Anda di halaman 1dari 10

RELEVANSI KEGIATAN MALAPRAKTIK DI INDONESIA SAAT INI

Nama Mahasiswa (NIM Mahasiswa)

[LOGO UNIV]

PRODI XX
JURUSAN XX
FAKULTAS XX
UNIVERSITAS XX
2022
ABSTRAK

Saat ini, kasus pelanggaran medis berupa kasus malapraktik begitu marak terjadi di Indonesia, khususnya
pada bidang kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tenaga kesehatan baik itu dokter, perawat, maupun tenaga
kesehatan yang lainnya yang tidak berhasil dalam melakukan perawatan dan melakukan kesalahan dalam praktiknya
sehingga menyebabkan kecacatan fisik, kerusakan tubuh, cedera anggota tubuh, hingga bahkan kematian. Dalam hal
ini, perlindungan payung hukum bagi korban terhadap kasus malapraktik dapat dilakukan dengan cara menuntut
dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan melalui pengadilan sehingga dapat ditindak lebih lanjut. Metode
penelitian yang digunakan dalam tulisan kali ini adalah metode hukum normatif. Metode hukum normatif ini dapat
dilakukan dengan cara mempelajari dan mengkaji studi dokumen yang berperan sebagai data sekunder, seperti
peraturan perundang-undangan baik yang terdapat pada literatur maupun pada undang-undang itu sendiri, teori
hukum, dan beberapa pendapat dari para ahli. Selain itu, penulis juga menggunakan hukum kesehatan yang berlaku
di Indonesia, yaitu Undang-undang Praktik Kedokteran dan Undang-undang Kode Etik Kedokteran yang merupakan
payung hukum terhadap tenaga kesehatan yang melakukan malapraktik dan korban malapraktik itu sendiri.
Berdasarkan UU tersebut, kasus malapraktik ini merupakan tindakan yang disengaja oleh tenaga kesehatan akibat
kesalahan dan kelalaian yang dilakukannya sehingga malapraktik dapat dianggap sebagai tindak pidana. Terdapat
beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan malapraktik di kalangan tenaga kesehatan.

Kata Kunci: Malapraktik; Hukum Kesehatan; Tenaga Kesehatan; Tindak Pidana; Dokter
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada umumnya, peningkatan mutu kesehatan masyarakat menyangkut semua
aspek yang ada di kehidupan baik aspek fisik maupun aspek sosial ekonomi. Peningkatan
mutu kesehatan kepada setiap warga negara di Indonesia merupakan suatu kewajiban
pasti karena dengan meningkatkan mutu kesehatan masyarakat akan sama saa dengan
memberi perlindungan kepada seluruh warga negara Indonesia. Pemerintah Indonesia
pun sudah merancang tujuan nasional di bidang pembangunan kesehatan dengan tujuan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, serta kemampuan hidup sehat dan layak bagi
setiap warga negara agar dapat terwujudnya derajat kesehatan warga negara Indonesia
yang setinggi-tingginya1. Dalam mewujudkan tujuan pembangunan kesehatan nasional
guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya tersebut, tidak
hanya diperlukan sosialisasi penyakit dan penyebarannya, tetapi juga diperlukan
bagaimana peranan hukum sebagai pengatur dan pengawas semua tindakan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti dokter dan perawat, serta rumah sakit. Maka dari
itu, dapat dikatakan bahwa peranan hukum yang berlaku di Indonesia akan sangat
memegang peranan penting karena dengan adanya teknologi-teknologi serta fasilitas
rumah sakit yang semakin berkembang dan semakin canggih seperti saat ini, kontrol
sosial dari setiap manusia yang mempunyai sifat konvensional hampir dapat dipastikan
bahwa tidak akan mampu bekerja secara maksimal dan optimal2.
Peraturan perundang-undangan kesehatan berdasarkan UUD 1945
mengamanatkan bahwa kesehatan ialah hak asasi manusia dan setiap orang berhak untuk
hidup secara nyaman dan sejahtera, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pada
pasal 34 ayat 3 juga dikatakan bahwa negara bertanggung jwab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pemerintah dan negara memiliki kewajiban untuk menyehatkan
warga negaranya yang sakit dan mengupayakan kesehatan terhadap warganya dengan
mengikutsertakan masyarakat dalam upaya peningkatan, penyembuhan, pencegahan,
serta pemulihan yang memiliki sifat menyeluruh, terpadu, serta berkesinambungan 3.
Berdasarkan pasal 50 hingga pasal 54, dijelaskan pada undang-undang tersebut
bahwa terdapat persetujuan medis antara dokter dan pasien sehingga menciptakan baik
hak maupun kewajiban di antara keduanya. Pada persetujuan ini, dokter atau tenaga
kesehatan harus berupaya dengan segala ikhtiar dan usahanya untuk mengerahkan
segenap keterampilan, ilmu pengetahuan, serta kemampuannya untuk menyembuhkan
pasien. Dokter atau tenaga kesehatan juga harus memberikan perawatan dengan hati-hati
dan penuh perhatian sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang berlaku. Bila dokter
atau tenaga kesehatan tersebut merasa tidak menyanggupi maka dokter atau tenaga
kesehatan tersebut harus mengambil alternatif untuk merujuk dokter dan atau tenaga
kesehatan lainnya.
Setiap kegagalan tindakan medis yang terjadi merupakan tanggung jawab seorang
dokter. Hal ini disebabkan karena perawat harus selalu di bawah pengawasan dokter

