BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
BAB II
PEMBAHASAN
A. RASIONAL
Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak
salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam pembangunan bangsa. Tinggi-
rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu pendidikan yang diterapkannya.
Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral,
memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi. Negara-negara yang telah berhasil mencapai
kemajuan dan menguasai teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi
perhatian yang besar terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat
dukungan penuh dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi,
kebutuhan, dan daya akses seluruh lapis masyarakat mereka. Harus kita akui, pelaksanaan
pendidikan di Indoensia masih jauh dari yang diharapankan. Begitu juga dengan mutu yang
dihasilkannya. Padahal, amanat Undang-Undang Dasar 1945 mematok tujuan pendidikan
nasional begitu tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia. Cerdas dalam artian mayoritas
rakyat Indonesia memiliki budaya belajar dan mengajar dalam aktivitas kesehariannya.
Kajian sosiologi tentang pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik
pendidikan sekolah maupun pendidikan diluar sekolah. Masyarakat Indonesia setelah
kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah mengalami banyak
perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik baik secara
horizontal maupun vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat
dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya.
3
Permasalahan pendidikan di Indonesia sangat komplek dan banyak sekali, sehingga perlu
pembahasan yang panjang dan berkelanjutan. Demikian pula isu-isu pendidikan yang terjadi
diindonesia antara lain yang berkaitan dengan ; konstitusi pendidikan; korupsi; kurikulum;
guru; ujian nasional; akses dan equity; keadaan sekolah; kekerasan disekolah; mutu
pendidikan; teknologi pendidikan; dana pendidikan; dan reformasi pendidikan.
B. IDENTIFIKASI ISU
Setelah menelaah isu-isu pendidikan yang berkembang pada periode 2008 sampai 2011,
maka isu-isu pendidikan antara lain : konstitusi pendidikan; korupsi dan pendidikan;
kurikulum pendidikan; guru; ujian nasional; akses dan equity; keadaan sekolah; kekerasan
disekolah; mutu pendidikan; teknologi pendidikan; dana pendidikan; dan reformasi
pendidikan.
C. ISU-ISU PENDIDIKAN
1. Konstitusi Pendidikan
Pemerintah dinilai masih gagal dalam upaya pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara
sesuai tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan amanat dari esensi
UUD1945.
Pasalnya, saat ini warga negara kelas menengah ke bawah harus menanggung beban berat
dalam menikmati pendidikan dasar dan menengah, dan semakin sulit untuk melanjutkan ke
pendidikan tinggi (perguruan tinggi).Ketika sebelum memasuki abad ke-21, yakni tingginya
harapan dan impian bagi anak-anak kelas menengah ke bawah untuk melanjutkan pendidikan
tinggi, ataupun menikmati pendidikan dasar dan menengah tanpa beban berat.
Sementara itu pendidikan kedinasan tidak sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional. Fasli Jalal, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan, pendidikan kedinasan
di bawah instansi pemerintahan mesti menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan UU Sisdiknas menyebutkan, pendidikan
kedinasan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi
setelah program sarjana. Ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Polemik Pendidikan Kedinasan ini pernah menyita perhatian
Kementerian Kesejahteraan Rakyat. Mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie, melalui surat
tertanggal 12 September 2008, mengakui, UU Sisdiknas tidak sejalan dengan praktik
pendidikan kedinasan yang ada.
Menurut Hendrawan (2003), tiap orang dilahirkan sebagai murid. Orang tumbuh berbudaya
jika moral ditanamkan dan dipelihara. Kehidupan harus disikapi sebagai proyek moral dan
menurut Confusius, “yang ingin mengatur hidup bangsanya harus mengatur hidup
4
keluarganya. Yang ingin mengatur hidup keluarganya harus mengatur hidup pribadinya
membentuk hati yang benar, kehidupan pribadi yang dibudayakan (memelihara hukum
moral), dengan demikian kehidupan keluarga menjadi teratur. Keluarga yang teratur
membangun bangsa yang teratur”. Beragama tidak selalu pararel dengan bermoral. Beriman
belum tentu serta-merta mengenal norma. Ada nilai dalam religiositas, ada norma dalam
moralitas. Agama merupakan sekolah iman dan di dalam asuhan keluarga yang teratur moral
bisa naik kelas. Anak yang tak memiliki standar kebenaran dan moral, yang tak diajar pintar
membedakan yang benar dari yang salah akan hidup di pinggiran moral.
