Referat Anemia Kelompok E
Referat Anemia Kelompok E
(Tinjauan Kepustakaan)
Oleh
KELOMPOK E
Pembimbing:
dr. Denny Vianto, Sp.PD
ii
Lembar Pengesahan Makalah Ilmiah
Oleh
Anisatul Hamida
Gayuh Puspitaningrum
Maya Rafida
Muhammad Ramzy
Siti Cholishotul Himmah
Arsiyoga Bimo Fadyhki
Fajar Wira Dwiputra
Muhammad Tegar Nugraha
Reyke Fortuna Maudy Sintya
Surabaya, 23 Oktober 2020
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Daftar Isi iii
Daftar Gambar iv
Daftar Tabel v
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Manfaat penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 3
2.4 Faktor Resiko 4
2.5 Klasifikasi 5
2.6 Patofisiologi 7
2.7 Penegakan Diagnosa 17
2.8 Tatalaksana 22
2.9 Komplikasi 25
2.10 Prognosis 26
BAB 3 PENUTUP 29
3.1 Kesimpulan 29
DAFTAR PUSTAKA 30
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patofisiologi anemia zat besi, penyakit kronik, dan talasemia 7
Gambar 2.2 Patofisiologi anemia as. folat, B12 dan anemia hipotiroid 11
Gambar 2.3 Patofisiologi Normositik Normokromik 16
Gambar 2.4 goritme pendekatan diagnosis anemia 20
Gambar 2.5 Algoritme pendekatan diagnosis pasien 20
Gambar 2.6 Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer 21
Gambar 2.7 Algoritme pendekatan diagnostic anemia makrositer 21
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB 1
PENDAHULUAN
Anemia adalah defisiensi jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin
(protein pembawa Oksigen) yang dikandungnya. Kekurangan sel darah merah
membatasi pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan sel jaringan.
Klasifikasi anemia berdasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin dalam
sel dibedakan menjadi anemia sel-makrositik (besar), normositik (normal), dan
mikrositik (kecil) dan kandungan hemoglobin- hipokromik (warna pucat) dan
normokromik (warna normal) 26.
Kurangnya zat besi di dalam tubuh dapat disebabkan oleh kurang makan
sumber makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup namun yang
dimakan bioavailabilitas besinya rendah sehingga jumlah zat besi yang diserap
kurang, dan makanan yang dimakan mengandung zat penghambat absorbsi besi.
Beberapa infeksi penyakit memperbesar risiko menderita anemia pada umumnya
adalah cacing. Anemia gizi lebih sering terjadi pada kelompok usia dengan
kriteria pendidikan yang rendah, kurang memahami kaitan anemia dengan faktor
lainnya, kurang mempunyai akses mengenai informasi anemia dan
penanggulangannya, kurang dapat memilih bahan makanan yang bergizi,
khususnya yang mengandung zat besi relatif tinggi, kurang dapat menggunakan
pelayanan kesehatan yang tersedia, ekonomi yang rendah karena kurang mampu
membeli makanan sumber zat besi karena harganya relatif mahal, kurang
1
mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia. Anemia
disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit
normal terutama zat besi, vitamin B12, dan asam folat. [4]
Selain defisiensi zat
gizi, Reactive Oxygene Species (ROS) pada sel darah merah merupakan salah
satu faktor penyebab utama anemia. Peningkatan ROS pada sel darah merah dapat
terjadi baik dengan aktivasi ROS atau dengan penekanan sistem antioksidan. Saat
sel darah merah mengalami peningkatan ROS yang berlebihan, maka
menyebabkan stres oksidatif 12.
