TESIS
Oleh
LENI AFRIANI
147027002
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam
Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Oleh
LENI AFRIANI
147027002
Anggota :
1. dr. Ricke Loesnihari, M.Ked (Clin-Path), Sp.PK(K)
2. Dr. dr. Juliandi Harahap, MA
3. dr. Tambar Kembaren, Sp.PD-KPTI
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis
NIM : 147027002
Tanda Tangan :
NIM : 147027002
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan
mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai pemilik hak cipta.
Dibuat di : Medan
Yang menyatakan
(Leni Afriani)
Agama : Islam
Status : Menikah
Email : leniafriani29@gmail.com
Riwayat Pendidikan
Riwayat Pekerjaan
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
tesis ini.
memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempata ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara
3. Ibu dr. Nurfida K. Arrasyid, M.Kes selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
6. Bapak Dr. dr. Juliandi Harahap, MA, selaku Komisi Penguji yang telah
7. Ibu dr. Tambar Kembaren, Sp.PD-KPTI, selaku Komisi Penguji yang telah
Sumatera Utara tahun 2014, atas segala dukungan, bantuan, dan saran dalam
10. Ibunda Wardiah Nur, BA, atas doa, semangat, dan dukungan moril dan
bantuan dan dukungan moril tanpa henti, sehingga tesis ini dapat
semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan perhatian kepada
Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangan, namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh
pembaca.
Penulis,
(Leni Afriani)
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
LAMPIRAN .................................................................................................... 73
PENDAHULUAN
penyakit pada saluran pernafasan dan pencernaan. Salah satu diantaranya adalah
kejadian demam tifoid. Pada tahun 2003, World Health Organization (WHO)
Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5-14
tahun (1,9 %), usia 1-4 tahun (1,6 %), usia 15-24 tahun (1,5%) dan usia kurang
dari 1 tahun (0,8%). Menurut data terbaru WHO yang dipublikasikan tahun 2014
diperkirakan sekitar 21 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan kasus
kematian mencapai 222 ribu orang (Masitoh, 2009; Elisabeth Purba et al., 2016;
WHO, 2014).
typhi),yang hingga saat ini masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang
diagnosis cepat dan tepat perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien yang
penanganan yang tepat. Tes Widal dan tes IgM anti S. typhi merupakan
tentang wabah, kelompok ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
secara merata di seluruh Indonesia dan terjadi sepanjang tahun, tidak hanya
2009).
sarana air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal keluarga, kebiasaan makan
dengan tanganyang tidak dicuci lebih dulu, pemakaian ulang daun-daun dan
dimakan mentah, penggunaan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup (mandi,
pencernaan(Artanti, 2013).
Indonesia, mayoritas mengenai anak usia sekolah dan kelompok usia produktif,
penyakit ini menyebabkan angka absensi yang tinggi, rata - rata perlu waktu 7 –
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
akses sanitasi dasar yang layak mengalami peningkatan setiap tahunnya mulai
pada tahun 2010 sebesar 55.50 % sampai dengan tahun 2014 sebesar 60.91 %.
capaiannya terus mengalami peningkatan sebesar 2.510 desa pada tahun 2010
hingga 20.497 desa pada tahun 2014. Namun upaya-upaya keberhasilan tersebut
sebagai negara dengan sanitasi terburuk peringkat kedua di dunia (P2PL, 2015).
yang rendah terhadap pemanfaatan sanitasi. Lebih dari 30 tahun, akses terhadap
pada tahun 2007, akses sanitasi tetap pada angka 38%. Capaian laju
demam, lemas serta batuk yang ringan sampai dengan gejala berat seperti
dengan demam tifoid di Rumah Sakit adalah tes Widal. Nilai diagnostik tes Widal
adalah melihat adanya kenaikan titer antibodi yang bermakna dalam darah
pengambilan spesimen serum dengan interval waktu 10-14 hari. Namun tes Widal
dalam interpretasi hasil, sebab banyak didapatkan hasil yang positif palsu dan
negatif palsu oleh karena interpretasi tes Widal tergantung pada prevalensi titer
dasar individu yang sehat di wilayah endemik atau geografis tertentu dan kondisi
kesehatan berpengaruh terhadap hasil titer yang tinggi. Selain itu, beberapa faktor
reaksi silang dengan Enterobakter lain dan metode pemeriksaan tes Widal yang
dari daerah endemik Uttar Pradesh di India yang diperiksa serologi diagnosis
didapat titer tertinggi O adalah 1:320 (5 orang) dan titer H adalah 1:320 (6 orang).
ditemukan pada orang sehat yang mengkonsumsi unsafe water and food yang
bersumber dari luar rumah. Peneliti juga menyebutkan bahwa tes Widal mungkin
Hasil survey Khie Chen pada orang sehat di Jakarta pada tahun 2006
menunjukkan hasil tesWidal positif pada 78% populasi orang dewasa. Untuk itu
(Chen, 2010).
danPositive Predictive Value (PPV) 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu
malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi
dan standarisasi kurang baik. Pemeriksaan seharusnya diulang 2-3 minggu, jika
terjadi kenaikan titer 4 kali, terutama aglutinin O maka memiliki nilai diagnostik
yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinasi O yang positif dapat berbeda
dari > 1/160 sampai > 1/320 tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat
diagnosis dini demam tifoid oleh Sylvia, dkk tahun 2000 didapatkan hasil
penelitian uji serologi Widal dengan satu kali pengambilan pada pasien demam,
diperoleh hasil aglutininS.typhi O nilai prediksi posisif 90,9% bila hasil uji
dinyatakan S.typhi positif, hasil uji Widal dapat memberikan hasil negatif,
sebaliknya hasil uji Widal negatif belum tentu dapat menyingkirkan diagnosis
memiliki akses sanitasi yang layak (jamban) sebanyak 36,78%, persentase rumah
66,73% dan penduduk yang memiliki akses air minum yang layak sebanyak
Langsa; akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak (jamban sehat) sebanyak 74%,
262,41 km² atau 26.241 Ha dengan jumlah penduduk 165.890 jiwa. Kepadatan
Kota Langsa dengan kepadatan penduduk dipengaruhi oleh luasnya wilayah pada
Berdasarkan data Profil Kesehatan Kota Langsa tahun 2015, pada Kecamatan
berikut; penduduk yang memiliki akses sanitasi yang layak (jamban) sebanyak
78,2%, persentase rumah sehat 68,49%, Jumlah desa yang melaksanakan STBM
syarat kesehatan 100% dan penduduk yang memiliki akses air minum yang layak
Kecamatan Langsa Timur; akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak (jamban
sehat) sebanyak 73,1%, persentase rumah sehat 59,96%, jumlah desa yang
penyelenggara air minum memenuhi syarat kesehatan 100% dan penduduk yang
sering terjadi kesalahan diagnostik dengan demam tifoid (positif palsu), oleh
karena itu peneliti ingin mengetahui perbedaan titer Widal pada individu sehat
yang tinggal di lingkungan sanitasi baik dibandingkan dengan individu sehat yang
1.3 Hipotesis
yang buruk lebih tinggi dibandingkan titer Widal individu sehat pada
di Kota Langsa
di Kota Langsa
1.5ManfaatPenelitian
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
dengan kotoran dan bahan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan
yang akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Triska (2005) yang menyatakan bahwa akibat
mencakup:
sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar 55-60% berat badan
terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%.
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak,
Indonesia tiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Di antara
minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum dan masak air harus
manusia(Artanti, 2013).
Keterbatasan akses terhadap air bersih, dalam hal ini air minum improved
merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian demam tifoid.
United Nations Children’s Fund (JMP WHOUnicef) tahun 2006, rumah tangga
sumber air minum dari air ledeng/Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sumur
bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan,
dan air kemasan. Di Indonesia, proporsi rumah tangga yang memiliki akses
terhadap sumber air minum improved sebesar 66,8%(Elisabeth Purba et al., 2016).
Sarana air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah
tifoid adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau
bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh
melalui air dan makanan. Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara
massal sering bertanggung jawab terhadap terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).
Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber air
bersih bagi penghuni rumah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari sehingga perlu diperhatikan dalam pendirian sarana air bersih. Apabila sarana
air bersih dibuat memenuhi syarat teknis kesehatan diharapkan tidak ada lagi
pencemaran terhadap air bersih, maka kualitas air yang diperoleh menjadi baik.
kedap air, tidak retak atau bocor, mudah dibersihkan, tidak tergenang air,
tinggi bibir sumur minimal 80 centimeter dari lantai, dibuat dari bahan
yang kuat dan kedap air, dibuat tutup yang mudah dibuat.
harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, lantai tidakretak atau bocor,
Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) harus kedap air, panjang SPAL
Talang air yang masuk ke bak PAH harus dipindahkan atau dialihkan agar
air hujan pada lima menit pertama tidak masuk ke dalam bak.
Sumber air harus pada mata air, bukan pada saluran air yang berasal dari
minimal 11 meter dari sumber pencemar, atap dan bangunan rapatair serta
bangunan, pipa peluap dilengkapi dengan kawat kaca. Lantai bak harus
5) Perpipaan
Pipa yang digunakan harus kuat tidak mudah pecah, jaringan pipa
tidakboleh terendam air kotor, bak penampungan harus rapat air dan tidak
kran(Artanti, 2013).
1. Syarat fisik
Air minum yang digunakan sebaiknya tidak berasa, tidak berbau, dan tidak
berwarna (15 TCU), tidak keruh (maksimal 5 NTU), dan suhu udara
2. Syarat kimia
3. Syarat bakteriologis
E.coli atau coliform tinja dengan standar 0 dalam 100ml air minum.
4. Zat radioaktif
keruh, berwarna, berbau dan mengandung besi atau mangan dalam kadar
yang berlebihan.
