Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN MOBILITAS FISIK

Disusun oleh :
YUDHI AGUNG NUGROHO
2019122036

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS SAINS, TEKNOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS SAHID SURAKARTA
TA 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
KEBUTUHAN MOBILITAS FISIK

1. Pendahuluan
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri, misalnya pada seseorang yang mengalami
gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, kerusakan integritas
struktur tulang, kekakuan sendi, dan penurunan kekuatan otot (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016). Kerusakan fragmen tulang femur dapat menyebabkan
gangguan mobilitas fisik dan diikuti dengan spasme otot paha (Muttaqin, 2012).
World Health Organization (WHO) (2011) mencatat pada tahun 2011- 2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas. Kiran et al (2015) menyatakan bahwa di seluruh
dunia luka akibat kecelakaan lalu lintas menyebabkan 1,3 juta kematian dan
kecacatan setiap tahunnya. Setidaknya satu per sepuluh dari total kecelakaan lalu
lintas di jalan raya mengakibatkan fraktur femur, rerata kejadian fraktur yang
berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas adalah 14,5 dan 4,2 per 100.000 orang
(Noorisa dkk, 2017).
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, kejadian cedera yang menganggu
kegiatan sehari-hari di Indonesia sebanyak 9,2%, diantaranya pada kepala 11,9%,
dada 2,6%, punggung 6,5%, perut 2.2%, bagian ekstermitas atas 32,7% dan
ekstremitas bawah 67,9%. Kejadian terbanyak dialami karena kasus kecelakaan
lalu lintas (RISKESDAS, 2018). 1 2 Menurut Depkes RI (2011), dari sekian
banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat
kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu
sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat
kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur (Noorisa, 2017).
Data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 kasus cedera akibat kecelakaan lalu
lintas di Jawa Timur mencapai 2,2%. Menurut rekam medik di RSUD Harjono
Ponorogo tahun 2018 jumlah pasien fraktur femur adalah 67 pasien. Sedangkan
pada tahun 2019 dari bulan Januari sampai bulan September pasien fraktur femur
sejumlah 49 pasien (Rekam Medis RSUD Harjono Ponorogo, 2019).
Penyebab fraktur femur umumnya hasil dari tembakan, kecelakaan kendaraan
bermotor, kecelakaan pejalan kaki, atau jatuh dari ketinggian. Fraktur femur
mungkin juga hasil dari kondisi osteopenik pada orang dewasa yang lebih tua atau
kondisi patologis. Luka akibat fraktur bisa saja terbuka maupun tertutup.
Terjadinya diskontinuitas tulang pada fraktur mengakibatkan perubahan pada
jaringan sekitar seperti pergeseran fragmen tulang sehingga terjadi deformitas 3
dan menganggu fungsi ekstremitas. Jika setelah terjadi fraktur tindakan tidak
segera dilakukan, dapat mengakibatkan syok yang bisa berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cedera, emboli lemak yang dapat terjadi dalam 48 jam atau
lebih, dan sindrom kompartemen yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanen. (Smeltzer, 2015).
Fraktur mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak atau gangguan
mobilitas, terutama pada daerah sendi yang terjadi fraktur dan sendi yang ada di
sekitarnya. Adanya fraktur tersebut mengakibatkan terjadinya keterbatasan
lingkup gerak sendi dan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fleksibilitas
sendi. Apabila mobilisasi tidak dilakukan maka berdampak pada sistem tubuh,
seperti perubahan pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal,
perubahan sistem pernafasan, perubahan kardiovaskular, perubahan sistem
muskuloskeletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan kecil),
dan perubahan perilaku (Widuri, 2010). Upaya pengembalian bentuk tulang yang
mengalami fraktur adalah tindakan operasi. Operasi akan menimbulkan
permasalahan pada kapasitas fisik dan kemampuan fungsional. Perawatan
rehabilitasi pada pasien fraktur mencakup terapi fisik, yang terdiri dari berbagai
macam tipe latihan ; latihan isometrik otot dan latihan ROM (Range Of Motion)
aktif dan pasif.
2. Defenisi
Mobilisasi adalah kemampuan untuk bergerak dengan bebas, mudah,
berirama, terarah di lingkungan dan merupakan bagian yang sangat penting dalam
kehidupan (Kozier dkk, 2010 dikutip dalam Hidayah, 2019).
Mobilisasi adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk
bergerak /melakukan aktivitas didalam lingkungan sekitarnya, dari pengertian
tersebut, adanya kemampuan yang dimiliki oleh individu agar dapat melakukan
aktivitas sehari-hari (ADL) dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan,
minum, mandi dan berpakaian tanpa harus memerlukan bantuan orang lain.
Demikian juga kegiatan lain yang menyangkut pekerjaan yang ditekuninya serta
peran sosial kemasyarakatan yang diembankan dapat dilaksanakan secara adekuat
(Marlina, 2012 dikutip dalam Hidayah, 2019).
Mobilitas merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur sehingga dapat beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehat. Mobilisasi dibutuhkan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan
kesehatan, memperlambat proses penyakit, dan untuk aktualisasi diri (Saputra, 2013).
Imobilisasi adalah ketidakmampuan untuk bergerak bebas yang disebabkan
oleh kondisi dimana gerakan terganggu atau dibatasi secara terapeutik. Dalam
hubungannya dengan perawatan klien, maka imobilisasi adalah keadaan dimana
klien berbaring lama di tempat tidur. Imobilisasi pada klien tersebut dapat
disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, trauma, atau menderita kecacatan
(Asmadi. 2008). Imobilisasi atau gangguan mobilisasi adalah keterbatasan dalam
gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2017).
3. Etiologi
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab
utama kekakuan pada usia lanjut (Asmadi, 2008). Penyebab secara umum:
a. Kelainan postur
b. Gangguan perkembangan otot
c. Kerusakan system saraf pusat
d. Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular
e. Kekakuan otot
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) penyebab gangguan mobilitas
fisik yaitu kerusakan integritas struktur tulang, perubahan metabolisme,
ketidakbugaran fisik, penutunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan
kekuatan otot, keterlambatan perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur,
malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, indeks masa
tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia, efek agen farmakologis, program
pembatasan gesak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik,
kecemasa, gangguan kognitif, keegganan melakukan pergerakan, gangguan
sensoripersepsi.
Menurut A. Aziz (2009) dikutip dalam Hidayah (2019) mobilitas seseorang
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1) Gaya Hidup. Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas
seseorang, karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-
hari.
2) Proses Penyakit. Proses penyakit sangan memengaruhi kemampuan seseorang
dalam mobilisasi karena keadaan tersebut dapat memengaruhi fungsi sistem
tubuh,
3) Kebudayaan. Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi oleh
kebudayaan. Misalnya orang dengan kebudayaan sering berjalan jauh maka
mobilitas yang dimilikinya lebih kuat daripada orang dengan kebudayaan adat
yang dilarang untuk beraktivitas.
4) Tingkat Energi. Energi merupakan sumber seseorang untuk melakukan
aktivitas. Untuk memenuhi aktivitasnya, maka seseorang harus memiliki energi
yang cukup.
5) Usia dan Status Perkembangan. Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas
pada masing-masing tingkat usia. Hal tersebut dikarenakan kemampuan atau
kematangan fungsi gerak sejalan dengan perkembangan usia.

