Anda di halaman 1dari 37

ANEMIA

(Tinjauan Kepustakaan)

Oleh
KELOMPOK E

Anisatul Hamida (20204881008)


Gayuh Puspitaningrum (20204881013)
Maya Rafida (20204881017)
Muhammad Ramzy (20204881020)
Siti Cholishotul Himmah (20204881027)
Arsiyoga Bimo Fadyhki (20204881034)
Fajar Wira Dwiputra (20204881037)
Muhammad Tegar Nugraha (20204881043)
Reyke Fortuna Maudy Sintya (20204881046)

Pembimbing:
dr. Denny Vianto, Sp.PD

Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya
RSUD. Dr. Soegiri Lamongan
2020

ii
Lembar Pengesahan Makalah Ilmiah

Tinjauan Kepustakaan dengan judul


ANEMIA

Ditulis dan dipresentasikan

Oleh
Anisatul Hamida
Gayuh Puspitaningrum
Maya Rafida
Muhammad Ramzy
Siti Cholishotul Himmah
Arsiyoga Bimo Fadyhki
Fajar Wira Dwiputra
Muhammad Tegar Nugraha
Reyke Fortuna Maudy Sintya
Surabaya, 23 Oktober 2020

Telah disetujui untuk dipresentasikan oleh


PEMBIMBING

Nama Tanda Tangan


dr. Denny Vianto, Sp.PD

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Daftar Isi iii
Daftar Gambar iv
Daftar Tabel v
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Manfaat penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 3
2.4 Faktor Resiko 4
2.5 Klasifikasi 5
2.6 Patofisiologi 7
2.7 Penegakan Diagnosa 17
2.8 Tatalaksana 22
2.9 Komplikasi 25
2.10 Prognosis 26
BAB 3 PENUTUP 29
3.1 Kesimpulan 29
DAFTAR PUSTAKA 30

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patofisiologi anemia zat besi, penyakit kronik, dan talasemia 7
Gambar 2.2 Patofisiologi anemia as. folat, B12 dan anemia hipotiroid 11
Gambar 2.3 Patofisiologi Normositik Normokromik 16
Gambar 2.4 goritme pendekatan diagnosis anemia 20
Gambar 2.5 Algoritme pendekatan diagnosis pasien 20
Gambar 2.6 Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer 21
Gambar 2.7 Algoritme pendekatan diagnostic anemia makrositer 21

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi anemia berdasarkan patogenensis 6


Tabel 2.2 Klasifikasi Anemia berdasarkan Morfologi Sel Darah Merah 6

v
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang sering
dijumpai di seluruh dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Kelainan tersebut merupakan penyebab disabilitas kronik yang berdampak besar
terhadap kondisi kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Penduduk dunia
yang mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20 miliar orang dengan
sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropis. Prevalensi anemia secara
global sekitar 51% 27.

Anemia adalah defisiensi jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin
(protein pembawa Oksigen) yang dikandungnya. Kekurangan sel darah merah
membatasi pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan sel jaringan.
Klasifikasi anemia berdasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin dalam
sel dibedakan menjadi anemia sel-makrositik (besar), normositik (normal), dan
mikrositik (kecil) dan kandungan hemoglobin- hipokromik (warna pucat) dan
normokromik (warna normal) 26.

Kurangnya zat besi di dalam tubuh dapat disebabkan oleh kurang makan
sumber makanan yang mengandung zat besi, makanan cukup namun yang
dimakan bioavailabilitas besinya rendah sehingga jumlah zat besi yang diserap
kurang, dan makanan yang dimakan mengandung zat penghambat absorbsi besi.
Beberapa infeksi penyakit memperbesar risiko menderita anemia pada umumnya
adalah cacing. Anemia gizi lebih sering terjadi pada kelompok usia dengan
kriteria pendidikan yang rendah, kurang memahami kaitan anemia dengan faktor
lainnya, kurang mempunyai akses mengenai informasi anemia dan
penanggulangannya, kurang dapat memilih bahan makanan yang bergizi,
khususnya yang mengandung zat besi relatif tinggi, kurang dapat menggunakan
pelayanan kesehatan yang tersedia, ekonomi yang rendah karena kurang mampu
membeli makanan sumber zat besi karena harganya relatif mahal, kurang

1
mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia. Anemia
disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit
normal terutama zat besi, vitamin B12, dan asam folat. [4]
Selain defisiensi zat
gizi, Reactive Oxygene Species (ROS) pada sel darah merah merupakan salah
satu faktor penyebab utama anemia. Peningkatan ROS pada sel darah merah dapat
terjadi baik dengan aktivasi ROS atau dengan penekanan sistem antioksidan. Saat
sel darah merah mengalami peningkatan ROS yang berlebihan, maka
menyebabkan stres oksidatif 12.

Anemia bisa menyerang siapapun, tak terkecuali remaja yang masih berusia
dini. Anemia lebih sering terjadi pada remaja perempuan dibandingkan dengan
remaja laki-laki. Hal ini dikarenakan remaja putri kehilangan zat besi (Fe) saat
menstruasi sehingga membutuhkan lebih banyak asupan zat besi (Fe). Kemenkes
RI (2013) menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada semua
kelompok umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih
tinggi (23,90%) dibanding laki-laki (18,40%). Prevalensi anemia berdasarkan
lokasi tempat tinggal menunjukkan tinggal di pedesaan memiliki persentase lebih
tinggi (22,80%) dibandingkan tinggal di perkotaan (20,60%), sementara
prevalensi anemia pada perempuan usia 15 tahun atau lebih adalah sebesar
22,70% 20.

1.2 Tujuan penulisan


Referat ini dibuat dengan tujuan untuk membahas temuan pada penyakit
Anemia secara keseluruhan berdasarkan literatur-literatur ilmiah yang relevan.
Dalam referat ini menjelaskan tenang definisi sampai dengan tatalaksana dari
Anemia.

1.3 Manfaat penulisan


Manfaat dari referat ini adalah dapat mengetahui mengenai Anemia secara
keseluruhan berdasarkan literatur-literatur yang relevan dan menambah informasi
bagi pembaca maupun penulis terkait dengan Anemia mulai dari definisi sampai
dengan tatalaksananya.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Oleh: Muhammad Ramzi (20204881020)

Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya


konsentrasi hemoglobin didalam tubuh. Anemia bukan suatu keadaan
spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh bermacammacam reaksi
patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak
menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia
berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat
beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung 1.

2.2 Epidemiologi
Oleh: Muhammad Ramzi (20204881020)

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia,


prevalensi anemia pada anak usia kurang dari 4 tahun diperkirakan
terdapat 43%. Survei Nasional di Indonesia (1992) mendapatkan bahwa
56% anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, pada survey tahun
1995 ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24- 35% dari anak
sekolah menderita anemia. Gejala yang samar pada anemia ringan hingga
sedang menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat ditanggulangi.
Keadaan ini berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kematian pada
anak 1.

2.3 Etiologi
Oleh: Fajar Wira Dwiputra (20204881037)

Etiologi anemia ini dapat ditinjau dari beberapa sisi. Yang pertama
adalah varietas gizi dan asupan. Varietas gizi ini berupa bagaimanakah
asupan gizi pasien. Dari maternal sampai sehari-hari. Zat gizi yang dibahas
disini adalah vitamin B12, asam folat, dan zat besi. Zat gizi ini biasa
dijumpai pada ikan, daging, olahan unggas, makanan terfermentasi,

3
bayam, kacang kacangan dan suplemen. Kalau dari asupan ini, berkaitan
dengan bagaimana sering pasien memakan makanan yang mengandung zat
tersebut atau bagaimanakah keterjangkauan makanan yang mengandung
zat demikian 7.

Yang kedua, adalah faktor pencernaan pasien. Faktor pencernaan ini


berkaitan dengan ada tidaknya gangguan pada pencernaan pasien. Bila
terganggu, maka nutrisi atau energi yang diserap dalam makanan juga
terganggu, termasuk vitamin B12, asam folat, dan zat besi. Gangguan
pencernaan yang dapat menyebabkan anemia dapat berupa infeksi parasit
(sistosomiasis, amoebiasis, ascariasis, infeksi cacing tambang,dsb).
gangguan empedu, gangguan lambung, dst 7.
Yang ketiga, adalah faktor penyakit selain anemia tersebut. Anemia
ini dapat berupa komplikasi dari suatu penyakit. Bisa karena penyakit akut
ataupun kronis. Untuk penyakit akut, ini dikarenakan pemakaian sel darah
merah yang digunakan sebagai energi untuk leukositosis dan proses kerja
imun lainnya. Demam akut yang dimaksud dapat berupa demam tanpa
sebab jelas (FUO), ISPA (common cold), DBD, malaria, TB akut, AIDS,
radang tifoid dan penyakit-penyakit lainnya yang menimbulkan demam.
Untuk penyakit kronis, dapat melalui pola yang demikian juga (namun
lebih perlahan), atau gangguan pada penyerapan dikarenakan menyerang
pencernaan. Penyakit kronis tersebut dapat berupa TB kronis, infeksi
parasit, HIV tanpa AIDS dan sebagainya 7.
Yang keempat, adalah faktor genetik atau keturunan. Bila dalam garis
keturunan sebelumnya ada yang mengalami gangguan demikian, maka
keturunan berikutnya memiliki peluang untuk memilik gangguan genetik
yang sama. Gen yang diturunkan ini mengganggu pembentukan
Hemoglobin A sehingga sel darah bentuknya dapat kurang optimal (sickle
cell anemia), atau mengalami lisis dengan cepat (thalassemia) 7.

2.4 Faktor Resiko


Oleh: Fajar Wira Dwiputra (20204881037)

4
Faktor Risiko yang dapat menimbulkan defisiensi gizi terkait vitamin
B12 (cobalamin), folat, dan zat besi adalah faktor pendidikan akan
makanan dan pola makan sehat, sosial ekonomi, sosial budaya yang
anorexic, psikologis pasien terkait gangguan makan, anorexia dan
bullimia, pekerjaan/sekolah lembur yang mengurangi waktu makan pasien,
pekerjaan yang menekankan berat badan rendah seperti sales 7.

Faktor Risiko yang dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan


pasien adalah faktor pendidikan/sosial budaya akan cuci tangan dan
beralas kaki, faktor sanitasi, faktor sosial ekonomi, pekerjaan (bekerja di
pertanian/perkebunan dan pertambangan), ketersediaan makanan dan air
bersih, dan apakah pasien mengunjungi daerah dengan sanitasi dan
ketersediaan makanan dan air bersih yang buruk 7.

Untuk dikarenakan suatu penyakit primer, ini dapat dipicu oleh


berbagai faktor risiko, seperti tempat tinggal pasien (apakah pasien tinggal
di daerah wabah atau tidak, seperti malaria, DBD, Tuberculosis,
Tripanosomiasis, COVID-19,dan sebagainya, apakah pasien tinggal di
daerah yang padat dengan ventilasi rendah, bagaimanakah ketersediaan air
bersih di tempat pasien), riwayat perjalanan atau pergi jauh pasien (apakah
pasien mengunjungi suatu daerah wabah atau tidak, apakah pasien
mengunjungi suatu daerah dengan sanitasi buruk). pendidikan atau sosial
budaya pasien (kebiasaan cuci tangan, bagaimana sikap sekolah atau
kantor bila ada yang sakit terutama yang menimbulkan demam dan
menular, apakah pasien tahu bagaimana dan kapan memakai masker), dan
kesehatan ventilasi tempat kerja/sekolah pasien, riwayat berpasangan
pasien, riwayat HIV orang tua pasien, riwayat penggunaan obat terlarang,
dan pekerjaan pasien (perawat/dokter yang sering berurusan dengan jarum,
pekerja seks komersial) 7.

Faktor Risiko yang terakhir adalah faktor keturunan sebelumnya. Baik


orang tua, kakek, atau leluhur 7.

2.5 Klasifikasi Anemia

5
Oleh: Arsiyoga Bimo Fadhyki (20204881034)
Anemia sendiri dapat di golongkan berdasarkan dua kategori yaitu 6 :

1. Berdasarkan Patogenesis
 Akut
 Kronik
 Acquired
 Hereditary

Tabel 2.1 Klasifikasi anemia berdasarkan patogenensis

Peningkatan RBC loss / destruction

Blood loss Excessive hemolysis

Akut Kronik Acquired Keturunan

Perdarahan  Infeksi  Immune Kelainan


Postpartum Hookworm Mediated hemoglobin
 Ulcer  Infeksi (talasemia)
 Sistosomiasis Malaria

2. Berdasarkan Morfologi Sel Darah Merah 13


 Microcytic
 Normocytic,Normochromic
 Macrocytic

Tabel 2.2 Klasifikasi Anemia berdasarkan Morfologi Sel Darah Merah

Defisiensi / Defektif Eritropoesis


Microcytic (MCV < 82 fL) Normocytic, Macrocytic (MCV > 98)
Normochromic

6
(MCV 82-98 fL)
 Defisiensi Besi  Penyakit  Defisiensi Folat
 Penyakit Kronik kronik  Defisiensi Vitamin
 Thalasemia  Penyakit B12
defisiensi Vit. A Ginjal
 Bone
Marrow
Failure

7
2.6 Patofisiologi Anemia
Oleh: Maya Rafida (20204881017)