Sarana pembuangan tinja yaitu tempat yang biasa digunakan untuk buang
air besar, berupa jamban. Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai
tempat duduk dengan leher angsa yang dilengkapi dengan unit penampungan
a) Jamban Cemplung
kedasar lubang.
tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses penguraian
resapan(Artanti, 2013).
memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang sehat (Sri
1. Tidak mencemari sumber air bersih (jarak antara sumber air bersih dengan
2. Tidak berbau
melalui tinja (fekal-borne diseases) sangat besar. Lalat rumah selain senang
menempatkan telurnya pada kotoran kuda atau kotoran kandang, juga senang
menempatkannya pada kotoran manusia yang terbuka dan bahan organik lain
yang sedang mengalami penguraian. Jamban yang paling baik adalah jamban
yang tinjanya segera digelontorkan ke dalam lubang atau tangki dibawah tanah.
Disamping itu, semua bagian yang terbuka ke arah tinja, termasuk tempat duduk
digunakan(Artanti, 2013).
terkontaminasi oleh feses manusia yang terinfeksi oleh kuman tifoid. Menurut
Djabu et al. bahwa tinja manusia yang terinfeksi dan dibuang secara tidak layak
tanah dan sumber-sumber air. Selanjutnya air juga bisa berpeluang untuk
2009).
memenuhi syarat kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban sehat, sarana air
rumah yang baik, kepadatan hunian yang sesuai dan lantai rumah yang tidak
perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan material
bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal, serta kebutuhan
kembali dan dipugar dengan melengkapi prasarana dan sarana perumahan yang
penghuninya tinggi, sanitasi dasar perumahan yang rendah sehingga tampak jorok
dan kotor yaitu tidak ada penyediaan air besih, sampah yang menumpuk, kondisi
rumah yang sangat menyedihkan, dan banyaknya vektor penyakit, terutama lalat,
2.1.2.4Sanitasi Makanan
dan memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh.
Menurut WHO, yang dimaksud makanan adalah: “ Food include all substances,
of human diet. “ Batasan makanan itu tidak termasuk air, obat-obatan dan
dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu kesehatan atau
(Sumantri, 2013).
mencakup :
1) Air bersih
3) Sampah
4) Limbah
5) Pemeliharaan kebersihan
7) Pemeriksaan kesehatan
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus
klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid dan
demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan
2.2.2 Etiologi
batang gram negatif anaerobik fakultatif dan anaerogenik yang memiliki sifat-sifat
3. Nilai pH 4,1 -9,0 dengan pH optimum 6,5-7,5. Pada pH dibawah 4,0 dan
2.2.3 Epidemiologi
Eropa. Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang
baik, dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara yang berkembang.
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama
untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah(Widodo,
2014).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh S.typhi.
Penyakit yang tersebar hampir di seluruh dunia ini merupakan penyakit tropik
al., 2009).
diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun dan
ditemukan penyakit ini dengan insidensi yang hampir sama antar daerah. Penyakit
ini penyerangannya bersifat sporadis dan bukan epidemik. Penyakit demam tifoid
ini sangat jarang ditemukan berada kasus pada satu keluarga pada saat yang
bersamaan(Rohana, 2016).
episode demam akut pada 289 (19,3%) di 1.500 anak. Tiga penyebab demam akut
yang paling utama adalah chikugunya, Salmonella typhi dan demam berdarah.
Penelitian ini juga menunjukkan Indonesia memiliki jumlah tertinggi peserta yang
memiliki setidaknya satu episode demam yaitu 23,3% dan kepadatan kejadian
40,5 per 100 orang per tahun (95% CI). Selain itu, Indonesia juga memiliki
persentase tertinggi 38,1% dari S.typhi yang terdeteksi pada peserta demam
kedua paling sering terdeteksi yaitu sebanyak 29,4% dari peserta demam pada
Penyakit ini menyebar dengan begitu cepat karena sanitasi yang buruk,
urbanisasi, kepadatan orang yang tinggi, sumber air dan pemilikan standar rendah
12 sampai 33 juta kasus demam tifoid sedang direkam per tahun dengan total
Sebuah laporan dari WHO pada tahun 2003 menyatakan bahwa ada sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan kematian insiden 600.000 setiap
tahun. Terdapat 91% kasus demam tifoid di Indonesia dengan rata-rata pasien
Indonesia
syarat kesehatan
tujuan dari satu daerah/ negara ke daerah/ negara lain, sehingga membawa
Sumber penularan demam tifoid berasal dari tinja dan urine carrier, dari
penderita pada fase akut dan penderita dalam fase penyembuhan. Sumber
penularan tidak selalu harus penderitademam tifoid. Ada penderita yang sudah
mendapat pengobatan dan sembuh, tetapi di dalam urin dan kotorannya masih
tidak lagi menderita penyakit demam tifoid, orang ini masih dapat menularkan
penyakit demam tifoid pada orang lain. Penularan dapat terjadidi mana saja dan
kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makanan dari luar, apabila makanan
tercemar, buah-buahan, sayur mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu
atau produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak
berasaldari tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang
tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Di
kebersihan lingkungan. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab demam tifoid
1) Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh
anak.
2) Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan
pada penularan demam tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya:
makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum
6) Pasien atau carrier demam tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
2.2.5 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri 3 proses, yakni (1)
proses invasi bakteri S. typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan
hidup dalam makrofaq dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam
sampai di lambung maka akan timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat
S. typhi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.
Setelah kuman S.typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam
lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui usus pada ileum terminalis. Setelah
mencapai ususS.typhi melekat pada microvilli, kemudian melalui barier usus yang
Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan
kultur darah biasanya masih menberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan
limpa dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam
gejala klinis seperti demam, sakit kepala dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat
menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada
tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu,
dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia.
carrier(Nelwan, 2012).
Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas dan bervariasi dari gejala
seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak
sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam
(Judarwanto, 2017).
Suhu pasien biasanya diukur dengan termometer air raksa dan tempat
pengambilannya bisa dapat di aksila, oral atau rektum. Suhu tubuh normal
berkisar antara 36,5°C-37,2°C. Suhu sub normal dibawah 36°C. Dengan demam
pada umumnya diartikan suhu tubuh diatas 37,2°C. Hiperpireksia adalah suatu
keadaan kenaikan suhu tubuh sampai tertinggi 41,2°C atau lebih, sedangkan
perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal. Dalam
keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0,5°C, suhu rektal lebih tinggi
adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidak khas,
berupa:
1. Anoreksia
2. Rasa malas
4. Nyeri otot
5. Lidah kotor
6. Gangguan perut
pada penderita demam tifoid dapat dikelompokkan pada gejala yang terjadi pada
minggu pertama, minggu kedua, minggu ketiga dan minggu keempat sebagai
berikut:
Demam tinggi lebih dari 40°C, nadi lemah bersifat dikrotik, denyut nadi 80-
2. Minggu Kedua
Suhu badan tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak kering
mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa teraba.
3. Minggu Ketiga
inkontinensia urine atau alvi. Selain itu tekanan perut meningkat. Terjadi
toksik.
4. Minggu Keempat
2.2.7 Diagnosis
yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih
cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan
mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan
identifikasi carrier.
1) Isolasi kuman penyebab demam tifoid, S. typhi, melalui biakan kuman dari
spesimen seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, dan cairan duodenum
positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang
terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya
melaporkan biakan darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama
sakit, dan positif 50% pada akhir minggu ketiga. Kuman dalam tinja ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urin positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan.
Uji serologi standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid adalah uji
Widal. Uji ini telah digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah serum
Jika dalam serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
serum. Untuk mencari standar titer uji serologi Widal seharusnya ditentukan titer
terhadap antigen S.typhi akhir-akhir ini mulai banyak dipakai. Antibodi yang
dilacak dengan uji ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Salah satu uji
mendeteksi DNA (asam nukleat) kuman S.typhi dalam darah dengan tehnik
2.2.8 Penatalaksanaan
antibiotik yang tepat, penurun demam seperti parasetamol dan managemen cairan
1. Pemberian antibiotik
hari).
perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi
makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang
lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang
2.2.9 Pencegahan
dilakukan vaksinasi, kini sudah ada vaksin tipes atau tifoid yang
tahun.
hygiene.
c. Pemberantasan lalat
makanan(Artanti, 2013).
Tes Widal merupakan salah satu pemeriksaan tertua, berumur lebih dari
100 tahun, yang masih dikerjakan sampai sekarang di Indonesia. Tes ini
dengan keluhan demam. Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama
demam sampai puncaknya pada minggu ke 3-5. Aglutinin ini dapat bertahan
sampai lama 6-12 bulan. aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-
6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian(Olopoenia dan
Keadaan yang berbeda kita temukan di negara miskin dan berkembang seperti
tes Widal untuk diagnosis demam tifoid. Padahal tes ini memiliki keterbatasan
yaitu kemungkinan terjadinya hasil positif palsu dan negatif palsu yang tinggi.
spesimen dan kenaikan titer agglutinin terhadap antigen S. thypi. Kenaikan titer
antibodi tes serologi Widal pada umumnya paling baik pada minggu kedua dan
ketigayaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya
85,7%. Karena hal ini sehingga saat pengambilan spesimen perlu diperhatikan.
yaitu pada masa akut dan masa konvalesen dengan interval waktu 10-14 hari.
Diagnosis ditegakkan dengan melihat adanya kenaikan titer lebih atau sama
dengan 4 kali titer masa akut, tetapi pada pelaksanaan dilapangan pengambilan
merupakan infeksi baru atau lama, juga kenaikan titer aglutinin terutama aglutinin
H tidak mempunyai arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid, namun
pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemik atau pada anak umur
kurang dari 10 tahun di daerah endemik, sebab pada kelompok penderita ini
kemungkinan mendapat kontak dengan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih amat
kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di
yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang lainnya,
tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah
umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila Widal masih diperlukan
untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas titer rujukan, baik pada
2011).
