Anda di halaman 1dari 17

B Acute Heart Failure (AHF)

Definisi
Gagal Jantung akut atau acute heart failure (AHF) adalah serangan
cepat dari gejala dan tanda gagal jantung sehingga membutuhkan terapi
segera. Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari
gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau
dekompensasi akut dari gagal jantung kronik.1
Epidemiologi
Secara epidemiologi, gagal jantung akut dekompensata lebih sering
terjadi dibandingkan gagal jantung de novo. Gagal jantung akut umumnya
terjadi pada pasien usia lanjut, sekitar 70 tahun.2
Berdasarkan data epidemiologi, secara global gagal jantung akut
terjadi pada 1-2% populasi orang dewasa pada negara berkembang. Angka ini
meningkat menjadi ≥ 10% pada populasi yang berusia di atas 70 tahun.2
Berdasarkan sumber lain, sebagian besar gagal jantung akut
merupakan kasus gagal jantung akut dekompensata. Jumlah kasus gagal
jantung akut de novo ditemukan hanya sebesar 1/4 hingga 1/3 dari seluruh
kasus gagal jantung akut. Sebesar 40-55% pasien dengan gagal jantung akut
memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri (left ventricular ejection fraction/LVEF)
yang masih normal. Selain itu, sebagian besar pasien dengan gagal jantung
akut memiliki riwayat hipertensi dan penyakit jantung koroner.3
Selain itu, risiko seumur hidup gagal jantung akut pada laki-laki
adalah sebesar 33%, sedangkan pada wanita sebesar 28%.3
Data epidemiologi gagal jantung akut di Indonesia menunjukkan
bahwa prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia adalah sebesar 0,3%
pada orang dengan usia  ≥15 tahun. Gagal jantung ditemukan paling banyak
di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Tengah.4
Mortalitas gagal jantung akut tercatat sebesar 4-6,7% pada pasien
yang sedang dirawat di rumah sakit. Selain itu, mortalitas pasien berdasarkan
jumlah hari setelah gejala akut tercatat sebesar 11,2% dengan rata-rata
mortalitas pada 30 hari, kemudian 9% pada 60-90 hari, dan 6,6% pada 90 hari
setelah gejala akut4
Patofisiologi
Kegagalan pada jantung dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari
beberapa mekanisme utama di bawah ini6 :
1. Kegagalan pompa
Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah, tidak adekuat,
atau karena relaksasi otot jantung yang tidak cukup untuk terjadinya
pengisian ventrikel
2. Obstruksi aliran
Obstruksi dapat disebabkan adanya lesi yang mencegah terbukanya
katup atau keadaan lain yang dapat menyebabkan peningkatan ventrikel
jantung, seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Regurgitasi
Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik dan beban kerja
ventrikel, seperti yang terjadi pada keadaan regurgitasi aorta serta pada
regurgitasi mitral.
3. Gangguan konduksi
menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak maksimal dan
tidak efisien. Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload
volume dan tekanan serta disfungsi regional pada jantung sehingga akan
meningkatkan beban kerja jantung dan menyebabkan remodeling
structural jantung. Jika beban kerja jantung semakin progresif, maka akan
semakin memperberat remodeling sehingga akan menimbulkan gagal
jantung Penyakit jantung iskemik dapat mengganggu kontraktilitas
miokard sehingga mengakibatkan penurunan kontraktilitas ventrikel. 7,8
Respon tubuh terhadap gagal jantung
1. Peningkatan aktifitas adrenergic simpatis
Dengan meningkatnya volume sekuncup akan
