Anda di halaman 1dari 11

SISTEM HUKUM PIDANA COMMON LAW DAN CIVIL LAW

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana
yang diampu oleh Bapak Meyer Tendean, S.H., M.H)

Oleh
Nurain Abdullah
192032025

KELAS 6B
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
TAHUN 2022
I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa
Indonesia menjunjung tinggi hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak-hak asasi manusia, misalnya hak
asasi manusia di bidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana yang tentram dan tertib
dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau norma
maupun kaidah untuk menjamin hak-hak dan kewajiban masyarakat. Dalam hal ini
hukum di negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati
bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-
masing.
Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan dapat
dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang pada suatu
saat berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai
kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan pokok. begitu pula
penuntut umum dalam melakukan penuntutan. Penuntut umum tidak hanya melihat
kejahatan dan mencocokanya dengan suatu peraturan hukum pidana, akan tetapi
mencoba menempatkan kejadian itu dengan menghubungkan pada proporsi yang
sebenarnya pembangunan di bidang hukum sendiri tak dapat dipisahkan sebagai bagian
dari pembangunan nasional (Yelina Rachma, 2010 : 13).
Pada dasarnya negara-negara dapat dikelompokan ke dalam dua golongan yaitu
penganut sistem hukum Anglo Saxon dan penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Keluarga hukum Eropa Kontinental atau lebih kita kenal sebagai keluarga hukum Civil
Law merupakan keluarga hukum yang tertua dan paling banyak berpengaruh di dunia
termasuk di dalamnya dianut oleh Indonesia , ciri utama dari keluarga hukum ini adalah
kodifikasi undang-undang menjadi sebuah kitab sebagai dasar hukum utamanya.
Sedangkan keluarga hukum Anglo Saxon atau disebut dengan keluarga hukum
Common Law berasal dari Inggris dan pada umumnya berlaku di wilayah negara-
negara jajahan Inggris seperti India, Malaysia, Singapura, Australia, Amerika Serikat,
dan lain sebagainya, ciri utama keluarga hukum ini adalah penggunaan yurisprudensi
sebagai sumber hukum utamanya (Tolib Effendi, 2013 : 30-31).
Perbandingan sistem hukum dan Peradilan sebagai salah satu metode
pendekatan dalam perspektif hukum dan ilmu hukum dalam artian yang luas, telah
banyak diminati oleh pengkaji dan pengstudi ilmu perbandingan dan hukum. Sistem
hukum yang ada di dunia pada dasarnya terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu : sistem
hukum Eropa Kontinental (Civil Lawsystem), sistem hukum Anglo Saxon (Common
Lawsystem) dan sistem hukum sosialis. Sistem hukum civil , dalam satu pengertian,
merujuk ke seluruh sistem hukum yang saat ini diterapkan pada sebagian besar negara
Eropa Barat, Amerika Latin, negara-negara di Timut Dekat, dan sebagian wilayah
Afrika, Indonesia “Comparative Law” merupakan suatu teori metoda atau “method
theory” atau merupakan “the social science theory.” dan Jepang. Sistem hukum Civil

1
Lawlebih mengutamakan peraturan dengan tertulis, seperti perundang-undangan dan
membuatnya sebagai dasar hukum yang harus ditaati oleh warga negaranya. Sistem
hukum ini memperoleh kekuatan mengikat karena wujud dari hukum tersebut tertulis
dan sifatnya sistematis, lengkap dan tuntas dalam kodifikasi.
Pada dasarnya, undang undang lah yang menjadi dasar hukum dari sistem
hukum civil law, sebagaimana dinyatakan oleh Sudarto yakni : “Hukum itu berasal dari
kehendak mereka yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara, ialah berasal dari
kehendak pembentuk undang-undang. Penciptaan hukum di luar pembentukan undang-
undang tidak diakui. Kalau dalam kenyataan ada hukum kebiasaan yang berlaku di
samping undang-undang, maka berlakunya hukum kebiasaan ini didasarkan pada
kehendak dari pembentukan undang-undang, yang dinyatakan secara tegastegas atau
secara diam-diam.”
Civil Law memiliki karakteristik dalam membuktikan bahwa pengaturan
hukum seperti perundang-undangan tidak diperkenankan bertentangan satu dengan
yang lain. Sistem hukum civi law terdiri atas dua golongan yaitu hukum privat dan
hukum publik. Hukum privat mengatur tentang hubungan antar individu dalam suatu
masyarakat.
Common Law System dianut oleh negara Inggris kemudian berkembang dan
menyebar ke Amerika Serikat, Canada, Amerika Utara, dan Australia. Sistem hukum
Common Lawberbeda dengan sistem hukum civil law, karena dalam sistem hukum
Common Lawsumber hukum utamanya adalah putusan hakim/ yurisprudensi. Putusan
hakim yang telah disahkan/ ditetapkan mengakibatkan putusan tersebut memiliki sifat
mengikat dan mewujudkan suatu kepastian hukum. Walaupun dalam sumber hukum
utama nya Civil Lawdan Common Lawberbeda. Sistem hukum Common Lawyang
sumber hukum utamanya putusan hakim/ yurisprudensi tidak menuntup kemungkinan
dapat membuat peraturan perundang-undangan sebagi pelengkap peraturan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Sistem Common Law dan Civil Law?
2. Bagaimana Sistem Hukum Pidana Common Law dan Sistem Civil Law?
3. Apa saja Asas Legalitas dalam Common Law dan Civil Law?

C. Tujuan
1. Agar dapat mengetahui pengertian dari Common Law
2. Agar dapat mengetahui Sistem Hukum Pidana Common Law dan Sistem Civil Law
3. Agar dapat mengetahui Asas Legalitas dalam Common Law dan Civil Law

2
II Pembahasan
A. Pengertian Sistem Common Law dan Sistem Civil Law
Sistem hukum common law merupakan suatu sistem hukum yang didasarkan
pada yurisprudensi6. Sumber hukum dalam sistem hukum common law ialah
putusan hakim atau putusan pengadilan. Dalam sistem hukum ini peranan yang
diberikan kepada seorang hakim sangat luas.
Civil law system adalah bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal
dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang- undangan, kebiasaan-
kebiasaan, dan yurisprudensi. Negara- negara penganut civil law menempatkan
konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan.

B. Sistem Hukum Pidana Common Law dan Sistem Civil Law


Suatu realitas bahwa sistem hukum di dunia dihadapkan kepada sebuah
keberbedaan. Keberbedaan ini disebabkan faktor sejarah negara penjajah terhadap
daerah-daerah bekas jajahannya. Di dalam garis besarnya terdapat dua sistem
hukum. Pertama, sistem Common Law (Anglo Saxon) adalah sistem yang berlaku di
Inggris dan negara-negara bekas daerah jajahannya. Di dalam sistem hukum ini terdapat
tiga karakteristik yaitu yurisprudensi sebagai sumber hukum utama, dianutnya sistem
preseden (doktrin stare decicis) dan terdapatnya adversary systemdalam peradilannya.
Dengan sistem ini, maka hukum yang berlaku adalah hukum tidak tertulisatau hukum
kebiasaan yang berkembang melalui putusan-putusan pengadilan. Hakim
menggunakanstaredecicisatau keputusan hakim terdahulu untuk perkara yang sejenis
sebagai dasar pembenaran keputusan. Kedudukan hakim terbatas memeriksa dan
memutuskan hukumnya, sementara juri yang memeriksa kasus untuk dapat
menentukan dan memutuskan bersalah dan tidaknya terdakwa atau pihak yang
berpekara. Keterlibatan juri menunjukkan bahwa keadilan tidak bergantung
sepenuhnya kepada lembaga peradilan tetapi menjadi bagian integral kehadiran
masyarakat dalam proses penegakannya.
Kedua, sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental)adalah sistem hukum
yang berlaku di negara-negara bekas daerah jajahan Belanda. Indonesia sebagai negara
jajahannya, maka berdasar asas konkordansi berlakulah Civil Law. Di dalam sistem ini
terdapat tiga ciri khas sistem hukum yaitu hukum itu adalah yang dikofikasikan,
hakim tidak terikatsistem preseden (doktrin stare decicis) dan hakim berpengaruh
besar mengarahkan dan memutuskan perkara (inkuisitorial). Dalam sistem inilah,
hakim terikat undang-undang dalam memutuskan perkara yang ditanganinya. Hal ini
berarti kepastian hukum hanya ada itu bentuk dan sifatnya tertulis.Kedudukan
hakim sangatlah sentral, karena hakim memeriksa langsungmateri kasus yang
ditangani, menentukan bersalah dan tidaknya terdakwa atau pihak yang sedang
berperkara, sekaligus menerapakan hukumannya. Untuk itu, maka tidak dikenal juri di
dalam sistem ini. Hal ini menjadikan tanggung jawab hakim lebih berat, karena hakim
harus memeriksa fakta-fakta hukum, menentukan kesalahan serta menerapakan
hukuman dan sekaligus menjatuhkan putusannya yang di duga bersalah dan harus
dihukum.
Berbedanya kedua sistem hukum itu menjelaskan keberbedaan. Di Common
Lawkelenturan penerapan hukum terjadi, karena hakim tidak harus selalu berpegang
teguh kepada hukum tertulis, tetapi dapat menggunakan hukum yang berkembang di

3
masyarakat (hukum kebiasaan) sebagai bagian dari proses menjatuhkan putusanya.
Berpegang yurisprudensi hakim, maka terbentuk aturan yang tidaklah harus bergantung
eksekutif dan legisilatif (sebagaimana di Indonesia) tetapi melalui keputusan dapat
dijadikan sumbernya hukum. Yurisprudensinya keputusan itu tidak berdiri sendiri,
tetapi dengan mendengarkan rasa keadilan menurut juri. Hakim tetap berpegang kepada
ketentuan dan menilai apa yang dilanggarnya, tetapi keputusan salah dan tidak tetap
berada di tangan para juri, sehingga yang terjadi adalah kombinasi hakim dan juri yang
berbeda latar belakangnya membuat keputusannya. Hakim tidak lagi menjadi tunggal
menjadikan hitam dan putihnya dalam menjatuhkan putusan di dalam sisten hukum ini.
Doktrin stare decicismengandung arti bahwa dalam memutuskan suatu perkara,
seorang hakim harus mendasarkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada
dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis yang sebelumnya (preseden). Selain itu,
prinsip ini dapat menciptakan hukum baru yang dapat menjadi pegangan bagi hakim-
hakim lain untuk menyelesaikan perkara sejenis. Artinya, dalam hal ini hakim berfungsi
tidak hanya sebagai yang menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum
saja. Dalam hal ini, hakim sangat berperan besar membentuk seluruh tata kehidupan
masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk dapat menafsirkan
peraturan hukum yang berlaku. Hakim dapat menjatuhkan putusan sesuai kebiasaan
atau melaksanakan asas ini dengan sepenuhnya. Dengan kekuasaan hakim yang luas,
maka hakim dapat membentuk hukum baru melalui penafsirannya. Hakim dapat
membuat norma atau aturan berdasarkan detak keadilan masyarakat dengan
yurisprudensinya.
Kedudukan juri dalam sistem ini menjadi sentral di dalam menegakan keadilan.
Hal ini, karena keadilan yang sesungguhnya ada dan hidup itu berada di masyarakat.
Sistem juri mempunyai kelebihan dibanding dengan sistem peradilan di Indonesia,
dimana sistem ini lebih mengutamakan keterlibatan masyarakat sebagai unsur sosial
yang berdaulat, serta membatasi kekuasaan dan ketergantungan pemerintahan yang
dijalankan melalui hakim dan penuntut umum. Penggunaan juri berlaku dalam sistem
berlaku baik perkara pidana maupun perdata. Juri dipilih dari komunitas warga
masyarakat (tokoh-tokoh masyarakat setempat) dan bukan ahli hukum diharapkan
originalitas dalam menjatuhkan putusan menjadi berlaku obyektif. Untuk itu, juri akan
mempertimbangkan bukti dan kesaksian dalam menentukan pertanyaan-pertanyaan
tentang kejadian sementara hakim biasanya aturan untuk menggali pertanyaan-
pertanyaan hukum.
Kontradiksi dengan yang terjadi di Indonesia, sebagai negara yang menganut
Civil Law adalah sistem peradilannya. Potret buramkelembagaannya peradilan bukan
isapan jempol, tetapi realitas telah terjadi. Kasus Basar Suyanto & Kholil yang divonis
Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, pada tahun 2009 dengan hukuman 2 bulan 10
hari, karena mencuri sebuah semangka. Nenek Minah yang sudah tua dijatuhi hukuman
1 bulan penjaran dengan masa percobaan 3 bulan, karenai mencuri 3 buah kakao
seharga Rp 2.000 milik PT Rumpun Sari Antan di Banyumas, Jawa Tengah. Nenek
Asyani yang diduga mencuri 7 batang katu jati milik Perum Perhutani. Menurut wanita
tua Situbondo, Jawa Timur tersebut, kayu jati itu dulunya ditebang almarhum suaminya
dari lahan mereka sendiri yang kini telah dijual. Namun, Perhutani tetap mengatakan
bahwa kayu jati itu berasal dari lahan milik mereka dan bersikeras memperkarakan ulah
Nenek Asyani itu. Padai tahun 2009 lalu, seorang kakek berusia 76 tahun bernama Klijo