Kondisi itu dialami sebagian besar anak muda AS. Riset Barna (George Barna and The Barna
Research group, Ltd) mengungkap anak-anak di banyak belahan dunia kini dibiarkan
kehilangan sistem nilai. Di AS, generasi Baby Boomers angkatan Bill Clinton (yang lahir
1946-1964) dan generasi Baby Busters, yang lahir setelah 1964 sama-sama mengadopsi
budaya yang tak selalu mengetahui perbedaan antara benar dan salah, antara manusia dan
binatang, tak punya lensa moral tajam, tak menyimpan pandangan kebenaran yang kuat.
Selain kehilangan sistem nilai, ada yang merosot dalam warisan nilai tradisional anak-anak
setelah Bill Clinton.
Empat faktor dianggap menjadi penyebabnya. Pertama, media massa membuat nilai permisif
barat secara mondial semakin menjadi sebahasa. Ketika media massa membuat pergaulan
lintas kultur menjadi begitu akrab, dunia semakin kecil, dan imbas nilai rentan ditularkan dan
diadopsi. Ketika anak lebih banyak belajar nilai dari televisi (yang tak selalu realistis)
ketimbang dari ayah-ibu, hampanya sistem nilai tradisional di sekolah yang hanya mengajar
dan kurang mendidik, serta rumah yang cenderung menjadi “sarang kosong”, sebab orang tua
sibuk, menjadikan nilai dan norma yang tertanam dan tumbuh kepada anak menjadi asing,
absurd, dan boleh jadi teralienasi.
Penyebab kedua, pergerakan urbanisasi menggeser nilai yang dipetik dari keluarga besar
(dengan hadirnya kakek, nenek, paman dan bibi) beralih ke nilai keluarga inti. Anak
dibesarkan pembantu dan kian terasing dari lingkungan tradisi dan cenderung menjadi besar
bukan sebagai murid. Ketika sekolah lupa melakukan tugas pembudayaan, dan orang tua
alpa, anak tumbuh tidak tahu aturan, tidak tahu diri, liar, alih-alih beriman bermoral. Iman tak
mungkin naik kelas kalau Agama cuma mengajar, tetapi tidak mendidik.
halal untuk yang halal, ketimbang berbuat halal tetapi dipakai untuk yang tidak halal. Seakan
dosa punya strata.
Faktor penyebab keempat ada di sekolah. Ketika sekolah berubah menjadi “pabrik
pendidikan” (menurut Glenn & Nelson), pendidikan nilai diserahkan orang tua kepada
sekolah. Padahal, sekolah cenderung lebih mengajar ketimbang mendidik. Tanpa nilai dan
norma, buku iman dan kitab moral anak tetap saja kosong (“tabula rasa”). Kesadaran moral
anak tak tumbuh, pilihan dan pedoman moral langka, alih-alih terasah lensa moral dan
kacamata iman anak bila kurikulum Agama cuma kognitif, bukan alih praktis, dan
pendidikan budi pekerti nyaris sirna. Orang bertanya apa lemahnya iman merupakan sebab
utama sikap permisif masyarakat dan kehidupan pribadi? Bagi yang percaya bahwa iman dan
moral itu dua kawasan berbeda akan menjawab bukan hilangnya rasa takut akan Tuhan yang
membuat orang tak tahu malu, tak mawas, atau menjadi tak tahu diri. Orang dapat
menemukan norma moral tanpa bantuan iman. Bukan sedikit orang ateis yang moralnya
luhur. Bangsa beragama bukan jaminan niscaya elok moralnya. Iman bukan syarat psikologis
buat moral. Bangsa kita agaknya tengah menisbikan etika, mengabaikan nilai kejujuran (Do-
er-mentality).
Di tengah pluralisme moral, perlu ada jalan dari iman ketika Agama bisa membuka pintu
untuk kesediaan mengubah yang bukan nilai menjadi nilai pada diri seseorang (divinely
human). Seyogyanya iman dan moralitas hampir selalu disebut bersama agar menjadi nyata
bahwa moralitas merupakan ungkapan iman religius juga. Jadi, pendidikan moral sebuah
anak bangsa itu sejatinya ada di dalam keteladanan pemimpin bangsa yang kehidupan
pribadinya teratur sehingga kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsanya teratur.
Pendidikan moral juga hadir dalam pendidikan agama yang bukan sekedar mengajar
melainkan pintar pula dalam praksis ajaran agama yang setiap tindakannya dibenarkan di
mata manusia maupun di penglihatan Tuhan
3. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan sekaligus
digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pada berbagai jenis
dan tingkat sekolah. Kurikulum menjadi dasar dan cermin falsafah pandangan hidup suatu
bangsa, akan diarahkan kemana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa ini di masa depan,
semua itu ditentukan dan digambarkan dalam suatu kurikulum pendidikan. Kurikulum
haruslah dinamis dan terus berkembang untuk menyesuaikan berbagai perkembangan yang
terjadi pada masyarakat dunia dan haruslah menetapkan hasilnya sesuai dengan yang
diharapkan.
Secara etimologi, kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang
artinya "pelari" dan curere yang berarti "tempat berpacu". Itu berarti istilah kurikulum berasal
dari dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu
6
jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai finish, kemudian di gunakan
oleh dunia pendidikan.
Secara terminologi, istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu sejumlah
pengetahuan atau kemampuan yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai
tingkatan tertentu secara formal dan dapat dipertanggungjawabkan. Seiring perkembangan
jaman pengertian kurikulum juga terus mengalami pergeseran makna, tugas mendidik yang
harusnya diemban bersama-sama antara keluarga dan sekolah menjadi tidak berimbang, hal
ini menjadikan masyarakat lebih mempercayakan masalah pendidikan anak kepada sekolah.
Padahal waktu yang dimiliki anak lebih banyak dilingkungan keluarga daripada disekolah.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat diikuti peledakan
informasi dan peledakan penduduk membuat beban sekolah semakin berat dan kompleks
akhir-akhir ini. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat lebih banyak menuntut ke
sekolah berupa nilai-nilai dan kemampuan anak yang harus sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan dunia kerja.
Pengertian kurikulum secara luas tidak hanya berupa mata pelajaran atau kegiatan-kegiatan
belajar siswa saja tetapi segala hal yang berpengaruh terhadap pembentukan pribadi anak
sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan. Sebenarnya banyak pendapat dan
pengertian kurikulum yang dikemukakan para ahli pendidikan pada berbagai literatur, namun
intinya sebagaimana diungkapkan diatas. Selain pengertian kurikulum, ada beberapa istilah-
istilah dalam kurikulum yang sering kita dengar (terutama guru) dalam lingkungan kita
sehari-hari, diantaranya:
a. Ideal Curriculum
Ideal Curriculum atau kurikulum ideal adalah kurikulum yang berisi sesuatu yang baik, yang
diharapkan atau dicita-citakan sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum.
b. Real Curriculum
Real Curriculum, Actual Curriculum atau kurikulum aktual adalah apa yang terlaksana dalam
proses belajar mengajar atau yang menjadi kenyataan dalam kurikulum yang direncanakan
atau terprogram dalam pendidikan. Kurikulum Aktual sebaiknya sama dengan kurikulum
ideal, atau setidak-tidaknya mendekati kurikulum ideal walaupun tidak mungkin atau tidak
pernah sama dalam kenyataannya.
c. Hidden Curriculum
Hidden Curriculum atau kurikulum tersembunyi adalah kurikulum yang terjadi dari segala
sesuatu yang mempengaruhi ketika sedang mempelajari sesuatu. Pengaruh ini mungkin dari
pribadi guru, dari anak didik itu sendiri, dari karyawan sekolah, atau hal-hal lain yang berada
dilingkungan sekolah. Kurikulum tersembunyi muncul ketika sedang berlangsungnya
7
kurikulum ideal atau kurikulum aktual. Kurikulum tersembunyi ini sangatlah kompleks, sulit
diketahui dan dinilai.
Kurikulum dan pengajaran adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Perbedaannya hanya terdapat pada tingkatannya. Kurikulum lebih menunjukan pada suatu
program yang bersifat umum, untuk jangka lama, dan tak tercapai dalam waktu seketika.
Sedangkan pengajaran bersifat realistis atau aktual, sifatnya khusus dan tercapai pada saat itu
juga. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengajaran adalah pelaksanaan dari suatu
kurikulum secara bertahap dalam proses belajar mengajar.
Perencanaan dan pengorganisasian materi yang meliputi (1) struktur mata pelajaran di
sekolah (2) materi esensial mata perajaran (3) pokok bahasan esensial, tema utama, (4) Sub
pokok bahasan esensial, anak tema utama dilakukan evaluasi melalui (1)ujian akhir sekolah,
uji kompetensi lulusan, (2)ujian sumatif mata pelajaran, ujian kompetensi mata pelajaran
yang digambarkan oleh penguasaan beberapa standar kompetensi yang ditetapkan, (3)ujian
formatif, uji stansar kompetensi yang digambarkan oleh penguasaan beberapa kompetensi
dasar yang ditetapkan, (4)evaluasi ahir kegiatan belajar, digambarkan oleh pencapaian
beberapa indikator belajar.
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat
berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat
menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas.
Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal
yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang
diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar
individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam
proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta
masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.
Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari
perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan
peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan
8
mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada
mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak
melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka
menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu,
dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru
mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai
dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya.
Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu
tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan
pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika,
tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan
seharusnya diketahui oleh anak. Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik
agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-
tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang
diri sendiri. Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang
baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan
negara lewat UUD 1945 dan Pancasila.
Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis
harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang
guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di
mana ia bertempat tinggal. Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru
harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa
yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita
berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu
memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik
berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan
hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain
tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara
(lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk
berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-
rumus.
Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka
melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan,
apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi.
Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan
dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga
9
kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan,
bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru
atau calon tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang
baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan
tugas profesional.
Untuk menyiapkan guru yang juga manusia berbudaya ini tergantung 3 elemen pokok yaitu :
1. Orang yang disiapkan menjadi guru ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu
menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur
pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat dianggap
sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang pengetahuan kalau dia tidak
menguasai pengetahuan itu dengan baik. Ini bukan berarti bahwa seseorang yang menguasai
ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun
mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni
mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia
tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
2. Guru tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat
diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek
manusiawinya. Jadi di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan
yang dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang
kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2)
model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap
masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
10
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-
tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan
(supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu
menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan
masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti
penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas
tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk
perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan
spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru
sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak
agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka
dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru,
orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh
masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah
Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus
memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti
persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi
dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan
tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di
atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh
bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam
masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat
membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya.
Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan
insidental.
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat
berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat
mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
11
Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi
juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang
guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses
belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan
seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan
dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
5. Ujian Nasional
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna
mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi
perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap
dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan
dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti
ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk
belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-
baiknya.Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena
menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan
kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang kita kembangkan.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa saat ini ada kecenderungan untuk menggeser paradigma
model pembelajaran kita dari pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian
kemampuan kognitif ke arah pembelajaran yang lebih berorientasi pada pencapaian
kemampuan afektif dan psikomotor, melalui strategi dan pendekatan pembelajaran yang jauh
lebih menyenangkan dan kontekstual, dengan berangkat dari teori belajar konstruktivisme.
Kita maklumi pula bahwa Ujian Nasional yang dikembangkan saat ini dilaksanakan melalui
tes tertulis. Soal-soal yang dikembangkan cenderung mengukur kemampuan aspek kognitif.
Hal ini akan berdampak terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan di sekolah.
Sangat mungkin, para guru akan terjebak lagi pada model-model pembelajaran gaya lama
yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya
pembelajaran tekstual dan behavioristik.
Selain itu, Ujian Nasional sering dimanfaatkan untuk kepentingan diluar pendidikan, seperti
kepentingan politik dari para pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi
segelintir orang. Oleh karena itu, tidak heran dalam pelaksanaannya banyak ditemukan
kejanggalan-kejanggalan, seperti kasus kebocoran soal, nyontek yang sistemik dan disengaja,
merekayasa hasil pekerjaan siswa dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua
aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan
12
ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM
yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke
pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan
layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta
huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar. Guna mengatasi hal
yang tidak mungkin diselenggarakan pendidikan konvensional atau tatap muka ini perlu
ditempuh strategi yang memanfaatkan potensi dan kemajuan teknologi baru.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan
pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau
17,6 persen dari total penduduk Indonesia (berdasarkan data Badan Pusat Statistik : 2007).
Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses
pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat
perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial. Pemerataan pendidikan
masyarakat miskin dan terpencil di Indonesia, dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan
formal dan pemerataan pendidikan non formal.
pada jenjang pendidikan formal,secara umum perluasan akses dan peningkatan pemerataan
pendidikan masih menjadi malasah utama, terutama bagi masyarakat miskin maupun
masyarakat di daerah terpencil. Pemerataan pendidikan formal terdiri dari pemerataan
pendidikan di tingkat persekolah sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi
Pada pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam
pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan
berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada
peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja
dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan
berkualitas, sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah
eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada sekolah
yang diasumsikan dengan “unggul”.
Selain itu, penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak
merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga
masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi
melanjutkan pendidikan tinggi. Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan
Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM,
USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang
bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi.
Untuk bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orangtua mahasiswa harus
mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Ada beberapa argument yang menyebabkan muncul
gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi. Pertama, pendidikan tinggi yang
selama ini bersifat elitis akan semakin bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan
makin mengentalkan watak elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas
bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional.
Prinsip dasar pemerataan ini sangat penting guna memberikan kesempatan bagi semua
golongan masyarakat, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan
ideologis di balik gerakan protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi
adalah orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang
berasal dari kelas bawah (keluarga miskin) mengalami kesulitan mendapatkan akses
pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan
Pendidikan di Indonesia
Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari
dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk
pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang
sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah. Apalagi pendidikan
non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat
terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil
seperti peningkatan jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap pendidikan
14
ini dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Umum. Selain itu pemerintah akan mengurangi tingkat disparitas atau
ketidakmerataan akses baik spasial kota non kota dan yang bersifat gender. Dalam sektor
pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9 tahun, yaitu dengan
tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah
2 Mei 1994.
Hal ini segaris dengan semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di
konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia
Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan
‘sistem’ tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih
berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang
menanggungnya”. Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk
meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia termasuk pelaksanaan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat
diukur antara lain dengan peningkatan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah
menengah pertama dan yang sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan
tahun 2006 belum seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.
7. Keadaan sekolah
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendiknas tahun 2009 mengenai kondisi sekolah di
Indonesia, masih banyak keprihatinan yang harus diperhatikan oleh segenap bangsa dan
tanah air. Hanya bergantung pada peran pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur
pendidikan di Indonesia tidak akan cukup untuk mencapai tingkat pendidikan maksimum.
Pada tahun 2009, terdapat 114,228 sekolah dasar, 28,777 sekolah menengah pertama dan
hanya 18,354 sekolah menengah di Indonesia. Hal ini mencerminkan kondisi terbatasnya
sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia. Walaupun jumlahnya telah meningkat di tahun
2011, namun kemungkinan peningkatan sarana dan prasarana untuk tingkat sekolah
15
menengah sangat kecil, karena fokus pemerintah dan masyarakat pada umumnya saat ini
masih pada tingkat sekolah dasar.(Kemendiknas, 2009)
Tidak hanya itu, hampir seluruh Sekolah Dasar di Indonesia tidak menyediakan
perpustakaan, terlebih lagi ruang komputer dan laboratorium
Sekolah sebagai tempat bermain dan bersosialisasi dengan teman sebaya atau dengan guru
atau dengan karyawan yang ada dalam sekolah tersebut berusaha memberikan layanan
terbaiknya agar anak dapat berinteraksi dengan baik dan dia(anak) tidak merasa tertekan atau
tidak senang dengan berada dalam sekolah.
Namun pada kenyataannya sekarang sarana pendidikan atau sekolah khususnya belum
menampakkan fungsinya yang baik. Masih banyak kekurangan yang ada pada sekolah-
sekolah di Indonesia umumnya dan pada daerah-daerah pelosok khususnya. Alasan yang
pokok adalah kurang terjangkaunya daerah tersebut oleh peralatan-peralatan yang modern.
Selain itu fasilitas yang ada pada sekolah-sekolah boleh dikatakan sangat kurang dan jauh
dari cukup. Terkebih pada daerah pinggiran kota yang kurang mendapat perhatian khusus
dari pemerintah.
8. Kekerasan di Sekolah
Kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi. Beberapa kasus selalu terjadi baik sekolah
kota maupun sekolah yang ada di desa.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan
kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah kembali terjadi karena belum ada tindakan
tegas dari pemerintah terhadap pelaku kekerasan di sekolah. "Guru yang melakukan
kekerasan, setahu saya belum ada yang sampai dipecat karena Menteri menganggap ini hal
biasa untuk mendisiplinkan anak. Padahal itu salah," katanya saat berbincang dengan
okezone, Rabu (28/9/2011). Dampaknya, psikologis anak akan menjadi tertekan. "Itu salah
satu proses radikalisme terjadi. Kalau sekolah sudah mengajarkan kekerasan itu bagian dari
menumbuhkan sikap radikal," ujarnya.
Pada undang-undang perlindungan anak tahun 2002 pasal 59 jelas menyebutkan sekolah
wajib menjadi zona anti kekerasanguru yang melakukan kekerasan terhadap anak tidak
memenuhi psikologi untuk menjadi tenaga pengajar
9. Mutu Pendidikan
Lebih dari tiga dekade Indonesia telah meningkatkan angka partisipasi sekolah dengan baik.
Pada tahun 2002, angka partisipasi kasar untuk sekolah dasar melebihi 100 persen, meningkat
dari 80 persen di tahun 1970, dan angka partisipasi murni sekolah dasar saat ini mencapai 93
16
Perbedaan partisipasi antar daerah yang cukup besar. Pada tahun 2002, sebagai contoh, angka
partisipasi murni pada jenjang sekolah dasar berkisar antara 83,5 persen di propinsi
Gorontalo dan 94,4 persen di Sumatera Utara. Pada jenjang sekolah menengah pertama,
angka partisipasi murni berkisar antara 40,9 persen di Nusa Tenggara Timur dan 77,2 persen
di Jakarta dan pada jenjang sekolah menengah atas berkisar antara 24,5 persen di Nusa
Tenggara Timur dan 58,4 persen di Yogyakarta.
2. Anak dari kelompok miskin keluar dari sekolah lebih dini. Pada tahun 2002 angka
partisipasi sekolah menengah pertama dari kelompok penduduk seperlima terkaya, lebih
tinggi 69 persen dibandingkan dengan angka partisipasi dari kelompok seperlima termiskin.
Sementara pada jenjang sekolah menengah atas, angka partisipasi murni dari
kelompok seperlima terkaya mencapai tiga setengah kali lebih tinggi dibandingkan dengan
angka partisipasi murni kelompok termiskin. Walaupun hampir semua anak dari berbagai
kelompok pendapatan bersekolah di kelas satu sekolah dasar, anak dari kelompok pendapatan
termiskin cenderung menurun partisipasinya setelah mencapai kelas enam.
10. Teknologi Pendidikan
Setiap kali mengajar, tanya diri sendiri (dan guru-guru lain yang berpengalaman) Apakah
saya perlu menggunakan teknologi pendidikan untuk mengajar topik ini? Kalau ya, teknologi
apa yang paling cocok? Biasanya teknologi atau peraganya adalah sangat sederhana (kalau
betul berbasis-kebutuhan).
11. Dana Pendidikan
Muhammad Nuh sebagai menteri pendidikan nasional mengajukan tambahan dana untuk
anggaran pendidikan sebesar Rp 11,762 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan (APBN-P) 2011. Rencananya tambahan dana ini diajukan untuk
menambah anggaran beasiswa dan juga pendidikan di daerah timur Indonesia.Di satu sisi, hal
ini patut diapresiasi mengingat dana pendidikan di Indonesia akan ditambah. Tentu saja, jika
penyamapaiannya tepat, dana ini akan sangat membantu mereka yang tidak memiliki akses
terhadap pendidikan. Namun di sisi lain, hal ini akan menimbulkan pertanyaan lebih jauh:
akankah dana pendidikan ini tepat sasaran seperti yang diharapkan?. Bahwa dengan anggaran
pendidikan sekarang yang dipatok sebesar 20% dari APBN, masih saja terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Padahal, pemerintah mematok adanya program wajib belajar sembilan
tahun. Dan kejadian-kejadian di atas terjadi pada daerah pendidikan dasar tersebut. Oleh
karena itu, wajar jika masyarakat akan menilai tambahan dana yang sekalipun akan
dikucurkan tersebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kecil terkait akses
pendidikan. Realitas yang ada sekarang ini menyatakan hal sebaliknya. Malahan, yang akan
timbul adalah ketakutan akan penyelewengan dana tersebut.
Menambahkan dana pendidikan itu memang perlu namun, untuk apa penambahan tersebut
dilakukan jika harus mengalami kebocoran dimana-mana? Analoginya seperti menambahkan
debit air bersih. Jika debit ditambahkan namun kebocoran pada pipa tetap terjadi, akhirnya
penambahan itu akan sia-sia juga sebab yang membuat debit itu berkurang sampai di
pelanggan bukan hanya masalah besar atau kecilnya debit awal melainkan kebocorannya.
Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan sebelum penambahan dana adalah dengan
menanggulangi kebocoran itu terlebih dahulu. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang
dialirkan ke daerah-daerah sudah sepatutnya diawasi pemakaiannya oleh pemerintah daerah.
Jangan sampai dana tersebut sampai pada tangan-tangan yang tidak berhak mendapatkannya.
Jika dana BOS ini sudah terealisasi dengan baik, maka seharusnya masalah uang kursi dan
seragam sekolah tidak lagi harus dipermasalahkan.
Jika perlu, lembaga auditor independen bisa dibentuk untuk mengecek aliran dana. Lembaga
ini bisa terdiri dari perwakilan orang tua murid dibantu beberapa pihak pakar pendidikandan
juga auditor. Tentu saja untuk masalah ini, harus juga dibantu dengan transparansi
pemerintah daerah untuk mau menunjukkan aliran dana pendidikannya. Lebih jauh lagi,
19
aliran dana pendidikan ini juga harus jatuh kepada orang-orang yang membutuhkan tidak
sebatas pada sekolah-sekolah. Artinya, harus ada jaminan bahwa orang-orang yang tidak
mampu akan mendapatkan akses pendidikan. Oleh karena itu, dalam hal ini sekolah memiliki
kewajiban untuk merangkul orang-orang tidak mampu untuk bersekolah karena sudah
mendapatkan dana BOS tersebut. Penambahan dana memang baik di satu sisi. Namun jika
hal ini tidak diimbangi dengan menambal kebocoran dana pendidikan itu sendiri, semuanya
akan menjadi sia-sia. Semoga ada itikad baik untuk melakukan keduanya sehingga akses
menuju pendidikan sembilan tahun dapat tercapai bagi semua anak Indonesia.
12. Reformasi Pendidikan
Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak
salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam pembangunan bangsa. Tinggi-
rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu pendidikan yang diterapkannya.Pendidikan
yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki
etos kerja dan inovasi yang tinggi. Negara-negara yang telah berhasil mencapai kemajuan dan
menguasai teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi perhatian yang
besar terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan penuh
dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan
daya akses seluruh lapis masyarakat mereka.
Harus kita akui, pelaksanaan pendidikan di Indoensia masih jauh dari yang diharapankan.
Begitu juga dengan mutu yang dihasilkannya. Padahal, amanat Undang-Undang Dasar 1945
mematok tujuan pendidikan nasional begitu tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia.
Cerdas dalam artian mayoritas rakyat Indonesia memiliki budaya belajar dan mengajar dalam
aktivitas kesehariannya.
Upaya memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut masalah fisik dan dana
saja. Tapi, harus lebih mendasar dan strategis. Sistem Pendidikan Nasional perlu direformasi
dengan memadukan wahyu Tuhan dan ilmu pengetahuan sebagai arena utama aktivitas
pendidikan. Sekolah bukan hanya menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada anak
bangsa, tapi juga lembaga penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak
bangsa dikembangkan bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah tempat
menumbuhkembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara maksimal, seimbang, dan
sesuai tuntutan zaman. Output keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta
didik untuk bisa merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan
mengemban amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan
sejahtera.
daya juang (adversity quotient) yang mumpuni. Kurikulum diarahkan untuk memberi
pengalaman belajar yang seimbang yang meliputi aspek intektual (IQ), emosional (EQ), dan
spiritual (SQ). Dan titik tekannya adalah membentuk karakter pembelajar agar anak bangsa
yang menjadi peserta didik memiliki keinginan untuk belajar di sepanjang hayatnya. Tipe
bangsa pembelajarlah yang bisa survive menghadapi persaingan global yang rivalitasnya
bukan lagi di tataran negara vs negara atau kota vs kota. Tetapi, sudah di level individu vs
individu.
Karena itu, menjadi hajat kita bersama untuk memperjuangkan perbaikan dan pembangunan
dunia pendidikan di negeri ini. Apa saja agenda strategis yang harus segera kita lakukan?.
Pertama, melakukan pembangunan Sistem Pendidikan Nasional yang konprehensif,
integratif, dan aplikatif. Makna konprehensif adalah menjamin perbaikan yang berkelanjutan,
integratif tak memisahkan aspek moral dan nilai-nilai luhur dari pembelajaran dan
pengajaran, dan aplikatif menunjuk pada mutu dan meningkatnya daya saing bangsa. Kedua,
meningkatkan wajib belajar dari Sembilan tahun menjadi dua belas tahun.
Kelima, melakukan monitoring dan evaluasi sistematis terhadap berbagai aspek konsep dan
operasional Sistem Pendidikan Nasional di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
Kenam, memastikan terlaksananya proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan,
kemandirian, kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan hidup dan daya juang kepada
anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik.
F. SOLUSI
Untuk menyelesaikan problem – problem pendidikan diatas antara lain dengan melakukan
transpransi pengelolaan pendidikan dan pemerataan akses pendidikan.
G. REKOMENDASI
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
A. Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat
bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam
pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu
pendidikan yang diterapkannya. Pendidikan yang tepat dan efektif akan
melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan
inovasi yang tinggi.
B. Isu-isu kontenporer pendidikan
a. Konstitusi pendidikan;
b. Korupsi dan pendidikan;
c. Kurikulum pendidikan;
d. Guru dan pendidikan;
e. Ujian Nasional;
f. Akses dan equity pendidikan;
g. Keadaan sekolah;
h. Kekerasan disekolah;
i. Mutu pendidikan;
j. Teknologi pendidikan;
k. Dana pendidikan;
l. Reformasi pendidikan.
2. SARAN
Demikianlah yang dapat kami uraikan tentang isu-isu kontenporer yang terjadi di
dunia pendidikan. Kami mohon kritik dan saran dari teman-teman sekalian.