Anda di halaman 1dari 13

Noise induced hearing loss (NIHL)

Seorang pekerja pria, Tn. AS, 45 tahun, pekerjaan operator pada perusahaan Minyak dan Gas.
Keluhan utama : Pendengaran terganggu jika berada di area keramaian. Tuan AS merasakan
pendengarannya terganggu, terutama jika berkomunikasi melalui telpon atau di suasana yang ramai.
Keluhan dirasakan tiga bulan terakhir. Tidak ada riwayat benturan pada telinga, tidak ada riwayat sakit
telinga sebelumnya. Tuan AS tidak memiliki hobi mendengarkan musik, tidak hobi bertukang.

Tuan AS sebelumnya bekerja sebagai asisten analis di kantor. Tiga bulan terakhir Tuan AS pindah
posisi kerja menjadi operator di Gathering Station. Sebagai operator, Tuan AS memiliki jam kerja sistem
shift, yaitu shift pagi dan shift malam. Bekerja 12 jam dalam sehari, yaitu 7 hari shift pagi, 7 hari shift
malam, kemudian 7 hari libur. Di gathering station terdapat beberapa area yang terpapar bising
melebihi nilai ambang batas kebisingan seperti terlihat pada noise mapping pada gambar di atas.

STEP I: TERMINOLOGI

 Gathering station: tempat pengumpulan fluida hasil produksi spt minyak, air & gas yg dihasilkan
dari sumur-sumur minyak pada sebuah lapangan. Kemudian diolah dg sesuai jenis kebutuhan
menggunakan peralatan mesin
 Noise mapping: metode pemetaan kebisingan yg menggambarkan distribusi tingkat kebisingan
pd suatu lingkup kerja
 NIHL: gangguan yg disebabkan oleh kebisingan dlm jangka waktu yg lama dan terus menerus
bersifat sensorineural dan umumnya terjadi pd kedua telinga
 NIHL: Tuli akibat terpapar oleh bisinga yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama
dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja

KEYWORDS

 Pria 45 th
 Pekerjaan operator perusahaan minyak dan gas
 Kel.utama: pendengaran terganggu jika berada di area keramaian
 Noise mapping
 Keluhan dirasakan 3 bln terakhir
 Tdk ada riwayat benturan pd telinga
 Tdk ada riwayat sakit pada telinga
 Tdk hobi mendengarkan musik
 Tdk hobi bertukang
 Di gathering station terdapat beberapa area yang terpapar bising melebihi nilai ambang batas
kebisingan

STEP II: PERTANYAAN

1. Apasaja faktor yg mempengaruhi timbulnya keluhan pd pasien?


2. Bagaimanakah mekanisme terjadinya NIHL?
3. Apakah tujuan dibuatnya noise mapping?
4. Bagaimanakah cara melakukan noise mapping?
5. Berapakah nilai ambang batas kebisingan?
6. Bagaimanakah tatalaksana awal dari NIHL?
7. Bagaimanakah gambaran klinis pd org yg mengalami NIHL?
8. Apasaja apd standar yg digunakan pd pekerja yg berisiko kebisingan?
9. Apakah kasus tsb termasuk PAK? Jika iya bagaimana cara mendiagnosis PAK?
10. Apasaja faktor risiko yg dpt menyebabkan PAK?

STEP III: BRAINSTORMING

STEP IV: SPIDERWEB

STEP V: LO

1. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja (7 langkah prinsip penegakan
diagnosis PAK)  alzi dan adit
2. Mahasiswa mampu menjelaskan penanganan kasus penyakit akibat kerja  febri dan bg dewa
3. Mahasiswa mampu mengembangkan program pencegahan penyakit akibat kerja  imam dan
putri
4. Mahasiswa mampu mengembangkan program pengendalian faktor resiko di tempat kerja  lili
dan shania
5. Mahasiswa mampu memahami mekanisme pelaporan penyakit akibat kerja  grace dan frensi
1. Penegakan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki :

 Aspek medik: dasar tata laksana medis dan tata laksana penyakit akibat kerja serta membatasi
kecacatan dan keparahan penyakit.
 Aspek komunitas: untuk melindungi pekerja lain
 Aspek legal: untuk memenuhi hak pekerja

Diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan tersebut dilakukan melalui 7
(tujuh) langkah diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan sebagai berikut :