meningkatkan aktivitas adrenergic simpatis yang akan merangsang
pengeluaran katekolamin dari saraf jantung dan medulla adrenal.
Denyut jantung dan Kekuatan Kontraksi akan
meningkat untuk menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekana arteri dan
redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-
organ yang metabolismenya rendah (missal kulit dan ginjal) untuk
mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.
Venokonstiksi akan meningkatkan aliran balik ke vena ke sisi
kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi
sesuai hukum starling. Seperti yang diharapkan, kadar katekolamin
dalam darah akan meningkat pada gaglal jantung, terutama selama
latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang
beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun
pada akhirnya respon miokardium terhadap rangsangan simpatis akan
menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja
ventrikel.
2. Peningkatan beban awal (preload) melalui aktivasi sistem Renin-
Angiotensin-Aldosteron
Aktivasi sistem Renin-Angiotensin- Aldosteron menyebabkan
retensinatrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan
regangan serabut. Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan
menurunkan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi
glomerulus,terjadi pelepasan rennin dari apparatus jukstaglomerulus,
terjadi interaksi renin dengan angiotensin dalam darah untuk
menghasilkan angiotensin II yang menghasilkan efek vasokontriksi
yang meningkatkan tekanan darah. Selain itu angiotensin II juga
merangsang sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal dan menyebabkan
retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Akibatnya terjadi peningkatan volume plasma yang berakhir dengan
peningkatan tekanan darah.
3. Hipertrofi ventrikel
Respon terakhir dari gagal jantung adalah hipertrofi miokardium
atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah
sarkomer dalam sel-sel miokardium; sarkomer dapat bertambah terus
secara parallel atau serial tergantung jenis beban hemodinamik yang
mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu beban tekanan
yang ditimbulkan stenosisi aorta akan disertai dengan
meningkatnya ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang
dalam (hipertrofi konsentris). Respon miokardium terhadap beban
volume, seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan
bertambahnya ketebalan dinding (hipertrofi eksentris)
Diagnosis AHF
Diagnosis awal gagal jantung akut dilakukan berdasarkan
anamnesis terkait gejala yang terjadi, riwayat penyakit kardiovaskular
sebelumnya, dan faktor pemicu kardiak ataupun nonkardiak, serta
penilaian tanda/gejala kongesti dan/atau hipoperfusi pada pemeriksaan
fisik, dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yang diperlukan,
seperti EKG, rontgen toraks, laboratorium, dan ekokardiografi
Gejala dan tanda gagal jantung akut menggambarkan adanya kelebihan
cairan (kongesti pulmoner dan/atau edema perifer), dan lebih jarang berupa
berkurangnya curah jantung disertai hipoperfusi jaringan.
Gejala dan tanda gagal jantung akut dapat dikelompokkan berdasarkan
kondisi hemodinamik pasien. Pasien dikelompokkan dalam profil A (warm
and dry), profil B (warm and wet), profil C (cold and wet), dan profil L (cold
and dry). Wet menggambarkan adanya kongesti, sedangkan cold
menggambarkanadanya perfusi yang rendah

Profil A mengindikasikan kondisi hemodinamik yang normal. Gejala


kardiopulmonal pada pasien ini dapat disebabkan oleh faktor selain gagal
jantung, seperti penyakit parenkim paru atau transient myocardial
ischemia.Profil B dan C khas pada pasien dengan edema paru akut . Pasien
dengan profil B menggambarkan kondisi paru yang mengalami kongesti
(mengindikasikan terjadinya volume overload: ronkhi paru, distensi vena
jugularis, dan edema ekstremitas bawah), namun perfusi jaringan masih dapat
dipertahankan (“warm”) .
Profil C merupakan
keadaan yang lebih serius. Terjadi gangguan lebih lanjut pada cardiac output
sehingga terjadi vasokonstriksi sistemik, dan ekstremitas yang dingin (“cold”,
menandakan penurunan perfusi jaringan). Pasien dengan profil C memiliki
prognosis lebih buruk daripada pasien dengan profil B3 . Profil L tidak
menggambarkan kelanjutan dari keadaan di atas, namun menggambarkan
penurunan perfusi jaringan (“cold”) akibat cardiac output yang rendah namun
tanpa disertai tanda kongesti vaskular (“dry”). Profil L dapat muncul pada
pasien dengan dilatasi ventrikel kiri dan regurgitasi mitral, dimana pasien
tersebut mengalami sesak nafas saat aktivitas karena tidak mampu
menghasilkan cardiac output yang adekuat . Diagnosis gagal jantung dapat
ditegakkan dengan kriteria Framingham. Jika terdapat minimal 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor, maka diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan8
Pemeriksaan Penunjang Gagal Jantung Akut9
a. Rontgen Thoraks
Pemeriksaan rontgen thorak merupakan pemeriksaan yang sangat
penting untuk diagnosis AHF. Kongesti vena pulmonal, efusi pleura,
edema interstitial atau edema alveolar dan kardiomegali adalah temuan
paling spesifik untuk AHF, meskipun lebih dari 20% pasien dengan AHF
memiliki gambaran trontgen thorak normal. Rontgen thorak juga berguna
untuk mengidentifikasi penyakit lain non jantung yang dapat
menyebabkan atau berkontribusi gejala pasien (yaitu pneumonia, infeksi
paru non-konsolidatif).
b. EKG
EKG normal jarang ditemukan pada AHF. Pemeriksaan EKG juga
membantu dalam mengidentifikasi penyakit jantung yang mendasari dan
faktor pencetus (AF cepat, iskemia miokard akut).
c. Echocardiography
Echocardiography langsung hanya dilakukan pada pasien dengan
ketidakstabilan hemodinamik (terutama pada syok kardiogenik) dan pada
pasien yang diduga memiliki kelainan jantung struktural dan fungsional
(komplikasi mekanik, regurgitasi katup akut, diseksi aorta).
Echocardiography awal harus dipertimbangkan pada semua pasien
dengan AHF de novo dan pada orang- orang dengan fungsi jantung yang
tidak diketahui. Namun, waktu yang optimal untuk pemriksaan belum
diketahui (sebaiknya dalam waktu 48 jam dari masuk RS, jika ahli ada).
Pocket echocardiography dapat digunakan sebagai perpanjangan dari
pemeriksaan klinis jika tersedia. Pemeriksaan echocardiography ulang
biasanya tidak diperlukan kecuali ada penurunan relevan dalam status
klinis.
d. Tes laboratorium:
- Peptida Natriuretik.
- Setelah presentasi ke ED atau CCU / ICU, plasma tingkat NP
(BNP, NT- proBNP atau MR-proANP) harus diukur di semua pasien
dengan dispnea akut dan diduga AHF untuk membantu dalam
diferensiasi AHF dari penyebab
non-jantung akut yang menyebabkan dyspnoea. NP memiliki kepekaan
yang tinggi, jika kadarnya normal pada pasien dengan dugaan AHF
membuat diagnosis tidak khas (Ambang: BNP < 100 pg/mL, NT-
proBNP < 300 pg g / mL, MR-proANP< 120 pg/ML) Namun
peningkatan kadar NP tidak secara otomatis mengkonfirmasi diagnosis
AHF, karena dapat berkaitan dengan berbagai macam kelainan jantung
dan non-jantung. Penuran kadar NP secara mendadak dapat ditemukan
pada beberapa pasien dengan dekompensasi stadium akhir HF, flash
edema paru atau AHF kanan.
e. Tes laboratorium lain
- Penilaian laboratorium berikut harus dilakukan pada semua pasien
dengan AHF: troponin jantung, nitrogen urea darah (BUN) (atau urea),
kreatinin, elektrolit (natrium, kalium), tes fungsi hati, thyroidstimulating
Hormon (TSH), glukosa dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan
D-dimer diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan emboli paru akut.
- Gas darah arteri rutin tidak diperlukan dan harus dibatasi untuk pasien
yang oksigenasi tidak dapat segera dinilai oleh pulse oksimetri. Namun,
gas darah arteri mungkin berguna ketika pengukuran tepat dari O2 dan
CO2 parsial tekanan yang dibutuhkan. Sampel vena diperlukan untuk
menunjukkan pH dan CO2.
- Dari catatan, pengukuran troponin jantung berguna untuk mendeteksi
ACS sebagai penyebab AHF. Namun, peningkatan konsentrasi troponin
jantung terdeteksi di sebagian besar pasien dengan AHF, sering tanpa
iskemia miokard jelas atau koroner akut, menunjukkan cedera miosit
yang sedang berlangsung atau nekrosis pada pasien. Juga pada pasien
dengan emboli paru akut sebagai penyebab dekompensasi akut,
troponins tinggi berguna untuk stratifikasi risiko dan menentukan
tatalaksana.
- Disarankan untuk mengukur kreatinin, BUN dan elektrolit setiap 1-2
hari di rumah sakit dan sebelum keluar dari rumah sakit. Dari catatan,
pengujian lebih sering dibenarkan sesuai dengan tingkat keparahan
kasus. Penilaian NP dapat dipertimbangkan dalam mengevaluasi
prognosis.
- Penilaian tingkat procalcitonin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
AHF disertai kecurigaan adanya infeksi, khususnya untuk diagnosis pneumonia
dan untuk membimbing terapi antibiotik.
- Tes fungsi hati sering terganggu pada pasien dengan AHF karena hemodinamik
terganggu (baik mengurangi output dan peningkatan kongesti vena). Fungsi
hati yang abnormal mengidentifikasi pasien yang berisiko prognosis buruk dan
mungkin berguna untuk tatalaksana optimal.
- Sejak diketahui hipotiroidisme dan hipertiroidisme bisa memicu AHF, TSH
harus dinilai dalam AHF yang baru didiagnosa.
- Beberapa biomarker lainnya, termasuk yang mencerminkan peradangan, stres
oksidatif, kekacauan neurohormonal dan miokard dan matriks renovasi, telah
diteliti untuk menentukan diagnostik dan prognostik di AHF, namun, tidak ada
yang sampai pada tahap yang dianjurkan untuk rutin penggunaan klinis.
- Evaluasi hemodinamik invasive rutin dengan kateter arteri pulmonalis tidak
diindikasikan untuk diagnosis AHF. Itu mungkin membantu dalam kasus
tertentu pasien hemodinamik stabil dengan mekanisme kerusakan yang tidak
diketahui. Juga pemasangan jalur arteri atau vena sentral untuk tujuan
diagnostic tidak diindikasikan. Banyak variabel klinis dan laboratorium adalah
prediktor independen komplikasi di rumah sakit dan hasil jangka panjang pada
AHF, namun dampaknya terhadap manajemen belum jelas.
Tatalaksana8
Terdapat 3 tatalaksana yang harus dikerjaan pada evaluasi awal pasien sesak nafas
mendadak yang dicurigai gagal jantung akut, dijelaskan pada gambar 5-7.
Gambar 1. Algoritma terapi farmakologi pada pasien yang telah didiagnosis sebagai
gagal jantung akut.
Gambar 2. Algoritma tatalaksana awal pasien gagal jantung akut. Disadur dari
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2016.

Gagal jantung akut adalah kondisi farmakologi yang mengancam jiwa sehingga proses
penegakan diagnosis serta pemberian manajemen farmakologi maupun nonfarmakologi
harus dilakukan secara simultan dan sedini mungkin. Pasien gagal jantung akut yang
disertai dengan gangguan hemodinamik (syok kardiogenik) atau gagal nafas harus
mendapatkan manajemen bantuan sirkulasi dan bantuan ventilasi sesuai kondisinya
tersebut. Langkah selanjutnya harus mencakup identifikasi penyebab atau presipitan utama
yang menyebabkan pasien jatuh dalam kondisi gagal jantung akut, serta pemberian
tatalaksana sesuai penyebab tersebut untuk mecegah deteriorasi lebih lanjut.
Penyebab/presipitan utama yang menyebabkan gagal jantung dapat disingkat dengan
terminologi ‘SHAME’ dan akan dijelaskan lebih detail di bawah ini.

1. Sindrom Koroner Akut


Pasien gagal jantung akut yang disebabkan oleh sindrom koroner akut, harus
ditatalaksana sesuai panduan STEMI atau NSTEMI, mencakup tindakan Intervensi
Koroner Perkutaneus Primer (IKPP) maupun IKP dini.
2. Hipertensi Emergensi
Pasien gagal jantung akut yang disebabkan oleh hipertensi emergensi seringkali
datang dengan presentasi klinis edema paru akut. Penurunan tekanan darah dengan
pemberian vasodilator dan diuretik intravena untuk menurunkan 25% MAP dalam
beberapa jam pertama merupakan target terapi utama. Untuk algoritma tatalaksana
edema paru akut dapat dilihat pada gambar 6.
3. Aritmia
Gangguan aritmia (takiartitmia/bradiaritmia) pada pasien gagal jantung akut yang
disertai dengan ketidakstabilan hemodinamik harus ditatalaksana dengan kardioversi
elektrik atau pacu jantung sementara.
4. Penyebab Mekanik Akut
Hal ini meliputi komplikasi mekanik akibat sindrom koroner akut (seperti ruptur
dinding ventrikular, defek septum interventrikular, regurgitasi mitral akut), trauma
dinding dada, gangguan katup akut akibat endokarditis, diseksi aorta, serta tumor
intrakardiak yang menyebabkan gejala obstruksi. Penegakan diagnosis utamanya
dilakukan dengan ekokardiografi dan tatalaksananya meliputi intervensi perkutan atau
pembedahan sesuai kondisi pasien.
5. Emboli paru akut
Tatalaksana emboli paru akut meliputi reperfusi emboli baik dengan prosedur
trombolitik, intervensi perkutan maupun embolektomi surgikal. ; sembari melakukan
langkah identifikasi penyebab pencetus utama, maka secara simultan harus dilakukan
pula pemberian terapi berdasarkan klasifikasi klinis pasien gagal jantung akut.
Gambar 3. Tatalaksana pasien gagal jantung akut berdasarkan profil
hemodinamik

Farmakologi:11

a. ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)


ACE-I harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simptomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% kecuali ada kontraindikasi. ACE-I memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A).1,3 ACE-I terkadang menyebabkan perburukan
fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk, dan angioedema (jarang).
Oleh sebab itu, ACE-I hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat
dan kadar kalium normal.
b. PENYEKAT β
Penyekat B harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% kecuali ada kontraindikasi. beta blocker
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan menurunkan mortalitas.
c. ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali terdapat kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron
dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi
≤35% dan gagal jantung simptomatik berat (kelas fungsional IIIIV NYHA)
tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron dapat
mengurangi frekuensi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung
dan meningkatkan angka kelangsungan hidup.
d. ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40% yang tetap simptomatik walaupun sudah diberikan ACE-i dan
Beta blocker dosis optimal, kecuali terdapat kontraindikasi, dan juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB dapat memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung. ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien yang intoleran
terhadap ACE-I. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular.
e. ANGIOTENSIN RECEPTOR – NEPRILYSIN INHIBITOR (ARNI) = Sacubitril/
valsartan
Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis pengobatan
ACE-i/ARB, beta blocker dan MRA, dapat juga diberikan terapi baru sebagai
pengganti ACE-I / ARB yaitu Angiotensin Receptor–Neprilysin Inhibitor (ARNI)
yang merupakan kombinasi molekuler valsartansacubitril. Sacubitril merupakan
penghambat enzim nefrilisin yang akan menyebabkan memperbaiki remodeling
miokard, diuresis dan natriuresis serta mengurangi vasokontriksi, retensi cairan dan
garam. Dosis yang dianjurkan adalah 50 mg (2 kali per hari) dan dapat ditingkatkan
hingga 200 mg (2 kali per hari). Bila pasien sebelumnya mendapatkan ACE-I maka
harus ditunda selama minimal 36 jam terbih dahulu sebelum memulai Sacubitril/
valsartan. Tetapi bila pasien sebelumnya mendapatkan ARB, maka Sacubitril/
valsartan dapat langsung diberikan sebagai pengganti ARB.7
f. IVABRADINE
Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui penghambatan
kanal If di nodus sinus, dan hanya digunakan untuk pasien dengan irama sinus.
Ivabradine menurunkan mortalitas dan perawatan rumah sakit akibat gagal jantung
pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (LVEF ≤35%, irama
sinus, dan denyut nadi ≥ 70 kali per menit) yang pernah mengalami
rawat inap dalam 12 bulan terakhir berdasarkan hasil studi SHIFT.
g. HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI/ARB/ARNI (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).
h. DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi
gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup (kelas
rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)
i. DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau retensi.

Anda mungkin juga menyukai