Anda di halaman 1dari 54
SAKRAMENTOLOGI 1 DR. PETRUS MARIA HANDOKO SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOG! WwIDYA SASANA 2007 DAFTAR ISI SAKRAMENTOLOGI I BAB 1 DASAR ANTROPOLOGIS DAN TEOLOGIS 1.1 Dasar Antropologis: Manusia sebagai Makhluk Simbolis..... 1.2 Dasar Teologis: Prinsip Sakramental .. 1.2.1 Allah: Transenden dan Imanen ......... 1.2.2 Cara Komunikasi Allah: Melalui Roh dan Sabda .. : 1.2.3 Isi Komunikasi Allah: Tujuan Akhir dan Segala yang Diperlukan ...... 1.2.4 Komunikasi Dua Arab ...... jakramental, Simbolis .. 1.2.5 Sarana Komunikasi 1.3 Simbol dan Tanda .. : 1.4 Dasar Triniter: Dinamika dan Perwujudannya dalam Visi Regnosentris 1.4.1 Sakramen Alamiah 1.4.2 Sakramen Perjanjian Lama Co mh ROE 5 1.43 Sakramen Perjanjian Baru . 12 BAB II SAKRAMENTALISME DALAM SEJARAH 2.1 Kata “Mysterion - Sacramentum” 2.1.1 Dalam Dunia Yunani .. 2.1.2 Dalam Kitab Sui... 21,3 Pada Masa Para Bapa Gereja snes 2.2 Awal dan Perkembangan Teologi tentang Sakramen ... 2.2.1 Asal-mula: Santo Agustinus 2.2.2 Masa Skolastik 2.2.2.1 Definisi dan Jumlah Sakramen .... 2.2.2.2 Santo Thomas Aquinas 2.2.3 Teologi Sakramen Reformasi Protestan 2.2.3.1 Luther 2.2.3.2 Calvin 2.2.5 Pembaharuan menjelang dan dalam Konsili Vatikan I .. 2.2.5.1 Sakramen sebagai Misteri ... ~ 2.25.2 Sakramen sebagai Pertemuan Allah dan Manusia dalam Kristus .. 2.2.5.3 Gereja dan Sakramen-sakramen 2.2.5.4 Sakramen-sakramen dalam Sejarah Keselamatan ... BAB III KONSEP SAKRAMEN 3.1 Konsep “Sakramen” atau “Sakramental” ..... 3.2 Yesus Kristus sebagai Sakramen Dasar . 3.2.1 Dasar Teo-logis 3.2.2 Dasar Kristo-logis . 3.2.3 Dasar Pneumato-logis 3.2.4 Kesatuan Hipostatis: Sakramen Allah dan Sakramen Manusia 3.3 Gereja sebagai Sakramen Induk . 3.3.1 Gereja sebagai Sakramen Kristus, sakramen Induk ... 3.3.2 Sakramentalitas Gereja dalam Konsili Vatikan Il ..... 3.3.3 Perbedaan antara Sakramentalitas Kristus dan Sakramentalitas Gereja 3.4 Tujuh Sakramen 3.4.1 Dasar Penentuan Tujuh Sakramen 3.4.2 Pelayan Sakramen ... 3.4.3 Meterai atau Karakter Sakramental BAB IV PRINSIP-PRINSIP SAKRAMENTAL 4.1 Yesus sebagai Pelayan Utama Setiap Sakramen .. 4.2 Sakramen sebagai Sakramen Gereja 4,3 Sakramen sebagai sakramen Iman : 4,4 Sakramen sebagai Peristiwa sabda Allah 4.5 Sakramen sebagai Doa dan Kemuridan .. 4.6 Sakramen sebagai Sakramen Keselamatan (Mediasi rabmat Tlahi) Seiramentologi 1 Dab] Dasar Antropologis dan Teologis Tay BABI DASAR ANTROPOLOGIS DAN TEOLOGIS Ada kesinambungan antara struktur diri manusia dengan tatanan sakramental yang dipilih Allah untuk mengkomunikasikan rahmatNya kepada manusia. Hal ini tercermin dalam aksioma teologis “‘sacramenta sunt propter homines, "artinya sakramen-sakramen itu diberikan sesuai dengan kodrat dan keadaan historis manusia. E. Schillebeeckx mengungkapkan hal ini ketika berkata bahwa sakramen-sakramen itu “adalah cara insani pertemuan manusia dengan Allah.” Sakramen-sakramen itu diadakan oleh Allah demi manusia, dan sesuai dengan keadaan historis manusia dalam membangun relasi dan berkomunikasi dengan orang lain di dunia ini. Jadi, Allah membuat diriNya hadir bagi manusia sesuai dengan keadaan nyata manusia, Allah “turun” ke dalam keadaan manusia supaya ketika Allah berbicara kepada manusia, manusia bisa mengertiNya. Jadi, Allah menyesuaikan iri dengan “ungkapan” insani. Keadaan insani manusia itulah yang menyebabkan Allah mengkomunikasikan diri secara sakramental, S. Yohanes Krisostomus perkata: “Seandainya kamu bukanlah makhluk berbadan, Allah tidak akan memberikan anugerah badaniah dan tidak menggunakan bentuk yang kelihatan, Tetapi karena jiwa disatukan dengan badan, maka Allah memberi kamu anugerah rohani dalam kenyataan yang bisa diinderai.”” 1.1. Dasar Antropologis: Manusia sebagai Makhluk Simbolis Dasar antropologis sakramen-sakramen terukir dalam cara keberadaan manusia. Untuk mengerti dasar antropologis ini, perlulah melihat bagaimana manusia mengerti dan mengembangkan dirinya sendiri, bagaimana manusia membentuk relasi dengan orang lain dan bagaimana manusia mengungkapkan dirinya. Kebenaran yang paling mendalam tentang manusia ialah bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk relasional. Manusia adalah makhluk relasional berarti struktur paling mendasar dari manusia adalah“aku-kamu” dan bukannya “aku-soliter” seperti yang diungkapkan oleh Descartes. Kebenaran yang lebih mendasar tentang keberadaan manusia ini kita alami dalam hidup schari-hari. Kebenaran ini sekaligus menyangkal konsep “aku soliter” dari Descartes. Aku menyadari diriku dan mewujudkan disiku dalam relasi dengan orang lain. Dengan mengenal orang lain, aku menyadari perbedaan antara disiku dan diri orang lain, juga diriku lebih mengenal apa yang kumiliki yang berbeda dari orang lain Semakin banyak aku mengenal orang lain, semakin aku menyadari kekayaan diriku dan sekaligus juga kemiskinan diriku. Orang yang hanya mengenal diri sendiri atau satu dua orang lain, belum mengenal dirinya sendiri secara mendalam. SS hum. 16 "E. Schillebeeckx, Christ, The Sacrament of the Encounter with God, New York: Sheed and Ward, 1963, * Giovanni Crisostomo, Hom. 37 in Evang, Mt, 82,4. a. tasi dunia tu yang mengatast Ce da sesual transendensi dirinya vin “ak” eee ia mamPt rang disebut potentia Setain verb kept onal sb ai Se arahkan manusia stawalamsemestaini,yaituapaytrr arena di sroventi obedient san kerinduan ini tergantung ii Kemampuan ini dimungkit Allah. i induan dala send, Kemi vaitu keterbukaan kepada Anya. Bagi Z ‘tian manusia. Kerind m covet merindukan Allah dan ingin MENYSTY emmbangan Pent iri. pada banyak: fakor dalamdiri manusia, Oe sia untuk ‘menyempurn Giri manusia iilah yang mendorong ™* nya. Tubuh manusia bul oa j dan dalam ia secara historis nf an melalui dan da130 mnanusia secara h Relasi dengan sesama manusia sane kan dan mewujudka di evan orang li, aka berfungsi untuk mengungkapkan, MEnBlOrN ta inj, Joga dala ee engalaman batiniah yang dan memberi arti khas dari keberadeamye a weet . idak ada re alia itu melalui dan dalam shay scabatiniah. cali ti eared Gidea "Tubuh adalah wadah ekspresi dari ak wngkapan orporal itu tidak tidak tercerain a ea hase tubuh) iti, sehingea Uns Saar dai dalam membaca ekspresi tubuh (bdk. bahasa tubuh) Mt Ti act Maka! n Gicerap scar bai oleh orang lin, akibatnyatidak teralin oo omunikatif) dan mewujudkan arti mengungkapkan (ekspresif), ea ssamaannya dengan Oran lain. (representati, realizatif) dari “aku batiniah’” d vent i ir i ini tergantung pada kehendal Tidak seluruh “aku batiniah” diungkapkan aah tubuh, Hal ini are Panik oe manusiait sends, Kalaumanusa menghendastubu bis bers! ONS sedih. Tetapl batiniah,” misalnya dengan memasang senyum tetapi sebenarny’ bed tubuh jogs bisa sungguh mengungkapkan "aku batniah,” misalnya mengungkap kegembiraan dengan uapan kata-Kata dan rangkulan tangan. Idi, penggunaan tubuh ini tergantung pada “ehent dari “aku batiniah.” Karena tubuh itu sekaligus mengungkapkan, mengkomunikasikan dan mewujudkan “aku batiniah” tetap sekaligus menyembunyikan “aku batiniah” itu, maka bisa dikatakan bahwa tubuh bersifat “sakramental” atau sebuah simbol rill. ‘Tubuh adalah simbol-ril. Sebagai simbol tubuh mengungkapkan “aku batiniah.” Sedangkan kata “rill” ini berarti bahwa tubuh tidak hanya mempunyai peran informatif, tetapi sekaligus mempunyai peran mewujudkan (realizatif) secara historis “aku batiniah” itu. Keputusan atau kehendak dari “aku batiniah” hanya akan tinggal di angan-angan, jika tidak diwujudnyatakan melalui tubuhnya. Melalui tubuh “aku batiniah” diwujudkan atau diaktualisasikan secara historis-relasional. ‘Maka tubuh adalah tanda, ke-kasad-mata-an dari aku batiniah,artinya tubuh bersifat ekspresif. Tubuh sekaligus adalah tandarealizatif dari aku batiniah, dar tindakannya, dar pikiran dan perasaannya, dati pengaktualisasiandrinya. Dengan demikian dimensi badaniah (korporal) ini merupakan ungkapan dari ‘manusia yang satu dan lengkap, artinya bukanlah sebuah unsur yang bisa dipisahkan dari manusia, melainkan perwujudan konstitutif dari manusia selama hidupnya di dunia ini. Tubuh sebagai simbol-riil mengandaikan terlibatnya kehendak: (intensionalitas) manusia. Jika ‘manusia tidak menghendaki, tubuh tidak bisa menjadi simbol representatif dan realizatif dari “aku batiniah. 