4. Patofisiologi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskulas, meliputi sistem
otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot skeletal mengatur
gerakan tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang
bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot yaitu isotonikdan
isometrik.
Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi
yang bergantian mlalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan dengan adanya
kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot. Imobilisasi
menyebabkan aktivitas dan tonus menjadi berkurang (Hidayat, A.A., 2008 dikutip
dalam Febrianti, 2018).
5. Manifestasi Klinik
Menurut (Mubarak, 2007 dikutip dalam Febrianti, 2018 ) manifestasi klinik
hambatan mobilitas fisik yaitu:
a. Respon fisiologik dari perubahan mobilisasi, adalah perubahan pada:
1) Muskuloskeletal seperti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot,
atropi dan abnormalnya sendi dan gangguan metebolisme kalsium.
2) Kardiovaskuler seperti hipotensi orthostastik, peningkatan beban kerja
jantung dan pembentukan thrombus.
3) Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah
beraktivitas.
4) Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolik, metabolik karbohidrat,
lemak dan protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
ketidakseimbangan kalsium dan gangguan pencernaan.
5) Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan resiko infeksi saluran
perkemihan dan batu ginjal.
6) Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia
jaringan.
7) Neurosensori : sensori deprivation.
b. Respon psikososial antara lain meningkatkan respon emosional, intelektual,
sensori dan sosiokultural.
1) Keterbatasan rentan pergerakan sendi.
2) Pergerakan tidak terkoordinasi.
3) Penurunan waktu reaksi (lambat).
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) adapun gejala dari gangguan
mobilitas fisik yaitu
1) Tanda mayor
1) Subjektif
a) Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
2) Objektif
a) Kekuatan otot menurun
b) Rentang gerak (ROM) menurun
2) Tanda minor
a) Subjektif
a) Nyeri saat bergerak
b) Enggan melakukan pergerakan
c) Merasa cemas saat bergerak
b) Objektif
a) Sendi kaku
b) Gerakan tidak terkoordinasi
c) Gerakan terbatas dan d) Fisik lemah
3) Kondisi klinis terkait meliputi stroke, cedera medula spinalis, trauma, fraktur,
osteoarthritis, ostemalasia, keganasan.
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mubarak, dkk (2015) dikutip dalam Febrianti (2018) pemeriksaan
penunjang pada klien dengan gangguan mibilitas fisik diantaranya:
a. Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan
hubungan tualng.
b. CT scan (Computed Tomography) menunjukan rincian bidang tertentu tulang
yang terkena dan dapat memperlihatkan tumot jaringan lunak atau cidera
ligamen atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya
patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
c. MRI (magnetik resonance imaging) adalah teknik pencitraan khusus
noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio dan
computer untuk memperlihatkan abnormalitas.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk masalah hambatan mobilitas fisik yaitu sebagai
berikut (Hidayat, A. Aziz, A. & Musrifatul U., 2016 dikutip dalam Febrianti, 2018):
1) Pengaturan posisi tubuh sesuai kebutuhan pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan
untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibelitas sendi. Posisi-
posisi tersebut yaitu:
1) Memiringkan pasien
2) Posisi fowler
3) Posisi sims
4) Posisi Trendelenburg
5) Posisi genupectoral
6) Posisi dorsal recumbent
7) Posisi litotomi
2) Ambulasi dini
Cara ini merupakan salah satu tindakan yang dapat meningkatkan fungsi
kardiovaskular. Tindakan ini bisa dilatih dengan cara melatih posisi duduk
ditempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda dan lain-lain.
3) Latihan ROM Pasif dan Aktif
Latihan ini, baik ROM pasif maupun aktif merupakan tindakan pelatihan untuk
mengurangi kekuatan pada sendi dan kelemahan otot.