Anemia bisa menyerang siapapun, tak terkecuali remaja yang masih berusia
dini. Anemia lebih sering terjadi pada remaja perempuan dibandingkan dengan
remaja laki-laki. Hal ini dikarenakan remaja putri kehilangan zat besi (Fe) saat
menstruasi sehingga membutuhkan lebih banyak asupan zat besi (Fe). Kemenkes
RI (2013) menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada semua
kelompok umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih
tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%). Prevalensi anemia berdasarkan
lokasi tempat tinggal menunjukkan tinggal di pedesaan memiliki persentase lebih
tinggi (22,80%) dibandingkan tinggal di perkotaan (20,60%), sementara
prevalensi anemia pada perempuan usia 15 tahun atau lebih adalah sebesar
22,70% 20.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Oleh: Muhammad Ramzi (20204881020)
2.2 Epidemiologi
Oleh: Muhammad Ramzi (20204881020)
2.3 Etiologi
Oleh: Fajar Wira Dwiputra (20204881037)
Etiologi anemia ini dapat ditinjau dari beberapa sisi. Yang pertama
adalah varietas gizi dan asupan. Varietas gizi ini berupa bagaimanakah
asupan gizi pasien. Dari maternal sampai sehari-hari. Zat gizi yang dibahas
disini adalah vitamin B12, asam folat, dan zat besi. Zat gizi ini biasa
dijumpai pada ikan, daging, olahan unggas, makanan terfermentasi,
3
bayam, kacang kacangan dan suplemen. Kalau dari asupan ini, berkaitan
dengan bagaimana sering pasien memakan makanan yang mengandung zat
tersebut atau bagaimanakah keterjangkauan makanan yang mengandung
zat demikian 7.
4
Faktor Risiko yang dapat menimbulkan defisiensi gizi terkait vitamin
B12 (cobalamin), folat, dan zat besi adalah faktor pendidikan akan
makanan dan pola makan sehat, sosial ekonomi, sosial budaya yang
anorexic, psikologis pasien terkait gangguan makan, anorexia dan
bullimia, pekerjaan/sekolah lembur yang mengurangi waktu makan pasien,
pekerjaan yang menekankan berat badan rendah seperti sales 7.
5
Oleh: Arsiyoga Bimo Fadhyki (20204881034)
Anemia sendiri dapat di golongkan berdasarkan dua kategori yaitu 6 :
1. Berdasarkan Patogenesis
Akut
Kronik
Acquired
Hereditary
6
(MCV 82-98 fL)
Defisiensi Besi Penyakit Defisiensi Folat
Penyakit Kronik kronik Defisiensi Vitamin
Thalasemia Penyakit B12
defisiensi Vit. A Ginjal
Bone
Marrow
Failure
7
2.6 Patofisiologi Anemia
Oleh: Maya Rafida (20204881017)
Pembentukan badan
↑ absorbsi Liposakarida bakteri
Ferritin serum ↓ inklusi erirtrosit
besi dalam dan IL-6
usus
Gang. eritropoesis
Stimulasi
eritropoesis ↑
Eritropoesis RBC ↓
8
Gambar 2.1 Patofisiologi anemia defisiensi zat besi, penyakit kronik, dan
talasemia
1. Anemia defisiensi zat besi
a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada
keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum
menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal 18.
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient
erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi
yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan
saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free
erythrocyte porphrin (FEP) meningkat 18.
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup
sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah
didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini
telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi
(ADB) yang lebih lanjut 18.
2. Anemia akibat penyakit kronik
9
duodenum. Kedua molekul juga mengatur ekspresi transporter logam
divalen (DMT-1), yang merupakan protein transmembran yang terlibat
dalam pengambilan besi oleh makrofag. Mereka juga menghambat
ekspresi (memulai internalisasi) ferroportin 1, yang menekan ekspor zat
besi dari makrofag ke prekursor eritroid yang sedang tumbuh. Proses ini
dipengaruhi oleh hepcidin 15.
Erythropoiesis dihambat oleh beberapa sitokin termasuk IFN-γ,
transformasi faktor pertumbuhan-β, dan TNF-α. Aksi sitokin ini dimediasi
melalui jalur p38 yang diaktivasi oleh mitogen protein kinase, sementara
IFN-γ bekerja melalui jalur kinase terkait-Janus (JAK / STAT). Aktivasi
jalur ini mengarah pada produksi faktor intraseluler yang meningkatkan
apoptosis dengan mengatur transkripsi dan akhirnya mielosupresi. IFN-γ
menstimulasi transkripsi feritin di satu sisi dan menghambat ekspresi
mRNA reseptor transferin (TfR) melalui proses yang tidak bergantung
pada elemen pengatur besi-protein. Ini juga meningkatkan ekspresi DMT-
1, yang terlibat dalam transpor aktif molekul besi dari lumen ke sitoplasma
sel endotel duodenum. Oleh karena itu, zat besi yang diserap disimpan
dalam sel-sel endotel usus yang akhirnya terlepas sementara kadar feritin
serum tetap meningkat 15.
Hepcidin adalah molekul seperti "jepit rambut" yang diproduksi oleh
hati dan menghambat penyerapan zat besi dari duodenum serta pelepasan
zat besi oleh makrofag sumsum tulang. Proses ini dimediasi melalui
pengaturan absorpsi besi usus serta konsentrasi besi plasma dan jaringan
dengan kemampuannya untuk menurunkan ferroportin reseptornya
tindakan ini tidak terbatas pada makrofag, tetapi juga terjadi pada eritrosit
duodenum. Hepcidin menurunkan regulasi transpor besi transepitel usus
dengan menyebabkan degradasi proteosom tergantung di mana-mana dari
DMT-1 usus. Efek pada DMT-1 dan ferroportin terjadi dengan
menginternalisasi dan menurunkan reseptor membran ini dan dengan
demikian, menghambat pelepasan zat besi oleh makrofag sambil
mengurangi penyerapan zat besi oleh sel mukosa usus 15.
3. Talasemia
10
Dalam keadaan normal, fetal hemoglobin (HbF) yang terdiri dari dua
rantai α dan dua rantai γ terdapat pada eritrosit janin mulai dari minggu
keenam kehamilan. Kemudian HbF mulai digantikan oleh adult
hemoglobin (HbA) yang terdiri dari dua rantai α dan dua rantai β sejak
sebelum kelahiran. Rantai γ digantikan dengan rantai β, berikatan dengan
rantai α membentuk HbA, reduksi dari rantai globin β menyebabkan
penurunan sintesis dari HbA serta meningkatnya rantai globin α bebas 17.
11
dan eritrosit yang rusak.Anemia pada β-thalassemia berat mencerminkan
eritropoiesis yang tidak efektif serta kelangsungan hidup sel darah merah
yang diperpendek sebagai konsekuensi dari inklusi α-globin. Sel
retikuloendotelial menyingkirkan eritrosit abnormal dari limpa, hati, dan
sumsum tulang sebelum masa hidupnya berakhir, sehingga tercipta
keadaan anemia hemolitik. Eritropoiesis yang tidak efektif serta hemolisis
inilah tanda utama dari talasemia β 17.
Anemia makrositer
Gang. Sintesis
Kadar eritropoetin Kapasitas proliferatif Pengangkutan zat besi
homositein
ginjal ↓ prekursor eritroid ↓ ↓
Gang. methioline
Gambar 2.2 Patofisiologi anemia defisiensi asam folat, vitamin B12 dan
anemia karena hipotiroid
12
memungkinkannya untuk mengikat glikoprotein yang disebut faktor
intrinsik, yang disekresikan oleh sel parietal lambung. Kompleks B12
yang baru terbentuk dan faktor intrinsik kemudian dapat mengikat reseptor
di ileum, yang memungkinkan penyerapan B12. Setelah diserap, B12
terlibat dalam jalur metabolisme yang penting dalam fungsi neurologis dan
hematologis. Jika B12 tidak dapat diserap, terlepas dari etiologinya,
banyak gangguan dapat terjadi2.
13
belakang, termasuk kolom dorsal, traktus kortikospinalis lateral, dan
traktus spinocerebellar, yang mengakibatkan hilangnya propriosepsi,
ataksia, perkembangan neuropati perifer, dan demensia 2.
14
Selain itu, terdapat bukti bahwa hormon tiroid memengaruhi pengangkutan
dan pemanfaatan zat besi. TSH dapat mempengaruhi hematopoiesis
dengan mengikat reseptor TSH fungsional, yang dapat ditemukan di
eritrosit dan beberapa jaringan ekstrathyroidal. Penjelasan lain untuk
kejadian bersama dari fungsi tiroid rendah dan anemia adalah bahwa ada
penyebab umum status tiroid abnormal dan anemia28.