4
dituduh mencuri setandan pisang yang apabila dijual hanya Rp 2.000 saja. Kasus ini
bermula permintaan sekelompok anak untuk menebang pisang di pinggir jalan, maka
warga yang mengetahui apa yang dilakukan Mbah Klijo tersebut langsung
melaporkannya ke kepolisian. Kasus-kasus ini telah mempertontonkan bahwa vonis
cenderung tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Hukum mudah menghukum rakyat
kecil, tetapi tidak untuk para koruptor. Kasus korupsi yang melibatkan 41 dari 45
anggota DPRD Malang yang ditangkap KPK. Keseluruhannya diduga merima uang Rp
12,5 – Rp 50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton, yang juga telah menjadi
tersangka. Uang itu diduga diberikan Anton terkait pengesahan RAPBD-P kota Malang
tahun 2015. Di Riau juga diuga bahwa tersangka Gubenur Zumi Zola telah menyuap
53 anggota DPRD (dengan istilah uang ketok palu) di dalam rangka pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Belanja Tahun 2017 dan 2018. Korupsi yang
telah terjadi menjadi berjamaah. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW)
terhadap vonis kasus korupsi tahun 2017 dari tingkat pertama hingga ke kasasi dan
peninjauan kembali (PK) mencatat rata-rata vonis pidana penjara hanya 2 tahun 2 bulan
telah meneguhkan adanya keberpihakan pengadilan kepada kekuasaan dan uang, tetapi
tidak untuk yang termarginalkan. Kondisi tidak berpihak yang lemah ini menjadi terjal
dan tidak mudah untuk mendapatkan keadilannya.
Masalah tersebut di atas dapat ditelusuri peradilan yang tidak berkeadilan
bermula dari sistem hukumnya itu sendiri. Pertama, mengendepankan kodifikasi
menjadikan hukum tertulis. Kepolisian, jaksa dan hakim menjadikan hukum
berkonotasi kepada undang-undang. Penegak hukum bagaikan mulutnya undang-
undang. Apa yang telah ada di dalam tulisan atau teks undang-undang, maka itulah
yang akan dijalankan dengan menggunakan kaca mata kuda. Keadilan diukurnya oleh
teks yang mengaturnya dengan tanpa memahami lebih dalam makna dibalik yang diatur
dan keadilan yang harus dikedepankan. Kedua, tidak dikenanya stare
decisisberimplikasi kepada keadilan yang hadir lebih lama dan entah kapan. Hal ini
berarti bahwa justice delayed is justice denied(keadilan yang datangnya terlambat,
sama saja dengan ketidak adilan) adalah realitassistem hukum ini. Seharusnya
pengadilan tidak harus mempermainkan waktu pencari keadilan di dalam mencari
keadilannya. Ketiga, besarnya peranan dan kedudukan hakim dengan jumlah tiga orang
membuka potensinya terjadinya penyalahgunaan jabatan. Apakah itu sogok, suap dan
jual beli perkara sebagaimana yang terjadi saat ini. Jumlah yang hanya tiga hakim saja
itu memudahkan pihak yang berpekara dengan kekuatan uangnya untuk mempengaruhi
hakim yang akan menjatuhkan perkaranya. Berbeda hal dengan sistem Common
Lawdimana juri pada umumnya terdiri lebih 10 orang, maka tidaklah mudah untuk
mempengaruhi seluruhnya.
Dengan pemaparan kondisi sistem hukum ini, maka mendapatkan jalan untuk
mencari pilihan keluarnya adalah dengan teori Hukum Progresif. Teori ini digagas Prof.
Dr. Satjipto Rahardjo, SH arti substansinya mengarah kepada kemajuan. Berhaluan
kepada arah perbaikan keadaan saat ini teori ini pilihan alternatif terbaik untuk dapat
memperbaiki keadaan dimana sistem peradilan yang ada lebih berpihak ke atas, tetapi
tidak masyarakat bawah adalah realitas. Dalam arti merubah sistem yang berlaku tidak
mungkin, tetapi dengan teori ini dapat dicarikan jalan keluarnya. Apakah teori hukum
progresif itu ? Terdapat tiga pemahaman hukum progresif. Pertama, hukum adalah
untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Artinya, hukum itu bukan menjadi titik

5
sentranya, tetapi manusianya itu sendiri titik utamanya. Kedua, hukum progresif itu
menolak mempertahankan status quo di dalam berhukum. Hukum itu tidak legalistik
semata-mata, tetapi hukum itu dapat berubah apabila masyarakat menghendaki untuk
merubahnya. Hal ini, karena hukum status quo dapat mengobarkan masyarakat. Ketiga,
hukum progresif memfokuskan kepada perilaku manusia dalam berhukum. Hal itu
dapat dilakukan dengan menjunjung tinggi moralitas sebagai akar kehidupan dalam
masyarakat. Dengan ini, maka hukum dapat mengendalikan masyarakat dengan
mengedepankan keadilan sebagai dasarnya.
Melalui hukum progresif, maka seharusnya perilaku koruptif di pengadilan
tidak terus berkembang biak menjadi memburuk. Ide hukum progresif menjadi penting
dan relefan di tengah maraknya mafia peradilan dan merosotnya kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja lembaga peradilan. Hukum selalu identikan dengan
positivistik di pengadilan melalui teks yang tertulis dengan menihilkan peranan
manusia, tetapi dalam realitasnya teks tidak dapat menjawab permasalahan telah
menunjukkan hukum tidak dapat dipercaya dalam kehidupan sesungguhnya, termasuk
lembaga peradilan. Di dalam pandangan ke depan hukum tertulis itu baru dalam tahap
janji-janji saja, baru dapat menjadi hukum apabila dijalankan dengan sungguh, sepenuh
hati dan dengan hati nurani dijalankan penegak hukum dan ditaati oleh masyarakat,
maka hukum itu hidup dan di masyarakat. Gambaran terlihat di kelembagaan
pengadilan sebagai bahan mempelajarinya. Pengadilan bersih, obyektif dan tidak
berpihak menjatuhkan putusan, maka pencari keadilan mendapatkan keadilan yang
diharapkan. Sebaliknya, pengadilan yang koruptif keadilan akan sulit memperoleh
keadilannya. Kesemuanya bermuara kepada pilihan sistem hukum yang berlaku di
negaranya, namun betatapun sistem dan peradilan tidak baik, maka menggunakan teori
hukum progresif adalah solusi untuk mendeteksi permasalahan dan yang kemudian
untuk dapat mengobati lebih dalam luka yang ada dengan berpedoman kepada teori
hukum progresif.