8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Aspek biologis
a) Usia.
Faktor usia berpengaruh terhadap kemampuan melakukan aktifitas,
terkait dengan kekuatan muskuloskeletal. Hal yang perlu dikaji
diantaranya adalah postur tubuh yang sesuai dengan tahap
pekembangan individu.
b) Riwayat keperawatan.
Hal yang perlu dikaji diantaranya adalah riwayat adanya gangguan pada
sistem muskuloskeletal, ketergantungan terhadap orang lain dalam
melakukan aktivitas, jenis latihan atau olahraga yang sering dilakukan
klien dan lain-lain.
c) Pemeriksaan fisik, meliputi rentang gerak, kekuatan otot, sikap tubuh,
dan dampak imobilisasi terhadap sistem tubuh.
2) Aspek psikologis
Aspek psikologis yang perlu dikaji di antaranya adalah bagaimana respons
psikologis klien terhadap masalah gangguan aktivitas yang dialaminya,
mekanisme koping yang digunakan klien dalam menghadapi gangguan
aktivitas dan lain-lain.
3) Aspek sosial kultural
Pengkajian pada aspek sosial kultural ini dilakukan untuk mengidentifikasi
dampak yang terjadi akibat gangguan aktifitas yang dialami klien terhadap
kehidupan sosialnya, misalnya bagaimana pengaruhnya terhadap pekerjaan,
peran diri baik dirumah, kantor maupun sosial dan lain-lain
4) Aspek spiritual
Hal yang perlu dikaji pada aspek ini adalah bagaimana keyakinan dan nilai
yang dianut klien dengan kondisi kesehatan yang dialaminya sekarang,
seperti apakah klien menunjukan keputusasaannya? Bagaimana pelaksanaan
ibadah klien dengan keterbatasan kemampuan fisiknya? Dan lain-lain
(Asmadi, 2008).
5) Kemunduran musculoskeletal
Indikator primer dari keparahan imobilitas pada system musculoskeletal
adalah penurunan tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan otot; rentang
gerak sendi; dan kekuatan skeletal. Pengkajian fungsi secara periodik dapat
digunakan untuk memantau perubahan dan keefektifan intervensi.

