Anda di halaman 1dari 11

SISTEM PRESIDENSIAL PASCA AMANDEMEN

UNDANG- UNDANG DASAR 1945; STUDI KASUS


KEPEMIMPINAN PRESIDEN SBY DAN JOKOWI
"Dibuat untuk memenuhi syarat penilaian tugas pada mata kuliah studi kepemimpinan islam"

Dosen Pengampu:
Dr. Lucky Enggrani Fitri, S.E., M.Si.

Disusun Oleh:

Annisa Nuryah
C1F019077

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JAMBI
PENDAHULUAN munculnya kembali konflik dan ketegangan
politik dalam relasi Presiden dan DPR relatif
Pasca amandemen konstitusi, salah satu besar. Sehingga, lagi-lagi koalisi gemuk
problematik desain institusi presidensialisme di menjadi jalan keluar, berkaca dari pengalaman
Indonesia adalah menguat dan meluasnya SBY, Joko Widodo (Jokowi) akhirnya rela
kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengingkari janjinya mewujudkan koalisi tanpa
dibanding sebelumnya yang berdampak pada syarat dengan bergabungnya PPP, PAN, dan
munculnya persepsi diri Dewan sebagai watch- Partai Golkar dalam koalisi pendukung
dog bagi kekuasaan eksekutif (Syamsuddin pemerintahan begitu pun dengan Partai
Haris 2014). Demokrat (meski secara diam-diam).

Dengan kewenangan yang semakin dibatasi Upaya itu didasari karena hasil perubahan UUD
dikarenakan respons langsung atas kewenangan 1945 justru memperbanyak titik singgung
konstitusional presiden sebelum reformasi yang kedua lembaga ini bahkan ayunan bandul
dinilai terlalu besar dan tanpa kontrol. Sehingga kekuasaan lebih condong ”sarat DPR” sehingga
dapat disimpulkan bahwa kewenangan purifikasi pasca perubahan UUD 1945 tidak
konstitusional presiden era reformasi, setelah mampu menghilangkan karakter sistem
perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, parlementer dalam sistem pemerintahan
jelas lebih kecil dan terbatas dibandingkan presidensial di Indonesia. Serta pilihan atas
presiden sebelum reformasi (Denny Indrayana kombinasi sistem multipartai dengan sistem
2011: 71). pemerintahan presidensial yang nyatanya
adalah berbahaya (innimical) untuk stabilitas
Meski demikian, Presiden Susilo Bambang politik dan pemerintahan, sehingga
Yudhoyono (SBY) dapat menyelesaikan periode argumentasi menyertainya
pertama dan keduanya, namun peluang bagi adalah yang mendasari perlunya koalisi
multipartai demi stabilitas dukungan
politik di parlemen. Sebab, partai yang tidak orang anggota partai-partai politik yang pernah
bergabung bisa membentuk poros oposisi di menjabat di DPR dengan kategori berasal dari
parlemen. koalisi di pemerintahan di era SBY dan Jokowi;
(2). Satu orang Pelaku/Akademisi yang turut
PERUMUSAN MASALAH terlibat dalam proses Amandemen UUD 1945
(tahun 1999-2002); (3). Satu orang Peneliti
Struktur politik kepartaian jelas turut Politik/Akademisi/Penulis sekaligus tulisan-
mempengaruhi kondisi yang tidak kondusif bagi tulisannya yang memengaruhi penelitian ini; (4)
sistem presidensial yang disebabkan oleh sistem Tiga orang Peneliti/Akademisi yang meneliti
multipartai ekstrem dan terfragmentasi. dan menyoroti kepartaian dan kinerja parlemen.
Implikasinya, selama satu dekade kepemimpinan
SBY kian menunjukkan wajahnya yang lemah HASIL DAN PEMBAHASAN
sebagai presiden lebih sering memosisikan
dirinya dalam posisinya yang terjepit dalam Analisis Sistem Presidensial dan Orientasi
pertarungan partai politik di parlemen. Begitu Partai-Partai Politik
juga dengan Jokowi, namun Jokowi lebih
dilematis karena ia bukan petinggi partai malah Indonesia menerapkan sistem presidensial
sekadar ”petugas partai.” Pada akhirnya, berkombinasi multipartai. Berdasarkan studi
pembahasan tersebut akan mengarahkan kita Scott Mainwaring, jarang sekali presiden
pada beberapa pertanyaan yang akan diulas terpilih berasal dari partai mayoritas. Dengan
dalam penelitian ini yakni: Apa saja faktor- terpilihnya minority president, untuk mencapai
faktor yang memengaruhi relasi kekuasaan mayoritas di parlemen maka presiden akan
Presiden dan DPR pada pemerintahan SBY dan berupaya untuk memperkuat posisinya dengan
Jokowi? Sejauhmana faktor-faktor itu cara melakukan koalisi namun membangun
memengaruhi pemerintahan Presiden SBY dan koalisi yang stabil jauh lebih sulit dalam
Jokowi dalam hubungannya dengan DPR? demokrasi multipartai presidensial.