Anemia hipokromik mikrositer

Intake Fe ↓ Invasi mikroba


Mutasi gen
Absorbsi ↓ Keganasan kromosom 11 & 16

Kebutuhan Fe ↑ Gang. autoimun


Ketidakseimbanga
n rantai globin alfa
Cadangan Fe↓ Aktivasi limfosit dan beta
T, CD3, stikon

Pembentukan badan
↑ absorbsi Liposakarida bakteri
Ferritin serum ↓ inklusi erirtrosit
besi dalam dan IL-6
usus

Aktivasi hepcidin Kerusakan Kerusakan membran


kadar besi ↓ eritroblas di sutul eritrosist dan
di sutul destruksi
Pemecahan Ferroportin
dan DMT 1
Gang. Sintesis
Imonoglubulin
heme
berikatan dengan
membran
↓Pengeluaran Blok tranfer Fe
Gang. besi dari
eritropoesis penyimpan
Aktivasi makrofag
makrofag
Absorbsi besi ↓ di GI
Anemia defisiensi
Pembersihan
zat besi
eritrosit
Eritropoetin ↑
Sintesis heme ↓

Gang. eritropoesis
Stimulasi
eritropoesis ↑
Eritropoesis RBC ↓

Hiperpalasia dan Anemia karena


Anemi karena
deformitas tulang talasemia
penyakit kronik

8
Gambar 2.1 Patofisiologi anemia defisiensi zat besi, penyakit kronik, dan
talasemia
1. Anemia defisiensi zat besi
a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada
keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum
menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal 18.
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient
erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi
yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan
saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free
erythrocyte porphrin (FEP) meningkat 18.
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup
sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah
didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini
telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi
(ADB) yang lebih lanjut 18.
2. Anemia akibat penyakit kronik

Invasi mikroba, keganasan dan gangguan autoimun menyebabkan


aktivasi limfosit T CD3 dan makrofag yang melepaskan sitokin - IFN-γ
(dari sel T), TNF-α, IL-1 dan -6 (dari monosit). TNF-α disekresikan juga
oleh neutrofil, makrofag, sel T, dan sel pembunuh alami sebagai respons
terhadap stimulasi oleh IL-2. Lipopolisakarida bakteri dan IL-6
menginduksi sel hati untuk melepaskan hepcidin, yang meningkatkan
pemecahan ferroportin, yang menyebabkan blokade transfer besi

9
duodenum. Kedua molekul juga mengatur ekspresi transporter logam
divalen (DMT-1), yang merupakan protein transmembran yang terlibat
dalam pengambilan besi oleh makrofag. Mereka juga menghambat
ekspresi (memulai internalisasi) ferroportin 1, yang menekan ekspor zat
besi dari makrofag ke prekursor eritroid yang sedang tumbuh. Proses ini
dipengaruhi oleh hepcidin 15.
Erythropoiesis dihambat oleh beberapa sitokin termasuk IFN-γ,
transformasi faktor pertumbuhan-β, dan TNF-α. Aksi sitokin ini dimediasi
melalui jalur p38 yang diaktivasi oleh mitogen protein kinase, sementara
IFN-γ bekerja melalui jalur kinase terkait-Janus (JAK / STAT). Aktivasi
jalur ini mengarah pada produksi faktor intraseluler yang meningkatkan
apoptosis dengan mengatur transkripsi dan akhirnya mielosupresi. IFN-γ
menstimulasi transkripsi feritin di satu sisi dan menghambat ekspresi
mRNA reseptor transferin (TfR) melalui proses yang tidak bergantung
pada elemen pengatur besi-protein. Ini juga meningkatkan ekspresi DMT-
1, yang terlibat dalam transpor aktif molekul besi dari lumen ke sitoplasma
sel endotel duodenum. Oleh karena itu, zat besi yang diserap disimpan
dalam sel-sel endotel usus yang akhirnya terlepas sementara kadar feritin
serum tetap meningkat 15.
Hepcidin adalah molekul seperti "jepit rambut" yang diproduksi oleh
hati dan menghambat penyerapan zat besi dari duodenum serta pelepasan
zat besi oleh makrofag sumsum tulang. Proses ini dimediasi melalui
pengaturan absorpsi besi usus serta konsentrasi besi plasma dan jaringan
dengan kemampuannya untuk menurunkan ferroportin reseptornya
tindakan ini tidak terbatas pada makrofag, tetapi juga terjadi pada eritrosit
duodenum. Hepcidin menurunkan regulasi transpor besi transepitel usus
dengan menyebabkan degradasi proteosom tergantung di mana-mana dari
DMT-1 usus. Efek pada DMT-1 dan ferroportin terjadi dengan
menginternalisasi dan menurunkan reseptor membran ini dan dengan
demikian, menghambat pelepasan zat besi oleh makrofag sambil
mengurangi penyerapan zat besi oleh sel mukosa usus 15.  

3. Talasemia

10
Dalam keadaan normal, fetal hemoglobin (HbF) yang terdiri dari dua
rantai α dan dua rantai γ terdapat pada eritrosit janin mulai dari minggu
keenam kehamilan. Kemudian HbF mulai digantikan oleh adult
hemoglobin (HbA) yang terdiri dari dua rantai α dan dua rantai β sejak
sebelum kelahiran. Rantai γ digantikan dengan rantai β, berikatan dengan
rantai α membentuk HbA, reduksi dari rantai globin β menyebabkan
penurunan sintesis dari HbA serta meningkatnya rantai globin α bebas 17.

Patologi ini ditandai dengan penurunan produksi Hb dan kelangsungan


hidup sel darah merah (RBC), akibat dari kelebihan rantai globin yang
tidak terpengaruh, yang membentuk homotetramer tidak stabil yang
mengendap sebagai badan inklusi. α-homotetramer pada β-thalassemia
lebih tidak stabil daripada β-homotetramer pada α-thalassemia dan oleh
karena itu mengendap lebih awal dalam rentang hidup RBC, menyebabkan
kerusakan sel darah merah yang nyata dan hemolisis parah yang terkait
dengan eritropoiesis (IE) dan hemolisis ekstrameduler yang tidak efektif. 
Pada β-thalassemia berat, eritropoiesis menghasilkan rongga sumsum yang
meluas yang menimpa tulang normal dan menyebabkan distorsi kranium,
serta tulang wajah dan panjang. Selain itu, aktivitas eritroid berkembang
biak di situs hematopoietik ekstrameduler, menyebabkan limfadenopati
ekstensif, hepatosplenomegali, dan, dalam beberapa kasus, tumor
ekstrameduler. IE berat, anemia kronis, dan hipoksia juga menyebabkan
peningkatan absorpsi zat besi pada saluran gastrointestinal (GI) 17.

