Disusun Oleh :
1. IMAM BUSTAMI
2. INDRI RAMADHANI
3. DEWI SASMITA
4. HASNA RAMADHANI
Dosen Pengampu
TUA NASUTION, MA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTARi
BAB I Pendahuluan
1. Latar Belakang
BAB II Pembahasan
BAB II Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga karna karunia-
Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Aamiin....................
Kelompok 13
Penyusun
September 2021
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Mempelajari mata kuliah ilmu kalam merupakan salah satu dari tiga
komponen utama rukun iman. Ketiga komponen itu yaitu, nuthqun bi al-lisani
(mengucapkan dengan lisan), amalun bi al-arkani (melaksanakan sesuai dengan
rukun-rukun), dan tashiqun bi al-qalbi (membenarkan dengan hati).1
Ilmu kalam adalah ilmu yang tergolong eksklisif di kalangan umat Islam,
itupun hanya terbatas pada perguruang tinggi keagamaan Islam (PTKI) saja,
yang merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa. Tidak banyak orang yang
tau mengenai seluk beluk ilmu yang langka ini. Kebanyakan para intelektual
Muslim, lebih memilih filsafat sebagai pembentuk pola pikir, yang dijadikan
sebagai dasar sebagai penentuan segala sesuatu dalam bidang keilmuan. Padahal
dalam Islam, kerangka berfikir yang mirip, bahkan lebih kokoh sandarannya,
telah tercipta jauh sebelum keilmuan lain dalam Islam itu terbentuk, yaitu ilmu
kalam.2
1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 5.
2
Elmansyah, Ilmu Kalam (Pontianak: IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 1
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Menurut Abduh manusia mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan
dalam memilih, namun tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang
yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang
mampu. Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia. Dia
cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi tuhan walaupun tidak
secara tegas.
Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauannya sendiri
telah membatasi kehendaknya dengan sunnatullah yang di ciptakannya untuk
mengatur alam ini. Ia berpendapat bahwa alam ini di ciptakan untuk kepentingan
manusia dan tidak satupun ciptaan tuhan yang tidak membawah manfaat bagi
manusia.
Tidak mungkin esensi dan sifat-sifat tuhan mengambil bentuk tubuh atau
roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk, dan sebagainya mesti
di pahami sesuai dengan pengertian yang di berikan oleh orang Arab kepadanya.
Dengan demikian katanya kata Al-Arsy dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau
kekuasaan, kata Al-kursy berarti pengetahuan. Ia hanya menyebutkan bahwa
orang yang percaya pada tanzih(keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari
mahluk yang menyerupai tuhan) sepakat mengatakan bahwa tuhan tak dapat di
gambarkan atau pun dijelaskan dengan kata- kata. Karena berpendapat bahwa
ada perbuatan tuhan yang wajib, abduh sefaham dengan muktazilah dalam
mengatakan bahwa wajib bagi tuhan berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
3
Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya
mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat
islam. Bahkan, ketika datang ke india pada tahun 1869, jamaludin al-afgani
menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas keluan tersebut, jamaludin
mengarang buku yang berjudul ar-radd ad-dhoriyah (jawaban bagi kaum materi
alis).
Sejalan dengan faham qodariyah yang di anutnya, ia menentang keras
faham taqlid. Selanjudnya khan mengemukakan bahwa tuhan telah menentukan
tabi’at atau nature (suanatullah) bagi setiap mahluknya yang tetap dan tidak
pernah berubah. Menurutnya islam adalah agama yang paling sesuai dengan
hukum alam, kerena hukum alam adalah ciptaan tuhan dan al- qur’an adalah
firmannya. Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam,
khan tidak mau pemikirannya terganggu otoritas hadits dan fiqih. Segala sesuatu
di ukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan
dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mau mengambil al- qur’an sebagai
pedoman hukum islam. Alasan penolakan nya terhadap hadist adalah karena
hadits berisi moralitas sosial, sedangkan hukum fiqih menurutnya berisi
moralitas masyarakat. Ia menolak taqlik dan membawa al-qur’an untuk
menguraikan relefansinya dengan masyarakat baru pada zaman itu.
4
sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nash-nash al-qur’an
yang masih global dalam realita kehidupan. oleh karena itu untuk mengembalikan
semangat dinamika islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hukum
islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif, dan menyerukan kepada
kaum mulim agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme
tersebut.
a. Hakikat teologi
Teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, di dalamnya terdapat
jiwa yang bergerak berupa persamaan, kesetiaan kawaan dan kebebas
kemerdekaan.
b. Pembuktian tuhan
Ia juga menolak argumen teologis yan berusaha membuktikan
eksistensi tuhan yang mengatur ciptaannya dari sebelah luar.
c. Jati diri manusia
Pada hakikatnya menafi’kan diri bukanlah ajaran islam karena hakikat
hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan.
d. Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-
qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat
kreatif.
e. Surga dan neraka
Surga dan neraka kata iqbal adalah keadaan, bukan tempat, gambaran-
gambaran tentang keduanya dalam Al-Qur’an adalah penampilan-
penampilan kenyataan batin secara visual yaitu sifatnya:
1. Neraka, menurut rumusan Al-qur’an adalah “api Allah yang menyala-
nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang
menyakitkan mengenai kegagalan manusia.
2. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam
mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan.
5
6
f) Tauhid sebagai prinsip metafisika
6
g) Tauhid sebagai prinsip etika
h) Tauhid sebagai prinsip tata sosial
i) Tauhid sebagai prinsip ummah
j) Tauhid sebagai prinsip keluarga
k) Tauhid sebagai prinsip tata politik
l) Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
m) Tauhid sebagai prinsip estetika
7
baik dan buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran
eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat barat.
Dengan menganggap akal dapat mengetahui baik dan buruk berarti juga
meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini sedikit banyaknya
mengarah kepada pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di Indonesia.
Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai
berikut.
a) Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi Ilmu kalam adalah teologi
Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen Kata teologi kemudian
mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang
benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu
kalam.
b) Tema-tema ilmu kalam
Deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan
kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Menonjolkan perbedaan
pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan melemahkan iman para
mahasiswa.
c) Hakikat iman
Iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi
dapat dilihat dalam dimensi kontekstual atau hubungan manusia dengan
manusia, yaitu hidup dalam masyarakat.
8
tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan
8
makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah
pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut”. Hal ini
dasarkan ada kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi
terhadap peranan akal dalam kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan Islam.
b) Pembaharuan teologi
Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi
mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak
heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah
Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c) Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal
dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang
menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu
menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan
tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar.
Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu.
Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan
kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan
dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, tetapi
penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu
juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal
ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
9
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan sebagai berikut:
a. Pemikiran kalam ulama modern ini muncul karena pada masa itu umat islam
digambarkan sebagai masyarakat yang beku , kaku, menutup rpat-rapat pintu
ijtihad dan mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah. Karena
mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga
hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta berdasarkan khurafat-khurafat.
Adapun pemikiran kalam ulama modern disini diantaranya:
1. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal.
Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution
menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh member kekuatan yang lebih tinggi
kepada akal daripada Mu’tazilah. Sedangkan wahyu bagi Abduh berfungsi
sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan
akal dan informasi.
2. Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan juga mempunyai kesamaan pemikiran dengan
Muhammad Abduh terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi
dalampandangannya. Meskipun demikian sebagai penganut ajaran Islam yang
taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukanlah
segalnya dan kekuatan akal pun terbatas. Ia menentang keras terhadap faham
taklid. Sebagai konsekuensinya, ia memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad
baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
3. Muhammad Iqbal
Ijtihad dalam perspektif Iqbal disebut sebagai prinsip gerak dalam struktur
Islam. Menurutnya, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan
membuang kekakuan serta kejumudan hukum Islam.
10
Ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Dan menyerukan kepada kaum
muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme
tersebut.
4. Ismail Al-Faruqi
Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam melalui karyanya yang berjudul : Its
Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tauhid yang
mengupas hakikat tauhid secara mendalam. Diantaranya yaitu: tauhid sebagai
inti pengalaman agama, tauhid seabagai pandangan dunia, tauhid sebagai intisari
Islam dan lain sebagainya.
5. Hasan Hanafi
- Kritik terhadap teologi tradisional yaitu Dalam gagasannya tentang
rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah
orientasi perangkat konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan
perubahan konteks-politik yang terjadi.
- Hanafi juga menwarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan
teori ilmu dalam teologi Islam yaitu: analisis bahasa dan analisis realitas.
6. H.M. Rasyidi
- Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan
pengertian ilmu kalam dan teologi. Menurutnya teologi dalam Kristen
tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam. Dia juga mengkritik salah satu
tema-tema ilmu kalam Harun Nasution. Dia berpendapat bahwa
menonjolkan perbedaan pendapat anatara Asy’ariyah dan Mu’tazilah,
sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para
mahasiswa. Karena pemikiran kalam Harun Nasution terlalu mengagung-
agungkan akal sehingga menganggap remeh ayat-ayat Al-Qur’an.
- Menurutnya iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia
dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau
hubungan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat.
11
4. Harun Nasution.
- Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian
“Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia
mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain
sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah
kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah
kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut”.
- Hubungan akal dan wahyu: Akal mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa
wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak
menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dari keempat pemikiran sebagaimana disebutkan diatas setidaknya dapat
kita pahami bahwa masing masing tokoh memang tidak dapat terlepaskan
dari pemikiran kalam dimasa lalu. HM. Rasyidi misalnya pemikirannya
lebih cenderung kepada pemikiran Ahlusunnah wal Jamaah atau al
Maturidiytah yang dibangun oleh al Imam Asy’ari dan al Maturdi.
Demikian juga dengan Harun Nasution dan Hasan Hanafi yang
pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan
Qadariyah yang lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita
takdir atau nasib dalam kehidupan di dunia ini.
2. Saran
Demikian pembahasan makalah yang penulis uraikan. Saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi terciptanya pengetahuan-pengetahuan
baru khususnya mengenai ilmu kalam. Sekian dan terimakasih.
12
DAFTAR PUSTAKA
13