Dalam membahas fokus penelitian dan Sebab, koalisi tidak bersifat mengikat sehingga
permasalahan di atas, tulisan ini keinginan bagi partai politik
mengaplikasikan rumusan dari Scott untuk membubarkan koalisi lebih kuat
Mainwaring mengenai kombinasi sistem dalam sistem presidensial. Seperti dijelaskan
presidensial dan multipartai serta koalisi dalam oleh Scott Mainwaring, dalam tulisannya
sistem presidensial, dan dilengkapi dengan Presidentialism, Multiparty System, and
analisis orientasi partai-partai politik di Democracy: The Difficult
Indonesia berdasarkan Yasraf Amir Piliang Combination, sebagai berikut: “… In
mengenai Nomadisme Politik. Presidential systems the president (not the
parties) has the responsibility of putting
METODE PENELITIAN together a cabinet. The president may make
prior deals with the parties that support him or
Penelitian ini dirancang dengan pendekatan her, but these deals are not as binding as they
kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus are in parliamentary system. Second, in
yang bersifat instrumental (instrumental case presidential system, the commitment
study), (Norman K. Denzin dan Yvonna S. of individual legislators to support an
Lincoln 2009: 301). Hal mana kasus memainkan agreement negotiated by the party leadership is
peranan suportif, yang memudahkan pemahaman often less secure. Finally, incentives for parties
kita tentang minat-minat yang lainnya, seperti to break a coalitions are stronger in
akan membantu mengungkap tak hanya relasi presidential system, than in many
kekuasaan Presiden dan DPR sesudah parliamentarysystem,”
amandemen UUD 1945 namun juga sebelum (https://www.researchgate.net/publication/2581
amandemen UUD 1945 tersebut. 30109_
The_Presidentialism_Multipartism_and_Democ
Teknik pengumpulan data yang digunakan racy_The_Difficult_Combination).
adalah studi literatur dan wawancara yang
mendalam. Wawancara dilakukan berdasarkan Malah jika kita lihat dalam konteks
pedoman wawancara dan beberapa pertanyaan pemerintahan Presiden Jokowi, presiden
terbuka. Wawancara dilakukan secara mendalam minoritas bukan saja karena dukungan yang
terhadap 7 narasumber yang rendah di legislatif, tetapi juga dari internal
dikategorikan pada empat kelompok: (1). Dua partai dan koalisi partai pendukungnya.
Alasannya jelas karena Jokowi hanya sebagai
”petugas partai” dan bukanlah seorang ketua
umum partai seperti presiden-presiden ● Kombinasi sistem multipartai dengan
sebelumnya.
presidensial menyebabkan koalisi
Lemahnya kesolidan dari partai-partai menjadi barang wajib dalam sistem
pendukung pemerintah juga disebabkan
pergerakan orientasi partai-partai politik yang presidensial, sebab sistem kepartaian di
tidak pernah memiliki ketetapan dan konsistensi Indonesia adalah sistem multipartai
pada tingkat keyakinan atau ideologi politik.
Keyakinan dan ideologi hanya sebuah alat atau moderat tetapi tidak ada satu pun partai
tempat persinggahan saja untuk merealisasikan yang dominan. Kecenderungan ini
kepentingan kelompoknya bukan kepentingan
bangsa atau kepentingan partai mengalahkan umum terjadi di Indonesia lihat saja,
kepentingan bangsa yang lebih besar. Sehingga, Hasil Pemilu 1999, 2004, 2009, dan
yang terjadi adalah terlembaganya nomadisme
partai, yakni pergerakan partai politik yang 2014 sebenarnya tidak berbeda jauh
terus-menerus, pada tingkat citra, lambang, atau dengan hasil Pemilu 1955. Yang
ideologi tanpa pernah mampu mengubah watak,
karakter, dan budaya politiknya. (Yasraf Amir membedakan adalah relasi ideologinya
Piliang, 2005: 156-158). yang lebih cenderung moderat dan
Fluktuasi Relasi Presiden-DPR Pada sentripetal (menuju ke pusat atau ke
Pemerintahan SBY Dan Jokowi integrasi nasional) pada era Reformasi,
Dalam tulisan ini digunakan dua alur sementara pada Pemilu 1955 relasi
pembahasan yaitu: pertama, menjelaskan antarpartai yang satu dengan yang lain
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi relasi
Presiden-DPR pada kepemimpinan Presiden bernuansa konfliktual karena relasi
SBY dan Jokowi, dan kedua, menjelaskan ideologisnya cenderung bercorak
mengenai faktor-faktor yang memengaruhi dari
keberhasilan kepemimpinan Presiden SBY ekstrem dan sentrifugal (menjauhi pusat
selama dua periodenya dan satu setengah tahun atau hendak mengembangkan sistem
kepemimpinan Presiden Jokowi. Sehingga, dapat
dihasilkan fakta penelitian mengenai relasi tersendiri), (Parafrasa Kacung Marijan
Presiden-DPR selama satu dekade Pemerintahan 2010: 80).
SBY dan satu setengah tahun pemerintahan
Presiden Jokowi.
Dukungan partai-partai politik yang mayoritas
Tulisan ini kita awali dengan memetakan di pemerintahan dan parlemen adalah
problem demokrasi presidensial di masa keniscayaan bagi sistem presidensial yang
kepemimpinan SBY dan Jokowi dalam bingkai efektif. Presiden di era Orde Baru tidak
desain konstitusi sesudah amandemen konstitusi, memunyai masalah political support, karena
selama satu dekade kepemimpinan Presiden Golkar selalu menjadi partai pendukung
SBY dan satu setengah tahun kepemimpinan pemerintah yang memunyai kursi mayoritas
Presiden Jokowi cenderung meningkatnya mutlak di parlemen. Sehingga, Presiden
ketegangan dan menuju ke arah konflik dalam Soeharto tidak perlu dipusingkan dengan
relasi Presiden-DPR, yang disebabkan oleh keniscayaan perlunya koalisi di
faktor-faktor seperti diuraikan berikut ini. pemerintahannya. Jalannya pemerintahan dan
kontrol parlemen berada di bawah kendali
Problem pertama dari Pemerintahan SBY dan penuh Presiden – apalagi UUD 1945 kala itu
Jokowi adalah desain koalisi. Koalisi yang juga executive heavy constitution.
dirancang oleh Presiden SBY dan Jokowi juga Konsekuensinya, kontrol kepada Presiden
disebabkan oleh konstruksi perundang- menjadi lemah.
undangan yang mengatur utamanya mengenai
sistem pemilihan umum presiden langsung Sementara itu, pada era demokrasi sekarang, di
(Pilpres) dan kombinasi dari sistem presidensial satu sisi kewenangan Presiden sangat dibatasi,
dan multipartai. di sisi lain kewenangan kontrol DPR menjadi
jauh lebih kuat. Di tambah lagi, Presiden tidak
didukung oleh satu partai yang mayoritas
mutlak sebagaimana era Orde Baru, mayoritas
sederhana saja tidak terjadi. Persoalan semakin
kompleks dan pada akhirnya turut mewarnai
pola hubungan eksekutif dan legislatif pada
khususnya dan pemerintahan pada umumnya
selepas pemilihan presiden. Seperti, mekanisme
Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) yang
mendahului Pilpres secara mendasar membuka
peluang hadirnya sebentuk koalisi yang tidak
berkarakter atau koalisi pragmatis atau acap
disebut sebagai kartelisasi kekuasaan.
Kenyataannya, koalisi yang terbangun tidak
dilandasi oleh sintesa ideologi atau kesamaan
visi yang solid, melainkan lebih didasari oleh
pemenuhan kuota pencalonan berdasarkan struktur komisi-komisi DPR dan proses
jumlah suara dan kursi. pemilihan Ketua MPR. Menyadari bahwa tidak
mudah menjalankan politik pemerintahan
Kondisi di atas juga ditopang oleh model dengan hanya sedikit kekuatan di parlemen,
pemilihan presiden dua putaran. Model Jokowi pun kembali melakukan hal yang
mayoritas mutlak ini di satu sisi memang akan dilakukan sebelumnya oleh SBY yaitu
menyebabkan seorang presiden memiliki melanggengkan koalisi gemuk, konsekuesinya
legitimasi yang kokoh dihadapan rakyat. Di sisi prinsip koalisi tanpa syarat tidak mungkin lagi
lain, dengan nuansa politik tak berkarakter di dapat diteruskan setelah dirangkulnya beberapa
Indonesia, adanya pemilu presiden putaran partai di KMP menjadi koalisi pendukung
kedua justru memberi peluang yang besar bagi pemerintahan seperti PPP, PAN, dan Partai
partai-partai untuk alih suara demi sekadar Golkar serta Partai Demokrat (secara diam-
mendapatkan posisi yang lebih baik, tanpa diam).
mengindahkan komitmen yang telah dibangun
sebelumnya. Jika dikaitkan antara Pemilihan Tentu konsekuensinya, pihak koalisi pendukung
Presiden dua putaran dengan model koalisi, Jokowi-JK perlu berbagi sumber daya, sebab,
maka terjadi tiga tahap koalisi yang dibangun there is no such thing as free lunch, untuk
yakni, koalisi tahap pertama diperlukan untuk mengakomodasinya Jokowi membagi kursi
memenuhi minimal dukungan pencalonan seperti Dewan Pertimbangan Presiden
presiden dan wakil presiden, jika terjadi pemilu (Wantimpres), jabatan Badan Usaha Milik
putaran kedua maka koalisi akan diperbaharui Negara (BUMN), jabatan Duta Besar (Dubes),
guna menghadapi putaran kedua tersebut, tak melulu jabatan Menteri seperti diperoleh
terakhir koalisi dilakukan guna memperbesar oleh PPP, meski tak menutup kemungkinan
dukungan di DPR (Syamsuddin Haris 2014; reshuffle kabinet jilid II ajang bagi-bagi kursi
Denny Indrayana 2011; Saldi Isra, 2014: 137- menteri untuk PAN dan Partai Golkar.
138).
Di lain sisi, di masa kepemimpinan Presiden
Menyadari bahwa kombinasi sistem presidensial SBY, utamanya permasalahan lain dari
dengan multipartai moderat tetapi tidak ada satu perjalanan sistem presidensial yang dialami
partai memperoleh suara mayoritas, berimplikasi masa pemerintahan SBY-JK (2004-2009) juga
terhadap pembentukan koalisi yang dibentuk terasa pula pada hubungan presiden dan wakil
oleh Yudhoyono yakni, membentuk governing presiden dalam kaitannya dengan presiden
coalition dan parliamentary coalition. Atau minoritas. Bagaimanapun, kecuali di masa Orde
dengan kata lain, bisa memunculkan koalisi Baru yang relatif penuh harmoni, disebabkan
tahap ketiga tersebut, yakni dalam upaya untuk pemilihan wakil presiden di MPR pada
memperbesar dukungan di DPR. dasarnya bersifat ”formalitas” belaka,
sementara itu pola hubungan presiden dan
Berbeda dengan di era Jokowi, hanya terdiri atas wakil presiden di Indonesia selalu diwarnai
dua pasangan calon presiden (capres) yakni riak-riak serta kesan terjadinya ketegangan dan
antara Jokowi dan Prabowo. Namun, Koalisi persaingan utamanya di pemerintahan SBY-JK.
