Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
St. Aisyah
SINOPSIS
The Pain.
Ada rasa sakit menjalar yang terlihat sangat susah disembuhkan, bahkan setelah setengah dari
hidupnya ia habiskan.
Ada rasa kecewa, karena sadar luka itu tercipta karena tangan dan pemikiran naif sang malaikat
dalam hidupnya.
Anya Shafira. Gadis yang menjalani hidupnya dalam kegelapan bahkan ketika ia baru beranjak
usia sembilan tahun. Memberinya rasa sakit dan juga rasa kesendirian di saat yang sama
membuatnya terbiasa menyimpan luka sendirian, tanpa bercerita.
Tentu, ada keinginan untuk bangkit, tapi harus terhempas jauh ke dalam lubang kegelapan,
membuatnya menelan paksa keinginan karena fakta realita yang menyakitkan, keadaan
finansial keluarga.
Ini kisahnya dengan segala luka yang ia tanggung sendirian, walau perlahan pintu semakin
terbuka lebar, membiarkan beberapa orang masuk berusaha menyembuhkan.
Ini kisahnya, seorang gadis yang terlihat begitu positif menjalani hari, selalu memandang ke
bawah dan berprinsip "Everyone have a problem, so you can't judge yourself like you are the
worst in the world."
Ini kisahnya.
PROLOG -- CARA YANG BERBEDA
Matahari sudah begitu terang saat gadis kecil melangkah mengelilingi rumah, tadi saat papa
baru saja berangkat bekerja sebagai sekuriti di salah satu supermarket besar di daerahnya, ia
memilih membersihkan diri.
Usianya baru saja menginjak enam tahun, tapi mulai hari ini hingga seterusnya ia akan mulai
mandiri sembari diajarkan oleh ibunya. Itu karena mulai besok ia akan mulai bersekolah di salah
satu Sekolah Dasar di dekat rumahnya.
Ah, soal ibu, sepertinya dia lagi-lagi melakukan ritual paginya, bergosip. Anya tidak mengerti,
apa enaknya membicarakan orang lain?
Dia menghela napas, berusaha untuk tidak peduli urusan orang dewasa, ia bahkan baru tahu
makna dari gosip dari kakak sepupunya beberapa hari yang lalu.
Anya menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Ia tersenyum ceria,
berlari kecil menuju sang mama.
"Mama, makan. Anya lapar." Tangan kecil itu menarik tangan besar milik mama menuju dapur.
Sang mama nampak melamun, tersentak saat ditarik seperti itu.
Tapi, dia menuruti sang bungsu, ikut menuju dapur dan mempersiapkan sarapan untuk mereka
berdua.
"Anya, nama panjang Anya siapa?" tanya mama sementara mereka menyuap nasi di mulut.
"Anya Shafira Ibrahim." Anya menyengir, sang mama beberapa hari belakangan memang sering
mengujinya dengan pertanyaan ringan seperti itu, melatih kemampuan ingatannya agar tidak
melakukan kesalahan saat di sekolah nanti.
"Pinter." Mengacak surai hitam legam anak, mama tersenyum sesaat sebelum kembali
memasang wajah datar. "Anya tahu, Intan, 'kan?" Saat anak mengangguk, dia melanjutkan,
"Kakaknya baru aja digosipin sama tetangga, katanya dia hamil."
Anya menatap lurus sang mama, tidak mengerti. Lalu kenapa jika dia hamil? Bukannya bagus
ya? Katanya 'kan perempuan hamil itu lagi mau kasih bayi. Bayi 'kan lucu.
"Dia diperkosa sama ayahnya sendiri," imbuh mamanya lagi. Anya masih mendengarkan, walau
tidak terlalu mengerti arah pembicaraan mereka. "Itu sebabnya, ibunya tuh meninggal, karena
ini bikin dia sakit banget." Anya hanya terus menatap saat sang mama menunjuk dadanya
sendiri.
Dari penglihatan Anya, mama nampak menghela napas. "Karena itu ... Anya nggak boleh terlalu
dekat dengan papa, ya?"
Apa ini?
"Mama nggak mau nasib kamu kayak kakak si Intan itu, mama juga nggak mau jatuh sakit saat
dengar kabar soal itu." Mama tersenyum, "Makanya, menurut sama mama, ya?"
Anya mengangguk cepat, dia tak ingin sang mama jatuh sakit, apalagi itu karenanya, setidaknya
jangan menginggalkannya dulu sebelum ia sudah bisa melakukan segalanya secara sendirian.
***
Malam ini, seperti biasa pada setiap malam Minggu, papa akan berada di rumah.
Anya sedang mencuci piring kotor bekas makan malam mereka, mengingat kembali beberapa
menit yang lalu sang adik begitu antusias menyambut kepulangan sang papa.
Papa sekarang tidak lagi bekerja sebagai satpam di supermarket atau satpam di salah satu
pabrik seperti yang dulu. Mereka ... semakin berganti tahun justru semakin jatuh. Papanya
harus menjadi supir becak motor yang ia sewa untuk mencari nafkah dengan syarat harus
membayar setiap hari sekitar tigapuluh ribu.
Dan Anya bukan lagi anak bungsu semenjak kelahiran adik perempuannya sepuluh tahun yang
lalu, dan jangan lupakan adik laki-laki yang semakin memperlengkap keluarga mereka saat ini.
Ah, Anya kembali mengingat, usia adik perempuannya sudah sepuluh tahun. Kenapa sikapnya
terhadap sang papa begitu berbeda pada saat usia Anya sepuluh tahun?
Yang Anya ingat, semenjak perintah sang mama untuk menjauh dari papanya, ia tidak pernah
lagi memeluk, bahkan menghindar saat di peluk, tidak pernah berada di ruangan yang sama jika
mereka hanya berdua, dan berusaha keras tidak melihat atau dilihat oleh sang papa.
Intinya, ia tidak lagi merasakan kasih sayang berupa perhatian atau hal-hal lembut dari
papanya.
Tapi, lihat adiknya, sang adik bahkan tidak tahu malu memeluk erat sang papa bahkan hanya
dengan handuk melilit di badannya.
Kembali mengingat, sang mama sepertinya tidak memerintahkan hal yang sama kepada
adiknya.
Anya yang perlahan mengerti alasan mamanya melakukan hal itu, membuatnya bergidik ngeri
setiap membayangkan segala hal yang mama takutkan, bahkan ia juga menjadi takut, terjadi
pada adiknya.
Apa mama lupa untuk memerintahkan hal itu pada sang adik? Atau mama memang sengaja
melakukannya?
Setelah selesai dengan segala kegiatannya di dapur, Anya berjalan menuju kamarnya, ia
melewati ruang tamu di mana sang adik duduk di pangkuan sang papa.
Anya berusaha sekuat tenaga menampik segala skenario terburuk di kepalanya. Ia memilih
masuk dengan cepat ke arah kamar, menutup dan tidak lupa menguncinya.
Ia terengah. Sekuat tenaga dirinya mengatur napas kembali. Setelah tenang, Anya memainkan
ponselnya, tidak tertarik dengan segala aplikasi chat miliknya, ia malah beralih memainkan
aplikasi baca novel online yang selalu ia senangi.
Membaca memang hobinya. Tapi, mengingat keadaan keluarganya sekarang ia tidak akan
pernah mau meminta ke pada sang mama untuk memenuhi hobinya itu.
Ia adalah Anya Shafira, anak kedua dari keluarga kecilnya, kakaknya adalah seorang laki-laki
yang sangat tidak diharapkan Anya.
Segala perintah dan nasihat ibunya membuatnya menatap benci seluruh keluarganya yang laki-
laki, bahkan kepada adiknya sendiri yang baru bisa belajar merangkak saat ini.
Segala hal yang mamanya katakan, akan menjadi sebuah kenyataan yang menyakitkan.
Ia tidak takut pada laki-laki, ia tidak mengidap phobia seperti itu. Ia hanya takut pada seluruh
cerita mama tentang kejamnya laki-laki. Tapi, dibanding dengan laki-laki lain yang ada di luar
sana, ia justru lebih takut pada keluarganya sendiri. Usahanya menyembuhkan diri, tetap saja
tak membuat ketakutan kepada keluarganya menghilang. Tapi, setidaknya ia sudah bisa
berinteraksi dengan laki-laki di luar lingkungan keluarganya.
"Anya." Suara itu. Anya berhenti sejenak dengan segala kegiatannya. Ia merasa kakinya sedang
gemetaran saat ini. Hanya dengan suara saja, reaksinya seperti ini.
"Iya!" Anya setengah berteriak, berharap sang papa tidak akan memperdulikannya karena
merasa bersalah telah mengganggunya.
"Nggak nonton acara kesukaan kamu?" Suara itu kembali menggema, bukan hanya kakinya,
tangannya kini juga gemetar, ponselnya bahkan terjatuh di samping tubuhnya.
Anya mengumpat pelan. Jelas, walau ia begitu membenci seluruh keluarga laki-lakinya, ia tetap
masih waras untuk terus mempertahankan nilai kesopanan yang ia miliki, makanya ia tidak
bersuara dengan keras.
"Nggak, Pa. Anya nggak mau nonton," jawabnya setelah beberapa detik berusaha menahan
deru napasnya.
Papanya di ruang tamu menghela napas, mengusap pelan surai putri di hadapannya saat ini, ia
tersenyum sedih, karena seingatnya, ia tidak pernah melakukan ini kepada putri pertamanya
sejak anaknya itu bersekolah.
Anya kembali tenang, ia meluruskan kaki yang baru saja berhenti gemetar itu dan mulai kembali
tenggelam dalam cerita yang ia baca, walau pikirannya terus saja mendengungkan kalimat-
kalimat yang membuatnya semakin sakit.
Salahkan sang mama yang terus mendoktrinnya dengan segala sesuatu skenario terburuk
antara keluarga laki-laki dan perempuan.
Salahkan sang mama yang terus menyuntiknya dengan segala perintah menjauhi seluruh
keluarga laki-lakinya.
Salahkan sang mama yang hanya demi menjaganya justru membuatnya merasa semakin takut
dikelilingi banyak laki-laki yang bahkan begitu menyayanginya.
Salahkan sang mama yang tidak sadar segala tindakannya justru menarik anaknya berada dalam
kegelapan, sendirian dengan rasa takut yang semakiin hari semakin membelit seluruh
tubuhnya.
SATU -- SETIAP ORANG PUNYA MASALAH
Sekarang, Anya adalah remaja yang menduduki bangku SMA. Kehidupan yang menurutnya
sangat harus dia syukuri dibanding dengan beberapa tahun yang lalu dia jalani.
Dulu, dia adalah siswi SMP yang masih lugu dan naif. Bahkan, dirinya masih terlalu sering
menangis merindukan masa kanak-kanak yang seolah tak ada masalah menghampiri.
Dulu, sama seperti lainnya, dia juga ingin memiliki sahabat, ah, mungkin teman saja cukup
baginya. Dia berhasil meraih itu, memiliki banyak teman yang mengasyikkan, sebelum dia
menginjakkan kaki di SMP.
Entah karena apa, jiwa easy-going-nya menghilang bahkan di hari pertama masuk sekolah.
Melihat orang-orang baru yang tentu saja berada satu tingkat di atasnya bukan hanya segi
materi tapi juga segi penampilan, membuatnya menarik diri merasa ... iri, walau sisi terang
dalam dirinya mengatakan ia hanya merendahkan dirinya.
Dia ... menjadi korban bullying secara verbal bahkan di hari pertama. Tak ada yang
mengajaknya berbicara. Ketika dia menyapa, orang lain akan menatapnya seolah ia adalah
orang paling aneh di dunia. Orang-orang baru itu hanya akan mengatakan, "Lo ngapain?! Ih,
dekil!"
Awalnya ia hanya tersenyum, ikut tertawa saat beberapa orang yang mendengar hal itu
tertawa.
Anya mundur beberapa langkah, masih tidak kehilangan tawanya. Memilih duduk di
bangkunya, paling belakang.
Tapi, Anya saat itu tidak terlalu mengerti, ia tetap memilih duduk di sana, bersama dengan
teman sekolah dasarnya, bahkan walau ia harus bersanding dengan beberapa pentolan kelas
yang suka cari masalah, setidaknya dia bersyukur bisa mengenal seseorang di kelas ini.
Hari demi hari ia lewati, semakin beragam segala hal yang ia terima, masih sama seperti hari
pertama, ia hanya akan ikut tertawa bersama dengan mereka, walau hatinya terasa seperti
teriris belati.
Suatu hari, karena ia berusaha melawan dan menolak saat dimintai pertolongan untuk
memberikan jawaban ulangan, ia malah harus mendengar kalimat-kalimat yang jauh lebih
menyakitkan dibanding hari-hari sebelumnya.
"Eh, tangan gue gatal, nih. Kayaknya ada virus yang tadi gue sentuh." Salah satu dari mereka
yang tadi ikut memohon agar dibantu melontarkan kalimat itu.
"Pasti banyak virus, lah. 'Kan ada sampah di sini, sampah masyarakat." Mereka tertawa, sesekali
melirik ke arah kursi belakang, tertawa semakin kencang saat justru melihat wajah pias dari
Anya.
Anya menggenggam tangannya erat, matanya terasa panas, ia berkedip beberapa kali,
menghalangi air mata yang akan keluar, ia tersenyum pedih tidak bisa tertawa saat dilirik oleh
orang-orang itu.
Anya yang sekarang bahkan sudah lupa dengan nama mereka, tapi sesekali kenangan itu akan
merasuk ke otaknya, memberikan rasa sakit dan panas di sekujur tubuh.
Di hari itu, dia berlari keluar, memilih bersembunyi di salah satu kamar mandi di dekat kelasnya,
terduduk tidak memperdulikan rok birunya yang basah dan kotor.
Ia memeluk lutut, merasa tidak kuat dengan hari ini. Ia ingin pulang, sekarang. Tapi bahkan jam
belum menunjukkan tengah hari.
Tangan yang berada di bahunya perlahan menggenggam pipi dan menghapus air yang Anya
sendiri bahkan tidak merasakan kehadirannya.
"Lo ingat sama masa-masa itu lagi?" Suara itu begitu lembut, membuatnya refleks mendongak
dan menggenggam tangan di pipinya, mendorongnya menjauh.
Anya menggeleng. "Nggak, nggak ada yang gue pikirin," imbuhnya. Ia menarik temannya duduk
di sampingnya. Memiringkan kepala menatap sang sahabat.
"Lo gimana sama cewek lo? Kemarin berantem hebat banget." Jelas ini hanyalah topik
pengalihan. Anya tidak ingin sahabatnya kembali mendengar kisah kelamnya. Jujur saja, jika
bukan karena sering kedapatan menangis dan melamun sendiri, ia tidak akan pernah bercerita
tentang masa lalunya itu kepada Raina, sahabat perempuannya, mereka kenal sejak SMA.
Anya tersenyum geli, merasa aneh dengan pertanyaannya sendiri, Raina perempuan, tapi dia
bahkan menyebut kekasih perempuan itu dengan sebutan cewek.
"Ah, udah, ah. Jangan bahas si Salsa. Masih pagi anjir, gue belum mau galau-galauan."
"Oke-oke. Terserah, deh." Anya tertawa kecil. Kembali memandang sahabatnya dari samping.
Raina menatapnya juga.
"Lo kenapa malah tetap dekat sama gue, sih, Nya? Padahal lo tahu gue itu bagaimana. Si Raya
aja yang gue kira dekat banget sama dia ternyata langsung mandang gue jijik sekarang." Anya
dapat melihat, mata Raina sesaat menggelap saat mengatakan itu.
"Hm." Anya menopang dagu di atas meja, tidak lagi menatap sang sahabat, melainkan menatap
lurus ke depan. "Sebelum gue jawab itu, gue penasaran deh," ujarnya melirik Raina yang
menatapnya penasaran. "Lo yang jadi cowok 'kan dihubungan lo sama si Salsa. Tapi aneh deh,
sesekali lo malah kelihatan kayak cewek banget. Apalagi pas kayak gini, nih." Dia berdiri tegap,
menoel pipi sang sahabat sambil terkekeh.
"Anjing," umpat Raina sangat pelan, tapi Anya bisa mendengarnya, membuat kekehannya
berubah menjadi tawa yang keras.
Beberap detik, Anya menetralkan tawanya. "Gue serius nanya, Na. Penasaran gue ini. Lo ada
kepribadian ganda, ya?"
"Bodo ah, Nya. Kayaknya sekarang gue nggak butuh jawaban dari pertanyaan gue tadi."
"Eh, kok ngambek, ih, Na." Anya menarik tangan sang sahabat saat perempuan tomboi itu
berdiri menjauh. Karena pada dasarnya Raina adalah perempuan terkuat di kelasnya -- atau
karena Anya begitu lemah -- Anya malah ikut tertarik.
"Raina, eh, gue bisa jatuh, sialan!" jeritnya karena Raina bahkan tidak berhenti melangkah.
Anya terengah, saat akhirnya Raina berhenti tepat di depan pintu. Sahabatnya itu menatap
datar Raina. "Lo, sih."
"Ih, kok gue. Gue 'kan cuma nanya." Anya memasang wajah lugu. Saat sang sahabat semakin
menggelapkan wajahnya, ia mengucapkan, "okey-okey. Gue nyerah. Minta maaf, ya, Raina
ganteng." Anya menjerit kesakitan saat bahunya ditepuk begitu keras, tapi di detik berikutnya ia
tertawa keras.
"Iya, iya." Setelah menetralkan tawa, Anya memandang serius Raina. Saat ini mereka berada di
depan pintu, terlalu banyak orang di sini. Maka, ia menarik tangan Raina dan kembali duduk di
dalam kelas, tempat awalnya tadi.
"Lo tahu, 'kan, kalau gue hampir nggak punya teman selama SMP?" Melihat Raina mengangguk,
Anya menghela napas berusaha menenangkan diri dan melanjutkan, "Gue tahu rasanya
dijauhin, rasanya dianggap jijik oleh orang di sekitar kita, gue ... ngerti banget itu, Na." Sesaat
Anya memandang kosong ke arah Raina. "Itu makanya, gue nggak mau ngelakuin hal yang sama
ke orang lain." Anya berkedip, ia tersenyum lucu.
"Lagian, ya, gue nerima-nerima aja sih orang-orang macam lo tuh, gue ... bahkan udah baca
banget banyak novel yang membahas orang-orang macam lo itu. Bahkan hubungan itu jauh
lebih parah." Anya mengendik, dia mengambil dua bungkus permen dari sakunya,
memberikannya satu kepada Raina yang tidak ditolak perempuan itu.
"Asal, lo jangan sentuh gue aja dan juga gue harus pastiin lo nggak ngelakuin hal-hal aneh
dalam hubungan lo." Mencecap rasa mint dari permen itu, Anya terkekeh geli membaca kalimat
di belakang bungkus permennya. "I love you, Rainaaaa." Dia memberikan bungkus itu ke tangan
Raina.
Raina membacanya dan tersenyum miring. "Apa ada pengecualian kalau lo yang ngegoda gue?"
"Bangsat."
Raina tertawa, tapi tawanya lenyap diganti dengan raut wajah datar saat seseorang masuk ke
dalam kelas.
Anya mengikuti arah pandang sang sahabat, dia tersenyum manis. "Halo, Raya," sapanya
dengan nada ceria.
"Hai, Anya." Perempuan anggun itu menoleh ke arah Anya dengan senyum merekah, saat
menoleh ke arah Raina, dia mengganti memasang wajah jijik. Dia melengos tak peduli, lebih
memilih duduk di bangku dan mulai melahap cemilannya.
"Oh, ya, Raina." Panggilan itu membuat Raina menoleh dan kembali memasang senyum
lebarnya. "Ke kantin, ayok."
Anya mengerti bagaimana perasaan sahabatnya saat ini. Raya bukanlah orang yang biasa saja di
mata sosok Raina, setidaknya sebelum dia menceritakan sesuatu yang membuat Raya
memberikan reaksi yang tak diinginkan Raina.
Dulu, Raya dan Raina adalah dua orang yang tak terpisahkan. Mereka bersahabat bahkan sejak
di hari pertama bertemu.
Raya seolah menjadi ibu terhadap Raina yang masih saja sering ceroboh dalam segala hal,
terutama dalam pelajaran.
Anya bahkan begitu terkejut saat mengetahui bagaimana reaksi Raya saat tahu Raina memiliki
masalah dalam urusan seksualnya.
Saat itu, kemanapun Anya pergi, selama Raina dan Raya menghirup udara di ruangan yang
sama, atmosfernya akan terasa begitu penuh dengan kebencian dan juga rasa jijik.
Saat itu Anya berpikir bahwa dua orang temannya itu mungkin hanya sekadar mengalami
masalah kecil, jadi seperti biasa yang terjadi pada temannya yang lain, ia membiarkan.
Dan bahkan hingga saat ini Anya membiarkan, bahkan ketika dia tahu masalah itu bukanlah
masalah kecil.
"Sudahlah. Selama mereka nggak ngelewatin batas, mending gue nggak ikut campur," pikir
Anya saat itu.
"Nya, lo di sini, aja. Gue beliin. Nggak usah masuk. Lo mau apa?" Anya menyengir,
mengucapkan terima kasih lewat ekspresi wajahnya. Dia menyebutkan apa yang ingin dia
makan dan memilih duduk di bangku yang tidak jauh dari mereka.
Iya. Dia harusnya tidak peduli masalah orang lain dan harus memikirkan masalahnya sendiri.
Anya menghela napas, dia meluruskan kaki dan memusatkan pandangan tepat di ujung kakinya.
DUA -- OBAT
Pandangannya memburam sesaat. Ia tersenyum pedih kala ingatan akan masa kelamnya
kembali memenuhi pikirannya.
Sama seperti sekarang, ia dulu juga adalah siswi yang aktif baik dalam bidang akademis maupun
non akademis. Walau ia sedikit pasif dalam hal bersosialisasi.
Walau ia memulainya tidak dari awal, tapi itu terjadi karena memang sesuatu yang ia sukai baru
ada sejak dia menginjak kelas delapan.
Economic Club.
Dan sejak saat itu, hari-harinya mulai sedikit lebih terasa menyibukkan.
Harapan untuk setidaknya tidak memiliki waktu yang begitu banyak di rumah -- agar dirinya
tidak terlalu sering bertemu kakak laki-lakinya -- terwujud dengan menyibukkan diri di sekolah.
Tapi, harapan untuk setidaknya dianggap ada oleh teman sekelas, Anya bahkan seolah sedang
menginginkan tahta kerajaan. Mustahil.
Karena nyatanya, member organisasi yang ia ikuti sebagian besar merupakan teman sekelasnya.
Itu menjadi hal yang juga sama buruknya seperti mereka saat bertemu di kelas.
"Halo, Kak." Anya mengerjap, mengembalikannya ke kenyataan. Dia menoleh, melihat seorang
murid yang ia perkirakan adik kelasnya dari lambang di seragamnya.
Tersadar akan sesuatu, Anya refleks berdiri menjauh. Kakinya mengalami tremor mendadak.
Seperti yang pernah diceritakan, Anya tidak memiliki phobia terhadap laki-laki seperti itu,
setidaknya jika berada dalam jarak aman, jika terlalu dekat, ia bisa mengalami tremor, itu
belum termasuk phobia, 'kan?
"Halo." Jelas suaranya bergetar. Tapi ia harap ketakutannya tidak tertangkap oleh lawan
bicaranya. "Ada apa?"
"Oh, nggak ada apa-apa, Kak," ujarnya menggaruk tengkuk belakang. Ia beringsut maju,
membuat Anya semakin mundur.
"Anya, yuk, balik." Anya dengan gerakan terlalu cepat menoleh ke belakang, tersenyum lega
bersyukur bahkan sebelum dia menyelesaikan kalimat dalam hati, Raina sudah mengabulkan.
Raina menoleh ke arah depan, memandang Radit, adik kelas yang kebetulan beberapa hari lalu
ia kenal. "Eh, Radit. Ngapain, Dit?" Radit menggeleng, ia pamit tanpa menghilangkan senyum
sopannya.
Anya dan Raina berjalan bersisian selepas Radit melewati mereka. Raina memandang Anya
yang walau tersenyum penuh syukur tetap saja tidak menghilangkan raut ketakutan dari
wajahnya.
Raina berhenti, membuat Anya ikut berhenti dan menoleh ke arahnya. "Lo, baik-baik aja, 'kan?"
Ragu, Raina bertanya.
Raina menghela napas berat. Memilih mengistirahatkan tubuhnya di salah satu bangku di
sekitarnya dengan menarik tangan Anya.
"Nya ... lo baik-baik aja sekarang." Raina meyakinkan. Menatap Anya serius saat ia
mengimbuhkan, "Dia nggak ngapa-ngapain lo 'kan? Niat buruk aja nggak ada, kalau sampe ada
sih, gue yang pertama hancurin dia." Raina memasang wajah datar dengan rahang mengeras.
Anya mendongak, menatap wajah Raina dari samping. Ia merasa semakin tenang sekarang.
"Gue nggak ngerti sih, kenapa bisa lo akhirnya malah ngganggap sesuatu yang menurut orang
lain sebagai nasihat malah menjadi sebuah ketakutan yang nyiksa lo kayak gini." Raina
menggeleng, menatap heran seperti saat-saat awal Anya menceritakan kisah hidupnya. "Tapi,
kalau lo ngerasa bahwa lo lagi nggak baik-baik aja, gue siap jadi orang pertama yang
membantu." Tersenyum manis, ia merangkul bahu sahabat.
Mereka berdua terdiam. Raina menyerahkan cemilan belanjaan mereka. Makan dengan diam,
Raina membiarkan Anya melamun terlihat seperti tengah menenangkan diri.
***
"Anyaaaa!" seru Rika teman sekelas Anya dari ambang pintu. Anya menoleh dari sudut kelas
paling belakang, menatap Rika dengan tatapan bertanya.
Anya mengangguk tanpa menoleh lagi, ia sedang memandang pantulan dirinya dalam cermin,
memperbaiki penampilan setelah tadi berganti baju.
Hari ini latihan perdana mereka semenjak naik kelas sebelas. Di SMA, Anya memilih masuk di
organisasi Palang Merah Remaja.
Di sini, kehidupan bersosialisasinya jauh lebih baik dibanding masa putih birunya.
"Apa, Ka?" Menjaga jarak, Anya berusaha terus, sekuat tenaga menghilangkan segala pemikiran
negatif saat harus bertatapan wajah dengan laki-laki yang menurutnya menjadi orang kedua
yang paling memahaminya selain Raina.
"Minta surat yang tadi dong, surat izin kegiatan itu. Mumpung kepsek masih belum pulang nih."
"Samaan aja. Tungguin." Saat Anya kembali dengan map biru di tangannya, Raka tanpa disuruh
memilih menjauh sedikit dan mulai berjalan bersisian.
Saat ini, Anya bertindak sebagai sekertaris panita pelaksana pendidikan latihan untuk calon
anggota.
Anya sebenarnya tahu, Raka tidak ingin dirinya ikut, meminta tanda tangan dari kepala sekolah
yang notabene adalah laki-laki tentu akan membuat ketakutan Anya akan terus menggerogoti
dirinya.
Tapi, Anya adalah perempuan seperti kebanyakan yang tidak ingin terlihat lemah di hadapan
lawan jenis. Ia dengan sekuat tenaga berusaha terus menekan rasa takut dalam dirinya.
Mereka bukan keluarga lo. Ingat, mama cuma bilang menjauh dari laki-laki di keluarga.
Anya tertawa geli dalam hati mendengar kalimatnya sendiri. Kenapa mama hanya mengatakan
mengenai kasus pemerkosaan di lingkaran keluarga? Seolah ... laki-laki asing jauh lebih bisa
dipercaya dibanding mereka yang memberimu kasih sayang melimpah.
Begitu sampai di hadapan kepala sekolah, Anya tanpa ragu memberikan surat permohonan izin
acara itu ke hadapan orang yang ia hormati di lingkungan sekolah. Ia mengerjap berusaha
mengeyahkan segala pemikiran buruk saat bapak dengan kepala botak itu mendongak dan
tersenyum lembut kepadanya.
"Ini sudah ditandatangani sama pembina?" tanya Pak Rahmat, sembari menilik satu persatu
kata yang tertera di sana. Anya dan Raka mengangguk, disusul Anya menunjuk dengan sopan
tanda tangan pembina.
Raka di sampingnya menahan napas. Merasa takut saat Anya terlihat memaksakan diri. Jelas
Anya ketakutan jauh di dalam tubuhnya.
Begitu mereka selesai dengan segala urusan di ruangan itu, Anya berjalan lebih dulu setelah
pamit kepada Raka. Ia harus segera mengumpulkan seluruh anggota baru di organisasinya
Menghembuskan napas pelan, Raka memandang punggung yang terlihat seperti baja yang
perlahan mengecil sebelum menghilang di balik lorong. Ia tahu, punggung itu tak kalah
rapuhnya dengan kaca.
Raka berjalan pelan, sesekali memandang wajah setiap orang yang ia lalui, merasa mereka
adalah anggota organisasi yang sama dengannnya, maka ia akan langsung memerintahkan
untuk menuju ruang pertemuan.
Begitu sampai, ia tersenyum senang saat semua adik kelas yang mendaftarkan dirinya mulai
berdatangan dengan semangat yang begitu terpancar.
"Okey, adik-adik. Kita mulai, ya. Untuk hari ini jadwalnya cuma perkenalan aja sih, sama sedikit
informasi buat beberapa hari ke depan kegiatan kita itu apa aja." Sang Ketua Umum
menginstrupsi segala kegiatan yang ada di ruangan itu. Dengan senyum ramah merekah, ia
berujar, " So, adik-adik, welcome in my family, and i hope you guys can accept we to be your
second family. And, my name is Naufal. Thanks."
Dan perkenalan itu berlanjut ke pengurus yang lain. Anya berada paling sudut, menghindari
berdempetan dengan mereka. Ia sedikit lega saat mengingat bahwa seluruh anggota organisasi
ini paham akan dirinya yang tidak bisa terlalu dekat dengan lawan jenis.
Walau banyak di antara mereka sendiri tidak tahu apa alasan Anya seperti itu. Apa karena
trauma, kah? Atau apa?
Begitu giliran seluruh pengurus telah bergantian memperkenalkan diri, kini giliran angkatan
Raka yang melakukan. Bersyukur karena seluruh kakak kelasnya itu telah pergi, meninggalkan
tanggung jawab kepada mereka setelah menyampaikan beberapa pesan.
"Okey, nama gue Raka. Satu hal dari gue adik-adik, lindungi teman kalian, lindungi saudara
kalian mulai dari sekarang. Seperti kata ketua tadi, i hope too. Kalian bisa terima diri kami, diri
kalian dan teman-teman seangkatan kalian sebagai keluarga kedua. Dan tentu, dalam sebuah
keluarga akan selalu ada kesopanan yang dijunjung tinggi, maka dari itu ...." Raka
menggantungkan kalimatnya, ia melirik Anya dan teman-teman yang lainnya.
"Jangan sampai gue dengar keluhan tentang kalian dari senior di atas atau bahkan dari saudara
gue yang ada di samping kiri kanan gue." Jelas ada nada sarat penuh kejam di sana. "Informasi
terakhir, Anya, tidak ingin terlalu dekat dengan semua laki-laki. So, untuk kalian para cowok,
menjauh minimal 1 meter. Awas aja kalau sampai kalian melanggar itu, kalian berurusan sama
gue."
Anya hanya menatap lurus, menghiraukan tatapan bertanya dari seluruh junior-nya saat ini.
Mungkin, jika itu adalah perempuan lain, mereka akan merasa terbang dengan segala kalimat
Raka yang begitu seolah melindunginya.
Tapi, tidak dengan Anya. Ia bukannya tidak tertarik atau tidak memiliki perasaan. Tapi, ia terlalu
takut ketika ia memikirkan hal itu, malah perasaan yang seharusnya tidak ada justru akan
membawanya mewujudkan segala ketidakinginan dari mamanya.
Ia sudah lupa kapan terakhir kali merasakan indahnya jatuh cinta, senangnya mendengar detak
jantung berlebih serta hangatnya pipi merah di wajah. Sepertinya ... SD?
Anya tertawa kecil, tertawa palsu. "Nggak. Nggak usah terlalu kaku." Anya tersenyum manis,
berusaha terlihat tulus.
"Anya, udahlah. Kita tahu, kok. Jangan sampai jadi masalah." Dhey, teman seangkatannya
angkat bicara. Disusul anggukan beberapa orang dengan tawa melerai hangat.
"Jelas, adik-adik?" Teman seangkatannya mengambil alih. Tersenyum lebar dan mulai
memperkenalkan diri serta mengajak para peserta untuk bermain games.
Anya tertawa manis, tidak terlihat tersipu sama sekali. "Apa sih lo, alay banget."
Senyum Raka mengembang hingga matanya menyipit, walau dalam hati ia mendesah sedih
karena kembali menelan pahitnya keadaan bahwa perempuan di hadapannya ini tidak mengerti
perasaannya.
Lepas dari segala kegiatannya di sekolah, Raina menghembuskan napas, antara lelah dan lega.
Rencananya hari ini ia akan langsung pulang, tiduran sebentar lalu mulai kembali memikirkan
apa yang akan dia lakukan malam ini.
Setidaknya, itu rencananya.
Kenyataannya, saat Raina membuka pintu rumah yang ia tempati sendiri, dirinya justru
mendapati Salsa tengah membereskan ruang tamunya.
Rumah yang ia tinggali sendiri memang jarang ia bereskan. Sesekali ibunya akan datang
berkunjung bila tidak sibuk dengan pekerjaannya sebagai pesohor ibukota.
Iya, dia sendiri juga heran kenapa dia sebagai anak orang terkenal malah harus hidup mandiri
seperti ini?
Tapi, mengingat kembali statusnya dalam keluarga dia hanya akan tersenyum, antara sedih dan
juga memaklumi segalanya. Menerima kenyataan bahwa dirinya adalah anak yang tidak
diinginkan ibunya. Anak yang tidak sengaja ada di dunia. Bahkan, hingga usianya menginjak
delapan belas tahun, ibunya masih seolah menjadi wanita lajang tanpa tanggung jawab.
Ia selalu saja ingin mengoyak segala tindak tanduk ibunya yang terlalu haus akan ketenaran
sehingga tidak akan membiarkan apapun menjatuhkannya. Termasuk anaknya saat ini.
"Lo ngapain di sini? Kok bisa masuk?" Sedetik ia bertanya, ia menganggukkan kepala, baru
mengingat bahwa ia memberikan kunci cadangan kepada kekasihnya itu.
Salsa menyengir, ia mendekat setelah membersihkan tangannya. Menarik Raina duduk di sofa.
"Aku ke sini, pengen minta maaf." Raina mendengus saat melihat wajah Salsa yang tampak tak
begitu merasa bersalah.
Ia mengangguk saja, memilih berbaring di sofa setelah ia menendang punggung Salsa dengan
pelan. Tapi, dasarnya saja gadis muda yang memakai kemeja khas anak SMP itu begitu lebay.
"Ih, kok akunya ditendang, sih. Jahat!" Raina tak peduli, memilih memejamkan mata dengan
posisi tengkurap. Tanpa sadar, dirinya terlelap masuk ke alam mimpi.
Salsa bangkit, melihat kekasih yang menjalin hubungan dengannya tak lama ini dengan senyum
merekah. "Setidaknya kamu nggak marah-marah lagi kayak kemarin." Gadis yang berbeda dua
tahun dari Raina itu bergidik ngeri sesaat saat melihat wajah keras dari seorang Raina Sahira.
Beberapa hari yang lalu, ketika mereka berdua seperti biasa menghabiskan waktu berdua, Salsa
dengan tidak tahu malah menunjukkan sikap cemburunya terhadap Anya, sahabat Raina. Walau
sebenarnya bukan tanpa alasan Salsa merasa cemburu.
Kekasihnya itu bahkan mengacuhkannya saat mendapat telepon dari Anya yang katanya
merasa takut dengan sesuatu hal--Salsa tidak terlalu mendengarkan pembicaraan mereka.
Dan saat ia mengeluarkan isi hatinya, Raina justru membentak, dan memaki dengan kalimat
kasar disertai dengan kalimat penuh pembelaan terhadap Anya. Dan puncaknya, Raina
meninggalkan dirinya sendirian di sana.
Sampai sekarang, jujur Salsa tidak merasa memiliki kesalahan sama sekali, tapi terganggu oleh
rasa rindu yang membeludak, akhirnya Salsa dengan setulus hati meminta maaf hari ini.
Walau dia sangat bersyukur Raina tidak lagi marah kepadanya, tetap saja dirinya kesal tidak
diacuhkan sama sekali oleh cewek ini.
"Ah, bodo ah." Salsa berdiri, memperbaiki tatanan rambut sebelum melangkah ke arah dapur.
Dia lapar dan mungkin Raina juga akan terbangun sebentar lagi karena kelaparan.
Makanya, Salsa dengan sigap menggoreng nugget dan sosis yang dia bawa dari dalam kulkas
dan memakannya dengan nasi panas, Salsa sedikit heran, kapan kekasihnya ini sempat
memasak menggunakan rice cooker?
"Kamu ngagetin," ujarnya dengan mata membulat lucu serta pipi menggembung karena belum
selesai mengunyah.
"Masih ada, nggak?" Salsa baru saja berniat menjawab akan menggorengkan untuk Raina lagi,
malah dirinya dibuat melotot saat Raina dengan santai menarik piring di hadapannya hingga
berada tepat di depan Raina.
Raina menyengir, persis dengan ekspresi wajah yang Salsa tampilkan saat ia kepergok berada di
rumah kekasihnya.
"Goreng buat diri lo aja, gue cukup ini," ucap Raina santai lalu mulai melahap makanannya.
Salsa menggeleng, tidak percaya dengan ucapan perempuan yang tua beberapa tahun darinya.
Mana mungkin seseorang bisa merasa cukup dengan makanan yang hanya tersisa seperempat
piring?
"Cie, care banget." Raina menghempas tangan Salsa pelan sebelum berhasil menyentuh
wajahnya. Dirinya kesal, bahkan perempuan itu belum mencuci tangan setelah memegang
nugget.
"Serah lo, lah." Salsa tertawa. Ia kembali menghadap ke kompor, memperhatikan gorengannya.
"Ya, nggak pa-pa, lah. Malah bagus lagi, gue udah pasti dapat satu orang buat masuk organisasi
gue. Bagus, 'kan? Nggak ribet nyari orang banyak-banyak lagi." Setelah itu, terdengar suara
mengaduh dari mulut Raina saat dirinya dicubit di bahu.
"Jahat banget." Salsa mendengus. Memilih duduk di hadapan sang kekasih, menyodorkan
nugget yang ia goreng. Tepat seperti dugaannya, Raina langsung mengambil nugget-nya. "Kamu
tuh nggak pernah ada romantisnya, yah."
"Eh?" Raina berkedip sekali. Menatap wajah polos kekasih masih dengan kunyahan di mulut. Ia
tersenyum miring sesaat, mendekatkan tangannya ke pipi Salsa. "Makan tuh yang bener,
berminyak banget itu mulut."
Salsa mematung, sedikit kaget sebenarnya. Dia mengerjap saat merasakan kembali elusan di
pipinya. Kali ini sebuah tissue telah membantu pekerjaan Raina. Sejak kapan Raina mengambil
tissue?
"Jangan lupa cuci muka. Lo tuh mukanya gampang minyakan, apalagi habis makan berminyak."
Salsa mengangguk kaku. Raina tertawa geli, mengusap puncak kepala gadis itu gemas. Salsa
masih dalan keterkejutannya. Semakin gemas, Raina mendekat ke arah telinga Salsa. "Gue bisa
'kan romantis-romantisan?" tanyanya dengan nada seduktif. Melihat Salsa merinding, dia
tertawa lebih keras. Kekasihnya ini terlalu menggemaskan, melebihi Myuza, kucing di
sekolahnya.
"Apa, sih?! Najis!" Salsa mengalihkan pandangan. Wajahnya memerah, bahkan tanpa ia sadari
kemerahan itu sampai di telinganya.
"Lo yang najis," ucap Raina kembali meletakkan tangan di kepala cewek itu. "Masih kecil udah
tahu romantis-romantisan."
Salsa mencebik, tetap tidak memandang kekasihnya. Ia berjalan mencuci piring bekas
makannya dan memilih berada di ruang tamu.
***
"Lo, tuh kok bisa ini, sih?" Raina memiringkan kepala tidak mengerti. Saat ini dia dan Anya
sedang duduk di pintu salah satu basecamp organisasi di sekolahnya. Basecamp tersepi
dibanding basecamp kedua organisasi cewek ini. Maklum, ini hari Minggu, hanya ada segelintir
orang dengan urusan organisasi mereka. Di sekolahnya, kegiatan organisasi hanya diadakan
"Bisa apaan? Gue nggak ngerti." Raina terkekeh saat Anya malah berdecak.
Sesaat Anya mengedarkan pandangan, memastikan tak ada yang akan mendengar percakapan
mereka. "Lesbi, lo tahu." Dia mengendik, berusaha tidak terlalu kaku menanyakannya. Agar
tidak memunculkan rasa tidak enak di hati sahabatnya.
Raina membulatkan bibir, memandang ke atas plafon sekolahnya. "Gue ... juga nggak tahu, sih.
Mungkin lo atau sebagian orang yang tahu mikir gue ketularan sama Salsa. Nyatanya, Salsa
bukan yang pertama," ucapnya menjeda sebentar, memandang reaksi Anya yang sangat
terkejut. Raina tidak pernah memberitahukannya.
"Gue coba inget-inget dulu." Menghembuskan napas, Raina meluruskan kaki. "Ah, sepertinya
karena gue begitu dekat banget sama seorang cewek yang gue anggap kakak dari kecil. Dia anak
angkatnya ibu, jauh sebelum gue lahir, gue inget dari cerita dia sih, katanya dia diangkat cuma
buat agar ibu tuh dipandang dermawan sama fans-fans-nya." Raina mengendik, nampak sangat
tidak ingin membicarakan soal ibunya.
"Dia tahu gue tuh anak yang terlahir karena kesalahan ibu gue. Dia yang akhirnya urus gue
tepat setelah gue lahir, itu katanya dia sih, gue nggak ingat soalnya." Tertawa, jelas itu adalah
tawa kepedihan. Anya tidak merespon. Ia tahu soal fakta bahwa ibunya Raina adalah seorang
pesohor terkenal.
"Terus, karena umur kita beda sekitar sepuluh tahunan, di usia gue tujuh tahun, dia udah
ngelakuin hal-hal aneh ke gue. Gue saat itu nggak paham. Cuman ... karena gue ngehormatin
dia, gue ikutin aja semua yang dia lakuin."
Anya tidak perlu bertanya perlakuan macam apa yang Raian terima.
Cukup lama jeda cerita dari Raina, sesaat sebelum Anya berpikir akan merespon, Raina kembali
bersuara.
"Di usia gue lima belas tahun, awal masuk SMA lah. Dia pergi, jauh banget. Di Merauke. Katanya
di sana ia ketemu sama keluarga kandungnya. Dia ninggalin gue yang akhirnya udah merasa
nyaman sama perlakuan dia. Dia ninggalin gue dengan luka yang tidak dia bawa sama sekali."
Menghela napas, ia melanjutkan, "ya udah, habis itu gue nggak berusaha buat berhenti
mengikuti perasaan gue. Gue malah ngebiarin dan malah terus nurutin hati gue. Sampai
sekarang kayak gini."
Mereka berdua sama-sama menghela napas. Tak ada yang bicara hanya sesekali mereka akan
memandang langit atau justru tanah di hadapan mereka.
Dulu, mungkin Anya akan tidak percaya dengan ungkapan cinta tidak pernah salah, sebab ia
selalu mempersalahkan cinta ... karena beberapa kasus pelecehan terjadi berawal atas nama
cinta.
Tapi, sejak dirinya mengenal Raina dan segala kisahnya, ia menelan kembali ludahnya. Rasa
cinta antara Raina dan Salsa bukanlah satu kesalahan, walau sebagian orang mengatakan itu
salah.
Sebenarnya, dua gadis tanggung ini bukan orang yang mendukung sepenuhnya terkait
hubungan sesama jenis. Raina bahkan tidak berkoar-koar apapun itu terkait pembelaan
perasaannya. Ia hanya menjalaninya, membiarkannya mengalir tanpa tahu akan ke mana
hubungan mereka.
Anya berjalan ke pinggir lapangan, tadi dia sempat memberikan arahan kepada teman
organisasinya yang berada di bidang berbeda dengannya.
Terkutuklah teman seangkatannya yang berhalangan hadir. Membuatnya harus mengatur dua
bidang sekaligus. Untung saja, di bidangnya sendiri, adik-adiknya tidak terlalu susah diatur.
Terkutuklah juga kepada senior-seniornya yang masih menjabat sebagai pengurus tapi malah
menyerahkan semua tanggung jawab ke angkatan Anya. Dengan alasan, mengerjakan laporan
pertanggungjawaban mereka.
Anya mendongak, merasakan benda dingin menyentuh pipinya, dia melihat Raka yang sesaat
terkejut lalu memilih mundur menjauh darinya. Anya mendecih. "Lo mundurnya telat, kenapa
nggak ngomong aja sih? Gue pasti dengar 'kan, lo panggil," cibir Anya. Raka memang sesekali
melanggar aturan yang bahkan begitu ia tegaskan pada orang lain. Beberapa kali, Anya harus
menahan diri agar tidak kelihatan sedang tersiksa dengan perilaku cowok itu.
Raka menggaruk tengkuk belakang. "Ini, gue beliin minum. Capek banget keliatan," ucapnya
menyodorkan sebotol air dingin. Anya menerimanya dengan sangat cepat, lalu membuang
muka.
"Makasih."
Terdiam, Anya mulai berpikir, laki-laki di sampingnya ini begitu perhatian kepada anggotanya.
Mungkin, saat pemilihan ketua umum nanti, ia yang akan mendudukinya.
"Duduk sini." Anya membolakan matanya, kaget sendiri dengan ucapannya. la mendongak,
menatap Raka yang juga terkejut.
"Eh? Nggak usah, Nya. Gue di sini aja, lagian gue juga harus balik latihan."
"Gue pengin ngomong. Nggak pa-pa. Gue baik-baik aja, kok." la mendesah. Sudahlah, ia
terlanjur mengajak laki-laki itu duduk di sampingnya. Menekan segala ketakutannya, ia berkata
lagi, "htung-hitung sebagai latihan biar nggak terlalu takut lagi." la mengendik, berusaha terlihat
tenang walau seluruh tubuhnya terasa panas.
Raka terlihat begitu canggung saat memilih duduk di sisinya, ia tetap memberi jarak, agar tidak
terlalu membuat Anya tertekan.
"Lo...." Anya menggantungkan perkataannya, menoleh ke arah Raka. Menurutnya, Raka cukup
ganteng dibanding teman laki-laki seorganisasinya.
Raka juga menoleh, membuat mereka sesaat saling bertumbukan mata, tapi sekejap itu juga
Raka membuang muka.
"Lo berambisi banget jadi ketua, ya?" la tentu sangat sadar, perlakuan baik laki-laki ini kepada
teman seangkatan juga senior dan junior-nya bukanlah hal yang ia lakukan secara tulus tanpa
niat apapun.
Raka menyeringai, tak malu mengangguk. "Iya. Gue ngerasa senang aja sih dianggap
pemimpin," jelasnya tanpa disuruh dan tanpa beban.
"Hm." Anya menyahut asal. la memandang ke arah adik-adik yang sebidang dengannya
ditambah beberapa orang dari angkatannya sedang sibuk menghapal materi.
"Raka." Seruan itu membuat Anya mengatupkan kembali bibirnya tidak jadi merespon
pertanyaan cowok itu. la menoleh ke arah suara, begitu juga dengan Raka.
Di sana ada Kak Naufal, ketua umum tahun ini. la berpikir, kenapa seniornya itu begitu santai di
saat teman seangkatannya yang lain sibuk menyusun laporan pertanggungjawaban?
Anya membuka air dingin yang berada di tangannya. Meminumnya setengah dengan cepat, lalu
memberikan kepada Raka sebelum laki-laki itu benar-benar melangkah menjauh darinya.
"Nih. Lo habisin aja." la tersenyum kecil, menyodorkannya tanpa berniat melakukan sentuhan
fisik dengan Raka.
Raka menerima dengan gembira tentunya. Dan sisa hari ini, mereka habiskan dengan segala
kesibukan latihan.
Sudah hampir dua minggu mereka melakukan latihan rutin, setiap hari. Karena, mulai dua hari
ke depan, akan ada latihan bersama yang diadakan oleh sekolah lain. Tentu, mereka tidak ingin
terlihat memalukan karena tidak melakukan persiapan.
Dan, hari Sabtu pagi, mereka kembali berkumpul di gerbang sekolah, berniat berangkat ke
tempat latihan.
"Nya, bareng siapa, lo?" Anya menoleh, memandang Raka yang berjarak sekitar dua meter
darinya. la tersenyum, bersyukur Raka tidak mengambil kesempatan sebab Anya sudah bisa
dekat dengannya kemarin.
"Nggak tahu, nih. Si Ruri nggak datang. Sakit katanya." Anya terlihat gelisah, kenapa juga
sahabatnya yang biasa bersamanya saat di organisasi malah jatuh sakit?
"Sama gue aja." Anya terkejut. Menatap Raka yang seolah tak sadar mengatakan itu.
"Lo gila?!" Oke, Anya menarik kembali perkataannya soal Raka yang tidak mengambil
kesempatan soal kedekatan mereka kemarin. "Bodo ah, kalau nggak ada cewek yang mau
gonceng gue, gue pulang aja."
Raka meringis, merasa bersalah, ia mengutuk berkali-kali dalam hati, merutuk mulut bodohnya
yang tidak bisa dikendalikan. Raka memandang kepergian Anya dengan raut sedih. Dia juga
memilih berjalan berlawanan arah. Berusaha mencari motor siapa yang kosong saat ini.
Dan, sialnya, semua orang sudah punya boncengan selain dirinya. Masa iya Anya tidak ikut
sama mereka?
"Anya." Panggilan itu membuat Raka menoleh, memandang Anya yang berhadapan walau
berjarak dengan seniornya, kak Putra. Raka memicingkan mata, mempertajam telinga berusaha
mencuri dengar pembicaraan dua orang yang tidak jauh darinya.
"Kamu sama Raka, 'kan?" Ah, Raka baru mengingat, seniornya ini jarang ada di sekolah,
membuat ia tidak terlalu mengenal mengenai diri juniornya.
Di pandangan Raka, ia melihat Anya menggeleng keras, nampak sangat tidak setuju dengan hal
itu.
"Nggak bis--"
"Ikut." Suara itu begitu tegas. Anya sesaat merinding mendengarnya. Mengingat kembali
pertemuan pertama mereka berdua, di mana Anya dimarahi habis-habisan hanya karena tidak
mau bergandengan tangan dengan salah satu teman angkatannya--cowok.
Anya menghela napas. Tidak bicara, hanya memandang seniornya dengan tatapan yang di
mana Putra tidak bisa mengartikannya.
Raka meringis di tempatnya, memandang kedatangan Anya yang memberengut marah.
"Sorry," cicitnya.
Anya hanya diam, memilih menerima helm dari Raka, naik ke motor saat laki-laki itu
memerintahkannya. Berusaha menjaga jarak dan terus mengontrol pikirannya agar tidak
berpandangan buruk soal Raka.
"Kata Raina, nggak semua laki-laki selalu punya pemikiran jahat tentang cewek," gumam Anya
sedikit lebih keras sebenarnya, membuat Raka memandang dari spion dengan alis terangkat.
Jujur, ia tidak tahu apa alasan temannya itu begitu takut dan memberi jarak dengan laki-laki.
Pertemuan pertama mereka, Anya mengatakannya dengan gamblang, membuat Raka seolah
terpaku untuk mengikuti perintah serta melindung cewek itu.
"Kata mama, yang berpotensi lebih besar mengahancurkan perempuan adalah keluarga laki-laki
mereka sendiri." Raka semakin tidak dibuat mengerti. la lebih memilih memandang lurus ke
jalanan berusaha menghiraukan rasa penasarannya.
***
"Hey, Raka. Whatsapp?!' Seruan itu membuat Raka dan Anya menoleh, sedikit terkejut. Namun,
sesaat setelahnya, Raka berjalan mendekat dengan senyum lebar dan mengangkat tangan ke
udara yang disambut dengan hig five dari cowok yang menyapa.
"Hey, Rian. Apa kabar nih, calon ketua?" Mereka tertawa dengan hangat.
Laki-laki yang disebut Rian itu menoleh ke arah Anya, lalu kembali memandang Raka dengan
alis terangkat. "Siapa, Ka?"
"Oh, itu si Anya." Raka mendekat ke arah Anya, ia berbisik pelan, "Nya, itu calon pengurus PMR
di sekolah ini. Lo baik-baik sama dia ya, jaga jarak nggak pa-pa, 'kan? Asal jangan terlalu jauh
aja."
Anya memandang tajam Raka. Tidak memperdulikan segala perkataan cowok itu. Apa ia
melupakan soal Anya yang begitu ketakutan berhadapan dengan seorang laki-laki?
Namun, pernyataan Raka ada benarnya juga, ia harus menjalin hubungan erat dengan sesama
organisasi di sekolah lain. Makanya, dengan tubuh sedikit tremor dan keringat dingin menjalar
di punggung, ia mendekati Rian.
Kedua pasang mata berwarna hitam itu saling menatap. Anya membulatkan mata tidak sadar
karena keterkejutannya.
Rian, salah satu makhluk keji yang menghancurkan kehidupan putih biru Anya. Dirinya bahkan
masih begitu mengingat semua kejadian itu. Seolah itu adalah sebuah cerita kemarin yang
masih memberikan bekas Iuka basah.
Anya tersenyum getir, membalas salam cowok itu dengan mempertemukan kedua tangan di
dada, tanda bahwa ia tidak ingin bersalaman.
"Gu-gue duluan," ujarnya pelan. Berjalan setengah berlari, menyeret kaki yang mendadak
seperti jeli.
la berhenti, merasa sudah cukup jauh dari dua laki-laki tadi. la memegangi dada, terengah.
Rasanya sesak, seolah ada ribuan batu yang menyempitkan paru-parunya.
Perlahan, rasa sesak itu memanjat ke kerongkongannya, membuat Anya sangat ingin menjerit
keras. Karena tak kunjung melakukannya, sesak itu naik ke atas mata, memberikan efek panas
luar biasa.
la menitikkan air mata. Menjerit dalam batin seolah ingin mati saja.
Kenapa?
Kenapa setelah sekian lama ia berusaha menata hati, berusaha menata pikiran, ia malah
dipertemukan kembali? Sudah tiga tahun berlalu, efek Iuka itu masih sama.
"Hey, are you okay?" Suara itu membuat Anya yang sedang setengah menunduk itu kembali
mendongak. Menghapus jejak air mata di pipi, ia menoleh, tersenyum paksa. "You look so hurt.
Where's the pain?" Suara yang begitu hangat.
Tangan panas yang kini menggenggam tangan tremor Anya menatapnya dengan sorot
khawatir. Walau ia tidak mengenal Anya, kebiasaan dalam berorganisasi di bidang kemanusiaan
ini sedikit demi sedikit melahirkan simpati dan empati dalam diri perempuan cantik ini.
"Gue ...." Anya sesegukan. Membuatnya mengatupkan kembali bibir. Perempuan itu
menggeleng, menuntun Anya ke sebuah gedung yang Anya rasa adalah UKS.
Setelah tenang, Anya mendongak, menatap iris berlensa kebiruan itu dengan tatapan penuh
terima kasih, walau sedikit ia menyelipkan tatapan seolah meminta agar perempuan itu
memberikan waktu baginya untuk sendiri.
"Lo udah baikan? I wanna go out, now. If you need somehelp, just call my name. Iris."
Perempuan itu tersenyum tenang, menangkap maksud Anya dengan baik. Memilih melangkah
keluar ruangan.
Anya bernapas, entah lelah atau lega. Memilih membaringkan diri di kasur empuk itu dan
memejamkan mata.
Setidaknya, untuk saat ini ia harus bersyukur, bisa menahan diri sejauh ini.
Setidaknya, untuk saat ini ia harus berhati-hati, tidak lagi berhadapan dengan masa lalu, agar ia
bisa hidup dengan tenang.
Langkah kecil gadis itu terlihat begitu ringan. la bersenandung pelan, merasa bahagia.
Rambutnya bergelombang tertiup angin. Di tangan kanannya tengah memegang selembaran
uang 1.000.
Usianya sudah cukup mandiri untuk berjalan sendiri dengan tujuan membeli minuman dingin.
Walau terbilang cukup dekat dengan rumahnya, tetap saja bagi gadis berusia sembilan tahun
itu masih sangat jauh.
"Nak," panggil seseorang. Gadis itu menoleh, memandang lugu seorang kakek renta, walau
terlihat masih segar bugar.
la mendekat, bersenandung kecil tanpa mengalihkan pandangan. "lya, Om?" Lucu sekali ia
memanggil kakek itu dengan sebutan Om. Tapi, ia takut jika seseorang akan tersinggung,
makanya siapapun yang ia temui, akan dia panggil Om atau Tante.
"Sini, dulu," ajaknya. Tanpa rasa curiga, gadis kecil itu masuk ke halaman rumah. Memandang
dengan jarak dekat si kakek yang tengah duduk di kursi plastik. Tidak lama setelah sang kakek
duduk, tangannya ditarik, sedikit dipaksa menghadap membelakangi kakek itu.
Si kakek tidak menjawab, tak lama, gadis kecil yang memaki baju berwarna pink itu merasakan
guncangan pada tubuhnya, ia tertarik maju mundur.
Panik, Gadis itu berteriak lebih kencang, "Om, aku mau pulang, mama nyuruh beli sesuatu, Om.
Harus cepat katanya."
Diabaikan, dirinya sekarang justru mendegar suara-suara aneh dari kakek tua itu. Gadis itu
semakin panik, ia berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari sana.
Berhasil, ia segera berlari menjauh dari rumah itu. Napasnya teesengal, jantungnya berdebar
dengan kencang.
Napasnya hampir habis saat ia sampai di pelataran toko. la berusaha menenangkan diri dan
mulai berbelanja.
la berjalan kembali menuju rumah. Tidak seceria tadi, ia terus menunduk. Pikiran gadis kecil itu
sedang kalut sekarang.
Saat ia melewati rumah itu, ia berlari kencang, tidak memperdulikan apapun di sekitarnya. la
menoleh, memandang kakek tua itu yang tersenyum dengan pandangan aneh.
Gadis itu tidak mengerti, ia membuang muka dan segera berlari menjauh.
***
"Om!" Suara Anya semakin lama semakin keras, walau terdengar begitu rintih.
Panik, Raka tidak berpikir dua kali untuk mengguncang tubuh Anya.
Anya tersentak, membuka lebar matanya danterkejut saat mendapati Raka begitu dekat
dengan dirinya, kedua tangan cowok itu bertengger panik di bahunya.
"Argh! Lo mau ngapain gue?! Ampun!" Anya beringsut mundur, hingga ia terjatuh dari
ranjangnya. Suara debaman keras membuat beberapa orang masuk, walau hanya di depan
pintu.
"Nya," panggil Raka pelan, beringsut maju ingin membantu. Anya histeris, semakin mundur
hingga tubuhnya menghantam tembok dengan keras.
"Anya!" Iris maju mendekat, mendekap gadis yang ia ketahui namanya dari diskusinya dengan
cowok yang sekarang berdiri panik dan gelisah di belakangnya.
"Tolongin, tolongin, gue!" Histeris, Anya berteriak menangis, Iris menggumamkan sesuatu,
nampak berusaha menenangkan gadis yang baru ia kenal.
"Dia." Anya menunjuk ke arah Raka dengan tangan gemetar hebat. "Dia mau perkosa gue. Dia
mau hamilin gue!" Semakin histeris, Anya justru beringsut semakin merapat ke tembok,
membuat Iris hampir saja lengah dan melepaskan pelukannya.
la memandang ke arah Raka, memandangnya dengan sorot yakin. Tadi, ia ada di sana.
Mengintip dari ujung pintu saat mendengar suara Anya. Tidak ada yang benar dari ucapan Anya
yang mengatakan cowok ini ingin melakukan hal bejat.
"Pergi, menjauh dari gue," seru Anya dengan suara begitu pelan. Iris kembali menatap Anya,
sedetik setelahnya, ia memandang Raka lagi, memberikan isyarat cowok itu harus keluar dari
sini.
Raka paham, ia berbalik, mundur dengan perasaan kalut. Tak menyangka bahwa reaksi
Anyaakan seperti ini.
la merasa akhir-akhir ini Anya berhasil mengurangi ketakutannya terhadap laki-laki sedikit demi
sedikit.
Rasa bersalah menyelimutinya, mungkin karena tindakannya ini Anya akan semakin kesulitan ke
depannya. Menghela napas, Raka memilih bersandar di dinding, membiarkan dirinya jatuh
terperosot hingga terduduk. Semua orang menatap iba, tak berani bicara.
Di dalam ruangan, Iris memeluk erat Anya. Ikut merasa sedih entah dengan alasan apa. "Nya,
it's okay. You are fine, okay?"
Perasaan tenang dari pelukan Iris, membuat Anya secara perlahan memejamkan mata, ia
terlelap dengan kondisi masih dipeluk Iris.
Iris menyadari hal itu, ia ingin memindahkan Anya ke ranjang, tapi ia sadar ia tak akan kuat.
Maka, dengan suara pelan, ia memanggil siapapun yang ia kenal yang berdiri di depan pintu.
"Hey, ambilin bantal sama selimut. Selimutnya lo alas di lantai," perintahnya. Orang yang
disuruh mengikuti dengan cepat.
Anya langsung dibaringkan oleh Iris. Iris berdiri lagi, mengambil cadangan selimut dan
menyelimuti Anya. la memilih tetap berada di sana. Khawatir Anya akan kembali di luar kendali.
Di luar ruangan, seseorang menepuk pundak Raka. "Dipanggil sama kak Rasyi, Kak."
Raka berdiri tegak, mengusap wajah, berusaha menghilangkan ekspresi kalutnya. la langsung
gugup. Kak Rasyi adalah salah satu senior galak yang tidak akan segan memarahi siapapun yang
memang bersalah di matanya.
Raka dan orang yang tadi memanggilnya berjalan berdampingan. Keduanya sadar, panggilan
dari Kak Rasyi ini bukanlah hal yang baik.
"Okay. Gue boleh tahu apa yang terjadi?" Raka terdiam, memilih seorang teman
menceritakannya, Raka merasa tidak harus memperbaiki cerita dari anak itu, karena ia melihat
anak itu selalu memperhatikan Anya.
"Kalian gila?! Anya dibonceng sama cowok?!" Semua merinding. Merasa ketakutan, tatapan
mata perempuan bergaya tomboi itu mengarah ke arah Raka. "Lo -- gue kira lo tahu gimana
Anya kalau pas lagi sama cowok, ternyata lo cuman cari perhatian sok peduli sama semua
anggota lo."
Rasyi baru hendak ingin berkata lagi, kak Putra menyela, "Kak, bukan salah Raka, tadi saya
minta Anya buat ikut sama Raka, karena dia bilang nggak mau pergi kalau bukan cewek yang
bonceng. Padahal semua cewek tadi udah penuh semua motornya, Kak." Melirik takut, ia
melanjutkan, "kita 'kan tahu, Anya tuh punya potensi gede, ia bisa membuat sekolah ini minder
dan kita bisa dapat pandangan baik dari mereka."
"Lo bodoh?!" Pertanyaan itu terdengar seperti teriakan yang begitu menggema. Putra menciut.
"Gini nih, kalau alumni datang pas acara penting doang. Datang cuma marah-marah. Lo bahkan
nggak tahu 'kan kalau Anya tuh punya rasa takut sama cowok?!"
"Semua bodoh! Gue tuh nggak ngerti sama jalan pikiran kalian, kenapa nggak ada yang mikir
buat harusnya kalian tuh tukaran sama dia, hah?!" Tak ada yang menjawab, mereka semua
sibuk menunduk, menekuri lantai dengan perasaan takut.
Rasyi menghela napas. la memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. "Gue pulang sama
Anya." Setelahnya, ia keluar dari ruangan meninggalkan helaan napas dari seluruh orang yang
ada di sana.
Rasyi berhenti tepat di ruangan UKS. la terdiam beberapa saat ketika mendengar suara dari
dalam. Lalu, dengan langkah mantap ia masuk ke dalam.
"Halo," sapanya. Iris bersama satu orang yang sedang merapikan ruangan menoleh, membalas
senyum dari orang yang baru masuk.
"Masuk, Kak." Iris tak perlu bertanya, orang ini pastilah senior dari Anya.
Menyadari tatapan Rasyi, Iris meringis pelan. la berucap, "Maaf, Kak. Tadi aku nggak bisa angkat
dia ke ranjang." Rasyi tersenyum begitu manis, Iris sesaat mengalihkan pandangan, merasa ada
gelanyar aneh di dadanya.
"Nggak pa-pa." Perempuan yang Iris perkirakan usianya duapuluhan, berjongkok lalu mulai
mengangkat Anya dan memindahkannya di ranjang.
Kedua orang yang menyaksikan berdecak kagum dalam hati, walau mereka tahu, ada begitu
banyak wanita kuat di dunia ini, tapi memandang secara langsung bukanlah hal yang baru bagi
mereka. Iris sendiri baru bisa mengangkat korban pingsan jika ia bersama dua temannya, sesuai
yang diajarkan selama ini aktif di organisasi palang merah ini.
Anya merintih pelan, membuat perhatian ketiga orang di dalam ruangan itu tertuju kepadanya.
Anya mengerjapkan mata, mengedarkan pandangan dan membalas wajah khawatir sang senior
dengan senyuman ramah.
"Kak Rasyiii," panggilnya manja, melupakan sesaat apa yang ia lakukan beberapa saat yang lalu.
Rasyi tertawa geli, ia mengelus puncak kepala gadis di hadapannya. "Gimana? Udah baikan?"
Anya merasa tidak enak. "Nggak usah, Kak. Aku pulang sama yang lain aja."
Anya tahu, gadis cantik dihadapannya ini menaruh hati padanya. la menurunkan bahu lemas,
merasa heran dengan hidupnya yang selalu dikelilingi orang aneh dengan berbagai latar
belakang yang dirinya masih tidak bisa memahami.
"Lo ... kenapa?" Rasyi bertanya pelan. Sesekali, ia melirik Iris dan temannya dan tersenyum
seolah memberi kode bahwa ia dan Anya ingin ditinggal berdua.
Sayangnya, tidak seperti pada saat Anya memberinya kode, Iris tidak mengerti apa maksud dari
lirikan Rasyi itu.
Nggak pa-pa, Kak. Tadi sebenarnya ada mimpi buruk, jadi agak kaget pas lihat Raka." Anya
tersenyum menenangkan, ia lalu mengalihkan pandangan kepada Iris dan berkata dengan tulus,
"Maaf ya, merepotkan. Terima kasih bantuannya."
Iris membalas senyumnya. la memerintahkan temannya itu untuk keluar lebih dulu, lalu
kembali menghadap kedua orang yang baru ia kenal hari ini. "Bisa kita ngomong berdua, Kak?
Di luar?"
Rasyi menoleh, mengangkat alis heran tapi tetap mengangguk. ia pamit sebentar ke Anya dan
mulai melangkah keluar lebih dulu.
"Ada apa?"
"Anya...." Iris menggaruk hidung canggung. "Dia ada trauma, ya?"
Iris semakin canggung, kini ia bergerak tidak nyaman. "Dia kayak orang yang punya trauma gitu,
mungkin aja mimpi buruknya itu sumber traumanya."
"Gue nggak tahu," imbuh Rasyi, ia melengos tidak suka dan melanjutkan, "udah, 'kan? Gue
pamit. Thanks, udah bantu adik gue."
Tanpa mendengar jawaban Iris, Rasyi kembali masuk ke dalam ruangan. Iris terpaku di tempat,
heran juga kenapa dirinya begitu peduli seperti ini.
Keheningan malam, tak urung membuat dua sepasang kaki ini berhenti melangkah. Kaki jenjang
milik kedua gadis cantik ini tampak telaten menekuni jalan yang tidak beraspal.
"Gue .... ngerasa bersalah banget, Na." Selepas dirinya sampai di rumah, diantar oleh kak Rasyi,
Anya yang sedang sendirian -- seluruh keluarganya memilih bergabung dengan keluarga lain
yang sedang mengadakan pernikahan — langsung menelepon Raina untuk menemaninya
malam ini, sekaligus tempatnya mengutarakan semua isi hati.
Bersyukur, Anya punya alasan sedang bersekolah, sehingga ia bisa terhindar dari bertemu
dengan para keluarganya, khususnya yang laki-laki.
Satu hal lagi, ia juga merasa beruntung tidak ikut di acara keluarga itu, sehingga ia dengan
bebas bisa keluar malam seperti ini tanpa adanya serentetan pertanyaaan menyebalkan.
"Lo 'kan tahu, tadi gue kelepasan, ketemu sama dia malah buat gue makin parah, Na. Ini aja gue
yakin nih, ada cowok lewat pasti gue langsung histeris lagi." Anya menunduk, memandang
sepatu putihnya yang terlihat begitu bersinar di kegelapan..
Raina menghela napas. "Gini aja, lo mau minta maaf, 'kan?" Melihat Anya mengangguk, ia
melanjutkan, "menurut lo cara bagus minta maaf biar lo nggak histeris lagi gimana?"
Diam, mereka berdua mulai terlihat berpikir, tak lama, Anya berseru, "Bisa. Dia nggak boleh
bersuara, gue nggak boleh lihat, yang berarti pas gue minta maaf gue menghadap belakang."
Anya mengangguk mantap, walau sesaat ia menunduk lesu lagi. "Tapi masa iya cara minta
maafnya gitu? Nggak niat banget."
Raina mengangguk mengerti, ia dengan segera menarik tangan Anya lalu berbalik arah menuju
ke rumah. Sementara tangan yang bebasnya dia gunakan untuk menelepon seseorang.
"Ka, sharelock rumah lo, dong. Gue ada perlu sama lo nih. Sekarang." Terlalu to the point, tidak
suka basa-basi. Anya bahkan yakin, laki-laki yang ditelepon Raina pasti kaget bukan main.
Saat mereka sampai di halaman rumah, Anya segera mengikuti perintah Raina untuk naik di
motornya dan mulai menjauhi rumahnya..
Sepanjang perjalanan, Raina harus merelakan baju dan bahunya basah oleh air mata karena
Anya yang begitu mendengar suara cowok berbincang di pinggir jalan sepanjang perjalanan,
merasa sangat ketakutan dan histeris. Anya selalu seperti itu, jika mimpinya kembami terulang,
akan butuh waktu berhari-hari untuk bisa kembali menyesuaikan diri. Ditambah kondisi Raka
dan Anya tadi ... jelas memperkeruh keadaan. Raina juga harus mengeluarkan kekuatan extra
untuk menjaga keseimbangan motornya.
Begitu sampai, Anya turun dari motor dan memandang rumah minimalis di hadapannya.
"Rapihin dulu muka, lo. Masih sesegukan juga gitu." Anya meringis, menerima beberapa lembar
tissue yang disodorkan Raina.
Mencoba mengingat, sahabatnya ini walau dibilang sedikit kelaki-lakian, tapi cukup menjunjung
tinggi kebersihan wajah, makanya ia begitu cantik dengan wajah tomboinya itu.
"Udah?" Anya mengangguk, ia mempersilakan Raina masuk duluan dan mengetuk pintu kayu
berwarna cokelat di hadapan mereka. Anya sendiri sudah siap dengan posisi memunggungi
pintu takut jika laki-laki yang mereka cari langsung muncul.
"Waalaikumsalam," balas seseorang saat Raina mengucap salam. Anya refleks berbalik saat
menyadari itu adalah suara perempuan setengah baya, yang ia yakini adalah ibu dari Raka.
"Raka ada, ibu?" Anya yang lebih dulu mengeluarkan suara. Merasa sosok dihadapannya adalah
mamanya sendiri saat melihat wanita itu tersenyum penuh kelembutan.
"Ada. Tadi dia udah cerita sih, mau kedatangan teman cewek. Mari, masuk." Refleks kedua
remaja ini menggeleng.
"Dl' sini aja, ibu," tolak Raina sopan. Sang wanita itu tersenyum lagi, memilih masuk ke rumah
setelah mengatakan untuk menunggu kepada Raina dan Anya.
"Eh, nggak usah ngomong. Lo diam aja," ucap Raina memberikan efek lega kepada Anya. "Jadi,
ini Anya, kalau lo merasa nggak kenal dia karena dia balik belakang." Raina sedikit terkekeh di
akhir kalimatnya.
"Dia pengen minta maaf, karena dari cerita Anya tadi, dia kelepasan di sekolah orang, terus
nuduh lo yang nggak-nggak. Dan, Oh ya, untuk menghindari hal yang sama kedua kalinya, Anya
minta biar lo nggak muncul di penglihatan dan pendengaran dia."
Anya tidak dapat melihat bagaimana reaksi cowok itu, tapi begitu mendengar perintah Raina
untuk memulai kalimatnya, ia menghela napas.
"Gue .... minta maaf, Ka. Sumpah, gue nggak maksud buat nuduh lo yang enggak-enggak.
Cuman emang tadi gue rada sensitif banget sih." Menjeda, Anya terisak, membuat tanpa sadar
Raka melangkah maju selangkah, tapi begitu ingin melangkahkan kaki yang kedua, tangannya
dicengkram kuat sekali oleh Raina, membuat Raka mengelusnya kesakitan.
"Ini mungkin permintaan maaf teraneh yang pernah lo dapatkan, gue malah balik badan kayak
gini. Tapi, ini lebih baik daripada nggak minta maaf, 'kan?" Anya masih berusaha mengontrol
tangisnya. la menghela napas berat, lalu melanjutkan, "Oh ya, gue bisa minta satu hal nggak?
Selama gue masih kayak gini, gue mungkin mau vakum bentar dari PMR, tapi kita liat aja siih
gimana nantinya. Gue cuma mau minta lo ngejauh dulu dari gue, dan minta juga ke teman-
teman cowok lo yang lain yang kiranya punya urusan sama gue, mending semua ditunda dulu."
Bukan merasa sok terkenal atau sok dibutuhkan, nyatanya selama dua tahun di SMA ini, begitu
banyak yang memintainya bantuan, baik untuk urusan organisasi ataupun akademik.
"Udah sih. Itu aja. Gue pamit, salam sama ibu lo, ya."
Raina ikut saja saat dirinya ditarik oleh Anya. la sempat tersenyum kecil dan mengucapkan
salam juga ke ibu Raka.
Raka linglung, sesaat ia merasa akan terjatuh jika tidak bersandar ke pintu di belakangnya yang
sempat ia tutup tadi.
"Bodoh banget sih, gue. Gue malah ngebiarin dia jatuh dan gue nggak bisa ngapa-ngapain."
Raka menghembuskan napas kasar, merasa dirinya sangat tidak berguna.
Raka memilih duduk bersandar di pintu rumahnya. Merenung entah berapa lama Ibunya
bahkan tidak memanggilnya masuk. Hanya memandangi anaknya itu dari dalam, tanpa disadari
Raka.
Raka menoleh, mendengar suara motor yang ia kenali, bahkan suara kendaraan roda dua itu
mirip dengan kendaraan terakhir yang masuk ke rumahnya malam ini.
Di sana, Raina berdiri dengan senyum ramahnya. Membuat Raka kebingungan, baru hendak
menyela, Raina sudah lebih dulu berkata, "Gue bisa ketemu ibu lo dulu? Takut nggak enak sih
dia ngeliat gue datang dua kali." Raina tidak perlu bertanya kenapa Raka masih ada di sana,
dengan keadaan pintu tertutup di belakangnya.
Raka masih bingung, ia hanya mengangguk dan membiarkan Raina masuk disusul dirinya.
"Ibu, maaf aku balik lagi, hehe," katanya sopan dengan cengiran kecil yangmembuat ibunya
Raka tersenyum semakin lebar, tidak keberatan.
"Nggak pa-pa, Nak cantik. Raka tuh jarang bawa cewek ke sini, seneng ibu ada cewek main ke
rumah." la melangkah ke dapur saat selesai berkata bahwa ia akan menyiapkan minuman.
Raina duduk di sofa, setelah dipersilakan oleh Raka yang kini duduk berhadapan dengannya.
Raina sesaat terdiam, memilih memandangi Raka saat menyadari bahwa ibunya akan segera
mendekat membawakan nampan minuman.
Baru setelah ibu Raka pamit ke belakang, ia bersuara, "Gue, pengen minta maaf atas nama
Anya, yah, sebenarnya lebih ke memperbaiki cara maafnya dia.
"Dia tuh, udah lama banget nggak kayak gini.Terakhir tuh pas SD." Raina memulai ceritanya,
merasa perlu memberitahukan, ia melanjutkan, "gue kenal dia pas SMA, Anya cerita sama gue
seluruh masa lalunya dia."
Raka tidak tahu harus merespon apa, yang ia bisa tangkap, Anya sudah merasa ketakutan
dengan laki-laki semenjak kecil.
"Waktu SD tuh, katanya dia setiap hari nangis, ditegur sama bapak dan kakak cowoknya aja
langsung histeris. Dia sampai mau dibawa ke psikiater."
"Terus?" Raka mencondongkan sedikit tubuhnya. Merasa penasaran dengan kedua siku
bertumpu pada lutut dan tangan saling terkait.
"Tapi, Anya tuh nggak ngerasa dirinya sakit jiwa, makanya ia jauh lebih histeris saat mendengar
kabar dia mau dibawa ke psikiater. Terus, ia akhirnya berjanji dengan dirinya sendiri dan
mamanya, bahwa ia akan sembuh sendiri." Mengedikkan bahu, Raina mengimbuhkan,
"makanya, semenjak hari itu, Anya tuh berusaha keras banget sampai akhirnya bisa berinteraksi
sama cowok kayak sekarang, walau tetap ada jarak,sih."
Rasa bersalah semakin memancar di wajahRaka, Raina menangkap hal itu. "Lo ... ngerasa
bersalah banget, ya?"
Raka mengangguk. '"Iya. Karena gue bodoh banget nyentuh bahunya dan sekarang Anya malah
harus ngulang semua dari awal usaha dia bertahun-tahun." la meringis, memandang Raina.
"Kok dia bisa kayak gini, sih? Maksud gue pemicunya apa?"
Raina menggeleng lemah. "Sorry, gue nggak bisa banyak bicara soal itu, Anya sudah buat gue
bersumpah untuk nggak ngebahas ini sama orang lain." Raina memajukan wajahnya ke arah
Raka, "Tapi karena gue ngerasa lo harus tahu soal Anya sedikit, makanya gue cerita ini."
"Lo tahu, Anya tuh sebenarnya pengin banget bisa sembuh dari keadaannya sekarang. Bahkan
nih, yah, lo tahu 'kan Anya suka baca buku?" Raka mengangguk. "Anya tuh sempat baca dua
novel tentang phobia gitu daru penulis favoritnya dia, pengidap Androphobia, phobia sama
cowok, dan Haphephobia, phobia terhadap sentuhan." Raka memandang bingung, merasa
sedikit tidak mengerti pembahasan mereka. "Dan di novel itu, karakter pengidapnya tuh cewek,
mereka berdua bisa berhasil sembuh dari penyakit mereka karena bantuan seorang cowok. Dan
tentu, mereka akhirnya hidup bahagia dengan si cowok." Raina meminum sedikit sirup jeruk
yang ada di hadapannya. "Makanya itu, Anya tuh optimis bisa ketemu sama cowok-cowok
seperti di dalam novel itu."
Raka mulai mengangguk paham. Raina kembali melanjutkan, "Dan karena gue tahu lo suka
Anya." Tersedak, Raka memandang cewek itu aneh, bagaimana Raina bisa tahu? "Kenapa lo
nggak mencoba jadi karakter si cowok itu?"
Wajah Raka memerah. Tidak pernah terpikirkan sejauh itu. la memandang Raina dengan wajah
kalut dan malu. "Lo tahu darimana gue suka dia? Dan lagi, nggak masuk akal banget gue bisa
menuhin impian Anya punya cowok seperti di novel yang ia baca."Menghela napas lelah, ia
berujar pelan, "sedangkan gue adalah penyebab dari sakitnya dia.
Raina tertawa, mengejek Raka. "Cupu!" Lalu ia beranjak berdiri, menuju dapur dan menyalimi
ibunya Raka, pamit pulang.
"Gue pulang, Ka. Pikirin kata-kata gue, ya!" serunya kepada Raka yang malah bengong di ruang
tamu.
Dan benar saja, Raka mengusap wajahnya kasar selepas perginya Raina. la tidak peduli dengan
pintu yang ditutup oleh ibunya Cowok jangkung itu menghempaskan tubuh ke sofa hingga
berbaring di sana. Rasa bersalah menyeruak hebat di dadanya. Bukan hanya itu saja, ucapan
Raina yang seolah mendukungnya mendekati Anya juga terngiang.
Tujuh -- Penyembuhan
Sudah satu minggu semenjak kejadian itu. Dan sesuai dugaan, Anya menjadi pribadi yang begitu
gampang menangis dan histeris untuk alasan yang sangat kecil.
Kali ini, ia menolak habis-habisan saat seorang guru magang menunjuknya untuk berkelompok
dengan teman laki-laki di kelasnya yang terkenal sangat malas mengerjakan tugas. Kata guru
itu, ia disuruh mengajari laki-laki itu.
"Bu, saya nggak mau!" tegasnya berulang kali. Guru magang itu memandanginya dengan
kebingungan. Raina yang menyadari itu, membisikkan sebuah penjelasan, seolah ini adalah
rahasia antara ia dan guru itu.
Si guru yang habis dibisikkan mengangguk kaku. Sedikit merasa bersalah, ia mengubah
keputusannya.
Semua pasang mata yang ada di ruangan ini menghela napas lega. Mereka juga lelah setiap hari
memandangi drama antara Anya dan laki-laki di sekitarnya.
Anya duduk kembali ke bangkunya. la mengalihkan pandangan, berusaha tidak memandang
lawan jenis yang ada di dalam kelas itu. Setitik airmata terjatuh untuk kesekian kalinya. Sudah
satu minggu ini, Anya benar-benar tidak memandang lawan jenis, bahkan melirik pun tidak.
Ketika guru yang mengajar laki-laki, maka ia akan berpura-pura sakit. la sudah lelah, di dalam
hatinya, ia ingin kembali menjadi Anya yang walau menjaga jarak dengan lawan jenis, tapi tetap
bisa berinteraksi.
Bisa saja dirinya bolos sekolah, tapi .... apa yang harus dia katakan kepada orang tuanya? Saat ia
kecil saja dulu -- ketika ia mengurung diri sebulan mamanya menanyakan banyak hal,
merepotkan bagi anak kelas 3 SD menjelaskan.
"Lo kenapa, Nya?" Anya menoleh, mengendikkan bahu tanpa berkata apa-apa.
Raina menghela napas. Pemikiran untuk mencoba tindakan orang tua Anya yang ingin anaknya
dibawa ke psikiater pada awal-awal Anya histeris begitu menggoda dirinya. Tapi, hati nuraninya
memberontak, dengan alasan Anya adalah sahabatnya.
"Anya, lo nggak ada cara gitu buat kembali kayak awal-awal lagi?" tanyanya suatu waktu.
Melihat Anya menggeleng, Raina merasa hatinya tercubit. Sahabatnya itu bahkan melupakan
masa di mana ia sempat seperti ini waktu kecil.
Anya adalah tipe orang yang akan melupakan segala sesuatu begitu cepat kecuali jika ada yang
menyinggung soal hal itu.
Bersyukur, beberapa kali Anya harus dilemparkan ke masa lalu, membuatnya bercerita kepada
Raina, membuat Raina tahu semuanya.
Anya mengerjap kaget, memandang sahabatnya bingung. Raina menyengir, tak menghiraukan
Anya. la beranjak pergi ke luar.
"Rakaaaa!" panggilnya dari depan pintu saat melihat orang yang dia panggil.
Raka mendekat, memandang bingung Raina.
"Lo harus ajak ngobrol Anya!" seru Raina tanpa tedeng aling-aling, menyisakan raut wajah
terkejut dari cowok atletis di hadapannya.
"Panas," ucapnya menyentuh dahi Raina. "Gue ambilin Obat demam, deh."
"Lo gimana sih? Lo mau Anya semakin histeris lagi? Dia natap cowok nggak sengaja aja, nangis."
"Gini, gue pengen buat Anya histeris lebih dari ini. Bahkan lebih dari saat dia di UKS waktu itu."
Raina menjelaskan dengan penuh kesabaran.
"Kok gitu?"
"Gue pengin ajak dia ke psikiater. Gue harus butuh alasan untuk itu."
"Sumpah gue bingung. Bukannya lo pernah cerita ya, Anya tuh nggak pernah mau dibawa ke
psikiater?"
"Nah, makanya itu, kita harus ngegertak dia, biar kayak dulu, dia yang mau usaha sendiri buat
sembuh." Raka perlahan mengangguk, mulai paham arah rencana dari Raina.
"Jadi?"
"Terus siapa lagi, Rakaaa?" Sekali lagi, Raina berdecak. "Lo kan yang mantik trauma dia, yah jadi
harus elo lah. Itung-itung tanggung jawab."
Raka menghela napas pasrah. Akhirnya dengan segala pertimbangan ia mulai menyimak
rencana Raina. Walau .... kedengarannya sangat sulit dilakukan.
***
"Anya."
Anya menegakkan punggung. la merasakan hawa tidak enak di belakangnya. Kakinya gemetar
saat itu juga. la ingin berbalik. Tapi, ketakutan membuatnya terpaku di sana.
Suara berderap yang ditimbulkan oleh langkah kaki, semakin membuat Anya gemetar.
Sentuhan terasa di bahu, refleks gadis berponi ini berbalik dan melayangkan tinju. Walau tidak
sekuat tenaga.
Suara kekehan membuat Anya yang tadinya menutup mata, membuka matanya perlahan. Di
sana ada Raka yang berhasil menghindar dari tinjunya.
Bola mata Anya melebar, ia dengan segera memundurkan diri, tapi terlambat, tangan kanan
Raka melingkar di pinggang gadis itu, menariknya mendekat, mengurangi jarak yang sempat
tercipta.
"Nggak usah takut kali," ujar Raka enteng, setelah sekian lama Anya hanya berdiri dengan
tubuh gemetar hebat dan mata tertutup, masih dengan tangan Raka di pinggangnya.
Raka sendiri menelan ludah. Antara takut mendapat tinjuan yang tidak bisa ia hindari atau takut
terpesona dengan wajah lucu di hadapannya.
Anya menggeleng. la menjerit, tangisannya menderai walau dengan mata terpejam. Tubuhnya
hanya gemetar hebat tanpa ada perlawanan ingin melepaskan diri dari si pelaku.
Raka antara kasihan dan juga merasa lucu. Akhirnya, ia mengusap kepala Anya, melepas
pelukannya dan menciptakan jarak yang cukup aman.
Anya yang merasa tidak berada dalam posisi menakutkan memilih untuk segera berbalik tanpa
membuka mata.
Sayangnya, sekali lagi tangannya dicekal. "Gue pengin ngomong, Anya Safhira Ibrahim."
Anya histeris. "Huaaaa. Tolong, jangan apa-apain gue, please. Jangan." Rasa gemetar dari
tangan Anya sampai juga di lengan Raka yang menariknya dengan pelan. Membuat Raka
merasa geli. Raka sedari tadi berusaha menahan senyum, ia berpikir, Anya sudah tidak mungkin
akan melayangkan pukulan.
"Nggak. Nggak diapa-apain, kok."
Dengan sisa kesadarannya, Anya menendang tulang kering Raka dan segera menjauh saat
cowok yang tidak siap itu sibuk merintih. Jantungnya berdebar keras, antara ketakutan dan juga
efek dari ia berlari.
Karena masih sibuk berlari, ia terjatuh dan wajahnya mendarat mulus di jalan dekat parkiran
sekolahnya.
Anya menghela napas, membuat debu terbang pas di wajahnya. Alhasil, Anya yang merasa
tidak ingin mendongakkan wajah, harus melakukannya karena ia menghirup debu itu.
"Uhuk." la terbatuk-batuk. Rasa sakit di dadanya semakin terasa karena efek ia terjatuh. la tidak
bisa berdiri. Alhasil, sekarang dirinya hanya mendongak, menatap beberapa motor dan orang
yang hanya melewatinya.
"Nya, astaga, Anya!" Itu suara Raina, suaranya dari belakang Anya. Anya tidak berbalik, ia hanya
pasrah saat Raina membantunya berdiri dan membersihkan sisa debu yang menempel di baju
dan kakinya.
"Lo kenapa, sih?" Anya sesegukan, memandang Raina dengan debu menempel di wajah.
Raina berdecak, ia langsung memeluk Anya, tidak peduli debu di wajah Anya akan menempel di
kemejanya. "Udah, udah. Ayo balik."
Anya masih saja pasrah saat Raina menyuruhnya duduk di jok motor.
Fisiknya tersakiti, mentalnya juga sedang diserang. Lengkap sudah, kelelahan Anya semakin
parah saja. la hanya ingin merasakan empuknya kasur di kamar dengan aroma menenangkan di
kamarnya.
Dan benar saja, tidak memperdulikan Rainna dan ibunya, ia langsung ke kamar, beristirahat
tanpa mengganti seragamnya. Dan mulai memasuki alam mimpi.
Entah berapa lama Anya tertidur, tapi suara perutnya yang kelaparan membuatnya terbangun
dari tidurnya yang terasa begitu menenangkan itu.
Saat ia terbangun, refleks ia berjengit kaget saat memandang Raina ada di sebelahnya tertidur
dengan posisi tengkurap.
Anya mencari ponselnya, melirik jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Na," panggilnya pelan. Menoel bahu sahabatnya itu yang ia tidak sangka akan berada selama
ini di rumahnya.
"Rainaaa." Kesal karena tak kunjung bangun, Anya menabok punggung gadis itu yang
membuatnya refleks terbangun, mengusap punggungnya.
"Nggak ada alasan, sih. Gue cuma mau ngomong aja." Anya mengangguk tidak peduli, memilih
keluar dari kamar dan mulai beranjak ke dapur untuk memakan sesuatu.
Ibunya sudah tertidur dengan posisi menidurkan adiknya yang paling kecil, adiknya yang satu
entah kemana, Anya juga tidak peduli.
"Lo mau makan, Na?" tanyanya tanpa menoleh, mendengar dehaman dari Raina, yang
menandakan iya.
Mereka makan dalam diam, sesekali kedua gadis ini hanya akan memainkan ponsel sebentar.
Raina tidak kunjung bicara hingga Anya menelan makannya. "Kayaknya lo harus ke psikiater."
Anya tersedak, untung semua makanan telah turun di perutnya, ia hanya tersedak air liur.
Raina memberinya segelas air yang langsung ditandas oleh Anya. Anya melotot kaget ke arah
Raina.
"Maksud lo apa, hah?! Lo kira gue gila harus ke psikiater?!" Anya membentak tidak suka,
setengah makanan di piringnya ia pinggirkan begitu saja. Selera makannya langsung hilang.
"Ini tuh penyakit mental, Nya. Nggak bisa sembuh kalau lo nggak ke psikiater."
"Lo beneran ngatain gue gila, Na? Tega lo." Anya tertawa miris.
Raina menghela napas. "Nggak gitu, Nya. Gue ngerasa udah cukup buat lo seminggu ini
menjauh dan nggak berinteraksi sama cowok. Gue ngerasa lo tuh pasti juga capek."
"Terus gimana caranya biar lo bisa sembuh? Minimal kayak dari awal gue kenal lo deh, dengan
segala batasan-batasan lo itu. Gue capek, Nya. Tadi Raka cerita ngerasa bersalah banget
nyentuh lo pas di sekolah tadi. Lo katanya ketakutan banget. Gue rasa itu udah lebih dari cukup,
Anya."
Anya menghela napas lelah. la menunduk, berkata dengan pelan, "Gue bisa sembuh dengan
cara gue sendiri, kok."
Raina tersenyum tanpa Anya sadari. "Lo mau sembuh?! Beneran?!" Anya mengangguk,
tersenyum kecil penuh keyakinan.
Tapi, ia tidak akan mau pergi ke psikiater. la akan sembuh dengan caranya sendiri. la tahu
dirinya, paling mengerti apa yang harus dia lakukan. Motivasinya bisa membuatnya sembuh
tanpa harus pergi ke psikiater. Lagipula ... psikiater kan mahal, mana bisa dia meminta uang
sebanyak itu kepada orang tuanya. Dan lagipula, ia harus memberi alasan apa?
Anya sungguh-sungguh dengan perkataannya pada Raina. la juga begitu keukeuh tidak ingin ke
psikiater sebab merasa dirinya tidak berada dalam gangguan jiwa.
Menyebalkan sekali Raina itu. Jika ia bukan sahabat, Anya sudah akan merencakan pembalasan
yang cukup setimpal kepadanya.
Hari ini, untuk pertama kalinya ia kembali ke organisasi setelah satu minggu lamanya
menghilang. Padahal, saat ia tidak ada, persiapan untuk musyawarah besar sedang dilakukan.
la jadi harus merelakan jabatan sekertaris panitianya direnggut oleh salah satu anggota.
"Eit, Anya Geraldine dah datang nih," sapa seorang laki-laki, Raihan dengan cengiran khasnya.
Walau berjarak, tak ada rasa takut yang tertangkap oleh retina Anya. Bersyukur, Anya
tersenyum kecil tidak terlalu menanggapi.
"Ka, gue dapat kerjaan apa, nih?" tanya Anya mendekat ke arah Raka setelah berbincang
dengan beberapa teman seangkatannya.
"Ini, lo bagian acara." Anya memperhatikan dengan seksama, bagaimana Raka menjelaskan
tugas-tugasnya dengan sangat jelas. Saat cowok itu mengucapkan maaf karena harus
menyerahkan tugas sekertaris ke yang lain, sungguh ada rasa bersalah di sana.
"Ah, thanks banget lo ngerti kalau gue tuh senang sama surat-menyurat." Anya mengendikkan
bahu. "But, it's okay, Boy. Cuma sekali ini aja, 'kan? la mengedip penuh arti, Raka menyeringai
menangkap maksud Anya.
la begitu bersyukur saat melihat Anya kembali menjadi perempuan yang ia kenal, takut pada
laki- laki tapi masih bisa berinteraksi dengan segala keterbatasannya.
Rapat dilaksanakan, kali ini membahas seluruh pekerjaan setiap divisi panitia. Anya begitu
serius saat koordinator acara menjelaskan semua susunan yang ia buat.
"Eh, agak kecepetan nggak sih jam yang lo tentuin?" Anya menatap sang koordinator. "Maksud
gue, lo nggak inget gimana mubes tahun lalu tiap pembahasan tuh butuh waktu hingga berjam-
jam? Kita bahkan cuma masuk ke dua pembahasan aja waktu itu."
Beberapa adik kelas yang juga ikut sebagai panitia divisi acara hanya menyimak dengan wajah
penasaran dan penuh antusias. Seangkatannya, menganggukkan kepala, menyetujui ucapan
Anya.
"Lo bener, sih," ucap sang koordinator mengangguk. "Ya udah, gue revisi dulu, ya." Semua yang
ada di lingkaran itu mengangguk mantap.
Rapat terus bergulir dengan beberapa kali ada perdebatan panas. Selepas rapat, Anya
menggelesorkan tangan ke meja malas. Merasa lelah setelah seharian harus berpikir dan
mengutarakan pendapat mengenai rapat hari ini.
"Nya." Anya mendongak. Mendelik garang padaorang yang mengganggu dirinya yang baru saja
ingin terlelap.
"Hm," gumam Anya pelan, ingin kembali melanjutkan tidur, namun sedetik setelahnya, suara
Raka kembali berdenging di telinganya.
"Jalan, yuk."
Anya menegakkan tubuhnya. Cewek berhoodie hijau tosca itu menatap malas ke arah Raka. Di
otaknya, sudah terngiang bahwa Raka adalah cowok yang tidak tahu malu dan juga tidak
memikirkan dampak dari perkataannya. Anya tahu ia sudah mulai bersikap normal, tapi apa
tidak kelewatan dengan sikap Raka ini?
"Ngapain, sih, ah? Gue nggak mau naik motorboncengan sama lo lagi." Kalimat itu membuat
Raka harus kembali mengingat kejadian beberapa hari lalu saat ia membonceng Anya dengan
sedikit terpaksa.
Meringis, Raka berimbuh, "Tenang. Jalan kaki, kok. Mall dekat sini juga."
Mendengar itu, Anya berdiri. Merasa menolak adalah hal yang tidak masuk di pilihannya.
Mungkin, dengan berjalan-jalan mengelilingi rak-rak buku dan menghirup aroma buku baru
akan menjernihkan pikirannya sedikit.
"Yuk. Ke toko buku, ya." Anya tersenyum begitu lebar, membuat Raka refleks terkekeh geli,
merasa lucu dengan kebiasaan cewek ini yang sedikit tidak biasa.
Cewek-cewek lain 'kan kalau ke mall tujuannya kebanyakan ke toko baju. Sangat jarang ia
menemukan cewek yang lebih senang menghabiskan waktu dikelilingi buku dengan aroma
khasnya.
Raka hendak menggamit tangan Anya, sebelum ia tersadar bahwa ia tidak boleh dan tidak akan
melakukan hal itu. Maka yang ia lakukan hanyalah berjalan di samping Anya walau dengan jarak
satu meter.
Mall yang mereka bicarakan memang hanya berjarak beberapa meter saja dari sekolah.
Berjalan sekitar sepuluh menit di pinggir jalan, mereka sudah sampai.
Aroma khas dari penyejuk ruangan membuat Raka dengan sengaja menghirup dalam-dalam.
Anya menoleh, mengernyit aneh dengan hal yang cowok itu lakukan, tak ayal ia tersenyum geli.
Toko buku ada di lantai tiga, Anya menaiki eskalator terlebih dahulu disusul Raka beberapa
langkah di belakang. Raka memandang bahu kecil gadis di hadapannya tanpa henti, hingga
mereka telah sampai di lantai yang dituju.
Karena toko buku berada pas di depan eskalator, Anya lansung berhamburan ke sana, berlari
layaknya anak kecil yang melihat pasar malam.
Anya mendongak, tersenyum lebar, ia menggeleng. Mulai mencari lagi buku menarik yang bisa
ia baca yang tidak tersegel.
Anya masih waras. Uang jajannya saja tidak cukup untuk ditabung seribuan saja.
"Mau gue beliin?" Raka bukanya sok gentle atau apa. Tapi melihat mata berbinar gadis di
hadapannya yang perlahan luntur hanya karena buku yang ia inginkan tersegel memantik api
kejantanan cowok itu.
"Seriusan?" Binar yang sama. Bahkan, binar yang saat ini Raka lihat jauh lebih penuh
pengharapan. Dia mengangguk pelan, sedikit terkejut dengan reaksi Anya yang melompat
kegirangan dan memeluk satu buku di hadapannya.
"Ambil dua, nggak pa-pa." Bersyukur, kantung Raka agak tebal kali ini, sebab ia baru saja
mencairkan dana pensiunan ayahnya, yang dikhususkan untuknya sebagai jajan bulanan.
Untuk pengeluaran lain di rumah Raka, ibunya bekerja sebagai barista di salah satu cafe
terkenal. Dengan gaji itu, semua kebutuhan Raka dan ibunya bisa terpenuhi.
Anya melebarkan matanya. Memandang Raka dengan tatapan tidak percaya, yang dibalas
cowok itu dengan cengiran lebar dan anggukan.
Tanpa pikir dua kali, Anya memeluk lagi satu buku yang menarik minatnya.
"Thank so much, Ka. Astaga ini bakal jadi dua novel gue yang pertama. Thank you thank you
thank youuu." Raka terkekeh geli, tersenyum sebagai balasan, tak berani bersuara, sebab
jangan sampai ia malah teriak kegirangan dan gemas dengan perilaku cewek di hadapannya ini.
Setelah beberapa lama keliling di toko buku,mereka akhirnya keluar setelah membayar
belanjaan.
"Makan Siang dulu, yuk." Ucapan Raka lagi-lagi membuat bola mata Anya melebar. Cowok ini .
astaga, pikirnya.
Bukannya Raka sama sekali tidak tampak seperti anak jet set atau anak sultan seperti beberapa
temannya? Bahkan ia sudah pernah sekali ke rumah cowok itu yang kelihatan begitu
sederhana.
"Nggak usah, Ka. Kita pulang aja. Makan di rumah gue aja, gimana?" tawar Anya.
Raka tahu, ada rasa tidak enak di hati perempuan di hadapannya ini.
"Itung-itung terima kasih gue," ucap Anya, ia menunduk, memeluk erat goodiebag berisi novel
baru yang tadi ia pilih. Raka akhirnya mengalah. Mengikuti langkah Anya di belakang.
Di lantai satu, begitu melewati salah satu stan foodcourt, Anya menoleh, mendengar seseorang
menyapanya.
"Anyaa!" Itu Raina. Anya tersenyum lebar, memilih memasuki foodcourt dan langsung memeluk
sahabatnya itu.
"Halo, Kak." Anya menoleh, memandang heran cewek yang dipisahkan meja olehnya.
"Salsa, Nya." Anya ber-oh ria saat Raina menyebutkan nama gadis yang Anya perkirakan adalah
siswi SMP. Tersenyum begitu lembut, karena kekasih Raina ini begitu cantik dan rupawan. la
merasa bersyukur sekali sahabatnya ini memiliki perempuan ini. Ini pertama kalinya mereka
berdua bertemu, selama ini Anya hanya tahu nama saja dari Raina.
"Lo sama Raka, Nya?" tanya Raina pelan saat melihat Raka tak jauh dari meja mereka. Anya
mengangguk, membuat sang sahabat bersiul takjub -- sekaligus menggoda. "Waaah, bagus
banget, dong. Ya udah, lo berdua makan siang dulu aja. Gue traktir."
Anya berseru heboh dan langsung duduk di kursi yang disediakan, membuat Raka yang berada
tak jauh ikut melangkah dengan tatapan heran. Tadi saja dia yang ngajak, sok menolak.
Mereka berempat akhirnya makan dengan sedikit candaan dari Raina dan Anya. Dengan posisi
Anya disamping Raina berhadapan dengan Raka yang berada di samping Salsa.
Anya berhenti mengunyah, menunjuk goodiebag-nya sendiri. "lni?" tanyanya dengan senyum
lebar. "Ini novel gue! Dibeliin Raka!" cengir Anya bersemangat. Raina di sebelahnya
membulatkan mata takjub lalu melirik Raka yang hanya memberinya senyum penuh arti.
"Wah, hebat," ujar Raina. Anya mendelik sesaat, tidak mengerti lalu matanya fokus ke arah
Salsa.
"Lo kelas berapa, Sal?" tanya Anya membuat Salsa yang sedang menguyah makanannya
mendongak. Raka memandang ke samping, menelisik perempuan yang Raka pikir adalah
adiknya Raina.
"Wah, udah mau SMA, nih. Mau lanjut di mana?" Kini, giliran Raka yang bersuara. Jiwa calon
ketua umumnya memberi saran, bahwa ia harus segera menarik cewek itu menjadi anggotanya
jika saja mendaftar di sekolah yang sama dengannya.
"Binggo!" Raka bertepuk tangan sekali. Lo harus masuk PMR nanti." la mengaduh pelan saat
kepalanya diketuk dengan sendok.
"Eh, kok ribut sih?" Anya menggeleng, tertawa kecil yang menghentikan perdebatan Raka dan
Raina. "Lo pada nggak nanya Salsa apa? Dia mau masuk organisasi apa?" tunjuknya dengan
garpu ke arah Raka dan Raina. Lalu memandang Salsa dengan senyum lebar seolah pertanda
bahwa Salsa tidak usah memikirkannya.
Salsa membalas senyuman itu.
Raina dan Raka sama-sama mendengus membuang muka. Anya yang melihat itu terkekeh geli.
"Kalian lucu," ujar Anya pelan dengan tawa polosnya. Sesaat ketiga orang bersama Anya itu
terpaku mendengar tawa itu. Raina sendiri jarang mendengar Anya bisa tertawa selugu
sekaligus semenangkan itu.
"Kenapa?" tanya Anya heran. la menatap satu persatu, Raka, Salsa kemudian Raina. "Gue salah
ngomong?"
"Hahaha. Nggak." Raka menggaruk tengkuknya. Merasa jika dirinya makin lama di sana bisa saja
akan membuat penyakit gulanya bertambah dengan cepat.
Raina memandangi itu. la melirik Salsa setelahnya dan berkata, "Haruska kita pergi, Sal?"
Seperti pagi biasanya, Anya mengikuti pelajaran dengan tekun. Bersyukur kali ini tak ada jadwal
apapun yang akan membuatnya meninggalkan pelajaran. Apa dirinya pernah menyebutkan,
bahwa ia juga menjabat sebagai pengurus OSIS? Yah, di kelas X hingga beberapa bulan lagi ia
adalah pengurus OSIS. Jelang pemilihan ketua OSIS dan pelantikan pengurus baru di semua
organisasi jelas akan menyibukkan cewek itu. Tapi, sepertinya hari ini adalah pengecualian.
Anya menoleh ke samping. Tersenyum kecil memandang sang sahabat yang nampak menggigit
ujung pulpen dengan tangan sesekali menggaruk pipi.
"Kenapa? Susah, ya?" tanya Anya masih mempertahankan senyumnya. Justru terkesan
mengejek bagi Raina.
Raina mendengus kasar. "Apalah daya gue yang nggak sepinter Anya Shafira." Tawa yang sedari
tadi Anya tahan meledak. la menutup mulut saat seluruh kepala menengok ke arahnya.
"Sorry," cicitnya. la memandang Raina masih dengan sisa tawa. "Sini gue ajarin. Mana yang
susah?'
Raina merengek seperti anak kecil menunjuk bukunya layaknya anak kecil yang sedang
menunjuk Iuka di lutut. "Ini, Ma. Cucaahh," ucapnya meniru anak kecil.
Anya merasa pagi ini ia terlalu banyak tertawa hanya karena Raina. la akhirnya mengajari
sahabat dengan tekun dan sabar. Sesekali Raina akan menegur karena berbicara terlalu cepat.
Di ujung kelas mereka, ada Raya memandang jijik interaksi dua perempuan teman sekelasnya
itu. Merasa heran kenapa Anya masih mau berteman dengan gadis yang memiliki
penyimpangan seksual itu.
"Apa Anya nggak tahu soal itu, ya?" gumamnya begitu pelan. Sayang, teman sekelasnya yang
memiliki saudara kembar itu mendengarnya. Wajar saja, posisi mereka berhadapan.
"Apa?"
"Ah? Apa?"
"Lo ngomong apa?' Gadis itu tetap memandang buku tulisnya, sesekali mengeluh lelah. Raya
yang gelagapan tidak terlihat oleh retinanya. Raya sedikit bersyukur dengan adanya tugas ini.
"Nggak, nggak ngomong apa-apa, kok gue." Temannya hanya mengangguk kembali fokus
dengan pekerjaannya.
Raya sepertinya punya cara jitu agar Anya bisa tahu fakta tentang perempuan yang dulu sempat
menjadi sahabat dekatnya.
la kembali memandang ke samping, melihat dua orang itu tengah tertawa bersama entah
membicarakan apa.
***
Anya menyuapi Raina dengan senyum lebar miliknya. Tertawa saat sang sahabat mengoceh
karena memberinya sayur disuapannya itu.
Mereka sedang ada di kantin. Dengan pandangan beberapa mata tertuju pada mereka.
"Mereka semua mandangin kita berdua gitu." Anya mengedarkan pandangan. Memang benar,
sebagian besar penghuni kantin yang diisi oleh angkatan mereka berdua memandang Anya dan
Raina dengan pandangan .... aneh? Anya sendiri tidak bisa memahami tatapan itu.
Saat Raina dan Anya melirik, beberapa orang sibuk mengalihkan pandangan lalu berbisik kecil
bersama teman di sampingnya.
"Halo, Anya." Panggilan itu membuat Anya berhenti mengedarkan pandangan, menatap si
pemanggil yang ternyata teman seorganisasinya.
"Eh, halo. Lo mau duduk? Sini, sini," ujarnya menawarkan. Memandang gadis itu membawa
sebuah piring dengan makanan di dalamnya.
"Ah, nggak usah. Gue nggak mau," tolaknya sedikit kasar di pendengaran Anya dan Raina. Gadis
itu memandang Raina dari atas hingga ke bawah. "Gue nggak mau dekat-dekat dengan orang
yang ada penyakit. Ketularan entar." Perkataan itu disertai dengan kekehan kecil dan ia mulai
berjalan menjauh dengan sedikit siulan.
"Hah?" tanya Anya heran. Kini memandang Raina bingung. "Lo ada sakit, Na? Di mana?" Nada
suaranya begitu khawatir.
Raina sendiri seolah fokus dengan isi kepalanya yang terus saja memutar ulang perkataan gadis
yang Raina tahu hanyalah dirinya satu organisasi dengan Anya.
"Apa?"
"Lo kenapa?"
Raina menggeleng. Membuat kernyitan alis di dahi Anya semakin mendalam. Raina selalu
mengatakan apapun tentang dirinya. Seperti yang Anya lakukan kepada Raina juga, itu
membuat Anya merasa memang ada yang salah dengan cewek di hadapannya ini. Setelah
berdebat dengan otaknya, Anya akhirnya mengangguk. Tak ingin memaksa sang sahabat
bercerita.
'Apa Raina lagi sakit beneran, ya?" Meski ia telah memilih keputusan untuk tidak bertanya,
otaknya justru mengulang pertanyaan itu. Menyisakan kekosongan di sana.
Raina sendiri paham apa maksud dari orang itu. Dan tidak perlu berpikir dua kali untuk
mengetahui maksud dari sebagian orang yang ada di kantin memandangnya dan Anya.
Apa sesuatu yang ia berusaha sembunyikan dari khalayak ramai kecuali Anya dan Ray--
Tunggu dulu.
Raina mendongak. Menyisakan setetes air mata di pipi yang membuat Anya terkejut
melihatnya.
Memilih tak menjawab, Raina beranjak dari kursi dengan kasar. Meninggalkan suara deritan
yang terjadi antara gesekan lantai dan kaki kursi.
"Na?! Lo mau ke mana?!" Anya berseru. Ragu apakah ia harus mengejar atau justru tetap di
sana, berusaha tidak tahu apa-apa sebelum sahabatnya bercerita.
Dan, kakinya tanpa diperintah memilih pilihan kedua. Anya merasa kakinya diberi paku bersama
lantai ini. Ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu yang ia sendiri tidak tahu. Rasanya, sesuatu
itu mengatakan, ia tidak harus tahu apa yang terjadi sekarang.
Akhirnya, yang Anya lakukan hanya memandang kosong makanan yang masih tersisa banyak di
meja. Mendengus kasar, merasa tidak berguna.
"Kak Anya, 'kan Melihat Anya mengangguk, adik kelas itu melanjutkan, "Kak Raina bertengkar
sama kak Raya, Kak."
Dan, yang terjadi selanjutnya adalah bahu Anya luruh begitu saja. Merutuk diri karena ia tidak
sadar apa yang terjadi.
Anya menggeleng. Mengucapkan terima kasih atas informasi yang diberikan si adik kelas, lalu
dengan langkah seribu ia membawa kakinya menuju kelas.
"LO ADA MASALAH APA SAMA GUE, HAH?!" Hal yang pertama Anya dengar begitu
menginjakkan kaki di koridor dekat kelasnya adalah teriakan Raina.
Selanjutnya, Anya tidak lagi merasa kakinya menapak di lantai. la dengan segera masuk ke
dalam kelas dengan napas terengah.
"Kenapa, hah?! Lo malu, hm?' Suara yang begitu tenang itu membuat Anya mendongak. Di
sana, Raya berdiri, menghadap sang sahabat yang memunggunginya dengan senyum mengejek.
"Lo malu kalau lo ternyata ada penyakit penyimpangan sek—"
"RAYA!" Entah apa yang terjadi, tiba-tiba semua mata yang ada di sana tertuju pada Anya.
Membuat Anya seolah menjadi penjahat yang akan segera dihajar massa.
Raina juga turut menoleh. Menatap Anya dengan terkejut dan tiba-tiba saja, air matanya
menyeruak tanpa bisa dicegah.
"Lo siapa berani ngomong kayak gitu tentang Raina, hm?" Bukan tak ingin mengikuti gaya
bicara Raya, Anya bahkan juga tidak sadar dengan cara bicaranya. "Apa hak lo setelah apa yang
lo lakuin sama Raina?"
Raya terdiam. Memandang Anya dengan mata bergetar la berusaha mendekat ke arah Anya.
Anya menggeleng, berhasil menahan langkah Raya.
"Bisa gue tanya apa yang lo perbuat sampai semua orang .... tahu?" Senyum Anya mengembang
begitu lebar. Tapi semua tahu apa maksud dari senyum itu.
Sebagian orang di sana merinding, merasa sosok Anya saat ini adalah bukan Anya yang biasa
mereka kenal.
"Apa? Lo mau bilang lo nggak ngelakuin apa- apa?" Anya tersenyum miring, semakin
menambah kesan seram kepda seluruh mata yang memandang.
"Lucu sekali. Terus kalau gue tahu kenapa? Gue udah tahu, kok. Dari lama. Sama kayak lo."
"Tapi, gue nggak sama kayak lo," seru Anya dengan nada yang seolah akan melanjutkan
perkataannya. Semua orang memandang penasaran, tapi Anya justru menggeleng. "Nggak jadi.
Gue nggak biasa mengumbar kejelekan orang lain di depan orang ramai."
la memandang Raina. Melangkah dengan cepat dan segera menarik Raina ke pelukannya. "It's
okay."
"Nya? Lo kok nggak jijik, sih?" Pertanyaan- pertanyaan seperti itu menguar ke udara. Anya
memejamkan mata, berusaha menahan kewarasannya untuk tidak marah-marah.
"Adaa apa?" tanyanya penuh nada gembira di sana. Saat ia menoleh, semua orang justru
berpura-pura seolah tidak melihatnya. Anya tertawa kecil memandang hal itu. "Kalau ada yang
mau ditanyain, tanyain aja. Kalian biasanya juga kalau ada tugas langsung tanya ke gue tanpa
permisi, 'kan?" Tak ada respon. Mereka semua memandang Anya yang masih terus saja
memeluk Raina.
"Ya udah deh. Gue jawab." Anya menghela napas. Mendudukkan Raina di bangku terdekat dan
memberinya minum. Setelah itu, ia menggenggam tangan Raina lalu berbalik, memandang
seluruh teman kelasnya.
Semua kerumunan yang berasal dari kelas lain telah pergi. Mungkin ketua kelasnya yang
memintanya bubar. "Alasan gue nggak ngerasa jijik sama sekali sama Raina," ucapnya memulai,
nampak berpikir sesaat ia mengimbuhkan, "gue kasih tahu satu ilmu deh, ini gue nggak ngajarin
ya. Cuma berbagi pengetahuan." Mengendikkan bahu, Anya tertawa manis. "Gue pernah
dengar Pandji Pragiwaksono —if you don't know who him, searching --bilang 'lo nggak bakalan
pernah bisa benci China kalau lo punya teman orang China.'"
Anya tersenyum kecil. Memandang Raina yang juga memandangnya. "Sama seperti posisi gue
ke Raina. Gue nggak bisa benci dia hanya karena dia ada 'penyakit', kan?" tanyanya dengan
mengutip jari telunjuk dan tengahnya. "Karena gue sahabatnya dia."
Merasa tidak perlu berbicara lagi. Anya memfokuskan diri pada Raina. Memerintahkan Raina
untuk berjalan keluar sebentar. Raina hanya mengangguk pasrah. Sepertinya ia juga butuh
udara segar saat ini.
Anya berjalan mendekati Raya. Raya yang sedari tadi hanya terdiam memandangi semua hal
yang terjadi di matanya nampak pias di ujung sana.
"Ra, gue boleh ngomong, nggak?" tanya Anya begitu pelan. Memastikan tak akan ada yang
mendengar percakapannya dengan Raya kali ini.
Raya mengangguk kaku. Tidak tahu harus merespon apa. Akal sehatnya kembali menyadarkan
bahwa perilakunya saat ini adalah salah.
"Lo nggak boleh kayak gini, Ra. Lo pernah mikir nggak kalau lo yang ada di posisi Raina, gimana
sakitnya lo?"
Raya menggeleng, memandang Anya dengan pandangan kosong.
"Ketika lo ngerasa udah bersahabat dekat banget dengan seseorang. Saat sahabat lo tahu aib
lo, dia menjauh. Itu sakit banget, sih."
"Atau saat aib lo diketahui mantan sahabat lo itu dan akhirnya dia ngebocorin itu. Sakitnya
double," imbuh Anya. Anya membiarkan saat Raya perlahan terisak.
Sebagai korban bullying secara verbal, Anya jadi bisa memposisikan diri entah sebagai pelaku,
korban atau bahkan orang-orang yang bahkan hanya memilih menonton dalam kebisuan
mereka.
Anya menepuk pundak Raya beberapa kali, merasa tidak perlu memberikan bentuk simpati
lebih dari itu. la kembali menoleh ke arah teman- temannya.
"Gue nggak akan ngelarang kalian mau bersikap kayak apa ke Raina." Walau tak semua orang
memandang ke arahnya, Anya tahu mereka mendengarkan. "Tapi, gue mohon jangan
perlihatkan sikap buruk kalian ke Raina di depan gue, ya?" Tersenyum memohon, Anya
memandang mereka satu-persatu.
Tak ada respon. Anya bahkan tak butuh itu. la akhirnya melangkah dengan pelan keluar dari
kelas, duduk di samping Raina dan berusaha menghibur perempuan itu.
Anya memejamkan mata, menepuk pelan punggung Raina yang kepalanya bersandar di
bahunya. la menghela napas, mengangguk pelan. "Lo tahu? Hal seperti ini pasti akan terjadi,
cepat atau ... lambat."
Raina sesekali masih sesegukan. la tidak merespon apa-apa, hanya semakin mengeratkan
pelukannya di pinggang Anya.
Bedanya .... saat itu Anya tidak punya sandaran seperti ini. Mengingat hal itu mencubit dada
Anya. Gadis cantik berpipi bulat itu mengerjap pelan, berusaha menghalau derai air mata yang
keluar. la menyanggah dagunya di puncak kepala Raina, masih menepuk-nepuk pelan punggung
gadis itu.
Dua orang itu bahkan tidak peduli saat dipandang oleh siapapun yang lewat. Anehnya, tidak ada
yang benar-benar menghampiri.
Memang benar, terkadang, orang-orang banyak hanya akan peduli pada masalahmu, bukan
untuk memberi solusi atau sekadar berbagi simpati, mereka hanya penasaran. Setelah semua
terjawab, mereka dengan santai akan melenggang tak peduli pada setiap air mata yang
mengalir deras.
Tanpa sadar, Raina terlelap di pelukan Anya. Anya membiarkan, berpikir tak ada salahnya
mereka berada di posisi ini hingga pulang. Kebetulan sekali pelajaran jam terakhir sedang
kosong.
"Gue nggak ngerti, Na." Anya meluruhkan kedua bahu, membentuk gerakan pada Raina yang
memeluknya. "Kenapa mereka jahat? Kita salah apa sama mereka?" Pertahanannya luruh. la
membiarkan setetes demi setetes air mata mengalir, membentuk anak sungai di pipi.
Sepuluh : Sosok Yang Berbeda
Yang terjadi selanjutnya selepas tindakan Raya yang begitu jijik di mata Anya, adalah perubahan
sosok Raina.
Raina yang dulu begitu ceria dan aktif serta ekspresif ini menjelma menjadi gadis pendiam,
begitu senang melamun seolah itu adalah tindakan yang begitu wajar dan jangan lupakan wajah
depresinya itu.
Yang jelas, Anya lupa kapan terakhir kali ia melihat Raina yang seperti ini.
la tahu, Raina adalah gadis yang memiliki masalah besar yang hingga sekarang ia sendiri tidak
bisa menyelesaikannya.
Tapi, yang Anya tahu, seberat apapun masalah itu bagi kehidupan seorang Raina, Raina tidak
akan membawanya hingga sedepresi ini.
Raina hanya mendongak, menghentikan kuyahan di mulutnya dan memandang tanya Anya.
Anya bergidik. Di depannya bukan Raina. Sorot kosong matanya seolah memberi tanda bahwa
jiwa seseorang di depannya ini sekosong tatapan matanya.
"Are you .... okay?" Anya memberanikan diri, walau nada suaranya masih terdengar begitu
sangat ragu.
Raina mengangguk kaku. Memilih menikmati makanannya dengan tenang.
Semenjak Anya dan Raina menjadi dua orang yang begitu terkenal di sekolahnya, tentunya
sebelum masalah di hari kemarin terjadi, begitu banyak tatapan penuh benci dan iri yang
terlayang pada mereka berdua.
Dan, yang Anya dan Raina lakukan adalah berdiam diri. Walau sesekali harus mengeluarkan
suara saat tatapan itu berubah menjadi hinaan tepat di wajah mereka.
Dan sekarang, tebak tatapan jenis apa yang kedua remaja ini dapatkan? Iya, tatapan penuh rasa
jijik.
Anya menqedarkan pandanqan. Tersenyum manis saat salah satu adik kelas tidak mengalihkan
pandangan seperti mereka-mereka yang lainnya.
"Berani sekali," ujar Anya pelan. Raina justru semakin menunduk. Biasanya jika sudah seperti
itu, ia yang akan paling pertama kali marah. Tapi kini, makanannya berubah menjadi magnet
yang terus saja menarik perhatian seorang Raina. Jujur saja ia tidak pernah membayangkan
akan jadi seperti ini. la mengira tak akan ada yang tahu sekalipun ada yang tahu bakal tidak
peduli seperti Anya -- tentang dirinya yang sesungguhnya. Ini sungguh menampar mentalnya.
"Kenapa, dek?" tanya Anya masih memandang adik kelas yang terus saja memandangnya.
Penuh dengan penekanan. Yang ditanya, mengerjapkan mata pelan. Menggeleng, lalu
mengalihkan pandangan.
Anya menghela napas. la kini juga menyantap makanannya dalam diam. Berusaha
menyabarkan diri, walau terasa sulit.
"Anya." Panggilan itu membuat senyum merekah di wajah Anya. "Pelantikan Senin ini, 'kan?"
tanya Raina.
Anya mengangguk semangat. Untuk pertama kalinya semenjak kejadian itu Raina akhirnya
memulai percakapan lebih dulu.
Raina tertawa miris. "Itu dulu, Nya." la memandang Anya masih dengan tatapan kosongnya.
"Keknya mereka lagi diskusi deh soal alasan apa yang harus mereka pakai buat pecat gue secara
terhormat."
"Kok bisa dipecat? Lo ada salah apa? Selama ini lo aktif-aktif aja, kok. Ya cuma ak--" Anya
mengatupkan bibir, berusaha tidak meyinggung kejadian itu lagi.
Semenjak hari itu juga, Raina tidak pernah lagi melakukan apapun di sekolah selain belajar,
makan di kantin, pulang.
la tidak lagi aktif di organisasi. Tidak lagi mengikuti acara-acara yang diadakan di sekolah.
Bahkan sekelas acara Bazaar di cafe-cafe kesukaannya.
"Na? Masa gara-gara itu sih mereka pecat lo jadi anggota?" Raina tertawa miris sekali lagi.
Memberikan sebuah tamparan tak kasat mata bagi Anya, mengingat bahwa peraturan sekolah
ini ....
Anya menggeleng. "Nggak. Nggak ada istilah lo di-DO cuma karena masalah ini. Lo nggak
ganggu mereka, kok. Lo nggak mencuri, lo nggak mencoreng nama—"
"Nggak mencoreng nama sekolah apanya sih, Nya?!" Suara Raina meninggi. Merasa lelah
dengan segala kalimat-kalimat positif milik seorang Anya Shafira. Beberapa pasang mata yang
sedarti memperhatikan diam-diam, kini memandang dengan terang-terangan sebab bentakan
Raina.
"Nggak." Kata itu terus saja terngiang, menggeleng kuat. Jika benar hal itu akan terjadi, Anya
akan kehilangan sosok yang begitu berharga di masa SMA-nya. Walau mungkin mereka masih
bebas bertemu di luar sana, tapi .... tetap saja akan terasa berbeda.
Raina menghela napas lelah. Menumpu kepala dengan kedua tangan di sisi kiri dan kanan. la
sudah lelah dengan segala sangsi sosial yang ia terima dari rekan-rekan sebayanya, ditambah
dengan diskusi terakhirnya dengan kepala sekolah, dan melihat reaksi Anya yang seperti ini.
Rasanya seperti ia akan mati saja.
Walau sesekali tidak peduli dengan kewajibannya sebagai siswa, ia tetap menyukai sekolah dan
memikirkan soal pendidikannya. la bahkan sudah punya bayangan mengenai jurusan apa yang
akan dia ambil di Universitas nanti.
"Gue .... udah dikasih tahu sama kepala sekolah, Nya." Kalimat itu dikeluarkan dengan sangat
pelan oleh Raina. Anya menghentikan tangis, masih memiliki harapan optimis. "Dan hasilnya
bulat, DO."
Mata Anya membulat. Merasa tak percaya dengan kalimat yang Raina lontarkan. Sekali lagi, ia
menggeleng.
Raina tahu Anya akan pergi ke mana. Dan hal yang ia lakukan adalah sama seperti yang dulu
Anya lakukan saat ia berlari ke kelas dan menghakimi Raya yang menjadi dalang semuanya.
Diam di tempat.
Di sisi lain, Anya dengan langkah tergesa menuju ke ruang kepala sekolah. Di sana, tampak
beberapa siswa sedang berdiskusi dengan bapak tua berkepala setengah botak itu.
Anya meredam air muka penuh kemarahannya. Berusaha memasang wajah setenang mungkin.
la tersenyum sopan dan menggeleng saat kepala sekolah menanyakan keperluannya. la bahkan
menekan kuat pijakannya dii lantai agar kakinya berhenti gemetar saat ini. Dirinya ... tidak
boleh menampakkan ketakutan.
"Selesain aja dulu pak diskusinya," ujarnya memandang siswa yang memakai almamater khas
pengurus OSIS di sekolahnya ini. Sudah dapat dipastikan itu membahas mengenai kelangsungan
pelantikan kepengurusan baru organisasi hari Senin nanti. Anya sudah tidak melanjutkan
kepengurusannya di OSIS, masa jabatannya habis beberapa minggu yang lalu.
Lima menit menunggu, beberapa siswa itu berlalu keluar ruangan. Anya berdiri, mendekati
kepala sekolah masih dengan wajah tenang. Memberhentikan langkah saat ia merasa selangkah
lagi akan mencapai batas aman miliknya.
"Pak. saya nggak terima keputusan bapak," jelasnya tanpa di minta. Sang kepala sekolah
menatap Anya dengan pandangan bingung. Memerintahkan Anya menjelaskan lebih rinci
mengenai keputusan apa yang ia perbuat.
"Raina kenapa? Nggak terima dia di-DO? Kok nggak ada malunya itu anak?"
"PAK!" Anya menggebrak meja. Melompati batas kesopanan miliknya. Kepala sekolah tersentak
kaget sesaat sebelum kembali memasang wajah tenang.
Anya sendiri tiba-tiba gemetar. la tidak sadar, laki-laki di hadapannya ini bisa saja marah dan
memper -- Ah, tidak!
"Maaf, Pak." Anya menunduk, kepala sekolah tidak memberi respon. "Raina menerima dengan
lapang dada keputusan bapak. Yang tidak terima itu saya, Pak." Anya mendongak, menatap
lurus sang kepala sekolah yang hanya mengangkat alis mendengar pernyataannya.
"Dengan segala hormat dan penuh kesopanan yang saya miliki, saya minta bapak ubah
keputusan bapak itu."
Si bapak yang hampir menginjak usia lima puluh tahun itu tertawa geli. "Kamu siapa emangnya,
hah? Ibunya Raina? Ibunya aja dipanggil ke sini kayak nggak peduli, kok."
Ingatkan Anya untuk tidak menggebrak meja untuk kedua kalinya. Itu .... akan sangat tidak baik
bagi mental dan posisinya di sekolah ini.
"Sudah, kamu pergi sana. Jangan cari masalah sama saya. Nanti saya kasih hukuman juga ke
kamu."
"Tapi, Pak--"
"Keluar." Tidak ada bentakan di sana. Hanya sebuah tekanan lugas yang sanggup membuat
Anya menghela napas dan mengangguk. Meminta izin pamit, ia melangkah gontai dari ruangan
ber-AC ini.
la kini berjalan tak tentu arah. Pikirannya berkecamuk tanpa ada ujung yang jika ditarik akan
menjadi satu garis lurus.
Jika Raina benar-benar tidak bersekolah lagi di sini, siapa yang akan memberinya kekuatan saat
iasedang kambuh dengan ketakutannya? Siapa yang akan mengejutkannya apabila sedang
melamunkan hal yang terkait masa lalu? Siapa yang akan mengingatkan Anya bahwa masa
SMP-nya bukanlah sesuatu hal yang harus Anya khawatirkan ketika tidak sengaja terlintas di
pikirannya?
Okey, itu terdengar seolah Anya hanya menganggap Raina sebagai Obat. Dan memang iya, dia
tidak menyangkal hal itu.
Pertama kali kenal dengan Raina, Raina telah menjadi tameng bagi dirinya yang saat itu belum
banyak tahu tentang keadaannya. Menjadi sosok yang pertama kali bertanya, "Lo kenapa?"
Setelah sekian lama ia tidak mendengar pertanyaan seperti itu lagi. Bahkan dari mamanya
sendiri.
Dan mungkin karena itu juga ia dengan leluasa tanpa ada penahan untuk bercerita tentang
keseluruhan hidupnya.
Anya menghela napas. Mengendurkan bahu dan memilih duduk di salah satu bangku taman
agak jauh dari kelasnya.
Dari jauh, tepat di seberang Anya duduk, Raina memicing berusaha memastikan matanya tidak
salah lihat. Jauh dari tempat ia memijak sekarang, Anya tampak duduk di sebuah bangku
taman. Bahkan gadis tomboi ini bisa melihat betapa lelahnya Anya.
Haruskah ia melangkah ke sana? Mengucapkan perpisahan yang akan membuat sang sahabat
semakin bersedih?
Bagaimana cara Raina bisa bertahan hidup tanpa melihat sosok Anya? Sosok yang pertama kali
menerimanya bahkan ketika sang ibu justru menolak kelahirannya di dunia.
Bagaimana cara Raina bisa mengembalikan senyum yang baru saja ia dapatkan dua tahun yang
lalu? Sebuah senyum yang tercipta kala melihat seorang gadis menjerit ketakutan hanya ketika
disapa seorang laki-laki? Sungguh, itu adalah hal yang lucu bagi Raina. Tanpa sadar, Raina
tertawa miris. Mengenang kembali peristiwa mereka di masa kelas X.
Air menetes di pipi Raina. la menggeleng. Memantapkan hati dan berbalik menuju kelas,
mengambil tas dan segala barang-barangnya.
Meninggalkan gedung kelas, lapangan, hingga gerbang tanpa menoleh. Agar hatinya tidak
goyah dan akhirnya memilih berbalik, menyapa sang sahabat untuk terakhir kalinya.
Iya, dia tidak boleh berbalik. Itu .... hanya akan menghilangkan kewarasannya untuk tetap
mempertahankan hidup.
Raina menghela napas, kini ia sudah berada di trotoar jalan agak jauh dari gerbang sekolahnya.
la berusaha berpikir positif, dirinya dan Anya akan tetap bisa bertemu walau harus di luar
sekolah. la dan Anya sama-sama tahu rumah masing-masing. Akan sangat gampang hanya
untuk sekadar menyapa.
"lya. Gue sama Anya tetap bisa bersahabat." Senyum merekah dengan pelan di sudut bibir
Raina. la segera menaiki angkot yang akan membawanya ke rumah. Hari ini ia tidak membawa
motornya, tadi pagi rasanya malas walau hanya sekadar memanaskan kendaraan beroda dua
itu.
Raina tidak menghitung berapa lama perjalanannya. Sekarang ia telah sampai di depan
rumahnya.
Tadinya, senyum itu masih bertahan di bibir Raina. Sebelum ia membuka kunci pintu dan
menemukan kekosongan di sana.
Segala harapannya runtuh. Raina membanting pintu dan jatuh di lantai dengan menekuk kedua
lutut. la menangis hebat di sana. Semua rencananya apa yang akan dilakukannya dengan Anya
buyar seketika. Tergantikan oleh rasa sakit dan kesepian tiada berujung.
Kenapa ia lupa ketika ia akan pergi ke rumah ini, yang akan menyambutnya hanyalah kesepian?
Sebelas : Pelantikan
Mengakhiri hari menjadi hal yang cukup berat bagi Anya. Sudah dua malam ini, ia harus
berusaha keras untuk menjemput alam mimpinya.
Setelah hari itu, ia tidak lagi melihat sosok Raina. Kata teman sekelasnya, Raina pergi tanpa
berkata apa-apa.
Saat itu Anya hanya terdiam. Mengangguk dan mengabaikan teman sekelas hingga jam sekolah
berakhir.
Dan seperti hari sebelumnya, pagi ini matanya memiliki tamu tak tetap di sana. Pola hitam yang
begitu menyebalkan. Di saat seperti ini, Anya begitu menyesal tidak mengetahui hal-hal
mengenai make up.
"Nya, udah siap belum? Katanya hari ini mau pelantikan?" Suara mama mengalihkan
pandangan Anya dari warna hitam di bawah matanya. la menggeleng berusaha tidak peduli,
mungkin di sekolah ia akan meminta bantuan ke teman seorganisasinya.
Anya memakai slayer miliknya di belakang leher. Tersenyum lebar dengan ingatan terus
melayang ke masa-masa di mana ia berjuang begitu mati-matian demi mendapatkan secarik
kain dan baju merah yang melekat di tubuhnya.
"Oke, Ma. Anya siap." Anya menyambar ponsel pintar miliknya, berjalan keluar kamar menuju
meja makan. Memakan sarapan dengan tenang bersama mama dan adiknya.
Selepas sarapan, Anya tersenyum lega karena salah satu teman yang juga mendapat jabatan
penting dari PMR sebagai bendahara datang tepat waktu menjemputnya.
"Dhey!" Anya memeluk perempuan yang ia panggil Dhey itu. Dhey tertawa, mengajak Anya
untuk segera berangkat. Anya menurut, setelah pamit ke mama, ia naik ke motor Dhey.
Mereka telah mengadakan gladi di hari Minggu kemarin, sudah jelas saat ini keadaan masih
sangat kondusif, walau yang hanya perlu dirapikan adalah adik-adik kelas yang justru begitu
heboh menunggu hal ini.
Anya berbaris di barisan paling depan, berdampingan dengan sang ketua, Raka. Terlihat jelas
Raka berusaha memanianqkan tanqannya saat lencang kanan, agar tetap berjarak dari Anya.
Setelah semua persiapan selesai, Anya hanya mengikuti seluruh rangkaian acara upacara
dengan tatapan kosong.
la merindukan Raina.
Jika saja saat itu ia berhasil menyakinkan kepala sekolah, ia akan melihat Raina saat ini, berada
di barisan bersama dirinya serta pengurus pengurus yang lain.
Suara serentak dari seluruh barisan peserta yang akan dilantik, membuat Anya tersentak kaget.
la secara refleks mengikuti seruan dari para peserta yang saat ini tengah membacakan sumpah
jabatan.
Momentum yang paling Anya tunggu-tunggu nyatanya tetap tak memberikan senyuman lebar
di wajah Anya, momen di mana ia menerima sekumpulan arsip secara simbolis dari sekertaris
umum tahun lalu.
"Cie, sekum. Sesuai impian, nih." Celetukan itu membuat Anya menoleh ke samping, di sana
Kak Rasyi dengan tampang tomboinya seperti biasa membuat Anya tersenyum lebar.
"Kak Rasyiii," serunya heboh dan langsung menghambur ke pelukan salah satu alumni
kesayangannya itu.
Rasyi tertawa lebar. Terus mengucapkan selamat atas jabatan yang ia terima.
"Kangen banget, Kak. Kakak kok nggak ikut mubes kemarin, sih?" omelnya manja. Anya tidak
ada malu menggelayutkan lengannya ke lengan sang senior.
Yang dijadikan objek manja itu hanya tersenyum geli, mengusap puncak kepala adik kesayangan
yang sudah dia anggap adik sendiri.
"Sibuk, Dek. Maklum, kejar wisuda." Tawa itu sampai membuat mata Rasyi menyipit, yang juga
membuat Anya tertawa begitu lepas.
Dan, kembali mengingat saat ia harus sendirian di dalam kelas. Terlalu malas hanya untuk
sekadar mengambil beberapa foto dengan baju khas organisasi dirinya.
"Nya," panggil seseorang. Anya mendongak dari sesi gelesorannya di meja, menatap Raka yang
ternyata menjadi pelaku.
"Hari ini?" Raka mengangguk, masih tidak melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam kelas.
***
Pagi yang cukup cerah di hari di mana Raka akan memimpin organisasi yang cukup besar dan
memiliki nama di sekolahnya. Dan, jelas kegugupan juga terpancang dalam dirinya.
Kepercayaan diri akan memenangkan sebagian besar suara saat pemilihan seolah menguap
pagi ini. Tergantikan dengan segala skenario terburuk yang bisa ia bayangkan selama
kepemimpinannya.
Di depan cermin, cowok itu berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya. Saat merasa ia
sudah jauh lebih siap, ia melangkah keluar ruangan, menyapa ibu dan sarapan bersama.
"Sukses ya, Nak." Ibunya tersenyum penuh keibuan yang begitu berguna bagi Raka hanya untuk
sekadar bentuk kepercayaan ibunya padanya tentunya kepercayaan akan dirinya sendiri.
Raka lalu menaiki motornya menuju ke se — tidak, rumah Anya terlebih dahulu.
Walau ia sadar kejadian beberapa waktu yang lalu jelas menampar mundur dirinya, bahkan
setelah Raina memberinya begitu banyak arahan. Terakhir kali bahkan Raina menyuruhnya
melakukan tindakan nekat, syukurnya berakhir baik karena Anya sendiri akhirnya menginginkan
perubahan dan kesembuhan dalam dirinya.
Tapi, sekarang dia harus melakukannya, bukan untuk menawarkan diri sebagai Ojek pribadi
cewek itu, melainkan hanya untuk memastikan bahwa Dhey sungguh menjemputnya.
Jangan tanyakan kenapa ia bisa tahu Dhey akan menjemputnya, jiwa easygoing Anya begitu
berperan aktif pada malam sebelum pelantikan tadi, ia meminta Dhey untuk menjemputnya.
Maka, yang Raka lakukan hanyalah memandang kepergian dua orang perempuan yang akan
membantunya dalam mengurus kapal organisasi ini selama setahun ke depannya dari jarak dua
rumah, setelah mereka benar-benar menghilang, barulah Raka berangkat menuju ke sekolah
juga.
Sampai di sekolah, Raka mengambil alih barisan di sebelah Anya, memandang gadis itu yang
tampak tidak seceria tadi saat bertemu dengan Dhey di depan rumahnya.
Tatapan mata gadis itu begitu kosong, seolah ada yang kurang dalam hari yang cerah dan
berbahagia saat ini.
Raka tersentak kaget saat Anya bergerak dengan cepat, ia refleks berdiri tegak dan mengikuti
suara serentak dari mereka yang dilantik. Dirinya bahkan tidak sadar bahwa rangkaian acara
sudah sampai pada sumpah jabatan.
Setelah semua rangkaian acara selesai, Raka berjalan di belakang Anya. Sepertinya perempuan
itu tidak sama sekali menyadari kehadiran dirinya.
"Cie, sekum, sesuai impian, nih." Raka ikut menoleh, tanpa sadar gerakan kepalanya juga
mengikuti perempuan di hadapannya ini.
Itu Kak Rasyi, salah satu senior yang cukup sadis dalam perkataan maupun tindakan. Terakhir
kali sebelum musyawarah besar, ia habis-habisan memaki sekertaris panitia hanya karena salah
dalam memberikan surat kepada seluruh alumni, suratnya tertukar antara angkatan kak Rasyi
dan angkatan dibawahnya, dan seharian penuh ia harus mendampingi sekertaris panitianya itu
dimahari.
Tapi menyebalkannya, Kak Rasyi justru tidak datang saat Mubes dimulai. Rasanya Raka ingin
membentak, kenapa dia harus marah masalah persuratan sedangkan diri sendiri tidak niat
menghadiri?
Dan senyum yang dinanti Raka terbit di bibir sang gadis. Gadis itu memeluk erat Kak Rasyi dan
mengucapkan beberapa kalimat yang Raka tidak dengar karena jarak mereka.
Setelah semua proses ramah tamah kepada alumni dan pembina, Raka memandang kepergian
Anya masih dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Gadis itu pergi menuju kelasnya yang Raka
yakini sedang kosong di sana.
"Anya ... ikut foto studio, Ka?" tanya Uni, koordinator Dana dan Usaha pada tahun ini di sebelah
Raka, nampak setengah berbisik karena ia dikelilingi oleh beberapa alumni.
Raka mengangguk tidak yakin akan jawabannya sendiri. Yang akhirnya ia lakukan setelah
beberapa saat menemani alumni di sana adalah pamit dan menuju kelas Anya.
Jelas sekarang kelas gadis itu kosong melompong, cukup membuat dirinya terkejut melihat
Anya gelesoran di atas meja tertidur.
Raka hendak melangkah maju saat gadis itu mendongak menatapnya, tapi ia kembali menarik
mundur kakinya dan tetap berdiri di depan pintu.
"Sekarang?"
"Oh. Baguslah. Bangunin gue ya kalau dah mau pergi." Raka memperhatikan gerakan gadis itu,
kembali berbaring di atas mejanya, sebelum benar- benar memejamkan mata, gadis itu
mendongak sekali lagi. "Sama tanyain Dhey dia harus bonceng gue nggak boleh yang lain."
Raka mengangguk pelan ketika gadis itu kembali memejamkan mata. la mengeluarkan ponsel
dan menyampaikan pesan Anya ke Dhey dengan cepat. Satu pesan masuk dari Raina
membuatnya mengernyitkan alis sedikit heran.
Rakaaa
Kenapa Raina bertanya seolah ia tidak pernah berbincang dengan sang sahabat? Atau justru
iya?
Terkirim. Raka menyimpan kembali ponselnya ke saku. Menoleh ke samping lagi, memastikan
bahwa Anya sudah tertidur.
Gadis itu memang kurang tidur dari pola hitam yang muncul di bawah matanya, dan herannya
lagi gadis itu tidak sama sekali terganggu dan mencoba untuk menyamarkannya dengan make
up seperti teman-teman perempuannya yang lain. Atau gadis itu lupa karena ada masalah di
kepalanya saat ini? Karena sedari tadi yang membuat Raka jadi ikutan kepikiran adalah ekspresi
kosong gadis itu.
Raka menghela napas. Memilih tidak meninggalkan Anya sendirian di dalam kelas. la memilih
duduk di bangku kursi guru, memainkan ponsel pintar miliknya.
Iya.
Itu jawaban Raina. Cukup membuat Raka sadar, Anya merindukan sahabatnya.
Jujur saja, Raka tidak tahu menahu apa yang terjadi dengan sekolahnya belakangan ini kecuali
urusan organisasinya. Beberapa kali ia akan mendengar beberapa gosip tidak jelas, dan Raka
cukup tidak peduli dan makanya ia tidak bertanya lebih lanjut. Tapi, saat mendengar nama
Raina dan Anya disebut, Raka harus menguping saat itu. Walau ia hanya mendengar mengenai
berita bahwa Raina di-DO, ia tidak peduli lagi dengan gosip-gosip yang lain.
Rasa penasarannya sesekali menggerogoti, tapi ia tetap tidak peduli. Itu bukan urusannya,
bahkan jika Raina adalah sahabat dekat dengan gadis yang ia sukai, ia tetap tidak mau tahu.
Raka menghela napas. la meluruhkan kedua bahunya dengan mata terus memancang ke layar
ponsel. Beberapa foto pelantikan mulai memenuhi feed ataupun story akun instagram teman-
temannya.
Raka tahu, sangat tahu. Pelantikan hanyalah menjadi momentum euforia bahagia sesaat
sebelum akhirnya harus terus berpikir keras demi menjalankan roda organisasi.
Duabelas -- Turn On
Anya sungguh tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Sudah satu minggu semenjak hari
pelantikan, dan semua hal yang dia lakukan masih sama, merenung hampir di setiap waktu.
Dan lihatlah kali ini, bagaimana seorang Anya Shafira berdiri di depan seluruh teman kelasnya
untuk pertama kalinya, hanya karena lupa mengerjakan pekerjaan rumah.
Sebenarnya bisa saja Anya mengerjakannya di sekolah, meminjam pekerjaan temannya yang
lain saat ia sedang malas berpikir dan jika sudah sangat kepepet.
Tapi, sayangnya ia juga terlambat masuk kelas tadi. Lengkap sudah, ia sudah tidak bisa
memperbaiki kesalahannya.
"Aneh sekali situasi ini," ujar guru ekonomi kesayangan kelas ini, Anya menunduk dalam,
merasa kecewa dengan diri sendiri dan jauh lebih mengecewakan lagi, saat teman-temannya
tidak tertawa seperti biasa saat ada teman mereka yang berdiri seperti ini.
Rasanya seperti teman-temannya tiba-tiba berada di dunia lain, dunia di mana si anak rajin di
kelas mereka mendadak berubah menjadi anak nakal.
Suara hembusan nafas terdengar begitu lelah di telinga Anya. Anya sedikit mendongak,
menoleh ke arah sang guru yang sedang memijat keningnya.
"Sudah. Saya rasa kamu sudah cukup memikirkan kesalahanmu. Saya nggak tahu kamu lagi ada
malasah apa, masalah keluarga ataupun organisasi, saya nggak peduli. Tapi, coba jangan bawa
masalah itu ke pembelajaran kamu, ya? Jika terus seperti ini kamu akan berada dalam masalah
besar."
Anya mengangguk pelan. Masih berdiri di tempat, tidak tahu harus berbuat apa.
"Ayo kembali duduk," tegas si bapak guru, Anya mengerjap masih bingung tapi langkah kakinya
mulai membawanya ke bangku miliknya.
Benar, jika terus seperti ini ia akan berada dalam masalah besar.
Anya mengeluarkan buku pelajaran, memilih membuka lembar belakang dan mulai dengan
kegiatannya.
Go away from the problem. Itu adalah kalimat pertama yang ia tulis dengan tulisan acak, besar
dan jelas tidak akan bisa terbaca oleh orang lain saking berantakannya.
Langkah pertama?
Ke rumah Raina, ketemuan, tanyain segala alasan dia menghilang beberapa hari ini, diskusi, dll.
Berapa lama di sana?
Good. Anya dengan sengaja memberikan titik hitam besar di sana, tanda bahwa rencananya
akan berjalan sesuai yang apa ia tulis. la kembali mengingat hari apa hari ini. Jumat. Maka,
besok selepas latihan organisasi ia akan ke sana.
la tahu rumah Raina semenjak cewek itu sendiri sering mengajaknya untuk ke sana jika Raina
melupakan sesuatu hal yang harus dia bawa ke sekolah.
Dan, sekarang Anya bisa fokus pada pelajaran kesukaannya ini. Memandang sang guru yang
begitu antusias mengajar sama seperti antusiasnya para murid.
"Pak, rumus mencari Qs sama dengan cara mencari Qd, Pak?" Anya mengangkat tangan,
mengalihkan beberapa atensi yang terfokus pada papan tulis ke arahnya.
Sang guru di depan sana mengangguk, memuji karena tebakan Anya tepat, seperti biasa.
Padahal Anya 'kan tadi bertanya.
Anya tak ambil peduli. la kembali fokus pada penjelasan selanjutnya dari sang guru.
Setelah semua kegiatan pembelajaran ini selesai tepat menjelang jam 12 siang. Anya berjalan di
koridor menuju sekretariat organisasinya.
"Kak Raaaayy!" Anya melotot garang. Berteriak dari jarak yang cukup aman bagi kesehatan
jantungnya. "Kok nggak shalat?!" tanyanya menuding.
Senior yang bernama Ray meringis pelan. la menyimpan ponsel miliknya dan menatap si adik
angkatan yang sekarang benar-benar menjadi orang penting di PMR dengan cengiran lebarnya.
"Iya-iya, bercanda elah, Dek. Sakit bat ini," keluhnya melihat Anya akan melemparnya dengan
benda lain lagi, ia berdiri, menggosok belakang kepalanya kesakitan. la melewati begitu saja
Anya yang kini mengambil alih posisi nyamannya.
"Gitu, dong." Anya berbaring, mengambil ponsel di sakunya, membuja roomchat-nya bersama
Raina. Rainaaaa
Jujur saja, rasanya aneh memanggil nama gadis itu lagi setelah sekian lama. Yah, walaupun
dalam bentuk ketikan, rasanya tetap aneh.
la lalu mengunci layar ponselnya, mencari charge kosong di sekitarnya dan mencolokkannya di
ponsel miliknya. Lalu mulai memilih tertidur menghadap tembok.
***
Ketukan pintu yang dilakukan Anya sangat jelas terlihat begitu canggung.
"Sumpah! Rasanya aneh banget, Ish!" Anya mendengkus jengkel, menunduk menatap kets pink
miliknya.
Hari ini ia berdandan kasual. Kaos lengan pendek putih dipadukan dengan kemeja dengan
lengan panjang berwarna biru dan celana jeans hitam.
Boleh jujur, gaya seperti ini adalah gaya miliknya. Namun, semenjak ia harus lebih sering
bertemu laki-laki selama mulai sibuk dengan kegiatannya di sekolah, bahkan di hari Minggu pun
ia tetap harus memakai rok.
Karena ia juga paham dengan kalimat yang kaum adam sering katakan, "Kami tuh ngegoda
cewek ya karena dia sendiri yang pengen digoda dengan pakai baju-baju terbuka."
Makanya ia akan berusaha menutup diri sebisa mungkin untuk menghindari ia didekati laki-laki.
Suara pintu dibuka membuat Anya mendongak terkejut, di sana berdiri Raina dengan tanktop
dan hotpans miliknya.
"Astaga, Raina. Perut lo keliatan." Anya menutup wajah dengan keduatangan. Terkekeh cukup
keras hanya sekadar menyembunyikan kegugupannya karena pertama kali bertemu dengan
Raina semenjak hari itu.
"Lo kayak nggak terbiasa, Nya." Anya mengangkat tangannya dari wajah, menatap Raina yang
kini menggaruk tengkuk dengan canggung.
"Masuk." Anya masuk, menyusul Raina yang berjalan lebih dulu di hadapannya.
Raina adalah tipe gadis tidak mau ribet. la akan bisa memakai baju dan celana apapun yang
pertama kali yang dilihat oleh matanya.
"Eh, selamat ya dah jadi sekum," ucap Raina tiba-tiba saat sedang menuangkan sirup ke dalam
dua gelas.
Anya mengangguk lagi. "Kok lo ninggalin gue nggak pamit sih, Na?" Dan kali ini suaranya
meninggi, ia mendekati Raina dengan langkah cepat dan menandaskan sirup yang dibuat Raina
dalam sekali teguk, ia sungguh merasa dehidrasi dengan rasa canggungnya kali ini.
"Sorry, Nya. Gue nggak tahu harus ngomong apa kalau ketemu sama lo saat itu." Suara helaan
napas terdengar jelas di telinga Anya.
"Dan lo nggak pikir apa yang harus gue lakuin karena lo tiba-tiba aja menghilang dan nggak
pernah ngabarin gue lagi? Lo jahat."
Ada jeda lama mereka berdua terdiam, tak lama Anya menghambur ke pelukan Raina,
menumpahkan segala air matanya yang sedari tadi berusaha ia tahan.
"Gue kangen, Na. Kangen banget," lirihnya begitu terdengar pilu. Seminggu lebih ia merasa
tersiksa, bahkan menganggu aktivitas sehari-harinya.
Raina tersenyum lembut, membalas pelukan sang sahabat. "Gue juga, kangen banget."
Anya terisak, ia terus memeluk sang sahabat begitu erat. Hingga ia merasa tenang, Anya
melepaskan pelukannya, menghapus air mata yang masih tersisa.
"Sorry," ucapnya tertawa pelan. Raina ikut tertawa. la mengisi lagi gelas yang Anya minum tadi
dan membawanya ke ruang tamu di mana tadi ia sempat menonton beberapa film action
kesukaannya pada laptopnya.
"Ayo sini. Lo mau nonton apa?" Raina mengambil alih laptopnya yang masih menayangkan film
action yang sedari tadi ia pause.
"Gue pilih, gue pilih." Anya menarik laptop dari tangan Raina, memulai mencari drama Thailand
di salah satu platform streaming film.
Raina sebenarnya heran, di saat beberapa temannya fanatik sama Korea ataupun Jepanng,
gadis di sampingnya justru lebih tertarik dengan Negeri Gajah tersebut.
"Tunggu," ucapnya. la menunjuk salah satu drama yang terpampang di sana. "Ini Boys Love
Story?" tanyanya melihat poster film tersebut.
Anya tertawa. "Banyak tahu peminat filmnya." Raina bergidik, bahkan walau ia juga berada
satu circle dengan cerita-cerita yang ditawarkan oleh drama ini, tetap saja jijik
membayangkannya dijadikan menjadi sebuah film.
"Udah, ah. Kita nonton ini."
Dan drama mulai terputar, Anya menonton dengan serius, sesekali akan tertawa geli dengan
scene-scene lucu yang ditampilkan. Raina ikut memperhatikan dari samping Anya.
Raina berusaha tidak tertawa karena nada suara khas dari Thailand itu. Menurutnya bahasa
serta aksen terlucu di dunia adalah Thailand.
Anya tertawa keras saat film menampilkan bagaimana sepasang lelaki menunjukkan pose aneh
dan seorang wanita memandangnya.
"Dih anjir hahaha. Lucu banget." Anya menyeka air mata yang keluar sebab terlalu banyak
tertawa.
Mereka berdua menikmati drama itu hingga film menampilkan scene dua pria dewasa yang
sedang melakukan ... ah, haruskah mereka menielaskan dengan detail?
Anya dan Raina refleks saling memandang. Mereka berdua sadar, mereka sudah cukup besar
untuk menonton hal ini, Raina pribadi sudah menonton lebih dari adegan ini, dan Anya juga
sudah menontonnya, setidaknya itu yang Anya cerita pada Raina.
Ada keinginan Raina untuk menghentikan drama ini, tapi saat mendengar suara dari adegan
yang tercipta, mata Raina seolah terkunci pada layar laptop. Sungguh, ia tidak bisa mengontrol
dirinya.
Tubuhnya mulai panas dingin, rasanya tidak nyaman. Jika saja Anya tidak ada di sini, ia akan
melakukan sesuatu hal yang sangat menjijikkan secara sendiri atau bahkan memanggil Salsa,
kekasihnya.
"Na," panggil Anya dengan nada yang agak aneh. Sial, Raina merasa semakin panas dingin
hanya dengan panggilan singkat itu.
"Hm?" sahutnya setelah lama cukup terdiam, dengan suara semakin berat dan sayu. Matanya
tak bisa diajak kerjasama, sibuk memandang drama yang terputar yang masih saja
menampilkan adegan tak senonoh itu.
Raina merasa menahan nafsunya akan membuatnya semakin sakit kepala. la tanpa sadar
menurunkan kepalanya bersandar pada bahu Anya. Drama di sana berganti lagi dengan adegan
lain yang Raina tidak paham. Anya belum mengerti apa yang terjadi pada Raina, tapi keduanya
sangat bersyukur adegan di film sudah berganti.
Semburat harum dari bahu Anya tercium begitu menyengat. Raina yang sedari tadi menahan
diri, akhirnya bergerak secara insting. Kepalanya yang sedari tadi menghadap layar laptop ini
menghadap sepenuhnya ke arah leher jenjang Anya. Raina mendengus di sana.
"Na, geli," keluh Anya pelan. Masih merasa normal dengan tindakan sang sahabat. Raina
yangdiberi respon seperti itu semakin memperlancar aksinya.
la menghirup dalam-dalam aroma leher Anya. Bibirnya mulai mencicip sedikit demi sedikit.
Anya mulai merasa aneh. Gelenyar aneh menembus hingga kepalanya. Tapi, ia masih belum
paham. Tidak, bukan ia polos atau apa, tapi otaknya memberi tanda bahwa apa yang ia pikirkan
tidak akan mungkin dilakukan Raina.
"Na. lo ngapain?"
Lidah Raina mulai menjulur. Rasanya manis. Akal sehatnya semakin menipis, tak peduli pada
reaksi Anya yang mulai memberontak. Pikiran Anya akhirnya berhasil menangkap apa yang
dilakukan sang sahabat.
"NA?!" Bentakan itu mulai naik satu oktaf. Raina tak mendengar, ia kini mencecap, memberikan
efek kemerahan di sana, mengeluarkan suara yang menandakan ia begitu menikmati leher
Anya.
Anya akhirnya refleks mendorong keras leher Raina. la berdiri beringsut mundur hingga
menghantam tembok.
"Lo ngapain, Na?!" Anya gemetaran, membuat Raina tersadar dan terkejut bukan main. Sialan,
apa yang dia perbuat.
"Mundur!" Anya berteriak ketakutan. la terus menjaga jarak dari Raina dan mengambil tas yang
tadi ia simpan di sofa. la tidak menoleh sama sekali.
Raina sendiri seolah terpaku di tempat dan hanya terdiam dengan mata membulat.
"Gue pulang!"
"Sial!" Raina menjambak rambut pendeknya. Merasa gusar atas perbuatannya tadi.
"Sial! Sial! Sial! Argh!" Kali ini, sasaran Raina adalah tembok di sampingnya. la meringis
kesakitan dan menggoyangkan tangannya merasa perih. "Bangsat, anjing!"
Raina adalah orang yang akan dengan mudah berkata kasar bahkan untuk hal sekecil apapun,
biasanya akan ada Anya yang menegur.
"Argh!" Mengerang, mulutnya hanya bisa melakukan itu dan mengeluarkan sumpah serapah,
kalimat-kalimat yang bergaung di otaknya tak bisa ia utarakan. Rasanya seperti percuma dia
katakan, toh dia memang melakukannya.
Kalimat seperti, "gue tadi ngapain?" Atau "anjing gara-gara tuh drama. Mending tadi nggak
nonton." Dan lain sebagainya.
Raina terduduk dengan lesu. Merasa sudah kehabisan tenaga untuk berteriak dan menyumpahi
apa yang telah ia perbuat. Dadanya naik turun, napas terengah hebat seperti biasa terjadi
ketika ia selesai berolahraga dan jantung berdetak keras.
la bodoh. Dirinya perempuan bodoh yang tidak bisa menahan diri di depan sahabatnya sendiri.
Walau Anya tahu apa-apa saja hal terlarang yang ia sudah lakukan bersama kekasihnya, dan
juga tidak melarangnya, bukan berarti Raina bebas melakukan hal yang sama ke Anya!
"Anjing," umpatnya pelan seraya terkekeh miris. la menyisir rambut menggunakan jarinya,
merasa menjadi orang paling bajingan di dunia.
Ponselnya berdering. Raina memandang sofa tempat di mana ponselnya berada. Lutut Raina
masih begitu lemas hanya untuk sekadar berdiri dan mengambil benda pipih itu. Maka, ia
membiarkannya hingga deringnya menghilang.
Raina memejamkan mata, mengistirahatkan otaknya yang terus saja melontarkan kalimat-
kalimat kasar yang dirinya bahkan mungkin akan berpikir dua kali untuk mengatakan itu
dalammasa sadar. Terlalu kasar dibandingkan kata-kata kasar yang sering ia ucapkan.
Dering ponsel terdengar, membuatnya kembali membuka mata. la menggerutu, memilih berdiri
dan mengambil ponsel itu dengan sentakan keras.
Raina melihat layar ponsel, itu nomor Salsa. Rasanya Raina tidak ingin berbicara dengan
siapapun saat ini. Termasuk Salsa.
Raina duduk di sofa. Memejamkan mata dengan ponsel masih di samping telinga.
Semenjak pesan singkat yang sampai di ponsel Raina, membuat hari-hari setelahnya menjadi
cerah di pandangan Raina. la sengaja meminta kekasihnya untuk tidak datang ataupun
menganggunya saat Anya datang ke sini. Tapi yang menganggu justru diri dan nafsu setannya
itu.
"Sayang?"
"Eh? Iya, kenapa?" Raina mengerjap terkejut. Tidak mendengar apa yang Salsa katakan.
"Kak Anya--"
"Oh. Udah pulang dia." Dengan tangan sebelahnya yang bebas, Raina memijit pelan dahinya.
Sesaat Salsa terdiam di seberang sana. Tidak tahu berkata apa. la sudah patuh hari ini, ia tidak
pergi ke sana padahal hari ini adalah malam Minggu.
Raina menggeleng. la lalu berujar saat sadar kekasihnya itu tidak mungkin melihatnya. "Nggak
usah. Udah malam banget ini." Sangat klise sekali alasannya. Padahal biasanya, keduanya sering
menghabiskan waktu bahkan sampai Subuh menjelang.
Raina menegakkan duduknya saat mendengar desahan kecewa dari seberang sana. "Sa, sorry
ya. Gue lagi pengen sendiri."
Raina menghempaskan ponselnya kembali di tempat asalnya. la mengusap wajah dengan kedua
tangan, merasa lelah dengan hari ini.
la berharap tak ada yang akan lebih buruk terjadi selain ini. la sungguh mengharapkan itu,
bahkan jika dengan berdoa itu bisa terwujud, ia akan melakukannya sekarang juga.
Raina berbaring di atas sofa panjang itu. Memilih mengistirahatkan jiwa dan raganya dengan
cara menutup mata, mencoba untuk tertidur.
Hari-hari sebelumnya, ia akan kesulitan untuk mengakhiri harinya. Hingga terpaksa ia harus
menuruti mata hingga jam menunjukkan pukul tiga dini hari.
Tapi, untuk saat ini, matanya memihak kepada jiwanya yang meronta-ronta kelelahan.
Membiarkan jiwa rapuh yang berusaha menjadi sekeras baja itu untuk beristirahat, melupakan
sejenak masalah yang baru ia ciptakan sendiri.
"Ibu...." Lenguhan pelan terdengar dari bibir si gadis yang sudah terlelap begitu jauh ke alam
mimpi. Kernyitan di dahi memberi pertanda bahwa si gadis sedang berada dalam mimpi yang
tidak mengenakkan.
"Kak Rani.... Lenguhan kali ini terdengar dengan sebuah senyuman kecil tercipta. Sesekali si
gadis akan tampak tertawa lebar dengan tangan menjulur ke depan hendak meraih sesuatu.
Lalu, tak lama setelahnya, tangan itu terjatuh begitu saja ke samping.
Perlahan kelopak mata itu mengerjap dengan pelan. Sekali, dua kali, cahaya masuk menusuk
matanya. la mengerjap berkali-kali berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina.
Raina menegak dengan gerakan cepat, sehingga ia merasa pungggungnya akan terasa sakit
setelah ini. la menoleh ke belakang, menemukan si pemilik suara yang tengah duduk di sofa
kecil dekat dengan dirinya.
Raina menghela napas. Berbalik sepenuhnya sehingga kakinya turun menjuntai ke lantai. "Situ
jarang pulang, sih," sindirnya agak keras.
Perempuan yang menyebut dirinya ibu itu tersenyum kecil, nampak jelas senyum terpaksa. "Ibu
tuh ke sini mumpung nggak sibuk." Suara lembut yang ia lontarkan di kalimat sebelumnya
lenyap menjadi kalimat kasar dan dingin.
"Raina. Ibu mau bicara." Tegas sekali, Raina tertawa kecil, menertawakan nasibnya yang tidak
begitu mujur walau terlahir dari rahim seorang pesohor ibu kota yang terkenal.
Raina menurut. Berjalan kembali ke sofa dan mendaratkan diri di sana. Berusaha membuat diri
senyaman mungkin, walau berakhir dengan rasa sakit di punggungnya, karena bangun tiba-tiba
tadi.
Tangan halus namun jelas sudah tidak muda milik perempuan di hadapan Raina ini
menyodorkan sebuah amplop cokelat di atas meja.
Raina mengernyit, memandang ibunya heran, jelas berbeda dengan heran anak lain yang biasa
ia tampilkan ke ibu mereka jika merasa ada yang salah.
"Sengaja."
"Gimana? Nggak ada yang tahu soal jati dirimu 'kan sampai saat ini?"
Raina mendesis pelan. Hal yang selalu ibunya tanyakan ketika berada di dalam rumah adalah
pertanyaan tersebut.
Sesaat pandangan Raina mengabur, bayangan Raka bersama ibunya melintas tanpa diminta di
benak Raina. Senyuman hangat ibu Raka, tatapan kasih sayang yang ia keluarkan, bahkan untuk
dirinya yang baru pertama kali bertemu.
Lalu, pandangan matanya beralih ke kejadian menjijikkan yang ia lakukan pada Anya.
Mengingat hal itu, Raina mendongak, menatap sang ibu penuh murka.
"Segitu takutnya ya kehilangan pamor karena anak sendiri?!" tanyanya masih terus menatap
sang ibu dengan tatapan nyalang.
Sang ibu terkejut bukan main. la sampai harus memundurkan badan bersandar pada punggung
sofa.
Raina terkekeh miris, terdengar menyeramkan. "Begini ya ternyata hidup sebagai anak artis, eh
salah." Raina kini tertawa manis, menutup mulut dengan telapak tangan, khas cewek-cewek
anggun ketika mengatakan hal yang salah. "Anak haram, maksudnya."
"Raina, ada apa denganmu?!" tanya ibunya dengan nada meninggi. Di depannya bukanlah
anaknya yang biasa akan mengangguk saja jika diberi pertanyaan ringan seperti tadi.
Ringan, eh? Pertanyaan bagaimana menurutnya yang masuk dalam kelas berat?
"Apa? Aku kenapa? Kenapa situ mau peduli, hm? Situ 'kan peduli dengan popularitas saja."
Raina bahkan tidak pernah memanggil ibunya dengan sebutan ibu sudah sejak lama, seingatnya
dari awal ia bisa mengingat.
"Raina! Jaga mulut kamu! Saya ini ibumu!" Sang ibu berdiri dari kursi kebesarannya, menatap
murka anaknya yang kini berada agak rendah di depannya, membuatnya harus menunduk.
Raina balas mendongak, tidak berdiri dari posisinya. "Ibu?" kekehnya dengan senyuman jahil,
terlihat menyedihkan sebenarnya. "Ibu mana yang nggak mau ngakuin anaknya sendiri, hah?!"
Raina menunduk, mengusap air mata yang tiba-tiba saja meloloskan diri.
"Ibu mana yang tega ninggalin anak kandungnya sendiri, tapi ngangkat seorang anak untuk
alasan kemanusiaan?" Kini, suara itu memelan, diikuti isak tangis yang semakin kencang.
"Kalau kayak gini jadinya, kenapa ibu nggak ngebunuh aku dari awal?"
Ibu Raina menggigil, ia tertatih mundur, tertampar dengan semua kalimat anaknya.
"Ibu? Kenapa mundur? Takut?" Raina mendecih ke samping. "Oh, jadi sekarang selain nggak
ngakuin anaknya situ juga takut dengan darah daging sendiri?"
Raina menghela napas. la mengalihkan pandangan dari ibunya yang nampak begitu
syokmendengar segala ucapannya. la sendiri juga merasa sedikit terkejut dengan segala isi
otaknya yang berhasil ia luapkan. Tapi, ada rasa lega di sana.
Seolah semua beban di pundaknya diangkat begitu saja, menciptakan efek dramatis tubuhnya
yang akhirnya merasa rileks dengan keadaannya sekarang.
"Nak," panggil ibunya pelan setelah sekian lama terdiam dengan wajah pias.
"Sudah, ya. Situ kalau mau pergi nggak usah pamit, ya. Kayak biasa. Permisi." la beranjak dari
sana, tak lagi peduli dengan wanita yang selalu saja menyebut dirinya seorang ibu di saat-saat
seperti ini, ketika sang anak sudah merasa lelah dengan keadaan.
Lalu kembali menjadi kasar, menjadi raga yang begitu jauh dari sosok rapuh Raina.
Raina mendengus kasar. Mencoba tidak peduli dengan segala kejadian hari ini.
Ternyata harapannya agar tak ada yang lebih buruk dari masalah yang ia buat dengan Anya
tidak terwujud.
Ada.
Ada yang jauh lebih buruk. Kedatangan ibu dan bertengkar dengannya.
Jika saja posisinya tidak sedang dalam masalah, Raina mungkin akan cuek bebek dengan segala
pertanyaan wanita setengah baya itu. Atau . jika saja Salsa ada di sini, mungkin saja dirinya
akanberpikir dua kali ini membentak ibunya seperti itu.
Raina menghela napas, memilih mendudukkan diri dengan lemah di belakang pintu kamarnya.
la yakin, orang yang memanggil dirinya ibu itu masih ada di bawah, belum beranjak sama sekali.
Dan Raina tidak peduli.
Bahkan ketika ia lupa ponselnya masih ada di tempat terakhir ia simpan, gadis itu tetap tidak
beranjak hingga pagi berikutnya menjelang.
Matahari menerobos masuk dengan paksa. Raina yang sama sekali tidak memejamkan mata
dari semalam mendelik jengkel. Kenapa juga ia selalu lupa menutup jendela kamarnya? Lihatlah
sekarang, bagaimana kehangatan cahaya kuning itu menerobos masuk melewati pakaian tipis
miliknya. Walau hangat itu tetap tidak bisa menembus hatinya yang semakin membeku saja.
Dia .... masih tidak beranjak. Hingga akhirnya fisiknya mengalahkan mentalnya yang masih ingin
terjaga. Kegelapan menjemputnya di antara cahaya hangat dari sang surya.
Empat Belas : Pengalihan
Rasa sakit di kakinya tidak membuat keinginannya untuk berhenti tercipta. la menjerit kencang
dalam hati, semakin membuat dada sesak.
Sampai akhirnya ia terjatuh di trotoar. Anya meringis, merasa kasihan pada diri sendiri. Air mata
yang sedari tadi ia tahan membeludak keluar saat itu juga. Jalan raya yang macet bahkan di hari
Sabtu ini, tak urung membuat Anya bangkit dan memperbaiki keadaannya.
"Nya," panggil seseorang. Anya merasa kenal dengan suara itu. la mendongak. Ternyata benar,
itu Raka.
"Astaga, ya ampun, lo kenapa?" Anya dapat melihat dengan matanya yang masih buram karena
air mata, cowok di hadapannya begitu panik dan khawatir, tapi tetap ragu untuk maju
mendekatinya.
Mendapati hal itu, Anya beringsut duduk. la menggeleng, tapi itu tetap tidak membuat Raka
menghilangkan raut khawatir dari wajahnya.
"Gue antar pulang, mau?" tanya Raka setelah melihat Anya bisa bangkit duduk walau terlihat
kesakitan. la ingin ikut berjongkok di hadapan gadis itu, tapi posisinya mungkin akan membuat
Anya tidak nyaman. Dia ... berharap, untuk saat ini Anya bisa menerima bantuannya. Dia sangat
khawatir, sungguh.
"Lo naik motor?" Anya menggosok hidung yangberair dengan siku setelah membersihkan wajah
seadanya.
Melihat hal itu, Raka mengeluarkan tissue yang entah kenapa selalu ada di tasnya setiap hari.
Mungkin kerjaan ibu, pikirnya.
Anya menerima itu. Membersihkan wajahnyajauh lebih baik. Tersenyum tipis berusaha terlihat
tidak dibuat-buat pada Raka. "Nggak usah antar gue, deh."
"Kita bisa jalan kaki. Lo mau?" tawar Raka, memberikan pilihan lain. la tidak boleh membiarkan
Anya keras kepala dengan dalih kondisi ketakutannya. Tidak, cewek itu benar-benar butuh
bantuan sekarang.
Jalan kaki? Terakhir kali ia jalan kaki menuju ke rumah adalah saat masih SD. Jarak dari
sekolahnya begitu dekat dari rumah. Semenjak ia SMP dan SMA, jarak sekolah itu begitu jauh.
"Kaki gue sakit," keluh Anya dengan gelengan pelan. Tidak menyembunyikan keadaannya walau
masih berusaha menolak. Merasa jalan kaki berdua -- bersama Raka lagi --bukanlah solusi
terbaik setelah ia berlari seperti tadi.
Raka mengangguk paham. la sedari tadi memang memandang heran pada gadis yang berlari di
trotoar. Bersyukur jalanan macet membuatnya dapat melihat dengan jelas. Setelah yakin itu
Anya, Raka dengan segera menepikan motornya. Tepat setelah ia berdiri dari motor, Anya
terjatuh. Bahkan Raka meringis di tempat seolah ia yang merasakan.
"Yah, nggak papa. Kita pesan taksi online aja deh, ya." Raka merogoh saku, mengambil ponsel
pintarnya. Masih tidak ingin membiarkan cewek di hadapannya ini keras kepala tidakmau
menerima bantuannya. "Lo mau pulang langsung ke rumah?"
Anya menggeleng cepat. Pulang ke rumah dengan keadaan seperti ini jelas akan membuat
mamanya khawatir. Walau sang mama jarang bertanya apapun kepadanya, tetap saja itu
menganggu Anya.
Raka tiba-tiba saja berjongkok. Mensejajarkan tingginya dengan Anya yang masih terduduk.
"Oke, terserah. Tapi, lo boleh berdiri nggak? Sepertinya orang-orang mulai salah paham,
mengira gue adalah pelaku tindak kejahatan yang tengah menyiksa korbannya sekarang," ujar
Raka sembari tertawa kecil, matanya menyipit karena hal itu.
Anya mendongak, menatap jalanan di sampingnya yang masih ramai oleh kendaraan lalu lalang
bahkan di saat hari sudah menjelang malam. la meringis, membenarkan ucapan Raka.
Maka, ia berdiri dengan sedikit kesusahan, Raka terdiam memandang itu. Ingin membantu tapi
jelas, bantuan apapun yang ia lakukan jika bersentuhan dengan Anya langsung hanya akan
membawa petaka.
Tapi orang tak mengerti itu. la semakin menatap Raka yakin seolah Raka adalah penjahat
wanita. Raka menggeram dalam hati, rasanya iaingin berteriak ke mereka-mereka yang
memandang Raka dan Anya.
Anya akhirnya berhasil berdiri. la menatap Raka yang juga turut berdiri. Kini mereka
berhadapan.
"Gue nggak bisa pulang dengan kondisi begini.... Eum, Gue bisa ke rumah lo, dulu?" tanya Anya
meringis pelan, agak ragu sebenarnya.
Raka terdiam. Sedikit terkejut. la mengernyitkan alis, merasa ada yang salah dengan tawaran
itu.
Oke, dia memang tidak tahu apa masalah Anya. Sepertinya menurut Anya memang pilihan
terbaik adalah pulang dulu ke rumah Raka.
"Oke, oke. Tunggu gue pesanin taksi online," kata Raka setelah lama memikirkannya.
Mereka berdiri bersisian, walau berjarak. Semakin lama, matahari semakin merosot ke bawah,
memberi efek jingga yang menenangkan jiwa. Anya memandangi itu dari samping, karena posisi
barat berada di samping kirinya. la sesaat terpukau dengan keindahan cakrawala di bantara
sana.
Tak lama, sebuah taksi berhenti di hadapan mereka, sang supir membuka kaca mobil, bertanya,
"Atas nama Raka Pradipta?"
"Naik, gih. Gue di belakang nyusul kok, tenangaja okey? Jangan khawatir," ucap Raka sungguh-
sungguh.
Anya mengangguk ragu. la sudah sering menaiki kendaraan online seperti ini. Biasanya ia yang
akan memberitahukan segala sesuatu kepada sang supir.
Seperti tidak mengunci mobil, agar ia gampangmembukanya jika keadaan mendesak, membuka
semua jendela agar ia bisa berteriak jika terjadi apa- apa serta sang supir tidak boleh
menemaninya mengobrol.
Dan kali ini, ada seseorang yang melakukan semua untuknya bahkan tanpa ia
menyebutkan.Sedikit heran sebenarnya dari mana Raka tahu, tapi juga bersyukur karena
setidaknya ia tidak harus berbincang dengan keadaan suara tercekat seperti ini.
Anya menoleh ke belakang tempatnya duduk, tersenyum lebar saat melihat Raka sungguh
berada tepat di belakang taksi yang ia kendarai, padahal cowok itu bisa saja melambung
kendaraan beroda empat ini.
Tak berselang lama, mereka sampai di depan rumah Raka. Pikiran Anya berkelana jauh
beberapa bulan yang lalu. Saat ia berada di sini dengan keadaan menyedihkan, seperti
sekarang.
"Ibu, assalamualaikum." Raka menciumi tanganibunya, beralih ke pipi mencium pipi kiri dan
kanan.
Dalam hati Anya meringis iri, ia tidak pernah melakukan itu kepada kedua orang tuanya
semenjak naik di kelas dua SD.
Raka menyingkir ke samping, Anya mengerjap tersadar dari lamunannnya, ia maju menciumi
tangan ibu Raka dengan senyum sopan. Sedikit terkejut saat ibu menarik punggunggnya
mendekat, menciumi pipi kiri dan kanannya.
Mata Anya terasa panas. la merasa begitu terharu saat ini.
"Raka, dia siapa? Dan kenapa kondisinya begini? Lihat, ada lecet di lututnya, di tangannya juga,"
ujar Ibu dengan pandangan khawatir sekaligus menyelidik putranya. Raka meringis pelan,
menggaruk tengkuk belakang. "Kamu apain Di--"
Bukan karena Raka, kok, Tante. Raka justru bantu saya," sela Anya. la tersenyum merasa
bersalah karena Raka dimahari ibunya. Raka memandangi itu dan tersenyum menenangkan dan
mengatakan itu bukan apa-apa.
Wanita setengah baya itu tersenyum lembut, membelai telapak tangan Anya, membersihkan
pasir di sana. la menatap Raka lagi, "Jadi, dia siapa?"
"Temen, bu." Ibunya mengangguk, walau terlihat masih tidak puas dengan jawaban sang anak.
la ingin menggoda lebih lanjut tapi takut perempuan cantik di hadapannya merasa tidak enak.
"Ya udah. Kamu pergi mandi dulu gih," ucapnya pada sang anak. Sang ibu beralih menatap
Anya. "Mau mandi juga, Nak?"
Anya pangling. Menatap sang ibu dengan ragu dan tidak percaya. "Boleh, Tante? Ah, maksud
saya nggak usah. Ngerepotin. Tapi, kalau boleh saya cuma mau cuci muka."
Ibu mengangguk, melirik tas berukuran sedang di bahu Anya. "Bawa baju ganti? Mandi aja
sekalian, nggak pa-pa."
Anya mengangguk. Ibu menunjuk satu pintu yang Anya yakini sebagai kamar mandi. la melirik
Raka, Raka mengangguk pelan.
Akhirnya, Anya berjalan ke sana. Kamar mandisederhana namun menenangkan. Cukup rapi,
pikir Anya.
Anya berkeliling satu kali di sana. Cuman sebentar karena kamar mandi ini memang tidak
terlalu besar.
Tak lama, ia menyandarkan punggungdi tembok. Pikirannya kembali berkelana tanpa diperintah
Rencananya, selepas kegiatan organisasinyahari ini, ia akan bersenang-senang bersama Raina
seperti biasanya sebelum Raina pergi tanpa pamit darinya.
Membayangkan hal itu membuat Anya semakin merinding. la menjerit pelan, air matanya
kembali meleleh. la menutup mulut dengan satu tangan, berharap jeritan dan tangisannya tidak
terdengar sampai keluar.
Tak ada kata yang keluar dari mulut kecilnya. Matanya terus saja mengerjap, menghilangkan
airmata yang justru semakin banyak.
Tindakan yang tidak akan pernah terpikirkan oleh Anya, datang dari sahabatnya, Raina.
Anya kembali merinding saat mengingat bagaimana Raina menikmati hal itu.
Anya terisak pelan. Dadanya semakin sesak. Memberikan efek nyeri tak berkesudahan.
"Nak cantik, ada apa, Nak?' Ibu bertanya khawatir, karena jarak dapur dan kamar mandi cukup
dekat, ia bisa mendengar sayup-sayup suara seperti orang yang sesak napas. Dia
begitukhawatir, makanya langsung berdiri di depan pintu kamar mandi dan bertanya.
Ketukan pintu terdengar. Anya yang sudah hampir merosot ke bawah menegakkan kembali
punggungnya. la berdeham untuk memperbaiki suaranya.
"Nggak papa tante. Saya baik-baik aja, kok." Ada helaan lega terdengar di telinga Anya, juga
suara langkah yang perlahan menjauh.
Anya segera membersihkan diri. Lalu keluar dengan keadaan sudah segar kembali. Tersenyum
kecil memandang punggung ibu Raka yang sedang memasak sesuatu.
"Saya bisa bantu, Tante?"
Sang ibu menoleh, menatap terkejut teman anak tunggalnya itu. "Eh nggak usah sayang. Udah
mau selesai. Kamu duduk aja di sana." Tangannya menunjuk sofa yang berada di ruang tamu.
Anya menggeleng. la maju ke samping ibu Raka. Mengerjakan apapun yang bisa ia kerja di
depan matanya.
Ibunya Raka memandang takjub Anya. Sedikit terkejut karena dia jarang melihat keponakan-
keponakan perempuan yang seumuran dengan Anya bisa memasak.
Anya sendiri berusaha sekuat tenaga mengalihkan segala pikirannya untuk memikirkan
peristiwa yang telah terjadi hari ini.
Anya tersenyum puas setelah menyelesaikan satu hal di meja ini. la memberikan hasil kerjanya,
memotong sayuran kepada ibunya Raka.
"Wah, hebat," puji ibunya Raka, refleks mengelus surai hitam milik Anya. Anya tertunduk,
tersipu karena perlakuan sang wanita di depannya.
Yah, setidaknya untuk beberapa jam ke depan ia bisa mengalihkan segala hal yang menganggu
pikirannya.
Juga, bisa mendapat kasih sayang dari seorang ibu yang jarang ia dapatkan dari ibunya sendiri
dengan alasan ia sudah besar.
"Tante?" panggil Anya sembari menyelesaikan tugas yang lain. Ibu Raka menoleh, memberinya
tatapan bertanya. "Eum, mungkin agak nggak sopan...." Anya meringis, menunduk walau
sesekali melirik mata Ibu dari Raka. Wanita setengah baya itu terkekeh merasa lucu. la ingin
berbicara sebelum Anya melanjutkan, "Aku ... maksudku Saya, bisa nggak kalau manggil Tante
dengan sebutan ibu?"
Dan tawa wanita cantik itu pecah. Raka yang baru keluar dari kamarnya menoleh bingung ke
arah dapur. Ah, pembicaraan wanita memang tidak akan spesiesnya pahami.
Ibu Mariani meredakan tawanya. "Boleh, dong. Masa nggak boleh? Ibu juga sebenarnya dulu
berharap dapat anak cewek pas hamilin Raka, tapi eh ternyata malah cowok."
Mereka berdua tertawa. Rasanya .... hangat. Anya seolah mendapat segala hal yang harus ia
dapatkan selama ini.
Bisa waktu bertahan pada detik ini? Sungguh, rasanya ia bisa hidup tenang dengan seperti ini.
Bercanda ria dengan bahagia tanpa memikirkan hal-hal yang membuatnya sesak.
Anya menyibukkan diri selama satu minggu ini. Ketika bahkan tidak ada kegiatan yang bisa ia
lakukan di luar rumahnya, ia tetap memilih bersama dengan orang-orang banyak. Bersama
teman- temannya.
Sebab, jika satu menit saja ia sendirian tanpa kebisingan, dirinya pasti akan memikirkan hal-hal
yang akan kembali membuatnya bersedih.
Bercerita dengan mamanya bukanlah hal yang baik dilakukan. Hal itu mungkin akan menjadi hal
yang terakhir Anya lakukan selama hidupnya.
Salahkan hubungan mereka yang sedari awal memang tidak seperti hubungan anak-ibu lainnya.
Anya seolah diberi tembok pembatas agar ia tidak menunjukkan sisi jeleknya di hadapan mama.
Makanya, semua perasaannya akan ia redam sendiri. Memberikan efek sesak tak berujung pada
hati.
Di hari Sabtu ini, Anya sudah berada di luar rumah semenjak pagi. Anya melirik jam di
ponselpintarnya. Sudah jam delapan malam. Dari pagi ia berada di sekretariat organisasinya.
Bercengkrama dengan senior-senior di sana.
Sama seperti dirinya, mamanya juga seolah menciptakan tembok tipis di mana ia tidak akan
bertanya lebih kepadanya mengenai kegiatan Anya.
Anya cukup mengatakan ia ada kegiatan di sekolah, dan mamanya akan menyetujui tanpa
bertanya. Bahkan hingga malam hari seperti ini. Malam terlarut yang pernah ia habiskan di luar
ialah hingga jam dua belas malam. Dan sekali lagi, ibunya tidak pernah menanyakan. Sekalipun
ia menanyakan, Anya sudah tentu hanya akan menjawab singkat tanpa merasa harus
menceritakan rinci.
Anya menoleh, menyimak pembicaraan senior perempuan cantik bersama dengan Raka.
Satu hal yang ia rela berlama-lama di sekolah, ialah ia tidak sendirian cewek di sini. Jika saja
iasendirian kaum hawa di sini, jelas ia akan mati gemetaran di tempat.
"Ya gitu lah, kak. Mereka udah mulai menjalankan proker yang schedule-nya dekat dari
sekarang, kak."
Anya merangkak mendekati. "Descate of the Sun!" serunya heboh, menyebutkan salah satu
drama Korea yang cukup terkenal.
Senior yang bernama Araa menoleh, tidak menyadari ada yang bergabung dengannya
menonton.
"Udah nonton?" Anya mengangguk antusias mendengar pertanyaan itu. la memperbaiki posisi
duduknya agar merasa nyaman menonton.
"Gue kok baru nonton, yah. Ketinggalan banget," ujar Araa. Anya diam tidak menyahut, bingung
sebenarnya ingin merespon bagaimana.
Anya beringsut mendekat dengan malas. Mendekati kak Ahmad, salah satu senior yang cukup
menaruh perhatian terhadap administrasi organisasi ini.
"Gimana persuratan kamu?" Kak Ahmad menatapnya dengan senyuman tipis. Melihat itu Anya
menyengir lucu.
"Aman, kak," jawab Anya. Berharap diskusi itu cukup sampai sini agar ia bisa kembali menonton
bersama kak Araa.
"Lihat coba."
Anya berdecak pelan dan menggerutu dalam hati. la dengan segera meraih tasnya dan
mengeluarkan laptop yang selalu ia pakai dalam membuat surat. Membuka beberapa file yang
memang ia khususkan untuk surat-suratnya.
"Ini, kak." Anya menyodorkannya ke depan kak Ahmad. Anya tetap diam di tempat, berusaha
menjaga jarak aman dengan sang senior.
"Bagus. Kamu tahu kan surat-surat mana saja yang kamu keluarkan?"
"Iya kak. Aku buat soft file dan juga hard file-nya di buku besar ini," jelas Anya menyodorkan
buku besar berwarna ungu di hadapan sang senior.
Senyum Raka mengembang mendengar hal itu. Karena ruangan sekretariat tidak terlalu besar,
semua orang bisa mendengar apa yang orang lain diskusikan. Raka merasa bangga telah dipuji
seperti itu.
Tak lama setelahnya, Anya merapikan barang- barangnya kembali dalam tas, tidak berniat ikut
dalam pembicaraan Raka dan Kak Ahmad.
la menoleh ke kak Araa dan yang ia lihat laptopnya sudah mati dengan kak Araa yang tertidur
memeluk laptopnya.
Anya menghela napas bosan. Tapi walau begitu ia begitu bersyukur dengan keadaan seperti ini
ia tidak akan memikirkan hal-hal yang akan membuatnya bersedih.
Ini sudah pukul sembilan malam. Sudah terlalu larut. Anya melirik Dhey yang masih asyik
dengan buku-buku keuangan tanpa adanya tanda bahwa ia akan pulang.
Ponselnya berdering. Anya berjengit kaget. Segera mengangkat ponselnya seraya berdiri
menjauh dari ruangan.
"Halo."
"Halo, hey Anya kapan kamu pulang? Udah malam banget ini. Pulang sekarang!"
Anya merinding di tempat. la dengan gerakan pelan melihat nama yang terpampang di
handphone-nya. Itu papa!
Anya menatap horor layar ponselnya. Terdiam cukup lama untuk mencerna apa yang terjadi.
Hari Sabtu, malam Minggu. Oh — TlDAK, Papa ada di rumah saat ini.
"Anya, kamu mau pulang 'kan sekarang?!" Suara itu meninggi. Menyadarkan Anya dari
lamunannya.
"lya." Refleks, Anya menjawab ketus. la mematikan ponsel tidak mengatakan apa-apa lagi. la
menghembuskan napas berusaha menenangkan jantungnya yang berpacu cepat karena
mendengar suara Papanya.
Semenjak segala hal yang disuntikkan di otaknya oleh sang mama mengenai papa, Anya
sebenarnya jauh dalam hati tidak lagi memberikan respect sebesar saat ia masih kecil.
Sosok yang menjadi idola dan sumber inspirasinya menjadi sosok yang di pandangan
Anyahanyalah manusia bejat dengan nafsu setan tak terkontrol.
Sekuat apapun ia berusaha untuk tetap sopan, tetap saja sesekali ia akan berkata ketus, kasar
dan penuh dengan ketidaksopanan di hadapan papanya.
"Dhey. Pulang, yuk," pintanya menggoyangkan bahu Dhey, membuat si korban terpaksa
menghentikan kegiatan tulis menulisnya. "Gue dicariin sama Papa."
"Oh, oke." Dhey merapikan barang tanpa banyak bertanya. la sudah paham dengan kondisi
Anya karena gadis itu sering bercerita saat mereka berkumpul satu angkatan.
Jika menyangkut papa, tak ada kebebasan bagi seorang Anya Shafira.
"Kak, kami duluan, ya," pamit Anya dan Dhey. Anya bersalaman dengan semua senior
perempuan di sana. Dan melakukan salam berbeda dengan senior laki-laki, dengan
mengatupkan kedua tangan di depan dada.
"Ketua, pulang ya!" seru Dhey saat ia dan Anya sudah beranjak melangkah keluar dari ruangan
itu. Anya melirik Raka yang mengangguk pelan.
Mereka akhirnya menembus angin malam yang cukup dingin saat ini. Untung dua gadis itu
memakai jaket yang cukup tebal.
Anya turun dari motor saat mereka telah sampai di rumah Anya. Anya memberikan helm
kepada Dhey.
Dhey mengangguk, memutar balik motornya dan tersenyum pamit kepada Anya yang masih
menunggunya.
Anya membalas senyum Dhey. Saat dia berbalik menghadap rumah, senyumnya luntur begitu
saja.
"Dari mana aja, kamu?!" Anya mendongak. Berhenti melangkah untuk memandang sekilas pria
yang tengah marah duduk di kursi kebesarannya.
Anya memutar bola mata. Kini ia benar-benar menatap papanya. Tidak lagi tatapan takut,
melainkan tatapan kemarahan yang sama seperti milik papanya.
Anya tidak peduli. la membanting pintu kamarnya, memberikan suara debaman yang cukup
keras.
"Ma! Itu anak kamu dididik dengan benar! Tidak sopan sekali!"
Anya terkekeh pelan dengan posisi berbaring menatap atap kamarnya di atas ranjang.
"Sopan, huh? Yang gue inget mama cuma ngajarin menjauh dari papa." la menghela napas
berat. Suara mamanya yang membalas kalimat papa terdengar seperti berbisik. Anya tidak
peduli, ia memejamkan mata berusaha mengistirahatkan jiwanya.
Anya jatuh tertidur. Entah sudah jam berapa saat ia terbangun karena suara gaduh.
"Anya! Buka pintunya!" Gedoran keras di pintu membuat Anya berdecak jengkel. la beringsut
berdiri dengan langkah kasar dan membuka pintu kamarnya.
Mamanya masuk ke dalam kamar. Anya jugaikut melangkah masuk, membiarkan pintu terbuka
lebar.
"Kamu kenapa Anya? Jadi tidak sopan seperti itu sama papa. Mama nggak pernah ngajarin
kamu untuk tidak sopan Ioh, ya."
"Emang iya," gumam Anya pelan. Matanya memandang mama dengan penuh keyakinan."Dan
mama juga nggak pernah ngajarin kesopanan sama aku."
Anya tertawa pelan, merasa dirinya akan gila. "Iya, 'kan? Mama cuma ngajarin untuk menjauh,
berjarak, menghindar dari papa agar ia tidak memperkosa, menghamili anaknya sendiri."
Mama terhenyak. Terkejut, tapi setelahnya ia memperbaiki raut wajahnya. "Bukan berarti kamu
harus tidak sopan dengan papa!"
Anya tertawa lagi penuh kemirisan. "Gimana caranya? Gimana caranya aku nggak punya
pemikiran buat benci sama dia kalau mama terus- terusan mengatakan hal buruk soal papa?
Jelasin ke aku, ma gimana caranya?" Anya terisak pelan. "Mama selalu bilang dia
memperkosaku jika tidak menjaga jarak dari kecil, dia akan menghamiliku dan membuat masa
depanku hancur. Jelasin gimana caranya supaya aku nggak punya pemikiran buruk?!" Anya
menjerit. la memegang dadanya merasa sesak di sana kian dalam.
Mama terdiam. Memandang sakit anaknya yang kini seperti orang kesakitan menjerit pilu.
Suara debaman dari pintu yang ditutup pelan yang dia kira berasal dari kamarnya membuat
mama bangkit dan segera keluar dari kamar Anya tanpa berkata apa-apa.
la menutup pintu kamar Anya, khawatir anak keempat dan suaminya akan mendengar tangisan
Anya.
Sesuatu yang selama ini ia ajarkan justru menjadi boomerang bagi anaknya, tanpa dia sadari.
Anaknya ... justru memandang buruk papanya karena ajaran yang selama ini ia tanam.
Demi melindungi masa depan anaknya justru menghancurkan hubungan antara anak dan
papanya sendiri.
Mama terduduk lesu di ranjang kamar. Mengelus paha anak kecilnya dengan mata kosong
terpancar ke depan.
Dirinya telah melakukan tindakan yang salah. la adalah penyebab segala hal yang menjadi
kesakitan anaknya.
Enam Belas : Mimpi, Masa Lalu (2)
Hari ini adalah hari Minggu. Di bulan-bulan seperti ini ia harusnya sibuk di sekolah, bahkan di
hari Minggu. Pertama, karena ia baru saja menjabat sebagai sekertaris umum di organisasinya,
maka sekiranya perlu banyak hal untuk adaptasi.
Kedua, dia kemarin mendapat surat dari sekolah lain mengenai ajakan lomba yang akan
diadakan beberapa bulan lagi.
Sekolah yang sama di mana diadakan latihan bersama beberapa minggu yang lalu. Sekolah di
mana ia melihat sosok yang paling tidak ia ingin lihat, teman SMP-nya.
Sekolah di mana ia kalap dengan dirinya sendiri. Bermimpi buruk yang menjadi
bumerangbaginya, tapi sebagian orang tetap mengira ia mencari muka.
Anya menghela napas. Memandang surat di tangannya. la menggeleng lemah. Kepalanya begitu
pusing saat ini. la meringkuk di atas kasur dengan keadaan berselimut tebal. Dingin menyeruak
hingga ke dalam tulangnya.
"Anya, ada apa, sayang?" tanya Mamanya masuk ke dalam kamar yang memang tidak tertutup.
Anya tertawa dalam hati. Ibunya masih sama, memberi perhatian di saat dirinya terbaring
lemah seperti ini.
Apa ia lupa apa yang terjadi kemarin? Kejadian itu 'kan menjadi salah satu penyebab Anya sakit
hari ini.
Yang ia lakukan hanya menggeleng lemah. Memegang dahi dengan tangan yang terasa hangat.
"Sakit kepala, aja."
Mamanya nampak mengangguk pelan. Anya sendiri tidak terlalu melihatnya. Pandangannya
buram.
Sedetik sebelum kesadarannya menghilang, mamanya naik ke atas ranjang dengan segelas air
dan Obat. Menarik kembali keinginan Anya untuk terlelap.
Anya tidak banyak protes saat tubuhnya diangkat pelan dan diberi Obat. Setelahnya Anya
kembali berbaring, memegang dahinya pelan. la memejamkan mata, membiarkan kegelapan
merenggut kesadaran.
Anya mengerjap pelan. la mendongak saat menatap meja yang kini memangku kepalanya.
Dia .... adalah di dalam ruangan.
Kelas, eh?
"Suruh aja dia keluar, gue yang gantiin lomba. Nggak bagus juga suaranya."
Anya memicingkan mata. Berusaha mempertajam telinga. Suara itu sepertinya tidak asing sama
sekali di telinganya.
"Ya udah. Kita bilangin ke dia." Suara berderap langkah masuk ke dalam kelas. Anya terdiam.
Memilih memandang lurus ke depan. la masih tidak mengerti di mana dia dan apa yang sedang
terjadi.
Saat perlahan ia bisa melihat dengan jelas siapa yang masuk Anya mematung di tempat. la
dengan spontan melihat seragam yang ia gunakan. Roknya berwarna biru.
Sial.
Jika ia tidak salah ingat, hal yang berikutnya terjadi adalah orang-orang itu mendekat ke arah
mejanya dan berkata, "Eh, nggak usah ikut latihan lagi, ya. Lo nggak usah ikut lomba."
"Oh. Iya." Anya tersenyum seraya mengangguk. Sesaat kemudian ia mematung, kenapa seolah
dirinya dikendalikan saat ini? la tidak seharusnya mengatakan hal itu! Harusnya ia tetap
memaksa ikut lomba, karena itu haknya. Bukankah memang dia tidak jadi digantikan? Ada apa
ini? Apa ia bermimpi?
Anya menutup mata dengan sebelah tangan. Ingin rasanya ia menjerit saat ini. la meremas rok
birunya. Sekarang ia sudah SMA! Kenapa saat ini ia memakai baju khas SMP ini?
Anya terus merutuk dalam hati. Dan yang bisa ia lakukan hanya terisak pelan.
Tak lama, kesadarannya tertarik paksa. Anya tidak mengerti sama sekali. Tubuhnya seolah
tertarik menjadi serpihan debu dan kembali menjadi utuh.
Kini ia kembali terbangun dengan posisi yang sama. Bedanya, kini ada begitu banyak orang di
dalam kelas.
Satu orang mendekatinya. Tersenyum lebar yang membuat Anya merinding ketakutan. Sialan,
senyum iblis. Dia tahu siapa cewek itu. Dia pasti akan mengatakan, "Nya, lo ikut kembali lomba,
ya? Soalnya 'kan lo udah kirim foto lo nih, kata panitia di sana pesertanya nggak bisa ditukar
lagi." Anya sudah menebaknya. la juga sudah menyusun kalimat yang akan ia lontarkan. la akan
memarahi dan bertanya kenapa mereka bisa seenaknya melakukannya seperti itu. Beberapa
hari lalu mereka membuangnya!
Anya mengangguk antusias, berbanding terbalik dengan hatinya yang menjerit sakit serta
otaknya yang merasa aneh dengan tindakannya kali ini. Astaga, Anya masih tidak paham. Apa ia
sedang berada dalam tubuhnya di waktu itu?
"Iya. Nggak pa-pa." Jika ia tidak salah ingat lagi, ini adalah kejadian beberapa hari setelah ia
dilarang ikut latihan lagi.
Tak berselang lama, siswi yang Anya ingat ingin sekali menggantikan posisinya dalam lomba ini
menatapnya tajam secara terang-terangan.
Bukannya balas menatap tajam sesuai keinginan otaknya, Anya justru menunduk dalam.
"lh, sebel deh. Harusnya 'kan dia nggak ikut." Suara itu membuat Anya mendongak. Siswi
berbadan sedikit tambun itu terus menggerutu kepada temannya. Anya mengangkat alis saat
itu. Tapi, tidak berbicara apapun.
"Gini aja, gue bisa pakai kacamata kayak si culun itu. Gimana-gimana?"
"Lo kepengin pakai kacamata? Jelek banget pasti itu," komentar salah satu temannya. Siswi
yang sebelumnya yang Anya kenal bernama Megi tertawa mengejek.
"Nggak lah."
"Lo gila?! Lo nggak lihat mereka? Mereka aja sebenarnya terpaksa ngajak lo kembali karena
ketentuan panitia. Kok lo terima-terima aja, sih? Harusnya lo nolak, biar nggak jadi ikut lomba!"
sungut gadis itu kesal. la memainkan ponselnya dengan terus menggerutu pelan.
Iya, harusnya ia melakukan itu, tidak dengan mengangguk dan tersenyum seolah senang
dengan keputusan ini.
Anya menghela napas lelah. la memilih menyandarkan pipinya di atas meja. Memejamkan
mata, membiarkan kesadarannya direnggut paksa sekali lagi.
la ada di tengah lapangan. Begitu ramai di sana. Di atas panggung, pembawa acara tengah
membacakan pemenang di setiap lomba.
Anya meringis. Mengingat kejadian ini. la ingin melangkah menjauh dari sana sebelum hal yang
tidak ingin ia ingat lagi terjadi.
"Anjing," gumamnya pelan saat kakinya tak bisa digerakkan. la menjerit dalam hati, mengulum
bibir berusaha untuk tidak berteriak saat itu juga.
Tidak, sebentar lagi lomba yang ia ikuti bersama dengan yang lain akan diumumkan.
Tak lama, kakinya ikut berlari ke arah timnya yang kini bersorak bahagia. Piala itu ingin ia
sentuh juga seperti yang lainnya.
Tapi, tidak ada yang mengizinkannya untuk menyentuhnya. Ketika piala itu dipegang oleh si
yang paling tinggi, Anya paham, ia tidak sampai.
Saat yang memegang adalah teman yang sepantaran dengannya, Anya ingin memegang
juga,dan piala itu digeser menjauh darinya.
Anya memandang orang tersebut. Orang tersebut mengalihkan pandangan, tersenyum lebar
dan memberikan piala itu ke orang lain.
Tapi, seolah takdir masih ingin mempermainkannya, Anya tetap mematung di tempatnya.
Memandang teman-teman yang sedang berfoto ria dengan piala umum yang berhasil diraih
sekolahnya. Piala yang hampir sama tinggi dengannya.
Beberapa orang memandangnya dengan kasihan. Tanpa ada keinginan untuk mengajaknya.
Anya mengusap air mata yang perlahan meleleh. la meninggalkan sekolah itu, berlari ke arah
jalan raya dan menanti taksi disana.
Di dalam taksi ia terisak pelan. Meninggalkan rasa penasaran di benak sang supir, tapi
mengingat perjanjian dengan penumpangnya itu, ia memilih diam.
la mengerjap lagi berkali-kali. Kini, yang masuk ke retina matanya adalah plafon kamarnya.
Untuk pertama kalinya peristiwa beberapa tahun itu datang dalam bentuk mimpi di
kehidupannya.
Cahaya dari ponselnya membuatnya mengeryit pelan karena matanya terasa perih
memandangi cahaya itu.
Raina.
Nya.
Anya berdecak. Merasa semakin sesak. la membanting ponselnya ke samping dan mendesah
pelan. Memandang lurus ke atas dengan pikiran kalut.
Apa yang harus dia lakukan sekarang? Sesaknya makin menjadi, air matanya tidak bisa ia
kontrol. Tubuhnya tremor parah.
Tolong! teriaknya dalam hati. la .... ia merasa ingin mati saat itu juga. Napasnya sesak, dadanya
bergemuruh hebat dengan rasa panas menjalar ke seluruh tubuh. la bergeming, beberapa saat
terdiam dengan kondisi makin parah kian detiknya. Hingga kesadarannya direnggut kegelapan.
***
Di tempat yang berbeda, Raina sedari tadi menimang ponsel pintarnya dengan gamang. Layar
ponselnya menampilkan roomchat-nya bersama Anya yang menunjukkan terakhir kali Anya-lah
yang menghubunginya seminggu yang lalu. Chat yang menerbitkan senyum lebar walau harus
terbenam bahkan ketika ia belum menjalaninya dengan baik.
Sekarang, haruskah ia meminta maaf atas kelakuannya pekan lalu? Kelakuannya begitu bejat,
sehingga rasanya ia tidak pantas menerima maaf dari sahabatnya itu. Tapi .... rasa bersalah
terus mengganggunya.
"Argh! Sekarang gimana? Bangsat!" Raina meninju tembok di samping kanannya. Merasa
frustrasi atas masalah ini. Hari itu, ia terbangun masih dengan posisi yang sama, bersandar di
pintu kamarnya saat malam menjelang.
Pikirannya masih kosong hingga Salsa datang beberapa hari setelahnya. Kembali
membangkitkan semangat Raina dan bahkan karena hal itu Raina sekarang berani memikirkan
haruskah ia meminta maaf atau tidak.
Salsa tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Raina hanya menceritakan sebagian terkait
kedatangan ibunya. Tanpa banyak bertanya, Salsa memberinya semangat dan mengatakan
semua akan baik-baik saja.
Lama berkutat dengan pemikirannya sendiri, tangan Raina mulai mengetikkan kalimat di
keyboard kecil di ponsel pintarnya.
Nya.
Beberapa menit, hingga berganti satu jam, centang dua berwarna abu itu akhirnya berubah
biru. Sejenak, ada binar pengharapan di mata gadis tomboi itu sembari terus menatap layar
ponselnya tanpa berkedip. Hingga .... setengah jam ia menunggu, tak ada tanda-tanda lawan
bicaranya akan membalas.
Raina menggeram. Binar pengharapan di matanya redup digantikan binar sedih yang begitu
kentara. la mengumpat kasar merasa bodoh sendiri. Mana mungkin Anya mau memaafkan
perbuatan yang ia lakukan? Bodoh sekali.
Raina menghela napas. Cewek yang kini memakai kaos tipis lengan pendek itu menyugar
rambutnya ke belakang, berusaha menenangkan dirinya.
"Udahlah. Mungkin memang begini akhirnya hubungan gue sama Anya," ucapnya pasrah dan
menjatuhkan diri di lantai dengan lemah. Tak peduli dinginnya ubin, ia tetap berbaring hingga
kantuk menguasai dirinya.
la tak peduli saat melihat papa memarahinya saat papa di rumah. Segala sikap tidak sopannya
menghilang digantikan sikap pendiam dan dingin.
Setiap papa menelepon, menyuruhnya pulang, ia akan menjawab iya saja dan segera pulang ke
rumah. Di rumah, ia akan diceramahi, Anya akan diam mendengarkan tanpa menatap mata laki-
laki yang selalu ia anggap bisa berbuat bejat lebih daripada laki-laki bejat asing yang lain.
Bahkan sesekali ia akan menginap, entah di rumah Dhey ataupun di sekretariat, tentunya
dengan beberapa senior cewek beserta Dhey juga, dan jangan lupakan Raka.
Bicara soal Raka, rasanya Anya masih merasa aneh saat beberapa kali cowok itu memberinya
perhatian kecil. Seperti mengajukan diri untuk menemaninya saat ia perlu berhadapan dengan
kepala sekolah, untuk urusan surat menyurat.
Malam ini, setelah beberapa bulan latihan hampir setiap hari, tiba masanya mereka akan
berangkat ke lokasi lomba diadakan.
Begitu banyak barang yang harus mereka bawa sebagai persiapan, bersyukur kali ini mereka
tidak perlu membawa tenda karena lokasinya merupakan lokasi penginapan.
"Lo bareng Dhey, 'kan, ke sana?" Anya mengangguk, tersenyum kecil sembari terus berjalan
berdampingan dengan Raka dengan barang-barang di tangannya. Terima kasih kepada Raka
yang selalu saja memberinya ruang agar ia tidak harus ketakutan karena berdekatan dengan
cowok itu.
"Entar, Dhey. Gue kasih naik ini dulu," ujarnya dengan segera memprcepat langkah menuju
mobil pick up yang mereka pakai hari ini untuk membawa barang-barang.
"Anya." Anya menghentikan gerakan tangannya yang merapikan barang di atas mobil. la
menoleh ke belakang,menatap Raka yang juga menatapnya.
Anya melangkah, menuju motor Dhey, menunggu Raka mengatakan apa yang ingin dia katakan.
"Raina apa kabar? UDah lama nggak dengar soal dia." Ucapan Raka membuat Anya yang baru
saja hendak naik ke atas motor Dhey, membeku di tempat.
Raina, ya?
Sekelebat, peristiwa Raina melakukan hal yang menjijikkan bagi gadis remaja berusia tujuh
belas tahun itu berputar di otaknya.
Anya merinding, masih membeku di tempat. "Nya, ditanyain sama Raka tuh," imbuh Dhey,
membuat Anya tersentak kaget dan refleks mendongak.
"Ah? Oh. Raina baik-baik aja, cuman emang gue nggak pernah ketemu lagi, sih." la menoleh ke
arah Raka, memberikan cengiran lebar miliknya. '"Kan sibuk latihan," tambahnya dan
memberikan ekspresi lucu dengan memandang jahil Raka. la dengan segera naik ke jok
belakang motor Dhey.
Tidak memperdulikan Raka yang merasa tubuhnya memanas memandang ekspresi lucu Anya
tadi.
"Astaga." Tangan Raka naik menyentuh dadanya yang kini sedang memberikan efek dramatis,
tangannya bisa merasakan dentuman hebat dari jantungnya. Beruntung Anya dan Dhey sudah
menghilang jauh membelah jalanan malam.
Raka mengerjap kaget, memandang salah satu adik kelasnya yang sudah akan melajukan
motornya.
Raka mengangguk pelan, agak ragu. Masih belum menguasai dirinya sendiri. Setelah ia
sendirian di sana, ia menghela napas, menyadarkan kembali dirinya yang terlalu berharap
tinggi.
Nggak mungkin gue bisa jadi karakter yang bantu Anya sembuh, seperti kata Raina.
Di perjalanan, Dhey dan Anya terdiam. Tak ada pembicaraan di sana. Anya merapatkan jaket
yang sengaja tidak ia kancingkan agar baju dinas organisasinya masih bisa terlihat.
Raina.
Anya sibuk dengan pemikirannya sekarang. Sosok Raina yang begitu hangat di hari pertama
mereka bertemu terputar. Anya tersenyum kecil, memandang langit malam yang tidak dihiasi
bintang satu pun.
"Raina yang ditanyain Raka tuh Raina teman kelas lo 'kan, Nya?"
Anya mengerjap kaget. la menatap Dhey melalui spion dengan mata membulat besar. la tahu,
jika ia mengangguk, Dhey akan menanyakan soal kenapa Raina di-drop out dari sekolah.
Ini adalah awal tahun, sudah biasa cuaca mendung dan hujan keras menghantam negara yang
beriklim tropis ini.
"Kayaknya mau hujan," gumam Anya pelan, mengalihkan pembicaraan. Yang tidak Anya sadari
Dhey mendengarnya.
Suara tawa Dhey membuat Anya mengeryit bingung. "Cuman hujan air doang. Itu mah bukan
penghalang kalau kata kak Edo," kekeh Dhey sembari terus melajukan motornya dengan
kecepatan sedang, mengikuti mobil pick up di depannya. Fokusnya benar-benar teralihkan dari
pertanyaannya tadi.
Anya terkekeh, mengingat kembali bagaimana wajah marah seniornya saat mengatakan kalimat
itu di hadapan anggota yang terlambat karena hujan.
Ekspresi marah dari kak Edo baginya terlihat lucu karena seniornya yang satu itu jarang
menunjukkan wajah marahnya. Di lain sisi, jika Dhey maumemperhatikan lebih jelas, kekehan
Anya terdengar canggung.
Sesuai perkiraan, hujan turun. Dari atas motor, Anya dapat melihat mobil pick up yang
membawa barang persiapan lomba berhenti disusul dengan gerakan panik adik-adik kelasnya
yang menutupi barang-barang dengan terpal.
Anya memakai tudung jaketnya saat Dhey tidak berhenti berjalan. Justru semakin kencang.
"Hati-hati aja, Dhey. Kita nggak bakal basah, kok." Sangat beruntung Anya dan Dhey memakai
jaket tebal saat ini. Anya mengancingkan jaketnya sampai ke leher, agar air tak mengenai baju
di dalamnya.
Beberapa menit di atas motor, mereka akhirnya sampai. Anya dan Dhey sama-sama berteduh di
salah satu koridor bangunan.
Anya membuka jaket basahnya dengan cepat. Dia menghela napas lega melihat bajunya tidak
basah sama sekali. la mengibaskan rambutnya, berusaha sedikit mengeringkan.
"Duh, tas gue di mobil," keluhnya memandang Dhey yang juga mengeluhkan hal yang sama.
"Ya udah sih tunggu mereka. Bentar lagi sam -- eh itu mereka," ujar Dhey heboh. Anya
mengalihkan pandangan memandang mobil yang berhenti tepat di depan Anya dan Dhey.
Anya menunggu saat semua adik kelasnya bahu membahu menurunkan barang dari atas mobil.
Anya ingin membantu, tapi langkahnya dihentikan oleh Raka yang juga baru sampai dan
memilih beridri agak jauh dari Anya.
Setelah semua barang turun, masing-masing dari mereka membawa barang bawaan pribadi
dan barang-barang yang memang dikhususkan untuk persiapan lomba dan persiapan menginap
mereka.
Saat semua barang akhirnya selesai dibawa ke penginapan, Anya menarik Dhey dengan rok
hitam baru di tangannya.
Mereka segera menuju ke toilet. Tidak susah menemukan, karena mereka sudah ikut lomba
yang sama tahun lalu. Tidak banyak yang berubah dari penginapan ini.
"Eh, sorry." Anya mendongak, segera meminta maaf saat merasa bahunya menabrak bahu
orang lain.
Saat matanya bertatapan dengan mata hitam legam di hadapannya, khas orang keturunan
negara maritim, Anya membeku di tempat. la bahkan tidak bisa mengedipkan matanya,
memberi efek perih dan sakit.
Anya mengangguk kikuk, memandang sembarang arah dengan senyum cangggung dan sedikit
gemetar.
"Iya, Sarina."
Bibir Anya bergetar pelan menyebut nama itu. Salah satu nama yang sudah ia lupa setelah
sekian lama, kembali dia ingat karena wajah di hadapannya.
Sarina tersenyum kecil, pamit keluar dari sana. Dan setelah itu, Anya bernapas dengan terburu-
buru. Seolah baru kebagian jatah oksigen.
Anya menggeleng. la mendorong pelan Dhey agar tidak menghalangi jalannya masuk ke kamar
mandi.
Di dalam, Anya menyandarkan diri di tembok. la rasanya ingin segera pulang sekarang.
Beberapa bulan yang lalu, ia betemu dengan salah satu teman SMP-nya yang juga memberikan
kehidupan buruk baginya, ia berhasil menghindar.
Dan sekarang, ia bertemu dengan salah satu di antara mereka, lagi. Dan untuk kali ini rasanya ia
tidak akan bisa menghindar.
Anya menghela napas lelah. Memegang dahinya yang terasa berdenyut sekarang.
Suara Dhey dari luar menyadarkan Anya. Anya dengan sigap segera mengganti roknya. Satu
tahun yang lalu, ia pernah berada di sini, dengan tujuan yang sama, peserta lomba. Dan dia
tidak pernah melihat dua orang itu di sini. Mungkin karena pada saat itu mereka masih jadi
panitia yang jarang muncul di hadapan peserta.
Anya keluar dengan pandangan kosong. Pasrah saat Dhey menariknya keluar dari sana dan
menuju ke tempat penginapan.
"Kak, pembukaan udah mau mulai," ujar seseorang. Anya mendongak, itu Sarina.
Seniornya mengarahkan Anya dan beberapa peserta yang lain. Bukannya berjalan bersama
menuju lapangan. Anya malah memilih mundur dan masuk ke dalam kamar. la terduduk lesu di
salah satu ujung ruangan.
la tidak sanggup bahkan hanya untuk berdiri beberapa saat saja.
"Halo."
Anya mendongak. Menatap Sarina di depan pintu. la dengan segera meluruskan kaki,
memandang bingung teman lamanya itu. Walau ia memasang ekspresi itu, jelas ketakutan
masih terpancar.
Anya mengangguk, sedetik setelahnya ia menyesal dengan tindakannya barusan. Sial. Sarina
tersenyum, memilih melangkah mendekati Anya.
"Baik," jawab Anya pendek. Berusaha menetralkan napas dan jantungnya dan berharap gadis di
sampingnya segera pergi.
"Lo banyak berubah, ya?" Terkekeh. Anya memandang ke arah lain, tak ada niat memandang
wajah yang bagi Anya begitu menyebalkan itu.
Mendengar Anya tidak menjawab, Sarina kembali berkata. "Lo udah ada teman ya? Kirain
bakalan terus di-bully kayak dulu." Bukan lagi kekehan, melainkan tawa mengejek.
"Lo udah nggak papa soal masa-masa lo di bully?" Sarina tersenyum miring, seolah ia menjawab
pertanyaan itu dengan jawaban, tentu saja lo masih apa-apa dengan hal itu, pikirnya.
Anya masih tidak menjawab. "Gue agak heran sih, kok bisa lo punya teman apalagi sampai
masuk organisasi sekeren PMR. Lo bahkan terlihat akrab banget sama si cewek yang tadi."
Sarina menyentuh bahu Anya. "Lo ada kasih pelet apa ke mereka?"
"Gue balik ya, sampah masyarakat." Sarina tersenyum mengejek, berbalik dan melangkah
menjauhi Anya.
Anya merasa lemas di tempat. Air mata yang sedari tadi ia bendung tak bisa lagi ia tahan.
Mengurai begitu saja.
Anya menjerit. Tidak peduli apakah jeritannya akan didengar orang lain atau tidak.
"Argh!" jerit Anya cukup keras. la membenturkan kepala belakang ke tembok tempatnya
bersandar.
"Sampah, sampah, sampah." Setiap benturan, ia selalu menggumamkan satu kata itu.
"Anya!"
Anya mendongak, menatap Raka yang perlahan mendekat. la menggeleng, mejulurkan tangan
ke depan.
"Jangan ke sini, gue kotor, lo bisa ketularan kotor gue," ucapnya meracau dengan tangis yang
tak kunjung berhenti.
Raka mematung takjauh dari sana. la hendak menjulurkan tangan tapi teriakan Anya
membuatnya urung melakukan.
"Sial! Lo kenapa Anya?!" tanyanya frustrasi. Untuk sesaat dirinya merasa blank.
"Raina! Iya Raina!" la dengan segera menghubungi Raina dengan perasaan cemas. Memandang
terus Anya yang masih melakukan hal yang sama. Bahkan sekarang ia mencakar pipinya.
Raka tidak peduli Igi, ia membanting ponselnya ke kasur di samping Anya dan menahan tangan
Anya yang semakin beringas mencakar pipinya.
"Ahhh, jangan sentuh gue. Gue kotor, gue penuh virus!" Anya menyentak tangan Raka, sialnya
tenaga Raka lebih kuat darinya.
"Halo?"
"Raina! Ini Raka! Lo bisa ke sini sekarang?" Raka menghela napas lega saat tahu teleponnya
terjawab, ia berkata terburu-buru sambil terus mencegah tangan Anya yang ingin menarik
rambutnya.
"Hah? Nga--"
"Lepasin gue, gue mohon! Gue penuh sama kotoran. Lo nggak lihat hah? Gue harus mandi!"
"Lo di mana?"
Raka mendengar samar suara grasak-grusuk dari seberang. "Di wisma Gor. Nomor 445. Please
sekarang, Na."
Setelahnya telepon terputus. la memandang Anya yang kini begitu dekat dengannya. la merasa
bersalah karena dengan berani menyentuh gadis di hadapannya.
"Anya, tenang. Okay, gue di sini." Mengalahkan rasa bersalahnya, ia memandang Anya tepat di
manik mata cewek itu.
"Jangan liatin gue! Gue tuh kotor, menjauh nggak?!" bentak Anya cukup keras hingga membuat
telinga Raka pengang sesaat.
"Nggak. Lo bersih. Nggak kotor Anya!" Raka balas membentak. Gadis dihadapannya tersentak,
lalu air mata kembali mengalir deras.
"Lo bohong! Gue kotor! Gue sampah! Gue penuh virus! Pindah! Gue harus mandi!"
Raka menghela napas. la berusaha menahan tangan Anya yang berusaha melepaskan diri dari
pegangannya. Serta juga menahan tendangan cewek itu selama bermenit-menit.
"Anya!"
Raina menyentak tangan Raka hingga terlepas dari tangan Anya. Anya yang melihat itu
langsungmenyentuh wajahnya dan menggosoknya dengan keras.
"Raina," rengek Anya memandang Raina dengan wajah sembabnya. Raina merasa hatinya
tercubit memandang sahabatnya itu. "Gue kotor, Raina. Gue kotor!"
Raina menggeleng. Memegang lembut tangan Anya, walau gadis Itu terus memberontak.
"Nggak, lo nggak kotor Anya. Lo bersih. Lo lihat 'kan? Gue nyentuh lo, 'kan? Lihat?"
Anya menggeleng lemah. "Gue kotor Raina! Lepas! Lo bisa ikutan kotor!" Anya menjerit,
berusaha melepas pegangan Raina di tangannya. la menangis histeris.
"Nggak!" Suara Raina meninggi. Napasnya terengah. "Lo lihat 'kan? Lihat baju lo bukannya udah
lo cuci bersih? Udah lo bersihkan dengan baik?"
Anya memandang bajunya dan Raina bergantian. "Iya. Gue udah nyuruh mama cuci bersih."
Raina tersenyum lembut. "Benar, 'kan? Sekarang gue akan bersihkan tangan lo. Tunggu, ya?"
Anya menyerahkan tangannya yang langsung dibersihkan dengan tissu basah yang Raina ambil
dari dalam tas.
"Nah, udah. Bersih deh sekarang." Raina tersenyum lebar. Memandang Anya yang kini perlahan
raut wajahnya mengendur halus.
"Bersih. Tangan gue bersih, Na." Anya bersorak kegiran seperti anak kecil.
Raka yang memandang itu sembari berdiri dari jarak yang cukup jauh memandang takjub. la
tidak tahu kenapa Raina bisa menenangkan Anya tanpa emosi.
"Nah. Lo bersih 'kan sekarang? Nggak kotor. Dan lihat, lo bukan sampah, Nya. Lo manusia
terbersih yang pernah gue temui."
Anya menghambur ke pelukan Raina. Tersenyum lega di sana. Raina membalasnya, dengan
senyuman yang sama leganya dengan Anya. Lega karena rindunya berbulan-bulan kini
terbayarkan.
Anya lega, karena ternyata masih ada orang yang menganggapnya sebagai manusia, bukan
sebagai sampah masyarakat.
Mereka terus berpelukan. Hingga akhirnya Anya jatuh terlelap, karena kelelahan. Raina
membiarkan untuk beberapa menit posisi mereka, sebelum ia meminta Raka untuk membawa
gadis itu di kasur yang menjadi saksi bisu bagaimana seorang Anya Shafira bisa kembali menjadi
histeris seperti itu.
Setelah Raina merasa Anya sudah mencapai alam mimpinya, ia mendengus pelan. Cukup
terkejut hebat saat Raka menelepon di tengah malam seperti ini.
"Kok bisa siht Ka?" tanya Raina pelan. Takut sang sahabat yang kini terlelap terganggu.
Raka menggeleng. Juga tidak paham apa yang terjadi. "Tadi gue nyariin dia, soalnya dia nggak
muncul pas upccara pembukaan. Takutnya ada apa-apa, gue ke sini, dan dia udah kayak gitu,
Na. Gue juga panik banget pas dengar ada teriakan dan itu dari dia." Hampir menjerit, Raka
terdengar begitu frustrasi.
Raina cukup mengerti bagaimana kondisi Raka saat ini. "Terus kok lo bisa kepikiran nelepon
gue?"
Raka menggeleng, lagi. Benar-benar seperti orang yang dilanda depresi. Pikiran gue blank, anjir!
Cuma ada lo di pikiran gue tadi." Bahkan kini jeritan kecil tidck tertahankan lagi.
Raina mendengus, bermaksud ingin menghina Raka karena begitu lemah. Tapi, lenguhan pelan
terdengar dari arah belakang. Raina langsung refleks menoleh. Maju mendekati Anya,
Raina tersenyum kecil. Memandang Anga kembali terdiam dan tertidur dengan dengkuran
pelan. Efek hidung tersumbat pasti, pikir Raina.
"Gue rasa dia harus pulang dulu, Ka.• Raina beranjak, kembali menghadap Raka. "Dia nggak ada
Iomba penting, 'kan?"
"Tapi dia nggak mungkin lomba dengan keadaan kayak gini, Rak." Tersulut emosi, Raina
menghela napas pelan berusaha tidak membentak. "Kita bahkan nggak tahu penyebab dia
kayak gini tuh apa, kalau bentar pemicunya ada lagi gimana?"
Raka mengacak-ngacak rambutnya. Jika Anya pulang malam ini, apa yang harus dia katakan
sebagai ketua di hadapan alumni-alumni? Sebagai ketua, posisinga terancom. Tapi di lain sisi,
melihat Anya seperti ini, rasonya sisi Raka yang begitu mencintai Anya setengah mati ini
memberontak, melawan Sisi ketuanya yang berusaha mendominasi
Ia menghela napas pelan. Memandang jendela yang memantulkan cahaya malam, walau tidak
terlalu terang karena cahaya lampu ruangan ini.
"Ini udolah malam. Kalian berdua nginep aja dulu. Bahaya di luar."
Raina mendengus geli. "Heh! Lo nelepon gue juga malam anjir, jahat ya nggak mikirin keadaan
gue."
Raka gelagapan. la memandang Raina dengan raut wajah bersalah. Sebelum ia mengalihkan
pandangcn dan berucap pelan, "Gue nggak kepikiran, dong. Panik."
Raina tertawa geli. Maju mendekati Raka dan menepuk bahu cowok itu. "Gue ngerti."
"Gue tidur di mana? Semua pasti udah diatur 'kan, ya?" tanya Raina sesaat setelah berbalik dan
duduk di tepi kasur yang Anya tiduri.
"Okay."
"Ya udah, gue balik ya ke lapangan? Terlalu lama di sini ntar makin dimarahin lagi." Tepat saat
Raka berbalik, segerombolan siswa yang Raka kenali sebagai anggotanga datang menuju ke
arah penginapan, bersama beberapa senior alumni di belakang.
"Weit. Raka kenapa nggak di sana--" Ucapan kak Edo terpotong saat memandang Raina yang
terduduk dan Anya yang tertidur. Matanya membulat terkejut lalu memandang Raka dengan
kerlingan jahil. "Oh, pantesan." Kak Edo mengangguk pelan seakan mengerti keadaan.
"Eh?! Apa, kak? Nggak ada apa-apa, kok. Kak Edo, mah." Raka panik. tangannya bergerak-gerak
heboh di udara. Raina melirik itu, tertawa dalam hati.
"Eh?"
Tawa renyah terdengar dari kak Edo. Raka menunduk merasa malu. Tapi, ia kembali
mendongak, memandang seniornya itu yang maju mendekat ke arah Raina.
"Raina, kak."
Perhatian tertuju kepada Edo yang memiliki nama asli Taufik itu. Semua orang yang tadinya
memandang, tepatnya hanya melirik ke arah Raina, kini menoleh sepenuhnya.
"Kak Edo, ih. Playboy-nya kumat." Siska, salahh satu junior yang cukup dekat kak Edo menarik
kerah kemeja laki-laki itu. Edo hanyaa memandangnya dengan cengiran lebar.
"Halo kak Raina. Temannya kak Anya, yah?" sapa Siska begitu manis, Raka di belakang
mengerti, perempuan itu cemburu melihat Edo mengatakan manis pada perempuan lain. Maka
ia mendengus karena menyadari manisnya dibuat-buat. Siska memang dekat dalam artian lebih
dari kakak adik dengan Edo.
Raina mengangguk. Ini salah satu junior yang paling sering muncul di kelas mencari Anya.
Seolah tersadar. Edo mendekat walau masih berjarak, memandang Anya yang tengah tertidur
masih dengan tangan Siska di kerah bajunya.
"Kok dia bisa tidur, sih? Mata bengkak gitu juga, Habis nangis?" la memondang Raka dan Raina
bergantian. Raina hanya diam memandang Raka, meminta cowok itu menjelaskan.
Raka maju, melepas tangan Siska dari kerah kemeja belakang kak Edo dan menghela napas
pelan. "Anya colaps, kak." Cukup pelan memang, tapi mengingat semua mata memandang
penasaran ke arah mereka, secara tidak langsung ucapan Raka seolah terdengar begitu keras,
Edo langsung membulatkan mata, lagi. Terkejut untuk kedua kalinya, "Ya udah sih. Suruh
pulang aja si Anya."
"Nggak apa-apa, kak? tanyanya ragu. Sedetik setelahnya ia meringis keras, merasakan tabokan
keras di bahunya dari kak Edo.
"Ya iyalah. Mending kita didiskualifikasi daripada ada anggota yang dipaksa ikut lomba padahal
sakit." la mengerling jahil ke seluruh penjuru ruangan. "Lagian pasti ada yang bisa gantiin si
Anya, ya 'kan?"
Semua orang refleks menunduk. Tidak merasa disebutkan dirinya. Masalahnya, lomba yang
Anya ikuti adalah salah satu lomba yang cukup menantang, membuat lutut bisa terasa seperti
jeli. Debat dan cerdas cermat, man.
"Gue bisa nginep dulu, kak Edo? Dah malam gini." Ucapan itu membuat semua mata kembali
memandang ke arah yang sama. Siska mendengus saat melihat Edo mengangguk semangat
begitu antusias menjawab pertanyaan Raina.
Jika tidak ada kak Raka di tengah-tengah antara dia dan Edo, sudah pasti cewek itu akan
menampar si senior tanpa ampun.
"Okay. Adik-adik, semua jangon ada tidur di kasur dulu, ya? Biarin Anya dan Raina yang tidur di
kasur, nggak pa-pa, 'kan?" Pertanyaan retoris. Jawabannya jelas satu, iya. Jika ada jawaban
selain itu, maka pendidikan lanjutan ulang bisa saja dilaksanakan. Cukup ngeri membayangkan
bagaimana perjuangan mereka meraih sehelai kain yang kini mengitari leher. Sudah, jangan
diulang lagi.
***
Suara rusuh disekitar membuat Anya melenguh dengan pelan. Mengerjapkan mata berkali-kali
berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Walau yang nampak di retinanya hanyalah cahaya
kebiruan dari langit yang perlahan memudar.
Anya bangkit, berucap dengan pelan. "Kok gelap, sih? Jam berapa sih, ini?"
Tak lama, suara klik terdengar, disusul menyalanya lampu di ruangan ini. Anya kembali
mengerjapkan mata. Saat dirasanya matanya sudah cukup beradaptasi, ia mengedarkan
pandangan.
Ah, ia ingat sekarang. la ada di lokasi penginapan lomba dan ini sudah masuk waktu shubuh,
dari yang dia dengar beberapa diskusi adik kelas.
Anya menguap, masih merasa mengantuk, matanya juga terasa perih. Ia menoleh ke samping,
merasa aneh karena dia dan orang itu cuman berdua di atas kasur, padahal pengaturannya
harusnya tiga orang.
Namun, matanya membulat penuh karena keterkejutan. "Raina?!" pekiknya. la segera menutup
mulut, saat beberapa orang menatapnya penasaran.
Raina nampak menggeliat pelan. la mengerjapkan mata, memandang telak ke mata Anya, "Pagi,
Nya," sapanya dengan senyuman hangat.
"Pa-pagi." Anyaa mengerjap, mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. la
membulatkan mata, mulai mengerti apa yang terjadi.
"Na?"
"Thanks," ucap Anya sangat pelan. Sayangnya Raina mendengar hal itu, terlihat dari senyum
lebarnya di sana.
"Bangun!" Gedoran di pintu terdengar, disusul suara yang memerintahkan bangun untuk
melaksanakan sholat. Untung saja suara itu terdengar, ia dan Raina jadi tidak punya waktu
untuk merasa canggung atas apa yang terjadi kemarin malam dan juga persitiwa hari itu.
Anya bangkit dari kasurnya. Tidak memperdulikan Raina yang masih tertidur. Dia berdiri di
depan pintu. Memastikan tidak ada kondisi memalukan oleh orang yang ada di dalam ruangan,
lalu membuka pintu dengan cengiran lebar.
Anya tersentak, memandang ke atas, rambutnya memang sedikit berantakan. "Aaah, kak Edo,
mah!" teriaknya lalu kembali menghempaskan pintu dengan keras.
"Uh." Anya merebut paksa salah satu cermin milik adik kelas. "Pinjem."
Ia berdecak melihat penampilannya. Bajunya bahkan belum ia ganti sama sekali. Bagaimana ini?
Sepertinya ia harus pulang mencuci baju sebelum hari penutupan tiba.
Ia menyisir rambutnya dengan jari. mengambil tissu asal lalu mengelap sisa liur kering di
bibirnya. Sialan, untung mereka semua udah gue anggap keluarga, jadi nggak malu-malu amat,
dumelnya dalam hati.
"Nya, ribut banget sih." Anya mendongak, menatap Raina yang masih menutup mata walau
sudah terduduk di tepi kasur. "Selalu gini ya kalian semua? Ribut banget padahal masih pagi."
Anya tertawa geli. Tiba-tiba ada rindu menyeruak di dada, memandang cewek itu walau agak
jauh. "Yah gitu lah." la mendekat ke arah Raina.
"Lo shalat?" Raina menggeleng. Anya mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
"Yang shalat berdiri sekarang, ayo! Mulai bersiap!"
Semua orang mulai tergopoh-gopoh. Beberapa yang sudah siap sedari tadi keluar dari ruangan,
tersenyum sopan ke beberapa senior yang sudah duduk santai meminum kopi.
"Pulang?" Anya mengernyit heran. Memandang sang sahabat yang masih saja berusaha
beradaptasi dengan suara ribut entah dari dalam atau luar. "Gue ada lomba, Na."
"Pulang aja, Anya." Anya mendongak, menatap si empunya suara yang ternyata adalah Raka.
"Kok gitu, Ka?" Anya masih tidak mengerti. Memandang Raina dan Raka secara bergantian.
Beberapa siswi gang tidak melaksanakan ibadah berbisik pelan. "Bisikin apa, hm?" tanya Anya
dengan pelan, dengan nada begitu ramah. Beberapa menunduk takut.
Raina merapikan barang-barang Anya. Anya hanya menatapnya dalam diam. Setelah itu, Raina
menarik tangan Anya keluar dari ruangan setelah pamit pada Raka.
Setiap melewati senior, Anya pamit pulang. Walau masih ragu, tapi melihat semua senior
nampak mengizinkannya, ia akhirnya pasrah.
Sampai di rumah, Anya meninggalkan mama dan Raina di ruang tamu. la memilih masuk ke
kamar mandi dan membersihkan diri. Walau samar-samar, ia mendengar Raina menjelaskan
kepada mama alasan ia pulang cepat. Saat ia sudah mandi, Raina sudah tidak ada di sana. Anya
menoleh ke arah mama yang masih setia di ruang tamu menonton sinetron India kesukaannya.
Tidak menoleh padanya.
Anya mendengus, ia menggosok rambutnya dengan handuk sembari berjalan ke arah kamar.
Setelah semua kegiatannya selesai, ia merebahkan diri di kasur dengan handphone ia lempar di
sebelahnya.
Matanya hampir saja terlelap sebelum suara dering handphone-nya terdengar. la berdecak,
memandang nomor yang tidak ia kenali.
"Siapa, sih?" la menekan tombol hijau di sana lalu mendekatkan ponsel ke telinga yang
membuat ponsel itu secara otomatis mati.
"Halo."
"Siapa?"
"Yah agak susah sih ngomong sama pencundang yanh diingetin masa lalu aja langsung kayak
orang gila." Di seberang sana, orang itu mendengus mengejek. "Depresi ya karena masa lalu?"
Anya membeku. Jantungnya berdetak dengan kencang, ketakutan. Tangannya bergetar hebat,
bahkan kini ponselnya terjatuh ke samping.
Anya menjerit tertahan, membuat orang di seberang sana tertawa lebar dan menutup telepon.
Anya menutup mulut, berusaha untuk tidak menjerit sekali lagi. Akal sehatnya mengatakan, jka
mama mendengarnya, ia harus menjelaskan semuanya secara rinci, dan itu akan menyakiti sang
mama.
"Tidak, tidak," gumamnya begitu pelan. Airmatanyamerembes keluar dengan tubuh bergetar
hebat masih dengan posisi berbaring. Ia terisak pelan. Semakin gemetar. Rasanya ketakutannya
semakin menggerogoti tubuh hingga menyebabkan kesadarannya menghilang. Menyambut
kegelapan tak berujung di depan mata.
Sembilan Belas : Sakit
Anya memandang ke arah luar melalui jendelanya. Kaca bening yang akhir-akhir ini nampak
selalu berembun karena hujan, hari ini begitu berbeda.
Tak ada embun, hanya cahaya menusuk mata. Anya menghela napas pelan. Matanya meredup
saat dengan sengaja menoleh ke arah luar sekali lagi sebelum menutup tirai jendela.
Hujan hari ini pergi ke mana? Apa mereka ada janji dengan matahari? Membuat Anya merasa
seolah semesta sedang bersenda gurau atas keterpurukannya kali ini.
Ini sudah hari ketiga sejak telepon hari itu. la tidak pernah beranjak dari kamar, bahkan untuk
sekadar buang air, ia tidak memiliki keinginan itu.
Dari bangun tidur hingga tertidur lagi, ia hanya akan menyelimuti diri dengan selimut tebal yang
juga tidak pernah ia ganti.
Wajahnya sudah begitu berminyak karena ia tidak pernah menyentuhkannya air. Kulitnya
makin putih, menegaskan bahwa ia tidak pernah terkena sinar matahari selama tiga hari ke
belakang.
"Assalamualaikum."
Anya mendongak, menatap pintu kamarnya dengan kerjapan ringan di mata. Itu suara
sepupunya.
Selama tiga hari ini, ia sengaja meminta mama untuk tidak mengganggunya. Beruntung
mamanya menurut tanpa berkata apa-apa. Dan, mamanya meminta sepupunya yang telah
putus sekolah untuk membantunya mengerjakan tugas rumah, yang biasa Anya lakukan.
Anya seolah tak peduli lagi pada lingkungannya. Tidak peduli saat mama mungkin saja akan
memikirkan apa yang telah terjadi padanya dan menangisi tindakan bodoh anak gadis ini.
Dua hari lagi, semester baru akan dimulai. Sialnya, Anya masih merasa dirinya tidak siap
menjalani hari itu.
Pandangannya tertoleh ke arah tirai jendela berwarna hijau, tidak lagi peduli pada
perbincangan adiknya dan sepupunya di ruang tengah yang bisa ia dengar jelas.
Anya merebahkan diri, dengan kepala tetap mengarah ke tirai jendela. Cahaya matahari tanpa
tahu diri berusaha menerobos masuk, memberikan nuansa indah di dalam kamar yang gelap
dan pengap itu.
Selama tiga hari ini, mamanya akan masuk, memaksa dirinya makan dengan menyuapi cewek
itu. Di hari pertama, la berhasil memakan semua makanan.
Di hari kedua, karena rasa melilit di perutnya karena sebelumnya hanya makan sekali dalam
sehari, membuat Anya memuntahkan apapun yang masuk ke mulutnya.
Mamanya sempat menawari untuk ke rumah sakit. Tapi, dengan mata memohon, ia menolak.
la tidak suka dengan mamanya yang perhatian seperti itu. Selama bertahun-tahun mamanya
membangun tembok besar di antara mereka berdua, wanita yang begitu Anya hormati ini
memberikan rasa kasih sayang yang berbeda dengan ibu kebanyakan.
Dan Anya terbiasa dengan hal itu. la terbiasa dengan mamanya yang tidak akan banyak tanya
mengenai urusannya, mengenai harinya dan mengenai perasaannya.
la memejamkan mata, hendak tertidur bahkan ketika ia sadar ini masih pagi, dan mama dan
papa begitu membenci orang yang tidur pagi.
Tapi, Anya mendengus tak peduli. Berusaha terlelap dengan harapan ada perasaan membaik di
hati saat ia terbangun nanti.
Sedetik setelah ia merasa dirinya terhempas jatuh ke dunia mimpi, suara dengan nada
mengejek terdengar.
Anya tersentak, terduduk begitu saja, memberikan efek tersengat pada kepala membuat ia
refleks memegang dahinya. Napasnya terengah, dengan bahu naik turun dan dada yang
kembang kempis.
la menutup wajah dengan kedua tangan. Selama tiga hari ini, di bawah matanya muncul
lingkaran hitam yang membuat penampilan gadis ini semakin kusut.
la tidak bisa tertidur dengan nyenyak, bahkan hampir tidak tidur sama sekali. Setiap ia menutup
mata, suara-suara dari masa lalu akan terdengar. Membuatnya terengah, dengan jantung
berdegup kencang.
Anya menghela napas kasar. Ia mengacak rambutnya frustrasi. la sangat ingin menjerit, tapi
jeritan sialan itu akan membuat mama masuk ke dalam, menanyakan keadannya membuatnya
semakin sesak tenggelam dalam rasa sakit.
Sekali lagi, ia menghela napas keras. Tersenyum pedih, membayangkan betapa nelangsanya
kehidupannya.
Ketukan pintu terdengar. Anya dengan segera menutup mata, berpura-pura tertidur. Tepat
sesuai dugaannya, pintunya terbuka.
"Kak, makan yuk."
Itu bukan mama. Dalam keadaan mata terutup ia menghela napas lega. Setelahnya ia membuka
mata, memandang si adik sepupu lekat, membuat yang dipandang terkejut, mengira cewek itu
tertidur.
"Nggak," sahutnya pendek. Si adik sepupu mengangguk kecil dengan takut dan mulai
melangkah keluar dan menutup pintu kamarnya.
Anya menutup mata lagi, merasa lelah. la menaruh tangan di belakang kepala, menjadikannya
tumpuan, walau di bawah tangan itu ada bantal.
la membuka mata, memandang langit kamarnya yang begitu kusam. Bahkan ada banyak sarang
laba-laba di setiap sudut. Kapan terakhir kali ia membersihkannya? Anya mendengus geli.
Saat ini, tenggorokannya begitu kering. Tapi, dari ujung kepala hingga kaki, Anya sungguh tidak
ingin melakukan apa-apa. Bahkan jika bisa ia hanya ingin tertidur saja, sampai dirinya siap
menghadapi dunia lagi.
Maka, untuk mewujudkan itu, Anya memejamkan mata berusaha tertidur walau kembali
tersentak saat suara itu memenuhi kepalanya.
***
"Assalamualaikum, tante."
Anya beringsut duduk, mendengar suara tak asing dari luar kamarnya. Disusul sahutan sang
mama yang menyebut nama Raina. Sesuai tebakannya.
Mau apa Raina ke sini malam-malam? Anya mendengus, berusaha tidak peduli untuk apa sang
sahabat berada di sini. la menyampingkan badannya yang sudah berbaring kembali ke
posisinya, menatap tirai jendela yang memantulkan sedikit cahaya malam tanpa bintang.
Tapi suara berdecit dari pintunya membuatnya melirik kecil ke arah pintunya. Di sana, Raina
mendekat dengan langkah pelan.
"Nya?"
Ini sudah hari ke tujuh. la sudah tidak bersekolah dua hari ke belakang. Membuat beberapa kali
ponselnya mendapatkan telepon dari teman sekelasnya, walau berakhir tidak terjawab oleh
gadis itu.
Suara decitan ranjang, membuat Anya mengetahui bahwa Raina kini telah duduk di pinggir
ranjang.
"Lo kenapa?"
Masih tidak menyahut. Anya dapat mendengar helaan napas lelah dari Raina.
"Nggak apa-apa," jawabnya setelah sekian lama hening di antara mereka. Anya masih
memunggungi sang sahabat.
Pikirannya tanpa diperintah memutar kejadian menjijikkan antara ia dan Raina membuat
dadanya sesak disusul air mafa yang mengalir perlahan terjatuh ke ranjang.
"Bukannya pas gue antar pulang lo baik-baik aja, ya?" Anya melirik, memandang Raina yang
ternyata juga memunggunginya. "Lo ada apa? Cerita ke gue."
Anya menghela napas. Mengeluarkan sesuatu dari hidungnya efek dari dirinya yang menangis.
la dengan segera membersihkannya dengan lengan bajunya.
la berbalik, kini berbaring memandang langit kamar. Terdiam cukup lama, tidak tahu harus
berbicara apa.
"Raka di luar," kata Raina tiba-tiba membuat Anya sepenuhnya memandang gadis itu yang
masih memunggunginya.
Raina juga berbalik. "Dia khawatir banget sama lo, udah dua hari nggak masuk sekolah.
Anya berdecak tak suka. "Tuh cowok kenapa sih? Heran gue, baik banget sama gue."
Raina membilatkan mata, lalu tersenyum geli sekaligus lega setelahnya. Yah, setidaknya Anya
mau berbincang dengannya.
Anya menggeleng kecil dengan polos. Raina menahan senyum melihat itu.
Mereka terdiam lagi, kini dengan suara Raka dan mama di ruang tengah yang berbincang
hangat.
Raina mendongakkan kepala yang sedari tadi tertunduk lelah tidak mengerti keadaan cewek ini.
la ingin membuka mulut, tapi mengatupkannya kembali saat Anya kembali bersuara.
"Dari Sarina," sambung Anya pendek. Tapi cukup untuk membuat Raina yang memaki sweater
tebal hari ini mendelik tak suka mendengar nama itu.
la tahu semua cerita tentang masa putih biru Anya, termasuk nama-nama mereka yang
membuat kehidupan Anya berada dalam kegelapan. Walau Anya pada awalnya tak pernah
menyebutkan satu namapun dengan alasan lupa, pada akhirnya sisi kecil otaknya masih
mengingat jelas itu semua.
"Anjing emang ya mereka? Nggak puas apadua tahun nyiksa lo?" komentar Raina pedas.
Rambut acak-acakan, mata menghitam sertawajah kusam. Dan jangan lupakan dengan
tubuhgadis itu yang terlihat makin kurus. la tahu cewek di hadapannya ini sudah tidak makan
dengan baikselama tujuh hari ke belakang dari mamanya.
"Gue keluar dulu, ya?" pamitnya merasaperkataannya sebelumnya memberikan efektersendiri
bagi Anya, pandangannya makin menyendu.
"Gue ikut."
Raina membelalakkan mata terkejut. Serius?Kata mama Anya, gadis itu tidak ada niat ingin
keluar dari kamar, bahkan hanya untuk mengambil air minum.
Setelah Anya berdiri tegak, Raina berjalan lebihdulu. Tapi suara berdebum keras, membuatnya
kembali berbalik dan membulatkan mata terkejut.
"Anya!"
Dua Puluh : Sebuah Alasan
Gadis itu menggerakkan bola mata, masih dengan mata tertutup, berusaha mencapai titik
kesadarannya. Berhasil. la membuka mata dan mengerjap pelan, lalu semakin sering karena
efek cahaya lampu dan seluruh warna putih yang mendominasi ruangan.
Ada rasa hangat di tangan. Gadis itu menggerakkan bola mata menuju bawah, arah di mana
tangannya berada. Saat ia sadar tangannya digenggam hangat oleh seseorang. Lawan jenis.
Refleks saja ia menarik diri, memaksa diri terbangun walau berakhir merintih sakit. la menjerit
tertahan, dengan tubuh perlahan gemetar hebat. Jantungnya memompa darah begitu keras.
Karena jeritannya, laki-laki yang tertidur denganposisi duduk, hanya dengan kepala yang
tersandar nyaman di pinggir kasur, melenguh dengan pelan, merasa kesadarannya belum
penuh.
la memandang gadis di hadapan yang kini gemetar hebat — berusaha ingin mundur tapi
kesadarannya mengingatkan bahwa ranjang yang ia duduki begitu tinggi dari lantai --
mengangkat alis, merasa heran.
Lalu sedetik setelahnya, matanya membulat sempurna. Tubuhnya menegak dengan gerakan
spontan berdiri mundur dari sana, hingga suara kursi yang terjatuh menggema, menambah efek
tegang.
"Anjing," umpat cowok itu pelan. Merasa telah berbuat kesalahan besar dalam hidup.
Gadis yang bernama Anya itu makin merapatkan diri di kepala ranjang dengan pikiran
berkecamuk hebat. Pemikiran kotor sedari tadi berkeliaran di kepalanya. Apa ia semalaman
berada satu ruangan dengan laki-laki di hadapannya? Oh tidak, bagaimana kalau cowok itu
melakukan ses--
"Gue nggak ngapa-ngapain, Nya. Please tenang." Suara laki-laki itu menggema, dengan napas
memburu.
Anya menggeleng, dengan tubuh semakin bergetar hebat, termasuk bibir pucatnya yang
nampak semakin pucat. "L-lo habis ngapain, hah?!" Suaranya berusaha meninggi, walau
nampak terdengar lemah.
Cowok itu memijat kening dengan pelan. Terus menatap Anya yang kini memasang wajah
berusaha terlihat sangar. "Anya, gue nggak ngapa-ngapain. Please tenang, ya? Gue bahkan
nggak pernah kepikiran buat ngelakuin yang nggak-nggak ke elo.”
Anya memegang kuat selimut yang menyelimutinya tadi, terisak pelan. "Rak ... ka."
Raka menegang. la mengerjap berusahamengusai diri yang sekarang justru merasa tercubit
mendengar nada lemah dari gadis di hadapannya.
“lya, Nya? Ini gue." la hendak maju, tapi urung ia lakukan sebab melihat kondisi gadis ini.
Raka mengangguk yakin di sana. la menghela napas berat. Menatap gadis itu dalam, walau si
gadis terus saja menunduk dengan isakan semakin keras.
Anya membuka mulut hendak menjawab, tapi ia kembali mengatupkan bibr saat mendengar
suara pintu terbuka.
"Anya?" Kepala gadis yang terbungkus rambut pendek itu melongok, dengan ekspresi polos
yang terkesan dibuat-buat.
Gadis itu menegak dengan segera, berlari kecil ke arah ranjang Anya saat melihat bagaimana
kondisi sang sahabat.
"Astaga, Anya. Lo kenapa?" Jelas, nada khawatir tersirat begitu kuat di sana. Anya menggeleng
lemah, ia mengusap wajah berusaha terlihat tegar, lagipula ia sudah begitu sering menangis
selama seminggu di rumah.
"Kok gue di sini?" tanya Anya pelan, menunduktidak berusaha menatap sekeliling lagi. Tak ada
jawaban, mata Anya membulat terkejut saat sebuah pelukan hangat mendarat di tubuhnya.
Anya mendongak, menatap sang sahabat yang kini malah meneteskan airmata pelan. la
mendengus geli, berucap dengan nada santai. "Kok lo nangis? Lebay, ah."
la berusaha mengingat, dan ingatannya membawanya pada saat ia berbincang dengan Raina di
kamar. Anya yang langsung paham, mendongak ke arah Raina. "Mama, mana?"
"Pergi. Nyari bokap lo di pangkalan." Hari ini adalah hari Selasa, jelas bukan waktu di mana
papanya ada di rumah. Papanya tidak menjadi supir bentor di sekitaran rumahnya, melainkan di
tempat tinggal tante-tantenya. Agak jauh dari rumah, tapi mau bagaimana, rezeki nampak lebih
menggiurkan di sana.
Anya mengeryit tidak suka mendengar hal itu. "Kok nyari papa? Gimana sih, papa ‘kan nyari
uang di sana. Adek-adek gue?"
"Dia di rumah tante lo, Nya." Kali ini, giliran Raka yang menjawab, sesaat Anya terdiam,
kemudian ia menggumam menjawab kalimat yang Raka lontarkan tanpa menoleh ke arah Raka.
Makin mengeratkan pelukan dengan Raina.
"Harusnya nggak usah panggil papa,’ ucapnya pelan. Raina yang kini dijadikan sebagai
sandaranAnya mendesah pelan. Mengerti maksud perkataan sang sahabat tadi.
"Btw, sekarang jam berapa?" Anya melepaskan pelukan Raina, masih berusaha menguasai diri
agar tak terlihat menyedihkan.
"Udah tengah malam banget, Nya." Mendengar itu, Anya meringis pelan dan kini mengusap
rambut, membawanya ke belakang karena mengganggupenglihatan.
"Lo mau makan? Gue ambilin, ya?"
"Bubur, ya?" tanyanya memastikan, mengingat kembali beberapa bacaan yang ia baca, orang
sakit itu hanya memakan bubur atau sup.
"Ya maunya gue sih, bukan bubur, sate di depan enak tuh. Tapi perut lo masih lemah, Nya.
Siapa suruh nggak ngisi dengan benar, 'kan?"
Anya mendengus kasar mendengar itu. Tapi, ia tak menjawab, membiarkan Raina berjalan
keluar.
Tepat setelah pintu ditutup, suasana di ruangan putih itu kembali hening.
Anya tertawa kecil melihat itu. Perasannyameringan begitu saja saat memandang laki-laki di
hadapannya yang sangat begitu merasa bersalah.
Raka yang sedari tadi berusaha tidak melirik mendengar tawa manis gadis itu kini benar-benar
mendongak, mengangkat kepala dari pandangan lantai di bawah. Terkejut dengan ucapan gadis
itu.
"Terjebak di masa lalu. Nggak pernah bisa lepas dari bayang-bayang menyeramkan itu."
Raka mengangkat kedua alis, memandang gadis yang terduduk tak jauh darinya yang kini
menekuk lutut. Nampak sekali dari pandangan Raka, gadis itu menahan isakannya.
Suara helaan napas membuat Raka mengerjap tersadar. la membulatkan mata, menipiskan
bibir saat mata mereka bertemu.
Anya tersenyum lebar, yang justru terlihat menyedihkan dan menatap tepat ke bola mata hitam
legam Raka. Tenggelam dalam kelamnya mata cowok itu.
Cukup lama, hingga Raka memutuskan kontak mata dengan mengalihkan pandangan. la
berdeham merasa sedikit salah tingkah.
“Emang ada apa dengan masa lalu?" Sedetik setelah suaranya terdengar, Raka merutuk dalam
hati. Pertanyaan yang keluar tanpa bisa ia cegah.
"Ya-aah," gumam Anya tidak jelas. Merasa bimbang haruskah ia menceritakannya pada orang
lain selain Raina?
"Semuanya terjadi pas gue masih SMP." Anya menghembuskan napas kasar, ia menunduk
merasa tidak kuat memandang lawan bicaranya.
Tidak memperhatikan ekspresi Raka yang semakin terkejut, tak menyangka Anya akan
menceritakannya.
"Lo tahu Rian? Dia salah satu teman SMP gue yang yah ... gue bilang jahat mungkin terdengar
nge-judge banget, ya?" la memandang Raka yang kini masih menatapnya tak percaya. "Tapi
salah nggak kalau gue bilang dia jahat karena dia ngehancurin masa putih biru, gue?"
Raka mengerjap tersadar, berusaha memahami maksud perkataan gadis itu. Bayangan Rian
muncul di matanya, ia memang sempat berbincang, Rian bilang, Anya tidak asing di
penglihatannya. Sedetik setelah itu ia membulatkan mata, mengerti arah pembicaraan mereka.
"Aaah. Sebelumnya gue pengen minta maaf soal kejadian hari itu. Pas gue ketemu sama si Rian.
Gue nuduh lo nggak-nggak. Maaf, ya?" mohon Anya dengan ekspresi bersalahnya. Raka
mengalihkan pandangan. merasa terpesona dengan wajah gadis itu. la mengangguk, tidak
berkata apa-apa. Lagipula, malam itu Raina dan Anya sudah ke rumah untuk meminta maaf.
"Hari itu gue ada mimpi buruk. Bukan mimpi sih tepatnya. Kayak ... kilasan masa lalu?"
Raina yang baru saja ingin masuk ke dalam, mengurungkan niat mendengar percakapan yang
terjadi di dalam. la menajamkan pendengaran, merasa penasaran kilasan masa lalu yang mana
yang membuat Anya Shafira kembali harus menyesuaikan diri berada di sekitar lawan jenis?
Raka sendiri mengerutkan kening. Penasaran, tapi tak ingin terlihat begitu ingin tahu.
Anya menarik napas, membiarkannya di pipi hingga pipi yang terlihat makin tirus itu membulat.
la menghembuskannya pelan. Memandang Raka kini dengan mata yang sudah berair. "Gue tuh
korban pelecehan tahu, nggak? Jauh sebelum gue jadi korban verbal bullying." Tangis Anya
pecah. Bahunya naik turun dengan dada yang terasa menyempit. Raka gelagapan, ingin maju
tapi akal sehatnya masih terus mengajarinya.
Raina di luar sana menghela napas lelah. Ternyata itu, salah satu kejadian kelam Anya yang
bahkan kedua orang tuanya tidak tahu hal itu.
"Nya. Udah, jangan nangis." Raka sungguh bingung saat ini. la menoleh ke kanan kiri merasa
bingung harus berbuat apa.
Anya bergeming. la tetap terisak. Tapiberusaha keras melanjutkan, "Dan ... hari itu di tempat
lomba, ada Sarina."
Raka mengingat -- di tengah rasa paniknya ingin menenangkan Anya -- Sarina adalah LO
sekolahnya.
"Dia ... juga merusak masa putih biru gue. Bahkan malam itu dia ngingetin gue dengan jahatnya.
Dia ... dia..."
Dan kali ini, Raina yang berdiri di luar semakin tidak tega, ia memilih membuka pintu.
Suara dari pintu terbuka membuat Raka refleks menghembuskan napas lega memandang sosok
Raina muncul dari sana membawa tiga kotak sterofoam dalam plastik putih.
Raina mendecak, berkacak pinggang dengan satu tangan. "Lo kenapa lagi sih, Nya? Perasaan
dari tadi tiap gue masuk lo nangis."
la maju, menepuk punggung gadis itu menenangkan. Lalu, meletakkan tiga porsi bubur itu di
atas nakas. la menoleh pada Raka, masih dengan tangan mengusap bahu Anya. "Makan, gih,
Ka."
"Lo mau lihat Anya mandang lo dengan liur netes-netes kalau lo makan enak, hah?"
Mereka akhirnya makan dalam diam. Anya dengan pikirannya yang sedari tadi menggelayut tak
ingin pergi, menatap dua kepala yang satu ruangan dengannya.
"Hah?!"
Raka dan Raina menoleh dengan kaget, menatap sosok yang membuat mereka hampir tersedak
padahal yang mereka makan hanyalah bubur kental tanpa ada sesuatu yang dapat membuat
mereka tersedak.
"Gue pengin sembuh," ucapnya dengan bahu terangkat. "Kayaknya." sambungnya tidak yakin.
Raina yang mendengar itu memekik, membuat Anya dan Raka berjengit dan kini beralih
menatap gadis berpenampilan tomboi ini
"Apa sih?!" Anya mendorong Raina tidak terima saat gadis itu maju memeluknya setelah
menyimpan buburnya sendiri dan bubur Raina di atas nakas.
"Kenapa?" tanya Raka pelan, tidak melirik kedua gadis di hadapannya yang masih terus
berpelukan ria di sana.
"Gue ngerasa nemu alasan yang tepat aja, sih." Anya mengendik terlihat tidak terlalu peduli. la
mendorong Raina pelan yang kali ini dituruti oleh gadis itu. "Gue lelah aja sih. Masa gue harus
jatuh sakit setiap kali dihadapkan sama masa lalu?"
Raka tersenyum kecil. Memandang lega gadis yang sudah ia puja entah sejak kapan. "It is a
good reason."
Anya membalas senyuman itu. Jauh lebih lebar, merasa mendapat dukungan dari dua orang di
hadapannya ini.
"Thanks."
"Gue ada nih, Nya. Psikiater pro, keren dan masih muda dong kata Raina
memandangi sahabatnya dengan mata berbinar.
Anya tuh heran, Raina tuh suka sesama, tapi masih aja suka fangirl-an kayak
begini kalau ketemu cowok tampan.
"Gue nggak ada biaya," cicitnya melanjutkan saat Raina memandangnya lekat.
Raina menahan napas. Ia masih terus memandangi Anya yang terlihat ingin
bercerita.
"Gue tuh sebenarnya dari awal tahu keadaan gue, pengen banget sembuh, Na.
Berkali-kali otak gue perintahin gue buat cerita semua ke mama, berkali-kali juga
gue ditampar sama keadaan keluarga gue." Gadis itu rnendongak, menyandarkan
leher di kepala sofa, berusaha menarik kembali butiran hangat yang menyeruak
memaksa keluar. "Kebutuhan sekolah sama organisasi gue aja gue mati-matian
jualan buat kekumpul," lanjutnya dengan suara yang memelan.
Anya kembali duduk tegak saat berhasil rnenguasai diri. "Tapi kali ini tuh gue
ngerasa pengen banget sembuh, Na. Makanya pas kemarin di rumah sakit gue tuh
tiba-tiba ngomong gitu. Gue bahkan nggak peduli lagi soal apa yang selama ini
ngedesak gue biar nggak berobat."
Raina masih terdiam. Untuk sesaat ia seolah lupa cara bernapas. la sadar dengan
hal itu, ia adalah saksi hidup bagaimana seorang Anya berjuang untuk tetap bisa
aktif di organisasi.
Mereka terdiam cukup lama, sebelum Raina berseru dengan wajah berbinar.
"I got an idea," ucapnya bangga menatap Anya yang kini menoleh penasaran
kepadanya. "Kita minta tolong ke nyokap."
Anya sesaat membulatkan mata, ia bahkan sedari tadi sudah duduk tegak
menanti, tapi setelahnya ia melengos pelan dengan kedua bahu menurun kecewa.
"Lo gila?" desisnya tidak suka.
Raina mengatupkan bibir, ia menggigit pipi bagian dalam, berkata dengan tenang. "It's
okay, Nya. Cuman nyokap doang elah."
Saat ini mereka sedang duduk santai di ruang tamu Raina, dengan beberapa
cemilan dan minuman di atas meja.
Untuk urusan perut, bertamu di rumah Raina tuh menjadi hal yang menyenangkan.
"Sok tenang banget, bangsat." Anya seumur hidup sangat jarang mengumpat,
membuat Raina yang mendengar menipiskan bibir, rnerasa takut.
Suara dering ponsel di atas meja, membuat Raina bergerak cepat mengambil,
bahkan sebelum Anya tidak sempat melihat apa itu ponselnya atau bukan,
Hm?
''Nggak usah ke sini lah. Lo tuh biarin gue berdua sama Anya emang nggak bisa?
Cemburuan banget."
Anya mengeryitkan dahi merasa bingung siapa yang saat ini sedang berbincang
melalui sambungan telepon dengan Raina.
Raina mendengus geli, teriihat seperti menahan tawa. "Becanda elah, Baper tuh
cuma ke Anya jangan ke gue."
Anya menyikut Raina, memandang gadis itu ingin tahu. Melihat hal itu, Raina
menipiskan bibir ke dalam, makin merasa ingin tertawa terbahak saat ini.
Raina menguasai diri. la berdehem pelan ialu berkata, "Jadi gimana? Mau ngikutin
ide gue nggak? Gue rasa tuh ini satu-satunya jalan, Nya."
"Okey." Raina bertepuk tangan sekall, Anya memandangi itu dengan ekspresi geli.
"Kita hubungin ibu dulu dia ada jadwal kapan. Kita suruh ke cafe aja, ya? Mall
yang biasa gue sama Salsa datengin."
Anya mendelik mendengar hal itu. la berdengus keras, merasa sahabatnya ini tidak
memakai otak saat ini. "Emang dia mau gitu ketemu di luar? Nggak takut
paparazi?"
Raina bergumam tidak jelas, membenarkan pernyataan Anya. "Tapi, Nya. Gue
rencananya pengin ajak Raka, kalau ketemu di rumah tuh nggak bisa ajak dia dong."
la mencebikkan bibir ke bawah, merasa tidak suka dengan keadaan ibunya yang
begitu takut dengan dunia luar karena merasa hidupnya akan terancam.
Raina memandangnya dengan tersenyum penuh arti. "Dah, Ikut rencana gue aja."
Anya melengos, kini beralih mengambil ponsel miliknya dan mencariposisi nyaman
untuk bermain game di sana,
***
"Hm."
Raina dan Raka mendongak, memandang si gadis yang paling pendek di antara
mereka.
Raka kini tersenyum lebar, sedikit terpesona karena Anya menunduk dan merasa
sedikit malu-malu dengan gemasnya.
Raina menyikut pelan lengan Raka, membuat Raka mengerjap dan hampir
mengumpat karena kaget.
"Santai aja dong mandangnya." Mata Raina memindai sekitar, saat ia merasa
sesuatu yang ia cari akhirnya muncul, ia membulatkan mata.
"Eh bentar ya. Gue ke sana dulu." Raka memandangnya kepergian Raina dengan
bingung. la menipiskan bibir merasa heran. Tapi kemudian ia tersentak, tersadar
bahwa ia hanya berdua dengan Anya.
la hendak menoleh saat tak sengaja mendengar suara Raina yang menyapa, walau
terlihat kaku.
"Eh, jangan noleh!" seru Anya heboh sendiri, membuat Raka urung melakukan
niatnya.
"Kena--"
Raka refleks mendengarkan perintah itu. Memandangi Anya tepat di mata cewek itu
yang sedikit berwarna cokelat. Cantik, tidak seperti beberapa temannya yang
sedikit memaksa memakai softlens.
Anya juga tidak mengalihkan pandangan. Sesaat ia merasa ada yang aneh dengan
dirinya. Dadanya berdesir dengan hangat.
Merasa benar ada yang aneh dengan dirinya, Anya mengalihkan pandangan ke
samping, memandang tas Raina yang tertinggal.
Raka memandangi itu dengan alis terangkat. la mengulum bibir, menahan untuk
tidak tersenyum lebar memandangi gadis di hadapannya ini.
Di sisi lain, Raina yang memilih meja membelakangi Raka sekitar tiga meja sebelah kiri
kini memandang wanita yang hampir berusia setengah abad ini dengan tatapan
tajam.
''Susah banget kayaknya ketemu sama ibu sendiri," sindirnya keras. Karena saat
itu ia menelepon, dan itu sudah hampir berjalan dua minggu sekarang. Rasanya
seperti ia harus bertemu dengan orang sibuk yang asing baginya saja.
Wanita yang memakai masker medis bersama topi hitam itu mendengus tidak
peduli. Masih tidak memperdulikan perasaan sang anak yang telah tercurah
beberapa waktu lalu.
Raina menghela napas. Berusaha menahan diri untuk tidak mengumpati wanita di
hadapannya.
"Bantu teman."
Wanita yang juga memakal kacamata hitam itu, mengangkat alis sebelah.
Raina menipiskan bibir. "Dia butuh ke psikiater. Ada masalah sama dirinya.
Orangnya di belakang ibu, kalau ibu mau tahu."
Ibunya refleks berbalik, menatap arah tangan Raina menunjuk seorang gadis yang
kini nampak malu-malu atau terlihat merasa tidak nyaman duduk berdua dengan
laki-laki.
"Oh, si Anya itu?" Ibunya berusaha mengingat, menyadari sang anak jarang punya
teman dekat seperti itu. ia sudah bertemu Anya walau secara tidak langsung saat
gadis itu mengangkat video call darinya untuk Raina.
Raina mengangguk pelan. Kembali mengambil atensi sang ibu. "Ibu bisa bantu,
'kan?"
"Bisa."
Raina menarik napas, baru saja ingin menghembuskannya lega, ibu melanjutkan,
"tapi ada syarat."
Refleks saja Raina mendelik tak terima. "Kok pake syarat?" tanyanya dengan hampir
berteriak, tetapi berhasil ia tahan.
"Ibu bakalan kirim uang ke rekening si psikiater yang kamu maksud, si dokter Fandi,
Kebetulan dia juga dekat dengan ibu, dengan syarat." Wanita itu menggantungkan
perkataannya, la mengangkat jari telunjuk tangan kanan, nnelanjutkan, "Pertama,
ini pertemuan terakhir kita karena kamu yang minta, cukup ibu aja yang nemuin
kamu," la kembali mengangkat jari tengahnya. "Kedua, ini juga pertemuan
terakhir kamu sama si Anya itu."
Raina mendelik kaget. Tanpa sadar berseru. "Kok gitu?!" Dan saat ia tersadar, ia
menutup mulut, melirik ke arah Anya dan Raka. Nampak dari sudut matanya,
sahabatnya itu sedang heboh mengalihkan perhatian Raka dari dirinya saat ini.
"Karena dia 'kan kamu di DO, 'kan?"
Raina mendengus kasar. la naik pitam, belum sempat ia bersuara, ingin mengatakan
bahwa sang ibu saja tidak datang ke sekolah untuk mencari duduk permasalahan,
sang ibu kembali berkata, "Dan juga dia tahu ibu, jangan sampai dia bocorin ini ke
khalayak ramai."
"Kalau dia emang mau bocorin, dah dari awal kali." Raina menghembuskan napas,
memandang ke arah lain, berusaha mengontrol emosi.
"Kita nggak tahu. Siapa tahu aja 'kan dia nyari waktu."
"Ibu."
Walau mendumei dalam hati, Raina menguatkan diri. ia mengangguk pelan. "lya."
''Llhat gue aja sih, Ka. Susah banget keknya. Gue jelek, ya?" Dia semakin asal,
berkata apa saja agar si Raka memandangnya, tidak memandang ke belakang di
mana sang sahabat bersama ibunya tengah berbicara serius. Walau dalam hati
Anya begitu penasaran apa yang terjadi di sana.
Dari penglihatan Anya, wanita yang dapat dipastikan adalah ibu Raina perlahan bangkit dan
meninggalkan meja, menghampiri seorang pria berbadan kekar berbaju hitam tak jauh dari
mejanya duduk. Raina masih di sana, menatap kosong ke arah bawah dengan kepala juga
tertunduk.
Anya berdiri secara spontan, berlari kecil menghampiri Raina. Raka yang sedikit terkejut dengan
gerakan gadis ini, juga mengikuti.
"Na?" Anya menggoyangkkan lembut bahu sang sahabat. Perempuan berkacamata berusaha
menutupi kelopak mata menghitam yang belum juga menghilang menunduk, menatap sang
sahabat yang tidak bergeming.
la kembali menggoyangkan bahu yang sedikit tegap dari perempuan kebanyakan, sedikit lebih
keras, membuat Raina tersentak sadar dan secara cepat mendongak.
Anya memandangi itu. la menegak, melepaskan pegangan pada bahu Raina. Ia menggeleng, tak
ingin lanjut bertanya. "Nggak papa.”
la memilih duduk di samping Raina, Raka mengekor duduk di hadapan mereka masih bingung
dengan keadaan yang terjadi.
"Udah. Nggak papa, Na. Jangan paksain diri," ucap Anya penuh arti.
"Apanya?" Raina terkekeh pelan. la mengerling jahil ke arah Raka, tersenyum menggoda.
"Mulai besok lo bakal jadi bodyguard pribadi, nih."
"lya. Besok pulang sekolah lo ketemuan ya sama dokter Fandi. Dandan cantik, siapa tau
kecantol."
Anya melebarkan mata, tak memperdulikan godaan Raina. la menutupmulut, hampir saja
tangisnya pecah. Dengan cepat, Anya memeluk sang sahabat begitu erat. Terisak bahagia di
sana. "Thanks, Na. Terima kasih."
Raina menggeleng, membalas pelukan sang sahabat, ia juga menangis, bukan, bukan tangis
bahagia, melainkan tangis yang penuh kesedihan karena ini adalah pertemuan terakhir dengan
sang sahabat.
Selepas ini, ia tidak akan pernah menghubungi Anya bahkan hanya untuk sekadar menyapa
bahwa ia rindu atau bertanya bagaimana kabar gadis itu.
Raina tahu, harusnya ia mengatakan ini kepada Anya, tapi mengenal sikap Anya sangat besar
kemungkinan cewek itu akan menolak syarat yang diberikan ibunya. la tidak ingin hal yang
paling Anya inginkan harus dibatalkan hanya karena hal ini.
Walau keduanya harus sama-sama sakit, tapi tidak apa. Demi kesembuhan Anya.
Terlalu bodoh, bukan? Sebuah hubungan rela dilepas demi kesembuhan salah satu pihak.
Dalam dunia fiksi, jelas ini bukanlah sesuatu yang akan memantik drama, tangis rela berkorban
dan lain sebagainya yang akan membuat perut mual.
Saat ini, jiwa egois tidak terlalu penting bagi Raina. Kesembuhan Anya nomor satu. Jika memang
akhirnya ia dan Anya ditakdirkan menjadi sahabat lagi, itu akan terjadi.
Raina menghela napas. Melepas pelukan dan tersenyum lebar di sana. "Dah, jangan nangis.
Senyum."
Raka di belakang sebenarnya masih bingung apa yang terjadi. Tapi, ia lebih memilih
mengangkat bahu cuek dan ikut tersenyum. Mulai besok ... semua akan menjadi waktu yang
tepat.
Anya mengeryit pelan, memandang layar ponsel yang kini tengah mencoba menghubungi
Raina, sahabatnya.
Dari kemarin, selepas mereka bertiga menghabiskan waktu bersama keliling mall atau hanya
sekadar duduk di taman, Raina jadi makin sulit dihubungi.
Semalam saja, saat Anya begitu ingin protes kenapa psikiater yang ia datangi harus laki-laki — ia
terlalu sibuk memikirkan masalah lain, sehingga lupa kalau dokternya laki-laki saat Raina
memberi informasi --sehingga menghubungi Raina. Di panggilan ke sepuluh, baru teleponnya
bisa tersambung.
"Pa-pagi, kak." Suara lembut itu mengayun. Anya mendongak dari layar ponsel, memandang
adik kelas yang kini membawa sebuah kotak, Anya tidak peduli itu apa, lalu menoleh ke arah
Raka, bertanya.
Raka hanya mengendikkan bahu. Pagi ini ia bersama Anya akan pergi menuju ke kepala sekolah,
membahas soal surat perizinan orang tua serta surat izin kegiatan karena organisasinya akan
mengadakan pendidikan lanjutan untuk syarat menjadi anggota penuh bagi adik kelas.
"lya?" jawab Anya akhirnya. Merasa tidak mendapat jawaban memuaskan dari endikkan bahu
Raka.
Anya tersentak. "Eh?" la memandang layar ponsel, memperhatikan tanggal yang memang
menunjukkan hari ulang tahunnya.
"Ah, oh iya, terima kasih, ya dik." Anya dengan canggung menerima dua kotak kado, dari si adik
yang tadi menyapanya dan satu temannya lagi yang Anya baru sadari kehadirannya.
"lya, kak. Panjang umur ya, Kak." Anya tersenyum manis, masih merasa terkejut karena tidak
mengingat ulang tahunnya sendiri.
Tapi, ia menaikkan alis sebelah, memandang ekspresi si adik kelas yang memandang Raka
dengan wajah yang terlihat begitu terpesona.
Ah, seterkenalnya ia sebagai senior, nyatanya cowok di sampingnya jauh lebih terkenal.
Anya berdehem pelan, tersenyum memandang si adik kelas. la memberi kode kepada Raka
untuk segera beranjak.
"Yuk, Ka. Nanti kepsek malah nggak ada lagi, sok sibuk ‘kan dia. Jarang di sekolah." Anya
mengucapkan itu dengan nada bercanda, Raka memandangi itu dengan senyum geli, ia
menoleh ke arah adik kelas pamit pergi meninggalkan dua adik kelas yang kini sudah merasa
merona hanya karena memandang senyum cowok itu.
"Lo ulang tahun? Kok nggak bilang, sih? ‘Kan jadi nggak ada kasih kado." Raka menggerutu satu
langkah di belakang Anya. Jujur saja tadi ia sempat membulatkan mata terkejut si adik kelas
mengucapkan selamat seperti itu.
Raka mendelik, kemudian terkekeh pelan, masih berjalan di belakang Anya. "Kok bisa ulang
tahun sendiri nggak tahu."
Anya mendengus pelan, tak menyahut. Kini dua kotak di tangannya ia alihkan ke Raka, yang
menerimanya dengan sigap. Paham, karena si gadis di hadapannya memegang beberapa
lembar surat beserta ponsel yang sedari tadi ia pegang. Raka sempat melirik, siapa yang
berusaha gadis itu hubungi sekarang.
Anya mendecak kesal. "Susah banget dihubungin. Pake nggak aktif lagi." Kemudian seperti
tersadar, ia melanjutkan, "atau gue di blok, ya?"
Raka mengatupkan bibir, hendak menyahut tapi mereka sudah sampai di depan pintu ruangan
kepala sekolah.
Baru hendak memegang kenop pintu, Anya mendelik tidak suka ke arah kanan, memandang
beberapa siswa berpakaian rapi khas adik kelas baik hati mendekat padanya. Dengan beberapa
kotak kado di sana.
"Kak Anya, selamat ulang tahun," ucap si kurus dengan wajah tampan putih bersinar mewakili,
menyodorkan kotak berbungkus kertas berwarna biru.
Raka dengan sigap mendekat, saat melihat si laki-laki itu semakin maju, mendekati Anya yang
menatapnya dengan jengah, walau berusaha untuk tetap bertindak sopan sebagai seorang
senior panutan.
"Sini, kasih gue aja." Raka melakukan aksinya, menumpuk semua kotak kado di kedua
tangannya.
"Tahu dari mana gue ulang tahun?" tanya Anya, melirik kini tumpukan di tangan Raka terlihat
banyak, membuat cowok itu kesusahan. Anya membantunya, mengambil semua kotak kado,
lalu menyimpannya di kursi tunggu yang memang disediakan di depan ruang kepala sekolah.
"Postingan kak Raina. Dia ngucapin selamat pas jam dua belas malam."
Raka mendengus pelan, merutuk dalam hati kenapa laki-laki di hadapannya ini begitu lemah,
lihat senyum begitu saja dah merona, pikirnya.
"Seriusan?" Anya mengambil ponsel yang sempat ia taruh di saku seragam. Mencari dengan
cepat postingan di instagramnya. Benar saja, di sana ada fotonya bersama Raina dengan
keterangan ucapan selamat ulang tahun.
Hati Anya perlahan menghangat. la tersenyum merasa bahagia seolah teleponnya yang terus
saja tidak diangkat tidak terjadi.
Beberapa adik kelas terlihat menjerit tertahan. Membuat Raka mendecak, menyuruh mereka
pergi setelah memberi saran agar menjadi laki-laki harus bisa terlihat lebih cool, seperti dirinya.
"HBD, Nya." Raka meraih satu kotak kado paling teratas lalu menyerahkannya di hadapan Anya.
Anya mendongak, masih tersenyum setelah menyimpan kembali ponselnya di sakunya.
"Makasih. Walau ini kado orang sih," guraunya dengan tawa kecill. Raka membulatkan mata,
walau akhirnya ia mengerjap, berusaha mengusai diri.
Raka mengangguk, menyusul Anya yang sudah melangkah ringan masuk terlebih dahulu.
***
Sepulang sekolah, Raka dan Anya menunggu di depan gerbang. Menunggu taksi online yang
sudah mereka pesan.
"Gue kaget sih lo nggak bawa motor," ucap Anya tiba-tiba, memandang Raka yang terlihat
menggerutu karena si supir belum juga sampai.
Raka melirik, tersenyum tipis. '"Kan gue tahu harus anterin lo, makanya motor di tinggal di
rumah." la menipiskan bibir, memandang Anya yng kini memainkan sepatunya di tanah, dengan
mata terus memandang Raka.
"Ibu ... maksud gue lo udah minta izin sama ibu?" Raka terkejut, memandang Anya yang kini
menatapnya dengan ekspresi khawatir.
la tersenyum, berdeham pelan mengusai diri. "lya. Dia tahu, santai aja."
Anya membalas senyum itu. Lalu menunduk memandang sepatu putihnya yang terlihat kusam
karena ia terus menggosokkan di tanah.
Tak lama, taksi yang mereka pesan tiba di depan mereka. Raka dengan sigap membuka pintu
belakang, mempersilakan Anya masuk sebelum ia juga masuk di samping sang supir.
Di dalam mobil, Anya memainkan ponsel, masih berusaha menghubungi Raina ingin
mengucapkan terima kasih dan juga ingin memarahinya karena gadis itu tidak menemaninya di
pertemuan pertama ia dengan si dokter.
Mereka menghabiskan waktu di dalam mobil kurang lebih dua puluh menit. Anya turun dari
dalam mobil, memandang gedung yang terlihat seperti rumah mewah di hadapan mereka.
Anya tersenyum sopan, memandang wanita muda yang juga menatapnya dengan senyum.
"Mau ketemu dokter Fandi?"
"Mari."
Mereka berdua mengikuti, hingga mereka sampai di depan sebuah pintu berwarna cokelat.
"Mas-nya bisa nunggu di sini," ucap si wanita muda tadi, menunjuk salah satu kursi yang
tersedia di dekat pintu tadi. la tersenyum hangat,mengetahui si gadis cantik yang kini menjadi
pasien dokternya dari cerita si dokter itu sendiri.
Raka menurut, memandang Anya yang juga memandangnya. Raka mengangguk, membuat
Anya tersenyum tipis dan berbalik membuka pintu.
"Permisi, Dok."
Seorang pria tampan berusia sekitar tiga puluhan tahun mendongak, mengalihkan pandangan
dari dokumen di hadapannya.
Si dokter yang membiarkan jas putihnya menggantung di bahu kursi itu berjalan mendekat,
tersenyum lebar dan penuh wibawa di depan Anya.
"Anya Shafira? Ah, salam kenal. Saya FandiGunawan, saya sudah mendengar tentang kamudari
Raina."
Anya tersenyum kikuk. Memandang si dokter yang memakai kemeja merah maroon dan celana
kain hitam, disusul sepatu pantofel khas kantoran berwarna cokelat.
Posisi mereka kini berhadapan, masing-masing duduk di sofa tunggal, dihalangi meja panjang.
"Raka, dok. Teman saya." Anya sedari tadi mencoba menekan ketakutan berada satu ruangan
dengan lawan jenis.
"Anya Shafira. Kamu tahu apa yang kamu idap saat ini?"
Anya sesaat mematung, memandang kosong tepat di mata sang dokter. la mengangguk pelan,
mencicit, "Androphobia, ketakutan terhadap laki- laki, atau lawan jenis? Saya tidak tahu pasti."
Anya mengendik, terlihat berhasil menguasai dirinya sendiri. "Saya tahu ini karena saya baca
satu novel yang emang membahas si karakter yang mengidap phobia ini."
"Oh ya? Isi novelnya gimana?" pancing si dokter, merasa Anya terlihat begitu terbuka terhadap
dirinya yang baru saja ia temui.
"Di situ karakter ceweknya mandang semua cowok itu sebagai serangga. Setiap disentuh, ia
akan menghajar siapapun cowok itu. Semua orang takut akhirnya sama dia. Tapi di kampus ia
tetap disayangi dan dilindungi sama teman kelas cowoknya, walau mereka menjaga jarak."
Anya mendongak, menatap si dokter yang kini menatap penasaran dirinya. "Terus dia jadi guru
les privat cowok SMA, si cowok ini suka banget jahilin dia, berkali-kali digebukin si cowok malah
kesenangan. Aku pikir mungkin endingnya mereka bakal jatuh cinta dan si cewek sembuh
karena si cowok."
"Kok mungkin?"
Anya tertawa renyah. "Penulisnya belum namatin udah di hapus. Soalnya saya baca itu di salah
satu aplikasi baca buku online, sih."
Si dokter mengangguk-ngangguk paham. "Penasaran banget pasti, ya?"
Anya membulatkan mata, terkejut karena jarang mendapati orang yang mendengar serius saat
ia menceritakan novel yang sudah ia baca.
"Okey, so, next question, kira-kira cara sembuh si cewek dalam novel yang kamu baca itu
gimana?"
Anya mengendik sekali lagi, merasa masa bodoh dengan hal ini. "Kalau diliat-liat sih, nih cewek
sembuh karena kebiasaan disentuh, jadi akhirnya dia malah lupa sama penyakitnya sendiri. Gitu
kali? Tapi agak seram ya kalau dibayangin itu terjadi di dunia nyata, bahkan jika itu terjadi
padaku." Anya memandang ngeri sang dokter, dengan mata bergetar sedikit takut
membayangkan bagaimana ia harus setiap saat menjerit saat disentuh.
Si dokter malah tertawa. "Kamu tahu, di dunia medis, motivasi sembuh bisa apa saja. Bahkan
orang koma yang dengar sekitarnya terus menangis pun bisa aja tiba-tiba sadar." la
menghembuskan napas, lalu mendongak menatap Anya.
"Kita ganti pembahasan deh. Jangan novel itu lagi. Kata Raina, katanya kamu pernah lebih
parah dari ini, ya? Maksudnya, kamu bahkan nggak bisa ngelirik cowok. Makanya kamu sempat
berbulan- bulan nggak keluar dari kamar pas kecil."
“lya." Anya mengangguk, membenarkan. "Aku menyadari diriku punya penyakit aneh sejak
kelas tiga SD. Di masa-masa itu aku tuh ngelirik cowok, satu ruangan sama mereka rasanya
sesak banget, milih buat teriak akhirnya, ketakutan banget asli." la bergidik. "Tapi, pas mama
akhirnya tahu, ia mau ngajak ke psikiater aku nolak. Aku bilang sama mama, sama diri sendiri
bahwa aku nggak butuh psikiater, aku nggak gila, aku bisa sembuh dengan caraku sendiri.
Aku ... pasti bisa."
Si dokter tertegun beberapa saat. la tersenyum, berhasil menguasai diri. "See? Motivasi emang
bisa dari mana aja. By the way, selain alasan itu, kenapa nggak mau ke psikiater?"
"Aku masih kecil dok, waktu itu, jadi mikirnya psikiater yah, buat orang gila, makanya nggak
mau. Tapi ... selain itu juga karena faktor ekonomi keluarga sih."
Dokter Fandi tersenyum lembut, menenangkan Anya yang sedikit gemetaran takut merasa
dikasihani karena telah jujur pada orang yang baru ia kenal.
Aneh, ya? Manusia emang punya ego tinggi. Tidak mau merasa di bawah, tidak ingin dipandang
rendah, tidak ingin dikasihani, padahal memang ia berada jauh di bawah, tak menyadari kondisi
memprihatinkan mereka.
"Yah, saya paham." Si dokter muda itu menegak, ia memandang Anya, lalu bertanya, "Suka
baca novel, ‘kan? Punya dong mimpi-mimpi mustahil kayak di novel-novel?"
Anya mengangguk semangat, kembali merasa berbinar. "lya, Dok, lya!" Kini ia bahkan
melompat kecil heboh, saat medengar tawa si dokter, Anya mengerjap tersadar dan segera
menunduk, "maaf," ucapnya pelan.
Mendengar itu, Anya mendongak, wajahnya kembali berbinar, melupakan fakta bahwa sedari
tadi ia menguatkan hati untuk tidak bergetar berada satu ruangan dengan lawan jenis.
"Aku punya mimpi, bisa sembuh karena cowok idaman yang mencintaiku sepenuh hati,
berusaha membantuku bangkit dari kegelapan. Seperti novel Androphobia atau Haphephobia.”
"Oh ya? So cute sekali mimpinya. Itu menurut kamu bisa terwujud nggak?"
Anya tertawa miris. "Rasanya iya. Tapi kalau caranya seekstrem di dua novel yang aku baca
nggak deh. Seram.”
Si dokter berusaha mengingat, lalu tersenyum lebar menatap si pasien dengan senyum penuh
arti. "Kamu ta