1. Menegakkan diagnosis klinis

Diagnosis klinis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan melakukan:

a. Anamnesa
• Perlu ditanyakan apakah pasien pernah bekerja atau sedang bekerja dilingkungan bising pada
waktu yang lama?
• Apakah selama bekerja ditempat yang bising, ada memakai alat pelindung diri?
• Perlu ditanyakan tentang riwayat penyakit telinga yang pernah diderita (tinnitus, otitis media
akut, dll)
b. Pemeriksaan fisik
• Pada pemeriksaan otoskopi biasanya tidak ditemukan kelainan
• Pemeriksaan telinga mencakup telinga luar dan dalam untuk menyingkirkan diagnosis lain
c. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan khusus.
• Pemeriksaan audiologi, tes penala didapat Rinne positif, weber lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik dan schwabach memendek.
• Pemeriksaan audiometric untuk menilai derajat ketulian pasien.

2. Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja

Beberapa pajanan dapat menyebabkan satu penyakit, sehingga dokter harus mendapatkan
informasi semua pajanan yang dialami dan pernah dialami oleh pekerja.

Untuk memperoleh informasi tersebut, dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap,


mencakup:

a. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang dialami (pekerjaan terdahulu
sampai saat ini).
b. Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan.
c. Produk yang dihasilkan.
d. Bahan yang digunakan.
e. Cara bekerja.
f. Proses kerja.
g. Riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia).
h. Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan

Informasi tersebut semakin bernilai, bila ditunjang dengan data yang objektif, seperti MSDS
(Material Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan dan catatan perusahaan mengenai informasi
tersebut diatas.

3. Menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis

Pajanan yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan dengan penyakit yang
dialami. Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala setelah
terpajan oleh bahan tertentu. Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat kerja dan berkurang
saat libur atau cuti. Hasil pemeriksaan pra-kerja dan berkala dapat digunakan sebagai salah satu data
untuk menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya.

4. Menentukan besarnya pajanan

Penilaian untuk menentukan kecukupan pajanan tersebut untuk menimbulkan gejalan penyakit dapat
dilakukan secara :

a. Kualitatif :

 Pengamatan cara, proses dan lingkungan kerja dengan memperhitungkan lama kerja dan masa
kerja.
 Pemakaian alat pelindung secara benar dan konsisten untuk mengurangi besar pajanan.

b. Kuantitatif :

 Data pengukuran lingkungan kerja yang dilakukan secara periodik.


 Data monitoring biologis.

5. Menentukan faktor individu yang berperan

Faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit antara lain:

a. Jenis kelamin
b. Usia
c. Kebiasaan
d. Riwayat penyakit keluarga (genetik)
e. Riwayat atopi
f. Penyakit penyerta

6. Menentukan pajanan di luar tempat kerja


Penyakit yang timbul mungkin disebabkan oleh pajanan yang sama di luar tempat kerja sehingga
perlu informasi tentang kegiatan yang dilakukan di luar tempat kerja seperti hobi, pekerjaan rumah dan
pekerjaan sampingan.

7. Menentukan diagnosis penyakit akibat kerja

Berdasarkan enam langkah diatas, dibuat kesimpulan penyakit yang diderita oleh pekerja adalah
penyakit akibat kerja atau bukan penyakit akibat kerja.

2. Penatalaksanaan penyakit akibat kerja


Tata laksana penyakit akibat kerja secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu tata laksana medis dan
tata laksana okupasi.

1. Tata Laksana Medis

Tata laksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis pada langkah pertama diagnosis penyakit
akibat kerja ditegakkan. Tatalaksana medis berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang dapat
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya. Terapi
yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau non medikamentosa seperti edukasi, exercise,
fisioterapi, konseling, psikoterapi dan nutrisi. Rujukan klinis dilakukan apabila diagnosis klinis belum
dapat ditegakkan karena :

a. Timbul keraguan dari dokter yang melakukan pemeriksaan.


b. Sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang tidak memadai.

2. Tata Laksana Okupasi

Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan. Sasaran tata laksana okupasi
adalah individu pekerja dan komunitas pekerja. Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari
penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja dan penentuan kecacatan.

