سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو
َ ُصلَّى هللا
َ ِس ْو َل هللا
ُ س ِمعْتُ َر َ : ع ْنهُ قَا َل َ ُع َْن ُمعَا ِويَةَ َر ِض َي هللا
)(رواه البخارى..... ىالدي ِْن ِ ِ َم ْن يُ ِر ِدهللاُ بِ ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ ف: يَقُ ْو ُل
Diriwayatkan dari Mu’awiyah, ra., dia berkata : Saya pernah mendengar
rasulullah saw bersabda : “Siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat
kebaikan, maka akan difahamkan (oleh Allah) di dalam ilmu din ini (al-Islam)”
Hadits tersebut memberi syarat bagi segala upaya perbaikan kulitas hidup,
dalam hal ini kedewasan, dengan diajarkannya ilmu din atau ilmu yang sesuia
dengan konsep dinul Islam. Jika syarat ini dilanggar, maka yang terjadi adalah
bukan kebaikan (khairan), tetapi justru keburukan (syarran). Dalam konteks
kepribadian yang terjadi adalah kegagalan mencapai kedewasaan ber-Islam.
Berislam bukan atas dasar kesengajaan, pengetahuan dan rasa tanggung jawab
atas segala konsekuensinya.
Oleh kerenanya pencerahan terhadap konsep ilmu yang sebenarnya, sesuai
dengan konsep Islam, menjadi tujuan bembahasan pada bagian keempat ini.
Diantaranya akan dibahas secara mendalam tentang pengertian ilmu, keutamaan
ilmu, klasifikasi, hukun menuntut ilmu, perbandingan antara konsep Islam dan
Barat, kecendekiawanan, dan yang terakhir mengenai tugas kaum intelektual.
58
A. Pengertian ilmu
Secara harfiah, kata ‘ilmu berasal dari kata ‘علم – يعلم – علماalima-ya’lamu -
‘ilman (dst., yang berarti pengetahuan. Dalam bahasa asalnya ini …..(Arab),
‘ilmu mempunyai kandungan dan medan pengertian yang jauh lebih luas dan
mendalam yang terkait erat dengan prinsip-prinsip tauhid dan totalitas ajaran
Islam. Bahkan Prof. Dr. Quraisy Syihab, dalam mentafsirkan arti kata ‘alam
dalam kontek; Allah sebagai rabbul ‘alamin dengan kata ‘ilm memiliki hubungan
substansial maknawi dalam akar katanya, sebagaimana hubungan antara gula
dan manis. Alam merupakan fungsi ilmu itu sendiri. Alam merupakan kitab
Allah terbentang yang berisi sunnatullah (susunan pola-pola yang rapi dan
sempurnya) ciptaan-Nya dan sekaligus ayat-ayat-Nya. Kitab terbentang ini harus
dibuka dan dibaca oleh manusia dengan potensi rasionalnya.
Membaca alam (pola-pola) terasalah keberadaan penciptanya, Allah SWT.
Makin mengagumi rahasia alam’ makin mengagumi kecanggihan Allah SWT.
Dengan demikian, sebenarnya ‘ilmu ‘alam (sains rasional) itu tidak lain adalah
hasil upaya berfikir manusia untuk menemukan sunnatullah. Namun, aktivitas
dalam pencarian ‘ilmu dengan nuansa ilahiyah tersebut kini telah pudar bahkan
terjadi sebaliknya. “membaca alam” tidak lagi merasakan getaran ruh tentang ada
Allah Yang Maha Agung, ibarat meminum gula tak terasa lagi manisnya. Bahkan
terasa pahit dan membuat pusing kepala. Mengapa demikian? Jawabnya jelas,
yakni karena ilmu tidak lagi berkiblat pada konsep Al-Qur’an. Ilmu kini berkiblat
pada tata nilai Barat yang “menuhankan” benda dan rasionalitas; sejak Ummat
Islam tidak lagi mengendalikan pengembangan ilmu lagi (abad 16 – sekarang).
Dengan science modern telah putus hubungan ilmu dengan al-‘alim Sang Pencipta
alam, Allah SWT.
Allah adalah Al-Kholiq (Pencipta) segala yang ada (wujud), Dia Maha Tahu
terhadap segala ciptaan-Nya dan Diri-Nya sendiri (al-‘Alim). Dia
memancarkan Nuur (cahaya) berupa pengetahuan (al-‘ilmu) kepada
59
hambanya, maka adalah Pemberi Cahaya langit dan bumi (nuuru al-samawat).
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. An-Nuur: 35:
ص َبا ٌح أال ِم أ
ص َبا ُح ور ِه َك ِم أش َكاة فِي َها ِم أِ ُض َمثَ ُل ن ِ ت َو أاْل َ أر ِ س َم َاوا ُ َُّللاُ ن
ور ال ه ه
ار َكةَ َش َج َرة ُّمب َ ي يُوقَدُ ِمن ٌّ ب د ُِر ٌ الز َجا َجة ُ َكأَنه َها َك أو َك ُّ فِي ُز َجا َجة
ارٌ َس أسهُ ن َ ضي ُء َولَ أو لَ أم ت أَم ِ ُزَ أيتُونِة هَّل ش أَرقِيهة َو ََّل غ أَربِيهة يَ َكادُ زَ أيت ُ َها ي
اس ِ َّللاُ أاْل َ أمثَا َل ِللنه
ب ه ُ ور ِه َمن يَشَا ُء َويَض ِأر ور َعلَى نُور يَ أهدِي ه
ِ َُّللاُ ِلن ٌ ُّن
َيء َع ِلي ٌمَّللاُ ِب ُك ِل ش أ
َو ه
35. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus , yang di dalamnya ada
pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-
lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan
Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Istilah dholim, yang secara umum berarti orang yang berbuat aniaya, diambil
atau dinisbatkan dengan akar kata dhulmun (gelap). Kata dholim merupakan
lawan kata dari kata ‘adil (=berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya).
60
Dengan demikian dholim berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya
(aniaya). Secara umum perbuatan salah dalam meletakkan sesuatu disebabkan
oleh sebab umum yaitu kondisi gelap. Gelapnya pikiran artinya kebodohan.
61
kepemimpinan yang tidak boleh diabaikan (Q.S. 2: 247). Sebagian manusia
memandang kekayaan sebagai sebuah syarat kepemimpinan. Ini pendapat yang
paling lemah.
Kedelapan, Allah menganjurkan kepada seorang yang beriman untuk senantiasa
berdoa bagi pertambahan keluasan ilmunya Sebagai implikasinya ia harus selalu
belajar dan bekerja agar ilmu terus bertambah (Q.S. 20 : 114 ).
Kesembilan, orang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang paling
tinggi dan luas ilmunya; ulama’. Iman hanya bertambah dengan bertambahnya
ilmu ad-diin. (al-Fathir : 28)
Kesepuluh, Orang-orang yang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu hingga
sebelum sampai ke rumah kembali adalah perjalan jihad fi sabilillah. Jika ia mati
dalam rangka mencari ilmu maka kematiannya termasuk mati syahid Berdasar
hadits Nabi).
1. Fardlu ‘ain
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa dikendaki Allah kebaikan, maka Dia
akan fahamkan ilmu tentang Dien (al-Islam)”.
Ilmu ad-din, adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah berupa al-Qur’an dan as-
Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia dalam segala hubungan; hubungan
manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya, demi
kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karena hanya dengan ilmu ad-Din manusia
menjadi mengatahui segala perintah dan segala larangan serta anjuran dari Allah
dan Rasul-Nya, maka tiap muslim wajib bahkan fardlu menguasainya untuk
diamalkan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw :
“ Menuntut ilmu itu fardlu (wajib) bagi tiap-tiap Muslim dan Muslimat (H.R. Ibnu
Majah)
Kata “fardlu” atau “faridlah” menurut para ulama memiliki tingkat konsekuensi
hukum lebih tinggi dari pada kata “wajibun”. Sebab sesuatu yang “diwajibkan”
62
dapat digantikan dengan daam atau denda tertentu. Sedangkan sesuatu yang
difardlukan (misalnya : shalat) tidak dapat digantikan dengan dam (denda).
Dengan demikian perintah mencari ilmu al-Din sama pentingnya dengan
kewajiban mendirikan shalat dan ibdah fardlu lainnya..
Kewajiban ini semakin tampak jelas, pada firman Allah SWT pada S. At-taubah
:122, yakni :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pula berangkat dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam ilmu diin dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat
menjaga dirinya (dari kemurkaan Allah ).”
Dalam keadaan mempertahankan nyawa dan eksistensi negara (daulah
islamiyah) dari ancaman musuh-musuh Islam, diwajibkanlah bagi laki-laki
dewasa untuk angkat senjata. Akan tetapi, ilmu al-Din (al-Qur’an dan As-
Asunnah) mutlak dibutuhkan bagi tiap-tiap muslim untuk taat kepada Allah, baik
dalam keadaan perang maupun damai, maka mutlak pula sumber ilmu din itu
(ulama’) harus tetap ada. Mereka jihad bukan untuk perang angkat senjata, tetapi
jihad memerangi kebodohan terhadap agamanya .
Hakekat kewajiban mencari ilmu din bagi tiap muslim dan muslimat (fardlu
‘ain), adalah semata-mata didasarkan wajibnya setiap muslim untuk mentaati
Allah dan Rasulnya dengan benar (beribadah), dalam kedudukannya sebagai
‘abdullah (hamba Allah).
Menurut DR. Yusuf Qordlawi (Ulama besar Mesir), yang termasuk ilmu-ilmu
fardlu ‘ain ada 4 jenis, yakni :
a. Ilmu mengenai aqidah yaqiniyah(prinsip-prinsip aqidah yang harus dipercayai)
yang benar, selamat dari syirik dan khurafat.
63
b. Ilmu yang membuat ibadah seseorang berjalan dengan benar sesusai dengan
ketentuan yang diasyariatkan. Demikian secara lahiriyah. Sedangkan secara
batiniyah memenuhi syarat niat dan ikhlash karena Allah.
c. Ilmu yang dengannya jiwa dibersihkan, hati disucikan, segala fadlilat
(keutamaan) dikenal, untuk kemudian diamalkan. Dikenal pula radzilah
(kenistaan) atau yang dibinasakan untuk kemudian ditinggalkan dan dijaga.
d. Ilmu yang bisa mendisiplinkan tingkah laku dalam hubungan sesorang dengan
dengan dirinya, keluarganya, atau dengan masyarakat, baik itu penguasa
maupun rakyat, muslim atau non muslim. Dengan begitu ia mengetahui
hukum halal-haram, wajib bukan wajib pantas atau tidak pantas, bermanfaat
atau tidak bermanfaat.
2. Fardlu Kifayah
Fardlu kifayah berkaitan dengan kewajiban kolektif kaum muslimin untuk
melayani kebutuhan sosial demi kesejahteraan ummat. Suatu amal yang
diwajibkan atau difardlukan secara kifayah berkait dengan tugas wajib manusia
dalam kedudukannya sebagai khalifah fil ardli (wakil Allah di bumi). Tugas ini
tidak mungkin dilakukan secara bersama-sama dalam segala urusan, sebagaimana
mustahilnya pengurusan jenazah dilakukan oleh semua muslim. Jika demikin
justru akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya.
Ilmu fardlu kifayah adalah ilmu-lmu yang terkait dengan upaya menjawab
kesulitan-kesulitan manusia untuk memenuhi kebutuhnnya yang semakin
komplek. Apabila ilmu ini sudah ditekuni oleh sebagian orang (ilmuwan)
sehingga mencukupi kebutuhan masyarakat, maka terlepaslah kewajiban muslim
lainnya. Mereka wajib menekuni bidang ilmu di bidang keahlian masing-masing
(spesialisasi). Diantara ilmu-ilmu yang difardlukan secara kifayah ialah :
pendalaman ilmu-ilmu tafsir, ilmu musthalahul hadits, ushul fiqh, ilmu
kedokteran, ilmu teknik, kelautan dsb.
64
Hakekat menuntut ilmu fardlu kifayah tiada lain, kecuali semata-mata dalam
rangka menjalankan perintah Allah untuk menjadikan dirinya semakin optimal
dalam memenuhi dan menjawab masalah social ummat, sebagai konsekuensi
tugas sebagai khalifah Allah (wakil/pemimpin) di bumi. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw : “Sebaik-baik manusia (khalifah), adalah orang yang paling
besar memberikan manfaat bagi manusia”.
A. Klasifikasi Ilmu
Pada dasarnya ilmu dibagi atas dua bagian besar yakni ilmu-ilmu tanziliyah yaitu
ilmu-ilmu dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan
Allah dalam kitab-Nya maupun hadits-hadits Rasulullah saw, dan ilmu-ilmu
kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya
dengan alam dan manusia .
Bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, ilmu-ilmu tanziliyah telah berkembang
sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang dan ranting yang sangat banyak diantaranya
‘ulumul qur’an, ulumul hadits, ushul fiqh, tarikhul anbiya’ , ilmu kalam, dsb.
Ilmu-ilmu kauniyah melahirkan berbagai cabang dan ranting ilmu, sebagaimana
mengikuti pola taksonomi ilmu (science bara Sekuler) saat ini ilmu dibagi dalam tiga
cabang besar : science social, science exact, dan Humaniora. Masing-masing
bercabang dan ranting yang sedemikian banyak dan terus semakin banyak.
65
Ilmu pada hakekatnya adalah berpangkal pada kepastian, karena berpangkal
pada penciptaan yang sempurna dan pasti. Ia berpangkal pada kebenaran yang mutlak
yang datang dari Allah SWT. Baik secara deduktif maupun induktif, al-Qur’an dan al-
Hadits telah menjelaskan kerangka maupun isinya. Oleh karena itu agar setiap
permasalahan atau segala sesuatunya yang berkaitan dengan upaya agar ilmu
semakin tercerahkan, maka seharusnya ulama’ dan ilmuwan Islam menjadikan Al-
Qur’an sebagai “kaca mata” dalam melihat ilmu.
Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan mendasar antara konsep ‘ilmu dalam
kacamata Al-Qur’an dan konsep ilmu dalam kacamata Barat modern (science), maka
tinjauan secara filosofis (filsafat ilmu) menjadi sangat membantu.
Filsafat Filsafat adalah ; “Cara berfikir radikal dan menyeluruh, suatu cara mengupas
Ilmu sedalam-dalamnya” (Yuyun S. Sumantri, 1988). Atau mencari kebenaran dari
kebenaran untuk kebenaran dan cara berfikir secara radikal sistematis universal
tentang Tuhan, manusia dan alam semesta, ( A.M Saefudin, 1987).
Dalam filsafat ilmu, ada tiga aspek yang menjadi pilar penyangga dari sebuah ilmu,
yakni aspek ontologi, epistemologi dan aspek aksiologi.
Perbedaan mendasar antara ilmu dalam Konsep Islam dengan Ilmu dalam konsep
Barat modern sekuler (science ) dapat dibaca pada table berikut:
66
satu kesatuan antara “kerajaan langit” dan mitos, khayalan, ilusi, fantasi
“kerajaan bumi” ; prinsip keutuhan ini dikenal pikiran manusia, termasuk
dengan prinsip tauhid
Tuhan (Allah)!
Ontologi sciense bertumpu
pada prinsip atheisme
materialistic
Aksiologi : Ilmu dicapai dan dikembangkan untuk dua Berdasar pada prinsip
Menjelaskan mengenai tujuan : Pragmatisme-utilitarian.
standard nilai dalam 1. Dengan menguasai ilmu syari’at untuk Dimana ukuran etis tidak etis
penggunaan dan menyelamatkan manusia dari kehancuran didasarkan pada berguna atau
pengembangan dunia dan akhirat akibat kedhaliman antara tidak bagi orang, kelompok,
pengetahuan. Untuk apa satu dengan yang lainnya. Untuk menjadi bangsa tertentu pada kondisi
dan atas dasar apa hamba Allah yang taqwa (taat). tertentu pula; yang tidak
pengetahuan 2. Dengan teknologi (ilmu kealaman material) mungkin sama. Tidak ada
dikembangkan ? untuk menciptakan kesejahteraan material patokan yang pasti.
ummat manusia dengan memanfaatkan Kata F. Bacon (bapak
alam secara maksimal, dalam rangka materialisme) Ilmu itu bagai
menjalankan fungsinya sebagai khalifah kekuasaan; jadi malapetaka
Allah di bumi. Ilmu harus diarahkan pada atau berkah bagi manusia
nilai-nilai ihsan (kebaikian) dan menolak tergantung orang ynag
67
nilai-nilai fasad (kerusakan) moral dan menggunakan kekausaan itu
kerusakan alam Al-Qashash : 77 (ilmuwan) atau pengusa
3. Standard nilai sudah pasti dan universal. ilmuwan.”
Setiap ilmuwan terikat oleh dua Makin menguasi ilmu makin
pertimbangan di atas. bebas dan tidak terikaat oleh
4. Makin menguasasi ilmu makin terikat nilai- nilai-nilai agama tertentu.
nilai ihsan dan tanggung jawab ummat. Bersifat bebas nilai / netralitas
Karenanya aktivitas indera dan hati harus etik, alias tak bermoral !
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.
Makin tinggi keilmuan makin dekat dengan
sifat-sifat kecendekiawanan, keulamaan dan
kenabian.
Dalam bentuk yang lebih utuh dan dinamis hubungan antara ontology,
epistemology dan aksiologi ilmu (Islam) dapat difisualisasikan dengan skema sebagai
berikut:
SKEMA HUBUNGAN INTEGRAL EPSTEMOLOGI ISLAM
( Berdasar : Q.S. Fushshilat : 53)
ALLAH
(Al-‘Alim)
Ilmu ladunni/kasf
observasi
Obsevasi
informasi
68
Informasi
Asumsi
Asumsi
Konklusi Konklusi
Epistemology
Ulil Albab Barat
Keterangan :
1. Aspek Ontologis :
Allah : sebagai sumber segala pengetahuan menginformasikan ilmu-Nya melalui
al-Qur’an (ayat qauliyah) dan melalui ciptaan-Nya : jagat raya dan diri manusia (ayat
-ayat kauniyah/fenomena).
2. Aspek epistemologis:
Pengetahuan yang hakiki tentang Allah, jagad raya, dan diri sendiri secara optimal, maka
manusia harus mengembangkan tiga cara/jalur : Pertama: mengimani dan mengilmui al-
Qur’an dan Assunnah (syar’iyah), kedua: mengembangkan pengkajian dan peneliatan alam.
Ketiga : berkomunikasi langsung dengan Allah melalui dzikir untuk mendapatkan ilham
(ilmu ladunni). Aktivitas ilmiah pada fenomena alam akan memberikan fakta-fakta tentang
kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Aspek aksiologis :
Dengan petunjuk al-Qur’an, kesucian hati , dan didukung bukti nyata kebenaran akan
kekuasaan dan keagungan Allah di di alam, akan terpancar keimanan, kearifan dan
kemampuan untuk memanfaatkan potensi alam pada mahasiswa Islam (ulil albab).
69
tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis). DR. Ali Syariati
(tokoh intelektual besar dalam Revolusi Iran) menyebut intelektual dengan istilah
“Rausyanfikr” (Persia) yang artinya “pemikir yang tercerahkan”.
70
Para Nabi/Rasul
& Ulama’
yang bergejolak dan kreatif, , yang pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan
dan pahlawan” (Ali Syari’ati: 1992)
Para nabi datang bukan sekedar mengajari dzikir dan do’a, tetapi mereka datang
dengan suatu ideology pembebasan. Para Nabi, dengan demikian, adalah para
cendekiawan paling utama bahkan gurunya kaum cendekiawan. Sedangkan
para ulama’, adalah warasatul anbiya’ (pewaris para Nabi), demikian menurut
sabda Rasulullah saw.
71
dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan (5:100)
7. Berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan
mengajari mereka prinsip Tauhid (14:52)
8. Memenuhi janji kepada Allah, menyambungkan apa yang diperintahkan
oleh Allah menghubungkannya (silaturrahim), memberi infaq dan menolak
kejelekan dengan kebaikan (13:20-22) ]
9. Bangun tengah malam dan mengisinya dengan ruku’ dan sujud
di hadapan Allah ( 39:9)
10. Serta banyak berdzikir (ingat Allah) dalam segala keadaan (3:190)
11. Hanya takut kepada Allah saja (5:100, 13:21)
72