Ketidakseimbangan sintesis rantai globin α dan β mempengaruhi


derajat talasemia. Presipitat yang terbentuk dari akumulasi rantai α
membentuk badan inklusi pada eritrosit,  pembentukan inklusi rantai-α
terjadi lebih awal selama eritropoiesis dan mencapai puncaknya pada
eritroblas polikromatofilik, yang menyebabkan apoptosis seluler.
Menyebabkan kerusakan membran eritrosit serta destruks dini eritroblas
yang sedang berkembang di sumsum tulang. Kerusakan membran
menyebabkan imunoglobulin dan komplemen berikatan dengan membran,
memberi sinyal kepada makrofag untuk menyingkirkan prekursor eritroid

11
dan eritrosit yang rusak.Anemia pada β-thalassemia berat mencerminkan
eritropoiesis yang tidak efektif serta kelangsungan hidup sel darah merah
yang diperpendek sebagai konsekuensi dari inklusi α-globin. Sel
retikuloendotelial menyingkirkan eritrosit abnormal dari limpa, hati, dan
sumsum tulang sebelum masa hidupnya berakhir, sehingga tercipta
keadaan anemia hemolitik. Eritropoiesis yang tidak efektif serta hemolisis
inilah tanda utama dari talasemia β 17.

Anemia makrositer

Intake vitamin B12↓

Gang. Absorbsi B12 T3 dan T4 ↓

Gang. Sintesis
Kadar eritropoetin Kapasitas proliferatif Pengangkutan zat besi
homositein
ginjal ↓ prekursor eritroid ↓ ↓

Gang. methioline

Gang. 5 metil THF Gang. eritropoesis


Intake vitamin asam folat ↓

THFA tidak terbentuk Gang. Absorbsi asam folat


Anemia karena
Anemia defisiensi hipotiroid
Sintesis DNA
terganggu asam folat dan B12

Gambar 2.2 Patofisiologi anemia defisiensi asam folat, vitamin B12 dan
anemia karena hipotiroid

1. Anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat

Pada pasien sehat, makanan vitamin B12 mengikat protein yang


disebut faktor-R, yang disekresikan dari kelenjar ludah. Setelah kompleks
tiba di usus kecil, B12 dibelah dari faktor-R oleh enzim pankreas,

12
memungkinkannya untuk mengikat glikoprotein yang disebut faktor
intrinsik, yang disekresikan oleh sel parietal lambung. Kompleks B12
yang baru terbentuk dan faktor intrinsik kemudian dapat mengikat reseptor
di ileum, yang memungkinkan penyerapan B12. Setelah diserap, B12
terlibat dalam jalur metabolisme yang penting dalam fungsi neurologis dan
hematologis. Jika B12 tidak dapat diserap, terlepas dari etiologinya,
banyak gangguan dapat terjadi2.

Vitamin B12 adalah kofaktor untuk enzim metionin sintase, yang


digunakan dalam konversi homosistein menjadi metionin. Sebagai produk
sampingan dari reaksi ini, metil-THF diubah menjadi THFA, yang diubah
menjadi zat antara yang digunakan dalam sintesis basa pirimidin
DNA. Pada defisiensi B12, homosistein tidak dapat diubah menjadi
metionin, dan dengan demikian, metil-THF tidak dapat diubah menjadi
THF. Akibatnya, kadar homosistein menumpuk, dan basa pirimidin tidak
dapat dibentuk, memperlambat sintesis DNA dan menyebabkan anemia
megaloblastik. Anemia kemudian menyebabkan gejala seperti kelelahan
dan pucat yang biasa terlihat pada pasien dengan defisiensi vitamin
B12. Sintesis DNA yang rusak menyebabkan masalah pada jalur sel lain
yang berkembang biak dengan cepat, seperti poli morfik nuklear
(PMN). Dengan demikian, defisiensi B12 secara khas menghasilkan
pembentukan neutrofil hipersegmentasi2.

Vitamin B12 juga digunakan sebagai kofaktor untuk enzim


methylmalonyl-CoA mutase, yang mengubah methylmalonyl-CoA
menjadi succinyl-CoA. Pada pasien dengan defisiensi B12, kadar asam
metilmalonat (MMA) akan terakumulasi, karena tidak dapat diubah
menjadi suksinil-KoA. Dihipotesiskan bahwa peningkatan kadar MMA,
bersama dengan peningkatan kadar homosistein, berkontribusi pada
kerusakan mielin, menyebabkan defisit neurologis, seperti neuropati dan
ataksia, terlihat pada pasien ini. Kerusakan pada mielin dalam kondisi
yang dikenal sebagai degenerasi gabungan subakut dari sumsum tulang
belakang. Kondisi ini mempengaruhi berbagai bagian dari sumsum tulang

13
belakang, termasuk kolom dorsal, traktus kortikospinalis lateral, dan
traktus spinocerebellar, yang mengakibatkan hilangnya propriosepsi,
ataksia, perkembangan neuropati perifer, dan demensia 2.

Folat tidak disimpan dengan baik, dan defisiensi dapat berkembang


dalam beberapa minggu sampai bulan pada orang dengan diet defisiensi
folat. Sebagian besar serum folat hadir dalam bentuk 5-
methyltetrahydrofolate (5-methyl THFA) yang tidak aktif. Saat memasuki
sel, 5-metil THFA berdemetilasi menjadi THFA, bentuk aktif biologis
yang terlibat dalam reaksi enzimatik yang bergantung pada
folat. Cobalamin (B-12) berfungsi sebagai co-faktor untuk terjadinya
demetilasi ini, dan jika tidak ada, folat "terperangkap" di dalam sel sebagai
5-metil THFA. THFA terlibat dalam pembentukan banyak koenzim dalam
sistem metabolisme, terutama untuk sintesis purin dan pirimidin, sintesis
nukleoprotein, dan pemeliharaan pada eritropoiesis. Akibatnya,
kekurangan folat menyebabkan kerusakan pembelahan sel, akumulasi
metabolit toksik, dan penyampaian reaksi metilasi yang diperlukan untuk
regulasi ekspresi gen 11.

2. Anemia pada hipotiroid

Untuk hipotiroidisme subklinis terdapat banyak bukti yang


menunjukkan bahwa fungsi tiroid yang rendah mungkin secara kausal
terkait dengan anemia melalui defisit dalam produksi eritrosit yang sehat,
meskipun mekanisme yang mendasari hormon tiroid dan TSH dapat
menyebabkan anemia belum sepenuhnya dipahami. T3, T4, dan TSH
mungkin memainkan peran langsung dalam eritropoiesis . Misalnya, baik
T3 dan T4 terlibat dalam regulasi hematopoiesis dengan mempengaruhi
kapasitas proliferatif prekursor eritroid. Selain itu, stimulasi langsung yang
dimediasi reseptor β 2-adrenergik dari prekursor sel darah merah oleh T4
telah ditunjukkan. T4 juga telah ditemukan untuk merangsang inisiasi dan
penyelesaian rantai protein hemoglobin in vitro dan untuk meningkatkan
pembentukan sel darah merah. Hormon tiroid juga terbukti meningkatkan
eritropoiesis dengan meningkatkan produksi eritropoietin oleh ginjal.