1
Kementrian Kesehatan, Naskah Akademik RUU Rumah Sakit, hlm. 1.
2
Muntaha, Hukum Pidana Malpraktik Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana, (Sinar Grafika, 2017).
3
Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
ketika dalam melaksanakan tugasnya. Perawat membantu dokter dalam memberikan
pelayanan pengobatan dan tindakan-tindakan khusus lainnya yang seharusnya dilakukan
dan menjadi wewenang seorang dokter. Selain itu, dalam beberapa pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, terdapat beberapa
tindakan malapraktik atau kesalahan medis yang dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lainnya. Umumnya, kelalaian dan kesalahan yang terjadi tersebut disebabkan
karena perawat yang bertugas mengurus pasien lalai dalam tugasnya mendiagnosa pasien
atau kelalaian lainnya.
Berdasarkan hukum pidana, untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan medis
tersebut, dapat dibuktikan dengan terlebih dahulu membuktikannya melalui pendekatan
medis. Hal ini disebabkan karena pertanggungjawaban seorang dokter sangat berat
karena setiap dokter telah dilakukan tindakan terapeutik dan diagnostik yang diikat oleh
lafal sumpah jabatan dan kode etik profesi4.

B. Rumusan dan Urgensi Pemabahasan

Dari pembahasan latar belakang di atas, maka penulis bermaksud membahas materi
yang terangkum dalam rumusan pembahasan sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan malapraktik tenaga
kesehatan pada bidang kesehatan?
2. Bagaimana pertanggungjawaban dokter sebagai tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan malapraktik terhadap pasien?

Adapun Tujuan dan Urgensi Pembahasan ini adalah untuk:


1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan malapraktik yang
terjadi di kalangan tenaga kesehatan di Indonesia.
2. Mengetahui sikap pertanggungjawaban dokter yang melakukan tindakan malapraktik
terhadap pasien yang berlandaskan kepada payung hukum yang berlaku.

C. Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan kali ini adalah metode hukum
normatif. Metode hukum normatif ini dapat dilakukan dengan cara mempelajari dan
mengkaji studi dokumen yang berperan sebagai data sekunder, seperti peraturan
perundang-undangan baik yang terdapat pada literatur maupun pada undang-undang itu
sendiri, teori hukum, dan beberapa pendapat dari para ahli. Selain itu, penulis juga
menggunakan hukum kesehatan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang Praktik
Kedokteran dan Undang-undang Kode Etik Kedokteran yang merupakan payung hukum
terhadap tenaga kesehatan yang melakukan malapraktik dan korban malapraktik itu
sendiri.