Dalam garis besarnya uji Widal ada dua macam, yaitu uji Widal tabung
yang membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji Widal slide yang hanya perlu
waktu antara 5-30 menit saja. Menurut hasilpenelitian di Bagian Patologi Klinik
FKUI RSCMtidak ada perbedaan sensitifitas dan spesifisitas antara uji Widal cara
tabung dengan slide. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji Widal cara
slide, karena alat yang dibutuhkan lebih sedikit dan pemeriksaannya lebih
cepat.Sensitifitas dan spesifisitas uji tersebut amat dipengaruhi oleh jenis antigen
yang dipakai. Menurut beberapa peneliti uji Widal yang digunakan antigen dari
lebih tinggi secara bermakna daripada yang berasal dari luar daerah endemik
berbeda-beda, ditambah antigen dalam jumlah yang sama. Jika dalam serum
Salmonella grupD atau grup lain seperti grup A dab B, serta bakteri
imunologik(Darmawati, 1990).
dalam menegakkan diagnosis dini demam tifoid oleh Sylvia, dkk tahun 2000
didapatkan hasil penelitian uji serologi Widal dengan satu kali pengambilan darah
pada pasien demam, diperoleh hasil aglutinin O S.typhi dengan nilai prediksi
posisif 90,9% bila hasil uji terhadap aglutinin O S.typhi dinyatakan positif. Hasil
walaupun secara bakteriologik dinyatakan S.typhi positif, hasil uji Widal dapat
memberikan hasil negatif, sebaliknya hasil uji Widal negatif belum tentu dapat
Kekurangan tes Widal ini dapat juga dilihat pada Kepmenkes 364 tahun
2006 tentang pedoman pengendalian demam tifoid, yang pada salah satu poinnya
1) Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masing-
kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari.
Pemeriksaan tes Widal dua kali dengan rentang waktu satu minggu seperti
pada pedoman di atas seringkali tidak dikerjakan dan biasanya pasien langsung
diobati secara empiris sesuai klinis. Untuk itu sekarang penggunaan tes Widal
sudah mulai digantikan oleh pemeriksaan IgM Salmonella yang sudah bisa
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif
infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar
titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di
Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal
dengan 5F yaitu (food,finger, fomitus, fly, feses) Feses dan muntahan dari
dan melalui perantara lalat, di mana lalat tersebut akan hinggap di makanan yang
akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar oleh
bakteri S. typhi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut selanjutnya orang
seperti diare, demam berdarah dengue, cacingan, demam tifoid serta berbagai
dampak negatif akibat buruknya sanitasi. Demam tifoid dapat menganggu dan
jika menganggu aktivitas sehari-hari sebab dalam interaksi setiap hari banyak
terjadi kontak secara langsung maupun tidak langsung yang dapat menyebabkan
Hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer aglutinin empat kali,
nilai diagnostik amat penting untuk demam tifoid, sedangkan peningkatan titer
aglutinin yang tinggi pada satu kali pemeriksaan Widal, terutama aglutinin H
bervariasi antara titer O > 1/160 sampai titer > 1/320 atau titer H >1/800 dengan
catatan 8 bulan terakhir tidak mendapatkan vaksinasi atau sembuh dari sakit
demam tifoid. Peneliti lain menambahkan syarat titer aglutinin orang normal sehat
di daerah endemis tersebut harus diketahui agar nilai tunggal mempunyai nilai
tidak mempunyai arti penting, namun masih dapat membantu dalam membuat
diagnosis dugaan pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemik
atau anak kurang dari 10 tahun di daerah endemik.Dengan demikian bila uji
Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas
titer rujukan, baik pada anakmaupun orang dewasa di suatu daerah perlu
Penelitian yang dilakukan Mishra, et al tahun 2016 pada 200 orang anak
sehat dari daerah endemik Uttar Pradesh di India yang diperiksa serologi
penelitian didapat titer tertinggi O adalah 1:320 (5 orang) dan titer H adalah 1:320
tifoid ditemukan pada orang sehat yang mengkonsumsi unsafe water and food
yang bersumber dari luar rumah. Peneliti juga menyebutkan bahwa tes Widal
Makanan
Sarana Air
Bersih
Sarana
Pembuangan Titer
Sampah Widal
Perilaku
Keterangan
Tidak diteliti
: Diteliti
perbandingan titer widal individu sehat pada lingkungan sanitasi baik dan sanitasi
silang(Cross Sectional).
Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa pada Kecamatan Langsa Barat dan
yang menjadi lokasi penelitian yaitu Desa Serambi Indah dan Desa Paya Bujok
Kecamatan Langsa Timur dipilih 4desa yang menjadi lokasi penelitian yaitu Desa
Seunebok Antara, Desa Cinta Raja, Desa Matang Seutui dan Desa Matang
Ceungai.
denganMei2018.
Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh individu sehat yang
tinggal
Populasi terjangkau adalah individu sehat yang berusia > 18 tahun yang
Langsa Barat dan Individu sehat yang tinggal di lingkungan yang memiliki
3.3.3 Sampel
Kriteria Inklusi :
Langsa Timur
Kriteria Eksklusi :
Keterangan:
n1 besar sampel pada kelompok individu sehat di lingkungan sanitasi baik
n2 besar sampel pada kelompok individu sehat di lingkungan sanitasi buruk
Z1-α/2 nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α 5% = 1,96
Z1-ß nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada ß 20% = 0,842
P1 perkiraan proporsi kelompok individu sehat di lingkungan sanitasi baik
=47%
P2 perkiraan proporsi kelompok individu sehat di lingkungan sanitasi buruk
= 27%
P1 – P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna =20% = 0,2
P = proporsi total = ( P1 + P2 ) / 2 = 0,37
dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 orang sampel dengan perbandingan 1:1
untuk populasi dengan karakteristik sanitasi lingkungan baik dan populasi dengan
karakteristik sanitasi lingkungan buruk. Maka total jumlah sampel pada penelitian
Variabel Terikat
Titer Widal
Variabel Bebas
Sanitasi Lingkungan
pembuangan sampah.
sampel penelitian.
a. Alat tulis
c. Lembar observasi
2. Pemeriksaan Widal
1) Personalia : Analis
2) Alat
b. Mikropipet ukuran 2 – 20 µl
c. Tangkai pengaduk
(nilai=3)
sungai/kolam (nilai=1)
kolam (nilai=2)
3) SPAL
Hasil ukur didapatkan sesuai total hasil penilaian dengan rumus nilai x
bobot, apabila total hasil penilaian > atau = 334 termasuk dalam kriteria
sanitasi lingkungan baikdan total hasil penilaian < 334 termasuk dalam
untuk memastikan subyek pada suhu tubuh normal 36,5 °C -37,2 °C.
dan berisi ice pack agar suhu 2-8°C tetap terjaga selama batas waktu 72 jam
sebelum pemeriksaan.
dalam penelitian.
Kota Langsa dan disesuaikan dengan cara kerja pada reagen yang
digunakan.
1:80
2. Campur dengan cara diaduk selama beberapa detik dan putar slide secara
perlahan selama 1(satu) menit tepat dan amati aglutinasi yang terjadi.
Statistical Package for The Social Science (SPSS) versi 22.0. Data deskriptif
disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh akan dianalisa berdasarkan
analisis bivariat dan disajikan secara deskriptif untuk melihat proporsi titer Widal
individu sehat pada sanitasi lingkungan baik dan sanitasi lingkungan buruk.
Analisis lanjutan untuk melihat hubungan faktor resiko dengan hasil Widal positif
dengan menggunakan Uji Chi square dan Odds Ratio dengan tingkat kemaknaan
Positif Negatif
( Titer Widal >1/80 ) ( Titer Widal <atau = 1/80
adalah 262,41 km² atau 26.241 Ha dengan jumlah penduduk 165.890 jiwa.
adalah 15.390 jiwa dengan kepadatan penduduk 197 per km² di Kecamatan
yaitu Kecamatan Langsa Barat dan Kecamatan Langsa Timur. Pada wilayah
Indah, Desa Paya Bujok Teungoh, Desa Matang Seulimeng dan Desa Sungai
Antara, Desa Cinta Raja, Desa Matang Seutui dan Desa Matang Ceungai.
sebanyak 62 orang (68,9%) pada kelompok subyek dengan sanitasi buruk dan
sebanyak 57 orang (63,3%) pada kelompok sanitasi baik. Kelompok usia 20-
terbanyak adalah S thypi O sebanyak 115 orang (63,9%), diikuti oleh aglutinin
Aglutinin
baik (Tabel 4.3 dan Gambar 4.3) bahwa aglutinin positif terbanyak adalah
Tabel 4.3 Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
Baik di Kota Langsa
90
80
70
Persentase
60
50
40
30
20 Positif
10 Negatif
0
Aglutinin
Gambar 4.3 Diagram Batang Hasil Pemeriksaan Widal pada Subyek dengan
Sanitasi Baik
buruk tampak pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 bahwa aglutinin positif
Aglutinin
Gambar 4.4 Diagram Batang Hasil Pemeriksaan Widal pada Subyek dengan
Sanitasi Buruk
Lingkungan
Widal antara subyek yang tinggal pada lingkungan dengan sanitasi baik dan
dari aglutinin S. typhi Oadalah titer 1/320 pada 42(46%)(lihat tabel 4.6). Hal
individu sehat di lingkungan sanitasi yang baik. Oleh karena itu nilai
Tabel 4.6 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
Baik
di Kota Langsa
Oleh karena itu nilai diagnostik Widal S. typhi O pada Kecamatan Langsa
Tabel 4.7 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
4.8 Pembahasan
sudah memiliki jamban sendiri dan menggunakan jamban jenis leher angsa,
memiliki sarana air bersih yang bersumber dari PDAM dan sarana
yang dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Langsa, dan SPAL yang sudah
memenuhi syarat, dengan total penilaian adalah > atau = 334 dan memenuhi
belum memiliki jamban sendiri dan ada memiliki jamban sendiri tapi bukan
jamban leher angsa, sarana air bersih yang masih bersumber dari sumur gali
atau sumur bor dan belum adanya akses sarana air bersih yang bersumber dari
dengan total penilaian < 334 dan memenuhi kriteria sanitasi buruk.