a. Tata laksana Okupasi pada Individu Pekerja


1) Penetapan Kelaikan Kerja Penetapan kelaikan kerja meliputi penilaian risiko, kapasitas dan
tolerasi pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang ada di tempat kerja. Hasil penilaian
digunakan untuk menentukan pekerja tersebut dapat kembali bekerja pada pekerjaan
sebelumnya, bekerja dengan keterbatasan (limitasi) ataupun restriksi tertentu atau berganti
pekerjaan yang sesuai dengan kondisi kesehatan pekerja.
Rujukan penentuan kelaikan kerja diperlukan jika:
 Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sistem organ atau
melibatkan hanya 1 (satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).
 Pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan saling berkaitan.
 Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat
diterima (acceptable risk).
 Terdapat ketidakpuasan pekerja atas penetapan kelaikan kerja.
 Penetapan kelaikan kerja diperlukan untuk penetapakan kelaikan kerja calon kepala
daerah atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya.
 Ada permintaan dari bagian kepegawaian atau bagian keselamatan dan kesehatan kerja
suatu perusahaan. SDM dan sarana prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan tidak
memadai.
2) Program Kembali Bekerja (return to work)

Suatu upaya terencana agar pekerja yang mengalami cedera/sakit dapat segera kembali
bekerja secara produktif, aman dan berkelanjutan. Dalam upaya ini termasuk pemulihan medis,
pemulihan kerja, pelatihan keterampilan, penyesuaian pekerjaan penyediaan pekerjaan baru,
penatalaksanaan biaya asuransi dan kompensasi serta partisipasi pemberi kerja. Rujukan
program kembali bekerja dilakukan jika:

 Diperlukan kunjungan ke tempat kerja pasien untuk melihat pekerjaan lain yang tersedia
yang cocok dengan kondisi medis pasien.
 Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sistem organ atau
melibatkan hanya 1 (satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).
 Pajanan faktor risiko yang ada di tempat kerja kompleks dan saling berkaitan.
 Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat
diterima (acceptable risk).
 Terdapat ketidakpuasan pekerja atas program kembali bekerja.
3) Penentuan Kecacatan
Penyakit akibat kerja dapat menimbulkan disabilitas akibat kecacatan anatomi maupun
fungsi yang perlu dinilai persentasenya sehingga pekerja berhak mendapatkan kompensasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rujukan penentuan kecacatan diperlukan
jika:
 Jenis kecacatan belum ada dalam pedoman penentuan kecacatan.
 Terdapat ketidakpuasan pekerja atas penetapan persentase kecacatan.
 Terdapat keberatan dari pihak pemberi jaminan pelayanan kesehatan atas penetapan
persentase kecacatan.
 Diperlukan untuk kepentingan legal seperti kompensasi ganti rugi di luar dari yang
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tata Laksana Okupasi pada Komunitas Pekerja

Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri dari pelayanan pencegahan penyakit akibat
kerja dan penemuan dini penyakit akibat kerja.

1) Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja


Pada umumnya penyakit akibat kerja bersifat irreversible sehingga tindakan pencegahan
sangat diperlukan, karena bila tidak dilakukan akan menimbulkan penyakit akibat kerja pada
pekerja lain dengan risiko pekerjaan yang sama. Upaya pencegahan penyakit akibat kerja antara
lain:

 Melakukan identifikasi potensi bahaya penyakit akibat kerja.


