Anda di halaman 1dari 28

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tuberkulosis Paru

a. Definisi

Tuberkulosis paru (TB) merupakan infeksi kronis pada paru yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Infeksi

teberkulosis sendiri merupakan infeksi menular yang banyak ditemukan

di masyarakat, terutama yang tinggal di lingkungan yang sangat padat

serta kurang paparan cahaya matahari (Amin dan Bahar, 2009a).

b. Epidemiologi

Menurut suatu studi epidemiologi, TB di Indonesia hingga tahun

2011 lalu masih menduduki prevalensi TB ke-3 tertinggi mengikuti

India dan China. Bahkan bukan hanya angka kejadian TB di Indonesia

yang sangat tinggi melainkan angka kematian penduduk akibat TB juga

masih sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia sendiri,

infeksi TB masih menjadi masalah utama yang mengganggu kesehatan

dan kesejahteraan masyarakat (WHO, 2012).

Infeksi tuberkulosis sendiri juga sudah menjadi masalah utama di

dunia, terlebih di negara-negara berkembang, bahkan pada Maret 1993


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency (Amin dan

Bahar, 2009a).

Menurut Amin dan Bahar (2009a) infeksi tuberkulosis menyerang

wanita dan pria dengan prevalensi yang hampir sama, namun infeksi ini

lebih banyak ditemukan pada wanita dan pria yang berada di usia

produktif sekitar 20 - 49.

Faktor kemiskinan, penduduk, peningkatan jumlah penduduk

dunia, perlindungan/fasilitas kesehatan yang tidak memadai,

pengetahuan mengenai TB yang masih rendah, lemahnya pengawasan

dan tatalaksana TB, serta meningkatnya epidemi HIV menjadi alasan

peningkatan beban TB di dunia (Amin dan Bahar, 2009a).

c. Etiologi

Infeksi tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis yang merupakan bakteri bersifat obligat aerobik dan tahan

terhadap asam. Bakteri ini tahan terhadap asam serta berbagai bentuk

kondisi fisis dan kimia dikarenakan hingga 60% bagian dinding selnya

mengandung asam lemak. Dinding sel bakteri ini tidak hanya tinggi

asam lemak, tetapi juga mengandung peptidoglikan serta

arabinomannan (Knechel, 2009; Levinson, 2010).

Bakteri ini juga memiliki kelebihan dapat bertahan dalam

berbagai kondisi udara, bahkan hingga waktu bertahun-tahun. Levinson

(2010) menyatakan bahwa hal ini dikarenakan sifat dari bakteri ini yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dapat dormant untuk waktu yang lama, guna menunggu hingga kondisi

yang sesuai dan mendukung bagi keberlanjutan metabolisme sel-selnya.

Bakteri ini tahan berada dalam dahak meski sudah dikeluarkan serta di

udara untuk jangka waktu yang cukup lama. Hal ini yang semakin

berperan mempermudah penularan infeksi TB melalui udara (Knechel,

2009; Amin dan Bahar, 2009a).

Bakteri ini tumbuh dengan lambat dengan doubling time sekitar

18 jam yang tentunya sangat berbeda dengan bakteri lain yang hanya

membutuhkan doubling time kurang dari 1 jam (Levinson, 2010).

Karena sifat inilah, maka untuk pemeriksaan dengan metode kultur,

penentuan hasil negatif harus menunggu hingga 6 - 8 minggu.

d. Cara Penularan

Penularan dari infeksi TB sebagian besar terjadi melalui proses

inhalasi droplet nuclei dari penderita TB, sehingga tempat inisiasi dari

infeksi TB umumnya berada di paru yang kemudian akan menetap di

dalam sel retikuloendotelial, seperti makrofag (Price dan Wilson, 2005;

Knechel, 2009; CDC, 2013).

e. Patogenesis

Mycobacterium tuberculosis yang berukuran < 5 mikron segera

memasuki alveolar setelah berhasil mencapai paru. Sebagian besar

bakteri yang masuk akan dibersihkan oleh makrofag, namun ada yang

berhasil menetap di jaringan paru dan justru dapat berkembang biak di

dalam makrofag. Bakteri ini ada yang dapat bertahan dalam makrofag
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

karena dapat memproduksi suatu protein yang berguna untuk mencegah

fusi dari fagosome dengan lisosom (Price dan Wilson, 2005; Knechel,

2009; Amin dan Bahar, 2009a).

Kuman yang dapat bertahan, selanjutnya akan membentuk fokus

Ghon/fokus primer dengan lesi eksudatif di jaringan paru terutama pada

bagian lobus bawah. Fokus primer ini kemudian dapat mengalami

beberapa kemungkinan, di antaranya; sembuh tanpa cacat, sembuh

dengan bekas fibrotik sementara kumannya dormant, muncul

komplikasi dan menyebar secara kontinuatum, bronkogen, limfogen,

maupun hematogen (Price dan Wilson, 2005; Amin dan Bahar, 2009a;

Levinson, 2010).