15
oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor
Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL-6 dan IL-8. Interleukin-1
menyebabkan absorbs besi berkurang akibat pengelepasan besi ke dalam sirkulasi
terhambat, produksi protein fase akut (PFA), lekositosis dan demam. Hambatan
pelepasan besi ke sirkulasi ini diakibatkan oleh karena adanya peningkatan
produksi hepcidin oleh sel hepatosit, peningkatan hepsidin ini memberi umpan
balik negative terhadap pembentukan eritrosit dengan cara memecah ikatan dari
ferroportin dengan besi sehingga besi tidak dapat dihantarkan ke sumsum tulang
untuk eritropoiesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan
berkurang, sehingga absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat
mengaktifasi sel monosit dan makrofag menyebabkan ambilan besi serum
meningkat. TNF-α juga berasal dari makrofag berefek sama yaitu menekan
eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan hipoferemia
dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke dalam darah 8.
Penyakit ginjal kronik pada anemia normokromik normositik terjadi
karena gangguan produksi eritropoietin diakibatkan kerusakan pada ginjal
sehingga terjadi gangguan eritropoiesis. Pada perdarahan akut bentuk dan ukuran
sel darah merah normal dikarenakan penyebab anemianya disebabkan oleh
kehilangan jumlah darah karena merembesnya plasma dan sel darah keluar tubuh
16
.
Terjadinya infiltrasi pada sumsum tulang baik itu oleh karena metastasis
tumor yang ganas atau karena leukemia akan menyebabkan destruksi dari sumsum
tulang sehingga terjadi gangguan eritropoiesis. Pada leukemia ini terjadi kelainan
dari gugus sel klonal sehingga terjadi kelaiann dari pembentukan sel darah baik
itu sel darah merah ataupun sel darah lainnya. Hal ini juga berkonstribusi terhadap
penurunan Hb sehingga terjadi anemia 23.
16
Anemia penyakit Kronik Penyakit ginjal kronik Perdarahan akut
Inflamasi
Lisis eritrosit cepat Volume darah
Eritropoiesis
Hepsidin
Ferroportin
Anemia
Eritropoiesis
Eritrosit normal
Leukemia
17
Oleh: Siti Cholishotul Himmah (20204881027)
1. Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus
ditujukan untuk mengeksplorasi 3 :
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang seringkali dikeluhkan pasien seperti, perdarahan
spontan, pucat, bercak merah di kulit, masalah imunisasi, gatal-gatal
(alergi makanan, alergi kontak).
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada riwayat sekarang perlu digali 7 jumps lebih dalam untuk
membantu menegakkan diagnosis terdiri dari onset, lokasi, kronologi,
kuantitas, kualitas, faktor pemberat/ faktor peringan dan keluhan
penyerta.
c. Riwayat penyait dahulu
Perlu ditanyakan penyakit hematologi dan non hematologi yang pernah
dialami. Riwayat penyakit lain yang merupakan penyakit dasar
timbulnya anemia seperti pernyakit ginjal, kanker, penyakit endokrin
(tirotoksitosis), dan penyakit hati. Riwayat pemaparan bahan kimia,
fisik atau obat-obatan dapat menyebabkan anemia aplastik atau
hemolisis
d. Riwayat keluarga
Penyebab anemia bisa karena kongenital seperti defisiensi G6PD,
kelainan bawaan dari membrane eritrosit, hemoglobinopati,
thalassemia, dan sperositosis herediter.
e. Riwayat Psikososial
Evaluasi diet, diare, dan sindroma malabsorbsi kemungkinan anemia
akibat defisiensi asam folat atau besi. (Mujadiddah, 2018).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistemik dan menyeluruh.
Perhatian khusus diberikan pada berikut 14 :
a. Warna kulit : pucat, sianosis, ikterus
b. Purpura : petechie dan echymosis
18
c. Kuku : koilonychias (kuku sendok)
d. Mata : ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi
papil lidah, glossitis dan stomatitis angularis
f. Limfadenopati
g. Hepatomegali
h. Splenomegali
i. Nyeri tulang atau nyeri sternum
j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium Hematologik
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostic pokok
dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari 4:
a. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan ini dilakukan pada setiap kasus anemia tahap awal. Dari
pemeriksaan ini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik
anemia tersebut. Pemeriksaan ini terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC) dan hapusan
darah tepi.
b. Pemeriksaan darah seri anemia atau pemeriksaan rutin
Pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia, untuk
mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan
ini meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit, dan laju
endap darah.
c. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsusm tulang memberikan informasi mengenai
keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitive pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum
tulang siperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta kelainan hematologic yang dapat mensupresi
sistem eritroid, seperti sindrom mielodisplastik (MDS).
d. Pemeriksaan khusus
19
Pemeriksaan ini hanya dilakukan atas indikasi khusus, atau dilakukan
jika telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga berfungsi untuk
mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut, misalnya :
- Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (total iron binding
capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum,
reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang
(pearl’s stain).
- Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes
supresi deoksiuridin dan tes schiling.
- Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes comb, elektroforesis
hemoglobin dan lain-lain.
- Anemia aplastik : biopsy sumsum tulang
2) Pemeriksaan laboratorium nonhematologik
Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti
gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan hipotiroidisme. Pada kasus
anemia juga dapat disebabkan oleh penyakit dasar yang disertai
hiperuresemia ataupun sepsis maka diperlukan pemeriksaan seperti 4 :
a. Faal ginjal
b. Faal hati
c. Faal endokrin
d. Asam urat
e. Biakan kuman, dan lain-lain.
3) Pemeriksaan penunjang lain
Pada beberpa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang lain :
a. Biopsy kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
b. Radiologi : toraks, bone survey, USG, limfangiografi
c. Pemeriksaan sitogenetik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR/ polymerase chain reaction,
FISH/ fluorescene in situ hybridization) (Bakta, 2014 ; Bakta, 2018).
20
Gambar 2.4. Algoritme pendekatan diagnosis anemia
21
Gambar 2.6. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer
22
2.8 Tatalaksana Anemia
Oleh: Reyke Fortuna Maudy Sintya (20204881046)
23
pasca gastrektomi, atau achlorhydria, atau kehilangan yang terlalu tinggi untuk
terapi oral. Meskipun zat besi intravena lebih andal dan cepat didistribusikan ke
sistem retikuloendotelial daripada zat besi oral, zat ini tidak memberikan
peningkatan yang lebih cepat pada kadar hemoglobin 18.
2. Terapi anemia defisiensi Vit B12
24
Selain itu terdapat pula dalam berbagai sediaan multivitamin dan
mineral. Pengobatan pasien dengan anemia megaloblastik akut berupa
asam folat 1-5 mg intra muskular dan dilanjutkan dengan maintenance 1-2
mg/hari oral selama 1-2 minggu. Pemberian asam folat secara oral dengan
dosis 0,5-1 mg sehari pada pasien anemia megaloblastik umumnya
memuaskan. Terapi profilaktiks pada bayi prematur 50 mg/hari. Terapi
selama 4 bulan biasanya cukup untuk memperbaiki gejala klinis dan untuk
mengganti sel darah. Namun bila penyebab defisiensi belum dapat diatasi,
perlu terapi yang lebih lama. Rekomendasi dari US Public Health Service
(USPHS), semua wanita usia subur harus mengkonsumsi 400mg (0,4 mg)
asam folat/ hari untuk mencegah NTD. Pemberian sejak 1 bulan konsepsi
sampai kehamilan trimester pertama dapat mencegah NTD 50% atau lebih
pada wanita 21.
25
c. Obat imunosupresan : seperte cyclophosphamide dapat mensupresi
sintesis autoantibodi. Indikasi pemberian imunosupresan jika tidak
berespon terhadap terapi kortikosteroid.
d. Asam folat : 1 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah
merah yang meningkat.
e. Plasmaferesis : prosedur untuk membuang antibodi dari dalam darah,
dengan cara darah dikeluarkan dari tubuh dengan menggunakan jarum
kemudian plasma dipisahkan dari darah, lalu diganti dengan plasma
yang berasal dari donor. Terapi ini masih kontroversial.
f. Pembedahan : splenektomi dapat dilakukan pada pasien yang
mengalami splenomegali, dengan tujuan untuk menghentikan atau
mengurangi kerusakan dari sel darah merah. Indikasi : untuk pasien
yang mendapatkan prednison berkepanjangan > 15 mg/hari untuk
menjaga konsentrasi hemoglobin.
2.9 Komplikasi
Oleh: Gayuh Puspitaningrum (20204881013)
A. Komplikasi
1. Anemia Defisiensi Besi
Akibat-kibat yang merugikan kesehatan pada individu yang
menderita anemi gizi besi adalah:
a. Bagi bayi dan anak (0-9 tahun)
1) Gangguan perkembangan motoric dan koordinasi.
2) Gangguan perkembangan dan kemampuan belajar.
3) Gangguan pada psikologis dan perilaku
b. Remaja (10-19 tahun)
1) Gangguan kemampuan belajar
2) Penurunan kemampuan bekerja dan aktivitas fisik
3) Dampak negatif terhadap system pertahanan tubuh dalam
melawan penyakit infeksi
26
c. Orang dewasa pria dan wanita
1) Penurunan kerja fisik dan pendapatan.
2) Penurunan daya tahan terhadap keletihan
d. Wanita hamil
1) Peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu
2) Peningkatan angka kesakitan dan kematian janin
3) Peningkatan resiko janin dengan berat badan lahir rendah
2. Anemia Defisiensi Asam Folat
Defisiensi folat menyebabkan hiperhomosisteinemia yang
berhubungan erat dengan penyakit aterosklerosis, seperti coronary artery
disease (CAD) dan stroke.
Defisiensi asam folat selama kehamilan dapat menyebabkan cacat spina
bifida dan perkembangan lainnya pada janin. Wanita hamil yang tidak
mendapatkan cukup asam folat mempunyai risiko lebih tinggi memiliki
anak dengan cacat lahir. Defisiensi asam folat juga dapat menyebabkan
aborsi spontan, malformasi kongenital (neural tubr defect), dan
keterlambatan berbicara pada anak yang dilahirkan.
3. Anemia Aplastic
Pada anemia aplastic dapat menyebabkan komplikasi berupa
infeksi berat, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat. Komplikasi
mortalitas terbanyak pada kasus anemia aplastik berat adalah perdarahan
dan infeksi, seperti infeksi febrile neutropeni.
2.10 Prognosis
Oleh: Gayuh Puspitaningrum (20204881013)
27
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlansgung menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi
(seperti : infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal,
penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang
berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan
terhadap besi).
28
c. Pasien yang mengalami remisi sempurna atau parsial (sebagian kecil
pasien)
4. Anemia Hemolitik
a. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat: angka survival 10 tahun
sekitar 70% dengan tingkat mortalitas 5-10 tahun sekitar 15-25%
b. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin: pasien dengan sindrom
kronis memiliki survival baik dan cukup stabil
c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria: umumnya baik, dengan survival
cukup panjang
d. Anemia Hemolitik Non-Imun: tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Secara umum, angka mortalitas pada kasus anemia
hemolitik tergolong rendah, namun meningkat pada pasien berusia
lanjut dengan gangguan kardiovaskular.
5. Anemia Penyakit Kronis
Prognosis yang baik dapat diperoleh dengan mengobati penyakit
kronis yang mendasari dari anemia ini. Apabila tidak ditangani dengan
baik, anemia jenis ini dapat menyebabkan peningkatan angka mortalitas,
tergantung dari jenis penyakit yang mendasarinya 23.
29
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia merupakan suatu penyakit dimana pasien memiliki kadar
eritrosit yang rendah dengan etiologi yang bermacam-macam. Mulai dari
genetik, varietas makan, hingga pola makan pasien. Selain anemia sebagai
penyakit, anemia juga dapat dikatakan sebagai suatu kondisi atau
komplikasi yang dikarenakan suatu penyakit sebelumnya yang pada
umumnya adalah penyakit kronis. Selain karena faktor biologis, anemia ini
juga dapat disebabkan budaya, pendidikan yang secara tidak langsung
meningkatkan prognosis anemia seperti persepsi masyarakat akan gemuk
dan kurus dan persepsi masyarakat akan keselamatan kerja. Penderita
anemia pun juga berasal dari lapisan masyarakat yang relatif bermacam-
macam. Masyarakat perkotaan maupun pedesaan dapat terkena anemia,
dengan kelamin wanita yang berisiko terkena anemia lebih daripada laki-
laki. Prognosis dan kualitas hidup pasien dalam penanganan anemia ini
pada umumnya relatif baik bergantung pada etiologinya. Beberapa
memiliki kualitas hidup yang kurang buruk seperti penyakit-penyakit di
ranah paliatif, genetik, pendarahan akut, kehamilan yang tidak terkontrol,
kegagalan organ sistemik, demam akut, dsb.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Amalia A , Agustyas T..Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi.
MAJORITY.Desember 2016;5(5):166
2. Ankar A & Kumar A. Vitamin B12 Deficiency. In: StatPearls [Internet]. [Updated
2020 Jun 7]; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441923/
3. Bakta, I Made. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Pendekatan
Terhadap Pasien Anemia. InternaPublishing
4. Bakta, I Made. 2018. Hematologi Klinik Ringkas. ECG : Jakarta
5. Bakta, IM. Hematologi Klinik ringkas. Penerbit Buku Kedokteran. EGC: Jakarta;
2003. Hlm.98-109.
6. Callosium Neurology : Jurnal Berkala Neurologi Bali”, 2018 Vol. 1(2). Doi :
10.29342/cnj.v1i2
7. Chaparro CM, Suchdev PS. Anemia epidemiology, pathophysiology, and etiology
in low-and middle-income countries. Annals of the New York Academy of
Sciences. 2019 Aug;1450(1):15.
8. Fraenkel PG. Understanding anemia of chronic disease. Hematology. 2015 Dec
5;2015(1):14-8.
9. Fitriany, J., dkk. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Averrous, Volume: 4, Nomor; 2.
2018.
10. Hadiyanto, J.N., dkk. Anemia Penyakit Kronis. J Indon Med Assoc, Volum: 68,
Nomor; 10, Oktober 2018. Hlm.443-450.
11. Khan KM, Jialal I. Folic Acid (Folate) Deficiency. In: StatPearls [Internet].
[Updated 2020 Jun 30]; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535377/
12. Luchi, Yoshihito. Anemia Caused by Oxidative Stress. InTech: Croatia; 2012.
13. Moreno Chulilla JA, Romero Colás MS, Gutiérrez Martín M. Classification of
anemia for gastroenterologists. World J Gastroenterol. 2009;15(37):4627-4637.
doi:10.3748/wjg.15.4627
14. Mujadiddah, Nur. 2018. Buku Panduan Skill Lab Blok 14 (Edisi pertama).
Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Surabaya
15. Madu AJ & Ughasoro MD. Anaemia of Chronic Disease: An In-Depth
Review. Med Princ Pract. 2017;26(1):1-9
16. Muhammad A, Sianipar O. Penentuan defisiensi besi anemia penyakit kronis
menggunakan peran indeks sTfR-F. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory. 2018 Mar 13;12(1):9-15.
17. Nienhuis AW & Nathan DG. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis dari β-
Thalassemias. Cold Spring Harb Perspect Med . 2012; 2 (12): 11-726
18. Özdemir N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Turk
Pediatri Ars. 2015;50(1):11-19
19. Putra, M.M.A., dkk. Anemia Aplastik Berat dengan Komplikasi Febril
Neutropenia dan Perdarahan pada Perempuan Usia 20 Tahun. J Agromedicine,
Volume: 6, Nomor: 1; Juni 2019. Hlm.226-230.
20. Priyanto, Lukman Dwi. Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, dan Aktivitas Fisik
Santriwati Husada Dengan Anemia. Jurnal Berkala Epidemiologi, 6 (2); 2018.
Hlm.139-146.
21. Rajabto W., et al., 2016. “Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) Patients
Profile and Treatment Response to Corticosteroids”. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia Vol. 3(4).
31
22. Rachmilewitz EA & Giardina PJ. How I treat thalassemia. Blood. 2011;118(13):
347-351.
23. Rofinda ZD. Kelainan hemostasis pada leukemia. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012
Sep 1;1(2).
24. Roosleyn, Intan Parulian Tiurma. Strategi Dalam Penanggulangan Pencegahan
Anemia Pada Kehamilan. Jurnal Ilmiah Widya Volume 3. 3; 2016. Hlm.1-9.
25. Setiati S, MEpid SP, editors. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing;
2014. Hlm.2607-2608.
26. Stropler, T, Weiner, S. Krause’s Food & Nutrition Care Process 14th edition.
Elsivier. Canada; 2017.
27. Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. Analisis pola makan dan anemia gizi besi
pada remaja putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(1);
2015. Hlm.11– 18.
28. Wopereis DM, Du Puy RS, van Heemst D, et al. The Relation Between Thyroid
Function and Anemia: A Pooled Analysis of Individual Participant Data. J Clin
Endocrinol Metab. 2018;103(10):3658-3667
32