4
Ann Helm. Malpraktik Keperawatan. Buku Kedokteran Egc. Jakarta. 2006
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Malapraktik dan Unsur-unsurnya

Malapraktik berasal dari kata “mala” dan “praktik”. Kata “mala” memiliki arti
tidak semestinya dan kata “praktik” merupakan suatu proses penanganan pasien dari
seseorang yang telah diakui professional yang bekerja sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan oleh kelompok profesinya.
Menurut pendapat M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir (1999), tindakan
malapraktik merupakan suatu tindakan kelalaian dokter untuk menggunakan tingkat
keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien dan atau orang
yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Dalam hal ini, kelalaian yang
terjadi disebabkan karena sikap kurang kehati-hatian. Kelalaian diartikan pula sebagai
perlakuan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis yang berlaku (standar
profesi dan standar prosedur operasional)5.
Selain itu, terdapat beberapa unsur dari kasus malapraktik, di antaranya adalah:
a. Terdapat unsur kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan ketika sedang
menjalankan pekerjaannya;
b. Terdapat perbuatan yang tidak sesuai dengan standar prosedur operasional
(SOP) kesehatan;
c. Terdapat hubungan kausal, yaitu luka berat yang dialami korban atau pasien
merupakan akibat dari perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan medis;
d. Terdapat luka berat pada pasien berpotensi menyebabkan pasien mengalami
kecacatan fisik atau bahkan meninggal dunia.
Berikut adalah contoh malapraktik yang umumnya terjadi akibat kelalaian dokter
atau tenaga kesehatan:
a. Tidak mengikuti standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Kesalahan menentukan diagnosis;
c. Menjahit luka akibat operasi dengan tidak teratur sehingga pasien mengalami
infeksi berat;
d. Menunda operasi persalinan sehingga janin yang berada di dalam kandungan
ibunya meninggal;
e. Meninggalkan kateter di dalam perut pasien.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tindakan Malapraktik


Terdapat banyak sekali kemungkinan yang dapat berpotensi memicu tenaga
kesehatan melakukan kelalaian atau malapraktik. Terdapat tiga identifikasi area yang
memungkinkan tenaga kesehatan memiliki risiko untuk melakukan kesalahan, di
antaranya adalah sebagai berikut:

5
Hanafiah, M. Jusuf; Amri, Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Buku Kedokteran. Jakarta. 1999
a. Assessment Errors
Merupakan suatu kelalaian dalam pengumpulan informasi mengenai pasien yang
diperlukan, seperti tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium, dan informasi-
informasi lainnya yang dinilai penting. Kelalaian dalam pengumpulan informasi ini
akan menyebabkan ketidaktepatan pengambilan keputusan diagnosis yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan sehingga berpotensi dapat terjadi kesalahan dalam tindakan
yang diambil tenaga medis.
b. Planning Errors
Planning Errors dapat terjadi karena kelalaian dalam pencatatan masalah pasien,
kelalaian menuliskan dalam rencana keperawatan, kelalaian mengkomunikasikan
rencana keperawatan secara efektif (seperti penggunaan bahasa yang tidak dipahami
oleh perawat lain dengan pasti), kelalaian memberikan asuhan keperawatan secara
berkelanjutan yang dapat disebabkan karena adanya kekurangan informasi yang
diperoleh dari rencana keperawatan, serta kelalaian pemberian instruksi yang
seharusnya dapat dimengerti baik oleh pasien maupun tenaga kesehatan.
c. Intervention Errors
Intervention Errors merupakan kelalaian penginterpretasian suatu tindakan kolaborasi
dan kelalaian mencatat pesanan yang berasal dari dokter. Hal ini termasuk kelalaian
yang paling sering terjadi pada bidang keperawatan. Selain itu, terdapat juga kelalaian
berupa pengidentifikasian pasien yang belum dilakukan tindakan, kelalaian
pemberian obat yang secara tidak tepat. Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya
hal-hal tersebut diperlukan komunikasi yang baik dan efektif antara anggota keluarga,
tenaga kesehatan, maupun pasien itu sendiri 6.
Selain ketiga faktor di atas, terdapat juga faktor tingkat pengetahuan tenaga
kesehatan. Tingkat pengetahuan tenaga kesehatan yang masih sangat minim akan
menyebabkan potensi malapraktik semakin besar. Hal ini disebabkan karena ketika
perawat atau tenaga kesehatan lain ingin mengambil tindakan terhadap pasien, perawat
harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sehingga hal ini dapat memakan waktu
yang lama dan dapat merugikan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Selain itu,
ketika tingkat pengetahuan perawat kurang, sementara perawat harus mengambil
tindakan karena pasien harus segera ditolong, tetapi tindakan yang diambil oleh perawat
atau tenaga kesehatan tersebut salah, maka hal tersebut juga dapat merugikan pasien dan
bahkan dapat menyebabkan kematian pada pasien.
C. Sikap Pertanggungjawaban Dokter yang Melakukan Tindakan Malapraktik
Tanggung jawab seorang dokter, khususnya dalam bidang hukum, dapat terjadi
baik dalam bidang hukum pidana maupun hukum perdata. Pada bidang hukum perdata,
dokter dinilai bertanggung jawab ketika dokter tidak melaksanakan kewajiban profesinya
(wanprestasi) atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana seperti yang telah
disepakati sebelumnya. Tindakan dokter dapat dikategorikan wanprestasi ketika tidak
melakukan menurut kesepakatan sebelumnya, melakukan apa yang menurut
kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat, dan melakukan sesuatu yang
6
Husaeni, Mimin Emi. Etika Keperawatan, Aplikasi Pada Praktik. Buku Kedokteran Egc. Jakarta. 2004.
kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Ketika dokter sudah melakukan hal-hal
tersebut, maka dokter dapat dikatakan berslah dan melakukan perbuatan melawan hukum.
Menurut pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”, seorang dokter wajib
bertanggung jawab atas kelalaian yang diakibatkannya terhadap pasien. Bentuk tanggung
jawab tersebut dapat berupa pengganti kerugian baik immaterial maupun material
terhadap pasien atau keluarga pasien.
Dokter tidak hanya bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukannya saja,
tetapi juga atas kelalaian yang dilakukan oleh berbagai orang yang menjadi
tanggungannya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa perawat merupakan
tanggung jawab dari seorang dokter. Ketika perawat tersebut melakukan kesalahan atau
kelalaian, maka kesalahan perawat tersebut juga menjadi tanggung jawab seorang dokter.
Tanggung jawab yang dilakukan dapat bersifat korporasi, individual, serta dapat
juga dialihkan kepada pihak lain menggunakan prinsip principle of vicarious liability.
Dengan prinsip tersebut, maka sebuah rumah sakit dapat bertanggung gugat terhadap
kesalahan yang dilakukan oleh tenaga-tenaga kesehatannya dengan syarat dapat
dibuktikan bahwa tindakan tenaga-tenaga kesehatannya dalam rangka melaksanakan
kewajiban rumah sakit.
Selain itu, berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, pasien juga dapat menggugat
seorang tenaga kesehatan yang telah melakukan perbuatan malapraktik yang tentunya
melanggar hukum. Namun, dalam hal ini, peraturan perundang-undangan tidak
memberikan Batasan perbuatan melawan hukum sama sekali sehingga harus ditafsirkan
oleh peradilan.
Dokter dan tenaga kesehatan terkait juga dapat dituntut atas dasar kelalaian yang
menimbulkan kerugian, selain dari yang sudah disebutkan di atas, yaitu penuntutan atas
dasar perlawanan hukum dan atas dasar wanprestasi. Penggugatan dengan atas dasar
kelalaian atau kesalahan tersebut diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata yang mengatakan
bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”.
Selain pada bidang hukum perdata, kelalaian atau kesalahan tenaga kesehatan
juga dapat terjadi di bidang hukum pidana. Payung hukum yang mengatur hal tersebut, di
antaranya adalah Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351,
359, 360, 361, 531 KUH Pidana 7. Selain itu, kewajiban seorang dokter juga telah
menyepakati adanya informed consent atau perjanjian antara dokter dengan pasien dan
wajib memberikan informasi yang cukup dan jelas sebelum tindakan diambil. Informasi-
informasi yang dimaksud mencakup adanya efek samping, risiko yang diakibatkan oleh
tindakan, kemungkinan alternatif lain, serta akibat jika tindakan tidak dilakukan. Payung
hukum yang mengatur tentang informed consent ini sudah diatu dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 585 Tahun 1989.

7
Wiriadinata, Wahyu. Dokter, Pasien, dan Malpraktik. Jakarta. 2016.
Menurut norma hukum pidana yang telah diatur dalam KUH Pidana, kegiatan
malapraktik dapat dipidana berdasarkan Pasal 359 yang menyebutkan bahwa
“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun” dan Pasal 360 KUH Pidana yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa karena
kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi terjadinya kegiatan malapraktik,
di antaranya sebagai berikut:
a. Tingkat pengetahuan tenaga kesehatan yang masih minim;
b. Sumber daya tenaga kesehatan yang ada belum cukup berpengalaman;
c. Komunikasi yang belum optimal antara dokter, perawat, dan pihak tenaga
kesehatan lainnya.
2. Sikap pertanggungjawaban dokter yang melakukan tindakan malapraktik terhadap
pasien dapat berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
seperti Undang-undang KUH Pidana dan KUH Perdata, Undang-undang Praktik
Kedokteran, Undang-undang Kode Etik Kedokteran, serta peraturan-peraturan
lainnya yang mendukung.
DAFTAR PUSTAKA

Asgar, M. A., & Putri, B. (2021). ANALISIS KASUS TINDAK PIDANA YANG
DILAKUKAN OLEH TENAGA KESEHATAN DAN TENAGA MEDIS (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Perkara No.75/Pid.Sus/2019/PN Mbo). Retrieved
from http://repository.unas.ac.id/4967/1/Laporan%20Penelitian%20smt%20Genap
%2020-21%20Asgar.pdf
Aziz, A. (2016). Tinjauan Kriminologi Mengenai Malpraktik Medik Yang Dilakukan Oleh
Perawat. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 2 Volume 2.
Chazawi, A. (2007). Malpraktik Kedokteran (Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum). Malang:
Bayu Media Publishing.
Guwandi, J. (1993). Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Hamzah, A. (1996). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Helm, A. (2006). Malpraktik Keperawatan. . Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Husaeni, M. E. (Jakarta). Etika Keperawatan, Aplikasi Pada Praktik. 2004: Buku Kedokteran
EGC.
Jusuf, H. M., & Amir, A. (1999). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Buku
Kedokteran.
Kementrian Kesehatan. (n.d.). Naskah Akademik RUU Rumah Sakit.
Muntaha. (n.d.). Hukum Pidana Malpraktik Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana. 2017:
Sinar Grafika.
Nawawi, A. B. (2007). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penegakan Penanggulangan
Kejahatan. Jakarta: Kencana.
Priharjo, R. (1995). Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta: Kanisius.
Suryadhimirtha, R. (2011). Hukum Malpraktik Kedokteran. Yogyakarta: Total Media.
Tengker, F. (2010). Hukum Kesehatan Kini dan Disini. CV Mandar Maju.
Trisnadi, S. (2016). REKONSTRUKSI PERLINDUNGAN HUKUM PROFESI DOKTER
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS ANTARA DOKTER DAN PASIEN
YANG BERBASIS NILAI KEADILAN. 1-57. Retrieved from
http://repository.unissula.ac.id/7045/4/BAB%20I.pdf
Wiriadinata, W. (2016). Dokter, Pasien, Dan Malpraktik. Mimbar Hukum Volume 26, Nomor 1,
43-53.

Anda mungkin juga menyukai