Anda di halaman 1dari 23

1

Sekretariat:
Yayasan Kota Kita
Jalan Melon Raya, No. 53 Karangasem, Surakarta 57145
www.urbansocialforum.or.id
www.kotakita.org

Ciptaan ini dilisensikan di bawah lisensi Creative


Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa
4.0 Internasional. Untuk melihat salinan lisensi ini,
kunjungi creativecommons.org

2
Daftar Isi
Tentang Urban Social Forum | 4
Tentang “Sambang Kota” | 5
Tentang Sambang Makassar | 6

Hasil Diskusi
Panel 1: Gotong Royong Membangun Ruang Publik
Demokratis di Kota | 8
Panel 2: Kota Untuk Semua - Politik Kewargaan dalam
Dinamika Perubahan Kota | 12
Panel 3: Koalisi Gerakan Sosial sebagai Upaya Pemenuhan
Hak atas Kota | 16
Panggung Bersama | 18

Statistik Acara | 21
Mitra Penyelenggara | 22

3
Tentang Urban Social Forum
Urban Social Forum (USF) (urbansocialforum.or.id) merupakan sebuah agenda tahunan
berbentuk ruang terbuka dan inklusif untuk berdiskusi tentang gagasan, bertukar pengalaman
dan pengetahuan, serta ruang bertemu dan berjejaring aktivis sosial urban dan organisasi yang
bekerja dan bergiat di isu-isu perkotaan di Indonesia.

USF diinisiasi oleh Yayasan Kota Kita (kotakita.org) di tahun 2013 berangkat dari sebuah
kegelisahan tentang gerakan masyarakat sipil perkotaan yang cenderung terkotak-kotak
berdasarkan sektor dan letak geografis. USF lalu hadir sebagai sebuah komitmen untuk
pengadaan ruang terbuka dimana masyarakat sipil dan warga dari berbagai latar belakang
dapat bertemu, berdiskusi, dan berjejaring. Beberapa hal yang diharapkan dapat menjadi luaran
kegiatan ini adalah suatu kesadaran bahwa permasalahan, hingga aksi di kota adalah saling
terkait, saling mempengaruhi satu sama lain, intersectional, dan perubahan dapat dimulai
dengan usaha membangun imaji bersama tentang kota yang diidam-idamkan bersama; inklusif,
manusiawi, dan lestari. Visi tersebut dituangkan lewat pernyataan, yang merupakan tema besar
USF dari tahun ke tahun, ‘Another City is Possible!’. Pernyataan tersebut mengandung energi
positif, ia adalah sebuah pemikiran, kepercayaan diri, dan harapan, kalau ‘another city’ (kota yang
kita idam-idamkan, kota yang memberi kehidupan untuk semua) adalah mungkin, atau ‘possible’,
hanya lewat kerja dan semangat kolaborasi seluruh warga kota.

USF 1 diadakan di Kota Solo dihadiri oleh sekitar 100an peserta. Jumlah ini kemudian
berkembang dua kali lipat pada penyelenggaraan USF 2 di Kota Solo tahun 2014, dengan
menghadirkan 300an peserta dari berbagai perwakilan organisasi masyarakat sipil dari kota-kota
di Indonesia. Selanjutnya, USF 3 diselenggarakan di Kota Surabaya dan dihadiri lebih dari 1000
peserta, dan tahun 2016 dan 2017 di Kota Semarang dan Kota Bandung, secara berurutan, USF 4
dan USF 5 konsisten dihadiri sekian banyak peserta dan memiliki jumlah panel yang lebih banyak
dan beragam.USF 6 diselenggarakan di Kota Solo, untuk pertama kalinya, sebagai sebuah
festival atau perayaan kewargaan, selama 2 hari akhir pekan. Sejak tahun 2016, menindaklanjuti
semangat keterbukaan informasi dan bangun jaringan masyarakat perkotaan di berbagai tingkat,
lokal, nasional, hingga global, USF, melalui kerja sama dengan jaringan global, World Social
Forum, membuka akses, didukung dengan teknologi, terhadap diskusi dan bahasan Forum,
kepada peserta di seluruh dunia.

Sebagai sebuah platform, USF mengalami perkembangan, baik dari keberagaman tema
diskusi, dukungan mitra, dan volume peserta. Kini berperan sebagai Sekretariat, Kota
Kita, mengaplikasikan metode penyelenggaraan partisipatif untuk USF. Kehadiran dan
pengorganisiran kegiatan ini sepenuhnya merupakan aksi kesukarelawanan dan kolaborasi, baik
dari sekretariat, mitra kota, panelis, moderator, dan pembicara. Tingginya semangat voluntarian
peserta dan penyelenggara panel mengindikasikan kalau peran masyarakat sipil masih terus
hidup di Indonesia sampai saat ini dan permasalahan perkotaan terus menjadi perhatian penting.
Ada perhatian dan minat, serta komitmen masyarakat sipil untuk melakukan sesuatu untuk
diskursus pembangunan kota yang lebih inklusif, berkeadilan, dan manusiawi.

4
Sambang Kota merupakan upaya desentralisasi penyelenggaraan
USF ke berbagai kota di Indonesia; sebagai bagian dari rangkaian
USF 7. Sambang Kota bermitra dengan organisasi masyarakat sipil,
komunitas, peneliti, warga di kota-kota yang akan menjadi tuan rumah,
bermaksud membuka ruang diskusi seluas-luasnya dan melestarikan
diskursus pembangunan kota lestari dan manusiawi lewat interaksi
yang lebih dekat dan intens antara narasumber, peserta, dan fasilitator.

5
Tentang USF 7:
Sambang Kota Makassar
Urban Social Forum 7 Sambang Kota Makassar berangkat dari inisiasi bersama dari Himpunan
Mahasiswa Hubungan Internasional UNHAS Makassar melalui unit kegiatan SekolaHI dengan
berbagai kelompok masyarakat sipil, komunitas seni, akademisi dan praktisi perkotaan, serta
didukung Yayasan Kota Kita sebagai sekretariat. Berdasarkan masukan dan inkubasi ide bersama
mitra penyelenggara kota, forum ini mengangkat berbagai topik relevan di Kota Makassar untuk
didiskusikan bersama, serta mengundang respon-respon dalam bentuk karya dan kegiatan
kesenian yang bentuknya akan dijelaskan dalam dokumen ini.

Hari/Tanggal : Sabtu, 7 Februari 2020


Waktu : 13:00-21:00 WIB
Lokasi : Rumata’ Art Space

Sebagai metode mengumpulkan dan mendokumentasikan masalah yang relevan dirasakan


dan berdampak pada warga, mitra lokal USF 7 Sambang Kota Makassar melakukan penjajakan
isu dan gagasan ke berbagai kelompok representatif di kota. Informasi yang didapatkan dari
proses penjajakan tersebut dapat menjadi informasi yang mendukung diskusi yang tepat sasaran.
Kegiatan ini mendorong diskusi yang terbuka, di mana para partisipan dapat terlibat lebih aktif
dalam mengutarakan pemikiran, berpikir solusi bersama, di dalam suasana diskusi yang dua arah,
hangat, dan informal dengan para narasumber dan fasilitator. Tidak hanya diskusi, USF Sambang
Kota Makassar juga diikuti dengan panggung bersama di mana peserta dan seniman-seniman
muda di kota dapat bertemu dan mendiskusikan isu perkotaan melalui medium kesenian.

6
7
Panel 01
Gotong Royong Membangun Ruang Publik Demokratis di Kota

Penyelenggara: Kota Kita, HIMAHI FISIP UNHAS, Kotata’ Community, Kedai Buku Jenny

Narasumber:
Dr. A. Faisal, S.S., M.Hum, Akademisi Ilmu Budaya UNHAS
Sri Aliah Ekawati, S.T., M.T, Akademisi Perencanaan Wilayah dan Kota UNHAS

Fasilitator:
Agung Alif Pratama (Kotata’) dan Agung Abdillah (HIMAHI UNHAS)

Diskusi ini dipandu oleh tiga pertanyaan pemantik:


1. Bagaimana kondisi ruang publik di Makassar, baik secara kuantitas maupun kualitas, fisik
maupun non-fisik?
2. Sejauh mana peran ruang publik saat ini mengamplifikasi suara/aspirasi warga sipil dalam
proses demokrasi di Kota Makassar? Apakah masih terdapat peluang-peluang pemanfaatan
ruang publik dengan lebih baik?
3. Seperti apa usaha-usaha yang dapat dilakukan bersama dalam memastikan ruang publik yang
memadai dan pemanfaatannya yang memberdayakan?

Catatan Diskusi
Ruang publik memegang peran vital dalam keberlangsungan kehidupan kota. Diskusi ini
mengundang refleksi bersama atas kondisi ruang-ruang publik di kota kita, baik yang fisik maupun
non-fisik, serta perannya dalam mendukung proses demokrasi. Manifestasinya sebagai ruang
fisik seperti taman kota, alun-alun, maupun ruang lainnya untuk beraktivitas dan berinteraksi,
seringkali masih belum mendapat cukup perhatian, tidak terkecuali di Kota Makassar.

Untuk menangkap permasalahan serta mendapatkan aspirasi warga mengenai ruang


publik, diskusi diawali dengan peserta membagikan pengalamannya tentang ruang publik
di Kota Makassar. Berbagai isu mengemuka, mulai dari pengalaman mengenai pedestrian,
ketidaknyamanan ruang publik terhadap perempuan, ketimpangan antara fasilitas umum di
kawasan elit dan sekitarnya, ruang baca media massa yang sudah hilang, serta pembangunan tol
layang yang mengurangi luasan RTH. Tantangan-tantangan yang diidentifikasi bersama menjadi
titik tolak untuk mendiskusikan isu yang lebih mendalam mengenai ruang publik serta solusi-
solusi yang bisa didorong di masa mendatang.

Dalam diskusi ini, ruang publik dilihat sebagai entitas yang tidak hanya terbatas pada ruang publik
fisik saja. Melihatnya sebagai ruang yang tidak berbentuk fisik, ruang publik merupakan wadah
penting bagi warga untuk mengemukakan pendapat, memberi opini dan kritik, berekspresi, serta
berpartisipasi lebih jauh dalam proses pengambilan kebijakan di kota. Artinya, ruang publik tidak
hanya dimaknai sebagai public space, tetapi juga public sphere yang bersifat lebih abstrak.

8
Agung Alif (kanan), memandu jalannya panel 1 bersama dua
pembicara: A Faisal (kiri) dan Sri Aliah (tengah)

Seperti halnya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan, atau hak politik seperti
memilih dan dipilih, kebutuhan akan ruang yang aman untuk menyampaikan aspirasi dan
berekspresi juga perlu dipandang menggunakan perspektif hak. Menurut A. Faisal, dosen yang
juga banyak meneliti isu ruang publik di Makassar, meski dijuluki “Kota Seribu Warkop”, ruang
publik yang betul-betul kritis dan inklusif di Makassar kenyataannya belum memadai. Menurutnya,
produksi ruang yang tidak diintervensi dan dilepas pada mekanisme pasar, menyebabkan
ruang publik di banyak kota saat ini cenderung tersegregasi dan mengeksklusi kelompok yang
lebih tidak memiliki kuasa. Sebagai contoh, wacana politik hanya muncul sebelum pilkada dan
terbatas pada politik elektoral semata, isu-isu nyata di masyarakat seperti kemiskinan jarang dan
tidak menarik untuk diangkat di ruang-ruang publik yang ada. Sehingga, seperti yang kemudian
ditekankan oleh A. Faisal, masyarakat perlu membuat ruang alternatif sebagai tandingan dari
ruang publik yang cenderung terhegemoni oleh pihak-pihak yang menjadi otoritas di kota.

Sri Aliah Ekawati, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota UNHAS, memperkaya diskusi mengenai
ruang publik di Makassar dengan perspektif keruangan. Ia memantik perbincangan dengan
mengangkat temuannya mengenai Kawasan Pantai Losari, yang dalam jangka sepuluh tahun
saja (2004-2014) sudah banyak berubah. Tidak hanya perubahan guna lahan permukiman yang
semakin komersial dengan adanya banyak hotel-hotel baru, tetapi juga Pantai Losari sebagai
ruang publik di sepanjang garis pantai yang semakin banyak bagian-bagiannya yang diprivatisasi
dengan adanya restoran, hotel, bahkan reklamasi Kawasan CPI. Sesi ini kemudian memantik
refleksi: apakah pengalaman dan kasus terkait privatisasi ini terjadi hanya di Pantai Losari saja?
Lalu, sebetulnya milik siapa ruang publik?

Diskusi ini ditutup dengan mengidentifikasi seperti apakah sebetulnya ruang publik yang ideal
- sehingga kita sebagai warga dapat menilai dan kemudian mendorong perbaikan kualitasnya.
Terdapat tiga poin penting, yang pertama adalah ruang publik haruslah demokratis (menjunjung
nilai-nilai demokrasi) yang berarti dapat dimanfaatkan oleh siapapun dengan berbagai latar
belakang. Yang kedua, responsif, artinya ruang publik haruslah tepat guna sesuai dengan
kebutuhan. Terakhir, ruang publik harus mendukung kelestarian, selaras sebagai ruang bagi
manusia dan alam. Ketiga nilai-nilai ini dapat menjadi panduan bagi warga untuk lebih jauh
bergotong royong mewujudkan ruang publik yang demokratis.

9

...ruang publik dilihat sebagai entitas yang tidak
hanya terbatas pada ruang publik fisik saja.
Melihatnya sebagai ruang yang tidak berbentuk
fisik, ruang publik merupakan wadah penting
bagi warga untuk mengemukakan pendapat,
memberi opini dan kritik, berekspresi, serta
berpartisipasi lebih jauh dalam proses
pengambilan kebijakan di kota.

10
Partisipasi salah satu peserta dalam diskusi 1 mengenai ruang publik

11
Panel 2
Kota Untuk Semua - Politik Kewargaan dalam Dinamika
Perubahan Kota
Penyelenggara: Kota Kita, HIMAHI FISIP UNHAS, Kotata’ Community, Kedai Buku Jenny

Narasumber:
Nurhady Sirimorok, peneliti dan penulis
Slamet Riadi, KM 10 School
Perwakilan Arkom Makassar
Edi Ariadi, Koalisi untuk Pemberdayaan Masyarakat Sipil (KuPAS)

Fasilitator: Rezky Ameliyah Arief dan Mohammad Nur Fiqri (HIMAHI UNHAS)

Diskusi ini dipandu oleh tiga pertanyaan pemantik:


1. Seperti apa perubahan ruang dan aktivitas di Kota Makassar dari waktu ke waktu? Sudahkah
aspirasi masyarakat memegang peranan penting dalam prosesnya?
2. Apakah dalam prosesnya, dinamika perubahan Kota Makassar merepresentasikan atau
meminggirkan kelompok masyarakat tertentu?
3. Apa saja kanal partisipasi politik yang tersedia bagi warga Makassar? Bagaimana
pemanfaatannya dan seberapa jauh itu dapat memengaruhi dinamika Kota Makassar?

Catatan Diskusi
Kota nyatanya merupakan ruang kontestasi kepentingan berbagai kelompok yang melibatkan
instrumen politik dan ekonomi. Namun, pada hakikatnya, kota merupakan ruang hidup bersama
yang dimiliki semua orang. Pada era di mana kota-kota menghadapi tantangan urbanisasi yang
pesat, pembangunan yang inklusif dan berkeadilan menjadi prinsip yang perlu diarusutamakan,
alih-alih melepaskannya pada dinamika perubahan kota yang besar dipengaruhi pihak-pihak
yang memiliki kuasa/otoritas lebih kuat. Saat ini, perencanaan pembangunan kota seperti
infrastruktur publik, bangunan-bangunan komersil, hingga kawasan-kawasan permukiman
nyatanya tidak selalu berpihak pada warga dan kelompok rentan di kota.

Panel ini menjadi ruang untuk mengeksplorasi bagaimana Kota Makassar berubah dari
waktu ke waktu, serta menilik ulang peran serta warga di dalamnya. Slamet Riadi, membawa
pengalamannya bersama inisiatif KM 10 School, memberi perspektif mengenai transformasi
dan perubahan Kota Makassar dan membaginya dalam periode-periode penting: periode awal
abad ke-20, Orde Baru, serta perubahan kontemporer (pasca-reformasi) yang terjadi di Makassar
hingga hari ini. Menurutnya, sejak dahulu Makassar sudah menjadi salah satu kota yang tumbuh
dengan pesat di Sulawesi, perubahan lansekap kota kemudian terjadi secara signifikan dengan
tumbuhnya permukiman dan pembangunan di Era Orde Baru, dan hingga kini, terus tumbuh
dengan sedikit sekali arahan sehingga privatisasi ruang menjadi tidak terelakkan. Diskusi lebih
jauh mengenai bagaimana dan ke arah mana Kota Makassar berubah juga diperkaya oleh
pengalaman dan pandangan peserta diskusi sebagai bagian dari kota. Masalah perkotaan
seperti tempat tinggal yang makin padat, kemacetan, hingga ancaman banjir menjadi hal yang
dikemukakan peserta, menunjukkan adanya urgensi bagi masyarakat sipil untuk mendorong
kebijakan dan solusi yang mengedepankan prinsip kelestarian dan keadilan sosial.

12
Dalam diskusi, peserta tidak hanya memiliki ruang untuk bertanya, tetapi juga menyampaikan
pengalaman maupun usulan terkait isu yang diperbincangkan

Berangkat dari sana, sebagai kelompok yang menjadi bagian penting dalam proses politik,
diskusi ini mendorong masyarakat sipil untuk menyusun strategi agar memiliki posisi tukar
yang mampu membentuk kebijakan kota. Dari diskusi ini, diidentifikasi berbagai pendekatan
yang berbeda-beda yang bisa dilakukan warga. Gerakan sosial yang diinisiasi masyarakat bisa
menyasar tataran kebijakan sehingga yang diperlukan adalah keterlibatan untuk mengintervensi
sistem pengambilan kebijakan agar bisa lebih partisipatif. Pak Edi Ariadi, salah satu aktivis
KuPAS (Koalisi untuk Pemberdayaan Masyarakat Sipil) yang sudah sejak lama mendorong
keterlibatan masyarakat sipil, menunjukkan strategi-strategi yang menekankan pada penggunaan
kanal partisipasi yang sudah disediakan pemerintah dengan lebih maksimal, seperti platform
pengaduan, usulan perencanaan, dan kanal lainnya. Namun, pendekatan ‘turun ke jalan’
yang seringkali digawangi pemuda dan mahasiswa juga dianggap masih dibutuhkan untuk
berbagai persoalan yang membutuhkan perhatian publik yang lebih luas. Banyak bagian dari
masyarakat yang seringkali tidak puas dengan kanal-kanal yang disediakan pemerintah untuk
menyelesaikan banyak isu kota, dan demonstrasi menjadi salah satu ekspresi yang juga tidak
boleh ditekan sebagai bentuk hak dalam masyarakat yang demokratis. Nurhady Sirimorok,
peneliti dan penulis, membagikan pengalaman dan amatannya, menekankan perlunya kesadaran
struktural masyarakat sipil dan relasinya pada perubahan-perubahan yang terjadi di kota, untuk
pada akhirnya bisa melakukan pengorganisiran yang bisa mengubah keadaan. Inisiatif untuk
bekerja langsung bersama masyarakat marjinal juga menjadi salah satu strategi yang perlu
didorong. Arsitek Komunitas (ARKOM) membagikan pengalamannya bekerja di isu permukiman,
baik permasalahan fisik maupun sosial, dan menunjukkan pentingnya mengarusutamakan
pendekatan ini melalui isu-isu perkotaan lainnya.

Diskusi ini pada akhirnya tidak menyimpulkan mana bentuk ekspresi “politik kewargaan” yang
paling tepat, namun justru menekankan bahwa beragamnya inisiatif yang berangkat dari cita-
cita menjadikan kota lebih inklusif memiliki perannya masing-masing, yang pada dasarnya perlu
saling mendukung dan berkolaborasi. Tidak hanya organisasi dan komunitas, koalisi masyarakat
sipil ini perlu mencari dukungan pada publik, untuk memantik kepekaan dan proses diskusi kritis
warga dalam berpartisipasi di politik keseharian di kota. Dengan banyaknya tantangan yang
dihadapi kota saat ini dan di masa mendatang, mengembalikan peran warga sebagai subjek aktif
yang berdaya menjadi salah satu upaya yang penting dilakukan bersama-sama.

13
Amel (kanan) memandu panel 2 sebagai salah satu fasilitator

Direktur Eksekutif Kota Kita, Ahmad Rifai, turut berpartisipasi


Meskipun hujan deras, tidak menyurutkan antusiasme peserta dan pembicara ada sesi dalam
ini. rembug isu disabilitas di panel diskusi ini.
Kiri ke kanan: Nurhady, Fiqri, dan Slamet.

14

Masalah perkotaan seperti tempat tinggal yang
makin padat, kemacetan, hingga ancaman
banjir menjadi hal yang dikemukakan peserta,
menunjukkan adanya urgensi bagi masyarakat
sipil untuk mendorong kebijakan dan solusi
yang mengedepankan prinsip kelestarian dan
keadilan sosial.

15
Panel 3
Koalisi Gerakan Sosial sebagai Upaya Pemenuhan Hak atas Kota
Penyelenggara: Kota Kita, HIMAHI FISIP UNHAS, Kotata’ Community, Kedai Buku Jenny

Narasumber: -

Fasilitator: Fildzah Husna (Kota Kita), Amrullah (Kotata’)

Diskusi ini dipandu oleh dua pertanyaan pemantik:


1. Bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh inisiasi gerakan sosial di Makassar dalam
menjawab permasalahan yang terjadi di kota? Seperti apa keterbatasan dan peluang yang kita
miliki?
2. Sejauh mana peluang koalisi gerakan sosial mampu berorientasi dan mewujudkan pemenuhan
hak-hak warga kota?

Catatan Diskusi
Panel ini merupakan diskusi muara bagi topik-topik sebelumnya, dan dibuka dengan pemaparan
catatan singkat yang merangkum diskusi tiap panel untuk saling memberi gambaran mengenai
isu-isu yang dieksplorasi. Melalui proses saling bertukar, sesi penutup ini menekankan bahwa
tantangan yang dihadapi kota disusun oleh berbagai isu/masalah yang kompleks dari berbagai
sektor yang saling terhubung, dan tidak bertujuan untuk membuat konklusi final mengenai
solusi yang paling tepat untuk berbagai isu di Makassar yang sudah didiskusikan di panel-panel
sebelumnya.

Diskusi ini diramaikan oleh tanggapan dan aspirasi banyak organisasi dan individu mengenai
arah pengembangan Kota Makassar di masa mendatang. Berbagai isu yang sudah diidentifikasi
di panel sebelumnya dikaitkan dengan solusi maupun pendekatan-pendekatan yang mungkin
dilakukan berdasarkan pengalaman dan potensi yang dimiliki. Berbagai inisiasi tentu telah
dilakukan, pembelajaran dan keberhasilan kecil perlu diapresiasi dan dipelajari kembali. Namun,
kesadaran bahwa aktivisme merupakan proses terus menerus yang menuntut usaha konsisten
dari semua pihak dan mengikuti dinamika kebutuhan, menjadi titik tolak penting untuk bergerak
secara sinergis.

Sesi penutup ini pada akhirnya mengundang partisipan, baik individu maupun komunitas dan
organisasi, untuk membangun koalisi dan berkontribusi dengan perannya masing-masing.
Perspektif “kota milik semua” di mana warga berhak memberi pengaruh pada arah kebijakan kota
harapannya dapat menjadi nilai yang diangkat bersama, untuk pada akhirnya masyarakat sipil
bisa berkolaborasi mewujudkan Kota Makassar yang lebih lestari dan berkeadilan sosial.

16
Selain menjadi ruang menyampaikan aspirasi dan merumuskan strategi ke depan,
diskusi penutup ini juga menjadi ruang berjejaring antara pegiat dan organisasi
masyarakat sipil

17
Panggung Bersama
USF Sambang Kota Makassar ditutup dengan panggung terbuka, di mana seniman dan
komunitas merespon isu perkotaan melalui karya dan penampilan. Panggung ini diisi oleh
penampilan musik dan karya visual oleh Kolektif Pop, penayangan karya animasi Kampung Kota
Paropo 3S (2018) oleh Tanahindie, penayangan film The Netra(L) karya Himpunan Mahasiswa
Televisi dan Film ISBI Sulsel, serta pameran fotografi “Spasi”. Tidak hanya menampilkan berbagai
karya dan aspirasi pembuatnya, sesi ini juga mengundang respon dan pembacaan audiens
terhadap karya dan isu yang diangkat.

18
Penampilan musik dan karya visual oleh Kolektif Pop

19
Tidak hanya menampilkan karya, panggung bersama ini juga
memberi ruang berdialog antara pembuat karya dan audiens

20
21
Mitra Penyelenggara

22
www.urbansocialforum.or.id

@urbansocialforum @urban_forum Urban Social Forum

23

Anda mungkin juga menyukai