Beberapa hal yang diuraikan di atas merupakan bentuk

patogenesis dari tuberkulosis primer, untuk selanjutnya tuberkulosis

primer dapat diikuti oleh tuberkulosis pasca primer. Pada tuberkulosis

pasca primer, kuman yang dormant dapat muncul kembali dengan

dimulai dari lesi pada bagian apikal paru, hal ini dapat dipicu oleh

beberapa kondisi, di antaranya; malnutrisi, penggunaan alkohol,

penyakit maligna, Diabetes mellitus, AIDS, gagal ginjal, dan kondisi

lain yang melemahkan daya tahan tubuh penderita. Lesi yang semula

hanya berupa sarang berukuran kecil, dalam 3 - 10 minggu berikutnya

dapat menjadi tuberkel. Selanjutnya sarang ini akan mengalami

beberapa kemungkinan, seperti; direabsorbsi dan sembuh, sembuh

dengan sisa jaringan fibrotik, meluas dengan bagian tengahnya


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengalami perkejuan. Bagian yang mengalami perkejuan karena

aktivitas hidrolisis oleh enzim yang diproduksi makrofag, apabila

dibatukkan akan membentuk kavitas. Kavitas ini dapat semakin meluas

dan menyebabkan sarang baru, memadat menjadi tuberkuloma, ataupun

menyembuh. Dengan hasil keseluruhan dari tuberkulosis pasca primer

adalah 3 bentuk sarang, di antaranya; sarang yang sudah sembuh,

sarang masih aktif sehingga memerlukan pengobatan lengkap, serta

sarang di antara kondisi sembuh dan tidak sembuh sehingga juga

memerlukan pengobatan lengkap karena masih memiliki kemungkinan

eksaserbasi (Amin dan Bahar, 2009a).

f. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari pasien TB dapat bervariasi, namun sekitar

90% pasien TB justru tidak memiliki gejala sama sekali sehingga

seringkali pasien TB tidak sadar bahwa dirinya terinfeksi TB (Knechel,

2009). Perbedaan virulensi antarorganisme serta daya tahan dari host

menjadi penyebab ada atau tidaknya gambaran klinis pada pasien TB.

Menurut Amin dan Bahar (2009a), Herchline (2013), keluhan yang

sering muncul pada pasien TB, di antaranya:

1) Demam yang tidak terlalu tinggi (subfebril) dan hilang timbul

sehingga sering dianggap sebagai demam influenza.

2) Batuk yang terjadi karena adanya iritasi pada bagian bronkus.

Batuk seringkali berguna untuk membuang produk hasil

peradangan. Dimulai dengan batuk yang non produktif yang


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kemudian berubah menjadi produktif, bahkan dapat menjadi

batuk darah (hemoptisis) apabila disertai dengan pecahnya

pembuluh darah.

3) Sesak nafas yang mulai dirasakan ketika infiltrat sudah mencapai

kurang lebih setengah bagian paru-paru.

4) Nyeri dada muncul apabila infiltrat telah mencapai bagian pleura.

5) Malaise yang sering dikeluhkan pasien seperti; anoreksia, sakit

kepala, berat badan turun tanpa sebab yang jelas, keringat di

malam hari tanpa didahului aktivitas fisik yang berat, meriang,

nyeri otot. Sifatnya terus progresif dan terjadi hilang timbul.

g. Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis

Gambaran umum pasien tampak kurus dan didukung dari

anamnesis dengan pasien yang diperoleh informasi bahwa terjadi

penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, konjungtiva dan kulit

pasien tampak pucat, disertai subfebril. Hasil pemeriksaan fisik pasien

TB seringkali tidak didapatkan kelainan apapun, selain itu meski

didapatkan adanya kelainan pada hasil pemeriksaan fisik masih sulit

untuk membedakan antara infeksi TB dengan pneumonia biasa.

Kelainan lesi pada penderita TB sering didapat pada bagian apeks paru.

Hasil perkusi redup dengan suara nafas bronchial dan ronki sebagai

suara nafas tambahan menunjukkan kemungkinan infiltratnya agak

luas, namun bila sudah disertai penebalan pleura maka suara nafasnya

menjadi vesicular. Pada kavitas yang cukup besar akan didapati hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perkusi timpani. Perkusi pekak disertai suara nafas yang sangat lemah

dan bagian paru tampak ada yang tertinggal menunjukkan sudah

terjadinya efusi pleura (Amin dan Bahar, 2009a).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Knechel (2009), gambaran

radiologi infeksi TB aktif berupa bercak infiltrat seperti awan berbatas

tidak tegas dengan kavitasi pada bagian atas dan tengah lobus paru, hal

ini terjadi karena lebih tingginya kadar O 2 pada lobus paru bagian atas.

Hasil pemeriksaan laboratorium darah untuk TB baru didapatkan

leukosit sedikit meningkat, limfosit di bawah normal, LED meningkat.

Sementara bila TB mulai sembuh leukosit kembali normal, limfosit

masih tinggi, LED normal kembali (Amin dan Bahar, 2009a).

Pemeriksaan yang menjadi acuan untuk penegakan diagnosis di

Indonesia ialah pemeriksaan BTA sputum (WHO, 2012). Menurut

Amin dan Bahar (2009a), Depkes (2009) uji BTA sputum ini selain

dapat digunakan untuk penegakan diagnosis TB juga dapat digunakan

untuk mengevaluasi keberhasilan terapi TB. Sputum untuk pemeriksaan

dikumpulkan secara berurutan sebanyak 3 kali, yakni dahak sewaktu

pasien berkunjung pertama kali, dahak pagi hari yang diambil di rumah

pasien segera setelah bangun tidur, dan dahak sewaktu diambil pada

hari kedua di Puskesmas saat pasien mengumpulkan dahak pagi

(Depkes, 2009). Kelebihan dari uji ini adalah praktis dalam

pelaksanaannya sehingga mudah dilakukan bahkan di pusat pelayanan

kesehatan dengan laboratorium yang terbatas serta harganya yang


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

murah sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat, namun ada kendala

untuk pemeriksaan BTA sputum ini, yakni kesulitan dalam

mendapatkan sampel sputum terutama pada pasien yang tidak ada

keluhan batuk maupun untuk pasien yang batuknya non-produktif.

Pasien dengan batuk yang non-produktif, sehari sebelum uji BTA

sebaiknya dianjurkan untuk minum air ± 2l serta belajar refleks batuk

atau dapat juga diberikan obat-obat yang bersifat mukolitik dan

ekspektoran. Tindakan tersebut berguna untuk memudahkan pasien

dalam mengeluarkan sputum, namun apabila pasien masih kesulitan

mengeluarkan sputum misalnya pada anak-anak atau pasien yang sudah

tua dapat dilakukan bronkoskopi dengan bronchial washing atau bilas

lambung. Selain kendala dalam pengambilan sampel, terkadang kuman

BTA pun sulit didapatkan, kriteria untuk BTA sputum positif adalah

bila didapatkan minimal 3 batang kuman dalam 1 sediaan atau 5.000

kuman dalam 1ml sputum (Amin dan Bahar, 2009a).

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan sampel sputum tidak

hanya dengan uji BTA mikroskopik, tetapi dapat juga dilakukan

pemeriksaan biakan kuman atau uji resistensi obat. Bahkan menurut

WHO (2012), gold standard dari penegakan diagnosis TB adalah

dengan pemeriksaan kultur/biakan kuman. Karena sifat pertumbuhan

dari kuman Mycobacterium tuberculosis yang cenderung lambat maka

baru bisa ditentukan hasilnya negatif apabila kultur sudah ditunggu


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hingga 6 - 8 minggu yang mana memang dalam jangka waktu tersebut

tidak didapatkan adanya kuman pada media biakan (Levinson, 2010).

Penegakan diagnosis pasti TB menurut WHO (2012) adalah

dengan menemukan kuman penyebabnya dalam media biakan, namun

dikarenakan keterbatasan fasilitas laboratorium di Indonesia maka

penegakan diagnosis dengan uji BTA sputum secara mikroskopik saja

dianggap sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Depkes (2009)

menggolongkan pasien TB menurut hasil uji BTA sputumnya:

1) Sputum (BTA +): uji BTA sputum mikroskopis positif minimal

dalam 2x pemeriksaan, 1x BTA sputum positif disertai kelainan

radiologis, 1x BTA sputum positif demikian pula dengan hasil

kulturnya.

2) Sputum (BTA -): uji BTA sputum mikroskopis negatif minimal

dalam 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologisnya sesuai TB

aktif, uji BTA sputum negatif tetapi kulturnya positif.

Menurut Amin dan Bahar (2009a), berikut penggolongan pasien

TB menurut riwayat dari penyakitnya:

1) Kasus baru; pasien yang belum mendapat pengobatan TB selama

lebih dari 1 bulan.

2) Kasus relapse; pasien yang sudah pernah dinyatakan sembuh

setelah mendapatkan terapi TB, tetapi kemudian timbul lagi.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Kasus failure; pasien yang BTA sputumnya tetap positif setelah

menjalani terapi TB selama lebih dari 5 bulan atau menghentikan

terapi setelah 1 - 5bulan sputumnya masih positif.

4) Kasus kronik; pasien dengan BTA sputum yang tetap positif

setelah retreatment lengkap disertai pengawasan yang baik.

h. Penatalaksanaan

Beberapa perubahan dalam metode penanganan kasus TB sudah

terjadi sebelum memasuki era pengobatan TB dengan kemoterapi.

Penatalaksanaan pasien TB pada zaman dahulu hanya berupa perawatan

di sanatorium dengan udara segar, sinar matahari cukup, makanan

bergizi, serta istirahat yang cukup, namun pendekatan ini dirasa belum

memberikan hasil maksimal, selain itu pendekatan seperti hanya

memberi efek maksimal apabila berada dalam tahap preventif bukan

sebagai tata laksana. Penemuan streptomisin sebagai kemoterapi TB

pertama menjadi awal mula terjadinya revolusi dalam penanganan TB.

Perkembangan selanjutnya tampak dari ditemukannya rifampisin

sebagai kemoterapi kedua dengan waktu terapi yang lebih singkat,

hanya sekitar 6 - 9 bulan (Amin dan Bahar, 2009b).

Tanu (2009), Amin dan Bahar (2009b) membagi obat kemoterapi

TB ke dalam 2 karakter utama berdasarkan prinsip kerjanya;

1) Bersifat bakterisid; membunuh kuman yang sedang tumbuh dan

aktivitas metabolismenya aktif. Hasil dari digunakannya obat


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

golongan ini adalah umumnya akan didapat hasil kultur yang

negatif setelah 2 bulan pengobatan.

2) Bersifat sterilisasi; membunuh kuman yang tumbuh lambat dan

metabolismenya kurang aktif.

Obat-obat yang termasuk dalam obat lini pertama TB adalah

(isoniazid/H, rifampisin/R, pirazinamid/Z, streptomisin/S,

ethambutol/E) dan dari kelima jenis obat tersebut, hanya ethambutol

yang tidak memiliki sifat bakterisid (Tanu, 2009; Kherad et al., 2009).

Obat dengan sifat bakterisid lengkap adalah rifampisin dan isoniazid.

Pirazinamid dan streptomisin sifat bakterisidnya tidak lengkap, karena

pirazinamid hanya bekerja pada suasana asam sementara streptomisin

hanya pada suasana basa. Sedangkan obat yang kinerja sterilisasinya

paling baik adalah rifampisin dan pirazinamid (Amin dan Bahar,

2009b).

Metode penatalaksanaan TB yang dipakai Indonesia dan

direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 1994 hingga kini

berpedoman pada program Directly Observed Treatment Short Course

Strategy (DOTS) (Amin dan Bahar, 2009b; WHO, 2012).

Menurut Amin dan Bahar (2009b), 2 prinsip yang mendasari

penatalaksanaan TB ialah:

1) Agar berhasil, terapi TB memerlukan minimal 2 macam obat

yang mana basilnya masih peka dan salah satunya harus obat

yang memiliki sifat kerja bakterisidik. Penggunaan monoterapi


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sebaiknya dihindari mengingat kuman penyebab TB mudah

resisten terhadap pengobatan tunggal yang dapat menyebabkan

kegagalan dalam pengobatan.

2) Meski telah ada perbaikan secara klinis dan perubahan uji

konversi sputum yang semula (BTA +) menjadi (BTA -) namun

pengobatan tahap lanjutan tetap diperlukan, sebab pengobatan

tahap lanjutan berguna untuk mengeliminasi sekelompok kecil

kuman yang metabolismenya inaktif sehingga dapat persisten.

Pengobatan TB dibagi ke dalam 2 fase berdasarkan prinsip

pengobatan yang sudah diuraikan di atas, yakni fase inisial/bakterisidal

dan fase lanjutan/sterilisasi (CDC, 2003; Amin dan Bahar, 2009b;

Herchline, 2013). Kegagalan dalam menyelesaikan kedua fase ini

secara lengkap merupakan faktor utama yang paling sering memicu

terjadinya kegagalan dalam penatalaksanaan TB (Amin dan Bahar,

2009b).

Depkes (2009) membedakan pengobatan TB dengan strategi

DOTS ke dalam 4 kategori:

1) Kategori 1 digunakan pada pasien TB paru kasus baru dengan

(BTA +), TB paru lain yang berat dengan (BTA ) tetapi kelainan

paru luas.

Fase inisial : 2 RHZE

Setiap hari dalam 2 bulan mengkonsumsi obat R,H,Z, dan E.

Apabila setelah 2 bulan fase inisial, BTA masih positif maka fase
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

inisial diperpanjang selama 4 minggu lagi sebelum dilanjutkan ke

fase lanjutan.

Fase lanjutan : 4 HR atau 4 H3R3 atau 6 HE

Selama 4 bulan mengkonsumsi obat R dan H setiap hari atau

seminggu 3x, atau setiap hari selama 6 bulan mengkonsumsi obat

H dan E.

2) Kategori 2 digunakan pada pasien kasus relapse atau failure

dengan (BTA +).

Fase inisial : 2 RHZES/1 RHZE

Setiap hari dalam 3 bulan mengkonsumsi obat R,H,Z, dan E, serta

obat S hanya untuk 2 bulan pertama. Apabila setelah 3 bulan fase

inisial, BTA masih positif maka fase inisial dengan R,H,Z, dan E

dilanjutkan selama 1 bulan lagi, namun bila setelah bulan ke-4

masih tetap positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari

kemudian dilakukan uji resistensi obat, baru kemudian

dilanjutkan ke fase lanjutan.

Fase lanjutan : 5 R3H 3E3 atau 5 RHE

3) Kategori 3 digunakan pada pasien TB paru dengan (BTA -) dan

kelainan paru tidak luas, pasien dengan kasus ekstrapulmonal

kecuali yang sudah temasuk pada kategori 1.

Fase inisial : 2 RHZ

Fase lanjutan : 4RH atau 4H3R3 atau 6HE


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4) Kategori 4 digunakan pada pasien dengan TB kronik. Sputum

pasien kategori ini perlu dikultur untuk memperoleh hasil uji

resistensi dan dipertimbangkan penggunaan obat sekunder yang

mana basil masih peka terhadap obat tersebut.

2. Evaluasi dan Sebab Kegagalan dalam Penatalaksanaan TB

a. Evaluasi Penatalaksanaan TB

Menurut Amin dan Bahar (2009b), evaluasi dalam

penatalaksanaan TB dapat dilakukan dengan berbagai pengamatan dan

pemeriksaan, di antaranya:

1) Pengamatan klinis; pasien sebaiknya diamati selama 1 minggu

pertama pengobatan kemudian 2 minggu sekali saat menjalani

tahap inisiasi, selanjutnya tiap bulan hingga selesai tahap

lanjutan. Penilaian dalam pengamatan ini adalah apakah intensitas

batuk sudah berkurang, batuk darah sudah hilang, nafsu makan

dan berat badan sudah meningkat.

2) Pemeriksaan bakteriologis; berdasarkan anjuran dari WHO

(2012), pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada akhir bulan ke-

2, 4, dan 6 selama masa pengobatan. Uji bakteriologis yang

umumnya dipakai di Indonesia adalah uji konversi BTA sputum.

Uji konversi BTA sputum ini wajib dilakukan setelah 2 bulan

pengobatan dengan tahap inisiasi untuk menjadi penentu apakah

diperlukan penambahan tahap inisiasi atau sudah dapat segera


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dilanjutkan dengan tahap lanjutan. Pemeriksaan tetap diulang

hingga 3x berturutan meskipun hasil uji BTA nya sudah negatif.

3) Pemeriksaan radiologis; karena perubahannya yang tidak secepat

konversi dalam pemeriksaan bakteriologis, maka pemeriksaan ini

dilakukan tiap 3 bulan sekali. Hasil pemeriksaan bakteriologis

yang telah mengalami konversi namun pemeriksaan klinis dan

radiologis tidak membaik, maka sebaiknya dicurigai

kemungkinan penyakit lainnya. Selanjutnya bila baik secara

klinis, bakteriologis, maupun radiologis tetap tidak tampak

adanya perbaikan sedangkan pasien sudah menjalani pengobatan

dengan dosis adekuat secara teratur, maka perlu dipertimbangkan

kemungkinan adanya gangguan imunologis pada pasien TB.

b. Kegagalan dalam Penatalaksanaan TB

Penyebab dari kegagalan dalam usaha penatalaksaan TB yang

oleh Amin dan Bahar (2009b) dibagi ke dalam 3 golongan besar;

1) Obat TB yang digunakan

a) Paduan obat yang digunakan tidak adekuat atau dosisnya yang

kurang.

b) Pasien TB tidak meminum obat secara teratur.

c) Jangka waktu untuk pengobatan yang kurang.

d) Munculnya resistensi terhadap kemoterapi TB yang digunakan.

2) Drop out selama pengobatan


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a) Pasien merasa sudah sembuh sehingga tidak menuntaskan

dengan lengkap sesuai jangka waktu pengobatan yang sudah

ditetapkan.

b) Kurangnya biaya pengobatan.

c) Kurangnya motivasi pada pasien.

3) Penyakit/gangguan lain yang menyebabkan gangguan imunologis

atau kondisi yang imunokompromais, seperti HIV atau Diabetes

mellitus.

Penyebab yang paling banyak dijumpai pada kasus kegagalan

terapi TB adalah kurangnya motivasi maupun pemahaman pada pasien,

sehingga seringkali bila pasien sudah merasa sembuh maka pasien akan

menghentikan pengobatan. Penyebab yang lain seperti komorbid

Diabetes mellitus maupun koinfeksi HIV juga tidak boleh lepas dari

perhatian para klinisi dan masyarakat. Penanggulangan terhadap kasus

kegagalan terapi dapat dilakukan dengan:

1) Pasien yang sudah teratur selama pengobatan

a) Menilai kembali paduan obatnya apakah sudah adekuat.

b) Melakukan uji resistensi obat.

c) Bila dengan pengobatan masih gagal, pertimbangkan untuk

melakukan terapi pembedahan.

2) Pasien yang tidak teratur selama pengobatan

a) Meneruskan pengobatan selama ±3 bulan dengan pemeriksaan

bakteriologis yang dilakukan setiap bulannya.


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b) Melakukan uji resistensi obat dan apabila didapatkan adanya

resistensi pada kemoterapi yang digunakan, sebaiknya diganti

dengan obat yang mana kumannya masih sensitif.

3. Diabetes mellitus

a. Definisi

Diabetes mellitus merupakan suatu gangguan metabolik yang

disebabkan oleh beragam etiologi dengan karakteristik utamanya

berupa kondisi hiperglikemia kronis yang disertai dengan gangguan

metabolisme dari karbohidrat, lemak, dan protein akibat dari defek pada

proses sekresi insulin, kinerja insulin, maupun keduanya (WHO, 2013;

Purnamasari, 2009).

b. Epidemiologi

Dampak dari kemajuan pembangunan yang pesat serta

peningkatan kemakmuran masyarakat dalam beberapa dekade terakhir

ini berupa terjadinya peningkatan yang signifikan dari prevalensi

Diabetes mellitus, terutama Diabetes mellitus tipe 2 (Suyono, 2009).

Hal ini terjadi karena adanya perubahan pola makan mengikuti budaya

barat yang mengandung protein, lemak, gula, garam tinggi dengan serat

yang rendah serta kurangnya waktu yang dimiliki masyarakat untuk

melakukan aktivitas fisik/olahraga secara teratur dikarenakan kesibukan

dengan pekerjaan yang padat. Menurut WHO (2012), jumlah pengidap

Diabetes mellitus dengan usia di atas 20 tahun akan meningkat dari

yang semula 150 juta orang di tahun 2000 dapat menjadi 300 juta orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

di tahun 2025, bahkan data statistik terakhir yang disampaikan oleh

WHO (2012), peningkatan prevalensi Diabetes mellitus tertinggi ada di

negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

c. Klasifikasi Diabetes mellitus

Klasifikasi Diabetes mellitus oleh ADA (2010):

1) Diabetes mellitus tipe 1

Destruksi sel beta pankreas menyebabkan terjadinya defisiensi

insulin yang absolut pada pasien.

2) Diabetes mellitus tipe 2

Predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif

sampai predominan gangguan sekresi dengan resistensi insulin.

Pasien tidak bergantung insulin seumur hidup sebab umumnya sel

beta pankreas masih berfungsi.

3) Diabetes mellitus tipe lain

4) Diabetes gestasional

d. Penegakan Diagnosis

Gejala utama dari Diabetes mellitus seperti poliuria, polidipsia,

polifagia, serta penurunan berat badan tanpa kausa yang jelas. Gejala

lain yang tidak termasuk dalam gejala utama seperti kesemutan, luka

yang lama sembuh, gatal, pandangan kabur, malaise, disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vagina pada wanita. Penegakan diagnosis

Diabetes mellitus dapat ditempuh dengan 3 cara, di antaranya:


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1) 200 mg/dl (11,1

mmol/l)

2) 126 mg/dl (7

mmol/l)

3) 200 mg/dl (11,1 mmol/l)

TTGO menurut standart WHO merupakan pemeriksaan glukosa

darah 2 jam setelah pemberian glukosa 75 gram dalam 250 ml air.

Sebelum diberi glukosa tersebut, pasien harus berpuasa terlebih

dahulu minimal selama 8 jam.

Pasien dengan gejala utama seperti yang disebutkan di atas hanya

memerlukan 1 kali saja pemeriksaan glukosa yang abnormal sudah

cukup untuk penegakan diagnosis, namun bila hanya didapat gejala

yang tidak termasuk gejala utama maka memerlukan pemeriksaan

glukosa yang abnormal minimal 2 kali (Purnamasari, 2009).

e. Penatalaksanaan

Modalitas utama dari penatalaksanaan Diabetes mellitus meliputi

penatalaksanaan non farmakologis (perubahan gaya hidup dan

pengaturan pola makan) dan penatalaksanaan farmakologis dengan

Obat Anti Diabetes (OAD) yang diberikan oral maupun dengan

pemberian injeksi insulin. Penatalaksanaan farmakologis baru

digunakan apabila pada pasien kadar gula darahnya tetap tidak dapat

dikendalikan meski sudah ditempuh dengan penatalaksanaan non

farmakologis, selain itu yang perlu diingat adalah selama


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penatalaksanaan farmakologis dilakukan juga harus tetap disertai

dengan penatalaksanaan non farmakologis (Soegondo, 2009; Yunir dan

Soebardi, 2009).

f. Pencegahan

Pencegahan Diabetes mellitus menurut WHO (1994) dapat

ditempuh melalui 3 tahapan:

1) Pencegahan primer

Mengupayakan perubahan pola makan serta aktivitas fisik

menjadi pola hidup yang sehat sehingga dapat mencegah

hiperglikemia. Sasarannya sangat besar maka untuk pencegahan

primer ini memerlukan kerjasama yang baik dari seluruh

masyarakat, klinisi, serta pemerintah.

2) Pencegahan sekunder

Melakukan screening guna menemukan pengidap Diabetes

mellitus sedini mungkin serta kontrol yang baik terhadap kadar

glukosa pasien Diabetes mellitus hingga kadarnya mendekati

normal. Pada pencegahan sekunder ini juga diperlukan edukasi

serta motivasi yang baik kepada pasien Diabetes mellitus.