14
Selain itu, terdapat bukti bahwa hormon tiroid memengaruhi pengangkutan
dan pemanfaatan zat besi. TSH dapat mempengaruhi hematopoiesis
dengan mengikat reseptor TSH fungsional, yang dapat ditemukan di
eritrosit dan beberapa jaringan ekstrathyroidal. Penjelasan lain untuk
kejadian bersama dari fungsi tiroid rendah dan anemia adalah bahwa ada
penyebab umum status tiroid abnormal dan anemia28.

Oleh Anisatul Hamida (20204881008)

Anemia normokromik normositik meruopakan anemia dimana


bentuk dan ukuran sel darah merah normal, biasanya terjadi oleh karena
beberapa hal antara lain perdarahan akut, anemia karena penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, dan infiltrasi sumsum tulang. Pada anemia
Penyakit kronis ini ditandai dengan kelainan metabolism besi, sehingga
terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis besar
pathogenesis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3 abnormalitas
utama: (1) ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit lebih dini, (2) adanya respon sumsum tulang akibat respon
eritropoetin yang terganggu atau menurun, (3) gangguan metabolisme
berupa gangguan reutilisasi besi 16.
Ketahanan hidup eritrosit yang memendek ini contohnya pada thalassemia
dan AIHA dimana pada thalassemia terjadi ketidaksempurnaan pembentukan
eritrosit dimana eritrosit kekurangan hemoglobin didalamnya sehingga sel darah
merah yang tidak sempurna ini usianya lebih cepat dan mudah lisis, sedangkan
pada AIHA(Autoimun Hemolitik Anemia) terjadi kelainan dimana terbentuk auto
antibody terhadap eritrosit, sehingga menimbulkan destruksi (hemolysis) dari
trombosit 16.
Infeksi kronis juga berperan dalam anemia karena penyakit kronik dimana
pada proses inflamasi Pada fase awal proses infamasi terjadi induksi fase akut

15
oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor
Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL-6 dan IL-8. Interleukin-1
menyebabkan absorbs besi berkurang akibat pengelepasan besi ke dalam sirkulasi
terhambat, produksi protein fase akut (PFA), lekositosis dan demam. Hambatan
pelepasan besi ke sirkulasi ini diakibatkan oleh karena adanya peningkatan
produksi hepcidin oleh sel hepatosit, peningkatan hepsidin ini memberi umpan
balik negative terhadap pembentukan eritrosit dengan cara memecah ikatan dari
ferroportin dengan besi sehingga besi tidak dapat dihantarkan ke sumsum tulang
untuk eritropoiesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan
berkurang, sehingga absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat
mengaktifasi sel monosit dan makrofag menyebabkan ambilan besi serum
meningkat. TNF-α juga berasal dari makrofag berefek sama yaitu menekan
eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan hipoferemia
dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke dalam darah 8.
Penyakit ginjal kronik pada anemia normokromik normositik terjadi
karena gangguan produksi eritropoietin diakibatkan kerusakan pada ginjal
sehingga terjadi gangguan eritropoiesis. Pada perdarahan akut bentuk dan ukuran
sel darah merah normal dikarenakan penyebab anemianya disebabkan oleh
kehilangan jumlah darah karena merembesnya plasma dan sel darah keluar tubuh
16
.
Terjadinya infiltrasi pada sumsum tulang baik itu oleh karena metastasis
tumor yang ganas atau karena leukemia akan menyebabkan destruksi dari sumsum
tulang sehingga terjadi gangguan eritropoiesis. Pada leukemia ini terjadi kelainan
dari gugus sel klonal sehingga terjadi kelaiann dari pembentukan sel darah baik
itu sel darah merah ataupun sel darah lainnya. Hal ini juga berkonstribusi terhadap
penurunan Hb sehingga terjadi anemia 23.

16
Anemia penyakit Kronik Penyakit ginjal kronik Perdarahan akut

Gangguan produksi Plasma dan eritrosit


Infeksi kronis Thalasemia & AIHA
eritropoietin merembes keluar

Inflamasi
Lisis eritrosit cepat Volume darah
Eritropoiesis

Sitokin IL-1 & IL-6


Penurunan Hb
Penurunan Hb

Hepsidin

Ferroportin

Anemia

Eritropoiesis

Serum Fe dan TIBC Penurunan Hb


Ferritin normal

Eritrosit normal

Kelainan gugus sel klonal

Leukemia

Infiltrasi sumsum tulang

Gambar 2.3. Patofisiologi Normositik Normokromik

2.7 Penegakan Diagnosis

17
Oleh: Siti Cholishotul Himmah (20204881027)

1. Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus
ditujukan untuk mengeksplorasi 3 :
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang seringkali dikeluhkan pasien seperti, perdarahan
spontan, pucat, bercak merah di kulit, masalah imunisasi, gatal-gatal
(alergi makanan, alergi kontak).
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada riwayat sekarang perlu digali 7 jumps lebih dalam untuk
membantu menegakkan diagnosis terdiri dari onset, lokasi, kronologi,
kuantitas, kualitas, faktor pemberat/ faktor peringan dan keluhan
penyerta.
c. Riwayat penyait dahulu
Perlu ditanyakan penyakit hematologi dan non hematologi yang pernah
dialami. Riwayat penyakit lain yang merupakan penyakit dasar
timbulnya anemia seperti pernyakit ginjal, kanker, penyakit endokrin
(tirotoksitosis), dan penyakit hati. Riwayat pemaparan bahan kimia,
fisik atau obat-obatan dapat menyebabkan anemia aplastik atau
hemolisis
d. Riwayat keluarga
Penyebab anemia bisa karena kongenital seperti defisiensi G6PD,
kelainan bawaan dari membrane eritrosit, hemoglobinopati,
thalassemia, dan sperositosis herediter.
e. Riwayat Psikososial
Evaluasi diet, diare, dan sindroma malabsorbsi kemungkinan anemia
akibat defisiensi asam folat atau besi. (Mujadiddah, 2018).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistemik dan menyeluruh.
Perhatian khusus diberikan pada berikut 14 :
a. Warna kulit : pucat, sianosis, ikterus
b. Purpura : petechie dan echymosis

18
c. Kuku : koilonychias (kuku sendok)
d. Mata : ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi
papil lidah, glossitis dan stomatitis angularis
f. Limfadenopati
g. Hepatomegali
h. Splenomegali
i. Nyeri tulang atau nyeri sternum
j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium Hematologik
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostic pokok
dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari 4:
a. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan ini dilakukan pada setiap kasus anemia tahap awal. Dari
pemeriksaan ini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik
anemia tersebut. Pemeriksaan ini terdiri dari pengukuran kadar
hemoglobin, indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC) dan hapusan
darah tepi.
b. Pemeriksaan darah seri anemia atau pemeriksaan rutin
Pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia, untuk
mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan
ini meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit, dan laju
endap darah.
c. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsusm tulang memberikan informasi mengenai
keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitive pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum
tulang siperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta kelainan hematologic yang dapat mensupresi
sistem eritroid, seperti sindrom mielodisplastik (MDS).
d. Pemeriksaan khusus

19
Pemeriksaan ini hanya dilakukan atas indikasi khusus, atau dilakukan
jika telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga berfungsi untuk
mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut, misalnya :
- Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (total iron binding
capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum,
reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang
(pearl’s stain).
- Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes
supresi deoksiuridin dan tes schiling.
- Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes comb, elektroforesis
hemoglobin dan lain-lain.
- Anemia aplastik : biopsy sumsum tulang
2) Pemeriksaan laboratorium nonhematologik
Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti
gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan hipotiroidisme. Pada kasus
anemia juga dapat disebabkan oleh penyakit dasar yang disertai
hiperuresemia ataupun sepsis maka diperlukan pemeriksaan seperti 4 :
a. Faal ginjal
b. Faal hati
c. Faal endokrin
d. Asam urat
e. Biakan kuman, dan lain-lain.
3) Pemeriksaan penunjang lain
Pada beberpa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang lain :
a. Biopsy kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
b. Radiologi : toraks, bone survey, USG, limfangiografi
c. Pemeriksaan sitogenetik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR/ polymerase chain reaction,
FISH/ fluorescene in situ hybridization) (Bakta, 2014 ; Bakta, 2018).

20
Gambar 2.4. Algoritme pendekatan diagnosis anemia

Gambar 2.5. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik


normositer

21
Gambar 2.6. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer

Gambar 2.7. Algoritme pendekatan diagnostic anemia makrositer

22
2.8 Tatalaksana Anemia
Oleh: Reyke Fortuna Maudy Sintya (20204881046)

1. Terapi anemia defisiensi besi

Sesudah diagnosis defisiensi besi ditegakkan, pengobatan harus


segera dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Prinsip tata
laksana anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.
Preparat besi dapat diberikan melalui oral atau parenteral. Pemberian per
oral lebih aman, murah, dan sama khasiatnya dengan pemberian secara
parenteral. Tidak terdapat perbedaan efisiensi penyerapan besi antara
garam fero yang satu dengan lainnya, tetapi garam feri sangat sedikit
diserap. Laju regenerasi hemoglobin tidak banyak dipengaruhi oleh jenis
garam yang digunakan, asalkan jumlah besi yang diberikan cukup, dan
pada kebanyakan pasien kecepatan respons bukan hal yang kritis. Pilihan
sediaan biasanya ditentukan berdasarkan efek samping dan biaya 18.
Dosis oral untuk anemia defisiensi besi sebesar 100-200 mg per
hari. Dosis oral yang diberikan dalam bentuk fero sulfat sebesar 200 mg (=
65 mg besi elemental), diberikan 3 kali sehari; dosis garam fero 200 mg
satu atau dua kali sehari hanya efektif untuk profilaksis atau untuk anemia
defisiensi besi yang ringan 18.
Pada anak, dosis oral besi untuk mengobati defisiensi adalah 3-6
mg/kg bb (maksimal 200 mg)/hari diberi dalam 2-3 dosis terbagi.
Suplementasi besi juga diperlukan untuk menghasilkan respon epoetin
yang optimal pada anak dengan anemia defisiensi besi yang disertai gagal
ginjal kronik atau bayi prematur. Dosis obat dihitung berdasarkan
kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferro. Garam ferro sulfat
mengandung besi elemental 20%, sementara ferro fumarat mengandung
33%, dan ferro glukonat 12% besi elemental 18.
Efek samping zat besi oral termasuk sembelit, mual, nafsu makan
berkurang, dan diare. Zat besi intravena mungkin diperlukan jika pasien tidak
toleran terhadap zat besi oral, mengalami malabsorpsi seperti penyakit celiac,

23
pasca gastrektomi, atau achlorhydria, atau kehilangan yang terlalu tinggi untuk
terapi oral. Meskipun zat besi intravena lebih andal dan cepat didistribusikan ke
sistem retikuloendotelial daripada zat besi oral, zat ini tidak memberikan
peningkatan yang lebih cepat pada kadar hemoglobin 18.
2. Terapi anemia defisiensi Vit B12

Defisiensi vitamin B12 umumnya disebabkan oleh karena kurang


baiknya sistem penyerapan. Defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan
anemia pernisiosa. Penggunaan terapi vitamin b12 sangat berpengaruh,
Respons hematologis segera terjadi setelah pemberian vitamin B12 1 mg
parenteral. Retikulosis pada hari ke 2-4, kecuali jika disertai dengan
penvakit intlamasi. Kebutuhan fisiologis 1-5 ug/hari dan respons
hematologis telah terjadi pada pemberian vitamin B12 dosis rendah Jika
terjadi perbaikan neurologis, harus diberikan injeksi vitamin B12 1 mg
intramuskular minimal selama 2 minggu. Dilanjutkan terapi pemeliharaan
seumur hidup dengan cara pemberian injeksi 1 mg vitamin B12 /bulan.
Pemberian peroral mungkin berhasil pada pemberian dosis tinggi, tidak
dianjurkan sehubungan dengan ketidakpastian absorbsinya. Pada keadaan
terdapat risiko terjadi defisiensi vitamin B12 (seperti pada gastrektomi
total, reseksi ileum) dapat diberikan pemberian vitamin B12 profilaksis 18.
Oleh : Muhammad Tegar Nugraha (20204881043)

3. Terapi anemia defisiensi Asam Folat


Penggunaan terapi asam folat dalam klinik terbatas pada
pencegahan dan pengobatan defisiensi vitamin. Penggunaan asam folat
secara efektif tergantung pada keakuratan diagnosis dan pemahaman
mengenai mekanisme terjadinya penyakit. Prinsip-prinsip umum yang
perlu diperhatikan. Pemberian asam folat profilaksis harus dengan indikasi
yang jelas, pada setiap pasien dengan defisiensi asam folat, harus dicari
penyebabnya dengan teliti, sebaiknya merupakan terapi yang spesifik, dan
folat tidak dapat memperbaiki kelainan neurologis, yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin B12 Folat tersedia sebagai asam folat dalam bentuk
tablet 0,1, 0,4, 10, 20 dan dalam bentuk injeksi asam folat 5 mg/cc 21.

24
Selain itu terdapat pula dalam berbagai sediaan multivitamin dan
mineral. Pengobatan pasien dengan anemia megaloblastik akut berupa
asam folat 1-5 mg intra muskular dan dilanjutkan dengan maintenance 1-2
mg/hari oral selama 1-2 minggu. Pemberian asam folat secara oral dengan
dosis 0,5-1 mg sehari pada pasien anemia megaloblastik umumnya
memuaskan. Terapi profilaktiks pada bayi prematur 50 mg/hari. Terapi
selama 4 bulan biasanya cukup untuk memperbaiki gejala klinis dan untuk
mengganti sel darah. Namun bila penyebab defisiensi belum dapat diatasi,
perlu terapi yang lebih lama. Rekomendasi dari US Public Health Service
(USPHS), semua wanita usia subur harus mengkonsumsi 400mg (0,4 mg)
asam folat/ hari untuk mencegah NTD. Pemberian sejak 1 bulan konsepsi
sampai kehamilan trimester pertama dapat mencegah NTD 50% atau lebih
pada wanita 21.

4. Terapi anemia pada perdarahan


Pada anemia akibat perdarahan dapat diberikan penanganan awal dengan
resusitasi penyeimbang cairan agar tidak terjadi syok. Dan dapat diberikan
suplemen zat besi, asam folat, pemberian vitamin B6 dan B12. Serta pemberian
tranfusi darah apabila indikasi terpenuhi untuk melakukan transfusi darah 21.

5. Terapi pada Anemia Autoimun (Hemolitik)


1. Transfusi darah : transfusi darah sebisa mungkin dihindari kecuali dalam
keadaan yang sangat diperlukan, seperti pada pasien dengan angina / nyeri
dada.
2. Obat-obatan :
a. Kortikosteroid diindikasikan untuk pasien dengan anemia hemolitik
autoimun (AHA), dengan tujuan untuk memperlambat proses
hemolisis dengan menghambat sistem imun untuk memproduksi
antibodi yang dapat merusak sel darah merah.
b. Rituximab : antibodi monoklonal terhadap antigen CD 20 yang ada
pada limfosit B, sehingga dapat mengeliminasi limfosit B pada kasus
AHA.

25
c. Obat imunosupresan : seperte cyclophosphamide dapat mensupresi
sintesis autoantibodi. Indikasi pemberian imunosupresan jika tidak
berespon terhadap terapi kortikosteroid.
d. Asam folat : 1 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah
merah yang meningkat.
e. Plasmaferesis : prosedur untuk membuang antibodi dari dalam darah,
dengan cara darah dikeluarkan dari tubuh dengan menggunakan jarum
kemudian plasma dipisahkan dari darah, lalu diganti dengan plasma
yang berasal dari donor. Terapi ini masih kontroversial.
f. Pembedahan : splenektomi dapat dilakukan pada pasien yang
mengalami splenomegali, dengan tujuan untuk menghentikan atau
mengurangi kerusakan dari sel darah merah. Indikasi : untuk pasien
yang mendapatkan prednison berkepanjangan > 15 mg/hari untuk
menjaga konsentrasi hemoglobin.

2.9 Komplikasi
Oleh: Gayuh Puspitaningrum (20204881013)

Komplikasi dan prognosis dari anemia bergantung pada penyebab dari


anemia itu sendiri, seperti berikut 3,9,10:

A. Komplikasi
1. Anemia Defisiensi Besi
Akibat-kibat yang merugikan kesehatan pada individu yang
menderita anemi gizi besi adalah:
a. Bagi bayi dan anak (0-9 tahun)
1) Gangguan perkembangan motoric dan koordinasi.
2) Gangguan perkembangan dan kemampuan belajar.
3) Gangguan pada psikologis dan perilaku
b. Remaja (10-19 tahun)
1) Gangguan kemampuan belajar
2) Penurunan kemampuan bekerja dan aktivitas fisik
3) Dampak negatif terhadap system pertahanan tubuh dalam
melawan penyakit infeksi

26
c. Orang dewasa pria dan wanita
1) Penurunan kerja fisik dan pendapatan.
2) Penurunan daya tahan terhadap keletihan
d. Wanita hamil
1) Peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu
2) Peningkatan angka kesakitan dan kematian janin
3) Peningkatan resiko janin dengan berat badan lahir rendah
2. Anemia Defisiensi Asam Folat
Defisiensi folat menyebabkan hiperhomosisteinemia yang
berhubungan erat dengan penyakit aterosklerosis, seperti coronary artery
disease (CAD) dan stroke.
Defisiensi asam folat selama kehamilan dapat menyebabkan cacat spina
bifida dan perkembangan lainnya pada janin. Wanita hamil yang tidak
mendapatkan cukup asam folat mempunyai risiko lebih tinggi memiliki
anak dengan cacat lahir. Defisiensi asam folat juga dapat menyebabkan
aborsi spontan, malformasi kongenital (neural tubr defect), dan
keterlambatan berbicara pada anak yang dilahirkan.
3. Anemia Aplastic
Pada anemia aplastic dapat menyebabkan komplikasi berupa
infeksi berat, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat. Komplikasi
mortalitas terbanyak pada kasus anemia aplastik berat adalah perdarahan
dan infeksi, seperti infeksi febrile neutropeni.

2.10 Prognosis
Oleh: Gayuh Puspitaningrum (20204881013)

1. Anemia Defisiensi Besi


Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan
besi saja dan diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan
yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik
dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan,
perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut 19:
a. Diagnosis salah

27
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlansgung menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi
(seperti : infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal,
penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang
berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan
terhadap besi).

Tanda respon pengobatan yang baik, antara lain retikulosit naik


pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10 dan Kembali
normal setelah hari ke-14. Kenaikan Hb 0,15 g/dL per hari atau 2 g/dL
setelah 3-4 minggu, sehingga Hb akan Kembali normal setelah 4-10
minggu.

2. Anemia Defisiensi Asam Folat


Pada umumnya pasien berespon baik terhadap suplementasi folat,
yang ditandai dengan proses retikulositosis setelah 4 hari yang diikuti
dengan terkoreksinya anemia setelah 1-2 bulan kemudian. Folat dalam
vitamin prenatal yang diberikan selama kehamilan mengurangi morbiditas
dari cacat spina bifida dan gangguan perkembangan lain pada janin 25.
3. Anemia Aplastic
Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat
bervariasi, tetapi
tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk.
Prognosis dapat dibagi tiga, yaitu:
a. Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3 bulan (10-15%
kasus)
b. Pasien dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relapse
dapat meninggal dalam 1 tahun (50% kasus)

28
c. Pasien yang mengalami remisi sempurna atau parsial (sebagian kecil
pasien)
4. Anemia Hemolitik
a. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat: angka survival 10 tahun
sekitar 70% dengan tingkat mortalitas 5-10 tahun sekitar 15-25%
b. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Dingin: pasien dengan sindrom
kronis memiliki survival baik dan cukup stabil
c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria: umumnya baik, dengan survival
cukup panjang
d. Anemia Hemolitik Non-Imun: tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Secara umum, angka mortalitas pada kasus anemia
hemolitik tergolong rendah, namun meningkat pada pasien berusia
lanjut dengan gangguan kardiovaskular.
5. Anemia Penyakit Kronis
Prognosis yang baik dapat diperoleh dengan mengobati penyakit
kronis yang mendasari dari anemia ini. Apabila tidak ditangani dengan
baik, anemia jenis ini dapat menyebabkan peningkatan angka mortalitas,
tergantung dari jenis penyakit yang mendasarinya 23.

29
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia merupakan suatu penyakit dimana pasien memiliki kadar
eritrosit yang rendah dengan etiologi yang bermacam-macam. Mulai dari
genetik, varietas makan, hingga pola makan pasien. Selain anemia sebagai
penyakit, anemia juga dapat dikatakan sebagai suatu kondisi atau
komplikasi yang dikarenakan suatu penyakit sebelumnya yang pada
umumnya adalah penyakit kronis. Selain karena faktor biologis, anemia ini
juga dapat disebabkan budaya, pendidikan yang secara tidak langsung
meningkatkan prognosis anemia seperti persepsi masyarakat akan gemuk
dan kurus dan persepsi masyarakat akan keselamatan kerja. Penderita
anemia pun juga berasal dari lapisan masyarakat yang relatif bermacam-
macam. Masyarakat perkotaan maupun pedesaan dapat terkena anemia,
dengan kelamin wanita yang berisiko terkena anemia lebih daripada laki-
laki. Prognosis dan kualitas hidup pasien dalam penanganan anemia ini
pada umumnya relatif baik bergantung pada etiologinya. Beberapa
memiliki kualitas hidup yang kurang buruk seperti penyakit-penyakit di
ranah paliatif, genetik, pendarahan akut, kehamilan yang tidak terkontrol,
kegagalan organ sistemik, demam akut, dsb.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Amalia A , Agustyas T..Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi.
MAJORITY.Desember 2016;5(5):166
2. Ankar A & Kumar A. Vitamin B12 Deficiency. In: StatPearls [Internet]. [Updated
2020 Jun 7]; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441923/
3. Bakta, I Made. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Pendekatan
Terhadap Pasien Anemia. InternaPublishing
4. Bakta, I Made. 2018. Hematologi Klinik Ringkas. ECG : Jakarta
5. Bakta, IM. Hematologi Klinik ringkas. Penerbit Buku Kedokteran. EGC: Jakarta;
2003. Hlm.98-109.
6. Callosium Neurology : Jurnal Berkala Neurologi Bali”, 2018 Vol. 1(2). Doi :
10.29342/cnj.v1i2
7. Chaparro CM, Suchdev PS. Anemia epidemiology, pathophysiology, and etiology
in low-and middle-income countries. Annals of the New York Academy of
Sciences. 2019 Aug;1450(1):15.
8. Fraenkel PG. Understanding anemia of chronic disease. Hematology. 2015 Dec
5;2015(1):14-8.
9. Fitriany, J., dkk. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Averrous, Volume: 4, Nomor; 2.
2018.
10. Hadiyanto, J.N., dkk. Anemia Penyakit Kronis. J Indon Med Assoc, Volum: 68,
Nomor; 10, Oktober 2018. Hlm.443-450.
11. Khan KM, Jialal I. Folic Acid (Folate) Deficiency. In: StatPearls [Internet].
[Updated 2020 Jun 30]; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535377/
12. Luchi, Yoshihito. Anemia Caused by Oxidative Stress. InTech: Croatia; 2012.
13. Moreno Chulilla JA, Romero Colás MS, Gutiérrez Martín M. Classification of
anemia for gastroenterologists. World J Gastroenterol. 2009;15(37):4627-4637.
doi:10.3748/wjg.15.4627
14. Mujadiddah, Nur. 2018. Buku Panduan Skill Lab Blok 14 (Edisi pertama).
Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Surabaya
15. Madu AJ & Ughasoro MD. Anaemia of Chronic Disease: An In-Depth
Review. Med Princ Pract. 2017;26(1):1-9
16. Muhammad A, Sianipar O. Penentuan defisiensi besi anemia penyakit kronis
menggunakan peran indeks sTfR-F. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory. 2018 Mar 13;12(1):9-15.
17. Nienhuis AW & Nathan DG. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis dari β-
Thalassemias. Cold Spring Harb Perspect Med . 2012; 2 (12): 11-726
18. Özdemir N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Turk
Pediatri Ars. 2015;50(1):11-19
19. Putra, M.M.A., dkk. Anemia Aplastik Berat dengan Komplikasi Febril
Neutropenia dan Perdarahan pada Perempuan Usia 20 Tahun. J Agromedicine,
Volume: 6, Nomor: 1; Juni 2019. Hlm.226-230.
20. Priyanto, Lukman Dwi. Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, dan Aktivitas Fisik
Santriwati Husada Dengan Anemia. Jurnal Berkala Epidemiologi, 6 (2); 2018.
Hlm.139-146.
21. Rajabto W., et al., 2016. “Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) Patients
Profile and Treatment Response to Corticosteroids”. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia Vol. 3(4).

31
22. Rachmilewitz EA & Giardina PJ. How I treat thalassemia. Blood. 2011;118(13):
347-351.
23. Rofinda ZD. Kelainan hemostasis pada leukemia. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012
Sep 1;1(2).
24. Roosleyn, Intan Parulian Tiurma. Strategi Dalam Penanggulangan Pencegahan
Anemia Pada Kehamilan. Jurnal Ilmiah Widya Volume 3. 3; 2016. Hlm.1-9.
25. Setiati S, MEpid SP, editors. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing;
2014. Hlm.2607-2608.
26. Stropler, T, Weiner, S. Krause’s Food & Nutrition Care Process 14th edition.
Elsivier. Canada; 2017.
27. Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. Analisis pola makan dan anemia gizi besi
pada remaja putri Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(1);
2015. Hlm.11– 18.
28. Wopereis DM, Du Puy RS, van Heemst D, et al. The Relation Between Thyroid
Function and Anemia: A Pooled Analysis of Individual Participant Data. J Clin
Endocrinol Metab. 2018;103(10):3658-3667

32

Anda mungkin juga menyukai