7 Tubuh | memang mengekspresikan aku batiniah sampai taraf tertentu, tidak secara otomatis berfungsi sebagai sarana mengungkapkan dan mewujudkan aku batiniah, sebab aku batiniah bisa “absen” atau tidak hadir meskipun tubuh sesorang itu ada di sini. Sebaliknya, aku batiniah itu tetap Sater 1: Bab] Dasar Antopologis dan Teologis tas bisa hadir bagi seseorang melalui tanda atau simbol, meskipun tubuhnya terpisth jauh oleh jarak ruangan Ketika manusia dengan tahu dan mau menggunakan tubuhnya ‘untuk mengungkapkan diri, rmengkomunikasikan dan mewujudkan dirinya, maka terjadilah pertukaran secara sadar dan dikehendaki antara dua pribadi. Pertukaran itu menandai terbentuknya relasi dengan manusia lain, yang ditandai dengan penerimaan, pemberian dri “pewahyuan” dan tangeapan secara aktif, Melalui realitas korporal ini terjadilah pertukaran dan komunikasi antar pribadi yang pada hakekatnya bersifat simbolis, Relasi ini akan menghasilkan "kami" yaitu persekutuan antara aku dan kav, Dimensi Korporal ini berguna sebagai sarana persekutuan dan pertemuan antara aku batiniah dengan “orang, lain”, Kualitas persekutuan aku-kau ditentukan oleh kualitas siapa aku untuk engkau dan kualitas siapa engkau untuk aku, Sifat relasional manusia juga menunjukkan bahwa ungkapan diri, komunikasi diri, dan perwujudan diri manusia tidak bisa dilakukan semau-maunya sendiri. Manusia hidup dalam bahasa (dalam artinya luas, termasuk juga budaya) dan ditentukan oleh bahasa, Bukan manusia yang menguasai bahasa, tetapibahasaitulah yang menguasai manusia, Artinya manusia harus tunduk pada kenyataan bahwa kata, sikap dan simbol yang diterimanya dan digunakannya untuk mengungkapkan, mengkomunikasikan dan mewujudkan dir sudah ada sebelum dirinya, dan dia secara pribaditidak bisa begitu saja secara semena-mena menciptakan simbol dengan maknanya sendiri. Jika hal itu dilakukannya, dia tidak akan dimengerti dan tidak terjadi pertemuan dan persekutuan, Memang harus juga diakui bohwa manusia tidak dikuasai secara buta oleh bahasa, tetapi manusia bisa juga secara ‘aktif menentukan bahasa atau ungkepan yang digunakan. Subjek manusia dan bahasa berkembang bersama. Hal ini harus terjadi secara perlahan dan dalam relasi dengan orang lain 1.2. Dasar Teologis: Prinsip Sakramental Selain dasar antropologis kite bisa juga menelaah dasar teologis dari sakramen. Dasar ‘mengupas alasan-alasan mengapa Allsh menggunakan sakramen sebagai sarana komunikasi dengan manusia 1.2.1, Allah: Transenden dan Imanen_ i satu pihak, tradisi Yahudi-kristiani menyatakan bahwa Allah dialami sebagai pribadi yang jauh berbeda dengan alam semesta ini, yang tidak sama dengan ciptaan, Dalam diriNya sendiri, Allah begitu berbeda dari manusia, sedemiikian rupa sehingga manusia tidak bisa mengerti Allah, Bahasa rmanusia tidak bisa menggambarkan Allah secara tepat dan penuh. Allah adalah Misteri yang Agung, yang tak terselami, yang tak terduga, yang Mahaagung, Mahasempurna, Sifat demikian itu disebut sifat Transenden dari Allah. Di lain pihak, tradisi yang sama mengatakan bahwa Allah itu tidak memisahkan diri dari manusia, bahwa Allah dekat dengan manusia, karena Allah yang satu dan sama itu ingin dan selalu ingin mengkomunikasikan diriNya kepada manusia. Penciptaan semesta alam mengalir dari kebaikan Allah dan Allah ikut terlibat secara aktif dalam sejarah manusia. Allah menampilkan diri sebagai pribadi yang peduli, memberikan perhatian kepada hidup manusia. Sifat ini disebut sebagai sifat hal 3 ‘Sakramentologs 1 Dab Dasar Aniropotogis dan Teologis Imanen dari Allah. ikasi langsu, F berkomunikasi secara ng Karena sifattransenden Allah, maka tidak mungkin ra dan kehadiranNya selaty dengan manusia. Pewahyuan diriNya, komunikasi kel am manusia mampu menangkap dan dilaksanakan melalui perantara, dan tidak secara langsung, dengan manusia, Allah harus turun ke mengert pewahyuan Allah ini. Untuk bisa berkomunikasi Gens ida tingkatan manusia, dan harus menggunakan bahasa dan ungkap can tidak mencapai sasarannya yaity demikian, maka pewahyuan diri Allah itu akan percuma Saja, S manusia 1.2.2. Cara Komunikasi Allah: melalui Roh dan Saba . dan metehi Allah mengkomunikastian dina dle dt 28 yaitu mela Alahbebicaratee! SabdaNya. Komunikasi melaluiRohNya disebut persemayaman 0 eer = kemampuan hati manusia. Komunikasi_ melalui SabdaNya banyak kita 7 dimana Allah berbicara kepada kemampuan akal budi manusia. Dalam penciptaan, Allah meniupkan RohNya ke dalam diri manusia agar manusia hidup. Roh Tabi yang tinggal dalam diri manusiasilah yang disebut sebagai potentia obedientialis. Rob inj tinggal dalam batin manusia dan secara halus mendorong manusia untuk merindukan Allah, yang Mahasempurna, Roh ini juga mendorong manusia untuk kembali kepada Allah. Roh menggerakkan ihanusia dari dalam melalui inspirasi batiniah atau dorongan hati yang memukau. Inspirasi atau dorongan hati itu bisa dibedakan dari dorongan insani belaka, sebab mengatasi dan seringkali ‘menakutkan dan berlawanan dengan keinginan insani biasa yaitu para ian akan pengalaman, ebagai pewahyuan diri nabi, Mereka itulah yang menyampaikan kehendak Allah melalui. kesaks Peristiwa,tindakan seseorang, Komunikasi Allah ini yang ton atau kehendak Allah, “ene Kernan dikenal 12.3. Isi komunikasi Allah: tujuan akhir dan segala i unikas An yang diperlu be iam kristiani mengaiarkan Dahwa Alloh mencintai manusia, ‘lst ile a sama dengan manusia dan mengarahkan Sejarah ini kepada Suatu akhir yang Pa ae sejarah ; nusi imya hidup bahagia "nuh kebahagiaan. shige talus Alhingiamenbava smh oe sce ettian So ‘ it dan secara radikal, ; ‘ah meraja dalam qi: «5 dan st . “ am kepenuhan Kerajaan Alar emua (1 Kor 15:29), Tujuan akhir int aise Jika diihat demikian, isi komunikasi Tika dil Allah pada prinsipnya ee oe bakes Allah pada prinsipn ji diriNya agar manusia hidup bahagia, Pemberian di ata Aah ieraii. Allah ingin Ini berlaky Untuk semua 5 ‘mentologi 1 Hab | Dasar Antropologis dan Teologis hal manusia, tanpa kecuali, Untuk mencapai tujuan akhir itu, Allah mengkomunikasikan rencana, peraturanNya, peringatanNya, Juge Allah mengkomunikasikan bimbingan dan pengarahanNya. Allah juga memberikan penghiburan, anugerah dan lain-lain agar manusia dikuatkan dalam perjalanan Kembali kepada Allah, Semua ini dikomunikasikan Allah dalam rangka pemberian diri Allah kepada manusia 1.2.4, Komunikasi dua arab | Ungkapan diri Allah kepada manusia ini tidak dilontarkan begitu saja. Penyataan iri Allah kepada manusia tidak bersifat paksaan sehingga seolah-olah manusia tidak bebas lagi untuk menyangkalnya. Penerimaan dan pengenalan mengandaikan dasariman, dan bukan berdasarkan bukti- bukti atau kepastian, Komunikasi itu diberikan oleh Allah kepada manusia agar manusia menanggapinya secara bebas, tahu dan mau. Gerak Roh dalam diri manusia mendorong manusia untuk menanggapi tawaran dari Allah. Kerjasama dan tanggapan manusia ikut menentukan terjadinya komunikasi antara Allah dan manusia. Allah tidak memaksa, dan manusia dipanggil untuk berpartisipasi aktif dalam rencana Allah. Jika seseorang percaya dan menerima bahwa Allah telah mewahyukan diri kepadanya (dalam “Sabda”), dan kemudian menanggapinya (dalam “Roh”), maka terjadilah proses komunikasi dua arah, suatu pertemuan atau dialog. Jawaban manusia biasanya terungkap dalam doa Komunikasi dua arah itu menunjukkan adanya dua gerakan, dari Allah kepada manusia (gerak dari atas ke bawah, mewakili “Sabda”) dan dari manusia kepada Allah (gerak dari bawah ke atas, mewakili “Roh”), Komunikasi Allah kepada manusia (dari atas ke bawah) terungkap secara resmi melalui para nabi. Sedangkan tanggapan manusia atas tawaran kasih Allah itu (dari bawah ke atas) terungkap dalam sikap batin manusia. Allah terus menerus menawarkan dan menyatakan diriNya, dan mengharapkan tanggapan manusia. Di lain pihak, kehendak Allah ini tidak sclalu lancar tetapi bisa menemui kendala-kendala dalam diri manusia. Yang menjadi pertanyaan, sejauh mana manusia bisa menjadi kendala bagi Allah Pengalaman menunjukkan bahwa cukup banyak manusia yang menolak untuk mengakui Allah dan mengikuti kehendakNya. Manusia menolak mengakui gerak Roh dalam dirinya. Dalam arti tertentu, Allah tergantung pada manusia, artinya kepenuhan kehendak Allah tergantung pada kerjasama dan tanggapan manusia. Tawaran Allah bisa saja ditolak dan disalahmengerti oleh manusia, atau efektivitas kehendakNya dihambat oleh manusia, 1.2.5. Sarana komunikasi: Sakramental, simbolis Pada awal telah dikatakan bahwa Allah tidak pernah mengkomunikasikan diriNya secara langsung (direct, immediate), tetapi selalu melalui perantara (mediasi). Hal ini terjadi karena ada ketidak-setaraan yang luar biasa antara Allah dan manusia. Agar dapat ditangkap dan dimengerti oleh manusia, Allah harus menggunakan mediasi-mediasi dari dunia ini untuk mengkomunikasikan maksudNya, rencanaNya, rahmatNya dan kehadiran diriNya. Mediasi itu bisa berwujud materi, kejadian dan upacara, dil. Karena materi, kejadian dan upacara tidak langsung jelas dari dirinya sendiri atau bersifat mendua, maka materi, kejadian dan upacara itu membutuhkan penafsiran yang menunjukkan makna intervensi Allah. Tanpa penafsiran itu, maka karya Allah cenderung disalah- mengerti. 1a 6 Ee TS ———— ch Allah untuk karyaNya, tday Sinan aren ; Mediasi insani-dut mata yang digi oe arena digt akan se kehilangan identitas insani- se sf ins dan tetap en RE ara, ih. Medias! Vehilangan keunikannya, namun demikian setaligus aera Mediasi itu ti da Allah. Dalam diri manusia atau kejadian-keed i ciel cand keke menunjuk Kepae ‘geurikan setiap orang atau setiap Kejadian. var cealigus sungguh mewojudkan kehadiran itu secara fil Inilah yang disebut sebagai “psinsp mee venggunakan mediasi insani-duniawi-kasad mata untuk : : eae dan untuk manusia. Mediasi itu menjadi tanda en ee kehadiran itu, Kata “sakramental” di sini harus dimengerti secara Iuas, dan bukan nye oh teknis-gerejawi seperti yang dimengerti dalam kaitan dengan tujuh sakramen. ae om bahwa seluruh sejarah keselamatan Allah untuk manusia di dunia ini menggunakan pnnsp sakramental” ini, Prinsip ini dikenal juga sebagai prinsip theandric (theos= Allah, andros = manusia). Prinsip ¢heandric ini juga diterapkan dalam Gereja (LG 8). niawi kasad iawinya karena keba ee i-duniawinya, atau “struktur sakramental” yaitu bahwa tuk menyatakan kehadiran dan karyaNya Prinsip atau struktur sakramental ini meneguhkan teologi Perjanjian Baru tentang “gambar” atau “citra.” Bentuk konkrit teologi ini nampak dalam penghormatan ikon-ikon dalam Gereja Timur. Dupa dan lilin yang diletakekan di depan suatu ikon sesungguhnya dipersembahkan kepada seseorang atau kepada mereka yang dipercayai secara rohani dan mistik hadir dalam gambar itu. Di Gereja Barat (Latin) kita bisa menyebut ikon Tritunggal atau ikon Kristus itu sebagai bersifat sakramental. Namun demikian harus disadari bahwa suatu "gambar" hanya merupakan bagian terbatas atau statis dari sakramen, sebab tidak ada unsur hidup yang hadir seperti dalam diri pribadi atau kejadian. Di lain pihak, harus diakui bahwaunsur gambar atau pembantu imajinasi selalu merupakan bagian dari diskusi tentang sakramen. Prinsip atau struktur sakramental ini diungkapkan secara jelas dalam teologi Gere} simbol. Simbol dibedakan dari tanda. Tanda adalah hanyalah indikator eerie Sedangkan simbol itu menandakan tetapi sekaligus juga menghadirkan, Karena itu Kerl Rahner berbicara tentang simbol-ril, artina simbol yang mengekspresikan sesuatu dan sekaligus mewujudken atau membentuk sesuatu itu. Uraian tentang dasar antropologis menjelaskan bahwa aku be ati jah diungkapkan dan diejawantahkan dalam kebadaniahan. Maka tidak bisa diperlawankan enter s yang melulu simbolis dan apa yang ri. antara apa Pengetahuan tentang media simbol itu tidak langsung membuka diti manusi ima tawaran dari Allah. Demikian pula, manusia tidak sanggup dari dirinya sendiri cnc aeaneres i ‘menerima tawaran Allah itu. Karya Roh yang tinggal dalam disi manusia mengambil prakarsa dan * Cara melihat relasi dan interaksi antara yang ilahi dan yang insani seperti itu disebut dengan banyak nama, misalnya sakramental (Congar, Pieris, C.S. Song), theandric (Congar dan Pannikar) dan epiphanic (Congar), Seringkali kemampuan untuk melihat yang ilahi di balik apa yang insani itu disebut juga sebagai sikap kontemplatf, yang dikatakan sebagai khas Asian, “ramentologi 1; Bab | Dasar Antropologis dan Teologis ie mendorong manusia untuk melihat apa yang ada di balik yang kasad mata dan menerima tawaran keselamatan (dir) Allah, Jadi, dengan meng-amin-idorongan Roh dan mengarahkan diri pada mediasi yang digunakan Allah, manusia menerima tawaran diri Allah dan menyatukan diri denganNya 1,3. Simbol dan Tanda Kata‘‘simbol” berasal dari bahasa Yunani “syn-bdllein” atau “symbolé,” artinya melemparkan bersama. Dalam bentuk transitif berarti menyatukan kembali, meletakkan bersama. Dalam bentuk intransitif berarti bertemu dengan atau mengenalkan diri, Ada dua arti yang digemakan oleh kata “simbol” yaitu pertemuan kembali dan kesepakatan atau kontrak. Kata ini dikaitkan erat dengan praksis kuno di mana simbol itu terdiri atas potongan (cincin, sebuah kertas serbet, meterai, uang kertas) yang dibagi dua dan masing-masing pihak memiliki satu bagian yang bernilai sebagai simbol. Tanpa bagian yang lain, suatu bagian tidak mempunyai arti. Simbol itu mendapatkan kepenuhan artinya pada saat suatu bagian disatukan kembali dengan bagian lainnya dan para mitra saling mengakui persetujuan yang telah dibuat. Kata ini digunakan dalam lingkungan Gereja untuk menunjukkan pengakuan iman yang sama (simbol para Rasul dan simbol nicea-konstantinopel) sebagai unsur pembeda dari orang-orang kristiani dan sebagai perwujudan kesanggupan memikul tugas sebagai bagian dari komunitas Kristus dan sebagai penerimaan butir-butir iman yang satu dan sama. Maka simbol dimengerti sebagai pengakuan iman yang mengarahkan pada persekutuan dalam komunitas dan mengikat pada tugas penuh eskatologis di dunia. Maka, secara semantik, ”simbol” mempunyai tiga fungsi, yaitu pertama, sarana penunjuk identitas atau pengakuan timbal-balik; kedua, sarana pertemuan atau komunikasi; dan ketiga, sarana menunjukkan tugas perutusan, seperti halnya perjanjian atau kesaksian. Sifat pertama yang mendasar dari sebuah simbol ialah bahwa simbol itu merupakan perwujudan kelihatan dari sebuah pengalaman batiniah yang mewajibkan suatu tanggapan dari hidup manusia. Simbol ini berfungsi untuk mengangkat pengalaman yang lebih mendalam dari eksistensi insani yang tak terungkapkan hanya pada tingkat konseptual atau kategorial. Artinya simbol itu membawa kita ke suatu "tatanan" yang lain daripada apa yang kelihatan, dan bahwa simbol itu sendiri merupakan bagian dari "tatanan' lain itu. | Sifat kedua yang mendasar dari sebuah simbol merupakan ungkapan yang membentuk dan mewujudkan persekutuan, Fungsi pertama simbol bukanlah memberikan informasi tetapi lebih pada membangunkan relasi yang meningkatkan pertemuan, pengenalan dan tugas. Simbol bersifat secara sangat mendasar interpersonal. Simbol adalah kesaksian persekutuan sekaligus operator persekutuan, Simbol mempunyai fungsi “e-vocare, pro-vocare, con-vocare.” Perbedaan dan persamaan antara simbol dan tanda bisa diuraikan sbb: SIMBOL — : 7 kaitkan dua pemberi arti 1 Mengkaitkan pemberi arti dg yang diartikan 1. Mengkaitkan : 5 atu tatanan lain >, Mengantar pada tatanan dimana simbol itu | 2. Mengantar ke su menjadi bagian 3. Merupakan sebuah tindakan komunikasi 3, Merupakan sebuah tindakan pengenalan ‘ a | 4. Tidak bisa dilukiskan secara rasional 4. Bisa dilukiskan secara rasional ‘Sebuah realitas bisa berfungsi baik sebagai simbol maupun sebagai tanda, sesuai dengan cara pengungkapan dan penghayatannya. Misalnya, sebuah bendera Indonesia sebagai bendera adalah tanda dari negara Indonesia, tetapi mengibarkan bendera oleh seorang tentara Indonesia merupakan simbol dari ke-indonesia-an mereka, simbol dari identitas mereka sebagai TNI, simbol dari tugas mereka mempertahankan tanah air, dll. Contoh lain, jika kata “rumah” digunakan untuk menunjuk pada konsep rumah, maka kata itu adalah tanda bahasa. Tetapi jika diterapkan untuk ungkapan kebersamaan identitas sebagai anggota tarekat atau ungkapan identitas suatu kelompok, maka kata “rumah” itu adalah simbol. Dalam arti tertentu, simbol itu adalah juga realitas yang disimbolkan itu sendiri, meskipun tidak bisa diidentikkan. Tanda tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan apa yang ditandakan, artinya tanda itu sendiri tidak termasuk dalam "tata-dunia" yang ditandakan, Ada perbedaan tatanan antara tanda itu sendri dan apa yang ditandakan, Tanda merupakan hasil persetujuan bersama, yang bise berlainan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lan. Pengertian yang diberikan tergantung pada “aturan permainan” yang telah disetujui dan dimengerti, Sedangkan simbol menyatukan dua kesatuan dari tatanan yang sama. Simbol menunjukkan suatu nai relasi, pertemuan dan keterlibatan antara di beri arti. Simbol melahirkan komunikasidan pengenalan bersama, artinya suatu tindakan yang, mengungkapkan dan mewajudkan suatu identitas dan tugas. Sedangkan tanda hanya memberiken “pengenalan” suatu transfer konsep atau informasi. Dalam perspektif ni, bisa dikatakan bahwa simbor berfungsi sebagai realitas dinamis, sebagai tindakan komunikasi-produksi; sedangkan tanda berfungsi sebagai realitas statis. Nilai dari tanda berada pada tatanan logika sedangkan nilai dari simbol interpersonal-afektif. berada pada tatanan icing ent bist menial simbol bia cilthatkaitannya dengan sesuata yang lin, sedangkan dalam irinya sendiri sesuatu itu menjadi tanpa arti dan bisa berarti apapun. Sebuah simbol yang diisolir, ‘menjadi tanpa arti. Sebuah pecahan botol dikenal sebagai pecahan botol karena "dlihay= dalam kebersamaannya sebagai sebuah botol yang utuh, Artinya, sebuah pecahan botol menjadi tidak berarti kalau dipisahkan dan diisolir dalam pecahanitu sendiri. Bisa dikatakan bahwa setiap simbol membawa Serta suatu sistem sosio-budaya tempat asal simbol itu. Namun demikian, simbol menunjuk pada "kekosongan" yang ada pada diri simbol itu sendir, yaitu kekosongan yang harus diisi oleh apa yang disimbolkan, yang berbeda dari simbol itu sendiri. f logis _ —amcnoTogi I: Bab I Dasar Antropologis dan Teo lisasi i lulu dan juga bukan pemerosotan bahasa, tetapi Maka simbolises bala i naga sia foergungkaplcan suai Kenyataan can menunjukkan kemamput fm menjabarkanny, Hubungan antara simbol dan apa yang disimbotkan lebih penuh daripada seset ata "seperti, tetapi menunjukkansuatu hubungan ntrinsik dan global eee ee alee sesuatu riil yang mengatasi manusia dan dunia manusiawi, dan a eet diungkapkan dengan bahasa manusiawi. Bahasa simbolis mengungkapkan suatu pore ksi suatu peranjian, suatu pengenalan antara dua subyek. Contoh: tepukan di babu, ciuman, tepuk tangan, dll 1.4, Dasar Triniter: Dinamika dan Perwujudannya dalam VisiRegnosentris | Prinsip-sakramental di atas berfungsi dari sejak saat penciptaan sampai pada, akhir| dunia, yaitu pada kepenuhan Kerajaan Allah. Prinsip sakramental terurai dalam dasar triniter, artinya bisa diuraikan menjadi prinsip teologis, prinsip kristologis, dan prinsip pneumatologis. Ketiga prinsip ini membentuk seluruh rencana keselamatan Allah ini menjadi visi regnosentris. Allah Tritunggal Mahakudus mengkomunikasikan diriNya kepada manusia melalui Sabda dan RohNya sejak saat penciptaan sampai dengan inkarnasi dan sampai pada akhir jaman, Segala sesuatu berasal dari Bapa, dari ungkapan kasihNya yang bebas dan berkehendak baik. Segala sesuatu diwujudkan dalam Putera Tunggal, dalam Dia, melalui Dia dan untuk Dia, Dialah yang mewahyukan Bapa dan memenuhi rencanaNya, Segala sesuatu dikerjakan dalam Roh, yang terus-menerus bekerja dalam sejarah insani untuk menyelesaikan rencana keselamatan Bapa. Jadi, karya Allah dalam sejarah bersifat triniter dengan skema “menurun” dan “menaik” yang mengikuti pola umum: semua dari Bapa melalui Putera dalam Roh, dan semua dalam Roh melalui Putera kembali ke Bapa. Skema yang diikutiialah “dari, melalui, dalam, menuju (ke)” (Latin: “a, per, in, ad”). Dinamika prinsip-sakramental dalam sejarah ini bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu pertama di luar lingkup Yahudi-kristiani atau disebut sakramen alamiah; kedua, di dalam lingkup Perjanjian Lama atau disebut sakramen Perjanjian Lama, dan ketiga dalam lingkup Gereja atau disebut sakramen Perjanjian Baru, 1.4.1, Sakramen alamiah Prinsip sakramental menyiratkan bahwa seluruh ken: if . us ikrai me lyataan alam semesta bersifat sakramental ae ieee Peristiwa, alam semesta itu sendiri, bisa sedemikian transparan sehingga hal- Erase a kehadiran Allah sendiri, Misalnya Keb 13, jelas menunjukkan Allah sebagai Pp an Ciptaan. Komunikasi Allah melalui Sabda (dari atas) terjadi ketika manusia akan Allahini ties i 7 sapere dan; akhirnya: mengenali Allah di dalamnya. Pengenalan untuk mengakui kemahaku; alamiah atau bahwa al bal 19 ogi I Bab | Dasar Antropotopis dan Teoloess sya dn ay Roh dalam dunia ten ‘Sabramentol : a esta atau P' inkarnasi dan kenail Pewahyan A a celuminkares danbaan ste intitusional eae Lovee re rans bekesja dantetap argh umat manusia sebelum wahyu, atay Yes een dan egiatn Tah dal rn an kehadiran dan kanye Isla tan e awinan dan santap bersama selaly i i dan bukan keistiani, sampat mat manusia bukan Yahudi dan bukan k sae ek sama se sett pade Toman sekarang ini, Persia keabian, Kematian, POU Ten alamiah ni tdak dipandang suci dalam kehidupan pribadi maupun komunitas. Kebet berhenti dengan adanya tahap berikutnya. aan dan kehidupan manusia bisa dimengerti secara sakramental, Karena dosa asal merusak manusia, maka, menurut Gerakan Ean pet fa mmanusia itu sendiri menjadi kendala bagi pewahyuan diri Allah. Hanya Sabi ea ie sn i dan tanda-tanda yang diberikan oleh Allah sendiri, yang bisa. memberikan kepastian. i lain pi radisi Yahudi Kristian’ selalu menekankan “ke-transparan-an ciptaan.” Ini menunjukkan bahwa prinsip sakramental perlu dibimbing oleh iman yang benar, karena tidak lepas dari bahaya kegelapan. Gerakan Reformasi meragukan apakah cipt Pencemaran dosa dalam diti manusia menyebabkan manusia tidak mampu menangkap pewahyuan dri Allah dalam alam semesta secara transparan, Komunikasi Allah melalui logos, Sabda (prinsip kristologis) gagal karena keterbatasan ciptaan dalam mencerminkan Allah menghalangi manusia untuk sampai pada pengenalan pribadi akan Allah. Kemampuan manusia untuk membuka diri kepada komunikasi Allah ini bukanlah karya insani melulu, tetapi diprakarsai oleh dan berasal dari Roh yang bekerja di dalam diri manusia (prinsip pneumatologis). Karena kecenderungan dosa dalam dirinya, manusia seringkali mensalah-tafsirkan pewahyuan diri Allah, dan tidak mampu bekerja-sama secara sempurna dengan Roh yang bekerja di dalam hati mereka. Akhimnya manusia tidak memberikan penyembahan kepada Allah yang benar (prinsip teologis), tetapi kepada berhala-berhala, Kesesatan- kesesatan ni isebabkan oleh keterbatasan cptaan maupun oleh kelemahan insani arena pengaruh = a disi manusia. Jac, baik Komunikasi melalui Sabda maupun melalui Rohnya mengalami 1.4.2. Sakramen Perjanjian Lama Dalam Perjanjian Lama, penerapan prinsip sakramental ini di a Fertana salranenyang mempuryaikeabsthanindvidval dan dtenaancloe eis deb a ‘ej pada stp orang pada setiap walt. Kedussakramen yang dates doe uses da isa cbagai tempat atau kejadian khusus dimana kebadran Alla dtemukan, Bends ee asian dita dalam hidup bersame sebagai ritus dan objek yang diinstitusikan, Semenn oe ek YEN8 nae a aah pencint di tengah ciptaanNya, Israel mengakui Kehadiran Allag tee eee yang lei pad Tabut Perjanian. Tanggapan Israel kepada Allah juga dic anbaa cee eee sakramental yang diakui oleh komunitas, yaitu sunat. Sunat dilihat sebeesi eee a” dalam bentuk keselamatan. gai tanda perjanjian dan tanda Pembebasan umat Israel dari penindasan Mesir juga dil ; d juga ditibat sebagai perist " bersift sakramental. Joga umat Israel senir sebagai umat Allah adalah satuen ape Be lipercayai sebagai hadir dan aktif berkarya dalam jemaat yang berkumpul unre merayakan pesta, hal. 11 Sakramentologi 1 Bab | Dasar Antropologis dan Teologis ketika mereka merayakan pertobatan dan ucapan syukur di tempat suci. isi Perjanjian Lama, tempat istimewa di mana Allah hadir ialah manusia. ar ane Bellab kia menjadikan manusia menurut gambar dan Tupa ae : Maka aan menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya as (Kej 1:26- 27). Diciptakan menurut gambar (Hibr: “saelaem") Allah mengandung arti men ees menghadirkan dan menjadi sarana perwujudan daya ilahi dari Allah. Citra atau gambar it jogs ‘menunjukkan tentang dimana dan bagaimana kehidupan ilahi dan kegiatannya, Karena itu, gam ea diperlakukan seperti Allah sendiri. Manusia, sebagai gambaran dan pahatan Allah Pencipta, adalah perantara kekuatan ilahi di bumi, Allah bisa ditemui dalam pertemuan dengan orang lain. Allah bisa dicintai dalam mencintai Sesame. Rasa hormat kepada Allah juga berakibat pada rasa hormat pada sesama, Muncullah sebuah Brinsip sakramental di sin, yaitu Ketika Allah diwakili, Allah tidak digentikan, Wakil atau gambar Allah itu tidak menggantikan suatu subyek yang “absen” tetapi wakil atau gambaran itu menunjuk kepada yang ril, dan bukan hanya berdasar pada imajinasi atau intelek. Wakil itu ‘menghadirkan Dia yang dalam dirinya dan dari dirinya sendiri tidak bisa dilihat dalam dimensi manusiawi. Dari sini juga menjadi jelas bagaimana sakramen atau simbol itu bisa mudah disalahmengerti atau disalahgunakan, Bisa terjadi bahwa manusia tidak dihormati dan dihargai sebagai citra Allah yang menghadirkan Allah, tetapi dihina dan dingiskan, Manusia bisa juga tidak menghormati dirinya sendiri schingea dia memperkosa hakikat dirinya yang simbolis, Thomas Aquinas (+ 1274) menyebut cukup banyak “sakramen-sakramen Perjanjian Lama," termasuk khususnya Domba Paska. Sunat dan Domba Paska, tanda-tanda keselamatan yang memainkan peranan dalam Kehidupan Yesus orang Yahuai itu, harus diakui secara jelas, Delang Pemikiran yang mulai bahkan sejak Paulus dan murid-muridnya, sakramen dari Perjanjian Lama dianggap sebagai sakramen yang sungguh, Namun demikian, sakramenita dipandang telah kehilangan Sesh dengan konsep yang masih dianut oleh banyak orang, yaitu bahwa Perjanjian Lame dihapuskan oleh Perjanjan Baru, dan bahwa Gereja sebagai Israel bara telah menggantikan Inact lama, Konsep fakfamen ini sama sekali tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa jai} tidak bise ditarik kembali (Rom 11:29), dan bahwa Allah tidak pernah menghapuskan baik perjanjian dengan orang Yahudi, maupun perjanjian dengan orang-orang sebelum ie (perjanjian dengan Nuh). Maka mungkin lebih tepat dikatakan bahwa Sakramen Perjanjian Lama itu tidak dihapuskan dan masih berlaku (efektif) untuk orang Yahudi. Sakramen Perjanjian Lama itu disempumnakan, dan fede bentuk yang sempura dar Sakramen Perjanjian Baru itulah semua sakramen Perjanjian Lama iarahkan, Kalau Sakramen Perjanjian Lama ini kita uraikan dengan prinsip sakramental, maka bisa dikatakan bahwa Allah mengkomunikasikan SabdaNya melalui para Nabi atau melalui Sabda Allah ene ed | ee Sairmnenolont ; dalam diri manusia Yesus mencaPh ee Dalam diri manusia Yesus Jjam alam CP enyadari bahvra Dia menjad re dera manusia dan mengantar 1.4.3, Sakramen Perjanjian Baru ee pewahyuan dri Allah kepada umat manusi® dari Nazareth, yaitu inkarnasi Sabda Allah masuk ke oe itulah, Allah mewahyukan diri kepada umat manusi®, © 0% seca. in hyu otentik dari kehendak Allah. Ia berbicara langsung reer bak jaran maupun tindakan nanusia masuk ke dimensi yang lebih mendalam. Seluruh hidu ea epada,manusia. dan sarang dan semua mukjijatNya, menjadi sarana pewahyuan dint Ala raksis Yesus yang menolong, kehadiranNya di tengah manusia dalam bentuk yang paling Je. Contoh sikap Allah kepada menyembuhkan, membebaskan, mendamaikan antar manusia, Oe ff Namun kecitraan ini terwujud inanusia, Memang setiap manusia adalah citra dan gambaran Alla ih menja samen sear paling Sempura hanya dalam di Ve ase bee Saree hambatan sedikitpun untuk Allah, Dalam diri Yesus, segalanya dimiliki oleh Allah schingga tidak a memancarkan dan mencerminkan Allah kepada manusia. ‘asikan dirinya pada level manusia, kehadiran unik dari Allah ini tidak Allah itu tetap menyimpan an dengan cara yang sangat Di satu pihak, kita mengenal Allah yang mengkomunil sehingga bisa dicerap dan dimengerti oleh manusia. Di lain pihak, memaksa manusia untuk mengakui dan percaya. Kehadiran | “ketersembunyian” Allah. Kedekatan Allah pada manusia disampaiki sederhana, bahkan cara yang merendahkan yaitu mati di salib (bdk. 1 Kor 1:18-30). Rob yang sudah berkarya sejak penciptaan, juga berkarya di dalam diri Yesus. Roh Tuhan inilah yang secara sempurna memenuhi dan membimbing Yesus untuk mampu melaksanakan kehendakNya secara sempuma. Keinsanian dan kebadaniahan Yesus yang dipenuhi dan dihidupi oleh Roh (bdk. Luk 4: 1.18) menjadi sarana Allah menyelamatkan apa yang insani dan bisa mati (mortal). Dalam diri Yesus dan melalui Roh ilahi, apa yang insani dan bisa mati dijadikan pneumatis dan dibebaskan dari keterbatasan ruang dan waktu. Berdasarkan prinsip sakramental, kta bisa mengatakan bahwa komunikasi dri Allah secara sempurma terjadi dalam Sabda yang berinkarnasi, yaitu dalam diri Yesus (prinsip kristologis). Dengan ini, Yesus menjadi sakramen Allah, Sedangkan tawaran Sabda ini diterima dan ditanggapi secara sempurna oleh manusia Yesus yang dipenubi dan dibimbing oleh Roh (prinsip pneumatologis). Yesus menjadi wakil manusia dalam menanggapi tawaran Allah. Dengan ini Yesus menjadi s,lcamen manusia. Maka bisa dikatakan bahwa kedua cara komunikasi Allah mengalami ki maan Bervajudannya dalam di Yess dan just karena itu Ysus bisa sungguh menjadi salramen Allah sakramen manusia. Karena Yesus sungguh dipenuhii dan dibimbi i sungguh meraja di dalam diri Yesus. Yesus menjadi Pensuin eet EAN teologis), Karena itu, Yesus menjadi sacrament par excellence (sakram yaalaan Allah (prinsip dan disebut sebagai Sakramen Dasar. Sn Yang paling istimewa) Sakramentalitas Yesus inilah yang dilanj ji : ijutkan oleh Gereja. Den; iki ja di setae Sskramen Induk. Sakramentalitas Yesus yang, dilanjutkan cite Sores iuraikan. ‘menjadi tujuh sakramen sesuai dengan tahap-tahap hidup manusi icin akan Ser ares dalam bab tae? 'P manusia. Butir ini akan kita bahas Saeramentol 7 Sakramentlisme dalam Sejarah fal. 13 BAB IL SAKRAMENTALISME DALAM SEJARAH ‘Untuk mengerti arti“‘sakramen” kita perlu pertama-tama melihat arti kata “sakramen” danasal penggunaannya. Latar belakang munculnya kata “sakramen” dalam khasanah teologi kiranya bisa memberikan masukan yang berharga tentang makna kata “sakramen” itu sendiri. Selain penelusuran etimologis, konsep sakramen bisa dimengerti dengan baik jika kita melihat bagaimana munculnya teologi tentang sakramen dan dinamika perkembangan teologi sakramen itu dalam sejarah. 2.1. Kata “Mysterion - Sacramentum” Kata sakramen dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Latin “sacramentum.” Sedangkan kata “sacramentum” adalah terjemahan dari kata Yunani “mysterion”. Menurut beberapa penulis, kata ini berasal dari kata kerja myein yang berarti menutup mulut atau mata sebagai reaksi atas pengalaman yang mengatasi nalar, suatu pengalaman yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sedangkan penulis lain mengatakan bahwa berasal dari kata kerja myein yang berarti memprakarsai sesuatu, mengajar, membuat tahu. Pada umumnya, jelas bahwa kata my'sferion merujuk pada sebuah kenyataan rahasia, tersembunyi, yang tidak bisa dimengert, tidak bisa dinalar, yang tidak dibuka. 2.1.1, Dalam Dunia Yunani Dalam dunia Yunani kata mysterion digunakan dalam tiga cara, yaitu dalam ibadat, filsafat dan gnostik. Dalam lingkungan ibadat, kata mysterion digunakan hampir selalu dalam bentuk majemuk, Kata itu berarti ibadat rahasia, atau lebih tepatnya perayaan ibadat secara keseluruhan. Melalui ibadat ini diberikanlah keselamatan kepada mereka yang menjalani upacara inisiasi. Dalam beberapa ibadat juga diberikan pencerahan rohani, kelahiran kembali jiwa dan bahkan kesclamatan setelah kematian. Dalam dunia filsafat, khususnya mulai dengan Plato, kata ini lebih mempunyai arti doktrinal dan kurang liturgis. Mysterion merujuk pada kebenaran-kebenaran yang tak terselami, Kebenaran ini tidak bisa dicapai dengan kemampuan nalar manusia tetapi ids ibadat rahasia. Kebenaran ini adalah junia, n i bisa dicapai melalui suatu perjalanan dalam jalan yang membawa kepada pengenalan akan dasar ilahi Dalam lingkungan Gnostik, kata ini berkaitan erat dan mendalam dengan mitos penebusan eae cal yang Tohani. Mysterion berarti pengenalan mistik, pencerahan, kebijaksanaan, dan itu sendiri, yang mampu membebaskan dan menyelamatkan benih ilaht m dit fname ye y ‘an benih ilahi yang ada dalam diri Kitabisa menyimpulkan bahwa makna mysteri it alan y amen a mysterion pada dasarnya berkaitan dengan pengalaman ‘ang Iahi, yaitu suatu pengalaman batin yang tak terlukiskan dengan kata-kata sebagai buah Sarramentologi 1: Bab IL Sorromnenalisme dalam Se jarah perjumpaan dengan Yane Tabi. 20 kali, dan hanya muncul dalam buku-buky ey helenistis. Misalnya Tobit, Yudith, Kitab Suei 22 a i kata mysterion muncl ks Perjanjian Lama, kata inj Dalam Perjanjian Lama, : yang seb kemudian, yaitu yang terkait dengs? a aia Yehyaksanean, Puera Sirakh, Daniel dan 2 Makabe, Dla Kom ang sets, dimengerti lebih dalam arti filosofis dan umum, yaitu meryju! ae kata ini mendapatkan makna rahasia, tidak diketahui oleh orang lain. Pada dua teks Pe ldanko rat kebijaksanaan dalam ar gang agakkhusus Pertama, Keb 6:22 berbicara tentang asa ar insas) Sag fiberikan Allah kepada semua orang (bukan hanya orang yan e ee eaioest a Dan 2:27-30. 46-48, yaitu kisah terkenal dimana ‘ohonan setiap orang, Kedua, 0 sah terk ; ‘Daniel menguak rahasia mimpiraja, Disini kata mysterion rmulai mendapatkan at a estos atau hal-hal akhir jaman yang telah ditetapkan oleh. Allah. Maka kita’ bisa menyimpu can bahwa calm Perjanjian Lama kata mysferion menunjuk pada Allah yang mendekati manusia untuk menyatakan diriNya atau rencana keselamatanNya dalam sejarah Dalam Perjanjian Baru, Kata mysterion digunakan sebanyak 30 kali, dan khususnya sangat banyak pada surat-surat Paulus. Kata mysterion mempunyai arti yang sangat fundamental untuk mengert teolog bibs tentang sakramen, Dalam Injil Sinoptik kata ini hanya digunakan satu kali dalam Mrk 4:11 dan dalam dua teks paralelnya yaitu Mat 13:11 dan Luk 8:10. Dalam ketiga pemunculannya, mysterion merujuk: pada kedatangan Kerajaan Allah dalam Yesus dan tawaran untuk menjadi muridNya. Para murid ini dibedakan dari orang lain karena mereka “sudah mengetahui dan mengambil bagian dalam misteri yang diwahyukan oleh Allah secara cuma-cuma. Inilah dimensi ‘an Paulus akan mencapai puncaknya: mysterion Iaistologis dari mysterion yang dalam uraian-ura kerajaan Allah adalah Yesus Krstusitu sendiri, dalam fungsinya sebagai Mesias, Bagaimans Paulus mengidentifikasi mysterion dengan Yesus Kristus? Dalam surat-surat paulin, kata mysterion digunakan cukup sering, yaitu 20 atau 21 kali dengan lingkup yang sangat las, mula dari surat-surat yang lebih kuno (Tes, Kor, Rom) sampai surat-surat yang dikirim dari penjara (Kol dan’ Ef) dan surat-surat pastoral (1 Tim). Tanpa meneliti secara cermat eksegese kata mysterion dalam teks-teks tersebut, kita bisa merangkum pandangan Paulus tentang mysterion dalam tiga butir berikut ini: Pestama, mysterion pertama-tama menunjuk pada rencana ilahi keselamatan (1 Kor 2:7-10; Rom 16:25-26;Kol|:26-27;Ef1:9-10;3:3-32), rencana yang mencakup panggilan orang Yehudi dan orang-orang kafir (Rom 11:25), predestinasi dalam Kristus dan rekapitulasi dalam Dia dari segala sesuatu (Ef 1:9-10). Kedua, rencanarahasi ini yang ttaptersembunysejak kek, telah dinyatakan melelui Roh Kudus, dan dibertakan kepada segala bangsa ata Kehendak Allah, agar semus orang bisa meliat harta kebijaksanaan dan pengetahuan Allah, Allah ini telah memikirkan sejak semula rencana keselamatan universal ini untuk menemui manusia dan memasukkannya dalam persekutuanNya. hal. 15 i ilahi ini telah di jiaktualkan secara penuh tiga, karena rencana ilahi keselamatan ini telah diwahyukan dan diaktu h dalam 4 "ang berinkarnsi disalibkan dan bangkit, Kristus sendiri disebut oleh Paulus sebagai Misteri, yaitu Misteri par excellence dari Allah Bapa (Kol 2:2; 4:3; 1 Kor 1:23; 1 Tim 3:16) Maka bisa dikatakan bahwa Paulus sungguh sudah sangat berjasa dalam membentuk konsep sakramen. Dengan demikian, kata mysterion dalam Perjanjian Baru telah mendapatkan arti baru, yaitu dari arti somula “rencana keselamatan universal” yang telah disiapkan oleh Allah menjadi “Yesus Kristus sebagai pemenuhan” dari rencana keselamatan Allah itu. Dengan demikian, Yesus Kristus menjadi Sakramen Agung. Dalam pribadi dan pelayanan Yesus Kristus bisa ditemukan rangkuman pewahyuan dan pengaktualisasian dalam rencana keselamatan kekal ini. 2.1.3. Pada Masa Para Bapa Gereja ; Pada masa para Bapa Gereja, kata mysterion mendapatkan arti baru, Beberapa Bapa Gereja sesudah masa para Rasul, misalnya Ignasius dari Antiokia (+107), Yustinus (+165) dan Meliton dari Sardo mengangkat kembali gagasan Paulus bahwa Kristus adalah mysterion Bapa. Gagasan itu diperiuas, bukan hanya pada pribadi Yesus, tetapi mysterion juga mencakup peristiwa-peristiwa historis Kristus, kata-kata dan tindakariNya, sebab dalam hal-hal inilah terwujud secara konkrit rencana keselamatan Allah. Secara khusus disebutkan sebagai mysierion kehidupan Kristus yaitu kelahirannya dari Perawan Maria, penyalibanNya dan kebangkitanNya. Pada masa para Bapa Gereja ni, kata mysterion mulai juga diterapkan untuk sosok-sosok dan para nabi dari Perjanjian Lama, khususnya yang berkaitan dengan Mesias yang akan datang, Misalnya, pelarian ke Mesir, anak domba paska, nama Yosua, penyunatan pada hari kedelapan, dll. Semua itu juga disebut mysterion dalam arti mengarahkan, dalam arti tersembunyi, kepada misteri Kristus. Di sini mysterion praktis merupakan padanan kata dari simbol, artinya suatu antisipasi tersembunyi, tetapi rill, dari sesuatu yang akan terjadi dalam sejarah. Cara berpikir typhos-antityphos seperti ini sangat umum di antara para Bapa Gereja Yunani, Di samping dua makna di atas, ada makna ketiga yang ditampilkan oleh Sekolah Aleksandria, Makna ketiga ini banyak dipengaruhi oleh aliran gnostik-platonis. Makna ketiga itu ialah mysterion sebagai kebenaran yang tersembunyi dari agama kristiani, __ Clemens (+215) menggunakan kata itu lebih dari 90 kali, dan pada umumnya mengartikan kata itu sebagai kebenaran atau kenyataan yang tersembunyi. Pengertian ini diterapkan khususnya pada teks-teks kitab suci yang sulit dtafsirkan. Origenes (+254) menekankan lebih lagi pengertian filosofis ini. Bagi Origenes, semua kenyataan adalah mysterion dalam arti merupakan ungkapan yang kelihatan dari dunia yang tidak kelihatan. Sangat fundamental menyadari perbedaan antara Mister GGengan huruf besar) dan misteri-misteri. Misteri (dengan huruf besar)ialah tiga perwujudan dari Inkarnasi, dalam Gereja, dan dalam Kitab Suci. Misteri ialah ritus-ritus liturgi dari i, antara lain Baptis dan Ekaristi. Sabda yaitu dalam i komunitas kristiani ee abad III, kata mysterion diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi sacramentum ‘am Kitab Suci Latin yang tersebar di Afrika. Para Bapa Gereja Latin menggunakan kata ay 9¢ dala rah acto Bab Selramestaism dalam Sejar at dekat yaitu mysterium yang ada kata ye sdigunakan, tentu maknanya sang Kata mysterium tidak digunakan karena untuk, kata mysterium banyak digunakan Oleh jentum \ebih disukai dan digunakan, ‘ebenarnya, dalam bahasa Latin yang sama, Seandainya kata mys! akna yang lebih tepat. ‘mungkin muncul, karena kafir. Maka, kata sacra Si ‘sacramentumn. berasal dari akar kata yany dekat dan dapat memberikan m tmenghindari kebingungan yang ibadat-ibadat misterius dari agama sacrum. Kata sacrare dalam agama sacrare, “ Katalatn saeramentum berakar pada kata SOO” atu benda Ke alam suci, sacrum i berarti pemindahan legal seseorang dan kewajiban khusus Saar dunia profin ke dunia suci ini membawa serta hak i yang diberikan oleh dewa-dewa. Penulis pertama yang menggunakan kata Latin. sacramentum Ca tee Lee sakramen kristiani ialah Tertullianus (+240). Dalam budaya Latin, oe papers yang diucapkan oleh para prajurit kepada bendera negara. Sumpah i fasta te vj ga menguduskan diriprajurit yang berssangkutan bagi negara dan para dewa. Dalat eanalog denn makna di atas, Tertullianus memprakarsai menyebut Baptis dari orang-orang, yang ertobat menjadi ‘aistani itu sebagai sacramentum. Seperti halnya sumpah setia prajurit, Baptis itu seringkali juga mengandung resiko membahayakan hidup mereka karena mereka mengakui iman pada Allah dari Yesus Kristus dan rela melayani Dia. Makna baru dari mysterion-sacramentum ini kemudian diteruskan oleh para Bapa Gereja sesudah itu dan diperluas mencakup Ekaristi dan semua ritus kristiani lainnya. Dengan makna baru ini kemudian menjadi umum dalam bahasa teologis dan gerejawi, 2.2, Awal dan Perkembangan Teologi tentang Sakramen Sebelum Skolastik, bisa dikatakan tidak ada refleksi sistematis ter i 0 ntang sakramen. Pengajaran tentang sakramen dimasukkan ke dalam katekese. Sakramen-sakramen dihayati sebagai bagian dati hidup kristiani sehari-hari. Pentis : it i bid ingnya sakramen-sakramen ditekankan dalam mistagogi ‘tentang hidup Kalau kita mau meneliti teologi tentang sakr: it Aumsaya pads Sone Ae rN ‘6 sakramen, kita harus kembali ke milenium pertama, i Hippo ini tidak memberikan ur i . Pemikiran fl Yaitu signum sacrum, Verbum visible goes tentang ; ya pemikiran Filsafat sakramen Cooke? tentang sakramen atau Christus totus 's@ dirangkum dalam tiga butit, Signum sacrum. De sebagai tanda yang keliha be filsafat Ne " itan | leo-pl; i 5 Kelihatan. Sebuah sacramen er tanda yangkelnate oS Agustinus meman im adalah signum 2808 menghadirkan ken ‘enyataan yang tidak rum, yaitu Sebuah tanda Yang dimaksudkan oleh Sahromentotoge 1 Dab Sakramentalisme dalam Sejerah ta 17 Allah untuk menunjuk kepada kenyataan ilahi (res divina) dan mengemban realitas itu dalam dirinya senditi, Kenyataan ilahi itu (res divina) ada di balik apa yang kelihatan, apa yang, bisa ditangkap oleh indera kita, Pemikiran Agustinus mempengaruhi dan masih tetap dominan pada teologi Barat. Dalam semangat Agustinus ini, teolog-teolog pre-skolatik memahami sacramentum sebagai suatu bentuk kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan (invisibilis gratiae visibilis, ; forma). Verbum visibile. Agustinus melihat hubungan yang erat antara unsur materiil dari sakramen (air, roti, anggur, minyak) dan kata-kata yang diucapkan. Kata-kata ini berguna untuk menafsirkan, rmenghilangkan keraguan dan menunjukkan secara tepat apa yang dikehendaki Allah. Tanpa kata-kata, air akan tetap tinggal air. Kata yang menyebabkan terjadinya sakramen adalah kata yang diucapkan oleh Gereja. Jka kata-kata itu diucapkan atas unsur materil, maka terjadilah sakramen itu, khususnya Baptis dan Ekaristi, Maka sakramen bisa disebut sebagai “kata yang nampak” (verbum visibile). ‘Agustinus melihat kemiripan hal ini dengan misteri Kristus, yaitu Sabda Allah yang menjadi manusia. Christus totus. Kenyataan tak kelihatan yang ditunjukkan dan dihadirkan oleh sakramen bukan hanya rahmat, tetapi Christus totus, artinya, keseluruhan Kristus, yang terdiri atas Kepala dan anggota-anggotaNya (Gereja) dalam Roh Kudus. Agustinus menyatakan bahwa Christus totus-lah pelaku yang sesungguhnya dan aktif dari sakramen. Maka setiap sakramen selalu merupakan tindakan Gereja, artinya bersifat eklesial. Akan tetapi, karena Yesus Kristus adalah pelaku sesungguhnya dari sakramen-sakramen, maka kenyataan batiniah dan buah-buah sakramen tidak bisa dibatalkan atau dirusak oleh pelayan-pelayan yang tak layak. 2.2.2, Masa Skolastik Pengaruh teologi sakramental Agustinus dalam Gereja Barat bisa ditelusuri pada seluruh jaman pertengahan, jaman modern dan jaman sekarang. Gagasan pokok Agustinus diulang-ulangi sampai abad XII tanpa perkembangan yang berarti. Pada jaman Pertengahan, teologi: sakramen bersifat sangat legalistik dan ritualistis. 2.2.2.1. Definisi dan Jumlah Sakramen ‘Ada dua masalah besar yang harus dihadapi dan dipecahkan oleh para teolog Skolastik yang mewarisi masa Patrstik, yaitu pertama, definisi yang sama tentang sakramen (apakah sakramen itu?). Kedua, penentuan jumlah sakramen (berapa dan yang mana adalah sakramen-sakramen?). Dua permasalahan itu saling berkaitan, karena hanya dengan memiliki definisi yang jelas tentang apa itu sakramen, maka kita bisa dengan lebih tepat menentukan berapa jumlah dan yang mana sakramen itu, Perlu diingat bahwa pada masa itu, ibadat dan ritus berkembang banyak sekali dan banyak yang secara umum disebut sakramen. Petrus Damianus (+1072) menghitung ada 12 sakramen, termasuk perkawinan dan pengudusan raja-raja. ‘Ada beberapa usaha untuk merumuskan sebuah definisi lengkap dari sakramen, antara lain yang patut kita ingat secara khusus ialah definisi dari Petrus Abelardus (+1142), yaitu “Sakramen adalah sebuah tanda kelihatan dari rahmat yang tak kelihatan.” Sedangkan Hugo dari San Victor (+1141) mendefinisikan “sakramen adalah sebuah unsur materiil yang ditampilkan secara lahiriah dan hal TG Fairamentalisme dalam Sejerah. jhmat yang tak-kelihatan q, ee dirkan, mengartikan dan mengandung si pak definisi sakramen sebagai elihatan, Y8N8 ne (#1160), Uskup Pass, khimya 5 an tak kelihatan menurut car si” es A oy beak Klan dai hmel OE ia.” Tanda yang dnb “anda dari 7a tanda itu menjadi ene sen penganduS dan menyebabkan rahmat jemi kemiripan, Tanda itu m cam berdasarkan sema rohan yang tk keliatan. : ; n telah me ardus untuk pertama kalinya dalam sejarah teolOB aE Iain, me rie Peinis Loma vm) dengan pengertian “sebab” (causa). Denges It Sh etpun tian “tands Seer ‘Agustin, Petrus Lombardus mengidentifi Renee dai mengikuti lls Jadi Tanda yang diambil bendasarins sot ae ten, Memundt Pets sakramen, 7 it rohani yan menghadirkan, mengandung ea Sia err tetapi juga menyebabkan rahmat Lombardus, sakramen yang sjati lah Petrus Lombardus berhasil secara definitit itandak sur Kausalitas ini s ne a eatesmen-sakramen, Sakramen-sakramen yang menyebabkan rabmat ada tyjuh ere apts, Krsme, Ekarist, Pengampunan, Pengurapan Orang Sakit, Tahbisan dan Perkin ‘ambangan Petrus Lombardus pada pembentukan pengertian sakramen sangat besar, karena ck ifean Petrus Lombardus ("Sentences") digunakan sebagai buku pegangan bagi universitas teologi dari abad XIII sampai abad XVI. Namun, definisi tentang sakramen sebagai tanda-sebab pada akhimya membawa teologi- teologi seaudahnya mempersoalkan tentang bagaimana cara dan sarana yang, digunakan sakramen- sakramen itu untuk menyalurkan rahmat tersebut. Pada intinya, permasalahan berkisar pada mencari penjelasan bagaimana mungkin unsur-unsur kodrati mampu menghasilkan buah-buah adikodrati, Jika hasil itu sesuai dengan sebab yang bersangkutan, bagaimana bisa dijelaskan bahwa sebuah upacara badaniah bisa menjadi sebab dari anugerah rohani? Dalam khasanah teologi, cukuplah kalau kita melihat teologi dari dua pendapat utama, yaitu dari Wilhelm dari Auxerre (+1231) dan Wilhelm dari Auvergne (+1249), Wilhelm dari Auxerre ‘mengakui efektivitas sakramen dalam memberikan rahmat, tetapi bukan sebagai causa efficiens, melainkan lebih sebagai causa materialis. Dengan kata lain, sakramen-sakramen itu tidak secara langsung menghasikan rahmat dalam jiwa penerima, tetapi menyiapkan sikap batinjiwa untuk ‘menerima rahmat. Sedangkan Wilhelm dari Auvergne berpendapat bahwa pemberi rahmat satu= satunya hanyalah ini, inil ian dil sauna yal Ah sendir. Dua pendapat inilah yang kemudian dikembangkan oleh Santo Tomas 2.2.2.2. Santo Tomas Aquinas ema re aaa Asotin, Santo Tomas mengangkat ‘kembali danmenyempurnakan ee at mpi ie sep benda yang bisa diinderai manusia merupakan hasil al, 19 Sairamentologi 1 Bab li Selramentaisme dalam Sejarah Santo Tomas menyatakan dengan tegas bahwa sakramen adalah tanda dari rahmat Allah yang tak kelihatan tapi sckaligus yang menyebabkan rahmat Allah (Signum efficax gratiae). Causaefficiens principalis (penyebab utama) dari keselamatan kita hanyalah Allah sendiri atau Kristus sendiri (selalu Galam arti bersama Gereja), Namun demikian Allah bertindak dengan menggunakan cause secondarie, cause efficienti instrumentalis. Contoh, pertama-tama ialah kemanusiaan Kristus, kemudian juga pelayan insani dan pelayanan sakramen-sakramen. Cause secondarie mencakup causa materialis, causa formalis, causa instrumentalis (pelayan sakramen). Kristus adalah sang Kepala, sedangkan sakramen-sakramen adalah kepanjangan tanganNya yang secara langsung membawa keselamatan kepada mereka yang menerima sentuhan tangan itu. Di sini Santo Tomas mengkaitkan secara langsung efektivitas dari sakramen-sakramen itu dengan tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh Kristus dalam kodrat insaniNya. Tsi dari sakramen-sakramen itu didasarkan pada peristiwa istimewa dari hidup Kristus, yaitu misteri Paska ‘Apa yang telah diwujudkan oleh Sang Penebus sekali untuk seluruh umat manusia dengan wafat dan kebanekitanNya, sekarang dikomunikasikan kepada setiap manusia melalui sakramen-sakramen. Bagi ‘Tomas, tanda sakramental mempunyai makna tige-ganda. Pertama, sebagai tanda kenangan (signum rimemorativum), yaitu kenangan akan peristiwa keselamatan yang dilakukan Kristus. Kedua, sebagai tanda penunjuk (signum indicativum), yaitu mewujudkan pada masa sekarang peristiwa keselamatan itu. Ketiga, tanda ke depan (signum prognosticum), mengingatkan akan tujuan akhir yang menjadi tujuan keselamatan yang diberikan dalam sakramen. ‘Menurut Tomas, kita bisa membedakan tiga hal dalam sakramen. Pertama, tanda lahiriah, yang terdiri atas materia dan forma. Tanda ini hanyalah tanda dan bukan isinya. Tanda ini disebut sacramentum atau sakramen lahiriah. Isi yang ditandakan atau hasil akhir dari sakramen itu ialah rahmat Allah, Rahmat Allah ini bukanlah tanda dari sakramen itu. Hasil akhir atau rahmat Allah ini disebut res sacramenti. Akhirnya, di antara kedua hal itu adalah res et sacramentum, yaitu apa yang dinampakkan oleh sacramentum, tanda lahiriah dan yang secara langsung menghasilkan rahmat Allah. Res et sacramentum ini disebut juga sakramen batiniah Butir lain yang menonjol ialah ajaran ex opere operato (Christi), artinya dengan kekuasaan dari ritus yang dijalankan, Ajaran ini menegaskan bahwa sebuah sakramen dipastikan akan terjadi asalkan semua persyaratannya dipenuhi, yaitu materia, forma, otoritas dan intensi, Ajaran ini menegaskan efektivitas obyektif dari sakramen sebagai sumber rahmat, Dasar ajaran ini ialah bahwa setiap sakramen adalah karya Allah, yang tidak bisa dibatalkan olch ketidaklayakan pelayan atau penerima, Ajaran ini dilawankan dengan ajaran ex opere operantis (ecclesiae) artinya berdasarkan karya pelayan yang melakukan. Ajaran ini mengatakan bahwa efektivitas rahmat sakramental pada penerima ikut dikondisikan oleh keadaan subyektif pelayan, Ajaran ex opere operato membuka jalan pada masuknya pandangan yang makin magis-legalistik atas sakramen-sakramen. Butir-butir menonjol dari ajaran teologi sakramen dari Skolastik bisa dilihat dalam Dekrit untuk orang-orang Armeni yang dipromulgasikan oleh Konsili Florence oleh Paus Eugenius IV pada eee 1439. Dekrit ini merupakan rangkuman ajaran Gereja Katolik Roma tentang sakramen, Pertama, sakramen-sakramen dari Hukum Baru ada tujuh yang diketahui saat ini, yaitu Baptis, bal jarah an dan Perkawinan. ‘Sag ane aS Tabi tum LANG, sing o Ekaristi, yan, Pengurapan ; sakramet . ava Seloamen seamen itu betbedt O80 5 api hanya merupakan gambargy, 1 r n rahmat, tet sakramen-sakramen Hukum Lama tidak menyebabka! dalam kaitan dengan sengsara Kristus. mpurnnan nvil Sporm ; eny. Ketiga, lima sakramen pertama dimaksudkan ae Pu pemerintahan dan pertumbubys dalam dirinya sendin, sedangkan dua yang terakhir a seluruh Gereja jlaksanakan untuk keabsahannya: Keempat,sakramen-skramen memints ga sya oP 00 citindak dengan intensi une, hal-hal sebagai materia, Kata-kata sebagai forma, pelayan Yan& rmelakukan sesuai yang dilakukan Gereja i iikan ke dé Kelima, ada tiga sakramen, yaitu Baptis, Krisma teh i in ke dalam jiwa sebuah meterai (karakter) tak terhapuskan dan karena itu tidal 2.2.3. Teologi Sakramen Reformasi Protestan ; Pada dasamnya Gerakan Reformas! Protestan|ahir sebagai gerakan pembaharuan Gereja dalam situasi kemerosotan moral dan spiritual pada abad XVI. Salah satu bukti kuat dari kemerosotan ini ialah praksis ibadat yang terlalu magis-legalistik, klerikalisdanterlalu yuridis. Kebodohan (ignorance) dari Klerus dan umat awam makin memperburuk situasi sehingga iman seringkali dihayati secara ‘materialistis bahkan magis. Ajaran ex opere operato dimengerti secara sempit seolah-olah syarat- syarat materi itu saja cukup dan tidak menuntut sikap batin. Dalam situasi ini tersebarlah sikap takhayul untuk menimbun sebanyak mungkin pahala surgawi dengan melakukan indulgensi. Mereka meremehkan ibadat dan kualitas hidup rohani mereka. Efektivitas sakramen diukur melulu pected wih, misalnya soal tempat dan waktu Perayaan, jumlah lilin, besar- Hecinye sumbangan untuk setiap perayaan dll. Mentalitasjaman itu menunjukkan seolah-olah rahmat eselamatan itu bisa diperoleh dengan usaba sendiri bahkan bisa dibeli, Bagi para Reformator, Luther (+1546), Melanto1 ajaran tentang sakramen dalam Gereja Katolik menjadi seperti i bahwa pembenaran melulu adalah buah dari rahmat, Sedansian eee aes Pee ibadt dimana umat beriman mengungkepkan iman mereka pada Alles ce ee at ena 2.2.3.1. Luther / la aitkan pendapat tentang Sakramen d Bani dan Bai Lather tidak mengenbangkankonsep Salramenyann pune Yang Konkr, yi menyamy ibaa Saba ogi Sabda Allah, yaitu teologi yang berttik tolak dae A ee fa Buikan SabdaNya. Akhimnya Sabésitunampalenyeta sung ae ea ee ii Allah pada Yesus Kristu inilah yang merupakan pn su"esuh dalam pribadi Yesus Kristus. Janj kesels tee a Jaminan pasti dari Allah untuk Menurut Luther, . nilai pent a uniawi ini mendua sedang yen ne 27" tertinggi dalam Sal ng. yang, td jam Sakram, . St ye lah dan itu aa Saonening 1 iad Sakramentaiame dalam Searah i iri Kristus. Dan jika orang menerima janji itu (Sabda Allah) maka ia akan ok pee dan selamat (sola gratia), Dengankata ain kalau orang menerima ja ty lam iman, Kala dia beriman, imanitulah yang menyelamatkan dia. Iman dsini dipahami defam ant penyerahan di dalam menanggapi Saba Allah (sola fides). Hubungan antara Jan, Sabde dan nan fangat menentukan. Berdasarkan janj Allah, maka sakramen ise dipastikan memberikan rahmat ahi, wrkan Sabda, janji Allah yang diungkapkan dalam diri Yesus yang adalah jaminan itu maka whe een Sateen adalah ‘perwujudan Sabda itu. Sakramen adalah tanda karena Allah menetapkan dan memilih demikian. Ketetapan bisa dipastikan bila ada teks-teks Kitab Suci a ceksplisit yang menunjukkan Allah memilih itu menjadi Sakramen, (solascriptura). Sejauh menyangkut teks eksplisit, yang ada adalah Baptis dan Ekaristi. Dengan bertitik tolak bahwa Kristus satu-satunya ‘Sakramen maka Sakramen yang paling jelas itu adalah Sakramen salibNya. Luther menolak gagasan Ex Opere Operato (karena ritus yang dilaksanakan) karena terlalu obyektif. Menurut Luther, Sakramen itu hanya tanda (sola signa) dari rahmat Allah dan bukannya penyebab rahmat, Sakramen adalah sungguh-sungguh tanda rahmat karena memang, dilembagakan ‘oleh Allah dan Yesus Kristus, Sakramen dari dirinya sendiri tidak mengemban rahmat. Allah tidak hadir dalam sakramen itu tetapi Allah hadir ketika Sakramenitu disantap, Allah hadir dalam diri orang, yang menerima itu justru karena iman orang itu. Iman subyektif penerima (bukan pelayan) itulah yang, menghadirkan Kristus atau rahmat ilahi. Ini berbeda dengan pandangan Teologi Skolastik yang mengajarkan bahwa roti dan anggur berubah secara obyektif menjadi tubuh dan darah Kristus, lepas dari iman umat yang hadir atau menerima. Karena itulah ada penghormatan kepada Sakramen Maha Kudus. Sedangkn menurut Luther, iman penerima itulah yang menjadikan Kristus hadir atau tidak, Tentang jumlah sakramen, Luther memandang tolok ukur yang menentukan harus dikaitkan dengan kata-kata Yesus Kristus dan tanda sakramental. Hal ini hanya nampak pada permandian dan Perjamuan Tuhan, Luther agak tidak pasti dalam hal absolusi: itu hanyalah kesaksian biblis kepada Yesus dan mungkin hal ini tanpa tradisi Gereja yang memberikan jaminan akan kaitannya yang pasti dan karena itu tidak bisa dipandang sebagai sakramen. 2.2.3.2. Calvin Pemahaman Calvin bertumpu pada ajaran Agustinus. Sakramen adalah tanda lahiriah atau kelihatan yang menunjuk kepada rahmat. Namun Calvin menekankan bahwarahmat tidak ada dalam tanda itu, Berbeda dengan Luther, Calvin memandang sakramen juga sebagai sarana untuk membangkitkan iman, Melalui tanda ini Allah bertindak dalam diri kita dengan mempererat iman kita dan memenuhi janjiNya, Beda juga dengan Katolik yang mengatakan bahwa Sakramen adalah sarana rahmat. Menurut Calvin, fungsi Sakramen adalah untuk menyatukan kita dengan Yesus Kristus dan misteri hidupNya, Yang menyatukan adalah imannya. Sakramen hanya membantu, bukan menghadirkan rahmat, Unsur alamiah atau signum menjadi sebuah sakramen, Karena Allah ‘mengikatkan rahmatNy, a pada tanda ini, Pengikatan rahmat dengan tanda ini sudah dilakukan dalam pelembagaan sakramen-sakramen, Jadi, sakramen adalah perwujudan kelihatan datijanji Allah, sebab ‘andaitu datang dari Allah, Sakramen mempunyai nilai cbyektif yang tidak tergantung pada iman kita, Menurut Calvin, hanya ada dua sakramen, sesuai dengan pernyataan Agustinus berkaitan Jisme dalam Sejaral tus, Sakramen Perjanii en-s fektif melaly; i dalah benar dan é lui naa atau instrumen aha = i on en ini. Nilai fungsi ity janji , sakram in aku sakram ity pai i re sang ditandakannya, Roh Kas eda th Ks sii -sakramen itt oF tara Dia dan kit a ili kramen-se ak antal a. S it Pa eye, Keun Roh Kudus en a sakramen-salcramen fara Seago saranNa tentang predestinasi, Calvin mengatakar bah qsakramen ito eating bass Cfektf dalam diri mereka yang di"predestinasi"kan post, Stam sakramen DerBUNe mena karena demi pemberian rahmat, tetapi arena dengan ci kelemahan manusiawi iman manusia. ‘Sairamentologi 1; Bab Ii Sakramental dengan luke di lambung Kris kumen Reformasi sangat ditentukan oleh an Sabda Allah, Yesus Kristus secara rij tihidupkan dan dihadirkan. Sakramen sebagai "kata yang kelihatan ae peat a yang diwartakan. Sakramen-sakramen itu bisa disebut sebagai sebuah tanda lahirial ; lah, tau, meterai dalam Roh Kudus. Sakramen menghasilkan apa yang ditandakan. Pe laku yang sungguh ddan benar dari sakramen ialah pendiriNya, yaitu Yesus Kristus. Isi dari Sabda dan sakramen adalah identik. Tanda dan sakramen dibedakan hanya dalam cara bagaimana dimengerti dan bagaimana hal itu menghasilkan rahmat, artinya kata-kata berusaha membangkitkan iman itu sendiri, sedangkan sakramen dimaksudkan untuk memperkuat iman yang sudah dibangkitkan oleh kata-kata. Jadi, sakramen ada pertama-tama demi mereka yang lemah dalam iman. Namun demikian, sakramen itu tidak boleh dipandang rendah, meskipun mungkin saja sakramen itu tidak digunakan. Pandangan tentang sakramen dalam dokumen-dol pandangan mereka tentang Sabda Allah. Melalui pewarta 2.2.4, Ajaran Konsili Trente Konsili Trente menanggapi serangan dari para Reformator dengan a ; F 7 “Dekrit tentang sakramen- sakramen” yang dipromulgasikan 3 Maret 1547. Tujuan Konsili dinyatakan secara jel yaitu itu terdiri atas 13 kanon dengan rumusan yan; in” (DS 1600). Deksit Katolik tentang sakramen, yaitu: 8 sangat keras dan menyajikan rangkuman ajaran Gereja 1. Semuesakramen dlembagakan oleh Krist dan ada tju Pengampunan, Perminyakan Orang Sakit, Tahbi rh, yaitu Baptis, Krisma, Ekaris “= ™ san dan Perkawinan (DS 160}, 1603) Sakramen-sakramen kristiani berbeda d ram dalam hal isi maupun dalam tatanan ritus lahitiah (DS 1602), fn-sakramen Perjanjian Lama balk 3. Sakramen-sakramen, baik dal selamat, meskpun ak semua siramen peta ugg" dalam kein, 4 tuk semua orang (by an, diperlukan uo 4. Sakramen-sakramen mengandung rahmat $1604) ipa orang yang tidak mempunyai hanbann a Yang ditandakannya q uukanlah hanya tanda lahiriah, dan juga bukan dienes ™eMCtima salen 1605-1606), Hembagakan hany ama memberikan rahmat ito men. Sakramen-sakramet ‘aur ntuk menyuburkan iman (DS 5, Sakramen-sakramen memberikan, ahmat ex operere erate (py S 1608), ji , jika pelaya® Tame 1 Nab W Salramentaliame daarn Sera hal 23 mempunyai intensi untuk melakukan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Gereja (DS 1611) Meskipun pelayan sedang dalam keadaan dosa mematikan, dia tetap melaksanakan apa yang hakiki dalam sakramen (DS 1612). 6 Diantara sakramen-sakramen, ada tiga sakramen yang memberikan meterai, tanda yang, tak teshapuskan schingga tidak perlu diulang (DS 1609) Sintese teologi sakramen dari Konsili Trente merupakan langkah penting dalam sejarah teologi sakramen, meskipun harus diakui sintese itu tidak lepas dari keterbatasan yang muncul dalam polemik dengan pihak Reformator, Sintese Konsili Trente sangat penting karena menyajikan secara definitif apa yang diimani Gereja Katolik. Refleksi-refleksi setelah Konsili Trente bernada polemis dengan ajaran Reformasi, yaitu dalam usaha mempertahankan ortodoksi dogmatis ajaran tentang sakramen. Butir yang mendapat perhatian khusus ialah tentang penetapan sakramen-sakramen itu oleh Kristus dan efektivitas sakramen-sakramen itu. Teologi sakramen secara khusus disibukkan oleh usaha pembuktian tentang jumlah sakramen yang ada tujuh, Demikian pula, banyak juga dilakukan usaha pembelaan ajaran tentang ex opere operato sebagai berasal dari wahyu Allah dan sesuai dengan ajaran Tradisi kristiani. Refleksi spekulatifjuga gencar dilakukan untuk menemukan pembenaran teclogis dan suatu formula metafisis tentang ajaran kausalitas sakramental. Pada masa ini, sebagai akibat didirikannya seminari-seminari sesuai dengan dekrit Konsili Trente, muncullah diktat-diktat pertama tentang “Sakramen pada umumnya” untuk pembentukan teologis dan pastoral dari para calon imam, Muncullah skema pengajaran yang umum yaitu “berdasar Kitab Suci, berdasar Tradisi dan kemudian refleksi teologis. Buku-buku pegangan teologi sakramen pada umumnya membahas tentang permasalahan pokok sebagai berikut: 1. Penetapan konsep sakramen, baik berangkat dari etimologi kata itu, maupun mengangkat Kembali definisi katolik tentang sakramen dan menjelaskan masing-masing unsur. 2. Ulasan yang panjang lebar tentang kausalitas sakramen, baik tentang hal penyusunan tanda sakramen maupun dalam kaitan dengan ajaran iman ex opere operato. Banyak teori yang dikembangkan untuk menjelaskan butir ini 3. Penjelasan tentang buah-buah sakramen: rahmat sakramental, meterai, dll. 4. Penjelasan yang menunjukkan bahwa tujuh sakramen itu semua ditetapkan oleh Kristus dan dipercayakan kepada Gereja scbagai pengemban sakramen-sakramen. 5. Syarat-syarat untuk keabsahan dan ke-lecit-an perayaan sakramen-sakramen. 6. Ulasan singkat tentang sakramentali, yang seringkali bersifat fakultatif (tidak wajib). Teologi abad XIX menyaksikan munculnya banyak teolog yang berusaha memperbaharui definisi sakramen, khususnya dalam lingkungan orang Jerman, Misalnya, H. Klee (+1840) yang Rene eee nentologi 1 Dab ITS Teme dalam Sejarah : sakramen yang besar, Sebuap Sairanevobog Liab 1 Sakamenliane an schaga SCO ie dalah Krist mengajarkan bahwa Gereja harus digambark wgajarkan # menonol alah MI. So Yang : . Mohler (+1838) men} kumpulan sakramen-sakramen. J.A. Mol a keselamatan vols berusaha mengembali kelihatan, yaitu kelanjutan obyektif dari peristiw’ aie fi (1838) dengan karyafandamentalnya yaa Mister’ Krisanime os Sakramen Agung, Gua pengertian sakramen dalam kaitan dengan misteri, yaitu * eri rahmat dalam Gereja. Namun teolog; sebagai sakramen Kristus dan ketujuh sakramen. sebest me yang od. abad ini tidak berhasil mengatasi keterbatasan skema a: vatikan IT 2.2.5, Pembaharuan menjelang dan dalam Konsili Veta Ob aharuan besar. Banyak fekto, Pada awal abad XX teologi sakramen mengalami sual Perl fala lahimnya Geran yang mendasari terjadinya pembaharuan besar ini. Yang oe dilanjutkan pada dekade-dekade Liturgis. Diawali pada akhir abad XIX oleh P. Gueranger dan Guardini, Odo Casel, I. Schuster pertama abad XX. Tokoh-tokoh pemikimnya antara lain Romano ¢ awam untuk lebih aka E, Leclerq dan F. Cabrol. Gerakan liturgis ini bertujuan melibatkan um ee dalam perayaan liturgis. Gerakan ini menegaskan juga bahwa penghayatan li ee al oa a Saat mendasar dalam hidup Gereja, dan bahwa sakramen-sakramen merupakan pun‘ ar hi oe Dengan penegasannya ini, Gerakan ini memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam membangkitkan kembali minat pada misteri Gereja, yang kemudian dilanjutkan dengan penemuan kembali ajaran tentang tubuh mistik. Pada waktu Perang Dunia II, gagasan Gereja sebagai sakramen sudah sangat tersebar dan diterima, meskipun belum digunakan sebagai konsep kunci dalam dokumen-dokumen resmi Gereja Selain Gerakan Liturgis itu, pembaharuan teologi sakramen juga banyak didorong oleh penemuan kembali Kitab Suci dan Para Bapa Gereja (Gerakan Biblis dan Patristik). Studi-studi pada bidang itu memperdalam konsep kuno tentang misteri dan sakramentalitas dari kenyataan duniawi sebagai bentuk pewahyuan dan perwujudan dari rencana keselamatan ilahi, Berikut ini adalah beberapa butr perkembangan yang menonjol pada masa sebelum Konsili Vatikan II yang menjadi dasar teologi sakramen saat ini 2.2.5.1, Sakramen sebagai Misteri Penafiransakramen-sakramen sebagai mister-mister yang mewnjud i excellence, Yesus Kristus, sangat kuat di antara pada Bapa Gereia Penafsien Sepert int mena kurang mina dan hampirdlupakan sma skal pads masa sesudeh Skate See ental Konsep sakramen sebagai mister pada masa kni banyak dielopor lek oe Ghaeaperr seorang benediktin dari biara di Maria-Laach, ya Odo Casel (+1948), Odo Caselsangat mengenal para Bapa Gereja, dan secara eke Pandangan paulin, Casel menegaskan bahwa sakramen-sakramen nee Sires ‘on oe mister keselamatanhidup Kriss, Mellui dan dalam eck adalah kepanjangan dari hal. 25 Sslramentologi 1 Dab lt Sakzamentaisme dalam Sejorah ‘ia dalam Kristus i Pertemuan Allah dan manusia a 2.2.52, Sakramen sng Ferien Also clog ska dala rah i ih Ewerd i i inva De Sacramentele heilseconomie (dipublikasi tahun 1951) dan Se ae Casati aaa of the Breounte pe Goa 1952. Bas an itu pada dasarnya ialah sebuah pertemuan antara Allah dan manusia. D: gama] , para mencapai Kepenuhannya dan pusatnya dalam diri Yesus Keita paaet Sens Mysterion. Allah mewujudkan rencana keselamatanNya atas manusia dengan s\ ed ea ss kelihatan, yaitu inkarnasi PuteraNya. Maka manusia Yesus merupakan perwjud an peibal dar rahmat penebusan ilahi, Yesus Kristus adalah Sang Sakramen, Sakramen Primordi ay ramen Dasar. Manusia ini, Putera Allah, dikehendaki oleh Allah menjadi jalan satu-satunya untuk mencapat keselamatan. Beberapa butir penting dari teologi sakramen dari Schillebeeckx dapat dirangkum sebagai berikut : Pertama, wahyu adalah sebuah peristiwa yang pada hakikatnya sakramental, artinya Allah menghargai kondisi historis manusia, bertemu dengan manusia dalam sejarah. Kedua, Yesus Kristus adalah sakramen pertemuan Allah dengan manusia dan manusia dengan Allah itu, sakramen sumber (Ursakrament) dari keselamatan seluruh umat manusia. Ketiga, Gereja adalah sakramen fundamental dari Kristus, dalam arti bahwa Tuban yang bangkit menggapai kita dalam Gereja melalui tindakan-tindakan sakramental yang dilakukannya. Keempat, maka sebagai konsekuensi, sakramen-sakramen adalah tindakan Tuhan yang bangkit dalam Gereja. 2.2.5.3. Gereja dan Sakramen-sakramen Bertitiktolak dari gagasan Gereja sebagai sakramen, beberapa pengarang mengembangkan pendalaman tentang kodrat sakramentalitas Gereja dalam kaitan dengan sakramen-sakramen, Ensiklik Pius XII Mystici Corporis dari tahun 1943 memberikan dorongan kuat pada refleksi ke arah ini. Teolog yang memberikan banyak sumbangan seputar butir ini antara lain O. Semmelroth, Karl Rahner, P. Smuldes. Pengarang-pengarang ini menegaskan bahwa Gereja bisa dipandang sebagai sakramen fundamental karena mencakup dalam dirinya bentuk-bentuk sakramentalitas lainnya. Nama- nama yang digunakan berbeda-beda: sakramen primordial, proto-sakramen, sakramen radikal, sakramen universal. Sakramentalitas Gereja selalu dilihat dalam kaitan dengan sakramentalitas Kristus sebagai sumbernya, Kita menyebut Gereja sebagai sakramen induk. eben Dalam perspektif ini, sakramen-sakramen tak lain adalah aktualisasi fundamental dari et dan Gereja itu sendiri. Semmelroth membandingkan keberadaan Gereja dan sakramen- ee Seperti halnya lengan dan jari-jarinya. Ada kesatuan yang tak terpisahkan sedemikian Pa schingga yang satu tidak bisa ada tanpa yang lain. Bagi Karl Rahner, sakramen-sakramen adalah Perwujudan dari hakikat Gereja yaitu kehadiran rahmat kemenangan Allah dalam Kristus. ata ah, Penulis-penulisnya adajy, jarah Keselam ang sejarab- loa! beige dalam Sejaray eologi tentans PF erdasarkan teologi Sejarah inj, 2.2.5.4, Sakramen-sakramen dalat s e008 ast a jtar tahun 1950-an, diker! s von

Anda mungkin juga menyukai