Indonesia Hebat (KIH) pendukung pasangan Salah satu sebab utamanya adalah presiden dan
calon Jokowi-Jusuf Kalla (JK) yang terdiri atas wakil presiden berasal dari partai politik dan
Partai Hanura, Partai Nasdem, PKB, dan PKPI golongan yang berbeda (kohabitasi), sehingga
secara keseluruhan mengumpulkan 41,43% antara kedua pengemban jabatan ini kerap
suara yang merepresentasikan kekuatan mereka memunyai pandangan politik yang berbeda, ini
di DPR. juga kembali terjadi antara Jokowi-JK meski
tidak secara terang-benderang seperti di masa
Koalisi itu, kalah dibandingkan barisan SBY- JK. Perpecahan yang terjadi antara
pendukung Prabowo-Hatta menamakan diri presiden dan wakil presiden atau terjadinya
Koalisi Merah Putih (KMP) dengan jumlah devided executive tersebut tentu saja
suara kumulatif 58,57% (jika ditambah Partai memperlemah sistem presidensial (Saldi Isra
Demokrat termasuk di dalamnya). Khusus 2014; Syamsuddin Haris 2014).
mengenai Partai Demokrat, posisi mereka tidak
sejelas partai-partai lain di KMP. Dalam konteks itu, menurut Saldi Isra, pilihan
SBY yang lalu atas Boediono merupakan
Melihat kekalahan demi kekalahan, menghadapi bentuk antisipasi untuk menghadapi
pusaran konflik KIH dan KMP dalam parlemen, kemungkinan kembali terjadinya perpecahan
antara lain kemenangan KMP mendominasi
antara presiden dan wakil presiden (Saldi Isra pencitraan partai yaitu sikap partai politik
2014: 142). Meski beragam asumsi juga terjadi digerakkan oleh dorongan elektoral dalam pasar
atas pemilihan Boediono, seperti di uraikan oleh politik, sehingga akhirnya bergabung sebagai
Marzuki Ali bahwa, ”Pemilihan Yudhoyono partai-partai pendukung pemerintah.
terhadap Boediono disebabkan oleh realitas
hubungan tidak harmonisnya disebabkan ”JK Implikasi lain dari koalisi yang bersifat
rakus proyek;” pemilihan ke Pak Boed juga pragmatis seperti ini adalah tidak munculnya
karena tidak ada tantangan (no challenge) sebab kompetisi antarpartai politik di parlemen,
Pak Boed merupakan orang non-partai, tidak sehingga tidak tampak perjuangan ideologis
ambisius (mengikuti Pemilu Presiden partai politik dalam memengaruhi, mengubah,
berikutnya), dan sulit diterima partai, dan ini ataupun membentuk kebijakan, inilah situasi
juga disebabkan Yudhoyono tidak suka orang yang terjadi di era pemerintahan SBY hingga
lebih hebat dari dia apalagi melihat realitas telah pemerintahan Jokowi, terjadinya politik kartel.
berakhirnya pemilihan untuk dirinya di Pemilu Jika demikian, ternyata ayunan dari sistem
2019.” (Wawancara, Marzuki Ali, Jakarta). presidensial dengan kombinasi dari multipartai
yang terjadi di era kepemimpinan pemerintahan
Efektifnya jalannya pemerintahan menyebabkan Presiden SBY dan Jokowi yang mana untuk
Presiden lebih membutuhkan political support menghindari terjadinya deadlock tetapi
ketimbang electoral support. Sehingga untuk terjadinya kartelisasi kekuasaan, yang juga tak
menjawab tantangan kedua tentang minimnya bisa dilepaskan dari lemahnya orientasi partai-
dukungan politik, tidak ada jalan lain, Presiden partai politik di Indonesia (Wawancara, Firman
mesti melakukan koalisi. Maka di era kedua Noor, Jakarta; Syamsuddin Haris, 2014: 107-
Presiden SBY, dilakukanlah upaya-upaya seperti 108).
penandatangan perjanjian koalisi dan
pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) Faktor terakhir yang juga krusial dalam
koalisi. Namun, dalam perjalanannya komitmen memengaruhi relasi Presiden dan DPR di era
koalisi ternyata labil dan jauh dari solid. Sebab, kepemimpinan SBY dan Jokowi adalah
koalisi pemerintahan yang dibangun oleh SBY persepsi diri anggota DPR atau DPR kala
adalah bukan berdasarkan ideologi dan visi-misi berhadapan dengan pemerintahan. Pasca
partai di dalam koalisi, atau karena koalisi amandemen UUD 1945 otoritas DPR menjadi
strategis didasarkan pada kesamaan dalam begitu luas sehingga tidak hanya melahirkan
mengusung calon presiden, yang dibangun situasi psiko-politik Dewan sebagai superbody
adalah koalisi pragmatis, yang sangat tidak solid dalam berhadapan dengan pemerintah pada
karena tergantung kesamaan isu yang diusung. umumnya, melainkan juga melembagakan
Absennya soliditas tersebut terus berlangsung parlementarisme DPR ketika berhadapan
hingga periode kedua pemerintahan SBY antara dengan Presiden pada khususnya. Namun
lain, terbukti dengan berbedanya posisi anggota sayangnya, ketika otoritas DPR begitu besar,
koalisi dalam voting hak angket century, hak DPR juga cenderung gagal menjalankan
angket mafia pajak, dan pada perubahan APBN otoritas DPR yang besar itu, hal ini terjadi di
2012 terkait kenaikan harga BBM (Denny era dua periode kepemimpinan Presiden SBY
Indrayana 2011: 96-100; M. Faishal Aminuddin dan satu setengah tahun Presiden Jokowi.
dan Moh. Fadjar Shodiq Ramdlan, 2015).
Persepsi diri ini yang seringkali mengaburkan
Pergeseran peta koalisi mulai dari Pilpres, substansi kinerja DPR, misal, DPR
pembentukan kabinet hingga koalisi di DPR, mempersoalkan ketidakhadiran langsung
menunjukkan pergeseran sikap partai seiring Presiden atau naskah penjelasan pemerintah
dengan dinamika isu dan kesempatan politik yang tidak ditandatangani Presiden, hingga
yang tersedia. Kecenderungan itu menyebabkan sebagian lain memilih meninggalkan ruang
terjadinya kartelisasi kekuasaan yang dilakukan rapat (walk out), persoalan ini acap
partai-partai politik, ini ditunjukkan oleh sikap mengalahkan substansi interpelasi (Syamsuddin
pragmatis dari partai-partai politik, di samping Haris 2014: 215), selain itu, DPR terkadang
itu juga bisa diasumsikan telah terjadinya hanya dianggap memainkan pementasan
nomadisme politik dari partai-partai politik, kebohongan dalam menjalankan fungsi
sekaligus menunjukkan kelemahan partai-partai pengawasan, seperti kebijakan impor beras,
politik secara institusi (problem berikutnya). Ini beberapa partai politik yang sejak semula
terkait pula antara lain: dalam upaya partai mendukung hak angket, menggeser hak angket
mendanai kelangsungan hidupnya dengan kata menjadi hak interpelasi (Saldi Isra 2013: 402-
lain tidak ada kemandirian partai, kebutuhan 403).
kepemimpinan Presiden SBY isu utama dalam
Bahkan, DPR dalam melakukan pengawasan hubungan eksekutif dan legislatif adalah terkait
terhadap pemerintah, gagap menjalankan dengan koalisi partai-partai politik.
perannya, seperti Pansus Century malah
mengimbau Presiden SBY untuk misal antara Hubungan Presiden dan DPR selama satu
lain, menonaktifkan Menteri Keuangan Sri dekade kepemimpinan Presiden SBY
Mulyani dari jabatannya, kecenderungan ini cenderung fluktuasi, meski demikian hubungan
terulang kembali ketika Pansus (hak angket) Presiden SBY dan DPR di masa itu belum
Pelindo II yang dimotori oleh PDIP dalam dapat dikategorikan sebagai bermasalah karena
keputusannya meminta Menteri BUMN Rini tidak ada konflik yang berarti antara kedua
Soemarno di-reshuffle. Karena rekomendasi lembaga politik tersebut. Hanya yang
mencopot menteri juga contoh parlemen berkembang adalah perbedaan pendapat antara
mengigit sistem presidensiil. Padahal itu anak keduanya sebab memang salah satu fungsi DPR
kandung sistem parlementer. Kabinet bahkan adalah melakukan pengawasan terhadap
dapat dijatuhkan parlemen. Dalam sistem eksekutif.
presidensiil, parlemen menjalankan tugas
pengawasan dengan menghormati garis api Perbedaan pendapat tentu saja tidak selalu sama
legislatif dan eksekutif. Peran DPR dalam dengan konflik yang perlu dikhawatirkan
mengawasi Presiden harus dipahami sebagai seperti terjadi di era pemerintahan
tindakan tidak mencampuri (Efriza, 2016). Abdurrahman Wahid, tentu saja hal ini menarik
perhatian kita apa yang menyebabkan
DPR juga gagal menjalankan tugasnya dalam kepemimpinan Presiden SBY bisa tetap
fungsi pengawasan terhadap lembaga- lembaga menjaga hubungan yang harmonis dengan DPR
negara lainnya, malah yang terjadi DPR hanya dan menghindari terjadinya konflik, uraiannya
menunjukkan adanya pola hubungan yang sebagai berikut (Wawancara, Maswadi Rauf,
berjalan tidak baik antara DPR dengan lembaga Jakarta; Moch Nurhasim dan Ikrar Nusa Bhakti
negara atau institusi di pemerintahan, dan tidak 2009: 40).
dapat dikatakan sebagai peristiwa sederhana, Faktor kepemimpinan dan gaya memerintah
misalnya, peristiwa “tidak ganteng” dalam Rapat seorang presiden menjadi penyokong
Kerja antara Komisi III DPR dengan Menteri kelangsungan sistem presidensial dengan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny kombinasi multipartai, utamanya Presiden SBY
Indrayana, atau peristiwa ”ustaz di kampung berhasil dalam mengelola politik secara efektif,
maling” dalam rapat kerja gabungan Komisi II ini disebabkan oleh kecenderungan Presiden
dan Komisi III DPR dengan Jaksa Agung SBY yang akomodatif yang dilandasi ingin
Abdurrahman Saleh berlangsung ricuh (Saldi membangun demokrasi yang mulai tumbuh
Isra 2013: 400-402). Akhirnya, terlihat bahwa (Wawancara, Marzuki Ali, Jakarta).
meski otoritas DPR sudah besar, tetapi malah
DPR kita disorientasi bahkan kehilangan arah, Misalnya, keputusan SBY untuk membentuk
apa yang mereka seharusnya lakukan mereka koalisi guna mendukung pemerintahannya,
tidak tahu (Wawancara, I Made Leo Wiratma, selain didasarkan pada pemikiran strategis, juga
Jakarta). bisa dilihat sebagai bagian dari gaya atau
pendekatan kepemimpinannya yang cenderung
Jokowi Berkaca Dari akomodatif (Djayadi Hanan 2014: 181). Tentu
Langgengnya Kekuasaan Presiden saja, pengalaman SBY ini tak berbeda dengan
SBY kepemimpinan Jokowi yang telah menunjukkan
juga cenderung akomodatif.
Pengelolaan pemerintahan selama satu dekade
kepemimpinan SBY menunjukkan bahwa Permasalahan utama dari relasi Presiden-DPR
kecenderungan terjadinya pemerintahan yang memang berada pada partai-partai politik yang
terbelah karena partai SBY (Demokrat) yang menjadi mitra koalisi pemerintah. Dalam
minoritas di DPR, sebagai konsekuensi dari wilayah eksekutif, mereka mendapat posisi
sistem multipartai, ironinya dalam praktiknya dalam kabinet, namun dalam wilayah legislatif,
yang hadir adalah sistem multipartai moderat posisinya menjadi tidak jelas tergantung dari
tetapi tidak ada satu pun partai yang dominan. kepentingan partainya masing-masing.
Permasalahan semakin kompleks, akibat Akhirnya relasi lembaga eksekutif dan legislatif
perbedaan peta kekuasaan antara Presiden dan menjadi tidak harmonis (Muhammad S. Sabri
DPR, sehingga Presiden SBY banyak Shinta 2012: 66).
mendengarkan partai-partai politik dan fraksi-
fraksi yang ada di DPR, sehingga dalam masa
Kondisi ini menimbulkan ketegangan- melalui rapat konsultasi yang dilakukan secara
ketegangan antara Presiden dan partai-partai berkala (Pengaturan rapat konsultasi DPR dan
politik mitra koalisi. Koalisi yang dibangun oleh Presiden yang telah dilembagakan, diatur dalam
Presiden SBY dan Jokowi adalah koalisi besar Tata Tertib DPR periode 2004-2009, dalam
atau Presiden Minoritas dengan Pemerintahan Pasal 169 ayat (2)) antara Presiden dan
Mayoritas, tetapi tidak solid. Yang membedakan Pimpinan DPR yang notabene juga melibatkan
adalah ketidaksolidan partai pendukung Presiden pimpinan fraksi dan pimpinan komisi-komisi
Jokowi terjadi di partai internalnya sendiri yaitu parlemen, seperti tampak dalam kasus
PDIP. Dengan kata lain, walaupun Presiden interpelasi DPR terhadap kebijakan pemerintah
memiliki dukungan besar di DPR tetapi Presiden mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB
seringkali kehilangan dukungan partisan dalam terhadap masalah nuklir Iran, Dewan akhirnya
menggolkan agenda-agenda pemerintahannya. ”dapat memahami” sikap pemerintah setelah
rapat konsultasi dilakukan di Istana Negara dan
Meski begitu harus diakui bahwa kemampuan di Gedung DPR, ketegangan di antara kedua
kepemimpinan SBY dalam upayanya terus lembaga itu pun mereda (Abubakar Eby Hara
mengelola koalisi besar meski penuh dengan 2014: 53). Tentu saja, berbeda dengan
ketegangan dalam internal koalisi, Abdurrahman Wahid, rapat konsultasi DPR
Demokratisasi dan stabilitas politik serta dengan Presiden secara berkala sudah dimulai
pemerintahan yang lebih efektif itu ternyata di massa Abdurrahman Wahid, tetapi karena
mampu mengondisikan peningkatan Produk personality Presiden yang konfrontatif pula
Domestik Bruto (PDB) tahunan menjadi sekitar rapat tidak bisa menyelesaikan ketegangan
6%, selama kurang lebih satu dekade. Maka relasi antara Presiden dan DPR, malah yang
kemajuan demokrasi dan politik serta terjadi konflik berkepanjangan antara Presiden-
pemerintahan, dan juga didukung perkembang- DPR dan berakhir pada Pemakzulan
an kemajuan ekonomi, terkombinasi menjadi Abdurrahman
kekuatan pendukung Presiden SBY, untuk
berkuasa melalui kemenangan dua kali Pemilu Wahid
(Arbi Sanit, 2015). Begitu pula, dengan Jokowi (http://news.liputan6.com/read/5867/am-
setelah berhasil merangkul partai-partai di KMP fatwa- rapat-konsultasi-presiden-tak-berguna).
tak ada lagi riak-riak di parlemen dibandingkan
masih tetap diupayakannya koalisi tanpa syarat. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa
Ternyata problematika sistem presidensial dan selama era reformasi ini juga menunjukkan
multipartai ini bisa diselesaikan oleh adanya bahwa partai-partai politik sebagai institusional
faktor gaya memerintah seorang presiden yang masih lemah, sehingga menjalankan strategi
akomodatif (Kesimpulan dari wawancara politik nomadisme politik, sehingga yang
Maswadi Rauf, Syamsuddin Haris, Effendi terbentuk adalah kartelisasi kekuasaan. Kartel
Choirie, dan Firman Noor, Jakarta). yang berkembang dalam pemerintahan SBY
dan Jokowi juga bisa jadi adalah upaya
Walaupun Presiden SBY dianggap cenderung institusionalisasi kekuasaan maupun juga
akomodatif tetapi juga dia memiliki personality materi. SBY dan Jokowi sadar partainya sendiri
egois (sulit menerima pendapat orang), ini pula tidak dapat berjalan sendiri kalau tanpa
dilema berikutnya selain tidak komunikatif. dukungan politik para partai pendukungnya,
Marzuki Ali menyimpulkan bahwa, ”Anggota bahkan terlebih Jokowi yang hanya dianggap
koalisi merasakan mereka tidak didengar, sebagai “petugas partai” oleh partainya sendiri
mereka tidak ada manfaat, mereka cuma yaitu PDIP.
diindoktrinasi, diperintah-perintah saja. Jadi,
pertemuan itu lebih untuk menjelaskan apa Dibalik kelemahan institusional partai ini,
maunya pemerintah. Di sinilah tentulah memberikan keuntungan bagi Presiden
ketersinggungan-ketersinggungan, mereka SBY dan Jokowi dalam mengelola
akhirnya tidak pernah datang lagi dalam pemerintahannya. Selama dua periode
pertemuan Setgab, dan akhirnya bubar sendiri” kepemerintahan SBY dan satu setengah tahun
(Wawancara, Marzuki Ali, Jakarta). kepemimpinan Jokowi hanya terjadi
ketegangan politik antara Presiden-DPR, tetapi
Meski demikian, Yudhoyono berbeda dengan tidak terjadi konflik hingga krisis pemerintahan
Abdurrahman Wahid yang cenderung seperti di pemerintahan Abdurrahman Wahid.
konfrontatif terhadap DPR, Yudhoyono yang Meski harus diakui di bawah kepemimpinan
relatif menjalankan politik akomodatif mudah SBY dan Jokowi mengindikasikan adanya
kembali mesra berhubungan dengan DPR demokrasi yang tersandera dan terjebak dari
pilihan SBY dan Jokowi selama menjalankan
pemerintahannya sendiri yang sangat kepemimpinan SBY dan Jokowi yang
menghindari adanya konflik politis dengan cenderung akomodatif, dan juga didukung
kepemimpinan yang cenderung akomodatif, realitas masih lemahnya institusional partai-
yang juga didukung oleh lemahnya institusional partai politik, melainkan juga didukung adanya
partai, sehingga politik kartel dengan mudah bisa mekanisme persetujuan bersama dan Rapat
menyelusuri berbagai macam tingkatan seperti di Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR secara
lembaga eksekutif dan legislatif, bahkan di masa berkala sebagai forum penyelesaian konflik
Jokowi cenderung lebih berbahaya akomodir tak dalam berbagai persinggungan relasi Presiden-
hanya untuk partai- partai politik tetapi juga tim DPR berkaitan dengan fungsi dan wewenang
pemenangan pasangan Jokowi-JK yang terdiri DPR seperti legislasi, pengawasan, dan
dari berbagai relawan sehingga bagi-bagi jabatan anggaran, serta peranan DPR dalam proses
terjadi di kursi BUMN dan jabatan Dubes pengangkatan pejabat-pejabat publik, ini telah
(Kesimpulan wawancara Maswadi Rauf, Firman dibuktikan penyelesaian mekanisme bersama
Noor, Syamsuddin Haris, Marzuki Ali; antara Presiden Jokowi dan DPR khususnya
Syamsuddin Haris 2014: 226). penyelesaian internal Presiden Jokowi dengan
PDIP sehingga tidak terlaksananya
Amandemen konstitusi yang telah memperluas rekomendasi Pansus Pelindo II untuk Presiden
otoritas DPR, yang harus diakui memberikan memecat Menteri BUMN Rini Soemarsono
konsekuensi logis bahwa cenderung yang terjadi adalah Presiden menghargai dan
berlangsungnya praktik parlementer dalam mengapresiasi kerja Pansus dan laporan Pansus
dinamika pemerintahan. Namun dibalik Panitia Angket Pelindo II menjadi bahan
kelemahan bahkan kerancuan sistem masukan yang berharga dalam pengambilan
presidensial, ternyata membawa kecenderungan kebijakan Pemerintah sesusai dengan ketentuan
baik bagi relasi kekuasaan Presiden dan DPR. perundang-undangan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
otoritas legislasi telah dialihkan dari presiden ke KESIMPULAN
DPR seperti diatur dalam Pasal 20 ayat (1)
pascaperubahan pertama UUD 1945, walaupun Periode satu dekade pemerintahan SBY dan
demikian, Pasal 20 ayat (2) bahwa UU dibentuk Jokowi pasca amandemen UUD 1945, asumsi-
atas persetujuan bersama Presiden dan DPR, asumsi teori dari Mainwaring dan Yasraf Amir
konsep ini menunjukkan ada relasi yang kuat Piliang, terbukti dalam penelitian ini, dengan
antara eksekutif dan legislatif. Kekuatan legislasi kita melihat fakta dari ketegangan relasi
memang dijelaskan dalam Pasal 20 ayat (1) kekuasaan Presiden-DPR, yang disebabkan
bahwa ada di tangan DPR, tetapi konsep kombinasi sistem presidensial dan multipartai.
persetujuan bersama, dalam implementasinya
kekuatan Presiden dan DPR adalah fifty-fifty Akan tetapi, deadlock bahkan hingga krisis
ketika melakukan fungsi legislasi (Wawancara, pemerintahan tidak terjadi bahkan hubungan
Rizky Argama, Jakarta) Presiden-DPR selama kepemimpinan SBY dan
Jokowi belum dapat dikategorikan bermasalah
Konsep persetujuan bersama ini memiliki karena tidak terjadi konflik antara kedua
keuntungan bagi Presiden utamanya untuk lembaga tersebut melainkan hanya terjadi
mengimbangi kekuasaan DPR. Apalagi, konsep ketegangan politik saja yang disebabkan oleh
persetujuan bersama ini juga berkorelasi dengan perbedaan pendapat antara kedua lembaga dan
Pengaturan rapat konsultasi DPR dan Presiden disebabkan peran dan fungsi DPR dalam
yang telah dilembagakan. Dalam aturan Tata melakukan pengawasan terhadap eksekutif, hal
Tertib DPR periode 2004-2009, seperti dalam ini bisa terjadi disebabkan oleh: (1) Gaya
Pasal 169 ayat (2) berbunyi: ”Pertemuan memerintah Presiden yang cenderung
konsultasi dan koordinasi antara Pimpinan DPR, akomodatif; (2). Lemahnya institusional partai
unsur Pimpinan Fraksi dan unsur Pimpinan alat dan cenderung pragmatis bahkan ini bisa
kelengkapan DPR terkait, dengan Presiden dianggap sebagai nomadisme partai sebagai
dilakukan secara berkala atau dengan MK dan strategi politiknya, hingga terbentuknya
MA sesuai kebutuhan.” Dua prosedur itu, kartelisasi kekuasaan; dan (3).
dianggap solusi memecahkan kebuntuan antara
Presiden dan DPR dalam hal legislasi. Adanya mekanisme persetujuan bersama dan
konsultasi antara Presiden-DPR secara berkala
Dengan demikian, keberhasilan kepemimpinan dari konstruksi konstitusi dan perundang-
Presiden SBY dan Jokowi dalam mengelola undangan yang dapat mencairkan kebuntuan
pemerintahannya bukan saja didukung oleh
politik; meski tak bisa dikesampingkan poin Desember 2015, Jakarta.
nomor satu yaitu gaya memerintah yang Firman Noor, Peneliti di Pusat Penelitian
cenderung akomodatif yang merupakan paling Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
krusial dalam mengelola sistem presidensial. Indonesia (P2P LIPI), 22 Desember 2015,
Jakarta.
Namun asumsi di atas akan mudah terbantahkan I Made Leo Wiratma, ahli hukum tata negara
jika: gaya memerintah Presiden cenderung tidak dan peneliti Forum Masyarakat Peduli
akomodatif ketika berhadapan dengan DPR; dan Parlemen Indonesia (Formappi), tanggal
partai-partai politik sudah terlembaga, sehingga 21 Desember 2015, Jakarta.
ketegangan politik yang mengarah deadlock Marzuki Ali, mantan Ketua DPR dari Partai
hingga krisis pemerintahan cenderung tetap bisa Demokrat periode 2009-2014 dan
terjadi (Kesimpulan Wawancara, Syamsuddin Sekretaris Jenderal Partai Demokrat tahun
Haris, Maswadi Rauf, Sulardi, Marzuki Ali, 2005-2010, 22 Desember 2015, Jakarta.
Effendi Choirie, Firman Noor dan I Made Leo Maswadi Rauf, Ketua Tim Ahli Bidang Politik
Wiratma) PAH I BP MPR 1999-2002, dan Dosen
Ilmu Politik di Universitas Nasional
(Unas), 19 Desember 2015, Jakarta.
REFERENCES Rizky Argama, ahli hukum tata negara dan
peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Buku (PSHK), 5 Januari 2016, Jakarta.
Sulardi, Dosen Hukum Tata Negara Universitas
Denzin, Norman K., dan Lincoln, Yvonna S., Muhammadiyah Malang (UMM), by
Handbook of Qualitative Research, telephone, 31 Desember 2015, Jakarta-
terjemahan Dariyatno, at.all, Yogyakarta: Malang.
Pustaka Pelajar, 2009. Syamsuddin Haris, ahli politik dan peneliti
Efriza, Kekuasaan Politik: Perkembangan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Konsep, Analisis dan Kritik, Malang: Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI), 28
Intrans Publishing, 2016. Desember 2015, Jakarta.
Hanan, Djayadi, Menakar Presidensialisme
Multipartai Di Indonesia: Upaya Mencari Artikel Jurnal, dan Sumber Online
Format Demokrasi yang Stabil dan
Dinamis dalam Konteks Indonesia, “AM Fatwa: Rapat Konsultasi Tak Berguna,”
Bandung: Mizan, 2014. dalam
Haris, Syamsuddin, Praktik Parlementer http://news.liputan6.com/read/5867/am-
Demokrasi Presidensial Indonesia, fatwa-rapat-konsultasi-presiden-tak-
Yogyakarta: Andi Offset, 2014. berguna, (diakses 19 Januari 2016).
Indrayana, Denny, Indonesia Opitimis, Jakarta: Aminuddin, M. Faishal, dan Shodiq Ramdlan,
Bhuana Ilmu Populer, 2011. Moh. Fadjar, Match-All Party:
Isra, Saldi, 10 Tahun Bersama SBY: Catatan dan Pragmatisme Politik dan Munculnya
Refleksi Dua Periode Kepemimpinan, Spesies Baru Partai Politik di Indonesia
Jakarta: Kompas, 2014. Pasca Pemilu 2009, dalam Jurnal Politik,
Marijan, Kacung, Sistem Politik Indonesia: Vol. 1, No. 1, 2015, dalam
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, http://jurnalpolitik.ui.ac.id/index.php/jp/art
Jakarta: Kencana, 2010. icle/view/9, (diakses tanggal 20 Januari
Nurhasim, Moch., dan Nusa Bhakti, Ikrar, ed. 2015).
Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Mainwaring, Scott, Presidentialism, Multiparty
Ideal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. System, and Democracy: The Difficult
S. Shinta, Muhammad Sabri, Presiden Combination, Comparative Political
Tersandera: Melihat Dampak Kombinasi Studies, Vol. 26 No. 2, July 1993, hal.
Sistem Presidensial-Multipartai dalam 220-222, dalam
Pemerintahan SBY-Boediono, Jakarta: RM https://www.researchgate.net/publication/2
Books, 2012. 58130109_The_Presidentialism_
Multipartism_and_
Wawancara Democracy_The_Difficult_Combination
(diakses tanggal 15 April 2016)
Effendi Choirie, mantan anggota DPR Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) periode 1999-
2004, 2004-2009, 2009-2013, 23

Anda mungkin juga menyukai