Anda di halaman 1dari 9

KONSEP DOSA

Definisi Dosa Alkitab menggunakan beberapa istilah untuk dosa. Kata Ibrani yg paling umum ialah
khatta‟t (dlm berbagai bentuk dari akar kata yg sama), pesya „ra„; dan kata Yunani ialah hamartia,
hamartema, parabasis, paraptoma, poneria, anomia dan adikia. Ada beda pengertian terkandung dalam
masing-masing istilah itu yg memantulkan berbagai segi, dan dari situ orang mengenali dosa. Dosa ialah
kegagalan, kekeliruan atau kesalahan, kejahatan, pelanggaran, tidak menaati hukum, kelaliman atau
ketidakadilan. Dosa ialah kejahatan dalam segala bentuknya. Pertama, kata dosa berasal dari kata

C. S. Lewis mengatakan, “Dosa adalah pemberontakan terhadap Allah, dan juga kesombongan yang
menjadi pusat dari imoralitas, “ kejahatan terbesar”; kesombongan membawa pada setiap sifat buruk yang
lain.” Adam dan Hawa yang telah memberontak terhadap Allah, diikuti oleh kain, keturunannya hingga
bangsa Israel yang selalu memberontak terhadap Allah (Kej. 3, 4, 5, 6 dan Kel. 32). Tindakan yang
dilakukan oleh Adam dan Hawa, keturunannya serta bangsa Israel adalah pikiran kebodohan. Alkitab
dengan jelas mendefenisikan bahwa “memikirkan kebodohan adalah dosa” Amsal 24:9. Pemberontakan,
kesombongan dan ketidaktaatan bersumber dari pikiran kebodohan.

James Montgomery Boice juga mengatakan bahwa: “Dosa adalah ketidakberimanan, dosa adalah
keraguan terhadap kehendak baik dan kebenaran Allah, yang secara pasti membawa pada tindakan
penolakan langsung.” Hal inilah yang terjadi ketika Adam dan Hawa ada di Taman Eden. Ketika iblis
bertanya kepada Hawa, “ ... tentulah semua pohon di dalam taman ini boleh kamu makan, bukan?” (Kej.
3:1). Ini adalah tanda tanya pertama dalam Alkitab. Pertanyaan inilah yang membuat Hawa ragu akan
Firman Allah. Apakah Allah berkata ...? Apakah Allah sunguh-sungguh berkata ...? Esensi dosa ada
dalam spekulasi pertanyaan ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keraguan manusia akan
Firman Allah yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa.

Millard J. Erikson dalam buku “Teologi Kristen” mengatakan bahwa sumber dosa adalah keinginan
manusia itu sendiri. Menurutnya dosa bersumber dari keinginan manusia yang merupakan sarana
potensial untuk pencobaan dan dosa. Tiga keinginan manusia yang paling mendasar dan menjadi sarana
dosa yaitu, keinginan untuk menikmati sesuatu, keinginan untuk mendapatkan sesuatu, keinginan untuk
melakukan sesuatu. Kenyataan ini tersirat dalam perintah untuk menahlukkan bumi (Kej. 1:28).

Akibat-akibat Dosa

Dosa Adam dan Hawa bukanlah peristiwa yg berdiri sendiri tanpa kaitan. Akibatakibatnya terhadap
mereka, terhadap keturunannya dan terhadap dunia segera kelihatan.

Sikap Manusia Terhadap Allah

Dosa dan hati nurani yang merasa bersalah membuat manusia menyembunyikan diri dari hadirat Allah.
Dosa menyebabkan ketakutan dan bukan kasih. Ketika Allah datang, manusia itu menyembunyikan diri
diantara pepohonan di taman tersebut (Kej. 3:8). Natur manusia itu telah rusak. Manusia telah kehilangan
persekutuan dengan Allah. Manusia telah kehilangan gambar dan rupa Allah yaitu kebenaran yang hakiki.
Manusia memutuskan hubungan dari sumber hidup dan berkat, dan hasilnya adalah suatu keadaan
kematian rohani.

Sikap Allah Terhadap Manusia

Perubahan tidak hanya terjadi pada sikap manusia terhadap Allah, tapi juga pada sikap Allah terhadap
manusia. Hajaran, hukuman, kutukan dan pengusiran dari Taman Eden, semuanya itu menandakan
perubahan itu. Dosa timbul pada satu pihak tetapi akibatakibatnya melibatkan kedua pihak. Dosa
menimbulkan amarah dan kegusaran Allah, dan memang harus demikian sebab dosa bertentangan
mutlak dengan hakikat Allah. Mustahil Allah masa bodoh terhadap dosa, karena tidak mungkin Allah
menyangkali diri-Nya sendiri berkaitan dengan kekudusan-Nya. Hal kedua yang menjadi akibat dari
dosa adalah ketidakberkenanan Allah. Dalam dua contoh di Perjanjian Lama, dikatakan bahwa Allah
membenci Israel yang berdosa (Hos. 9:15; Yer. 12:8; Mzm. 5:5; 11:5). Namun yang jauh lebih sering
Alkitab menjelaskan ialah bahwa Allah membenci kejahatan (Ams. 6:16-17; Za. 8:17). Kebencian dari
Allah tidaklah kebencian sepihak, tetapi manusia itu yang terlebih dahulu membenci Allah (Kel. 20:5; Ul
7:10), dan yang jauh lebih sering lagi bahwa mereka membenci orang benar (Mzm. 18:40; 69: 4; Ams.
29:10). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dosa (kejahatan) membuat Allah membenci manusia.
Manusia bersalah dan dikenakan hukuman dari Allah.

Akibat-akibatnya Terhadap Umat Manusia

Sebagai akibat dari dosa manusia adalah kerusakan total dari natur manusia. Dosa manusia segera
merambat pada seluruh manusia dan seluruh naturnya tidak ada yang tidak tersentuh oleh dosa; seluruh
tubuh dan jiwanya menjadi dicemari dosa. Kerusakan manusia jelas diceritakan Alkitab dalam Kej. 6:5;
Mzm. 14:3; Rom. 7:8. Empat akibat dosa bagi umat manusia, yaitu, adanya persaingan (Kej. 4),
ketidakmampuan berempati, menolak wibawa pemimpin (1 Sam. 8), ketidakmampuan untuk saling
mengasihi. Dosa juga menyebabkan perbudakan (Kej. 12: 10-20), menipu diri (II Sam. 12:1-15),
ketidakpekaan hati nurani, mementingkan diri sendiri dan ketidaktenangan.

Akibat-Akibatnya Terhadap Alam Semesta

Dosa adalah peristiwa dalam kawasan rohani manusia, tetapi akibatnya menimpa seluruh alam semesta.
Jelaslah bahwa semua hewan ikut menderita akibat dosa Adam.28 Allah berfirman, “... Terkutuklah tanah
karena engkau; dan dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu:
semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan
menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi
menjadi tanah (Kej. 3:17-19). Adam dan Hawa diusir dari taman itu dan dipaksa berusaha sendiri di
dalam dunia yang terkutuk. Pada awalnya mereka berada dalam lingkungan yang paling indah dan
sempurna; kini mereka terpaksa harus tinggal di dalam lingkungan yang tidak sempurna dan ganas.
Lingkungan mereka jelas berubah karena dosa.29 Conner juga memberikan pendapat yang serupa dimana
Allah juga mendatangkan penghakiman atas bumi. Bumi dikutuk dengan semak duri dan rumput duri, dan
mempengaruhi binatang yang menjadi liar, bermusuhan dan memberontak melawan kekuasaan manusia.

Munculnya Maut

Maut adalah rangkuman dari hukuman atas dosa. Hal ini telah diingatkan sebelumnya oleh Allah kepada
manusia itu (Kej. 2:17). Maut menjadi sarana langsung dari kutuk ilahi atas manusia berdosa (Kej. 3:19).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Erikson, dimana kematian menjadi akibat dosa yang paling jelas.
Kematian yaang menjadi upah dari keberdosaan manusia ini terdiri dari tiga aspek yaitu: (1) kematian
fisik; (2) kematian rohaniah; (3) kematian kekal. Walter C. Kaiser sependapat dengan hal ini, ia
mengatakan ada tiga macam kematian akibat dosa. Ada kematian jasmani, kematian rohani (yang
memaksa orang-orang bersalah untuk menyembunyikan diri dari kehadiran Allah), dan “kematian kedua”
(yang dalam Why. 20:14 berarti tatkala seseorang pada akhirnya secara sepenuhnya dan selama-lamanya
terpisah dari Allah tanpa harapan untuk berbalik, sesudah sekian lama hidup menolak Allah).
Isi Perjanjian

Dosa telah merusak hubungan Allah dengan manusia dan alam semesta. Namun, Allah dengan kasih-Nya
berinisiatif memperbaiki kerusakan tersebut, dan akhirnya dipilihlah Abraham. Rencana Allah untuk
memperbaiki hubungan dengan manusia melalui Abraham dalam bentuk janji. “ Allah merupakan titik
pusat dari seluruh Perjanjian Lama” dan mempertahankan dengan gigih bahwa “ teologi Perjanjian Lama
harus berpusat pada Allah Israel sebagai Allah Perjanjian Lama dalam hubungannya dengan umat,
dengan manusia, dan dengan dunia . . . .” inti dari janji Allah adalah kehadiran Allah bagi Israel sebagai
Allah dan Israel menjadi umat Allah, serta berdiamnya kembali Allah di tengah-tengah Israel.

KONSEP PENEBUSAN DOSA

Kematian sebagai Konsekuensi dari Dosa

Dosa

Dosa adalah suatu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik. Dosa adalah
suatu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar suatu ketergantungan
yang tidak normal kepada barang-barang tertentu. Dosa melukai kodrat manusia dan solidaritas
manusiawi. Dosa oleh Agustinus didefenisikan sebagai “kata, perbuatan atau keinginan untuk
bertentangan dengan hukum abadi”.

Dosa adalah suatu penghinaan terhadap Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah
berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:6). Dosa memberontak tehadap kasih Allah
kepada kita dan membalikkan hati kita dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah satu ketidak-taatan, satu
pemberontakkan terhadap Allah, oleh kehendak menjadi “seperti Allah”, dan olehnya mengetahui dan
menentukan apa yang baik dan apa yang jahat (Kej 3: 5). Dengan demikian dosa adalah “cinta diri yang
mengikat sampai menjadi penghinaan Allah. Karena keangkuhan ini, maka dosa bertentangan penuh
dengan ketaatan Yesus yang melaksanakan keselamatan.

Upah Dosa: Maut

Bapa-bapa Gereja memandang kematian selain sebagai akhir hidup manusia, tetapi juga kematian
dipandang sebagai akibat dari dosa. Karena kematian adalah akibat dosa, maka kematian itu tidak netral
dan bukan sesuatu yang baik bagi manusia. Sebab itu kematian membutuhkan penebusan. Tertulianus
menulis: “Kita yang mengenal asal mula manusia, menjelaskan atas dasar kebenaran ini: maut secara
alamiah bukan mengejar manusia, tetapi akibat suatu kesalahan, yang juga bukan sesuatu yang alami.
Andaikata manusia tidak berdosa, maka dia juga tidak mati”. Ajaran ini memiliki kosekuensi yang besar.
Pendapat ini mempengaruhi cara bagaimana teologi kristen melihat, merasakan dan mendiskusikan
kematian.

Agustinus mempunyai pandangan tentang kematian sebagai akibat dosa mengatakan seperti ini:
“Kematian badani adalah satu akibat dari dosa, bukan karena satu hukuman alam, sebab Allah tidak
menentukan nasib manusia lewat kematian seperti itu”. Pokok-pokok ajaran St. Agustinus ini adalah:
kematian adalah siksa dosa asal. Kitab Suci membuktikan bahwa dalam hubungan dengan siksa di taman
Firdaus, Allah bersabda: “Engkau berasal dari debu dan engkau harus kembali menjadi debu” (bdk. Kej 3:
19). Dalam kematian, Agustinus melihat satu pengalaman yang negatif: “Kematian itu bukanlah sesuatu
yang baik, karena membuat orang yang mati menderita. Kematian itu pahit, karena memisahkan badan
dan jiwa dan ini bertentangan dengan hukum alam. Kematian adalah sesungguhnya satu siksaan bagi
semua orang yang dilahirkan sebagai akibat dari keturunan manusia pertama. Kematian adalah upah dosa.
Kematian itu merupakan sarana Tuhan untuk ‘menakuti’ supaya manusia jangan berdosa lagi”. Sebab itu
kematian bukanlah sesuatu yang baik. Dengan kata lain, bila orang menjalankan satu hidup yang baik,
maka kematian bukanlah malapetaka.

Akibat dosa asal, manusia harus mangalami kematian badani yang darinya manusia akan lolos, andaikata
ia tidak berdosa. Dari pernyataan ini kita mengerti bahwa kematian telah masuk ke dalam dunia, karena
manusia telah berdosa. Tetapi walau manusia dapat mati, Allah menentukan supaya ia tidak mati. Dengan
demikian kematian bertentangan dengan kehendak Allah. Kematian masuk ke dunia sebagai akibat dari
dosa. Kematian adalah musuh terakhir manusia yang harus dikalahkan.

Kematian menjadi indikasi keterbatasan manusia di hadapan Penciptannya. Karena dosa, manusia tidak
dapat lagi menghayati hidup sebagai anugerah Allah yang harus dijalani dengan penuh rasa tanggung
jawab (bdk. 2 Kor 5: 15). Terhadap sikap mementingkan diri sendiri, kematian menjadi ancaman serius.
“Kematian tidak diciptakan oleh Allah dan tidak juga berasal dari kehendak Allah Pencipta yang baik”.
Nabi Yehezkiel mengungkapkan bahwa Allah tidak berkenan pada kematian orang berdosa, melainkan
supaya mereka bertobat dan hidup (Yeh 33:11).

Kematian tidak berasal dari Allah tetapi dari manusia itu sendiri. Karena dosa, manusia diperhadapkan
dengan maut yang tidak terelakan. Manusia yang berdosa dikuasai oleh maut dan ia tidak dapat
membangun relasi dengan Allah (bdk. Rm 5:12-14). Sejarah kematian manusia akibat dosa dimulai sejak
Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Konsekuensi dari kedosaan Adam dan Hawa adalah dosa asali.
Kenyataan ini membuat manusia jauh dari Allah. Dosa asal menyebabkan manusia memiliki kodrat
kesadaran dalam diri, yang menyebabkan situasi keberdosaan selalu merupakan bagian dari hidup
manusia yang terus disadari.

Kematian sebagai Jalan Penebusan

Dalam perspektif iman kristiani, dosa mendatangkan maut dan bahwa maut mengakhiri segalanya. Tetapi
maut bukan akhir dari segalanya atau batas akhir hidup kita. Kematian merupakan jalan masuk kepada
penebusan dan pemuliaan kita dalam Allah. Kematian sebagai sarana penebusan berkaitan erat dengan
pribadi Kristus. Dalam Yesus Kristus dan berkat kematianNya, manusia boleh terus berharap pada
penyelamatan Allah.

Karena itu kematian sebagai sarana penebusan lalu ditempatkan dalam perspektif kematian Kristus.
Dalam dan melalui Yesus Kristus, Allah menyelamatkan manusia dari dosa dan kematian. Tindakan
penyelamatan Allah bukan demi kepentingan Allah, melainkan demi manusia. Allah sebagai Allah yang
maha cinta tidak membiarkan ciptaan kesayanganNya binasa dari mati karena dosa. Sebab Allah telah
menciptakan manusia untuk hidup. Daya pengerak karya penyelamatan Allah ialah kasih (bdk. Yoh 3:
16).

Yesus memilih kematian sebagai jalan satu-satunya kepada penebusan. Yesus menyadarai bahwa hanya
melalui kematian, penebusan dapat terlaksana. Karena itu Yesus tidak menolak dari kematian, melainkan
siap menerimanya sebagai jalan yang harus dilalui untuk menghantar manusia kepada persekutuan yang
selamat dengan Allah Bapa.

Menerima kematian sebagai sarana penebusan dengan demikian membutuhkan iman percaya kepada
Yesus Kristus yang telah bangkit dan menebus dosa-dosa manusia. Kematian hanya dapat diterima
sebagai rahmat penebusan juga ditegaskan oleh rasulPaulus kepada umat di Korintus: “Jika Kristus tidak
dibangkitkan, maka sia-sialah keprcayaan kamu” (1 Kor 15: 17).
Jadi syarat untuk menrima kematian sebagai rahmat penebusan adalah iman akan Kristus yang bangkit.
Yesus sendiri menegaskan “Akulah kebangkitan dan hidup, barang siapa percaya kepadaKu Ia akan hidup
walau ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-
lamanya” (Yoh 11: 25-26). Yesuslah daya kebangkitan kita, dan dalam Dia kita boleh menerima kematian
sebagai rahmat kehidupan baru dalam kebahagiaan kekal.

Kalau kematian dipandang dari pespektif iman sebagai sarana penebusan, menjadi pertanyaan sekarang
adalah seberapa jauh kematian menjadi satu pengalaman iman? Greshake dan banyak teolog modern
memandang kematian sebagai kebangkitan individual. Para teolog ini tidak menerima adanya ‘jarak’
antara kematian dan kebangkitan badan. Dengan mati, kata mereka, terjadi perubahan tertentu dalam
relasi antara jiwa dan badan; dan justeru perubahan itulah yang disebut kebangkitan. Maksudnya adalah
bahwa hidup sekarang ini di dunia, dalam hidup yang belum diubah oleh kematian, roh ditentukan oleh
badan, khususnya sejauh badan membuat roh kitaterikat pada waktu dan tempat, dan dibatasi olehnya.
Akan tetapi dalam kebangkitan, sebaliknya, badan ditentukan oleh roh. Dalam hidup kebangkitan,
terwujudlah waktu dan tempat yang baru. “Langityang baru dan bumi yang baru” (Why 21: 1) adalah
dunia material seluruhnya, yang diangkat ke dalam roh. Oleh sebab itu tubuh yang bangkit
disebut“rohaniah” (I Kor 15: 44), “baka” (ay.53), “tak dapat binasa” (ay.42,53-54).Dalam hidup
kebangkitan, materi tidak lagi berarti kesementaraan dan kefanaan. Dalam kebangkitan, tubuh mencapai
kebakaan justru karena tubuh menjadi ekspresi hidup baka dalam kesatuan dengan Allah. Satu hal yang
mau ditekankan di sini adalah bahwa kematian tidaklah terpisahkan dari kebangkitan. Mati berarti
bangkit.

Kematian Yesus dan Bedanya dengan Kematian Kita

Kematian dan kebangkitan memiliki hubungan erat dan tak dapat dipisahkan. Kematian mendapat artinya
dalam kebangkitan. Yang satu tidak meniadakan yang lain. Yesus mengalami nasib sebagai manusia,
karena itu Iapun mengalami kematian. kematianNya bukan akhir dari segala-galanya, karena jika
demikian kematian dan penderitaanNya menjadi tidak berarti apa-apa.

Kematian Yesus:Tanda Solidaritas Allah

Rasul Paulus kepada umat di Roma menegskan bahwa “Kita diselamatkan dalam pengharapan” (Rm 8:
24). Pengharapan kita bukan tak berdasar sebab dasarnya ialah wafat dan kebangkitan Kristus. Wafat dan
kebangkitan Kristus sebagai peristiwa penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Kristus membebaskan
manusia dari kematian, berkat wafat dan keabngkitanNya ini. Wafat Kristus adalah solidaritas Allah
dengan manusia sampai kedalam kematian, dan dalam kebangkitan Kristus kesatuan Allah dengan
manusia itu dibawa kepada kepenuhannya. Di sini kita bisa mengerti bahwa pembicaraantentang
kematian Yesus lalu tidak dapat terlepas dari kebangkitanNya.

Hubungan antara Wafat dan Kebangkitan Kristus adalah Hubungan Pribadi antara Kristus
dengan Allah

Sebagaimana sudah kita mengerti bahwa kematian Kristus tak dapat dipisahkan dari kebangkitanNya.
Hanya berkat kesatuan antara wafat dan kebangkitan Kristus memungkinkan kebangkitan sebagai
penyempurnaan hidup bagi orang-orang lain sejauh mereka bersatu dengan Kristus. Tanpa kebangkitan
Kristus, kematian sebetulnya tidak dapat dipikirkan sebagai penyelesaian hidup. Dan tanpa hubungan
pribadi antara Putera dan Bapa, tidak ada hubungan antara wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam
kebangkitan Kristus, Allah mewahyukan diri sebagai Allah keselamatan, dan dari cahaya kebangkitan ini
kematian Kristus mendapatkan artinya.
Wafat Kristus berarti Keterbukaan Kristus bagi Tindakan Keselamatan Allah Bapa

Misteri Yesus Kristus sebagai sungguh Allah dan sungguh manusiasebagai misteri yang paling besar
harus ditempatkan dalam kematian, wafat Kristus itu sendiri. Benar bahwa Allah tidak dapat mati, dan
bahwa kodrat insani Yesus harus dibedakan bukan hanya dari kodrat ilahiNya melainkan juga dari
kepribadianNya yang ilahi namun tidak benar mengatakan bahwa Kristus hanya wafat menurut kodrat
insaniNya, seolah-olah kodrat itu tinggal di luar diri pribadi Kristus. Kematian Yesus adalah
pengungkapan ketergantungan total kepada Bapa. Yohanes menyebut wafat Yesus itu “Pergi kepada
Bapa” (Yoh 14: 28; 6: 28). Surat kepada umat di Ibarani mengungkapkan seperti ini: “ Kristus oleh Roh
yang kekal telah mempersembanhkan diri kepada Allah” (Ibr 9: 14). Kekosongan maut tanda dosa itu,
oleh Kristus dijadikan ungkapan ketaatanNya secaratotal. “Ia taat sampai mati, bahkan sampai mati di
kayu salib” (Flp 2: 8). Tanda dosa sekarang menjadi tanda rahmat. Kematian dalam Kristus menjadi
hidup.

Kebangkitan: Tindakan Penyelamatan Allah di dalam Kristus

Dalam Perjanjian Baru selalu dikatan bahwa Yesus “dibangkitkan”. Peristiwa ini dilihat sebagai anugerah
dari Allah. Allahlah yang membangkitkan puteraNya dari antara orang mati. Jadi bukan perkembangan
diri Kristus sendiri. Bukan perkembangan melainkan “ ciptaan baru” (bdk. 2 Kor 5: 17; Gal 6: 15).
Perkembangan berarti kontinuitas, tetapi manusia ciptaan baru berarti diskontinuitas. Tidak ada
kontinuitas sungguh-sungguh antara peristiwa wafat dan peristiwakebangkitan. Kontinuitas tidak terletak
pada peristiwanya, tetapi dalam diri Yesus sendiri, yakni dalam hubungan pribadiNya dengan Bapa.
Antara kematian sebagai peristiwa kehidupan insani dengan kebangkitan sebagai rahmat Ilahi tidak ada
kontinuitas. Karena itu kebangkitan dipandang sebagai ciptaan baru. Secara hakiki kebangkitan
merupakan tindakan Allah yang dibedakan dari kegitan manusia. Karena itu, manusia tidak bisa
menangkap dan menjangkau arti kebangkitan. Kebangkitan hanya dimengerti sebagai rahmat Allah.
Kristuslah rahmat Allah itu sejauh Ia bersatu dengan manusia dan dengan Allah. Dalam kematianNya,
Yesus bersatu dengan manusia. Kristus dibangkitkan “dari antara orang mati”. Ini berarti bahwa Ia berada
di antara mereka, senasib dan sepenanggungan. Justru karena Kristus solider dengan orang mati, bersatu
dengan mereka, kebangkitanNyapun mempunyai akibat bagi mereka. Itulah bahwa mereka pun
diselamatkan. Bapa menerima bukan hanya Kristus, melainkan semua orang yang mati bersama Kristus.

Kristus menderita kematian orang berdosa- “Ia akan terhitung di antara orang-orang durhaka” (Mrk 15:
28 ;Yes 53: 12). Tetapi dalam kematian itu, Ia bersatudengan Allah. Kematian Kristus di satu pihak
sebagai keterasingan dari Allah dan di pihak lain kematianNya sebagai kesatuan dengan Allah dalam
ketaatan sebagai penebusan umat manusia. Arti keselamatan yang ada dalam pada wafat Kristus tidak
menjadi jelas dari kematian itu sendiri, tetapi baru dari kebangkitanNya. Kesatuan dengan Allah dalam
kebangkitan itu dipahami sebagai arti yang sesungguhnya dari wafat Kristus.Kematian Kristus merupakan
peristiwa keselamtan bagi manusia justru karena dalam kematianNya itu, Yesus menghayati kesatuanNya
baik dengan manusia maupun dengan Allah.
KEBANGKITAN

Semua agama, kecuali 4 agama besar, berdasar kepada filsafat. Dari 4 agama besar yang berdasar kepada
kepribadian pendirinya, hanya agama Kristen yang menyatakan kubur kosong bagi pendirinya.
Tanpa kebangkitan, iman Kristen tidak mungkin muncul. Murid-murid-Nya hanyalah simbol kekalahan
dan kehancuran. Mungkin mereka akan mengingat Yesus sebagai guru terkasih mereka, dan penyaliban
hanya akan melenyapkan harapan akan mesias. Salib akan kelihatan menyedihkan dan memalukan
sebagai akhir karir Yesus. Kekristenan mula-mula sangat bergantung kepada kepercayaan murid-murid-
Nya bahwa Tuhan telah membangkitkan Yesus dari kematian. Jika ditanya mengapa kebangkitan Yesus
Kristus disebut sebagai bukti diri-Nya adalah Anak Allah?
Jawabnya:
1.  Dia bangkit dengan kuasa-Nya sendiri. Dia mempunyai kuasa untuk memberikan nyawa-Nya dan
untuk mengambilnya kembali (Yohanes 10:18). Ini tidak bertentangan dengan pasal lain yang
menyatakan Yesus dibangkitkan oleh kuasa Bapa, karena Bapa dan Anak bekerja bersama-sama, seperti
halnya penciptaan, tiga pribadi Allah, yaitu: Bapa, Anak dan Roh Kudus bekerja sama secara harmonis.
2. Secara jelas Yesus telah menyatakan bahwa Ia adalah Anak Allah, kebangkitan-Nya dari kematian
merupakan materai/persetujuan dari Allah Bapa akan kebenaran pernyataan-Nya. Jika Allah tidak
menyetujui pernyataan Yesus sebagai Anak Allah, maka Allah tidak akan membangkitkan Yesus dari
kematian. Kenyataannya Allah membangkitkan Yesus dari kematian, seolah Allah Bapa mengatakan:
"Engkaulah Anak-Ku, hari ini Aku menegaskan sejelas-jelasnya." Khotbah Petrus saat hari Pentakosta
juga berdasar kepada Kebangkitan Kristus (Kisah Para Rasul 2:14-40). Tidak sekedar tema khotbah,
tetapi menekankan pentingnya kebangkitan. Kalau ajaran kebangkitan dihilangkan, maka semua ajaran
kekristenan akan hilang.
Kebangkitan merupakan:
1. Penjelasan kematian Yesus
2. Penggenapan nubuat dalam Perjanjian Lama tentang Mesias
3. Sumber kesaksian murid-murid
4. Alasan pencurahan Roh Kudus
5. Menegaskan posisi Yesus sebagai Mesias dan Raja.
Tanpa kebangkitan, posisi Yesus sebagai Mesias dan Raja tidak akan terjelaskan. Tanpa kebangkitan,
pencurahan Roh Kudus akan meninggalkan misteri yang tidak dapat dijelaskan. Tanpa
kebangkitan, sumber kesaksian murid-murid hilang.Kebangkitan adalah penggenapan dari nubuat
mengenai Mesias yang akan bangkit di dalam Mazmur 16:10, 'tidak membiarkan Orang Kudus-Mu
melihat kebinasaan.'
Jelaslah bahwa khotbah pertama kekristenan berdasar kepada Yesus yang telah bangkit. Perjanjian Baru
bergaung kepada  fakta Kebangkitan Yesus. Injil-injil mencatat  pernyataan Yesus bahwa Ia akan
dikhianati, dibunuh dan bangkit lagi. Mereka menyaksikan  bahwa kubur telah kosong dan Ia
menampakkan diri kepada murid-murid-Nya seperti yang telah dikatakan-Nya. Kisah Para Rasul
mencatat Kebangkitan Kristus sebagai fakta dan membuatnya menjadi pusat pengajaran. Surat-surat
dalam Perjanjian Baru dan Kitab Wahyu menjadi tak berarti tanpa kebangkitan Yesus.
Kebangkitan diterima baik oleh:
- Keempat Injil yang terpisah
- Sejarah kekristenan mula-mula (Kisah Para Rasul)
- Surat-surat: Paulus, Petrus, Yohanes, Yudas, dan Surat Ibrani.
Ada banyak kesaksian yang dapat dipercaya. Dan karena Perjanjian Baru adalah kesaksian sejarah yang
dapat dipercaya, maka Kebangkitan Kristus adalah fakta obyektif yang dapat dipercaya.
Sejak awal, kekristenan mula-mula secara bersama-sama memberikan kesaksian mengenai kebangkitan
Kristus. Ini merupakan dasar pengajaran dan iman gereja dan telah masuk ke dalam literatur Perjanjian
Baru. Jika semua pasal yang berhubungan dengan Kebangkitan dihilangkan, maka akan didapatkan
Perjanjian Baru yang kacau, yang tidak dapat dijelaskan. Kebangkitan secara kuat masuk ke dalam
kehidupan orang Kristen mula-mula. Ini muncul dalam kubur, lukisan-lukisan dinding, muncul dalam
himne, dan menjadi tema yang kuat dalam penulisan-penulisan pembelaan iman Kristen pada empat abad
pertama. Jika kebangkitan bukan peristiwa sejarah, maka kuasa kematian tetap tidak dikalahkan;
Kematian Kristus menjadi tidak ada artinya, dan umat yang percaya kepada-Nya tetap mati dalam dosa.
Keadaannya akan tidak berbeda dengan sebelum mendengar nama-Nya. Sulit untuk menggambarkan 
depresi yang hebat akibat penyaliban Yesus yang  dialami para murid. Mereka tidak memiliki konsep
bahwa kebangkitan lebih berarti daripada kematian. Mereka berpikir bahwa Mesias akan memerintah
selamanya (Yohanes 12:34). Tanpa percaya kepada kebangkitan Yesus, tidak mungkin para murid
percaya kepada Yesus yang hanya mati saja. Kebangkitan mengubah bencana menjadi kemenangan.
Karena Tuhan telah membangkitkan Yesus, maka Yesus secara tegas dinyatakan sebagai Mesias.  Dengan
demikian makna penyaliban, oleh karena kebangkitan, kematian yang memalukan itu berubah menjadi
kematian yang berperan dalam penyelamatan umat manusia. Tanpa kebangkitan, maka kematian Yesus
hanyalah kutukan Tuhan, tetapi dengan kebangkitan, maka kematian Yesus sekarang dilihat sebagai suatu
peristiwa dimana pengampunan dosa umat manusia sudah terjadi. Tanpa kebangkitan, kekristenan tidak
pernah terjadi, para murid hanya melihat Yesus sebagai guru yang baik dan tidak akan pernah percaya
bahwa Yesus adalah mesias. Kebangkitan adalah fakta penting, karena kebangkitan menggenapkan
keselamatan kita. Yesus datang untuk menyelamatkan kita dari dosa, dan sebagai akibatnya
menyelamatkan kita dari kematian. Kebangkitan juga membuat perbedaan yang tajam antara Yesus
dengan semua pendiri agama. Tulang-tulang dari semua pendiri agama, selain Yesus, masih berada di
bumi, tetapi kubur Yesus kosong. Dampak dari kebangkitan, besar. Hidup menjadi memiliki harapan,
kehidupan lebih berkuasa daripada kematian, kehidupan pada akhirnya menang.
Tuhan telah menyentuh kita di sini, Tuhan telah mengalahkan kematian, musuh terakhir kita.
Kebangkitan telah mengubah  hidup para murid sebelum dan sesudah kebangkitan. Sebelum melihat
kebangkitan, mereka lari, menyangkal Gurunya. Mereka berkumpul dan bersembunyi dalam ketakutan
dan kebingungan. Setelah melihat kebangkitan, mereka diubah dari ketakutan menjadi rasul yang berani
dan percaya diri, menjadi penginjil yang mempengaruhi dunia, bersedia mati martir dan bersukacita
sebagai utusan Kristus.

Anda mungkin juga menyukai