C. Asas Legalitas dalam Common Law dan Civil Law


Penerapan asas legalitas memiliki variasi yang beragam antar satu negara
dengan negara lainnya, tergantung apakah sistem pemerintahan yang berlaku di negara
bersangkutan bersifat demokratis atau tiranis. Variasi juga tergantung pada keluarga
hukum yang dianutnya. Sistem Eropa Kontinental cenderung menerapkan asas legalitas
lebih kaku daripada penerapannya di negara-negara yang menganut sistem Common
law, karena di negara-negara Eropa Kontinental asas legalitas menjadi alat untuk
membatasi kekuasaan negara. Di negara-negara yang menggunakan sistem Common
Lawasas legalitas tidak begitu menonjol, karena prinsip-prinsip rule of law telah
tercapai dengan berkembangnya konsep due proses of law yang didukung oleh hukum
acara yang baik. Dalam hal ini analogi tidak dijinkan tetapi bahkan menjadi basis
pembaharuan Common Law. Amerika Serikat lebih ketat dalam membatasi analogi dan
berlakunya asas retroaktif hanya dalam hukum acara, khususnya hukum pembuktian.
Dalam tradisi Civil Law system, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan
secara ketat, yaitu: peraturan perundangundangan (law), retroaktivitas (retroactivity),
lex certa, dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H. Haveman,
though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination

6
of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality. Ke-empat aspek
asas legalitas di atas penjelasannya sebagai berikut:
1. Lex Scripta: tertulis
Dalam Civil Lawsystem, aspek pertama adalah pemidanaan harus
didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang
tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku
(perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang
mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak
bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa hukum
kebiasaan/hukum yang hidup tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan
tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam
menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang
dirumuskan oleh undang-undang tersebut.
2. Lex Certa
Jelas dan rinci Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat
undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai
perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah
yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-
undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samarsamar (nullum crimen
sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai
perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau
terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat
membela diri bahwa ketentuanketentuan seperti itu tidak berguna sebagai
pedoman perilaku.
3. Analogi
Analogi artinya memperluas berlakunya suatu peraturan dengan
mengabstraksikannya menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari peraturan
itu (ratio legis) dan kemudian menerapkan aturan yang bersifat umum ini
kepada perbuatan konkrit yang tidak diatur dalam undang-undang. Penerapan
peraturan secara analogi ini dilakukan apabila ada kekosongan (leemte
atalucke) dalam undangundang untuk perbuatan (peristiwa) yang mirip dengan
apa yang diatur oleh undangundang. Akan tetapi sebaliknya apabila ada
peristiwa (baru) yang tidak diatur dalam undangundang maka peraturan itu tidak
diterapkan, apabila tidak sesuai dengan rasio dari peraturan tersebut.
Penggunaan yang demikian itu disebut DUJXPHQWXP D FRQWUDULR¥
(pemberian alasan secara dibalik/bewijs van het tegendeel) Seperti disebutkan
di muka, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan 19 Sudarto,
1990, Hukum Pidana I, Cetakan ke-dua, semarang: Yayasan Sudarto Fakultas
Hukum UNDIP, Hal. 22-23. apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian,
dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan
interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut.
4. Non-retroaktif
Asas legalitas dipandang dari ruang berlakunya hukum pidana menurut
waktu yang berkaitan dengan non retroaktif menghendaki bahwa ketentuan

7
peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat
diberlakukan secara surut (non retroaktif). Johan Anselm von Feuerbach dari
Jerman pada tahun 1801 dengan teori vom psycologischen zwang-nya yang
pertama kali merumuskan asas legalitas dengan postulat “nullum dellictum
nulla poena sine praevia lege poenali” (tidak ada perbuatan pidana atau tidak
ada pidana tanpa Undang-Undang pidana sebelumnya) dalam bukunya yang
berjudul “Lehrbuch des gemeinen, in Deutschland giiltigen peinlichen Rechts”.
Buku ini ia tulis bersamaan dengan memuncaknya gejala revolusi di daratan
Eropa yang diinspirasi oleh revolusi Prancis yang menumbangkan kekuasaan
absolut kerajaan yang sewenang-wenang.
Selanjutnya postulat tersebut mengalami penderivasian yang sejajar dengan
principat induknya menjadi tiga frasa, meliputi :
a. Nulla Poena Sine Lege (tiada pidana tanpa pidana menurut ketentuan Undang-
Undang)
b. Nula Poena Sine Crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
c. Nullum Crimen Sine Poena Legali (tiada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut Undang-Undang).
Makna asas legalitas juga dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend diantaranya:
a. Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (nonretroatkif / nullum
crimen nulla poena sine lege praviae/ lex praeviae);
b. Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum
kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta / lex scripta);
c. Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege
certa / lex certa);
d. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum
crimen poena sine lege stricta / lex stricta).