S.typhi H adalah < 0,001 (ρ <0,05), hal ini menunjukkan ada pengaruh antara
berisiko 3,348 kali dijumpai hasil tes Widal yang positif aglutinin S. typhi
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
peneliti lain bahwa interpretasi tes Widal tergantung pada kondisi sanitasinya,
prevalensi titer dasar individu yang sehat yang tinggal di wilayah endemik
Chauhan, 2016).
terhadap hasil titer yang tinggi. Selain itu, beberapa faktor seperti keadaan gizi
terjadi karena;
(<100.000 bakteri/ml)
diagnostik yang penting untuk demam tifoid, namun masih dapat membantu
yang berasal dari daerah non endemik atau pada anak umur kurang dari 10
mendapat kontak dengan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil.
Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di
masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer
rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang
lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak
di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila Widal
masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas titer
Setelah dilakukan tes Widal pada 180 total sampel darah yang
menunjukkan lebih dari 50% individu sehat yang diteliti adalah Widal positif
tifoid, agar tidak terjadi kesalahan karena pada individu sehat sudah terdapat
(36,7%), dan pada subjek dengan sanitasi buruk tampak bahwa aglutinin
lingkungan sanitasi baik dan lingkungan sanitasi buruk yang didominasi oleh
aglutinin S.thypi O.
umumnya terdapat pada orang-orang yang tampaknya sehat dan tidak sedang
menderita demam saat diperiksakan darahnya pada populasi dan sanitasi yang
berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian Vollaard (2004)di Jakarta, bahwa
daerah endemik seperti Indonesia, dimana sulit untuk mendapatkan hasil yang
besar, sehingga uji Widal dapat memberikanambang atas titer rujukan yang
umur 10tahun dan orang dewasa.Didasari hal tersebutdi atas, biIa uji Widal
antigen O S. typhi yang sering ditemukan adalah titer 1/160 dengan nilai titer
antibodi tertinggi yakni 1/320 lebih sering ditemukan pada lama demam
sering ditemukan adalah titer 1/160 dengan nilai titer antibodi tertinggi yakni
Langsa nilai aglutinin mencapai titer tertinggi 1/320 (Tabel 4.6 dan Tabel 4.7),
hal ini sejalan dengan penelitian Bahadur dan Peerapur (2013) pada individu
sehat di Karnataka, India bahwa 107 serum individu sehat didapatkan nilai
tertinggi tes Widal adalah 1/320. Maka bila didapatkan titer Widal yang sama
palsu. Maka perlu dilakukan pemeriksaan lain yang lebih akurat seperti kultur
pada pasien dengan suspek demam tifoid di RS St. Paulus Addis Ababa,
Ethiopia, dari 270 sampel subjek penelitian dengan tes Widal positif aglutinin
5.1 KESIMPULAN
pada lingkungan sanitasi baik dan lingkungan sanitasi buruk di Kota Langsa.
Hasil analisis menggunakan Odds Ratio dan uji Chi Square menunjukkan
ada hubungan kondisi sanitasi terhadap peningkatan titer Widal positif, bahwa
individu sehat yang tinggal di lingkungan sanitasi buruk berisiko memiliki 3,348
kali titer widal S. thypi H yang positif dibandingkan dengan individu sehat yang
5.2 SARAN
Dilihat dari hasil pemeriksaan widal individu sehat pada penelitian ini,
didapatkan banyak hasil yang positif (titer > 1/80), maka perlu berhati-hati dalam
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan cut off (ambang
Airlangga. 2017. Waspadai Diagnosis Tifus yang Sering tidak Benar. [Online]
Diunduh dari:www.dokterindonesiaonline.com.
Andualem, G. et al. 2014. A Comparative Study of Widal Test with Blood
Culture in The Diagnosis of Typhoid Fever in Febrile Patients. BMC.
pp.1–6.
Budijanto, D. 2015. Sampling Dan Besar Sampel. Pusat Data Dan Informasi
KementerianKesehatan Republik Indonesia. Diunduh dari:
www.Risbinkes.Litbang.Depkes.Go.Id/.../Sampling-Dan-Besar-..
Rezeki, S., 2015. Sanitasi Air dan Pengelolaan Sampah. Dalam: Sanitasi Hiegiene
dan K3 ( Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Bandung: Penerbit
Rekayasa Sains, pp. 9 - 43.
