Seorang pekerja pria, Tn. AS, 45 tahun, pekerjaan operator pada perusahaan Minyak dan Gas.
Keluhan utama : Pendengaran terganggu jika berada di area keramaian. Tuan AS merasakan
pendengarannya terganggu, terutama jika berkomunikasi melalui telpon atau di suasana yang ramai.
Keluhan dirasakan tiga bulan terakhir. Tidak ada riwayat benturan pada telinga, tidak ada riwayat sakit
telinga sebelumnya. Tuan AS tidak memiliki hobi mendengarkan musik, tidak hobi bertukang.
Tuan AS sebelumnya bekerja sebagai asisten analis di kantor. Tiga bulan terakhir Tuan AS pindah
posisi kerja menjadi operator di Gathering Station. Sebagai operator, Tuan AS memiliki jam kerja sistem
shift, yaitu shift pagi dan shift malam. Bekerja 12 jam dalam sehari, yaitu 7 hari shift pagi, 7 hari shift
malam, kemudian 7 hari libur. Di gathering station terdapat beberapa area yang terpapar bising
melebihi nilai ambang batas kebisingan seperti terlihat pada noise mapping pada gambar di atas.
STEP I: TERMINOLOGI
Gathering station: tempat pengumpulan fluida hasil produksi spt minyak, air & gas yg dihasilkan
dari sumur-sumur minyak pada sebuah lapangan. Kemudian diolah dg sesuai jenis kebutuhan
menggunakan peralatan mesin
Noise mapping: metode pemetaan kebisingan yg menggambarkan distribusi tingkat kebisingan
pd suatu lingkup kerja
NIHL: gangguan yg disebabkan oleh kebisingan dlm jangka waktu yg lama dan terus menerus
bersifat sensorineural dan umumnya terjadi pd kedua telinga
NIHL: Tuli akibat terpapar oleh bisinga yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama
dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja
KEYWORDS
Pria 45 th
Pekerjaan operator perusahaan minyak dan gas
Kel.utama: pendengaran terganggu jika berada di area keramaian
Noise mapping
Keluhan dirasakan 3 bln terakhir
Tdk ada riwayat benturan pd telinga
Tdk ada riwayat sakit pada telinga
Tdk hobi mendengarkan musik
Tdk hobi bertukang
Di gathering station terdapat beberapa area yang terpapar bising melebihi nilai ambang batas
kebisingan
STEP V: LO
1. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja (7 langkah prinsip penegakan
diagnosis PAK) alzi dan adit
2. Mahasiswa mampu menjelaskan penanganan kasus penyakit akibat kerja febri dan bg dewa
3. Mahasiswa mampu mengembangkan program pencegahan penyakit akibat kerja imam dan
putri
4. Mahasiswa mampu mengembangkan program pengendalian faktor resiko di tempat kerja lili
dan shania
5. Mahasiswa mampu memahami mekanisme pelaporan penyakit akibat kerja grace dan frensi
1. Penegakan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki :
Aspek medik: dasar tata laksana medis dan tata laksana penyakit akibat kerja serta membatasi
kecacatan dan keparahan penyakit.
Aspek komunitas: untuk melindungi pekerja lain
Aspek legal: untuk memenuhi hak pekerja
Diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan tersebut dilakukan melalui 7
(tujuh) langkah diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan sebagai berikut :
a. Anamnesa
• Perlu ditanyakan apakah pasien pernah bekerja atau sedang bekerja dilingkungan bising pada
waktu yang lama?
• Apakah selama bekerja ditempat yang bising, ada memakai alat pelindung diri?
• Perlu ditanyakan tentang riwayat penyakit telinga yang pernah diderita (tinnitus, otitis media
akut, dll)
b. Pemeriksaan fisik
• Pada pemeriksaan otoskopi biasanya tidak ditemukan kelainan
• Pemeriksaan telinga mencakup telinga luar dan dalam untuk menyingkirkan diagnosis lain
c. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan khusus.
• Pemeriksaan audiologi, tes penala didapat Rinne positif, weber lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik dan schwabach memendek.
• Pemeriksaan audiometric untuk menilai derajat ketulian pasien.
Beberapa pajanan dapat menyebabkan satu penyakit, sehingga dokter harus mendapatkan
informasi semua pajanan yang dialami dan pernah dialami oleh pekerja.
a. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang dialami (pekerjaan terdahulu
sampai saat ini).
b. Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan.
c. Produk yang dihasilkan.
d. Bahan yang digunakan.
e. Cara bekerja.
f. Proses kerja.
g. Riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia).
h. Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan
Informasi tersebut semakin bernilai, bila ditunjang dengan data yang objektif, seperti MSDS
(Material Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan dan catatan perusahaan mengenai informasi
tersebut diatas.
Pajanan yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan dengan penyakit yang
dialami. Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala setelah
terpajan oleh bahan tertentu. Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat kerja dan berkurang
saat libur atau cuti. Hasil pemeriksaan pra-kerja dan berkala dapat digunakan sebagai salah satu data
untuk menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya.
Penilaian untuk menentukan kecukupan pajanan tersebut untuk menimbulkan gejalan penyakit dapat
dilakukan secara :
a. Kualitatif :
Pengamatan cara, proses dan lingkungan kerja dengan memperhitungkan lama kerja dan masa
kerja.
Pemakaian alat pelindung secara benar dan konsisten untuk mengurangi besar pajanan.
b. Kuantitatif :
a. Jenis kelamin
b. Usia
c. Kebiasaan
d. Riwayat penyakit keluarga (genetik)
e. Riwayat atopi
f. Penyakit penyerta
Berdasarkan enam langkah diatas, dibuat kesimpulan penyakit yang diderita oleh pekerja adalah
penyakit akibat kerja atau bukan penyakit akibat kerja.
Tata laksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis pada langkah pertama diagnosis penyakit
akibat kerja ditegakkan. Tatalaksana medis berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang dapat
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya. Terapi
yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau non medikamentosa seperti edukasi, exercise,
fisioterapi, konseling, psikoterapi dan nutrisi. Rujukan klinis dilakukan apabila diagnosis klinis belum
dapat ditegakkan karena :
Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan. Sasaran tata laksana okupasi
adalah individu pekerja dan komunitas pekerja. Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari
penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja dan penentuan kecacatan.
Suatu upaya terencana agar pekerja yang mengalami cedera/sakit dapat segera kembali
bekerja secara produktif, aman dan berkelanjutan. Dalam upaya ini termasuk pemulihan medis,
pemulihan kerja, pelatihan keterampilan, penyesuaian pekerjaan penyediaan pekerjaan baru,
penatalaksanaan biaya asuransi dan kompensasi serta partisipasi pemberi kerja. Rujukan
program kembali bekerja dilakukan jika:
Diperlukan kunjungan ke tempat kerja pasien untuk melihat pekerjaan lain yang tersedia
yang cocok dengan kondisi medis pasien.
Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sistem organ atau
melibatkan hanya 1 (satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).
Pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan saling berkaitan.
Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat
diterima (acceptable risk).
Terdapat ketidakpuasan pekerja atas program kembali bekerja.
3) Penentuan Kecacatan
Penyakit akibat kerja dapat menimbulkan disabilitas akibat kecacatan anatomi maupun
fungsi yang perlu dinilai persentasenya sehingga pekerja berhak mendapatkan kompensasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rujukan penentuan kecacatan diperlukan
jika:
Jenis kecacatan belum ada dalam pedoman penentuan kecacatan.
Terdapat ketidakpuasan pekerja atas penetapan persentase kecacatan.
Terdapat keberatan dari pihak pemberi jaminan pelayanan kesehatan atas penetapan
persentase kecacatan.
Diperlukan untuk kepentingan legal seperti kompensasi ganti rugi di luar dari yang
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tata Laksana Okupasi pada Komunitas Pekerja
Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri dari pelayanan pencegahan penyakit akibat
kerja dan penemuan dini penyakit akibat kerja.
1. Aspek administrative
Administrative dalam arti kebijakan khususnya aspek manajerial. Pencegahan pada
penyakit akibat kerja harus menjadi bagian integral dari sistem manajemen perusahaan dan
dimulai sejak perencanaan proses produksi.
2. Aspek teknis
Teknis yaitu penerapan secara nyata di lapangan pada tenaga kerja, pekejaaan dan
lingkungan kerja. Secara teknis aktivitas pencegahan adalah pengenalan risiko bahan
pekerjaan dan lingkungan kerja terhadap kesehatan beserta pengukuran, evaluasi, dan
upaya pengendaliaannya, pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pra-penempatan, berkala
dan khusus; substitusi bahan dengan yang kurang pengaruh negatifnya kepada tenaga kerja,
isolasi operasi atau proses produksi yang berbahaya, dan pemakaian alat proteksi diri.
(1) Penyakit akibat kerja adalah sebagaimana dimaksud dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per
01/Men/1981.
(2) Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja adalah pemeriksaan berkala dan khusus sebagaimana dimaksud
Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. Per- 02/Men/1980 dan penyakit akibat kerja yang
diketemukan sewaktu penyelenggaraan kesehatan tenaga kerja.
Pasal 2
(1) Penyakit akibat kerja dapat diketemukan atau didiagnosis sewaktu dilaksanakan pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja;
(2) Dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) harus ditentukan apakah
penyakit yang diderita tenaga kerja merupakan penyakit akibat kerja atau bukan.
Pasal 3
(1) Diagnosis penyakit akibat kerja ditegakkan melalui serangkaian pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
kondisi pekerja serta lingkungannya untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara penyakit
dan pekerjaannya;
(2) Jika terdapat keragu-raguan dalam menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa
kesehatan dapat dikonsultasikan kepada Dokter Penasehat Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud Undang-
undang N0. 2 tahun 1951 dan bila diperlukan dapat juga dikonsultasikan kepada dokter ahli yang
bersangkutan;
(3) Setelah ditegakkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa
Pasal 4
(1) Penyakit akibat kerja yang ditemukan sebagaimana dimaksud pasal 2 harus dilaporkan oleh pengurus
tempat kerja yang bersangkutan bekerja selambat-lambatnya 2 x 24 jam kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Tenaga Kerja melalui Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat;
(2) Untuk melaporkan penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) harus menggunakan bentuk
B2/F5, B3, 4/F6, B88/F7 sebagai dimaksud Surat Keputusan KEP.333/MEN/1989 Menteri Tenaga Kerja
No. Kep-511/Men/1985 serta bentuk laporan sebagaimana tersebut lampiran I dan II dalam Keputusan
Menteri ini;
(3) Laporan medik tentang penyakit akibat kerja sebagimana dimaksud ayat (1) disampaikan oleh
pengurus kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dalam amplop tertutup dan bersifat rahasia
untuk dievaluasi oleh dokter penasehat sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 2 tahun 1951.
Pasal 5
(1) Pelanggaran terhadap pasal 4 ayat (1) dari Keputusan Menteri ini diancam dengan hubungan
sebagaimana dimaksud pada pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1970;
Pasal 6
1. Pengurus/pengusaha wajib melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi di tempat kerja yang dipimpinnya
baik yang telah mengikutsertakan pekerjanya kedalam program Jamsostek maupun yang belum.
Kecelakaan kerja
Penyakit akibat kerja
Kebakaran, Peledakan dan Bahaya Pembuangan Limbah
Kejadian berbahaya lainnya
3. Melaporkan secara tertulis kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24
jam sejak terjadi kecelakaan dengan menggunakan formulir bentuk 3 KK2 A. (penggani bentuk KK2)
5. Pengurus/pengusaha yang telah mengikuti program Jamsostek, tata cara pelaporannya sesuai
Permenaker No 05 tahun 1993 ttg Juknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran
Santunan dan Pelayanan Jamsostek.
6. Pengurus/pengusaha yang belum mengikuti program Jamsostek, tata cara pelaporannya sesuai
Permenaker No. 04 tahun 1993 ttg Jaminan Kecelakaan Kerja