8
III Penutup
A. Kesimpulan
Civil LawSystem adalah Sistem Hukum yang dianut oleh negara-negara Eropa
Kontinental yang didasarkan Pada Hukum Romawi. Negara penganut Civil
Lawmenempatkan Konstitusi tertulis pada urutan tertinggi dalam hierarki perundang-
undangan dan selanjutnya diikuti oleh peraturan lain yang berada dibawahnya. Hal ini
berbeda dengan negara penganut Common Lawdimana sistem hukumnya menganut
doktrin stare decisis yang berarti bahwa dalam memutus putusannya seorang hakim
haruslah memutus perkara berdasar pada prinsip hukum yang sudah ada berdasarkan
putusan hakim lain dalam perkara sejenis yang sebelumnya (preseden). Sehingga dapat
terlihat dalam Common Lawmendasarkan pada pentingnya yurisprudensi sedangkan
pada Civil Lawmengutamakan perundang-undangan sebagai sumber hukumnya.
Pada Civil Law System, Hukum Dikodifikasi menjadi suatu Hukum Tertulis
serta terdapat pemisahan secara tegas antara Hukum Publik dengan hukum privat. Hal
ini berbeda dengan Common Lawsistem dimana sistem hukumnya didominasi oleh
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan melalui putusan hakim . Selain itu pada
Common LawSystem, pemisahan secara tegas antara huku publik dan Hukum Privat
tidak dinyatakan secara tegas. Namun demikian sumber-sumber hukum itu (putusan
hakim, kebiasaaan, dan peraturan tertulis) tidak tersusun sistematis dalam hierarki
tertentu sebagaimana yang berlaku pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam
Sistem Hukum ini “peranan” yang diberikan kepada seorang hakim “tidak hanya”
sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturanperaturan hukum
saja, tetapi hakim juga berperan besar dalam membentuk seluruh tata kehidupan dan
menciptakan prinsip hukum yang baru atau disebut dengan yurisprudensi.

9
Daftar Pustaka
Nurul Qamar. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan. Cetakan Pertama.
Makassar.Refleksi, 2010.
Muladi. Demokrasi. Hak Asasi Manusi. Dan Reformasi Di Indonesi. Habibie Center. Jakarta.
Tahun 2002.
Peter de cruz. Perbandingan Sistem Hukum Commom Law. Civil Lawdan Socialist Law.
Jakarta : Diadit Media, 2013.
Roelof H. Heveman. 2002. The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia. Jakarta:
Tata Nusa.
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni. 1986.
Sudarto. 1990, Hukum Pidana I. Cetakan ke-dua, semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum
UNDIP.
https://business-law.binus.ac.id/2018/12/21/sistem-hukum-pengaruhnya-terhadap-keputusan-
peradilan/
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/5301
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://lib.ui.ac.id/file%3Ffile%3
Ddigital/131454-T%252027539-Tinjauan%2520hukum-
Pendahuluan.pdf&ved=2ahUKEwiPoJTn7JP3AhVyxzgGHVQkAjEQFnoECA0QAQ&usg=
AOvVaw272UHSi0G-7zMbeMXyEeRk
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.unissula.ac.id/17
265/6/bab%2520I.pdf&ved=2ahUKEwiPoJTn7JP3AhVyxzgGHVQkAjEQFnoECAwQAQ&
usg=AOvVaw3-LxO7ITVb67Fu7qh3fesW

10

Anda mungkin juga menyukai