PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia, tapi
kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat
menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada
beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang
sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Luka akibat gigitan ular dapat berasal
dari gigitan ular tidak berbisa maupun gigitan ular berbisa. Umumnya ular
menggigit pada saat ia aktif, yaitu pada pagi dan sore hari, apabila merasa
terancam atau diganggu. Racun bisa ular sering berakibat fatal dan berpotensi
sebagai kegawatdaruratan yang harus mendapat penanganan serius. Data tentang
kejadian gigitan ular berbisa di Indonesia belum diketahui, tetapi pernah
dilaporkan dari pulau Komodo di Nusa Tenggara terdapat angka kematian 20
orang per tahun yang disebabkan gigitan ular berbisa. Amerika utara adalah
rumah bagi 25 jenis ular beracun, diseluruh dunia, hanya sekitar 15% dari 3000
spesies ular dianggap berbahaya bagi manusia. Ada 2 jenis ular berbisa, yang
pertama Jenis viperidae adalah jenis terbesar ular berbisa, dan ditemukan di
Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika. Sedangkan Jenis kedua adalah Elapidae yang
juga merupakan jenis terbesar ular berbisa.
Untuk menentukan jumlah angka kejadian dari gigitan ular, terutama pada
negara-negara berkembang sangat sulit. Selain itu, disebabkan oleh karena
kurangnya administrasi yang baik, hal ini juga disebabkan oleh karena
kebanyakan korban gigitan ular tidak dibawa ke tenaga medis, namun hanya
menggunakan obat-obatan tradisional. Berdasarkan survey yang telah dilakukan
terhadap 10% dari wilayah Bangladesh pada tahun 1988 sampai 1989 didapatkan
764 gigitan ular dengan 168 kematian dalam satu tahun. Gigitan cobra sebanyak
34% dengan 40% diantaranya fatal. Di India didapatkan 200.000 gigitan
pertahunnya dengan 15.000 sampai 20.000 kematian pertahunnya. Myanmar
dilaporkan pada tahun 1991 didapatkan 14.000 pasien gigitan ular dengan 1.000
kematian. Pada tahun 1997 didapatkan 8.000 gigitan ular dengan 500 kematian.
Pasien gigitan ular berbisa dapat menimbulkan manifestasi neurotoksik,
vaskulotoksik, miotoksik, dan hematotoksik, dengan gejala dan tanda yang
ringan sampai berat, seperti luka bekas gigitan, nyeri bekas gigitan,
pembengkakan pada sekitar gigitan, perdarahan, gangguan koagulasi, paralisis
otot pernafasan, kejang, dan akhirnya syok bahkan menyebabkan kematian.
Penanganan pasien dengan gigitan ular berbisa dilakukan secara komprehensif
dari aspek hematologi dan neurologi. Kadang-kadang gejala klinis tidak langsung
timbul dan luput dari pengamatan.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik ular
berbisa ataupun tidak berbisa dan sering mengakibatkan luka tusukan yang
ditimbulkan oleh hewan taring dan kadang-kadang menyebabkan envenomation.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies
ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat
saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara
subkutan atau intramuskular (PPDP, 2007).
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal. Tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik (SIKERNAS,
2005).
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian (SIKERNAS,
2005).
2.2 Epidemiologi
WHO memperkirakan terdapat 40.000-50.000 kematian akibat gigitan
ular setiap tahun, sekitar 25.000-30.000 berasal dari Asia. 30% kasus gigitan ular
di Asia terjadi di India dan Pakistan (WHO, 2010). Berdasarkan laporan
penelitian nasional 50% pasien berusia 18-28 tahun, dengan rata-rata 29,5% per
tahun. Gigitan ular yang berada di ekstremitas bagian atas terutama di tangan
95%. Nasional studi melaporkan kejadian musiman 90% dari bulan april hingga
3
oktober . Pada populasi anak, gigitan ular paling sering terjadi pada anak usia
sekolah dan remaja di sekeliling rumah pada sore hari di bulan musim panas.
Faktor asal inang bergantung pekerjaan korban dan gaya hidup atau kawasan
tempat tinggalnya di daerah terbelakang yang berpengaruh jelek. Kesakitan
dan kematian gigitan ular bergantung pada macam spesies, keadaan dapat
mematikan (fatal) dan dosis kematian dari jumlah racun yang masuk tubuh
(Prihatini, 2007).
Gambar 2.1 organ pendeteksi panas pada Crotalidae diantara lubang hidung dan mata
(SIKERNAS, 2005)
4
A B
C D
Gambar 2.2 Ular A. Famili Elapidae, B. Famili Viperidae, C. Famili Hydrophida e,
misalnya ular laut, D. Ular tidak berbisa (Python) (WHO, 2010)
5
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis (lender) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain. Seperti Trimeresurus albolais (ular hijau),
Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular
Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan) (SIKERNAS, 2005).
b. Neurotoksik
Mempengaruhi sistem saraf dan otak. Bisa ular yang merusak dan
melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda
kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis).
Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi susunan saraf pusat
dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernafasan dan
jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah melalui pembuluh limfe.
Misalnya: Bungarusfasciatus (ular welang), Naya sputatrix (ular sendok), ular
kobra, dan ular laut (SIKERNAS, 2005).
c. Sitotoksik
Hanya bekerja pada lokasi gigitan.
(SIKERNAS, 2005)
6
Pembeda Ular Berbisa Ular Tak Berbisa
Tabel 2.1 Perbedaan ular berbisa dengan ular tak berbisa (SIKERNAS, 2005)
Gambar 2.4 Bekas gigitan ular (A) ular tidak berbisa tanpa bekas taring (B) ular berbisa
dengan bekas taring (SIKERNAS. 2005)
7
hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular
untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan (Septiana, 2011).
Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi) adalah
untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya. Sebagian besar bisa
terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan
destruktifnya. Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase, RNA-ase, dan DNA-ase. Racun kebanyakan berupa air
protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan
hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin
terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim
diantaranya adalah (1) hialuronidase, bagian dari racun dimana merusak jaringan
subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2
memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada
membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot;dan (3) enzim
trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin (Septiana, 2011).
8
Bagan 1. Patofisiologi gigitan ular berbisa (Septiana, 2011).
9
pengeluaran keringat dan air ludah (saliva) meningkat
terdapat mati rasa atau kebas (numbness) atau kesemutan rasa berdenyut-
denyut (tingling) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan
(Prihatini, 2007).
Manifestasi lokal:
Setelah gigitan ular berlangsung 6–30 menit, daerah luka terasa nyeri yang
menyebar dan teraba lunak, dan berkembang memerah. Kemudian tampak
membusung (oedema), bengkak dan membentuk gelembung (bullae) dan secara
cepat memenuhi tubuh. Lidah terasa pedas dan kaku, mulut dan batok kepala serta
sekitar luka gigitan tidak berasa (paresthesias). Di sekitar luka gigitan
pembuluhan (vaskularisasi) terhenti dan terjadi kematian jaringan (nekrosis)
sebagai permulaan kelemayuh (gangren). Akibat gigitan ular bisa terjadi infeksi
oleh Pseudomonas aeruginosa, Bacteriodes fragilis,Clostridium dan Proteus yang
berbentuk kelompokan (kolonisasi) di tempat bekas gigitan ular (Prihatini, 2007).
Manifestasi sistemik:
Umum
10
mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness,
prostration
Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,
otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis),
hemoptoe, hematuri, koagulasi intravascular diseminata (KID).
Neurototoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma.
Kardiotoksik : hipotensi, henti jantung, koma.
Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor,
paresthesia, paralysis pulselesness) .
11
Gambar 2.6 Gejala klinis gigitan ular berbisa (Prihatini, 2007)
12
2.7 Derajat Gigitan Ular
13
tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya
aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang
tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es (Akbar, 2006).
Tindakan Pelaksanaan
1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah
Menenangkan penderita
14
2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif
sebagai berikut:
Penatalaksanaan jalan napas
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas
diatas luka, imobilisasi (dengan bidai), debridement
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan),
polivalen 1 ml berisi:
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau
Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Kemudian diulang setiap 6 jam.
Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah), anti
serum diberikan setiap 24 jam sampai maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal
pada luka tidak dianjurkan. Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan
langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat pelan. SABU disimpan dalam
lemari es suhu 2-8 derajat celcius, jangan dalam frezer. Masa kadaluarsa 2 tahun.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat
pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way
(Depkes, 2001):
15
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU intravena
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU atau sampai 20 vial
perinfus sebanyak 7-10 kali (sebelum pemberian test terhadap
hipersensitivitas).
16
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan
menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah
untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk
penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi
minimal 2 minggu setelah gigitan
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasmafresh-frizen (dan antivenin)
17
Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan
untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih
dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai
kaki
Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang
tergigit akibat kejadian semacam itu.
(Sudoyo, 2006)
Reaksi antivenom
18
mononeuritis, dan proteinuria. Pengobatan anafilaksis awal dan reaksi pyrogenic
reaksi antivenom Epinefrin (adrenalin) diberikan intramuskuler (ke dalam otot
deltoideus atau lateralis atas paha) dalam dosis awal 0,5 mg untuk orang dewasa,
0,01 mg / kg berat badan untuk anak-anak. Parah, anafilaksis yang mengancam
kehidupan dapat berkembang sangat cepat dan begitu epinefrin (adrenalin) harus
diberikan pada tanda pertama dari reaksi, bahkan ketika hanya beberapa tempat
urtikaria muncul atau pada awal gatal, takikardia atau gelisah. Dosis dapat diulang
setiap 5-10 menit jika kondisi pasien memburuk(Rahim, 2006).
Tambahan pengobatan
19
Pada kasus gigitan ular untuk menegakkan diagnosis diperlukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan darah : Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT,
D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
2. Pemeriksaan urin : hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
3. EKG
4. Foto dada
20
BAB 3. LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah dan tidak bisa kencing setelah digigit ular
21
Pasien digigit ular pada kaki kirinya saat memeriksa mobil di garasi di
rumahnya pukul 02.30 WIB (12-4-2013). Menurut pasien, ular berukuran
sekitar sebesar jempol tangan pasien (diameter sekitar 3 cm), warna biru,
dan menggigit sebanyak 3 kali kemudian ular berlari dan tidak tertangkap.
Pasien tidak melihat bentuk kepala, gigi taring, dan bentuk mata ular.
Setelah digigit ular pasien merasa nyeri pada perut bawah karena tidak
bisa kencing. Selain itu pasien juga mengeluh kaki kirinya nyeri
kesemutan, serta bengkak disekitar luka gigitan sampai telapak kaki.
Pusing (-), mual (-), muntah (-), pingsan (-), demam (-), dan kejang (-).
Kemudian pasien dibawa ke pengobatan alternatif. Di sana pasien diobati
dengan daun-daunan yang ditempel ke luka bekas gigitan ular kemudian
dibebat dengan saputangan. Keesokan harinya karena keluhan masih juga
dirasakan akhirnya pasien berobat ke RSD dr. Soebandi.
JK:02.30 WIB (12-4-2013) JD: 08.30 WIB (13-4-2013)
c. Riwayat Penyakit Dahulu : (-)
22
Terdapat 2 luka bekas gigitan ular di 1/3 cruris sinistra, nyeri dan
oedem dari 1/3 cruris sinistra hingga pedis sinistra, nyeri perut
dan Anuria (+)
23
(Status Lokalis):
Regio Cruris sinistra 1/3 distal : 2 luka gigitan bekas taring, nyeri (+),
oedema (+)
Regio Pedis sinistra: oedema (+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
3.5 RESUME
24
Pasien laki-laki 38 tahun, terdapat 2 luka gigitan ular di regio cruris sinistra
1/3 distal, nyeri (+), oedem (+), dan anuria (+). Ular berukuran sekitar sebesar
jempol tangan pasien (diameter sekitar 3 cm), warna biru, dan menggigit 3
kali.
Sistem gastrointestinal : Nyeri Perut (+)
Sistem Urogenital : Anuri (+)
Sistem integumentum : Terdapat 2 luka bekas gigitan ular di regio
cruris sinistra 1/3 distal
Sistem musculoskeletal : Bengkak dan nyeri dari 1/3 medial cruris
sinistra sampai dengan seluruh region pedis sinistra.
(Status Lokalis):
Regio Cruris sinistra 1/3 distal : 2 luka gigitan bekas taring, nyeri (+),
oedema (+)
Regio Pedis sinistra: oedema (+)
25
- 3.7.3 Planning Monitoring
Evaluasi TTV (sistem kardiovaskuler)
Evaluasi tanda perdarahan dan penyebaran venom secara sistemik
Evaluasi komplikasi (neurotoksik, dan lain-lain)
3.7.4 Planning Edukasi
Menjelaskan pada pasien mengenai penyakitnya
Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya menghindari faktor-faktor
pencetus
Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya berobat dan kontrol
3.8 FOLLOW-UP
Kondisi Pasien 14 April 2013 (H1)
Kesadaran Composmentis
Nadi 72 x/menit
P IC tak teraba
26
Redup di ICS IV PSL dextra
P
sampai di ICS V MCL sinistra
P Sonor +/+
Abdomen I Cembung
A BU (+) normal
P Tympani
27
Diagnosis Snake Bite grade II Regio Cruris
Sinistra 1/3 Distal
Infus PZ 1500 cc/24 jam
Diet Bebas
Keluhan -
Kesadaran Composmentis
Nadi 68 x/menit
P IC tak teraba
28
sampai di ICS V MCL sinistra
P Sonor +/+
Abdomen I Cembung
A BU (+) normal
P Tympani
Urogenital
BAK + via DC 1150cc/24 jam
29
Diagnosis Snake Bite grade II Regio Cruris
Sinistra 1/3 Distal
Infus PZ 1500 cc/24 jam
Diet Bebas
Keluhan -
Kesadaran Composmentis
Nadi 72 x/menit
Suhu Tubuh 37 0C
P IC tak teraba
30
Redup di ICS IV PSL dextra
P
sampai di ICS V MCL sinistra
P Sonor +/+
Abdomen I Cembung
A BU (+) normal
P Tympani
31
Sinistra 1/3 Distal
Infus PZ 1500 cc/24 jam
Diet Bebas
3.9 PROGNOSIS
Dubia ad bonam
32
33