Rohana, Y., 2016. Perbedaan Pengetahuan dan Pencegahan Primer Demam Tifoid
Balita antara Orang Tua di Pedesaaan dan Perkotaan. Jurnal Berkala
Epidemiologi, September 2016, 4 (3): 384-395.
Rakhman, A. et al.2009. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Demam Tifoid Pada Orang Dewasa. Berita Kedokteran
Masyarakat. 25(4): 167-175.
Soegijanto, S., 2002. Demam Tifoid. Dalam:Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa &
Penatalaksanaan. edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.
Sucipta, A. M., 2015. Baku Emas Pemeriksaan Laboratorium Demam Tifoid pada
Anak. Jurnal Skala Husada , 12: 22 - 26.
Sumantri, A., 2013. Sanitasi Makanan. Edisi Revisi penyunt. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group .
Supardi, 2009. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan.
Bandung: Alumni.
Trihono, P.P., et al. 2012. Pitfalls in Pediatric Practices, DKI Jakarta: Ikatan
Dokter anak Indonesia.
Velina, V. R., Hanif, A.M. dan Efrida. 2014. Gambaran Hasil Uji Widal
Berdasarkan Lama Demam pada Pasien Suspek Demam Tifoid,” Jurnal
Kesehatan Andalas, 5(3): 687–691.
PENELITIAN
Assalamu’alaikum Wr Wb
Sehat pada Lingkungan Sanitasi Baik dan Sanitasi Buruk di Kota Langsa”.
orang sehat pada daerah yang memiliki lingkungan dengan sanitasi yang baik dan
kuman,hingga saat ini masih memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi
di dunia dan juga di Indonesia. Demam tifoid dapat ditularkan dari tinja dan
Salmonella typhi. Kuman tersebut dapat juga ditularkan melalui makanan atau
minuman yang tercemar, di mana lalat akan hinggap di makanan atau minuman
tersebut yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila kurang memperhatikan
ada tidaknya kuman tifoid pada manusia salah satunya adalah tes Widal dengan
diperiksa darahnya dengan tes Widal didapatkan hasil yang positif (ada kuman
penyebab demam tifoid dalam darah), oleh karena itu jika bersedia mengikuti
darah. Semua hasil yang saya dapatkan menjadi rahasia penelitian, tidak akan
dijumpai keluhan atau efek samping berkelanjutan pada anda sehubungan dengan
pemeriksaan yang telah dilakukan misalnya dijumpai tanda memar atau infeksi di
tempat pengambilan darah, yaitu bengkak, kemerahan, teraba lebih hangat dari
kulit sekitar, serta nyeri, anda dapat menghubungi saya,dr. Leni afriani di nomor
08126921761.
mencegah dan menanggulangi penyakit demam tifoid di daerah kita dan memberi
Langsa, 2018
Langsa, 2018
( ......................... )
Yang membuat Pernyataan
Lampiran 4
Kriteria
1. Sanitasi Baik > atau = 334
2. Sanitasi Buruk < 334
OUTPUT ANALISIS
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
jk * sanitasi Crosstabulation
Sanitasi
jk Pria Count 28 33 61
Pelajar/Mahasiswa Count 4 4 8
Pensiunan Count 1 5 6
Petani Count 26 0 26
PNS Count 5 34 39
wiraswasta Count 12 25 37
SMA Count 38 28 66
SMEA Count 0 1 1
Tamat SD Count 11 6 17
Crosstabs
Notes
Output Created 13-JUN-2018 21:57:41
Comments
Input Data D:\aaPROJECT\STATISTIK\PAT
OLOGI KLINIK\Leni\data dr
Leni.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
180
File
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are
treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based
on all the cases with valid data in
the specified range(s) for all
variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=STO SpAO SParaBO
STyphiCO STyphiH SParaAH
SParaBH SParaCH BY kel
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED
ROW COLUMN
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.02
Dimensions Requested 2
STO * sanitasi
Crosstab
Sanitasi
- Count 35 30 65
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 32.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
SpAO * sanitasi
Crosstab
sanitasi
SpAO + Count 24 33 57
- Count 66 57 123
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
SParaBO * sanitasi
Crosstab
sanitasi
SParaBO + Count 30 30 60
- Count 60 60 120
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 30.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
STyphiCO * sanitasi
Crosstab
sanitasi
STyphiCO + Count 15 32 47
- Count 75 58 133
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
STyphiH * sanitasi
Crosstab
sanitasi
STyphiH + Count 44 20 64
- Count 46 70 116
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 32.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
SParaAH * sanitasi
Crosstab
sanitasi
SParaAH + Count 20 15 35
- Count 70 75 145
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is17.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
SParaBH * sanitasi
Crosstab
sanitasi
SParaBH + Count 23 13 36
- Count 67 77 144
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
SParaCH * sanitasi
Crosstab
sanitasi
SParaCH + Count 21 16 37
- Count 69 74 143
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper