Anda di halaman 1dari 2

PERTENGAHAN Desember 2021 Kementerian Agama Republik Indonesia merilis indeks kerukunan

umat beragama (KUB) 2021. Berada pada rata-rata nasional 72,39 KUB kita masuk kategori baik, lebih
4,93 poin dibandingkan pada 2020. Toleransi (skornya 68,72), kerja sama (73,41), dan kesetaraan (75,03)
merupakan variable-variabel yang diukur, yang dikonkretkan melalui pemetaan masalah, prediksi
masalah, dan deteksi masalah, dengan melibatkan 13.600 responden yang tersebar di 34 provinsi.

Dalam lima tahun terakhir, indeks KUB kita memang cenderung fluktuatif. Pada 2017, indeks KUB
kita berada pada skor 72,27 turun menjadi 70,90 di 2018. Kemudian naik lagi mencapai 73,83 di
2019, jatuh drastis 67,46 di 2020, lalu naik lagi 72,39 di 2021. 2019 menjadi tahun dengan indeks
KUB terbaik dalam lima tahun terakhir. Fluktuasi ini, hemat saya, menunjuk tepat pada salah satu
karakter dasar bangsa Indonesia, yakni dinamis. Dalam semua lini kehidupan, termasuk beragama,
dinamis merupakan hakikat yang inheren dalam tubuh keindonesiaan kita. Laporan minor     
Sepanjang 2017 Setara Institute melaporkan setidaknya terjadi 151 peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan (KBB) dengan 201 bentuk tindakan yang tersebar di 26 provinsi di
Indonesia. Jawa Barat menjadi locus paling tinggi dengan 29 peristiwa, disusul DKI Jakarta (26
peristiwa), Jawa Tengah (14 peristiwa), Jawa Timur (12 peristiwa), dan Banten (10 peristiwa). Masih
menurut laporan Setara Institute, pada 2018 terjadi 160 peristiwa pelanggaran KBB dengan 202
bentuk tindakan pelanggaran yang tersebar di 25 provinsi.  Pada 2019, Imparsial (The Indonesian
Human Rights Monitor) melaporkan setidaknya terdapat 31 kasus pelanggaran KBB. Kembali
menurut laporan Setara Institute, 2020 merupakan tahun terburuk dengan 180 peristiwa pelanggaran
KBB dalam 422 bentuk tindakan pelanggaran. Penurunan terjadi di 2021, dengan 47 peristiwa
pelanggaran KBB dalam 88 bentuk tindakan pelanggaran. Apa saja bentuk tindakan pelanggaran
KBB yang rasa-rasanya sudah sangat khas Indonesia? Beberapa bisa disebutkan antara lain
intoleransi, laporan penodaan agama, ujaran kebencian, promosi kegiatan, penolakan mendirikan
tempat ibadah, penyegelan, penyerangan, dan perusakan tempat ibadah. Siapa saja pelaku tindakan
pelanggaran KBB? Jamak. Setara Institute membagi dalam dua kategori yakni aktor negara dan aktor
non negara. Aktor negara di antaranya pemerintah daerah, Satpol PP, kepolisian, Forkopimda, dan
institusi pendidikan. Aktor non negara di antaranya warga negara, individu, organisasi masyarakat,
dan organisasi agama. Dari laporan Setara Institute dan Imparisal selama lima tahun terakhir ini, kita
dapat melihat kesesuaiannya dengan indeks KUB Kementerian Agama Republik Indonesia.
Kesimpulannya jelas, semakin tinggi angka pelanggaran KBB semakin rendah indeks KUB, merujuk
pada fokusnya yakni masalah.  Dialog kritis Mengapa skor indeks KUB cenderung fluktuatif, berikut
angka pelanggaran KBB malah amat labil? Menerima begitu saja bahwa dinamis merupakan hakikat
yang inheren pada dalam tubuh keindonesiaan kita atau perlu upaya yang lebih strategis? Kita jelas
sepakat, upaya yang lebih strategis tentu jauh lebih penting dan mendesak daripada menerima begitu
saja.   Satu dari sekian banyak upaya strategis yang saya tawarkan dalam tulisan ini ialah sebuah
proyek bernama Etika Global. Dokumen yang dihasilkan dari deklarasi di Chicago pada 1993
berisikan gambaran dunia yang sedang dalam kehancuran dan ajakan bagi semua orang– baik
beragama maupun tidak beragama– untuk melakukan perubahan dalam semua dimensi kehidupan.
Kurang-lebih ada empat prinsip Etika Global; pertama, tidak ada tatanan dunia yang baru tanpa etika
bersama. Kedua, tuntutan fundamental yang mesti diindahkan bersama ialah setiap manusia harus
dilakukan secara manusiawi. Kaidah kencana (golden rule) sangat ditekankan, 'apa yang tidak kamu
inginkan, jangan lakukan itu pada orang lain!'.  Ketiga, empat petunjuk yang tidak terbatalkan yakni;
(a) komitmen pada budaya tanpa kekerasan dan hormat pada hidup, (b) komitmen pada budaya
solidaritas dan tata ekonomi yang adil, (c) komitmen pada budaya toleransi dan hidup dalam
kebenaran, dan (d) komitmen pada budaya kesetaraan hak dan kerja sama antara perempuan dan laki-
laki. Keempat, penting dan mendesaknya perubahan kesadaran.       Apa sumbangsih Etika Global
bagi kehidupan beragama? Hans Küng (teolog Katolik dan etikus, 1928-2021) sebagai salah satu
tokoh kunci yang melahirkan dokumen Etika Global itu menegaskan pengandaian dasar Etika Global
dalam slogan yang sangat persuasif berikut, "No survival without a world ethic. No world peace
without peace between the religions. No peace between the religions without dialogue between the
religious!" (Küng, 1991:xv). Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa sebuah etika bersama.
Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian di antara agama-agama. Tidak ada perdamaian di
antara agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama tersebut.      Di sini, menjadi jelas, agama
bertanggung jawab mewujudkan perdamaian. Bagi Küng, tugas agama-agama haruslah menciptakan
perdamaian karena perdamaian (shalom, salam, eirene, pax) merupakan ciri utama ajaran setiap
agama. "They could blunt hostile conflicts and help to avoid or shorten wars!" (Küng, 1998:148).
Mereka– agama-agama– dapat meredakan konflik bermusuhan dan dapat membantu menghindari
atau mempersingkat perang, tegas Küng. Tidak ada perang yang lebih mengerikan dari perang yang
dimotivasi oleh ego-ego keagamaan. Apa tawaran konkret Küng yang cocok bagi konteks kehidupan
beragama kita di Indonesia? Jawabannya, dialog kritis. Dialog model ini menekankan pentingnya
konsensus yang seharusnya dilakukan antara wakil-wakil dari pelbagai agama. Dialog yang
diperlukan ialah dialog yang memberi dan menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat
terdalam dari masing-masing agama mesti dipresentasikan dan diperkenalkan. Dengan ini, dialog
yang ditawarkan Küng mestilah sebuah dialog yang kritis, manakala semua agama ditantang untuk
tidak hanya menjustifikasi segala sesuatu, tetapi menyampaikan pesan terdalam mereka dengan baik
dan tepat.  Ringkasnya, dialog yang sesungguhnya dibutuhkan Indonesia ialah dialog dengan
tanggung jawab saling menjelaskan dan sadar bahwa tidak ada satu pun agama memiliki kebenaran
'yang telah tercipta', tetapi semua menuju pada kebenaran “yang lebih mulia” (Küng, dalam Najiyah
Martiam, ed., 2010:17). Nie wieder Apakah tawaran Küng ini mungkin bagi kita? Jawabannya, ya.
Saat mengunjungi Indonesia pada 2010, Küng memuji fakta pluralitas dan spirit kita.
Keanekaragaman merupakan ciri dan fakta Indonesia yang harus diakui. Kendati demikian, Küng
mengakui, Indonesia memiliki dan berdiri di atas spirit terkenal, bhinneka tunggal ika– berbeda-beda
tetapi tetap satu. Küng mengusulkan sebuah masyarakat Indonesia yang harmonis, bukan masyarakat
yang seragam. Harmonis dalam keanekaragaman. Ahmad Syafi’i Maarif dan Syafaatum Almirzanah
menanggapi Küng dengan optimistis. Kita membutuhkan pegangan yang lebih kokoh yakni
keseriusan Küng tersebut. Kalau diaplikasikan untuk semua agama, tawaran Küng tentu akan bagus
sekali.      Berkaca pada skor indeks KUB yang cenderung fluktuatif dan angka pelanggaran KBB
yang amat labil, kita perlu mengantisipasi sejak saat ini untuk lima tahun ke depan. Untuk semua
pengalaman traumatis di masa lalu, untuk setiap ego keagamaan, kita sepakat, 'nie wieder, tidak akan
lagi, jangan terulang lagi'. Kita benar-benar membutuhkan dialog yang lebih serius, dialog kritis,
yang berani masuk hingga ke akar tiap agama dengan segala konsekuensinya.

Anda mungkin juga menyukai