 Promosi kesehatan kerja sesuai dengan hasil identifikasi potensi bahaya yang ada di
tempat kerja.
 Melakukan pengendalian potensi bahaya di tempat kerja.
 Pemberian informasi mengenai alat pelindung diri yang sesuai dengan potensi bahaya
yang ada di tempat kerja dan cara pemakaian alat pelindung diri yang benar.
 Pemberian imunisasi bagi pekerja yang terpajan dengan agen biologi tertentu.
2) Penemuan Dini Penyakit Akibat Kerja
Penemuan dini penyakit akibat kerja dilakukan dengan :
 Pemeriksaan kesehatan pra kerja
 Pemeriksaan berkala
 Pemeriksaan khusus dilakukan sesuai indikasi bila ditemukan ada keluhan dan/atau
potensi bahaya di tempat kerja sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan berkala
dan menjelang masa akhir kerja.
 Surveilans kesehatan pekerja dan lingkungan kerja pemeriksaan kesehatan dilakukan
sesuai potensi bahaya yang dihadapi di tempat kerja. Hal ini merupakan bagian dari
surveilans kesehatan pekerja. Data surveilans kesehatan pekerja dihubungkan dengan
data surveilans lingkungan kerja untuk mengetahui keterkaitan penyakit dengan potensi
bahaya pada tempat kerja.
3. program pencegahan penyakit akibat
a. Deteksi dini penyakit akibat kerja
Deteksi dini diartikan sebagai upaya untuk mengentahui atau membuat diagnosis
penyakit akibat kerja pada tingkat awal atau permulaan sakit. Deteksi dini demikian sangat
baik untuk maksud pencegahan agar penyakit berat yang biasanya disertai kecacatan dan
juga sangat baik untuk penyelenggaran jaminan sisa terhadap penyakit akibat kerja karena
penyakit akibat kerja pada stadium dini yang diderita oleh tenaga kerja besar sekali
kemungkinan untuk dapat disembuhkan dan sangat kecil akan terjadinya risiko kecacatan.
Deteksi dini adalah deteksi gangguan mekanisme homeostatis dan kompensasi pada
waktu perubahan biokimiawi, morfologis, dan fungsional masih dapat pulih. Perubahan
demikian terjadinya sebelum timbulnya tanda dan gejala penyakit akibat kerja, perubahan
tersebut berbentuk: perubahan biokimiawi dan morfologis dapat yang dapat diukur
kadarnya dengan analisis laboratoris; perubahan keadaan fisik dan atau fungsi tubuh yang
dievaluasi dengan perubahan fisik dan pemeriksaan laboratoris; dan perubahan kesehatan
yang dinilai dari riwayat medis dan data yang diperoleh dari tenaga kerja misalnya dengan
penggunaan kuisioner. Untuk medeteksi dini penyakit akibat kerja dilakukan pemantauan
kesehatan yang dikaitkan dengan kemungkinan pengaruh pekerjaan dan lingkungan kerja
pada tenaga kerja; pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pra-penempatan dan khusus
serta penggunaan temuannya; dalam pemantauan kesehatan pengenanalan risiko bahaya,
serta koreksi dan pengendalian terhadap faktor bahaya sangat diperlukan untuk mengetahui
efek dini pekerjaan dan lingkungan kerja terhadap kesehatan tenaga kerja. Aspek pekerjaan
dan lingkungan kerja serta perubahan-perubahan pada tenaga kerja yang menjadi indicator
pengaruh dini kepada tenaga kerja berlainan untuk tiap penyakit akibat kerja. Sebagai
contoh pengukuran aktifitas kolinesterase digunakan sebagai deteksi dini persenyawaan
organofosfat; uji kapasitas ventilasi paru seperti vulumen ekspirasi paksa untuk deteksi dini
paparan terhadap debu kapas, rami, dan sisa pengukuran kadar timbal darah untuk efek dini
timbal; deteksi asam triklor-asetat urin untuk tenaga kerja yang terpapar kepada
trikloretilen; pemeriksaan darah bagi pengaruh kimia yang menyebabkan efek hematoposis;
pemeriksaan laboratoris untuk protein, urobilinogen guna mendeteksi dini pengaruh
terhadap fungsi ginjal atau hati; dan pemeriksa anodiometris bagi efek kebisingan.

Pencegahan mempunyaidua (2)aspek yaitu:

1. Aspek administrative
Administrative dalam arti kebijakan khususnya aspek manajerial. Pencegahan pada
penyakit akibat kerja harus menjadi bagian integral dari sistem manajemen perusahaan dan
dimulai sejak perencanaan proses produksi.
2. Aspek teknis
Teknis yaitu penerapan secara nyata di lapangan pada tenaga kerja, pekejaaan dan
lingkungan kerja. Secara teknis aktivitas pencegahan adalah pengenalan risiko bahan
pekerjaan dan lingkungan kerja terhadap kesehatan beserta pengukuran, evaluasi, dan
upaya pengendaliaannya, pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pra-penempatan, berkala
dan khusus; substitusi bahan dengan yang kurang pengaruh negatifnya kepada tenaga kerja,
isolasi operasi atau proses produksi yang berbahaya, dan pemakaian alat proteksi diri.

4. Pengendalian faktor risiko penyakit akibat kerja


Pengendalian faktor risiko merupakan program atau kegiatan yang dilakukan bila suatu risiko
tidak dapat diterima maka harus dilakukan penanganan risiko. Setelah evaluasi bahaya dan risiko
kesehatan menentukan metode pengendalian yang dipilih atau di rekomendasikan, agar tidak
menimbulkan gangguan kesehatan, penyakit akibat kerja, penyakit terkait kerja, dan cidera terkait kerja.
Pengendalian faktor risiko dilakukan dengan memperhatikan hirarki pengendalian meliputi:

a. Eliminasi, yaitu upaya untuk menghilangkan sumber bahaya di tempat kerja.


b. Substitusi, yaitu mengganti atau mensubstitusi zat/benda/proses yang menjadi sumber bahaya
dengan zat/benda/proses lain yang tidak menjadi sumber bahaya.
c. Pengendalian teknis/rekayasa, yaitu upaya menurunkan risiko sumber bahaya sehingga tidak
membahayakan karyawan dengan ergonomik teknis. Contoh berupa penutupan sumber bahaya
sehingga tidak menimbulkan kontak langsung pada karyawan.
d. Pengendalian administratif, yaitu upaya menjaga karyawan agar sehat dan aman, antara lain
pemasangan tanda bahaya dan pembuatan SOP (Standar Operasional Prosedur) pemakaian alat
kerja termasuk pelatihan metode kerja yang sehat dan selamat.
e. Alat Pelindung Diri (APD), antara lain helmet, safety shoes, ear plug/muff, safety goggles

5. Mekanisme Pelaporan penyakit akibat kerja

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR :


KEP.333/MEN/1989:
Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:

(1) Penyakit akibat kerja adalah sebagaimana dimaksud dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per
01/Men/1981.

(2) Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja adalah pemeriksaan berkala dan khusus sebagaimana dimaksud
Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. Per- 02/Men/1980 dan penyakit akibat kerja yang
diketemukan sewaktu penyelenggaraan kesehatan tenaga kerja.

Pasal 2

(1) Penyakit akibat kerja dapat diketemukan atau didiagnosis sewaktu dilaksanakan pemeriksaan
kesehatan tenaga kerja;

(2) Dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) harus ditentukan apakah
penyakit yang diderita tenaga kerja merupakan penyakit akibat kerja atau bukan.

Pasal 3

(1) Diagnosis penyakit akibat kerja ditegakkan melalui serangkaian pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
kondisi pekerja serta lingkungannya untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara penyakit
dan pekerjaannya;

(2) Jika terdapat keragu-raguan dalam menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa
kesehatan dapat dikonsultasikan kepada Dokter Penasehat Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud Undang-
undang N0. 2 tahun 1951 dan bila diperlukan dapat juga dikonsultasikan kepada dokter ahli yang
bersangkutan;

(3) Setelah ditegakkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa

Pasal 4

(1) Penyakit akibat kerja yang ditemukan sebagaimana dimaksud pasal 2 harus dilaporkan oleh pengurus
tempat kerja yang bersangkutan bekerja selambat-lambatnya 2 x 24 jam kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Tenaga Kerja melalui Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat;

(2) Untuk melaporkan penyakit akibat kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) harus menggunakan bentuk
B2/F5, B3, 4/F6, B88/F7 sebagai dimaksud Surat Keputusan KEP.333/MEN/1989 Menteri Tenaga Kerja
No. Kep-511/Men/1985 serta bentuk laporan sebagaimana tersebut lampiran I dan II dalam Keputusan
Menteri ini;

(3) Laporan medik tentang penyakit akibat kerja sebagimana dimaksud ayat (1) disampaikan oleh
pengurus kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat dalam amplop tertutup dan bersifat rahasia
untuk dievaluasi oleh dokter penasehat sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 2 tahun 1951.

Pasal 5
(1) Pelanggaran terhadap pasal 4 ayat (1) dari Keputusan Menteri ini diancam dengan hubungan
sebagaimana dimaksud pada pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1970;

(2) Tindak pidana tersebut pada ayat (1) adalah pelanggaran.

Pasal 6

Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Tata cara pelaporan menurut PERMENAKER no.3 tahun 1998

1. Pengurus/pengusaha wajib melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi di tempat kerja yang dipimpinnya
baik yang telah mengikutsertakan pekerjanya kedalam program Jamsostek maupun yang belum.

2. Kecelakaan yang dilaporkan terdiri dari :

 Kecelakaan kerja
 Penyakit akibat kerja
 Kebakaran, Peledakan dan Bahaya Pembuangan Limbah
 Kejadian berbahaya lainnya

3. Melaporkan secara tertulis kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24
jam sejak terjadi kecelakaan dengan menggunakan formulir bentuk 3 KK2 A. (penggani bentuk KK2)

4. Pelaporan dapat dilakukan secara lisan sebelum secara tertulis

5. Pengurus/pengusaha yang telah mengikuti program Jamsostek, tata cara pelaporannya sesuai
Permenaker No 05 tahun 1993 ttg Juknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran
Santunan dan Pelayanan Jamsostek.

6. Pengurus/pengusaha yang belum mengikuti program Jamsostek, tata cara pelaporannya sesuai
Permenaker No. 04 tahun 1993 ttg Jaminan Kecelakaan Kerja

Anda mungkin juga menyukai