3) Pencegahan tersier

Meliputi pencegahan terhadap terjadinya komplikasi,

berkembangnya komplikasi, serta kecacatan yang mungkin timbul

dari komplikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Diabetes mellitus pada pasien Tuberkulosis Paru

a. Sistem imunitas

1) Sistem imunitas pejamu terhadap infeksi Mycobacterium

tuberculosis

Mekanisme pertahanan tubuh pejamu terhadap infeksi dari

Mycobacterium tuberculosis meliputi peranan dari imunitas non-

spesifik maupun imunitas spesifik. Imunitas non-spesifik dimulai

dengan terbentuknya ikatan antara Mycobacterium tuberculosis

dengan reseptor fagosit dan masuknya kuman ini ke dalam

makrofag. Sel Natural Killer (NK) juga turut berperan melalui

kemampuannya memproduksi IFN- dalam mekanisme imunitas

non-spesifik. Imunitas non-spesifik inilah yang menjadi kunci

munculnya imunitas spesifik. Imunitas spesifik diperantarai oleh

sel dan dapat menyebabkan kondisi resistensi terhadap kuman

tersebut. (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010; Cahyadi dan

Venty, 2011)

Peranan imunitas non-spesifik dan spesifik memungkinkan

hasil akhir yang berbeda dari infeksi kuman Mycobacterium

tuberculosis, ada kuman yang dengan segera dieliminasi oleh

makrofag, ada yang menjadi infeksi laten dikarenakan daya

imunitas pejamu yang kuat sehingga berhasil membentuk

granuloma, dan ada juga yang menjadi infeksi primer dikarenakan

kegagalan imunitas pejamu (Bhatt dan Salgame, 2007).


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pertemuan antara sel-sel makrofag dengan kuman penyebab

TB, memungkinkan masuknya Mycobacterium tuberculosis ke

dalam makrofag alveolar melalui mekanisme endositosis.

Stadium TB primer dimulai yang ditandai dengan terjadinya

proliferasi Mycobacterium tuberculosis dalam makrofag.

Proliferasi ini memicu terjadinya lisis makrofag dengan

menghasilkan beragam kemoatraktan yang merekrut lebih banyak

makrofag imatur dan sel dendrit. Makrofag tersebut selanjutnya

mempresentasikan antigen Mycobacterium tuberculosis melalui

MHC kelas II kepada limfosit T (Bhatt dan Salgame, 2007;

Stalenhoef et al., 2008; Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Mycobacterium tuberculosis merupakan parasit intrasel,

sehingga imunitas yang terpenting diperankan oleh Cellular

Mediated Immunity (CMI) dan Delayed Type Hypersensitivity

(DTH), dimana sel limfosit T yang berperan sebagai mediator

utamanya (Surjanto et al., 2012).

Limfosit T CD4+ memiliki peranan paling penting sebagai

imunitas spesifik terhadap infeksi kuman TB. Limfosit T CD4+

berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2. Th1 memproduksi IFN-

dan IL-2 dan mengaktifkan makrofag (DTH), sementara Th2

memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang berperan dalam

imunitas humoral. Mekanisme proteksi yang lain juga diperankan

oleh limfosit T CD8+/CTL, sel ini mensekresi IFN- dan IL-4


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

serta memacu lisis sel yang terinfeksi (Baratawidjaja dan

Rengganis, 2010; Bhatt dan Salgame, 2007; Stalenhoef et al.,

2008; Surjanto et al., 2012).

IFN- yang mulanya dikenal sebagai macrophage-

activating factor merupakan molekul efektor yang berperan

dalam stimulasi pembentukan fagolisosom oleh makrofag serta

secara langsung menginduksi mekanisme antimikrobial dan

antitumor (Schroder et al., 2004). IFN- juga meningkatkan

regulasi dari presentasi antigen kepada limfosit T, memaparkan

kuman pada lingkungan yang sangat asam, dan menstimulasi

ekspresi dari inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS). iNOS

selanjutnya menghasilkan NO yang dapat menyebabkan destruksi

oksidatif pada dinding sel hingga DNA kuman (Bhatt dan

Salgame, 2007; Stalenhoef et al., 2008).

2) Sistem imunitas pada infeksi TB dengan komorbid Diabetes

mellitus

Uji eksperimental oleh Stalenhoef et al. (2008) pada plasma

darah individu menghasilkan kesimpulan bahwa tidak didapatkan

adanya perbedaan dari produksi sitokin antara pasien TB dengan

komorbid Diabetes mellitus maupun pasien TB yang tidak

disertai Diabetes mellitus. Produksi IFN- pada imunitas spesifik

terhadap Mycobacterium tuberculosis hasilnya sama, namun

produksi IFN- pada imunitas non-spesifik didapatkan penurunan


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kuantitas yang signifikan pada pasien TB disertai Diabetes

mellitus (Stalenhoef et al., 2008). Menurut Wang et al. (2009)

pada pasien TB dengan Diabetes mellitus juga didapatkan jumlah

proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah, dimana

seharusnya pada pasien dengan TB paru yang aktif terjadi

peningkatan kuantitas makrofag alveolar matur. Defek sistem

imunitas pejamu dengan komorbid Diabetes mellitus juga

disebabkan oleh aktivitas bakterisidal leukosit dari pejamu yang

menurun, terutama pada individu dengan kontrol gula darah yang

buruk (Cahyadi dan Venty, 2011).

b. Gambaran klinis

Penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2009) menunjukkan

pasien TB dengan Diabetes mellitus memiliki frekuensi lebih tinggi

terhadap demam, hemoptisis, BTA +, kavitasi serta lesi konsolidasi

pada paru, serta terhadap kematian. Penelitian oleh Alisjahbana et al.

(2007) juga memberikan hasil yang serupa, dimana gejala klinis

diemukan lebih banyak pada pasien TB dengan komorbid Diabetes

mellitus dibanding dengan pasien TB tanpa Diabetes mellitus, selain itu

pada pasien dengan Diabetes mellitus juga didapatkan kondisi umum

yang jauh lebih buruk. Kedua penelitian tersebut memberikan simpulan

bahwa gejala yang muncul akibat infeksi TB hampir serupa antara

pasien tanpa disertai Diabetes mellitus dengan yang disertai Diabetes

mellitus, hanya saja frekuensinya cenderung lebih banyak dan kondisi


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

umumnya lebih buruk pada pasien dengan komorbid Diabetes mellitus,

hal ini disebabkan oleh defek imunitas yang turut menyertai kondisi

hiperglikemia kronik pada pasien Diabetes mellitus (Cahyadi dan

Venty, 2011).

c. Penatalaksanaan

Prinsip dari pengobatan TB paru pada pasien dengan komorbid

Diabetes mellitus serupa dengan pengobatan TB paru pada pasien tanpa

disertai Diabetes mellitus, hanya saja pada TB yang disertai Diabetes

mellitus sangat penting untuk melakukan kontrol ketat terhadap kadar

glukosa darah di samping terapi TB itu sendiri (Alisjahbana et al.,

2007).

Obat lini pertama yang digunakan untuk terapi pasien TB paru

dengan Diabetes mellitus berupa isoniazid, rifampisin, pirazinamid,

etambutol, dan streptomisin, hanya saja perlu diperhatikan bahwa

pemberian sediaan rifampisin dapat berinteraksi dengan OAD golongan

sulfonilurea. Rifampisin meningkatkan metabolisme sulfonilurea,

akibatnya efektivitas OAD golongan ini akan menurun, oleh karena itu

dosis dari OAD sebaiknya ditingkatkan (Alisjahbana et al., 2007).

Menurut penelitian Nijland (2006), kadar plasma rifampisin

selama pengobatan fase lanjutan pada pasien dengan Diabetes mellitus

jika dibanding dengan yang tanpa Diabetes mellitus hanya sekitar 50%

nya, demikian pula dengan konsentrasi plasma maksimalnya yang dapat


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mencapai di atas target (8 mg/dl) hanya sekitar 6% pasien, sementara

yang tanpa disertai Diabetes mellitus masih sekitar 47% pasien.

d. Evaluasi dan Penyebab Kegagalan dalam Penatalaksanaan TB

Pemeriksaan bakteriologis dengan uji konversi BTA sputum

merupakan pemeriksaan yang banyak diterapkan di Indonesia serta

sudah menjadi anjuran dari WHO. Berdasar rekomendasi WHO (2012),

uji konversi BTA sebaiknya dilakukan pada bulan ke-2, 4, dan 6 selama

pengobatan. Secara umum pada bulan ke-2 terapi inisiasi seharusnya

sudah terjadi konversi BTA sputum pasien dari yang semula positif

menjadi BTA negatif, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan

Alisjahbana et al. (2007) ditemukan adanya pengaruh negatif dari

Diabetes mellitus terhadap pengobatan TB. Berdasarkan penelitian ini

diperoleh simpulan bahwa Diabetes mellitus secara signifikan

mempengaruhi kultur BTA, sehingga masih positif meski setelah 6

bulan pengobatan. Dampak negatif pada penatalaksanaan TB yang

tampak dengan uji konversi BTA yang tetap positif disebabkan oleh

penurunan imunitas serta kadar plasma rifampisin pada pasien dengan

Diabetes mellitus (Vallerskog et al., 2010; Alisjahbana, 2007).

Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

infeksi tuberkulosis (Leung et al., 2008; Stalenhoef et al., 2008). Selain

memudahkan terjadinya infeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosis,

Diabetes mellitus juga berperan dalam perburukan gambaran klinis serta

outcome dari infeksi TB serta penatalaksanaannya (Baker et al., 2011;


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Alisjahbana, 2007). Oleh karena itu, diperlukan perhatian yang lebih dari

para klinisi, masyarakat, serta pemerintah untuk kondisi infeksi TB dengan

komorbid Diabetes mellitus.

B. Kerangka Pemikiran

Hiperglikemia kronis

Diabetes mellitus dapat


Diabetes mellitus menurunkan imunitas
penderita TB

1. Kepatuhan pasien
mengkonsumsi obat
2. Ketepatan dosis pengobatan
Gambaran klinis pada pasien TB
3. Jangka waktu pengobatan
disertai Diabetes mellitus
4. Penyakit lain (HIV/AIDS)
semakin memburuk dengan
5. Usia pasien
6. Gaya hidup, status gizi, dan penurunan respon terhadap terapi
pola makan pasien

Perlambatan konversi BTA


sputum yang tetap positif setelah
mendapatkan terapi tahap inisiasi
Keterangan :

Menyebabkan
(variabel independen)
Menyebabkan
(variabel luar & perancu)
Menurunkan

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

Ada hubungan Diabetes mellitus dengan hasil uji konversi BTA sputum

setelah pemberian terapi tuberkulosis tahap inisiasi.

Anda mungkin juga menyukai