6) Kemunduran kardiovaskuler
Tanda dan gejala kardivaskuler tidak memberikan bukti langsung atau
meyaknkan tentang perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit
petunjuk diagnostic yang dapat diandalkan pada pembentukan trombosis.
Tanda-tanda tromboflebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan dan tanda
homans positif. Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan
untuk berdiri tegak seperti gejala peningkatan denyut jantung, penurunan
tekanan darah, pucat, tremor tangan, berkeringat, kesulitandalam mengikuti
perintah dan sinkop
7) Kemunduran Respirasi
Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis
dan pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperature dan
denyut jantung. Perubahan-perubahan dalam pergerakan dada, perkusi,
bunyi napas, dan gas arteri mengindikasikan adanaya perluasan dan
beratnya kondisi yang terjadi.
8) Perubahan-perubahan integument
Indikator cedera iskemia terhadap jaringan yang pertama adalah reaksi
inflamasi. Perubahan awal terlihat pada permukaan kulit sebagai daerah
eritema yang tidak teratur dan didefinisikan sangat buruk di atas tonjolan
tulang yang tidak hilang dalam waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan
9) Perubahan-perubahan fungsi urinaria
Bukti dari perubahan-perubahan fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik
berupa berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah, dan
batas kandung kemih yang dapat diraba. Gejala-gejala kesulitan miksi
termasuk pernyataan ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau
nyeri pada abdomen bagian bawah
10) Perubahan-perubahan Gastrointestinal
Sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen
bagian bawah, rasa penuh, tekanan. Pengosonganh rectum yang tidak
sempurna, anoreksia, mual gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan,
dan sakit kepala.

11) Faktor-faktor lingkungan


Lingkungan tempat tinggal klien memberikan bukti untuk intervensi. Di
dalam rumah, kamar mandi tanpa pegangan, karpet yang lepas, penerangan
yang tidak adekuat, tangga yang tinggi, lantai licin, dan tempat duduk toilet
yang rendah dapat menurunkan mobilitas klien. Hambatan-hambatan
institusional terhadap mobilitas termasuk jalan koridor yang terhalang,
tempat tidudan posisi yang tinggi, dan cairan pada lantai. Identifikasi dan
penghilangan hambatan-hambatan yang potensial dapat meningkatakan
mobilitas
b. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017)
yaitu sebagai berikut:
1) Gangguan mobilitas fisik
2) Defisit perawatan diri
3) Resiko gangguan integritas kulit dan jaringan
c. Intervensi Keperawatan
Adapun intervensi keperawatan menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018)
yaitu sebagai berikut:
1) Gangguan mobilitas fisik

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Keperawatan hasil
Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi
Fisik intervensi ....... maka
diharapkan mobilitas Observasi
fisik meningkat dengan 1) Identifikasi adanya
kriteria hasil: nyeri atau keluhan
1) Pergerakan fisik lainnya
ekstremitas (5) 2) Identifikasi toleransi
2) Kekuatan otot (5) fisik melakukan
3) Rentang gerak pergerakan
(ROM) (5) 3) Monitor frekuensi
jantung dan tekanan
Keterangan darah sebelum
1 : menurun memulai mobilisasi
2 : cukup menurun 4) Monitor kondisi
3: sedang umum selama
4 : cukup meningkat melakukan mobilisasi
5 : meningkat (Tim
Pokja SLKI DPP Terapeutik
PPNI,2019) 1) Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan
alat bantu (mis. Pagar
tempat tidur)
2) Fasilitasi melakukan
pergerakan (jika
perlu)
3) Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan

Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
2) Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
3) Ajarkan mobilisasi
sederahana yang
harus dilakukan (mis.
Duduk di tempat
tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke
kursi)

2) Defisit perawatan diri

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Keperawatan hasil
Defisit perawatan Setelah dilakukan Dukungan Perawatan
diri intervensi ....... maka Diri
diharapkan perawatan
diri meningkat dengan Observasi
kriteria hasil: 1) Identifikasi kebiasaan
1) Kemampuan mandi aktivitas perawatan
(5) diri sesuai usia
2) Kemampuan 2) Monitor tingkat
mengenankan kemandirian
pakaian (5) 3) Identifikasi
3) Kemampuan makan kebutuhan alat bantu
(5) kebersihan diri,
4) Kemampuan ke berpakaian, berhias,
toilet (BAB/BAK) dan makan
(5)
5) Melakukan Terapeutik
perawatan diri (5) 1) Sediakan lingkungan
6) Minat melakukan yang terapeutik (mis.
perawatan diri (5) Suasana hangat,
rileks, privasi)
Keterangan 2) Siapkan keperluan
1 : menurun pribadi (mis. Parfum,
2 : cukup menurun sikat gigi, dan sabun
3: sedang mandi)
4 : cukup meningkat 3) Dampingi dalam
5 : meningkat melakukan perawatan
(Tim Pokja SLKI DPP diri sampai mandiri
PPNI,2019) 4) Fasilitasi untuk
menerima keadaan
ketergantungan
5) Fasilitasi
kemandirian, bantu
jika tidak mampu
melakukan perawatan
diri
6) Jadwalkan rutinitas
perawatan diri

Edukasi
1) Anjurkan melakukan
perawatan diri secara
konsisten sesuai
kemampuan

3) Resiko gangguan integritas kulit dan jaringan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan


Keperawatan hasil
Resiko gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas
integritas kulit dan intervensi ....... maka Kulit
jaringan diharapkan gangguan
integritas kulit tidak ada Observasi
dengan kriteria hasil: 1) Identifikasi penyebab
1) Kerusakan jaringan gangguan integritas
(5) kulit (mis. Perubahan
2) kerusakan lapisan sirkulasi, perubahan
kulit (5) status nutrisi,
3) Perdarahan (5) penurunan
4) Kemerahan (5) kelembaban, suhu
5) Jaringan parut (5) lingkungan ekstrem,
penurunan mobilitas)

Keterangan Terapeutik
1 : meningkat 1) Ubah posisi tiap 2
2 : cukup meningkat jam jika tirah baring
3: sedang 2) Lakukan pemijatan
4 : cukup menurun pada area penonjolan
5 : menurun tulang (jika perlu)
(Tim Pokja SLKI DPP 3) Bersihkan perineal
PPNI,2019) dengan air hangat,
terutama selama
periode diare
4) Gunakan produk
berbahan petrolium
dan hipoalergik pada
kulit sensitif
5) Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering
Edukasi
1) Anjurkan
meengguakan
pelembab (mis.
Lotion, serum)
2) Anjurkan minum air
yang cukup
3) Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi
4) Anjurkan
meningkatkan asupan
buah dan sayur
5) Anjurkan
menghindari terpapar
suhu ekstrem
6) Anjurkan mandi dan
menguunakan sabun
secukupnya

d. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap pelaksanaan semua rencana yang telah
disusun sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi klien. Desain perencanaan
menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan
masalah dengan efektif dan efisien (Rohmah & Wahid, 2012).

e. Evaluasi Keperawatan
Pada tahap akhir proses keperawatan adalah mengevaluasi respon pasien
terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan bahwa hasil yang
diharapkan telah dicapai. Evaluasi merupakan proses yang interaktif dan kontinyu,
karena setiap tindakan keperawatan, respon pasien dicatat dan dievaluasi dalam
hubungannya dengan hasil yang diharapkan kemudian berdasarkan respon pasien,
intervensi keperawatan/ hasil pasien yang mungkin diperlukan. (Wahid, &
Suprapto, 2013)
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Febrianti, Elyn. 2018. Gangguan Mobilitas Fisik. Laporan Pendahuluan Dengan


Gangguan Mobilitas Fisik Di Bangsal Wijaya Kusuma Rsud Wates Kulon

Progo. < http://gangguanmobilitasfisik.blogspot.com/> diakses pada tanggal


12 November 2019.

Hidayah, Nurul. 2019. Buku Seri Keperawatan komplementer: “Totok punggung “


(TOPUNG) untuk penderita Stroke yang Mengalami Gangguan Mobilitas
Fisik. Surabaya: Media Sahabat Cendekia.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Defenisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai