Anda di halaman 1dari 15

Bagian keenam

Memahami Paradigma Ilmu


Dalam Konsep Islam

Kedewasaan berislam sangat dipengaruhi oleh system kurikulum pendidikan,


terutama jenis ilmu, yang diberikan pada generasi Muslim. Dari sanalah kebaikan
atau keburukan itu tumbuh dan berkembang mewarnai seluruh sendi kehidupan
anak didik juga mahasiswa.
Sabda Rasulullah saw:

‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬
ُ ‫س ِمعْتُ َر‬ َ : ‫ع ْنهُ قَا َل‬ َ ُ‫ع َْن ُمعَا ِويَةَ َر ِض َي هللا‬
)‫(رواه البخارى‬..... ‫ىالدي ِْن‬ ِ ِ‫ َم ْن يُ ِر ِدهللاُ بِ ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ ف‬: ‫يَقُ ْو ُل‬
Diriwayatkan dari Mu’awiyah, ra., dia berkata : Saya pernah mendengar
rasulullah saw bersabda : “Siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat
kebaikan, maka akan difahamkan (oleh Allah) di dalam ilmu din ini (al-Islam)”

Hadits tersebut memberi syarat bagi segala upaya perbaikan kulitas hidup,
dalam hal ini kedewasan, dengan diajarkannya ilmu din atau ilmu yang sesuia
dengan konsep dinul Islam. Jika syarat ini dilanggar, maka yang terjadi adalah
bukan kebaikan (khairan), tetapi justru keburukan (syarran). Dalam konteks
kepribadian yang terjadi adalah kegagalan mencapai kedewasaan ber-Islam.
Berislam bukan atas dasar kesengajaan, pengetahuan dan rasa tanggung jawab
atas segala konsekuensinya.
Oleh kerenanya pencerahan terhadap konsep ilmu yang sebenarnya, sesuai
dengan konsep Islam, menjadi tujuan bembahasan pada bagian keempat ini.
Diantaranya akan dibahas secara mendalam tentang pengertian ilmu, keutamaan
ilmu, klasifikasi, hukun menuntut ilmu, perbandingan antara konsep Islam dan
Barat, kecendekiawanan, dan yang terakhir mengenai tugas kaum intelektual.

58
A. Pengertian ilmu

Secara harfiah, kata ‘ilmu berasal dari kata ‫‘علم – يعلم – علما‬alima-ya’lamu -
‘ilman (dst., yang berarti pengetahuan. Dalam bahasa asalnya ini …..(Arab),
‘ilmu mempunyai kandungan dan medan pengertian yang jauh lebih luas dan
mendalam yang terkait erat dengan prinsip-prinsip tauhid dan totalitas ajaran
Islam. Bahkan Prof. Dr. Quraisy Syihab, dalam mentafsirkan arti kata ‘alam
dalam kontek; Allah sebagai rabbul ‘alamin dengan kata ‘ilm memiliki hubungan
substansial maknawi dalam akar katanya, sebagaimana hubungan antara gula
dan manis. Alam merupakan fungsi ilmu itu sendiri. Alam merupakan kitab
Allah terbentang yang berisi sunnatullah (susunan pola-pola yang rapi dan
sempurnya) ciptaan-Nya dan sekaligus ayat-ayat-Nya. Kitab terbentang ini harus
dibuka dan dibaca oleh manusia dengan potensi rasionalnya.
Membaca alam (pola-pola) terasalah keberadaan penciptanya, Allah SWT.
Makin mengagumi rahasia alam’ makin mengagumi kecanggihan Allah SWT.
Dengan demikian, sebenarnya ‘ilmu ‘alam (sains rasional) itu tidak lain adalah
hasil upaya berfikir manusia untuk menemukan sunnatullah. Namun, aktivitas
dalam pencarian ‘ilmu dengan nuansa ilahiyah tersebut kini telah pudar bahkan
terjadi sebaliknya. “membaca alam” tidak lagi merasakan getaran ruh tentang ada
Allah Yang Maha Agung, ibarat meminum gula tak terasa lagi manisnya. Bahkan
terasa pahit dan membuat pusing kepala. Mengapa demikian? Jawabnya jelas,
yakni karena ilmu tidak lagi berkiblat pada konsep Al-Qur’an. Ilmu kini berkiblat
pada tata nilai Barat yang “menuhankan” benda dan rasionalitas; sejak Ummat
Islam tidak lagi mengendalikan pengembangan ilmu lagi (abad 16 – sekarang).
Dengan science modern telah putus hubungan ilmu dengan al-‘alim Sang Pencipta
alam, Allah SWT.

B. Ilmu adalah Cahaya

Allah adalah Al-Kholiq (Pencipta) segala yang ada (wujud), Dia Maha Tahu
terhadap segala ciptaan-Nya dan Diri-Nya sendiri (al-‘Alim). Dia
memancarkan Nuur (cahaya) berupa pengetahuan (al-‘ilmu) kepada

59
hambanya, maka adalah Pemberi Cahaya langit dan bumi (nuuru al-samawat).
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. An-Nuur: 35:

‫ص َبا ٌح أال ِم أ‬
‫ص َبا ُح‬ ‫ور ِه َك ِم أش َكاة فِي َها ِم أ‬ِ ُ‫ض َمثَ ُل ن‬ ِ ‫ت َو أاْل َ أر‬ ِ ‫س َم َاوا‬ ُ ُ‫َّللاُ ن‬
‫ور ال ه‬ ‫ه‬
‫ار َكة‬َ َ‫ش َج َرة ُّمب‬ َ ‫ي يُوقَدُ ِمن‬ ٌّ ‫ب د ُِر‬ ٌ ‫الز َجا َجة ُ َكأَنه َها َك أو َك‬ ُّ ‫فِي ُز َجا َجة‬
‫ار‬ٌ َ‫س أسهُ ن‬ َ ‫ضي ُء َولَ أو لَ أم ت أَم‬ ِ ُ‫زَ أيتُونِة هَّل ش أَرقِيهة َو ََّل غ أَربِيهة يَ َكادُ زَ أيت ُ َها ي‬
‫اس‬ ِ ‫َّللاُ أاْل َ أمثَا َل ِللنه‬
‫ب ه‬ ُ ‫ور ِه َمن يَشَا ُء َويَض ِأر‬ ‫ور َعلَى نُور يَ أهدِي ه‬
ِ ُ‫َّللاُ ِلن‬ ٌ ُّ‫ن‬
‫َيء َع ِلي ٌم‬‫َّللاُ ِب ُك ِل ش أ‬
‫َو ه‬
35. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus , yang di dalamnya ada
pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-
lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan
Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dengan cahanya ‘ilmu-Nya maka Allah menjelaskan karya-Nya, berupa alam


semesta ini, maka menjadi jelaslah bagi yang membacanya. Allah
memancarkan cahaya (‘ilmu)-Nya kepada manusia melalui wahyu-wahyu-Nya
dan ilham-ilham-Nya. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang paling sempurna,
maka oleh karenanya Al-Qur’an disebut an-Nuur (nama lain al-Qur’an).
Membaca ‘alam dengan dengan al-Qur’an maka alam (ghaib dan nyata)
menjadi jelas diketahui oleh manusia. Sebaliknya jika membaca alam dengan
indera dan rasio manusia maka alam tampak tidak jelas, remang-remang (abu-
abu) disebabkan keterbatasan (relativitas) indera dan rasio manusia.

Lalu apa hakekat nuur (cahaya) dan gelap itu?

Cahaya (an-nuur) menurut fisikawi adalah sesuatu yang mampu


menampakkan dirinya dan apa-apa yang ada di sekelilingnya. Sedangkan
gelap (dhulmun) adalah sebaliknya dari nuur, yakni sesuatu yang tidak mampu
menjadikan dirinya dan sekelilingnya tidak tampak. Gelap atau kegelapan
disebabkan ketiadaan cahaya (nuur) itu sendiri. Oleh karena itu Rasulullah
saw bersabda:
‫العلم نور والجهل ظالم‬
‘ilmu adalah cahaya dan kebodohan adalah kegelapan.

Istilah dholim, yang secara umum berarti orang yang berbuat aniaya, diambil
atau dinisbatkan dengan akar kata dhulmun (gelap). Kata dholim merupakan
lawan kata dari kata ‘adil (=berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya).

60
Dengan demikian dholim berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya
(aniaya). Secara umum perbuatan salah dalam meletakkan sesuatu disebabkan
oleh sebab umum yaitu kondisi gelap. Gelapnya pikiran artinya kebodohan.

C. Keutamaan Ilmu Dalam Islam

Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi sekali karena


sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu
sendiri. Manusialah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi
kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Pengahargaan ini dapat dilihat
dari beberapa aspek yakni :
Pertama , turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah saw berisi tentang perintah
untuk membaca (Q.S Al-Alaq : 1-5)
Kedua, banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan
akal, untuk memahami, dan meneliti fenomena alam ( Q.s Al-Baqarah (2) : 44,
Al-An’am (6) : 50
Ketiga, Allah SWT memandang rendah orang-orang yang tidak mau
menggunakan potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang
bahkan lebih rendah lagi (Q.S. Al-A’raf (70) : 179
Keempat, Allah menempatkan derajat lebih tinggi bagi orang-orang yang beriman
yang berilmu dibandingkan dengan orang beriman yang bodoh, sampai beberapa
derajat. Sebab hanya dengan ilmulah seseorang dapat beramal dengan baik dan
benar (Q.S. Al-Mujadalah : 11, Az-Zumar (58) : 39 )
Kelima, Allah akan meminta pertanggung jawaban kepada orang-orang yang
melakukan sesuatu tidak berdasarkan ilmu. Tradisi ilmiah dalam kehidupan
seorang Muslim dengan demikian menjadi suatu keniscayaan (Al-isra’ 17 : 36)
Keenam, pemahaman terhadap ajaran agama harus berdasarkan ilmu. Seorang
muslim tidak menerima ajaran yang tidak memiliki landasan ilmiah yang kokoh.
Selain itu ia harus juga memahami ajaran tersebut dengan pemahaman yang benar
(Q.S. Ali Imran (3): 18 )
Ketujuh, dalam menentukan orang-orang pilihan yang akan memimpin manusia
di muka bumi ini Allah melihat sisi keilmuan. Jadi, ilmu adalah salah satu syarat

61
kepemimpinan yang tidak boleh diabaikan (Q.S. 2: 247). Sebagian manusia
memandang kekayaan sebagai sebuah syarat kepemimpinan. Ini pendapat yang
paling lemah.
Kedelapan, Allah menganjurkan kepada seorang yang beriman untuk senantiasa
berdoa bagi pertambahan keluasan ilmunya Sebagai implikasinya ia harus selalu
belajar dan bekerja agar ilmu terus bertambah (Q.S. 20 : 114 ).
Kesembilan, orang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang paling
tinggi dan luas ilmunya; ulama’. Iman hanya bertambah dengan bertambahnya
ilmu ad-diin. (al-Fathir : 28)
Kesepuluh, Orang-orang yang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu hingga
sebelum sampai ke rumah kembali adalah perjalan jihad fi sabilillah. Jika ia mati
dalam rangka mencari ilmu maka kematiannya termasuk mati syahid Berdasar
hadits Nabi).

C. HUKUM MENUNTUT ILMU

1. Fardlu ‘ain
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa dikendaki Allah kebaikan, maka Dia
akan fahamkan ilmu tentang Dien (al-Islam)”.
Ilmu ad-din, adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah berupa al-Qur’an dan as-
Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia dalam segala hubungan; hubungan
manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya, demi
kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karena hanya dengan ilmu ad-Din manusia
menjadi mengatahui segala perintah dan segala larangan serta anjuran dari Allah
dan Rasul-Nya, maka tiap muslim wajib bahkan fardlu menguasainya untuk
diamalkan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw :

“ Menuntut ilmu itu fardlu (wajib) bagi tiap-tiap Muslim dan Muslimat (H.R. Ibnu
Majah)
Kata “fardlu” atau “faridlah” menurut para ulama memiliki tingkat konsekuensi
hukum lebih tinggi dari pada kata “wajibun”. Sebab sesuatu yang “diwajibkan”

62
dapat digantikan dengan daam atau denda tertentu. Sedangkan sesuatu yang
difardlukan (misalnya : shalat) tidak dapat digantikan dengan dam (denda).
Dengan demikian perintah mencari ilmu al-Din sama pentingnya dengan
kewajiban mendirikan shalat dan ibdah fardlu lainnya..
Kewajiban ini semakin tampak jelas, pada firman Allah SWT pada S. At-taubah
:122, yakni :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pula berangkat dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam ilmu diin dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat
menjaga dirinya (dari kemurkaan Allah ).”
Dalam keadaan mempertahankan nyawa dan eksistensi negara (daulah
islamiyah) dari ancaman musuh-musuh Islam, diwajibkanlah bagi laki-laki
dewasa untuk angkat senjata. Akan tetapi, ilmu al-Din (al-Qur’an dan As-
Asunnah) mutlak dibutuhkan bagi tiap-tiap muslim untuk taat kepada Allah, baik
dalam keadaan perang maupun damai, maka mutlak pula sumber ilmu din itu
(ulama’) harus tetap ada. Mereka jihad bukan untuk perang angkat senjata, tetapi
jihad memerangi kebodohan terhadap agamanya .
Hakekat kewajiban mencari ilmu din bagi tiap muslim dan muslimat (fardlu
‘ain), adalah semata-mata didasarkan wajibnya setiap muslim untuk mentaati
Allah dan Rasulnya dengan benar (beribadah), dalam kedudukannya sebagai
‘abdullah (hamba Allah).
Menurut DR. Yusuf Qordlawi (Ulama besar Mesir), yang termasuk ilmu-ilmu
fardlu ‘ain ada 4 jenis, yakni :
a. Ilmu mengenai aqidah yaqiniyah(prinsip-prinsip aqidah yang harus dipercayai)
yang benar, selamat dari syirik dan khurafat.

63
b. Ilmu yang membuat ibadah seseorang berjalan dengan benar sesusai dengan
ketentuan yang diasyariatkan. Demikian secara lahiriyah. Sedangkan secara
batiniyah memenuhi syarat niat dan ikhlash karena Allah.
c. Ilmu yang dengannya jiwa dibersihkan, hati disucikan, segala fadlilat
(keutamaan) dikenal, untuk kemudian diamalkan. Dikenal pula radzilah
(kenistaan) atau yang dibinasakan untuk kemudian ditinggalkan dan dijaga.
d. Ilmu yang bisa mendisiplinkan tingkah laku dalam hubungan sesorang dengan
dengan dirinya, keluarganya, atau dengan masyarakat, baik itu penguasa
maupun rakyat, muslim atau non muslim. Dengan begitu ia mengetahui
hukum halal-haram, wajib bukan wajib pantas atau tidak pantas, bermanfaat
atau tidak bermanfaat.

Ilmu mengenai aqidah yaqiniyah(prinsip-prinsip aqidah yang harus dipercayai)


yang benar, selamat dari syirik dan khurafat.

2. Fardlu Kifayah
Fardlu kifayah berkaitan dengan kewajiban kolektif kaum muslimin untuk
melayani kebutuhan sosial demi kesejahteraan ummat. Suatu amal yang
diwajibkan atau difardlukan secara kifayah berkait dengan tugas wajib manusia
dalam kedudukannya sebagai khalifah fil ardli (wakil Allah di bumi). Tugas ini
tidak mungkin dilakukan secara bersama-sama dalam segala urusan, sebagaimana
mustahilnya pengurusan jenazah dilakukan oleh semua muslim. Jika demikin
justru akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya.
Ilmu fardlu kifayah adalah ilmu-lmu yang terkait dengan upaya menjawab
kesulitan-kesulitan manusia untuk memenuhi kebutuhnnya yang semakin
komplek. Apabila ilmu ini sudah ditekuni oleh sebagian orang (ilmuwan)
sehingga mencukupi kebutuhan masyarakat, maka terlepaslah kewajiban muslim
lainnya. Mereka wajib menekuni bidang ilmu di bidang keahlian masing-masing
(spesialisasi). Diantara ilmu-ilmu yang difardlukan secara kifayah ialah :
pendalaman ilmu-ilmu tafsir, ilmu musthalahul hadits, ushul fiqh, ilmu
kedokteran, ilmu teknik, kelautan dsb.

64
Hakekat menuntut ilmu fardlu kifayah tiada lain, kecuali semata-mata dalam
rangka menjalankan perintah Allah untuk menjadikan dirinya semakin optimal
dalam memenuhi dan menjawab masalah social ummat, sebagai konsekuensi
tugas sebagai khalifah Allah (wakil/pemimpin) di bumi. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw : “Sebaik-baik manusia (khalifah), adalah orang yang paling
besar memberikan manfaat bagi manusia”.

A. Klasifikasi Ilmu

Pada dasarnya ilmu dibagi atas dua bagian besar yakni ilmu-ilmu tanziliyah yaitu
ilmu-ilmu dikembangkan akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan
Allah dalam kitab-Nya maupun hadits-hadits Rasulullah saw, dan ilmu-ilmu
kauniyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya
dengan alam dan manusia .
Bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, ilmu-ilmu tanziliyah telah berkembang
sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang dan ranting yang sangat banyak diantaranya
‘ulumul qur’an, ulumul hadits, ushul fiqh, tarikhul anbiya’ , ilmu kalam, dsb.
Ilmu-ilmu kauniyah melahirkan berbagai cabang dan ranting ilmu, sebagaimana
mengikuti pola taksonomi ilmu (science bara Sekuler) saat ini ilmu dibagi dalam tiga
cabang besar : science social, science exact, dan Humaniora. Masing-masing
bercabang dan ranting yang sedemikian banyak dan terus semakin banyak.

E. PERBEDAAN MENDASAR KONSEP ILMU DENGAN SAINS BARAT


Ilmu dengan berbagai cabangnya, terus berkembang dengan cepat. Tetapi
sejalan dengan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam kehidupan manusia
terus makin dipersoalkan dan dipelajari. Orang selalu tidak puas dengan jawaban
yang ada, selalu bertanya dan bertanya, maka ilmu baru terus bermunculan.
Kebenaran ilmu selalu dipertanyakan. Kebenaran baru selalu menjadi hipotesis bagi
penelitian selanjutnya. “Kebenaran adalah relatif”, demikian kata para ilmuwan.
Benarkah demikian ?

65
Ilmu pada hakekatnya adalah berpangkal pada kepastian, karena berpangkal
pada penciptaan yang sempurna dan pasti. Ia berpangkal pada kebenaran yang mutlak
yang datang dari Allah SWT. Baik secara deduktif maupun induktif, al-Qur’an dan al-
Hadits telah menjelaskan kerangka maupun isinya. Oleh karena itu agar setiap
permasalahan atau segala sesuatunya yang berkaitan dengan upaya agar ilmu
semakin tercerahkan, maka seharusnya ulama’ dan ilmuwan Islam menjadikan Al-
Qur’an sebagai “kaca mata” dalam melihat ilmu.
Untuk mengetahui lebih jelas perbedaan mendasar antara konsep ‘ilmu dalam
kacamata Al-Qur’an dan konsep ilmu dalam kacamata Barat modern (science), maka
tinjauan secara filosofis (filsafat ilmu) menjadi sangat membantu.

Filsafat Filsafat adalah ; “Cara berfikir radikal dan menyeluruh, suatu cara mengupas
Ilmu sedalam-dalamnya” (Yuyun S. Sumantri, 1988). Atau mencari kebenaran dari
kebenaran untuk kebenaran dan cara berfikir secara radikal sistematis universal
tentang Tuhan, manusia dan alam semesta, ( A.M Saefudin, 1987).

Dalam filsafat ilmu, ada tiga aspek yang menjadi pilar penyangga dari sebuah ilmu,
yakni aspek ontologi, epistemologi dan aspek aksiologi.
Perbedaan mendasar antara ilmu dalam Konsep Islam dengan Ilmu dalam konsep
Barat modern sekuler (science ) dapat dibaca pada table berikut:

PERBEDAAN ANTARA ILMU (ISLAM) DAN SCIENCE (BARAT )


Tinjauan Ilmu (Islam) Science (Barat )
Ontology : 1. Ilmu berprinsip bahwa pengetahuan Realitas wujud pokok yang
Asal usul pengetahuan/ bersumber dari dua realitas yang benar-benar dipandang “ada “ hanyalah
hakekat obyek. ada, yang harus diketahui manusia; apa yang tampak, yang materi,
Hal ini berdasar pada a. Realitas ruhani/ghaib/ supra sensoris yang bisa diukur dengan
pandangan manusia /metafisik ; Allah sebagai pencipta realitas panca indera dan rasio. Selain
tentang hakekat wujud ghaib dan materi : 7 : 185 . Ini sebagai itu tidak ada / tidak riil. Yang
(ralitas). Apakah realitas obyek ilmu yang pokok/utama yang wajib ada ya hanya alam nyata ini.
yang sesungguhnya diketahui. Bukan pengetahuan yang
hanya berwujud b. Realitas materi/sensoris : ciptaan Allah benar jika berdasar pada apa
materi/empiris/sesnsoris (alam dan manusia); obyek ilmu kedua. yang tidak empiris.
atau juga sebaliknya? Kedua obyek ilmu ini harus dipandang sebagai Wujud ruh hanya praduga,

66
satu kesatuan antara “kerajaan langit” dan mitos, khayalan, ilusi, fantasi
“kerajaan bumi” ; prinsip keutuhan ini dikenal pikiran manusia, termasuk
dengan prinsip tauhid
Tuhan (Allah)!
Ontologi sciense bertumpu
pada prinsip atheisme
materialistic

Epistemologi: Berdasar Q.S. : An-Nahl : 78 Memastikan prinsip


Membahas bagaimana “……dan Dia memberimu pendengaran, empirisme, yang hanya
cara sampainya subyek penglihatan, dan qalbu (hati) agar kamu menerima satu-satunya
kepada obyek ilmu : bersyukur.” fakultas : indera – rasio
melalui apa dan Ada dua prinsip : sebagai jalan menuju obyek
bagaimana ? Selain menetapkan indera dan rasio juga satu-satunya realitas pula ;
Apa kriteria kebenaran menetapkan pengakuat terhadap hati (qalbu) material. Sekaligus menolak
ilmiahnya ? sebagai fakultas jalan menuju pengetahuan metode qalbu sebagai cara
yang obyektif sesuai dengan realitas masing- untuk mencapai obyek
masing. (sesuai prinsip ontology di atas). realitas.
Metodologinya ada dua; metode ilmiah empiris
dan metode ilmiah intiutif/kasf. Al-qur’an dan (dalam rangka mencari ilmu /
hadits merupakan standard kebenaran ilmiah aktivitas ilmiah tidak terikat
melalui kesempurnaan fungsi qalbu Nabi hokum-hukum agama :
Muhammad saw. sekuler).
(jelas aktivitas ilmiah terikat oleh aturan formal
syariah Islam)

Aksiologi : Ilmu dicapai dan dikembangkan untuk dua Berdasar pada prinsip
Menjelaskan mengenai tujuan : Pragmatisme-utilitarian.
standard nilai dalam 1. Dengan menguasai ilmu syari’at untuk Dimana ukuran etis tidak etis
penggunaan dan menyelamatkan manusia dari kehancuran didasarkan pada berguna atau
pengembangan dunia dan akhirat akibat kedhaliman antara tidak bagi orang, kelompok,
pengetahuan. Untuk apa satu dengan yang lainnya. Untuk menjadi bangsa tertentu pada kondisi
dan atas dasar apa hamba Allah yang taqwa (taat). tertentu pula; yang tidak
pengetahuan 2. Dengan teknologi (ilmu kealaman material) mungkin sama. Tidak ada
dikembangkan ? untuk menciptakan kesejahteraan material patokan yang pasti.
ummat manusia dengan memanfaatkan Kata F. Bacon (bapak
alam secara maksimal, dalam rangka materialisme) Ilmu itu bagai
menjalankan fungsinya sebagai khalifah kekuasaan; jadi malapetaka
Allah di bumi. Ilmu harus diarahkan pada atau berkah bagi manusia
nilai-nilai ihsan (kebaikian) dan menolak tergantung orang ynag

67
nilai-nilai fasad (kerusakan) moral dan menggunakan kekausaan itu
kerusakan alam Al-Qashash : 77 (ilmuwan) atau pengusa
3. Standard nilai sudah pasti dan universal. ilmuwan.”
Setiap ilmuwan terikat oleh dua Makin menguasi ilmu makin
pertimbangan di atas. bebas dan tidak terikaat oleh
4. Makin menguasasi ilmu makin terikat nilai- nilai-nilai agama tertentu.
nilai ihsan dan tanggung jawab ummat. Bersifat bebas nilai / netralitas
Karenanya aktivitas indera dan hati harus etik, alias tak bermoral !
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan.
Makin tinggi keilmuan makin dekat dengan
sifat-sifat kecendekiawanan, keulamaan dan
kenabian.

F. HUBUNGAN ANTARA ONTOLOGY, EPISTEMOLOGY DAN


AKSIOLOGI ILMU (ISLAM)

Dalam bentuk yang lebih utuh dan dinamis hubungan antara ontology,
epistemology dan aksiologi ilmu (Islam) dapat difisualisasikan dengan skema sebagai
berikut:
SKEMA HUBUNGAN INTEGRAL EPSTEMOLOGI ISLAM
( Berdasar : Q.S. Fushshilat : 53)

ALLAH
(Al-‘Alim)
Ilmu ladunni/kasf

Al-Qur’an 1. Jagad raya


2. Diri sendiri

observasi
Obsevasi

informasi

68
Informasi

Asumsi
Asumsi

Konklusi Konklusi

Epistemology
Ulil Albab Barat

Keterangan :

1. Aspek Ontologis :
Allah : sebagai sumber segala pengetahuan menginformasikan ilmu-Nya melalui
al-Qur’an (ayat qauliyah) dan melalui ciptaan-Nya : jagat raya dan diri manusia (ayat
-ayat kauniyah/fenomena).
2. Aspek epistemologis:
Pengetahuan yang hakiki tentang Allah, jagad raya, dan diri sendiri secara optimal, maka
manusia harus mengembangkan tiga cara/jalur : Pertama: mengimani dan mengilmui al-
Qur’an dan Assunnah (syar’iyah), kedua: mengembangkan pengkajian dan peneliatan alam.
Ketiga : berkomunikasi langsung dengan Allah melalui dzikir untuk mendapatkan ilham
(ilmu ladunni). Aktivitas ilmiah pada fenomena alam akan memberikan fakta-fakta tentang
kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Aspek aksiologis :
Dengan petunjuk al-Qur’an, kesucian hati , dan didukung bukti nyata kebenaran akan
kekuasaan dan keagungan Allah di di alam, akan terpancar keimanan, kearifan dan
kemampuan untuk memanfaatkan potensi alam pada mahasiswa Islam (ulil albab).

B. TANGGUNG JAWAB KAUM CENDEKIAWAN

Kata “Intelektual” (cendekia) diberi macam-macam arti. Begitu beragamnya,


definisi intelektual, sehingga Raymond Aron melepaskan istilah itu sama sekali.
Akan tetapi James Macgregor Burn ketika bercerita tentang intellectual leadership
sebagai Transformiong leadership, mengartikan intelektual sebagai : a devotee of
ideas, knowledge values ( ialah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai,

69
tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis). DR. Ali Syariati
(tokoh intelektual besar dalam Revolusi Iran) menyebut intelektual dengan istilah
“Rausyanfikr” (Persia) yang artinya “pemikir yang tercerahkan”.

a. Kaum Intektual (cendekiawan), sarjana dan ilmuwan

Cendekiawan bukan sarjana; yang hanya menunjukkan kelompok orang


yang sudah melewati pendidikan tinggi dan telah memperoleh gelar sarjana(S1,
S2, S3) . Cendekiawan juga bukan sekedar ilmuwan yakni orang yang mendalami
dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Cendekiawan ialah
orang-orang yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap
aspirasi mereka, merumuskannya dengan bahasa yang dapat dipahami setiap
orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah (Ali syariati :
1992)
Cendekiawan ialah orang yang menggabungkan kekuatan moral, ilmu, dan
teknik untuk memberikan solusi bagi masalah-masalah kemanusiaan. Lewat
pencerahan ilmiah, didorong oleh keinginan untuk memberikan kontribusi praktis
bagi masyarakatnya, terutama sekali karena keterikatannya pada nilai-nilai
(termasuk agama) yang dimuliakannya, seorang cendekiawan cenderung kecewa
kepada kemapanan. Ia terpanggil untuk memberikan perlawanan sosiokultural.
Ia independen ; hanya mau terikat oleh nilai-nilai yang dianutnya saja.
Contoh ; Albert Einstin; tercermin ciri kecendekiawanan pada ucapannya :
“Saya benar-benar bersyukur bahwa kebanyakan para ilmuwan betul betul
menyadari tanggung jawab mereka sebagai sarjana dan warga dunia; dan
bahwa mereka tidak mejadi korban wabah hysteria yang mengancam masa
depan kita dan anak-anak kita …
Kita tidak salah ketika menyalahkan cendekiawan Jerman yang menyerah
tanpa syarat pada kendali pemerintah yang tidak layak. Adalah sah untuk
menghukum mereka atas kejahatan yang mereka lakukan walaupun mereka
berdalih bahwa mereka terpaksa melakukannya. Saya berharap bahwa para
cendekiawan kita bertekad untuk munghindari kesalahan yg sama ; sikap yang
sejauh ini mereka miliki memperkuat harapan ini”. (Einstin on Peace, 1960 :
343)

2. Para Nabi dan Ulama’ dan Ulil albab (Cendekiawan Muslim)

Para Nabi adalah orang-orang yang lahir dari tengah-tengah


massa (ummi), lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah)
yang sanggup “mengubah satu masyarakat menjadi kekuatan

70
Para Nabi/Rasul
& Ulama’

yang bergejolak dan kreatif, , yang pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan
dan pahlawan” (Ali Syari’ati: 1992)

Para nabi datang bukan sekedar mengajari dzikir dan do’a, tetapi mereka datang
dengan suatu ideology pembebasan. Para Nabi, dengan demikian, adalah para
cendekiawan paling utama bahkan gurunya kaum cendekiawan. Sedangkan
para ulama’, adalah warasatul anbiya’ (pewaris para Nabi), demikian menurut
sabda Rasulullah saw.

Cendekiawan (intelektual Muslim), memiliki kriteria


Cendekiawan
Muslim (ulil pokok selain kriteria kecendekiawanan umumnya, mereka
albab) harus menguasai dan memahami ajaran Islam
menjadikannya sebagai acuan nilai dan normanya.
Dalam hal ini al-Qur’an menyebutnya sebagai kaum Ulil Albab ( Men
of understanding, men of wisdom). Mengingat luas dan kompleknya
pengertian ulil albab yang tidak mungkin terwakili dengan definisi berupa
rangkaian kata-kata singkat dan padat.Ia bersifat epistemik, sehingga hanya
dapat dijelaskan melalui penyebutan ciri-cirinya atau karakteristiknya.

Karakteristik 1. Dilukiskan sebagai orang yang diberi hikmah (2:269)


Ulil albab Yang sanggup mengambil pelajaran dari ummat terdahulu
(12:111)
2. Kritis mendengaran pembicaraan atau ungkapan pemikiran orang lain
dan supportif dengan mengikuti pendapat yang terbaik(39:18)
3. Bersungguh-sungguh mencari ilmu (3:7)
4. Dengan merenungkan (menganalisa) memanfaatkan secara optimal untuk
kesejahteraan manusia terhadap ciptaan Allah di langit dan di bumi (3:190-
191)
5. Dan mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah
(38:29, 40:54, 3:7)
6. Sanggup sendirian mempertahankan keyakinannya dan tidak terpesona

71
dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan (5:100)
7. Berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan
mengajari mereka prinsip Tauhid (14:52)
8. Memenuhi janji kepada Allah, menyambungkan apa yang diperintahkan
oleh Allah menghubungkannya (silaturrahim), memberi infaq dan menolak
kejelekan dengan kebaikan (13:20-22) ]
9. Bangun tengah malam dan mengisinya dengan ruku’ dan sujud
di hadapan Allah ( 39:9)
10. Serta banyak berdzikir (ingat Allah) dalam segala keadaan (3:190)
11. Hanya takut kepada Allah saja (5:100, 13:21)

72

Anda mungkin juga menyukai