Anda di halaman 1dari 6

UTS TINDAK PIDANA KHUSUS

OLEH:

KADEK NOVA ADISTIYA (2014101081)

KELAS 4C

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

2022
RESUME TINDAK PIDANA KHUSUS

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah
Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi
dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasalpasal tersebut
menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana
karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Penyebab perilaku korupsi, yaitu: (1) Didorong oleh motif-motif ekonomi, yakni ingin
memiliki banyak uang secara cepat meski memiliki etos kerja yang rendah, (2) Rendahnya
moral, dan (3) Penegakan hukum yang lemah. korupsi terjadi karena adanya monopoli
kekuasaan, lemahnya akuntabilitas suatu institusi, serta besarnya wewenang yang diberikan
pada seseorang. Adanya ketidakadilan dan perlakuan yang tidak sama juga turut
memunculkan terjadinya korupsi. Korupsi seringkali terjadi dengan mengalahkan suatu
hubungan persahabatan yang sebelumnya terjalin baik dan tulus. Proses korupsi bisa terjadi
secara samar, licin, dan sangat licik. Motif seseorang dalam melakukan korupsi tidak hanya
untuk memperoleh keuntungan secara materi, tapi juga agar bisa meningkatkan hubungan
pertemanan, percintaan, status, dan pencitraan, serta membuat orang lain jadi terkesan,
terpesona, dan mudah terpengaruh.
Faktor-faktor korupsi :
Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi
instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan dan politik uang merupakan
fenomena yang sering terjadi.
Faktor Hukum
Faktor hukum bisa dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi
lain lemahnya penegakan hukum. Ini bisa meliputi aturan yang diskriminatif dan tidak adil,
rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir, hingga sanksi yang
terlalu ringan
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Selain rendahnya
gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi,
diantaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi
pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya.
Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa
kemiskinan merupakan akar masalah korupsi. Namun, kenyataannya korupsi juga dilakukan
oleh orang yang sudah kaya. Ini membuat korupsi sebenarnya bukan disebabkan oleh
kemiskinan, tapi justru sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi.
Faktor organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di
mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang
atau kesempatan untuk terjadinya korupsi.
Sifat tamak/rakus manusia
Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah.
Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku
semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang
memberi kesempatan untuk itu.
Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku
konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang
seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu
kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan
bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk
korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya.
Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman
pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh
segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus
berjalan dengan berbagai bentuk. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya
korupsi di antaranya adalah:
- Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat sendiri.
- Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.
- Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila
mereka ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan.
Aspek ekonomi
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam
hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan
pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
Aspek Politis
Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk
mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat.
Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan
penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasikan secara politik,
melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik,
kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan
perilaku korupsi.
Aspek Organisasi
Aspek organisasi yang menjadi faktor penyebab korupsi di antaranya adalah:
1. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
2. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
3. Kurang meadainya sistem akuntabilitas yang benar
4. Kelemahan sistem pengendalian manajemen
5. Lemahnya pengawasan.
KPK adalah lembaga negara independen dalam rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan
tugasnya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK tidak hanya dibentuk untuk
memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), namun juga sebagai stimulus agar
upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga lainnya berjalan lebih efektif dan efisien.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membentuk satuan tugas (satgas) yang terdiri dari
tim koordinasi dan supervisi (korsup), monitoring, dan Strategi Nasional Pencegahan
Korupsi (Stranas PK). Tujuan satgas dibentuk dalam rangka mengawal serta mendampingi
proses tata kelola hingga pelaksanaan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di
Kalimantan Timur. Pembentukan satgas sesuai permintaan dari Presiden RI Joko Widodo.
Terminologi extraordinary crimes (kejahatan luar biasa) dapat kita temui dalam Penjelasan
Umum UU Pengadilan HAM yang menyatakan bahwa pembentukan undang-undang
tentang pengadilan HAM didasarkan pada sejumlah pertimbangan, salah satunya yaitu:
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan "extraordinary crimes” dan
berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan
merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan
tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera
dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban,
ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Menurut Stuart Ford, extraordinary crimes atau kejahatan luar biasa adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia dan menjadi
yurisdiksi peradilan pidana internasional, serta dapat dijatuhkannya hukuman mati terhadap
pelaku kejahatan tersebut.
Sedangkan Sukardi menerangkan extraordinary crime adalah suatu kejahatan yang
berdampak besar dan multidimensional terhadap sosial, budaya, ekologi, ekonomi dan
politik yang dapat dilihat dari akibat-akibat dari suatu tindakan atau perbuatan yang
ditemukan dan dikaji oleh berbagai lembaga pemerintahan maupun lembaga non
pemerintahan, nasional maupun internasional.
Lalu, Mark A. Drumbl menyebutkan bahwa adanya pengkategorian extraordinary crime
adalah karena kejahatan yang ekstrim secara kuantitatif berbeda dengan kejahatan pada
umumnya, karena kejahatan ini sifatnya jauh lebih serius, dan pelakunya dianggap sebagai
musuh seluruh umat manusia.
Definisi extraordinary crimes memang tidak didasarkan pada aturan hukum atau standar
yang pasti. Dalam hal ini, Muhammad Hatta berpendapat, walaupun ada perbedaan
penafsiran tentang klasifikasi extraordinary crime, tetapi umumnya pakar berpendapat
bahwa sejauh delik-delik tersebut berdampak luas dan sistematik serta menimbulkan
kerugian secara masif maka delik tersebut dapat digolongkan kepada kejahatan luar biasa.
Extraordinary crimes pada mulanya merujuk kepada kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan genosida. Di Indonesia sendiri, yang termasuk dalam extraordinary
crimes di UU Pengadilan HAM adalah pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada dua
bentuk, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
1. membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan apartheid.
Dalam perkembangannya, ada kejahatan lain yang dikategorikan sebagai extraordinary
crimes di Indonesia. Artidjo Alkostar menyatakan bahwa negara Indonesia sejak tahun 2002
dengan diberlakukannya UU KPK mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan
luar biasa (extraordinary crimes), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis
yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Untuk itu memerlukan cara-cara
pemberantasan korupsi yang luar biasa.
Penjelasan Artidjo tentang korupsi sebagai extraordinary crime ini sejalan dengan
Penjelasan Umum UU KPK yang menyatakan tindak pidana korupsi yang meluas dan
sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Eddy O.S. Hiariej sebagaimana dikutip Muhammad Hatta, menjelaskan setidaknya ada 4
sifat dan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa, yaitu:
1. Korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis;
2. Korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak
mudah untuk membuktikannya;
3. Korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan;
4. Korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena
keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai