya mengakibatkan

3
iskemia dan perdarahan sekunder. Pergeseran tersebut juga dapat menekan sistem
ventrikel otak dan mengakibatkan hidrosefalus sekunder. Kondisi seperti ini
sering terjadi pada kasus stroke hemoragik akibat pecahnya pembuluh darah arteri
serebri posterior dan anterior. Keadaan tersebut akan semakin meningkatkan TIK
dan meningkatkan tekanan vena di sinus-sinus duramater.9,10
Sebagai kompensasi untuk mempertahankan perfusi otak, tekanan arteri
juga akan meningkat. Dengan demikian, akan didapatkan peningkatan tekanan
darah sistemik pascastroke. Prinsip ini harus menjadi pertimbangan penting dalam
memberikan terapi yang bertujuan menurunkan tekanan darah pascastroke, karena
penurunan secara drastis akan menurunkan perfusi darah ke otak dan akan
membahayakan bagian otak yang masih sehat.1,10
Hematom yang sudah terbentuk dapat menyusut sendiri jika terjadi
absorbsi. Darah akan kembali ke peredaran sistemik melalui sistem ventrikel otak.
Selain hipertensi, hematom intraserebral dapat disebabkan oleh trauma, obat-
obatan, gangguan pembekuan darah, dan proses degeneratif pada pembuluh darah
otak. Stroke hemoragik dapat terjadi melalui berbagai macam mekanisme. Stroke
hemoragik yang dikaitkan dengan hipertensi biasanya terjadi pacta struktur otak
bagian dalam yang diperdarahi oleh penetrating arteri seperti pada area alamus,
putamen, pons, dan serebelum.10
Stroke hemoragik juga dapat disebabkan etiologi lain seperti tumor
intrakranial, penyalahgunaan alkohol dan kokain, penggunaan obat antiplatelet
dan antikoagulan, serta gangguan pembekuan darah, seperti trombositopenia,
hemofilia, dan leukemia.1,10
2.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Penegakan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan neurologis, serta pemeriksaan penunjang. Hal
terpenting adalah menentukan tipe stroke; stroke iskemik atau perdarahan. Hal ini
berkaitan dengan tata laksana yang sangat berbeda antara keduanya, sehingga
kesalahan akan mengakibatkan morbiditas bahkan mortalitas. Dalam anamnesis,
hal yang perlu ditanyakan meliputi identitas, kronologis terjadinya keluhan, faktor
risiko pada pasien maupun keluarga, dan kondisi sosial ekonomi pasien. Dari
anamnesis seharusnya didapatkan informasi apakah keluhan terjadi secara tiba-

4
tiba, saat pasien beraktivitas, atau saat pasien baru bangun tidur. Pada stroke
hemoragik, pasien umumnya berada dalam kondisi sedang beraktivitas atau emosi
yang tidak terkontrol. Durasi sejak serangan hingga dibawa ke pusat kesehatan
juga merupakan hal penting yang turut menentukan prognosis.2,9,10
Keluhan yang dialami pasien juga dapat menuntun proses penegakan
diagnosis. Pasien dengan keluhan sakit kepala disertai muntah (tanpa mual) dan
penurunan kesadaran, umumnya mengarahkan kecurigaan kepada stroke
hemoragik dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Meskipun demikian,
pada stroke hemoragik dengan volume perdarahan kecil, gejala dapat menyerupai
stroke iskemik tanpa ditemukan tanda- tanda peningkatan TIK. Perlu ditanyakan
juga faktor risiko stroke yang ada pacta pasien dan keluarganya, seperti diabetes
melitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, penyakit jantung, riwayat trauma
kepala, serta pola hidup (merokok, alkohol, obat-obatan tertentu).10,11
Pemeriksaan fisik dimulai dengan keadaan umum, kesadaran, dan tanda
vital. Pada stroke hemoragik, keadaan umum pasien bisa lebih buruk
dibandingkan dengan kasus stroke iskemik. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan
kepala, mata, telinga, hidung dan tenggorokan (THT), dada (terutama jantung),
abdomen, dan ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas bertujuan terutama untuk
mencari edema tungkai akibat trombosis vena dalam atau gagal jantung. Pada
pemeriksaan tekanan darah, perlu dibandingkan tekanan darah di ekstremitas kiri
dan kanan, serta bagian tubuh atas dan bawah dengan cara menghitung rerata
tekanan darah arteri (mean arterial blood pressure/MABP), karena akan
mempengaruhi tata laksana stroke.11,12
Pemeriksaan neurologis awal adalah penilaian tingkat kesadaran dengan
skala kama Glasgow (SKG), yang selanjutnya dipantau secara berkala. Kemudian
diikuti pemeriksaan refleks batang otak yang meliputi reaksi pupil terhadap
cahaya (paling sering dilakukan), refleks kornea, dan refleks okulo sefalik.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis satu persatu serta motorik
untuk menilai trofi, tonus, dan kekuatan otot, dilanjutkan refleks fisiologis dan
refleks patologis. Hasil pemeriksaan motorik dibandingkan kanan dan kiri, serta
atas dan bawah guna menentukan luas dan lokasi lesi. Selanjutnya, pemeriksaan

5
sensorik dan pemeriksaan otonom (terutama yang berkaitan dengan inkontinensia
atau retensio urin dan alvi).1,11
Penggunaan sistem skor dapat bermanfaat bila tidak terdapat fasilitas
pencitraan otak yang dapat membedakan secara jelas patologi penyebab stroke.
Namun sistem skor tidak dapat dipastikan pacta patologi stroke yang terjadi. Hal
ini disebabkan karena manifestasi klinis pacta stroke hemoragik dengan volume
perdarahan kecil dapat menyerupai stroke iskemik. Demikian pula manifestasi
klinis stroke iskemik luas dengan peningkatan TIK mirip dengan stroke
hemoragik. Sistem penskoran yang dapat digunakan adalah algoritma stroke
Gajah Mada, skor stroke Djunaedi, dan skor stroke Siriraj. Skor stroke Siriraj
merupakan sistem penskoran yang sering digunakan untuk membedakan stroke
iskemik atau perdarahan (Tabel 1).1,12
Tabel 1. Skor stroke Siriraj1

2.5. Pemeriksaan Penunjang


Pencitraan otak menggunakan CT scan merupakan baku emas dalam
diagnosis stroke hemoragik. CT scan lebih unggul dalam mendeteksi perdarahan
langsung berdasarkan gambaran hiperdensitas di parenkim otak dibandingkan
MRI yang memerlukan perbandingan beberapa sekuens gambar (Gambar 2).1,9

6
Gambar 2. Gambaran Stroke Hemoragik pada Pemeriksaan CT scan 1

Selain itu, pemeriksaan CT scan membutuhkan waktu yang lebih singkat


dengan harga yang lebih ekonomis. Besarnya volume perdarahan dapat diestimasi
dengan menggunakan metode ABC (Gambar 3).13
Volume perdarahan ( dalam cc) = (A x B x C)
2
A= diameter terbesar hematom pada salah satu-potongan CT scan (dalam cm)
B= diameter perpendikularterhadap A (dalam cm)
C= jumlah potongan CT scan yang terdapat hematom x tebal potongan CT scan
( dalam cm).13
Terdapat beberapa ketentuan untuk jumlah potongan CT scan dengan
hematom (poin C), yaitu:13
1. Potongan CT scan dihitung 1 bila luas hematom pada potongan terse but > 75%
2. Potongan CT scan dihitung 0,5 bila luas hematom pada potongan tersebut 25-
75%
3. Potongan CT scan tidak dihitung bila luas hematom pada potongan tersebut
<25%.

7
Gambar 3. Metode ABC dalam Pengukuran Estimasi Volume Perdarahan 1,13

2.6. Tata laksana


Tata Iaksana stroke hemoragik dapat dibagi menjadi tata laksana umum
dan khusus. Tata laksana umum bertujuan untuk menjaga dan mengoptimalkan
metabolisme otak meskipun dalam keadaan patologis. Tata laksana khusus untuk
melakukan koreksi koagulopati untuk meneegah perdarahan berlanjut, mengontrol
tekanan darah, identifikasi kondisi yang membutuhkan intervensi bedah, serta
melakukan diagnosis dan terapi terhadap penyebab perdarahan1,14
2.6.1 Tata laksana umum
1. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan
Untuk mencapai tujuan tata laksana umum, hal utama adalah melihat serta
melakukan stabilisasi jalan dan saluran pernapasan untuk menghindari
hipoksia. Apabila terjadi gangguan ventilasi, dapat dilakukan pemasangan
pipa endotrakeal untuk menjaga patensi jalan nafas pasien. Selain itu juga
harus dipastikan kemampuan menelan pasien. Jika terjadi gangguan menelan
atau pasien dalam keadaan tidak sadar, perlu dilakukan pemasangan pipa
nasogastrik untuk meneegah terjadinya aspirasi pada pemberian.2,15

8
2. Stabilisasi hemodinamik
Tata laksana yang harus diperhatikan berikutnya adalah stabilisasi
hemodinamik. Keadaan hemodinamik pasien diharapkan tetap stabil dengan
tidak menurunkan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/CPP)
hingga menginduksi hipoksia. Untuk menjaga hemodinamik atau mengatasi
keadaan dehidrasi, sebaiknya diperhatikan hal berikut:16
a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid intravena (IV), hindari cairan
hipotonik seperti glukosa.
b. Pemasangan central venous catheter (CVC) bila diperlukan, untuk
memantau kecukupan cairan serta sebagai sarana memasukkan cairan dan
nutrisi dengan target tekanan 5-12mmHg.
c. Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus)
d. Pada pasien dengan defisit neurologis nyata, dianjurkan pemantauan
berkala status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi
oksigen dalam 72 jam.
3. Tata laksana peningkatan TIK
Merupakan tata laksana yang penting dengan memerhatikan hal-hal
berikut:1,15
a. Pemantauan ketat terhadap pasien yang berisiko mengalami edema
serebral dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda klinis
neurologis dalam 48 jam pertama serangan stroke.
b. Monitor tekanan intrakranial terutama pada pasien dengan perdarahan
intraventrikular (dilakukan sebagai monitoring tekanan intrakranial dan
evakuasi perdarahan intraventrikular). Target terapi adalah TIK <20mmHg
dan CPP >70mmHg.
c. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
meninggikan posisi kepala 30°, ,menghindari penekanan vena jugularis,
menghindari hipertermia, pemberian osmoterapi atas indikasi: Manitol
0,25- 0,5Og/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan
target osmolaritas darah  310m0sm/L. Osmolaritas sebaiknya diperiksa 2
kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.

9
4. Tata laksana cairan
a. Pada umumnya kebutuhan cairan 30mL/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral).
b. Pemberian cairan isotonik seperti NaCI 0,9% untuk menjaga euvolemia.
tekanan vena sentral di pertahankan antara 5- 12mmHg.
c. Perhatikan keseimbangan cairan dengan melakukan pengukuran cairan
masuk dan keluar secara ketat.
d. Elektrolit (sodium, kalium, kalsium, magnesium) harus selalu diperiksa
dan diatasi bila terjadi kekurangan.
e. Gangguan keseimbangan asam basa harus segera dikoreksi dengan
monitor analisis gas darah.
5. Tata laksana nutrisi
a. Pemberian nutrisi enteral harus di lakukan sedini mungkin bila tidak
terjadi perdarahan lambung.
b. Jika terjadi komplikasi perdarahan lambung, maka pemberian nutrisi
enteral dapat ditunda sampai terjadi perbaikan dan sisa cairan lambung
dalam 2 jam pertama  150cc. Evaluasi cairan lambung yang dialirkan
setiap 2 jam.
c. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan
diberikan melalui pipa nasogastrik.
d. Jika tidak terdapat gangguan pencernaan atau residu lambung  150cc,
maka dapat diberikan nutrisi enteral 30cc perjam dalam 3 jam pertama.
Jika toleransi baik, berupa tidak terdapatnya residu pipa nasogastrik pada
saat jam berikutnya, maka dapat dilanjutkan pemberian makanan enteral.
Pemberian nutrisi enteral selanjutnya disesuaikan dengan target kebutuhan
yang terbagi dalam 6 kali perhari.
e. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori adalah 20-25 kkal/kg/hari dengan.
komposisi; karbohidrat 50 -60 % dari total kalori, lemak 25-30 %, protein
10-20%.
f. Jika kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG)

10
g. Pada keadaan pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, boleh
diberikan secara parenteral.15,16
2.6.2 Tata laksana khusus
1. Perawatan di unit stroke
Perawatan di unit stroke akan menurunkan kematian dan dependensi
dibandingkan dengan perawatan di bangsal biasa. Penderita dengan stroke
hemoragik di supratentorial seharusnya dirawat di unit stroke (AHA/ ASA
level B).2
2. Koreksi koagulopati
a. Melakukan pemeriksaan hemostasis, antara lain prothrombin time (PT),
activated partial thrombin time (APTT), international normalized ratio
(INR), dan trombosit, serta koreksi secepat
mungkin jika didapatkan kelainan.
b. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi berat atau trombositopenia
berat harus diberikan factor replacement therapy atau trombosit
(AHA/ASA kelas I, level C).
c. Pada pasien dengan peningkatan INR karena penggunaan antagonis
vitamin K (VKA), maka VKA harus dihentikan. Diberikan terapi untuk
menggantikan faktor pembekuan yang besifat vitamin K-dependent dan
memperbaiki INR, serta diberikan vitamin K IV (AHA/ ASA kelas I, level
C). Prothrombin complex concentrates (PCC) memiliki efek samping
lebih sedikit dan memperbaiki INR lebih cepat dibandingkan fresh frozen
plasma (FFP) sehingga lebih dianjurkan (AHA/ ASA kelas IIb, level 8).
Recombinant factor VIla (rFVlla) tidak direkomendasikan (AHA/ ASA
kelas Ill, level C).
d. Untuk pasien yang mengkonsumsi dabigatran, rivaroksaban, atau
apiksaban, terapi dengan factor eight inhibitor bypass activity (FEIBA),
PCC, atau rFVlla dapat dipertimbangkan sesuai kondisi individual pasien.
Karbon aktif dapat digunakan jika dosis terakhir dabigatran, rivaroksaban,
atau apiksaban diminum <2 jam. Hemodialisis dapat dipertimbangkan
pada pasien yang diberikan (AHA/ ASA kelas lIb, level C) (rekomendasi
baru).

11
e. Protamin sulfat dapat dipertimbangkan untuk reversal heparin pada
perdarahan intraserebral akut (AHA/ ASA level C).
f. Meskipun dapat membatasi ekspansi perdarahan pada pasien stroke
hemoragik tanpa gangguan koagulasi, rFVlla meningkatkan risiko
tromboemboli, sehingga tidak direkomendasikan (AHA/ASA kelas III,
level A).1,2
3. Tekanan darah
Pada stroke hemoragik akut (onset <6 jam), penurunan tekanan darah
secara agresif dengan target TD sistolik <140mmHg dalam waktu <1 jam aman
untuk dilakukan dan lebih superior dibandingkan dengan target TD sistolik
<180mmHg. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat diberikan antihipertensi
intravena seperti nikardipin, labetalol, atau esmolol maupun antihipertensi oral.
Namun tidak ada antihipertensi yang spesifik.
a. Pada tekanan darah antara sistolik antara 150 sampai 220mmHg dan
tanpa adanya kontraindikasi terapi penurunan tekanan darah akut,
penurunan TD sistolik akut 140mmHg aman dilakukan (AHA/ ASA kelas
I, level A) dan efektif memperbaiki keluaran fungsional (AHA/ ASA level
B).
b. Pada tekanan darah sistolik>220mmHg, dapat dilakukan penurunan
tekanan darah secara agresif dengan antihipertensi IV secara kontinu
disertai pemantauan rutin (AHA/ ASA kelas lib, level C) ( rekomendasi
baru).2
4. Mempertahankan Cerebral Perfusion Pressure (CPP)
Pasien stroke hemoragik harus mempunyai tekanan darah yang terkontrol
tanpa melakukan penurunan tekanan darah yang berlebihan. Usahakan TD sistolik
<160mmHg dan CPP dijaga >60- 70mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan
menurunkan TIK ke nilai normal dengan pemberian mannitol atau operasi. Pada
kasus diperlukan pemberian vasopressor, bisa diberikan:
a. Phenylephrine 2 – 10 mcg kg/kg/menit
b. Dopamin 2-10 mcg/kg/menit atau
c. Norepinefrin dimulai dengan 0,05- 0,2 mcg/kg/menit dan dititrasi
sampai efek yang diinginkan.1,2,16

12
5. Penatalaksanaan bedah
Evakuasi rutin hematom dengan pembedahan seharusnya tidak dilakukan.
Tidak didapatkan bukti evakuasi hematom memperbaiki keluaran dan tidak
didapatkan data mengenai kraniektomi dekompressi memperbaiki keluaran setelah
perdarahan intrakranial (AHA/ ASA kelas lIb, level B). Kraniotomi yang sangat
dini dapat disertai peningkatan risiko perdarahan berulang (AHA/ ASA kelas lIb,
level B). Namun demikian, tindakan bedah yang dilakukan lebih awal dapat
bermanfaat pada pasien dengan SKG 9-12. Pada prinsipnya, pengambilan
keputusan tergantung lokasi dan ukuran hematom dan status neurologis penderita.
Secara umum indikasi bedah pada perdarahan intraserebral sebagai berikut:2,16
a. Hematom serebelar dengan diameter >3cm yang disertai penekanan
batang otak dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel seharusnya
dilakukan dengan sesegara mungkin (AHA/ ASA kelas I, level B).
b. Pendarahan dengan kelainan struktur seperti aneurisma atau malformasi
arteriovena (MAV), (AHA/ ASA kelas III -V, level C) .
c. Perdarahan lobaris dengan ukuran sedang-besar yang terletak dekat
dengan korteks ( <1cm) pada pasien berusia <45 tahun dengan SKG 9-12,
dapat dipertimbangkan evakuasi hematom supratentorial dengan
kraniotomi standar (AHA/ ASA kelas IIb, level B)
d. Evakuasi rutin hematom supratentorial dengan kraniotomi standar
dalam 96 jam tidak direkomendasikan (AHA/ ASA kelas III, level A),
kecuali pada hematom lobaris 1cm dari korteks.

13
BAB III
Penutupan

3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan berupa:
1. Perdarahan intraserebral (PIS) spontan merupakan salah satu jenis patologi
stroke akibat pecahnya pembuluh darah intraserebral.
2. Patofisiologi stroke hemoragik umumnya didahului oleh kerusakan
dinding pembuluh darah kecil di otak akibat hipertensi, stroke hemoragik
juga dapat disebabkan etiologi lain seperti tumor intrakranial,
penyalahgunaan alkohol dan kokain, penggunaan obat antiplatelet dan
antikoagulan, serta gangguan pembekuan darah, seperti trombositopenia,
hemofilia, dan leukemia.
3. Penegakan diagnosis stroke dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan neurologis, serta pemeriksaan penunjang.
4. Pencitraan otak menggunakan CT scan merupakan baku emas dalam
diagnosis stroke hemoragik.
5. Tata Iaksana stroke hemoragik dapat dibagi menjadi tata laksana umum
dan khusus. Tata laksana umum bertujuan untuk menjaga dan
mengoptimalkan metabolisme otak meskipun dalam keadaan patologis.
Tata laksana khusus untuk melakukan koreksi koagulopati untuk
meneegah perdarahan berlanjut, mengontrol tekanan darah, identifikasi
kondisi yang membutuhkan intervensi bedah, serta melakukan diagnosis
dan terapi terhadap penyebab perdarahan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Mayza A, Safri AY, Rasyid A, Tiksnadi A, Budikayanti A, Imran D,


Lastri DN, dkk. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Penerbit Kedokteran
Indonesia; 2017.
2. Hemphill JC, Greenberg SM, Anderson CS, Becker K, Bendok BR,
Cushman M, dkk. Guidelines for the management of spontaneous
intracerebral hemorrhage. A guideline for healthcare professionals from
the American heart association/ American stroke association. Stroke.
2015;46(12):1-34.
3. Broderick, Connolly S, Feldmann E, Hanley D, Kase C, Krieger D, dkk.
Guidelines for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage
in adults 2007 update: a guideline from the American Stroke Association
Stroke Council, High Blood Pressure Research Council, and the Quality of
Care and Outcomes in research interdisciplinary working group. Stroke.
2007;38:2001-23.
4. Elliott J, Smith M. The Acute Management of Intracerebral Hemorrhage:
A Clinical Review. Anesthesia &Analgesia. 2010; 110(5):1419-1427.
5. Adam RD, Victor M. Principles of neurology. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw Hill; 2005.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Rl. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Departemen
Kesehatan R1;2014.
7. Yudiarto F, Machfoed M, Darwin A, Ong A, Karyana M, Siswanto.
Indonesia stroke registry. Neurology. 2014;82(10): suppl 110-2.003.
8. Flaherty ML, Woo D, Broderick JP. The epidemiology of intracerebral
hemorrhage. Dalam: Carhuapoma JR, Mayer SA, Hanley DF, editor.
Intracerebral hemorrhage. Cambridge: Cambridge University Press; 2010.
h. 1-10.
9. Caplan LR. Stroke: a clinical approach. Edisi ke-4. Philadelphia: Saunders
Elsevier Inc; 2009.
10. Biller J. Practical neurology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2009.
11. Steiner T, Al-Shahi SR, Beer R, Christensen H, Cordonnier C, Csiba L,
dkk. European Stroke Organisation (ESO) guidelines for the management
of spontaneous intracerebral hemorrhage. Int J of Stroke. 2014; 9(7):840-
55.
12. Samuels MA, Rapper AH. Samuel's manual of neurologic therapeutics.
Edisi ke-8. Philadelphia: Lippincott Williams & Walkins; 2010.
13. Kothari RU, Brott T, Broderick JP, Barsan WG, Sauerbeck LR, Zuccarello
M, dkk. The ABCs of measuring intracerebral hemorrhage volumes.
Stroke. 27:1304-5.

15
14. Lindsay P, Bayley M, Hellings C, Hill M, Woodbury E, Phillips S, dkk.
Canadian best practice recommendations for stroke care (updated 2008).
CMAJ. 2008; 179(12):S1-25.
15. OHSU Health Care System. Acute stroke practice guidelines for inpatient
management of intracerebral hemorrhage. Oregon Health & Science
University [serial online]. 2010. Tersedia dari: Oregon Health & Science
University.
16. Dewey HM, Chambers BR, Donnan GA. Stroke. Dalam: Warlow C,
editor. The Lancet handbook of treatment in neurology. Edisi ke-1.
London: Elsevier Ltd; 2006. h. 87-116.

Anda mungkin juga menyukai