Anda di halaman 1dari 116

PERBANDINGAN TITER WIDAL INDIVIDU SEHAT PADA

LINGKUNGAN SANITASI BAIK DAN SANITASI BURUK


DI KOTA LANGSA

TESIS

Oleh

LENI AFRIANI
147027002

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

Universitas Sumatera Utara


PERBANDINGAN TITER WIDAL INDIVIDU SEHAT PADA
LINGKUNGAN SANITASI BAIK DAN SANITASI BURUK
DI KOTA LANGSA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam
Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

Oleh

LENI AFRIANI

147027002

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEDOKTERAN TROPIS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada
Tanggal : 23 Agustus 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Yosia Ginting, Sp.PD-KPTI

Anggota :
1. dr. Ricke Loesnihari, M.Ked (Clin-Path), Sp.PK(K)
2. Dr. dr. Juliandi Harahap, MA
3. dr. Tambar Kembaren, Sp.PD-KPTI

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis

nyatakan dengan benar

Nama : Leni Afriani

NIM : 147027002

Tanda Tangan :

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda


tangan di bawah ini :

Nama : Leni Afriani

NIM : 147027002

Program Studi : Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran

Jenis karya : Tesis


Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas tesis saya berjudul :

PERBANDINGAN TITER WIDAL INDIVIDU SEHAT PADA


LINGKUNGAN SANITASI BAIK DAN SANITASI BURUK
DI KOTA LANGSA

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-
eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan
mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : 24 Agusutus 2018

Yang menyatakan

(Leni Afriani)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Leni Afriani

Tempat/ tanggal lahir : Langsa, 29 Agustus 1978

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Menikah

Suami : Budi Wahyudi, SE, MM

Anak : Muhammad Naufal Alfatih

Alamat : Jl. Lilawangsa No.51, Kota Langsa, Aceh

No. HP / Email : 08126921761

Email : leniafriani29@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1. SDN 1 Paya Bujok Tunong, Langsa 1984 – 1990

2. SMPN 2 Langsa 1990 – 1993

3. SMAN 1 Langsa 1993 – 1996

4. Fakultas KedokteranUniversitas 1996 – 2004

Syiah Kuala, Banda Aceh

Riwayat Pekerjaan

2004 - 2008 : Dokter PTT di Puskesmas

Tanah Jambo Aye, Aceh Utara.

2008 - sekarang : Dokter PNS di RSUD Kota Langsa

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak

memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempata ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara

2. Bapak Dr.dr.AldySafruddin Rambe,Sp.S(K) selaku Dekan Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

3. Ibu dr. Nurfida K. Arrasyid, M.Kes selaku Sekretaris Program Studi Ilmu

Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

4. Bapak dr. Yosia Ginting, Sp.PD-KPTI, selaku Komisi Pembimbing yang

telah mengarahkan, membimbing, dan membantu dalam penyusunan tesis ini.

5. Ibu dr. Ricke Loesnihari, M.Ked(Clin-Path), Sp.PK(K), selaku Komisi

Pembimbing yang telah mengarahkan, membimbing, dan membantu dalam

penyusunan tesis ini.

6. Bapak Dr. dr. Juliandi Harahap, MA, selaku Komisi Penguji yang telah

banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

7. Ibu dr. Tambar Kembaren, Sp.PD-KPTI, selaku Komisi Penguji yang telah

banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


8. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi Program Studi Ilmu Kedokteran

Tropis Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh teman-teman Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis Universitas

Sumatera Utara tahun 2014, atas segala dukungan, bantuan, dan saran dalam

penyusunan tesis ini.

10. Ibunda Wardiah Nur, BA, atas doa, semangat, dan dukungan moril dan

materil sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

11. Suami tercinta, Budi Wahyudi, SE.MMserta ananda kami tersayang,

Muhammad Naufal Alfatih. Terima kasih ataspengertian, semangat, doa,

bantuan dan dukungan moril tanpa henti, sehingga tesis ini dapat

terselesaikan dengan baik.

Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan karuniaNya kepada

semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan perhatian kepada

penulis saat penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna dan masih banyak

kekurangan, namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh

pembaca.

Medan, 18 September 2018

Penulis,

(Leni Afriani)

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

TesWidal merupakan pemeriksaan penunjang yang sering digunakan untuk


menegakkan diagnosis demam tifoid. Namun perlu berhati-hati dalam
pemeriksaan karena individu sehat yang tinggal di lingkungan dengan
karakteristik sanitasi buruk bila diperiksakan serologi widal bisa kemungkinan
hasilnya positif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan titer
Widal individu sehat pada lingkungan dengansanitasi yang baik dan sanitasi
buruk.Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat analitik observasional
menggunakan desain cross sectional, studi ini dilakukan pada 180 individu sehat
di Kota Langsa, berdasarkan hasil observasi sanitasi lingkungan mempunyai
karakteristik sanitasi baik dan sanitasi buruk; pada bulan Maret – Mei 2018,
sampel yang memenuhi kriteria penelitian, telah dilakukan pemeriksaan Widal.
Dalam penelitian ini didapati bahwa Widal positif (titer > 1/80) terbanyak adalah
Salmonella thypi O pada 115 orang (63,9%), diikuti oleh Salmonella thypi H pada
64 orang (35,6%). Uji chi square menunjukkan dua jenis aglutinin yang memiliki
perbedaan yang signifikanyaitu aglutinin Salmonella parathypi CO (p=0,004) dan
Salmonella thypi H (p<0,001).Penelitian ini menunjukkan peningkatan titer widal
individu sehat yang tinggal di lingkungan sanitasi baik dan sanitasi buruk. Titer
Widal individu sehat pada lingkungan sanitasi buruk tidak lebih tinggi
dibandingkan pada lingkungan sanitasi baik.

Kata Kunci:Tes Widal, Individu Sehat, Sanitasi Lingkungan,Titer Aglutinasi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Widal test is an investigation used to establish the diagnosis of tifoid fever.


However, it need to be careful in doing the test, because healthy individuals that
living in poor sanitation characteristic could show positive in serology Widal
when examined. The purpose of this study is to compare the Widal titer in healthy
individuals living in good sanitation and poor sanitation environment.This study
was an observational analytic research using cross sectional design, this study
wasdone in 180healthy individuals inLangsa City based on the observation of
environmental characteristics of both good sanitation and poor sanitation
environment; in March-May 2018 samples that met the study criteria, was
checked for the Widal.In this study found a positive Widal (titer> 1/80) most is
S.thypi O as many as 60 people (66,7%) that living in good sanitation and 55
people (61,1%) in poor sanitation. Chi square tests shows two types of aglutinin
that have significant differencesnamely aglutinin S.Parathypi CO (p = 0.004) and
S. Thypi H (p <0.001). The Odds ratio shows S.typhi H= 3,348 ( OR>1). In this
study there was an increase in healthy widal titer individuals living in good
sanitation and poor sanitation.The results of analysis using Odds RatioandChi
Squaretest shows there was a correlation between sanitation condition and
increase in healthy widal titer individuals living in good sanitation and poor
sanitation, that healthy individuals living in poor environment sanitation 3,348
times risky that were positive widal titerS. thypi Hcompared to healthy individuals
living in good sanitation.

Keywords :Widal Test, Healthy Individual, Sanitation Environment,


Agglutination titer.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 8
1.3 Hipotesis......................................................................................... 8
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................... 8
1.4.1 Tujuan Umum ...................................................................... 8
1.4.2 Tujuan Khusus ...................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 10


2.1 Sanitasi Lingkungan ....................................................................... 10
2.1.1 Defenisi ................................................................................... 10
2.1.2 Ruang Lingkup Sanitasi ........................................................ 11
2.2 Demam Tifoid ................................................................................ 19
2.2.1 Definisi .................................................................................. 19
2.2.2 Etiologi .................................................................................. 20
2.2.3 Epidemiologi ......................................................................... 20
2.2.4 Sumber Penularan dan Cara Penularan ................................. 23
2.2.5 Patogenesis ................................................................................. 25
2.2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................ 27
2.2.7 Diagnosis ................................................................................. 29
2.2.8 Penatalaksanaan .................................................................... 31
2.2.9 Pencegahan............................................................................ 32
2.3 Pemeriksaan Serologi Widal .......................................................... 33
2.4 Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Peningkatan Titer Widal 38
2.5 Kerangka Teori .............................................................................. 40
2.6 Kerangka Konsep ........................................................................... 41

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 42


3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................. 42
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 42
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 42
3.3.1 Pupulasi Target ................................................................................ 42
3.3.2 Populasi Terjangkau ............................................................. 43

Universitas Sumatera Utara


3.3.3 Sampel ................................................................................... 43
3.4 Perkiraan Besaran Sampel.......................................................................... 44
3.5 Variabel Penelitian ......................................................................... 44
3.6 Defenisi Operasional ...................................................................... 45
3.7 Metode Pengumpulan Data ............................................................ 46
3.8 Cara Pengumpulan Data................................................................. 46
3.8.1 Alat dan Bahan .................................................................................. 46
3.8.2 Prosedur Kerja.............................................................................. 47
3.9 Analisa Data ................................................................................... 50
3.10 Kerangka Kerja Penelitian ........................................................... 51
3.11 Etika Penelitian ............................................................................ 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................. 52


4.1 Karakteristik demografi Subyek Penelitian ............................................... 52
4.2 Pemeriksaan Widal pada Seluruh Individu Sehat yang menjadi
Subyek Penelitian ........................................................................... 54
4.3 Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan
Sanitasi Baik di Kota Langsa ......................................................... 55
4.4 Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan
Sanitasi Buruk di Kota Langsa ........................................................... 57
4.5 Perbedaan Hasil Tes Widal Berdasarkan Kondisi Sanitasi
Lingkungan..................................................................................... 58
4.6 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
Baik di Kecamatan Langsa Barat ................................................... 60
4.7 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
Buruk di Kecamatan Langsa Timur ............................................... 61
4.8 Pembahasan .................................................................................... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 68


5.1 Kesimpulan .................................................................................... 68
5.2 Saran............................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69

LAMPIRAN .................................................................................................... 73

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.6 Definisi Operasional .................................................................................45


4.1 Karakteristik Demografi Subyek Penelitian...............................................53
4.2 Pemeriksaan Widal pada Seluruh Subyek Penelitian ...............................54
4.3 Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan
Sanitasi Baik di Kota Langsa ....................................................................56
4.4 Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan
Sanitasi Buruk di Kota Langsa ..................................................................57
4.5 Perbedaan Widal Tes Berdasarkan Kondisi Sanitasi ................................59
4.6 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
Baik di Kecamatan Langsa Barat.............................................................. 60
4.7 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
Buruk di Kecamatan Langsa Timur.......................................................... 60

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.3 Tes Aglutinasi Widal ............................................................................... 35


2.5 Kerangka Teori ......................................................................................... 41
2.6 Kerangka Konsep Penelitian..................................................................... 41
3.8 Hasil Tes Aglutinasi Slide ........................................................................ 50
3.10 Kerangka Kerja Penelitian ....................................................................... 51
4.2 Diagram Batang Hasil Pemeriksaan Widal pada Seluruh
Subyek Penelitian...................................................................................... 55
4.3 Diagram Batang Hasil Pemeriksaan Widal pada Subyek
dengan Sanitasi Baik ................................................................................ 56
4.4 Diagram Batang Hasil Pemeriksaan Widal pada Subyek
Dengan Sanitasi Buruk ............................................................................. 58

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1 Surat Persetujuan Komite Etik Penelitian .......................................... 73


2 Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek Penelitian..........................74
3 Formulir Persetujuan setelah Penjelasan..............................................76
4 Formulir Sampel Penelitian................................................................ 77
5 Lembar Observasi Sanitasi dasar Lingkungan.....................................78
6 Output Analisis.....................................................................................80
7 Data Responden Penelitian..................................................................92

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

SINGKATAN Nama Pemakaian


pertama kali
pada halaman

WHO World Health Organization 1

RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar 1


S. typhi Salmonella typhi 1
IgM Immunoglobulin M 1
STBM Sanitasi Total Berbasis Masyarakat 3
UNICEF United Nations Emergency Children’s Fund 3
MDGs Millennium Development Goals 3
PPV Positive Predictive Value 5
Dinkes Dinas Kesehatan 6
JMP Joint Monitoring Programme 11
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum 12
KLB Kejadian Luar Biasa 12
SGL Sumur Gali 12
SPT Sumur Pompa Tangan 13
PAH Penampungan Air Hujan 13
PMA Perlindungan Mata Air 13
TCU True Color Unit 14
NTU Nephelometris Turbidity Units 14
pH Power of Hidrogen 14
PHBS Prilaku Hidup Bersih dan Sehat 23
0
C Celcius 27
SPAL Sarana Pembuangsn Air Limbah 48
SPSS Statistical Package for the Sosial Science 50

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit menular yang paling sering terjadi di negara berkembang adalah

penyakit pada saluran pernafasan dan pencernaan. Salah satu diantaranya adalah

kejadian demam tifoid. Pada tahun 2003, World Health Organization (WHO)

memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia

dengan insidensi 600.000 kasus kematian setiap tahun.Berdasarkan data hasil

Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi demam tifoid di

Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5-14

tahun (1,9 %), usia 1-4 tahun (1,6 %), usia 15-24 tahun (1,5%) dan usia kurang

dari 1 tahun (0,8%). Menurut data terbaru WHO yang dipublikasikan tahun 2014

diperkirakan sekitar 21 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan kasus

kematian mencapai 222 ribu orang (Masitoh, 2009; Elisabeth Purba et al., 2016;

WHO, 2014).

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut sistemik yang disebabkan

oleh bakteri gram negatif Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella

typhi),yang hingga saat ini masih memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang

tinggi di dunia khususnya di negara berkembang salah satunya Indonesia. Metode

diagnosis cepat dan tepat perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien yang

dicurigai mengalami demam tifoid sehingga pasien segera mendapatkan

penanganan yang tepat. Tes Widal dan tes IgM anti S. typhi merupakan

Universitas Sumatera Utara


pemeriksaan penunjang yang sering digunakan untuk menegakkan diagnosis

demam(Putri Satwika dan Wiradewi Lestari, 2015).

Demam tifoidtercatat dalam Undang-Undang Nomer06 tahun 1962

tentang wabah, kelompok ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat

menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Penyakit ini tersebar

secara merata di seluruh Indonesia dan terjadi sepanjang tahun, tidak hanya

daerah pedesaan, demam tifoid juga terjadi pada daerah perkotaan(Masitoh,

2009).

Terdapatnya suatu penyakit di suatu daerah tergantung pada

terdapatnyamanusia yang peka dan kondisi lingkungan yang sesuai bagi

kehidupan mikroorganisme penyebab penyakit. Daerah pertanian, peternakan,

kebiasaan menggunakan tinja untuk pupuk, kebersihan lingkungan hidup, sanitasi

dan higiene perorangan yang buruk serta kemiskinan merupakan faktor-faktor

yang dapat meningkatkan penyebaran penyakit. Penelitianepidemiologi yang

banyak dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa penyakit menular

masihmerupakan penyebab kematian yang penting di Indonesia. Kurangnya

sarana air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal keluarga, kebiasaan makan

dengan tanganyang tidak dicuci lebih dulu, pemakaian ulang daun-daun dan

pembungkus makanan yang sudah dibuang ke tempat sampah, sayur-sayur yang

dimakan mentah, penggunaan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup (mandi,

mencucibahan makanan, mencuci pakaian, berkumur, gosok gigi, yang juga

digunakan sebagai kakus) dan penggunaan tinja untuk pupuk sayuran,

meningkatkan penyebaran penyakit menular yang menyerang sistem

pencernaan(Artanti, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Demam tifoid merupakan salah satu penyakit endemis yang ada di

Indonesia, mayoritas mengenai anak usia sekolah dan kelompok usia produktif,

penyakit ini menyebabkan angka absensi yang tinggi, rata - rata perlu waktu 7 –

14 hari untuk perawatan apabila seseorang terkena demam tifoid. Apabila

pengobatan yang dilakukan tidak tuntas maka dapat menyebabkan terjadinya

karier yang kemudian menjadi sumber penularan bagi orang lain.

Beberapa faktor seperti urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan

lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri

pengolahan makanan yang masih rendah juga meningkatkan angka kejadian

demam tifoid(Soegijanto, 2002).Sedangkan persentase penduduk yang memiliki

akses sanitasi dasar yang layak mengalami peningkatan setiap tahunnya mulai

pada tahun 2010 sebesar 55.50 % sampai dengan tahun 2014 sebesar 60.91 %.

Demikian juga dengan pengembangan desa yang melaksanakan Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat (STBM) sebagai upaya peningkatan penyehatan lingkungan,

capaiannya terus mengalami peningkatan sebesar 2.510 desa pada tahun 2010

hingga 20.497 desa pada tahun 2014. Namun upaya-upaya keberhasilan tersebut

ternyata belum dapat menyelesaikan permasalahan air dan sanitasi di Indonesia

sebagai negara dengan sanitasi terburuk peringkat kedua di dunia (P2PL, 2015).

Masyarakat miskin di wilayah perdesaan dan perkotaan memiliki akses

yang rendah terhadap pemanfaatan sanitasi. Lebih dari 30 tahun, akses terhadap

sanitasi tidak berubah. Berdasarkan JointMonitoring Program WHO-UNICEF

pada tahun 2007, akses sanitasi tetap pada angka 38%. Capaian laju

perkembangan seperti ini Indonesia tidak akan berhasil mencapai Millennium

Development Goals (MDGs) untuk sanitasi(Ichwanudin, 2016).

Universitas Sumatera Utara


Manifestasi klinis demam tifoid sangat bervariasi dari ringan berupa

demam, lemas serta batuk yang ringan sampai dengan gejala berat seperti

gangguan gastrointestinal sampai dengan gejala komplikasi, sehingga sulit

menegakkan diagnosis demam tifoid hanya berdasarkan gambaran klinis. Oleh

karena itu, pemeriksaan laboratorium mikrobiologi tetap diperlukan untuk

memastikan penyebabnya(Soegijanto, 2002).

Pemeriksaan serologi yang masih dilakukan pada pasien yang dirawat

dengan demam tifoid di Rumah Sakit adalah tes Widal. Nilai diagnostik tes Widal

adalah melihat adanya kenaikan titer antibodi yang bermakna dalam darah

terhadap antigen O (somatik) dan antigen H(flagelar) S. typhi pada 2 kali

pengambilan spesimen serum dengan interval waktu 10-14 hari. Namun tes Widal

memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah serta memiliki keterbatasan

dalam interpretasi hasil, sebab banyak didapatkan hasil yang positif palsu dan

negatif palsu oleh karena interpretasi tes Widal tergantung pada prevalensi titer

dasar individu yang sehat di wilayah endemik atau geografis tertentu dan kondisi

sanitasinya(Wardana, Herawati dan Yasa, 2014; Bhutta, 2006; Chauhan, 2016).

Penggunaannyasebagai pemeriksaan tunggal di daerah endemik akan

mengakibatkan overdiagnosis. Buruknya sanitasi lingkungan dan kondisi

kesehatan berpengaruh terhadap hasil titer yang tinggi. Selain itu, beberapa faktor

seperti keadaan gizi pasien saat pemeriksaan, pemberian antibiotik sebelum

pemeriksaan, status imunologi, vaksinasi, penggunaan obat imunosupresif, terjadi

reaksi silang dengan Enterobakter lain dan metode pemeriksaan tes Widal yang

digunakan juga mempengaruhi hasil tes tersebut(Wardhani et al., 2005).

Universitas Sumatera Utara


Penelitian yang dilakukan Mishra, et al(2016) pada 200 orang anak sehat

dari daerah endemik Uttar Pradesh di India yang diperiksa serologi diagnosis

menggunakan semi kuantitatif Widal slide sebanyak 120 (60%) menunjukkan

hasil positif,sedangkan 80 (40%) menunjukkan hasil negatif. Pada penelitian

didapat titer tertinggi O adalah 1:320 (5 orang) dan titer H adalah 1:320 (6 orang).

Kesimpulan dari penelitiannya adalah tingginya angka kejadian demam tifoid

ditemukan pada orang sehat yang mengkonsumsi unsafe water and food yang

bersumber dari luar rumah. Peneliti juga menyebutkan bahwa tes Widal mungkin

dapat digunakan untuk mendeteksi Enterik Fever setelah seminggu demam

apabila hasil kutur ditemukan negatif.

Hasil survey Khie Chen pada orang sehat di Jakarta pada tahun 2006

menunjukkan hasil tesWidal positif pada 78% populasi orang dewasa. Untuk itu

perlu kecermatan dan kehati-hatian dalam interpretasi hasil pemeriksaan Widal

(Chen, 2010).

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%

danPositive Predictive Value (PPV) 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu

dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-

typhoidalSalmonella,Enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan

malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi

dan standarisasi kurang baik. Pemeriksaan seharusnya diulang 2-3 minggu, jika

terjadi kenaikan titer 4 kali, terutama aglutinin O maka memiliki nilai diagnostik

yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinasi O yang positif dapat berbeda

dari > 1/160 sampai > 1/320 tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat

Universitas Sumatera Utara


setempat, dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi tifoid atau

baru sembuh dari demam tifoid(IDAI, 2012).

Validitas pemeriksaan uji aglutinin O dan H S. typhi dalam menegakkan

diagnosis dini demam tifoid oleh Sylvia, dkk tahun 2000 didapatkan hasil

penelitian uji serologi Widal dengan satu kali pengambilan pada pasien demam,

diperoleh hasil aglutininS.typhi O nilai prediksi posisif 90,9% bila hasil uji

terhadap aglutininS.typhi O dinyatakan positif. Hasil uji titer aglutinin S.typhi O

memberikan sensitivitas rendah, yang artinya walaupun secara bakteriologik

dinyatakan S.typhi positif, hasil uji Widal dapat memberikan hasil negatif,

sebaliknya hasil uji Widal negatif belum tentu dapat menyingkirkan diagnosis

demam tifoid(Muliawan et al., 2000).

Di negara berkembang identifikasi faktor risiko demam tifoid sangat

penting, hal ini berkaitan dengan pengambilan kebijakan arah pembangunan di

bidang kesehatan. Berdasarkan dataProfil Kesehatan Provinsi Aceh tahun

2014,persentase indikator keadaan lingkungan di Aceh dilaporkan;penduduk yang

memiliki akses sanitasi yang layak (jamban) sebanyak 36,78%, persentase rumah

sehat 54,30%, Jumlah desa yang melaksanakan STBM 10,35%, persentase

kualitas air minum di penyelenggara air minum memenuhi syarat kesehatan

66,73% dan penduduk yang memiliki akses air minum yang layak sebanyak

41,64%. Persentase indikator keadaan lingkungan yang diperoleh dari Kota

Langsa; akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak (jamban sehat) sebanyak 74%,

persentase rumah sehat45%, jumlah desa yang melaksanakanSTBM

adalah9%,persentase kualitas air minum di penyelenggara air minum memenuhi

Universitas Sumatera Utara


syarat kesehatan 99% dan penduduk yang memiliki akses air minum yang layak

sebanyak 73%(Dinkes, 2014).

Kota Langsa merupakan daerah dengan luas menurut kecamatan adalah

262,41 km² atau 26.241 Ha dengan jumlah penduduk 165.890 jiwa. Kepadatan

penduduk menurut kecamatan bervariasi. Ada empat kecamatan di wilayah kerja

Kota Langsa dengan kepadatan penduduk dipengaruhi oleh luasnya wilayah pada

masing-masing kecamatan. Jumlah penduduk terendah adalah 15.390 jiwa dengan

kepadatan penduduk 197 per km² di Kecamatan Langsa Timur.

Penelitian ini mengambil tempat di wilayah Kecamatan Langsa Barat dan

Kecamatan Langsa Timur pada kondisilingkungan dan sanitasiyang berbeda.

Berdasarkan data Profil Kesehatan Kota Langsa tahun 2015, pada Kecamatan

Langsa Barat dilaporkan persentase indikator keadaan lingkungan adalah sebagai

berikut; penduduk yang memiliki akses sanitasi yang layak (jamban) sebanyak

78,2%, persentase rumah sehat 68,49%, Jumlah desa yang melaksanakan STBM

100%, persentase kualitas air minum di penyelenggara air minum memenuhi

syarat kesehatan 100% dan penduduk yang memiliki akses air minum yang layak

sebanyak 43,66%. Persentase indikator keadaan lingkungan yang diperoleh dari

Kecamatan Langsa Timur; akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak (jamban

sehat) sebanyak 73,1%, persentase rumah sehat 59,96%, jumlah desa yang

melaksanakan STBM adalah 37,5%, persentase kualitas air minum di

penyelenggara air minum memenuhi syarat kesehatan 100% dan penduduk yang

memiliki akses air minum yang layak sebanyak 91,77(Dinkes, 2015).

Melihat masih adanya persentase indikator keadaan lingkungan yang

belum memenuhi syarat kesehatanmaka semakin besar kemungkinan orang sehat

Universitas Sumatera Utara


dengan pemeriksaan Widal yang positif, sehingga ketika orang tersebut demam

sering terjadi kesalahan diagnostik dengan demam tifoid (positif palsu), oleh

karena itu peneliti ingin mengetahui perbedaan titer Widal pada individu sehat

yang tinggal di lingkungan sanitasi baik dibandingkan dengan individu sehat yang

tinggal di lingkungan sanitasi buruk.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti ingin mengetahui

bagaimana perbandingan titer Widal individu sehat yang tinggal

padalingkungandengan sanitasi yang baik dan lingkungan dengan sanitasi yang

buruk di Kota Langsa?

1.3 Hipotesis

Titer Widal individu sehat pada lingkungan dengankarakteristik sanitasi

yang buruk lebih tinggi dibandingkan titer Widal individu sehat pada

lingkungandengankarakteristik sanitasi yang baik.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Membandingkan titer Widal individu sehat pada lingkungandengan

sanitasibaik dan sanitasi buruk.

1.4.2 Tujuan Khusus

Universitas Sumatera Utara


1) Untuk mengetahui titer Widal pada lingkungan karakteristik sanitasi baik

di Kota Langsa

2) Untuk mengetahui titer Widal pada lingkungan karakteristik sanitasi buruk

di Kota Langsa

1.5ManfaatPenelitian

1) Manfaat Bagi Pelayanan Kesehatan

Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti dalam penegakan

diagnosis demam tifoid dan menjadi masukan kepada Dinas Kesehatan

Kota Langsa guna meningkatkan program kesehatan lingkungan untuk

mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat demam tifoid.

2) Manfaat Bagi Pengembangan Pendidikan

Sebagai pengalaman melaksanakan penelitian di bidang Kedokteran

Tropis yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan

Magister di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3) Manfaat Bagi Pengembangan Penelitian

Penelitian ini dapat menjadi acuan pada penelitian berikutnya yang

berhubungan dengan titer Widal dan sanitasi lingkungan.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sanitasi Lingkungan

2.1.1. Definisi

Sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan

kegiatannya kepada usaha-usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Rezeki,

2015). Menurut WHO, sanitasi lingkungan adalah upaya pengendalian semua

faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat

menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan

daya tahan hidup manusia(Artanti, 2013).Sanitasi merupakan salah satu

komponen dari kesehatan lingkungan, yaitu perilaku yang disengaja untuk

membudayakan hidup bersih untuk mencegah manusia bersentuh langsung

dengan kotoran dan bahan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan

meningkatkan kesehatan manusia (Mundiatun dan Daryanto, 2015).

Sanitasi lingkungan yang buruk dapat memicu terjadinya penyakit infeksi

yang akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Triska (2005) yang menyatakan bahwa akibat

sanitasi yang tidak memadai menyebabkan semakin tingginya penyakit infeksi

yang akan berpengaruh terhadap kesehatan(Ichwanudin, 2016).

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang

mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan

sebagainya. Sanitasi lingkungan dapat pula diartikan sebagai kegiatan yang

ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan standar kondisi lingkungan

Universitas Sumatera Utara


yang mendasar yang mempengaruhi kesejahteraan manusia. Kondisi tersebut

mencakup:

1. Pasokan air yang bersih dan aman

2. Pembuangan limbah dari hewan, manusia dan industri yang efisien

3. Perlindungan makanan dari kontaminasi biologis dan kimia

4. Udara bersih dan aman

5. Rumah yang bersih dan aman(Mundiatun dan Daryanto, 2015).

2.1.2 Ruang Lingkup Sanitasi

2.1.2.1 Sarana Air Bersih dan Cara Pengelolaan Air

Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Di dalam tubuh manusia

sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa sekitar 55-60% berat badan

terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%.

Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak,

mandi, mencuci dan sebagainya. Di negara-negara berkembang, termasuk

Indonesia tiap orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari. Di antara

kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk

minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum dan masak air harus

mempunyaipersyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi

manusia(Artanti, 2013).

Keterbatasan akses terhadap air bersih, dalam hal ini air minum improved

merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian demam tifoid.

Menurut kriteria Joint Monitoring Programme World Health Organization-The

United Nations Children’s Fund (JMP WHOUnicef) tahun 2006, rumah tangga

Universitas Sumatera Utara


memiliki akses ke sumber air minum improved adalah rumah tangga dengan

sumber air minum dari air ledeng/Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sumur

bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, penampungan air hujan,

dan air kemasan. Di Indonesia, proporsi rumah tangga yang memiliki akses

terhadap sumber air minum improved sebesar 66,8%(Elisabeth Purba et al., 2016).

Sarana air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah

pentingnya berkaitan dengan kejadian demam tifoid. Prinsip penularan demam

tifoid adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau

bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh

melalui air dan makanan. Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara

massal sering bertanggung jawab terhadap terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).

Di daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan

penyakit demam tifoid.

Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber air

bersih bagi penghuni rumah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari sehingga perlu diperhatikan dalam pendirian sarana air bersih. Apabila sarana

air bersih dibuat memenuhi syarat teknis kesehatan diharapkan tidak ada lagi

pencemaran terhadap air bersih, maka kualitas air yang diperoleh menjadi baik.

Persyaratan kesehatan sarana air bersih sebagai berikut:

1) Sumur Gali (SGL)

Jarak sumur gali dari sumber pencemar minimal 11 meter,lantai harus

kedap air, tidak retak atau bocor, mudah dibersihkan, tidak tergenang air,

tinggi bibir sumur minimal 80 centimeter dari lantai, dibuat dari bahan

yang kuat dan kedap air, dibuat tutup yang mudah dibuat.

Universitas Sumatera Utara


2) Sumur Pompa Tangan (SPT)

Sumur pompa berjarak minimal 11 meter dari sumber pencemar, lantai

harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, lantai tidakretak atau bocor,

Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) harus kedap air, panjang SPAL

dengan sumur resapan minimal 11 meter, dudukan pompa harus kuat.

3) Penampungan Air Hujan (PAH)

Talang air yang masuk ke bak PAH harus dipindahkan atau dialihkan agar

air hujan pada lima menit pertama tidak masuk ke dalam bak.

4) Perlindungan Mata Air (PMA)

Sumber air harus pada mata air, bukan pada saluran air yang berasal dari

mata air tersebut yang kemungkinan tercemar, lokasiharus berjarak

minimal 11 meter dari sumber pencemar, atap dan bangunan rapatair serta

di sekeliling bangunan dibuat saluarn air hujan yang arahnya keluar

bangunan, pipa peluap dilengkapi dengan kawat kaca. Lantai bak harus

rapat dan mudah dibersihkan.

5) Perpipaan

Pipa yang digunakan harus kuat tidak mudah pecah, jaringan pipa

tidakboleh terendam air kotor, bak penampungan harus rapat air dan tidak

dapat dicemari oleh sumber pencemar, pengambilan air harus melalui

kran(Artanti, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Air yang memenuhi persyaratan air minum menurut Kepmenkes RI

No.907/Menkes/SK.VII/2002, secara garis besar persyaratan kualitas air dapat

digolongkan dengan empat syarat:

1. Syarat fisik

Air minum yang digunakan sebaiknya tidak berasa, tidak berbau, dan tidak

berwarna (15 TCU), tidak keruh (maksimal 5 NTU), dan suhu udara

maksimal ± 3°C dari udara sekitar.

2. Syarat kimia

Air minum yang dikonsumsi tidak mengandung zat-zat organik dan

anorganik melebihi standar yang ditetapkan, pH pada batas maksimum dan

minimum (6,5-8,5) dan tidak mengandung zat kimia beracun sehingga

menimbulkan gangguan kesehatan.

3. Syarat bakteriologis

Air minum yang digunakan harus terhindar dari kemungkinan kontaminasi

E.coli atau coliform tinja dengan standar 0 dalam 100ml air minum.

4. Zat radioaktif

Air minum harus terhindar dari kemungkinan kontaminasi radiasi

radioaktif yang melebihi batas maksimal yang diperbolehkan .

Kualitas air yang memenuhi syarat kesehatan pada umumnya berkaitan

dengan hal-hal sebagai berikut:

a) Secara alamiah memang air tersebut tidak memenuhi syarat, misalnya

keruh, berwarna, berbau dan mengandung besi atau mangan dalam kadar

yang berlebihan.

Universitas Sumatera Utara


b) Lingkungan sekitar sarana air bersih yang dapat mencemari air, misalnya

terdapat jamban, pembuangan sampah, kandang ternak dan genangan air

kotor pada jarak kurang 11 meter.

c) Kontruksi sarana air bersih yang tidak memenuhi persyaratan teknis

sepertisumur gali tanpa dilengkapi bibir, dinding, lantai dan saluran

pembuangan air bekas yang kedap air (Rezeki, 2015).

2.1.2.2 Sarana Pembuangan Tinja

Sarana pembuangan tinja yaitu tempat yang biasa digunakan untuk buang

air besar, berupa jamban. Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai

fasilitaspembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau

tempat duduk dengan leher angsa yang dilengkapi dengan unit penampungan

kotoran dan air untuk membersihkannya. Jenis-jenis jamban yang digunakan :

a) Jamban Cemplung

Adalah jamban yang penampungannya berupa lubang yang berfungsi

menyimpan kotoran/tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran

kedasar lubang.

b) Jamban Tangki Septik/Leher Angsa

Adalah jamban berbentuk leher angsa yang penampungannya berupa

tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses penguraian

atau dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan

resapan(Artanti, 2013).

Universitas Sumatera Utara


Pembuatan jamban atau kakus merupakan usaha manusia untuk

memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang sehat (Sri

Winarsih, 2008). Menurut Atikah Proverawati (2012), jamban sehat adalah

jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tidak mencemari sumber air bersih (jarak antara sumber air bersih dengan

lubang penampungan minimal 10 meter)

2. Tidak berbau

3. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus

4. Tidak mencemari tanah disekitarnya

5. Mudah dibersihkan dan aman digunakan

6. Dilengkapi dinding dan atap pelindung

7. Penerangan dan ventilasi yang cukup

8. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai

9. Tersedia air, sabun dan alat pembersih

Dalam perencanaan pembuatan jamban, perhatian harus diberikan pada

upaya pencegahan keberadaan vektor perantara penyakit demam tifoid yaitu

pencegahan perkembangbiakan lalat. Peranan lalat dalam penularan penyakit

melalui tinja (fekal-borne diseases) sangat besar. Lalat rumah selain senang

menempatkan telurnya pada kotoran kuda atau kotoran kandang, juga senang

menempatkannya pada kotoran manusia yang terbuka dan bahan organik lain

yang sedang mengalami penguraian. Jamban yang paling baik adalah jamban

yang tinjanya segera digelontorkan ke dalam lubang atau tangki dibawah tanah.

Disamping itu, semua bagian yang terbuka ke arah tinja, termasuk tempat duduk

Universitas Sumatera Utara


atau tempat jongkok, harus dijaga selalu bersih dan tertutup bila tidak

digunakan(Artanti, 2013).

Kuman S.typhi sering ditemukandi sumur-sumur penduduk yang telah

terkontaminasi oleh feses manusia yang terinfeksi oleh kuman tifoid. Menurut

Djabu et al. bahwa tinja manusia yang terinfeksi dan dibuang secara tidak layak

tanpa memenuhi persyaratan sanitasi dapat menyebabkan terjadinya pencemaran

tanah dan sumber-sumber air. Selanjutnya air juga bisa berpeluang untuk

menginfeksi manusia jika menggunakan secara langsung, baik untuk minum

maupun untuk keperluan cuci peralatan dapur, dan sebagainya(Rakhman et al.,

2009).

2.1.2.3Status Rumah Sehat

Rumah sehat menurut Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

Persyaratan Kesehatan Perumahan adalah bangunan rumah tinggal yang

memenuhi syarat kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban sehat, sarana air

bersih, tempat pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi

rumah yang baik, kepadatan hunian yang sesuai dan lantai rumah yang tidak

terbuat dari tanah(Dinkes, 2014).

Masalah yang dihadapi dalam pembangunan perumahan di daerah

perkotaan adalah luas lahan yang semakin menyempit, harga tanah dan material

bangunan yang dari waktu kewaktu semakin bertambah mahal, serta kebutuhan

masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi semacam ini akan mempengaruhi

kuantitas dan kualitas perumahan, bahkan sering menumbuhkan

pemukimankumuh. Demikian juga kondisi perumahan di daerah pedesaan banyak

Universitas Sumatera Utara


dijumpai perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga perlu ditata

kembali dan dipugar dengan melengkapi prasarana dan sarana perumahan yang

memadai. Masyarakat kecil berpenghasilan rendah tidak mampu memenuhi

persyaratan mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bahkan untuk rumah

tipe Rumah Sangat Sederhana (RSS).

Sebaliknya pemerintah dan swasta pengembang perumahan tidak dapat

memenuhi kebutuhan perumahan untuk masyarakat. Hal tersebut menimbulkan

masalah sosial yang serius dan menumbuhkan lingkungan pemukiman kumuh

(slum area) dengan gambaran berhubungan erat dengan kemiskinan, kepadatan

penghuninya tinggi, sanitasi dasar perumahan yang rendah sehingga tampak jorok

dan kotor yaitu tidak ada penyediaan air besih, sampah yang menumpuk, kondisi

rumah yang sangat menyedihkan, dan banyaknya vektor penyakit, terutama lalat,

nyamuk dan tikus(Keman, 2005).

2.1.2.4Sanitasi Makanan

Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat

dan memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh.

Menurut WHO, yang dimaksud makanan adalah: “ Food include all substances,

whether in a natural state or in a manufactured or preparedform, which are part

of human diet. “ Batasan makanan itu tidak termasuk air, obat-obatan dan

substansi-substansi yang diperlukan untuk tujuan pengobatan.

Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang

menitikberatkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan

dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu kesehatan atau

Universitas Sumatera Utara


memasak,mulai dari sebelum makanan diproduksi, selama dalam proses

pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai pada saat dimana makanan dan

minuman tersebut siap untuk dikonsumsi kepada masyarakat atau konsumen.

Sanitasi makanan ini bertujuan untuk menjamin keamanan dan kemurnian

makanan, mencegah konsumen dari penyakit, mencegah penjualan makanan yang

akan merugikan pembeli, mengurangi kerusakan, atau pemborosan makanan

(Sumantri, 2013).

Berdasarkan Kepmenkes RI No.942/Menkes/SK/VII/2003 tentang

Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, pengaturan lebih lanjut

tentang persyaratan hygiene sanitasi makanan jajanan ditetapkan oleh Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), antara lain

mencakup :

1) Air bersih

2) Lalat, tikus dan hewan lainnya

3) Sampah

4) Limbah

5) Pemeliharaan kebersihan

6) Perilaku higiene penjamah

7) Pemeriksaan kesehatan

8) Ventilasi dan pencahayaan

9) Penataan lalu lintas pengunjung

10) Suhu penyimpanan bahan makanan(P2PL, 2010).

2.2 Demam Tifoid

Universitas Sumatera Utara


2.2.1Defenisi

Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus

halus. Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi

klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim demam tifoid dan

demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan

paratyphus abdominalis(Juwono, 1998).

2.2.2 Etiologi

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serovar thypi (S. typhi), Salmonella enterica serovar

paratyphi A, B dan Cjuga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam

paratifoid. S.typhi merupakan salah satu genus dari Enterobacteriaceae berbentuk

batang gram negatif anaerobik fakultatif dan anaerogenik yang memiliki sifat-sifat

1. Dapat memproduksi H2S.

2. Dapat tumbuh pada suhu 5 - 47°C dengan suhu optimum 35 - 37°C.

3. Nilai pH 4,1 -9,0 dengan pH optimum 6,5-7,5. Pada pH dibawah 4,0 dan

diatas 9,0 Salmonella akan mati secara perlahan.

4. Bergerak dengan rambut getar, tidak berspora.

5. Memiliki empat macam antigen yaitu antigen O (bersifat hidrolitik),

antigen H yang bersifat thermolabil, antigen K dan antigen M serta antigen

Vi (virulen)(Parry, 2005; Masitoh, 2009).

2.2.3 Epidemiologi

Universitas Sumatera Utara


Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifoid menurun di USA dan

Eropa. Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang

baik, dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara yang berkembang.

Di Indonesia, insiden demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang

berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan

rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam

tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama

untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah(Widodo,

2014).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh S.typhi.

Penyakit yang tersebar hampir di seluruh dunia ini merupakan penyakit tropik

sistemik, bersifat endemis dan masih merupakan problem kesehatan masyarakat di

dunia, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia(Rakhman et

al., 2009).

Kejadian demam tifoid di Indonesia sepanjang tahun selalu ada, di mana

diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun dan

sepanjang tahun ditemukan mengalami demam tifoid sehingga Indonesia

merupakan negara endemik demam tifoid. Seluruh wilayah Indonesia dapat

ditemukan penyakit ini dengan insidensi yang hampir sama antar daerah. Penyakit

ini penyerangannya bersifat sporadis dan bukan epidemik. Penyakit demam tifoid

ini sangat jarang ditemukan berada kasus pada satu keluarga pada saat yang

bersamaan(Rohana, 2016).

Banyak binatang termasuk ternak, hewan pengerat dan unggas secara

alami terinfeksi dengan berbagai Salmonella terutama S. typhi dan memiliki

Universitas Sumatera Utara


bakteri dalam jaringannya, ekskreta ataupun pada telur. Penyebaran demam tifoid

seringkali melalui makanan dan binatang peliharaan di rumah. Demam tifoid

tersebar di seluruh dunia dan dikategorikan sebagai penyakit yang ditularkan

melalui makanan (foodborne disease) akibat makanan yang terkontaminasi,

terutama kontaminasi oleh binatang, merupakan cara penularan yang utama.

Secara epidemiologis, gastroenteritis Salmonella bisa terjadi berupa KLB kecil di

lingkungan masyarakat umum (Masitoh, 2009).

Demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius,

terutama di negara-negara berkembang. Perkiraan 22 juta kasus demam tifoid baru

setiap tahun di dunia dengan sekitar 200.000 telah mengakibatkan kematian-

kematian sehingga menjadikannya beban global saat ini. Sebuah penelitian

cohort yang dilakukan pada anak-anak selama tahun 2010-2011, terjadinya

episode demam akut pada 289 (19,3%) di 1.500 anak. Tiga penyebab demam akut

yang paling utama adalah chikugunya, Salmonella typhi dan demam berdarah.

Penelitian ini juga menunjukkan Indonesia memiliki jumlah tertinggi peserta yang

memiliki setidaknya satu episode demam yaitu 23,3% dan kepadatan kejadian

40,5 per 100 orang per tahun (95% CI). Selain itu, Indonesia juga memiliki

persentase tertinggi 38,1% dari S.typhi yang terdeteksi pada peserta demam

dibandingkan dengan infeksi penyakit yang lain (Chikugunya, Influenza A,

Rickettsiadan Hepatitis A). Secara keseluruhan, demam tifoid adalah infeksi

kedua paling sering terdeteksi yaitu sebanyak 29,4% dari peserta demam pada

kepadatan kejadian 9,1 per 100 orang per tahun.

Penyakit ini menyebar dengan begitu cepat karena sanitasi yang buruk,

urbanisasi, kepadatan orang yang tinggi, sumber air dan pemilikan standar rendah

Universitas Sumatera Utara


industri kesehatan makanan. Sebuah studi telah dilakukan yang memperkirakan

12 sampai 33 juta kasus demam tifoid sedang direkam per tahun dengan total

200.000 kematian. Menurut data RISKESDAS tahun 2007, demam tifoid

menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia dari semua kelompok usia.

Sebuah laporan dari WHO pada tahun 2003 menyatakan bahwa ada sekitar 17 juta

kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan kematian insiden 600.000 setiap

tahun. Terdapat 91% kasus demam tifoid di Indonesia dengan rata-rata pasien

berumur 3-19 tahun (Osman dan Mulyantari, 2016).

Tantangan yang dihadapi dalam program pengendalian demam tifoid di

Indonesia dalam mencegah menurunkan angka kesakitan demam tifoid, yaitu:

1. Meningkatnya kasus-kasus karier atau relaps dan resistensi

2. Vaksinasi tifoid belum merupakan program imunisasi nasional di

Indonesia

3. Masih rendahnya akses keluarga terhadap air bersih

4. Rendahnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat dan

terbatasnya ketersediaan sanitasi yang baik

5. Masih tingginya angka kemiskinan

6. Banyaknya tempat-tempat penjualan makanan yang belum memenuhi

syarat kesehatan

7. Meningkatnya arus transportasi dan perjalanan penduduk dengan berbagai

tujuan dari satu daerah/ negara ke daerah/ negara lain, sehingga membawa

konsekuensi meningkatkan risiko penularan demam tifoid sekaligus

mempersulit upaya pengendaliannya(Elisabeth Purba et al., 2016).

Universitas Sumatera Utara


2.2.4 Sumber Penularan dan Cara Penularan

Sumber penularan demam tifoid berasal dari tinja dan urine carrier, dari

penderita pada fase akut dan penderita dalam fase penyembuhan. Sumber

penularan tidak selalu harus penderitademam tifoid. Ada penderita yang sudah

mendapat pengobatan dan sembuh, tetapi di dalam urin dan kotorannya masih

mengandung bakteri. Penderita ini disebut sebagai pembawa (carrier). Walaupun

tidak lagi menderita penyakit demam tifoid, orang ini masih dapat menularkan

penyakit demam tifoid pada orang lain. Penularan dapat terjadidi mana saja dan

kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makanan dari luar, apabila makanan

atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Di beberapa negara penularan

terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang

tercemar, buah-buahan, sayur mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu

atau produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak

teridentifikasi(Sucipta, 2015; Artanti, 2013).

Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman

berasaldari tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang

tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Di

daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan

penyakit. Adapun di daerah non-endemik, makanan yang terkontaminasi oleh

carrierdianggap paling bertanggung jawab terhadap penularan (Artanti, 2013).

Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2006

melaporkan masalah penyakit demam tifoid di Indonesia disebabkan antara lain

karena faktor sanitasi makanan, kebersihan pribadi (personal hygiene), dan

kebersihan lingkungan. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab demam tifoid

Universitas Sumatera Utara


adalah masalah klinis seperti koinfeksi dengan penyakit lain dan terjadi resistensi

antibiotika (Rohana, 2016).

Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan

demam tifoid adalah :

1) Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak

terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh

anak.

2) Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan

pada penularan demam tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya:

makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-

sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,

makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum

yang tidak masak, dan sebagainya.

3) Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran,

dan sampah, yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

4) Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.

5) Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

6) Pasien atau carrier demam tifoid yang tidak diobati secara sempurna.

7) Belum membudaya program imunisasi untuk demam tifoid(Artanti, 2013).

2.2.5 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri 3 proses, yakni (1)

proses invasi bakteri S. typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan

hidup dalam makrofaq dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam

Universitas Sumatera Utara


makrofaq. Bakteri S. typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut

bersamaan dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Setelah bakteri

sampai di lambung maka akan timbul usaha pertahanan non-spesifik yang bersifat

kimia dengan adanya suasana asam di lambung dan enzim yang

dihasilkannya(Nuruzzaman dan Syahrul, 2016).

S. typhi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar.

Setelah kuman S.typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam

lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui usus pada ileum terminalis. Setelah

mencapai ususS.typhi melekat pada microvilli, kemudian melalui barier usus yang

melibatkan mekanisme membrane ruffing, actin rearrangement, dan internalisasi

dalam vakuola intraselluler. Kemudian S.typhi menyebar ke sistem limfoid

mesenterika dan masuk kedalam pembuluh darah melalui sistem limfatik.

Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan

kultur darah biasanya masih menberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini

terjadi selama 7-14 hari.

Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan

berkolonialisasi dalam organ – organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati,

limpa dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam

makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam

sistem peredaran darah dan menyebabkan bakterimia sekunder sekaligus

menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan

gejala klinis seperti demam, sakit kepala dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat

menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada

tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu,

Universitas Sumatera Utara


dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’spatches

dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia.

Komplikasi perdarahan dan perporasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan

dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem

retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya

Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau

carrier(Nelwan, 2012).

2.2.6 Manifestasi Klinis

Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas dan bervariasi dari gejala

seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak

sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam

berkepanjangan, gangguan fungsi usus dan keluhan susunan saraf pusat

(Judarwanto, 2017).

Suhu pasien biasanya diukur dengan termometer air raksa dan tempat

pengambilannya bisa dapat di aksila, oral atau rektum. Suhu tubuh normal

berkisar antara 36,5°C-37,2°C. Suhu sub normal dibawah 36°C. Dengan demam

pada umumnya diartikan suhu tubuh diatas 37,2°C. Hiperpireksia adalah suatu

keadaan kenaikan suhu tubuh sampai tertinggi 41,2°C atau lebih, sedangkan

hipotermiaadalah keadaan suhu tubuh dibawah 35°C. Biasanya terdapat

perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal. Dalam

keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0,5°C, suhu rektal lebih tinggi

daripada suhu oral(Widodo, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Masa Inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya

adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidak khas,

berupa:

1. Anoreksia

2. Rasa malas

3. Sakit kepala bagian depan

4. Nyeri otot

5. Lidah kotor

6. Gangguan perut

Gambaran Klasik Demam Tifoid (Gejala Khas)

Menurut Artanti (2013), gambaran klinis klasik yang sering ditemukan

pada penderita demam tifoid dapat dikelompokkan pada gejala yang terjadi pada

minggu pertama, minggu kedua, minggu ketiga dan minggu keempat sebagai

berikut:

1. Minggu Pertama (awal infeksi)

Demam tinggi lebih dari 40°C, nadi lemah bersifat dikrotik, denyut nadi 80-

100 per menit.

2. Minggu Kedua

Suhu badan tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak kering

mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa teraba.

3. Minggu Ketiga

Universitas Sumatera Utara


Keadaan penderita membaik jika suhu menurun, gejala dan keluhan

berkurang. Sebaliknya kesehatan penderita memburuk jika masih terjadi

delirium, stupor, pergerakan otot yang terjadi terus-menerus, terjadi

inkontinensia urine atau alvi. Selain itu tekanan perut meningkat. Terjadi

meteorismus dan timpani, disertai nyeri perut. Penderita kemudian mengalami

kolaps akhirnya meninggaldunia akibat terjadinya degenerasi miokardial

toksik.

4. Minggu Keempat

Penderita yang keadaannya membaik, akan mengalami penyembuhan.

2.2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis

yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih

dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik

untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita

demam tifoid secara menyeluruh(Airlangga, 2017).

Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari

cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan

penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini

mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan

ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan

kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui

identifikasi carrier.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Retnosari dan Tumbeleka (2000), sarana laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid secara garis besar digolongkan

dalam tiga kelompok yaitu:

1) Isolasi kuman penyebab demam tifoid, S. typhi, melalui biakan kuman dari

spesimen seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, dan cairan duodenum

2) Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi

danmenentukan adanya antigen spesifik dari S. typhi

3) Pemeriksaan pelacak DNA kuman S. typhi

Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya

positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang

diperlukan 15 ml untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering

terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya

10-20% kuman saja yang terdeteksi)(Nelwan, 2012).Beberapa peneliti

melaporkan biakan darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama

sakit, dan positif 50% pada akhir minggu ketiga. Kuman dalam tinja ditemukan

meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun

secara perlahan. Biakan urin positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum

tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan.

Uji serologi standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid adalah uji

Widal. Uji ini telah digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah serum

pasien dengan pengenceran berbeda-beda ditambah antigen dalam jumlah sama.

Jika dalam serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran

Universitas Sumatera Utara


tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam

serum. Untuk mencari standar titer uji serologi Widal seharusnya ditentukan titer

dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi.

Uji ELISA (enzyme linkage immunosorbent assay) untukmelacak antibodi

terhadap antigen S.typhi akhir-akhir ini mulai banyak dipakai. Antibodi yang

dilacak dengan uji ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Salah satu uji

serologi untuk melacak antibodi spesifik terhadap S.typhi yang sedang

dikembangkan adalah Dot Enzyme Immunosorbent Assay (Dot EIA).

Metoda lain untuk identifikasi kuman S.typhi yangakurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) kuman S.typhi dalam darah dengan tehnik

hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerasechain

reaction (PCR)(Retnosari dan Tumbelaka, 2000).

2.2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien demam tifoid adalah dengan pemberian

antibiotik yang tepat, penurun demam seperti parasetamol dan managemen cairan

sesuai kondisi pasien(WHO, 2014).

Menurut Widoyono (2011), Penatalaksanaan demam tifoid ada tiga, yaitu:

1. Pemberian antibiotik

Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid.

Obat yang sering dipergunakan adalah:

1. Kloramfenikol 100mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari

2. Amoksisilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.

3. Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.

Universitas Sumatera Utara


4. Sefalosporin generasi II dan III (Ciprofloxacin 2 x 500 mg selam 6 hari,

Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari, Ceftriaxone 4 gram/hari selama 3

hari).

2. Istirahat dan perawatan

Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Penderita sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama seminggu setelah

bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan

keadaanpenderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan

perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar

dan air kecil.

3. Terapi penunjang dan Diet

Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi

makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang

lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.

Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang

kesembuhan penderita(Artanti, 2013).

2.2.9 Pencegahan

Usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah demam tifoid adalah :

1. Dari sisi manusia

a. Vaksinasi untuk mencegah agar seseorang terhindar dari penyakit ini

dilakukan vaksinasi, kini sudah ada vaksin tipes atau tifoid yang

disuntikan atau diminum dan dapat melindungi seseorang dalam waktu 3

tahun.

Universitas Sumatera Utara


b. Pendidikan kesehatan pada masyarakat: higiene, sanitasi, personal

hygiene.

2. Dari sisi lingkungan hidup

a. Penyediaan air minum yang memenuhi syarat kesehatan

b. Pembuangan kotoran manusia yang higienis

c. Pemberantasan lalat

d. Pengawasan terhadap masakan dirumah dan penyajian pada penjual

makanan(Artanti, 2013).

2.3 Pemeriksaan SerologiWidal

Tes Widal merupakan salah satu pemeriksaan tertua, berumur lebih dari

100 tahun, yang masih dikerjakan sampai sekarang di Indonesia. Tes ini

dikembangkan oleh F. Widal pada tahun 1896 untuk menegakkan diagnosis

demam tifoid, menggunakan antigen H (flagelar) dan O (somatik)S.typhi, untuk

mendeteksi antibodi/aglutinin terhadap S.typhi pada serum pasien yang datang

dengan keluhan demam. Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama

demam sampai puncaknya pada minggu ke 3-5. Aglutinin ini dapat bertahan

sampai lama 6-12 bulan. aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-

6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian(Olopoenia dan

King, 2000; Hanggara, 2017).

Penggunaan tes Widal ini di negara maju sudah ditinggalkan, karena

pemeriksaan defenitif yaitu kultur bakteri, tersedia hampir semua dilaboratorium.

Keadaan yang berbeda kita temukan di negara miskin dan berkembang seperti

Universitas Sumatera Utara


indonesia, dimana sebagian besar laboratorium dan Rumah Sakit hanya memiliki

tes Widal untuk diagnosis demam tifoid. Padahal tes ini memiliki keterbatasan

yaitu kemungkinan terjadinya hasil positif palsu dan negatif palsu yang tinggi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diagnosis demam tifoid hanya

menggunakan tes Widal saja seringkali tidak akurat (Hanggara, 2017).

Pemeriksaan serologi Widal juga tergantung pada waktu pengambilan

spesimen dan kenaikan titer agglutinin terhadap antigen S. thypi. Kenaikan titer

antibodi tes serologi Widal pada umumnya paling baik pada minggu kedua dan

ketigayaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya

85,7%. Karena hal ini sehingga saat pengambilan spesimen perlu diperhatikan.

Pemeriksaan tes serologi Widal memerlukan dua kali pengambilan spesimen,

yaitu pada masa akut dan masa konvalesen dengan interval waktu 10-14 hari.

Diagnosis ditegakkan dengan melihat adanya kenaikan titer lebih atau sama

dengan 4 kali titer masa akut, tetapi pada pelaksanaan dilapangan pengambilan

spesimen menggunakan spesimen tunggal. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi

pada spesimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut

merupakan infeksi baru atau lama, juga kenaikan titer aglutinin terutama aglutinin

H tidak mempunyai arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid, namun

masih dapat membantu dalam menegakkan diagnosis tersangka demam tifoid

pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemik atau pada anak umur

kurang dari 10 tahun di daerah endemik, sebab pada kelompok penderita ini

kemungkinan mendapat kontak dengan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih amat

kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di

daerah endemik, kemungkinan untuk menelan S.typhi dalam dosis subinfeksi

Universitas Sumatera Utara


masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan

yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang lainnya,

tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah

umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila Widal masih diperlukan

untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas titer rujukan, baik pada

anak maupun orang dewasa perlu ditentukan(Fatmawati Rachman dan Arkhaesi,

2011).

Dalam garis besarnya uji Widal ada dua macam, yaitu uji Widal tabung

yang membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji Widal slide yang hanya perlu

waktu antara 5-30 menit saja. Menurut hasilpenelitian di Bagian Patologi Klinik

FKUI RSCMtidak ada perbedaan sensitifitas dan spesifisitas antara uji Widal cara

tabung dengan slide. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji Widal cara

slide, karena alat yang dibutuhkan lebih sedikit dan pemeriksaannya lebih

cepat.Sensitifitas dan spesifisitas uji tersebut amat dipengaruhi oleh jenis antigen

yang dipakai. Menurut beberapa peneliti uji Widal yang digunakan antigen dari

strain kuman lokal (daerah endemik) memberikan sensitifitas dan spesifisitas

lebih tinggi secara bermakna daripada yang berasal dari luar daerah endemik

(impor)(Widodo dan Hasan, 1999).

Gambar 2.3 Tes Aglutinasi Widal

Universitas Sumatera Utara


(Sumber: https://patologiklinik.com/2017/11/28/penggunaan-tes-widal-pada-
diagnosis-demam-tifoid/ )

Adapun prinsipnya adalah serum penderita dengan pengenceran yang

berbeda-beda, ditambah antigen dalam jumlah yang sama. Jika dalam serum

terdapat antibodi, maka terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih

memberi aglutinasi, menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Beberapa problema dalam interpretasi tes Widal adalah :

1. Negatif palsu ( false negative)

a. Pada penderita dengan kultur positif, ditemukan negatif palsu yang

berkisar antara 24-60%

b. Penderita yang mendapat pengobatan dengan antibiotika sejak

awal penyakit, kemungkinan tidak akan berkembang kenaikan titer

Widal yang bermakna

c. Kemungkinan pengambilan serum tidakpada saat optimal yang

dapat menunjukkan kenaikan titer

d. Hanya dapat mendeteksi IgM

2. Positif palsu ( false positive)

a. Terdapat peningkatan titer pada orang orang yang telah mendapat

imunisasi dengan vaksin tifoid sebelumnya

b. Kemungkinan terdapat titer antibodi yang tinggi pada orang normal

di daerah endemik, hal ini disebabkan karena sering kontak dengan

kuman penyebab penyakit

Universitas Sumatera Utara


c. Peningkatan titer antibodi O dapat menggambarkan infeksi dengan

Salmonella grupD atau grup lain seperti grup A dab B, serta bakteri

gram negatip. Jadi tidak spesifik untuk S. thypi

d. Dapat terjadi kenaikan titer pada penderita dengan kelainan

imunologik(Darmawati, 1990).

Penelitian terhadap validitas pemeriksaan uji aglutinin O dan H S.typhi

dalam menegakkan diagnosis dini demam tifoid oleh Sylvia, dkk tahun 2000

didapatkan hasil penelitian uji serologi Widal dengan satu kali pengambilan darah

pada pasien demam, diperoleh hasil aglutinin O S.typhi dengan nilai prediksi

posisif 90,9% bila hasil uji terhadap aglutinin O S.typhi dinyatakan positif. Hasil

uji titer aglutinin O S.typhi memberikan sensitivitas rendah, yang artinya

walaupun secara bakteriologik dinyatakan S.typhi positif, hasil uji Widal dapat

memberikan hasil negatif, sebaliknya hasil uji Widal negatif belum tentu dapat

menyingkirkan diagnosis demam tifoid (Muliawan, S.Y, 2000).

Kekurangan tes Widal ini dapat juga dilihat pada Kepmenkes 364 tahun

2006 tentang pedoman pengendalian demam tifoid, yang pada salah satu poinnya

menjelaskan interpretasi tes Widal, yaitu:

1) Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masing-

pmasing daerah tergantung endemisitas daerah masing-masing dan

tergantung hasil penelitiannya.

2) Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau

perjanjian pada satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat

diagnosis demam tifoid.

3) Reaksi Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid

4) Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan

kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari.

Pemeriksaan tes Widal dua kali dengan rentang waktu satu minggu seperti

pada pedoman di atas seringkali tidak dikerjakan dan biasanya pasien langsung

diobati secara empiris sesuai klinis. Untuk itu sekarang penggunaan tes Widal

sudah mulai digantikan oleh pemeriksaan IgM Salmonella yang sudah bisa

dideteksi 3-4 hari setelah terjadinya demam (Hanggara, 2017).

Kelemahan uji Widal adalah rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta

sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif

akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda

infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,

manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada

kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar

titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di

populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan

peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat (Judarwanto, 2017).

2.4 Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Peningkatan Titer Widal

Penularan demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal

dengan 5F yaitu (food,finger, fomitus, fly, feses) Feses dan muntahan dari

Universitas Sumatera Utara


penderita demam tifoid dapat menularkan bakteri S. typhi kepada orang lain.

Kuman tersebut ditularkan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi

dan melalui perantara lalat, di mana lalat tersebut akan hinggap di makanan yang

akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan

kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar oleh

bakteri S. typhi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut selanjutnya orang

sehat ptersebut akan menjadi sakit (Nuruzzaman dan Syahrul,2016).

Secara epidemiologis, penyebaran penyakit berbasis lingkungan

dikalangan anak sekolah di Indonesia tergolong sangat tinggi. Terjadinya infeksi,

seperti diare, demam berdarah dengue, cacingan, demam tifoid serta berbagai

dampak negatif akibat buruknya sanitasi. Demam tifoid dapat menganggu dan

menjadi persoalan utama sekaligus berpotensi mengakibatkan keadaan bahaya

jika menganggu aktivitas sehari-hari sebab dalam interaksi setiap hari banyak

terjadi kontak secara langsung maupun tidak langsung yang dapat menyebabkan

terjadinya penularan dan penyebab penyakit (Nuruzzaman dan Syahrul,2016).

Hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer aglutinin empat kali,

terutama aglutinin O atau aglutinin H dalam jangka waktu 5- 7 hari mempunyai

nilai diagnostik amat penting untuk demam tifoid, sedangkan peningkatan titer

aglutinin yang tinggi pada satu kali pemeriksaan Widal, terutama aglutinin H

masih kontroversi. Peneliti yang menyetujuinya menetapkan titer aglutinin O

bervariasi antara titer O > 1/160 sampai titer > 1/320 atau titer H >1/800 dengan

catatan 8 bulan terakhir tidak mendapatkan vaksinasi atau sembuh dari sakit

demam tifoid. Peneliti lain menambahkan syarat titer aglutinin orang normal sehat

di daerah endemis tersebut harus diketahui agar nilai tunggal mempunyai nilai

Universitas Sumatera Utara


diagnostik. Sementara kelompok lain menganggap hasil satukali uji Widal saja

tidak mempunyai arti penting, namun masih dapat membantu dalam membuat

diagnosis dugaan pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemik

atau anak kurang dari 10 tahun di daerah endemik.Dengan demikian bila uji

Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas

titer rujukan, baik pada anakmaupun orang dewasa di suatu daerah perlu

ditentukan (Widodo, dan Hasan, 1999).

Penelitian yang dilakukan Mishra, et al tahun 2016 pada 200 orang anak

sehat dari daerah endemik Uttar Pradesh di India yang diperiksa serologi

diagnosis menggunakansemi kuantitatif Widal slidesebanyak 120 (60%)

menunjukkan hasil positif,sedangkan 80 (40%) menunjukkan hasil negatif. Pada

penelitian didapat titer tertinggi O adalah 1:320 (5 orang) dan titer H adalah 1:320

(6 orang).Kesimpulan dari penelitiannya adalah tingginya angka kejadian demam

tifoid ditemukan pada orang sehat yang mengkonsumsi unsafe water and food

yang bersumber dari luar rumah. Peneliti juga menyebutkan bahwa tes Widal

mungkin dapat digunakan untuk mendeteksi Enterik Feversetelah seminggu

demam apabila hasil kutur ditemukan negatif (Mishra, et.al., 2016)

2.5 Kerangka Teori

Makanan

Sarana Air
Bersih

Universitas Sumatera Utara


Sarana Sanitasi
Pembuangan Baik
Sanitasi
Lingkungan Kotoran Individu
Sehat
Sarana Sanitasi
Pembuangan Buruk
Air Limbah

Sarana
Pembuangan Titer
Sampah Widal

Perilaku

Keterangan

Tidak diteliti

: Diteliti

Gambar 2.5 Kerangka Teori


2.6Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat


Titer Widal pada
Sanitasi Lingkungan Individu Sehat

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini berupapenelitian observasional analitikuntuk melihat

perbandingan titer widal individu sehat pada lingkungan sanitasi baik dan sanitasi

buruk di Kota Langsa. Rancangan yang digunakan adalah rancangan potong

silang(Cross Sectional).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa pada Kecamatan Langsa Barat dan

Kecamatan Langsa Timur.Pada wilayah Kecamatan Langsa Barat dipilih 4 desa

yang menjadi lokasi penelitian yaitu Desa Serambi Indah dan Desa Paya Bujok

Teungoh,Desa Matang Seulimeng dan Desa Sungai Pauh. Sedangkan wilayah

Kecamatan Langsa Timur dipilih 4desa yang menjadi lokasi penelitian yaitu Desa

Seunebok Antara, Desa Cinta Raja, Desa Matang Seutui dan Desa Matang

Ceungai.

Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan Maret 2018sampai

denganMei2018.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Target

Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh individu sehat yang

tinggal

di wilayah Kecamatan Langsa Barat dan wilayah Kecamatan Langsa Timur.

Universitas Sumatera Utara


3.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau adalah individu sehat yang berusia > 18 tahun yang

tinggal di lingkungan yang memiliki karakteristik sanitasi baik di Kecamatan

Langsa Barat dan Individu sehat yang tinggal di lingkungan yang memiliki

karakteristik sanitasi buruk di Kecamatan Langsa Timur.

Setiap populasi terjangkau akan dilakukan pemeriksaan serologis

Widalpada bulan Maretsampai dengan Mei 2018.

3.3.3 Sampel

Sampel merupakan sebagian populasi terjangkau yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi (kriteria sampling).

Kriteria Inklusi :

1. Subjek dalam keadaansehat, tidak sedang menderita demamdengan

pemeriksaan suhu tubuh normal 36,5ºC – 37,2 ºCmenggunakan

termometer air raksa pada aksila

2. Subjek berusia > 18tahun

3. Subjek bertempat tinggal di Kecamatan Langsa Barat dan Kecamatan

Langsa Timur

Kriteria Eksklusi :

1. Subjek yang tidak bersedia diambil sampel darah

Universitas Sumatera Utara


2. Subjek yang tidak bersedia mengikuti penelitian ini

3.4 Perkiraan Besaran Sampel

Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan

rumus (Budijanto, 2015) :

Keterangan:
n1 besar sampel pada kelompok individu sehat di lingkungan sanitasi baik
n2 besar sampel pada kelompok individu sehat di lingkungan sanitasi buruk
Z1-α/2 nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α 5% = 1,96
Z1-ß nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada ß 20% = 0,842
P1 perkiraan proporsi kelompok individu sehat di lingkungan sanitasi baik
=47%
P2 perkiraan proporsi kelompok individu sehat di lingkungan sanitasi buruk
= 27%
P1 – P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna =20% = 0,2
P = proporsi total = ( P1 + P2 ) / 2 = 0,37

Berdasarkan perhitungan tersebut, besar sampel minimal yang diperlukan

dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 orang sampel dengan perbandingan 1:1

untuk populasi dengan karakteristik sanitasi lingkungan baik dan populasi dengan

karakteristik sanitasi lingkungan buruk. Maka total jumlah sampel pada penelitian

ini adalah 180 orang.

3.5 Variabel Penelitian

a. Variabel Terikatpada penelitian ini adalah: TiterWidal

b. Variabel Bebas pada penelitian ini adalah: Sanitasi Lingkungan

Universitas Sumatera Utara


3.6 DefinisiOperasional

Tabel 3.6 Definisi Operasional

Variabel Terikat

Titer Widal

Definisi Operasional Level aglutinasi antibodi terhadap antigen O


(somatik) dan antigen H (flagellar).

Alat Ukur Tes Widal

Hasil Ukur Titer aglutinasi

Skala Ukur Ordinal

Variabel Bebas

Sanitasi Lingkungan

Definisi Operasional Kondisilingkungan perumahan yang

memenuhi syarat kesehatan yaituyang

memiliki sarana air bersih, jamban sehat,

sarana pembuangan air limbah dan tempat

pembuangan sampah.

Alat Ukur Lembar observasi

Hasil Ukur Sanitasi Baik ( penilaian total > atau = 334)

Sanitasi Buruk ( penilaian total< 334)

Skala Ukur Ordinal

Universitas Sumatera Utara


3.7 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data pada sampel

menggunakan teknikpurposive sampling;Populasi yang memenuhi kriteria

penelitian dapat diikutsertakan hingga tercapai jumlah sampel sebanyak yang

diperlukan untuk kemudian dilakukan pemeriksaan tes Widal, akan menjadi

sampel penelitian.

3.8 Cara pengumpulan data

3.8.1 Alat dan Bahan

1. Observasi dan Pemeriksaan Fisik

a. Alat tulis

b. Termometer digital aksila

c. Lembar observasi

2. Pemeriksaan Widal

1) Personalia : Analis

2) Alat

a. Slide berwarna putih

b. Mikropipet ukuran 2 – 20 µl

c. Tangkai pengaduk

3) Reagen Pemeriksaan Widal

Penelitian ini menggunakan reagen“AIM ” yang terdiri dari;

a. Antigen Salmonella typhi H

Universitas Sumatera Utara


b. Antigen Salmonella paratyphiAH

c. Antigen Salmonella paratyphiBH

d. Antigen Salmonella paratyphiCH

e. Antigen Salmonella typhiO

f. Antigen Salmonella paratyphi AO

g. Antigen Salmonella paratyphiBO

h. Antigen Salmonella paratyphiCO

3.8.2 Prosedur Kerja

3.8.2.1 Observasi dan Pemeriksaan Fisik

1. Pada awal penelitian, dijelaskan tentang tujuan penelitian, manfaat

penelitian, prosedur penelitian dan subjek penelitian bersedia mengikuti

penelitian, bersedia dilakukan observasi sanitasi lingkungan tempat

tinggalnya dan bersedia darahnya dijadikan sampel penelitian dengan

menanda tangani lembar informed consent penelitian.

2. Dilakukan observasi sanitasi lingkungan dengan lembar observasi sanitasi

dasar lingkungan menurut Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999

tentang persyaratan kesehatan perumahanuntuk menentukan kriteria sanitasi

lingkungan baik dan sanitasi lingkunganburuk. Komponen yang dinilai

adalah sarana sanitasi sebagai berikut:

1) Sarana air bersih

a. Tidak ada ( nilai= 0)

b. Ada, bukan milik sendiri, berbau, berwarna dan berasa ( nilai= 1)

c. Ada, milik sendiri, berbau, berwarna dan berasa (nilai=2)

Universitas Sumatera Utara


d. Ada, milik sendiri, tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa

(nilai=3)

e. Ada, bukan milik sendiri (PDAM), tidak berbau, tidak berwarna,

tidak berasa (nilai=4)

2) Jamban (sarana pembuangan kotoran)

a. Tidak ada (nilai=0)

b. Ada, bukan leher angsa, tidak ada tutup, disalurkan ke

sungai/kolam (nilai=1)

c. Ada, bukan leher angsa, ada tutup, disalurkan ke sungai atau ke

kolam (nilai=2)

d. Ada, bukan leher angsa, ada tutup, septic tank(nilai=3)

e. Ada, leher angsa, septic tank(nilai=4)

3) SPAL

a. Tidak ada, sehingga tergenang tidak teratur di halaman (nilai=0)

b. Ada, diresapkan tetapi mencemari sumber air (jarak dengan

sumber air < 10 meter) (nilai=1)

c. Ada, dialirkan ke selokan terbuka (nilai=2)

d. Ada, direapkan dan tidak mencemari sunber air (jarak dengan

sumber air > 10 meter) (nilai=3)

e. Ada, dialirkan ke selokan tertutup (saluran kota) untuk diolah

lebih lanjut) (nilai=4)

4) Sarana pembuangan sampah

a. Tidak ada (nilai=0)

b. Ada, tetapi tetapi tidak kedap air (nilai=1)

Universitas Sumatera Utara


c. Ada, kedap air dan tidak bertutup (nilai=2)

d. Ada, kedap air dan bertutup (nilai=3)

Hasil ukur didapatkan sesuai total hasil penilaian dengan rumus nilai x

bobot, apabila total hasil penilaian > atau = 334 termasuk dalam kriteria

sanitasi lingkungan baikdan total hasil penilaian < 334 termasuk dalam

kriteria sanitasi buruk.

3. Dilakukan pemeriksaan suhu tubuh dengan menggunakan termometer aksila

untuk memastikan subyek pada suhu tubuh normal 36,5 °C -37,2 °C.

4. Jika sampel penelitian memenuhi kriteria inklusi, darah vena diambil

sebanyak 3 ml dimasukkan kedalam tabung gel clot activator kemudian

disimpan dalam kontainer dengan tidak kontak langsung dengan cahaya

dan berisi ice pack agar suhu 2-8°C tetap terjaga selama batas waktu 72 jam

sebelum pemeriksaan.

5. Selesai pengambilan darah, kita mengucapkan terima kasih atas partisipasi

dalam penelitian.

6. Setelah semua darah terkumpul, peneliti mengantar langsung sampel ke

Laboratorium Rumah Sakit Umum Daerah KotaLangsa untuk pemeriksaan

Widal.Prosedur yang dilakukan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional

(SPO) pemeriksaan Widal di Laboratorium Rumah Sakit Umum Daerah

Kota Langsa dan disesuaikan dengan cara kerja pada reagen yang

digunakan.

3.8.2.2 CaraPemeriksaan Widal

Universitas Sumatera Utara


1. Teteskan 20 µlserum ke atas slide, lalu tambahkan 1 tetes masing-

masingantigen Salmonella dengan memakai pipet pada botol reagen. Titer

1:80

2. Campur dengan cara diaduk selama beberapa detik dan putar slide secara

perlahan selama 1(satu) menit tepat dan amati aglutinasi yang terjadi.

3. Pembacaan harus dilakukan tepat 1(satu) menit, untuk menghindari

terjadinya positif palsu (Gambar 3.8).

Gambar 3.8 Hasil Tes Aglutinasi Slide


Positif (+) : terjadi aglutinasi, berarti terdapat antibodi
Negatif (-) : tidak terjadi aglutinasi, berarti tidak terdapat antibodi

(Sumber: Diagnosis Demam Thypoid dengan Pemeriksaan Widal (Wardana, 2014))

4. Bila pada titer 1:80 tersebut aglutinasi positif, maka dilanjutkan

pengenceran sebagai berikut:

Serum 10 µl 5µl 2,5µl

Antigen 1 tetes 1 tetes 1 tetes

Hasil 1 : 160 1 : 320 1 : 640


pengenceran

3.9 Analisa Data

Universitas Sumatera Utara


Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik

Statistical Package for The Social Science (SPSS) versi 22.0. Data deskriptif

disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh akan dianalisa berdasarkan

analisis bivariat dan disajikan secara deskriptif untuk melihat proporsi titer Widal

individu sehat pada sanitasi lingkungan baik dan sanitasi lingkungan buruk.

Analisis lanjutan untuk melihat hubungan faktor resiko dengan hasil Widal positif

dengan menggunakan Uji Chi square dan Odds Ratio dengan tingkat kemaknaan

p < 0,05 dan interval kepercayaan 95%.

3.10 Kerangka Kerja Penelitian

Subjek penelitian yang


memenuhi kriteria penelitian

Lingkungan Sanitasi Lingkungan Sanitasi


Baik Buruk

Dilakukan Pemeriksaan Widal

Positif Negatif
( Titer Widal >1/80 ) ( Titer Widal <atau = 1/80

Gambar 3.10 Kerangka Kerja Penelitian

3.11 Etika Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Sebelum dilakukan pengumpulan data terhadap subjek penelitian, peneliti

melakukan ethical clearance terlebih dahulu kepada Komisi Etik Penelitian

Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Demografi Subyek Penelitian

Kota Langsa merupakan daerah dengan luas menurut kecamatan

adalah 262,41 km² atau 26.241 Ha dengan jumlah penduduk 165.890 jiwa.

Kepadatan penduduk menurut kecamatan bervariasi. Ada empat kecamatan di

wilayah kerja Kota Langsa dengan kepadatan penduduk dipengaruhi oleh

luasnya wilayah pada masing-masing kecamatan. Jumlah penduduk terendah

adalah 15.390 jiwa dengan kepadatan penduduk 197 per km² di Kecamatan

Langsa Timur.Penelitian dilakukan pada sebagian individu sehat di Kota

Langsa, dengan mengambil subyek penelitian pada dua wilayah kecamatan

yaitu Kecamatan Langsa Barat dan Kecamatan Langsa Timur. Pada wilayah

Kecamatan Langsa Barat, pengambilan subyek penelitian di Desa Serambi

Indah, Desa Paya Bujok Teungoh, Desa Matang Seulimeng dan Desa Sungai

Pauh. Sedangkan wilayah Kecamatan Langsa Timur meliputi Desa Seunebok

Antara, Desa Cinta Raja, Desa Matang Seutui dan Desa Matang Ceungai.

Karakteristik demografi ditampilkan selengkapnya dalam Tabel 4.1.

Subyek berjenis kelamin perempuan mendominasi di dua kelompok studi,

sebanyak 62 orang (68,9%) pada kelompok subyek dengan sanitasi buruk dan

sebanyak 57 orang (63,3%) pada kelompok sanitasi baik. Kelompok usia 20-

59 tahun mayoritas di dua kelompok studi, 77 orang (85,6%) pada kelompok

sanitasi buruk dan 78 orang (86,7%) pada kelompok sanitasi baik.

Universitas Sumatera Utara


Kebanyakan pada kelompok sanitasi buruk memiliki pendidikan SMA

sebanyak 38 orang (42,2%) sedangkan pada kelompok sanitasi baik,

pendidikan terbanyak adalah perguruan tinggi sebanyak 48 orang (53,3%).

Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Subyek Penelitian

Karakteristik Demografi Sanitasi Buruk (=90) Sanitasi Baik (n=90)

Jenis Kelamin, n (%)


Laki-laki 28 (31,1) 33 (36,7)
Perempuan 62 (68,9) 57 (63,3)
Usia, n (%)
< 20 tahun 3 (3,3) 1 (1,1)
20-29 tahun 17 (18,9) 20 (22,2)
30-39 tahun 28 (31,1) 20 (22,2)
40-49 tahun 16 (17,8) 17 (18,9)
50-59 tahun 16 (17,8) 21 (23,3)
≥ 60 tahun 10 (11,1) 11 (12,2)
Pendidikan, n (%)
Tidak Sekolah 4 (4,4) 0
Tidak Tamat SD 6 (6,7) 4 (4,4)
SD 11 (12,2) 6 (6,7)
SMP 22 (24,4) 2 (2,2)
SMA 38 (42,2) 29 (32,2)
Perguruan Tinggi 9 (10) 48 (53,3)
Pekerjaan, n (%)
IRT 40 (44,4) 19 (21,1)
Tidak bekerja 2(2,2) 3 (3,3)
Wiraswasta 13 (14,1) 30 (33,4)
Pelajar/mahasiswa 4 (4,4) 4 (4,4)
Petani 26 (28,9) 0
PNS 5 (5,6) 34 (37,8)

4.2 Pemeriksaan Widal pada Seluruh Individu Sehat yang menjadi

Universitas Sumatera Utara


Subyek Penelitian

Berdasarkan hasil pemeriksaan Widal tampak bahwa aglutinin positif

terbanyak adalah S thypi O sebanyak 115 orang (63,9%), diikuti oleh aglutinin

S. thypi H sebanyak 64 orang (35,6%). Pemeriksaan dengan hasil positif

Widal terkecil adalah aglutinin S. paratyphi AH sebanyak 35 orang (19,4%)

(lihat Tabel 4.2 dan Gambar 4.2).

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Widal pada Seluruh Subyek Penelitian

Aglutinin Positif (>1/80) Negatif (< atau = 1/80)

S.thypi O, n (%) 115 (63,9) 65 (36,1)

S.parathypi A O, n (%) 57 (31,7) 123 (68,3)

S.parathypi B O, n (%) 60 (33,3) 120 (66,7)

S.parathypi C O, n (%) 47 (26,1) 133 (73,9)

S.thypi H, n (%) 64 (35,6) 116 (64,4)

S.parathypi A H, n (%) 35 (19,4) 145 (80,6)

S.parathypi B H, n (%) 36 (20) 144 (80)

S.parathypi C H, n (%) 37 (20,6) 143 (79,4)

Universitas Sumatera Utara


90
80
70
Persentase
60
50
40
30
20 Positif
10 Negatif
0

Aglutinin

Gambar 4.2 Diagram Batang Hasil Pemeriksaan Widal pada Seluruh


Subyek Penelitian

4.3 Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi

Baik di Kota Langsa

Berdasarkan hasil pemeriksaan Widal pada subyek dengan sanitasi

baik (Tabel 4.3 dan Gambar 4.3) bahwa aglutinin positif terbanyak adalah

S.thypi O sebanyak 60 orang (66,7%), diikuti oleh aglutinin S.parathypi AO

sebanyak 33 orang (36,7%). Pemeriksaan dengan hasil positif Widal terkecil

adalah aglutinin S. paratyphi B H sebanyak 13 orang (14,4%).

Tabel 4.3 Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
Baik di Kota Langsa

Universitas Sumatera Utara


Aglutinin Positif (> 1/80) Negatif (< atau =1/80)

S.thypi O 60 (66,7) 30 (33,3)

S.parathypi A O 33 (36,7) 57 (63,3)

S.parathypi B O 30 (33,3) 60 (66,7)

S.parathypi C O 32 (35,6) 58 (64,4)

S.thypi H 20 (22,2) 70 (77,8)

S.parathypi A H 15 (16,7) 75 (83,3)

S.parathypi B H 13 (14,4) 77 (85,6)

S.parathypi C H 16 (17,8) 74 (82,2)

90
80
70
Persentase

60
50
40
30
20 Positif
10 Negatif
0

Aglutinin

Gambar 4.3 Diagram Batang Hasil Pemeriksaan Widal pada Subyek dengan
Sanitasi Baik

4.4 Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi

Buruk di Kota Langsa

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil pemeriksaan Widal pada subyek dengan sanitasi

buruk tampak pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 bahwa aglutinin positif

terbanyak adalah S.thypi O sebanyak 55 orang (61,1%), diikuti oleh aglutinin

S. thypi H sebanyak 44 orang (48,9%). Pemeriksaan dengan hasil positif

Widal terkecil adalah aglutinin S. paratyphi C O sebanyak 15 orang (16,7%).

Tabel 4.4Perbandingan Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi


Buruk di Kota Langsa

Aglutinin Positif ( > 1/80 ) Negatif ( < atau = 1/80 )

S.thypi O 55 (61,1) 35 (38,9)

S.parathypi A O 24 (26,7) 66 (73,3)

S.parathypi B O 30 (33,3) 60 (66,7)

S.parathypi C O 15 (16,7) 75(83,3)

S.thypi H 44 (48,9) 46 (51,1)

S.parathypi A H 20 (22,2) 70 (77,8)

S.parathypi B H 23 (25,6) 67 (74,4)

S.parathypi C H 21 (23,3) 69 (76,7)

Universitas Sumatera Utara


90
80
70
Persentase
60
50
40
30
20 Positif
10 Negatif
0

Aglutinin

Gambar 4.4 Diagram Batang Hasil Pemeriksaan Widal pada Subyek dengan
Sanitasi Buruk

4.5 Perbedaan Hasil Tes Widal Berdasarkan Kondisi Sanitasi

Lingkungan

Hasil analisis untuk melihat ada tidaknya perbedaan hasil pemeriksaan

Widal antara subyek yang tinggal pada lingkungan dengan sanitasi baik dan

sanitasi buruk disajikan dalam tabel 4.5. Perhitungan Odds Ratiomenunjukkan

OR> 1 adalah pada aglutinin S.typhi H yaitu OR = 3,348 , S.paratyphi A H

(OR= 1,429), S.paratyphi B H (OR=2,033), S.paratyphi C H (OR=1,408).

Dengan menggunakan uji Chi Square menunjukkan bahwa aglutinin yang

memiliki perbedaan yang signifikan adalah aglutinin S. parathypi C O

(p=0,004) dan S. thypi H (p<0,001).

Tabel 4.5Perbedaan Hasil Tes Widal Berdasarkan Kondisi Sanitasi

Universitas Sumatera Utara


Lingkungan

Sanitasi Buruk Sanitasi Baik OR


Aglutinin ρ
n=90 n=90 95%CI
S.thypi O
Positif 55 (61,1) 60 (66,7) 0,438 0,786
Negatif 35 (38,9) 30 (33,3) 0,427-1,44
S.parathypi A O
Positif 24 (26,7) 33 (36,7) 0,149 0,628
Negatif 66 (73,3) 57 (63,3) 0,333-1,18
S.parathypi B O
Positif 30 (33,3) 30 (33,3) 1,000 1,000
Negatif 60 (66,7) 60 (66,7) 0,538-1,85
S.parathypi C O
Positif 15 (16,7) 32 (35,6) 0,004 0,363
Negatif 75(83,3) 58 (64,4) 0,180-0,73
S. thypi H
Positif 44 (48,9) 20 (22,2) <0,001 3,348
Negatif 46 (51,1) 70 (77,8) 1,754-6,39
S.parathypi A H
Positif 20 (22,2) 15 (16,7) 0,346 1,429
Negatif 70 (77,8) 75 (83,3) 0,679-3,00
S.parathypi B H
Positif 23 (25,6) 13 (14,4) 0,062 2,033
Negatif 67 (74,4) 77 (85,6) 0,956-4,32
S.parathypi C H
Positif 21 (23,3) 16 (17,8) 0,356 1,408
Negatif 69 (76,7) 74 (82,2) 0,679-2,91

4.6 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi

Baik di Kecamatan Langsa Barat

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan penilaian titer Widal individu sehat pada lingkungan

sanitasi baik di Kota Langsa, dengan pengambilan sampel sebanyak 90

individu sehat pada Kecamatan Langsa Barat, didapatkanpersentase terbanyak

dari aglutinin S. typhi Oadalah titer 1/320 pada 42(46%)(lihat tabel 4.6). Hal

ini menunjukkan respon imun yang tinggi terhadap antigen Salmonellapada

individu sehat di lingkungan sanitasi yang baik. Oleh karena itu nilai

diagnostik dari Widal S. typhi O adalah > 1/320.

Tabel 4.6 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi
Baik

di Kota Langsa

Sanitasi Baik (n=90)


Aglutinin
1/80 1/160 1/320

S. typhi O, n(%) 30(33,3) 18(20) 42(46,7)

S. paratyphi AO, n(%) 57(63,3) 22(24,4) 11(12,2)

S. paratyphi BO, n(%) 60(66,7) 20(22,2) 10(11,1)

S. paratyphi CO, n(%) 58(64,4) 19(21,1) 13(14,4)

S. typhi H, n(%) 70(77,8) 8(8,9) 12(13,3)

S. paratyphi AH, n(%) 75(83,3) 10(11,1) 5(5,6)

S. paratyphi BH, n(%) 77(85,6) 8(8,9) 5(5,6)

S. paratyphi CH, n(%) 74(82,2) 11(12,2) 5(5,6)

4.7 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi

Buruk di Kecamatan Langsa Timur

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan penilaian titer Widal individu sehat pada lingkungan

sanitasi baik di Kota Langsa, dengan pengambilan sampel sebanyak 90

individu sehat pada Kecamatan Langsa Timur, didapatkan titer aglutinin S.

typhi O dengan persentase terbanyak adalah titer 1/80 pada 35(38,9%)(lihat

tabel 4.7).Hal ini menunjukkan respon imun yang rendah terhadap

antigenSalmonella pada individu sehat di lingkungan sanitasi yang buruk.

Oleh karena itu nilai diagnostik Widal S. typhi O pada Kecamatan Langsa

Timur adalah > 1/80.

Tabel 4.7 Persentase Titer Widal Individu Sehat pada Lingkungan Sanitasi

Buruk di Kota Langsa

Sanitasi Buruk (n=90)

Aglutinin 1/80 1/160 1/320

S. typhi O, n(%) 35(38,9) 34(37,8) 21(23,3)

S. paratyphi A O, n(%) 66(73,3) 18(20) 6(6,7)

S. paratyphi B O, n(%) 60(66,7) 25(27,8) 5(5,6)

S. paratyphi C O, 75(83,3) 12(13,3) 3(3,3)


n(%)

S. typhi H, n(%) 46(51,1) 24(26,7) 20(22,2)

S. paratyphi A H, n(%) 70(77,8) 9(10) 11(12,2)

S. paratyphi B H, n(%) 67(74,4) 15(16,7) 8(8,9)

S. paratyphi C H, 69(76,7) 11(12,2) 10(11,1)


n(%)

4.8 Pembahasan

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Lembar Observasi Sanitasi Dasar Lingkungan menurut

Kepmenkes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 yang dilakukan dalam

penelitian ini, didapatkan 90 subyek penelitianyang memenuhi kriteria sanitasi

baik yang tinggal di wilayah Kecamatan Langsa Barat dan 90 subyek

penelitian yang memenuhi kriteria sanitasi buruk yang tinggal di wilayah

Kecamatan Langsa Timur. Komponen kriteria sanitasi yang diobservasi

meliputi penilaian; sarana air bersih, jamban (sarana pembuangan kotoran),

SPAL dan sarana pembuangan sampah.Observasi sanitasi lingkungan pada

sebagian desa di Kecamatan Langsa Barat, peneliti mendapatkan rumah yang

sudah memiliki jamban sendiri dan menggunakan jamban jenis leher angsa,

memiliki sarana air bersih yang bersumber dari PDAM dan sarana

pembuangan sampah yang diangkut setiap hari oleh pengangkutan sampah

yang dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Langsa, dan SPAL yang sudah

memenuhi syarat, dengan total penilaian adalah > atau = 334 dan memenuhi

kriteria sanitasi baik. Sedangkan observasi sanitasi lingkungan pada sebagian

desa di Kecamatan Langsa Timur, peneliti mendapatkan sebagian rumah yang

belum memiliki jamban sendiri dan ada memiliki jamban sendiri tapi bukan

jamban leher angsa, sarana air bersih yang masih bersumber dari sumur gali

atau sumur bor dan belum adanya akses sarana air bersih yang bersumber dari

PDAM, sarana pembuangan sampah masih dengan cara menimbun di

pekarangan rumah dan membakar, SPAL yang belum memenuhi syarat,

dengan total penilaian < 334 dan memenuhi kriteria sanitasi buruk.

Selanjutnya didapatkan sampel total 180 individu sehat yang memenuhi

kriteria penelitian dan dilakukan tes Widal.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil uji statistik Chi Square diperoleh ρ value aglutinin

S.typhi H adalah < 0,001 (ρ <0,05), hal ini menunjukkan ada pengaruh antara

kondisi sanitasi lingkungan terhadap hasil pemeriksaan aglutinin S.typhi H.

Hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,348dengan 95% CI= 1,754 - 6,390

menunjukkan bahwaIndividu sehat yang tinggal di lingkungan sanitasi buruk

berisiko 3,348 kali dijumpai hasil tes Widal yang positif aglutinin S. typhi

Hdibandingkan dengan individu sehat yang tinggal dilingkungan sanitasi baik.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh

peneliti lain bahwa interpretasi tes Widal tergantung pada kondisi sanitasinya,

prevalensi titer dasar individu yang sehat yang tinggal di wilayah endemik

atau geografis tertentu(Wardana, Herawati dan Yasa, 2014; Bhutta, 2006;

Chauhan, 2016).

Buruknya sanitasi lingkungan dan kondisi kesehatan berpengaruh

terhadap hasil titer yang tinggi. Selain itu, beberapa faktor seperti keadaan gizi

pasien saat pemeriksaan, pemberian antibiotik sebelum pemeriksaan, status

imunologi, vaksinasi, penggunaan obat imunosupresif, terjadi reaksi silang

dengan Enterobacteriaceae lain dan metode pemeriksaan tes Widal yang

digunakan juga mempengaruhi hasil tes tersebut. Namun, peningkatan titer

aglutinin H saja tanpa disertai peningkatan aglutinin O tidak dapat dipakai

untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid. penyebab hal tersebut dapat

terjadi karena;

a. Pernah terinfeksi atau sering terinfeksi dengan S.typhi dosis rendah

(<100.000 bakteri/ml)

b. Penderita berada dalam masa penyembuhan demam tifoid

Universitas Sumatera Utara


c. Pernah mendapat imunisasi antitifoid(Wardhani et al., 2005).

Kenaikan titer aglutinin terutama aglutinin H tidak mempunyai arti

diagnostik yang penting untuk demam tifoid, namun masih dapat membantu

dalam menegakkan diagnosis tersangka demam tifoid pada penderita dewasa

yang berasal dari daerah non endemik atau pada anak umur kurang dari 10

tahun di daerah endemik, sebab pada kelompok penderita ini kemungkinan

mendapat kontak dengan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil.

Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di

daerah endemik, kemungkinan untuk menelan S.typhi dalam dosis subinfeksi

masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer

rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang

lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak

di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila Widal

masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas titer

rujukan, baik pada anak maupun orang dewasa perlu ditentukan(Fatmawati

Rachman and Arkhaesi, 2011).

Setelah dilakukan tes Widal pada 180 total sampel darah yang

diperoleh dari subjek penelitian didapatkan sebagian besar sampel

menunjukkan reaksi aglutinasi antara antibodi dengan antigen Widal,

denganaglutinin positif terbanyak adalah S. thypi O sebanyak 115 orang

(63,9%), diikuti oleh aglutininS. thypi H sebanyak 64 orang (35,6%). Menurut

Wardhani et al. (2005) bila dipakai kriteria tunggal maka aglutinin O

lebihbernilai diagnostik daripada aglutinin H. Hasil penelitian ini

menunjukkan lebih dari 50% individu sehat yang diteliti adalah Widal positif

Universitas Sumatera Utara


(titer >1/80), hal ini menjadi tolok ukur dalam menegakkan diagnosa demam

tifoid, agar tidak terjadi kesalahan karena pada individu sehat sudah terdapat

antibodi yang menunjukkan Widal positif.Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Chauhan(2016)di Uttarpradesh, India bahwa diantara 250 individu

sehat yang dilakukan pemeriksaan Widal,142 orang (56,8%) adalah Widal

positif dan 108 orang (43.2%) Widal negatif.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Widal pada subyek dengan sanitasi

baik didapatkan hasil aglutinin positif terbanyak adalah S.thypi O sebanyak 60

orang (66,7%), diikuti olehaglutinin S. parathypi AO sebanyak 33 orang

(36,7%), dan pada subjek dengan sanitasi buruk tampak bahwa aglutinin

positif terbanyak adalah S. thypi O sebanyak 55 orang (61,1%), diikuti oleh

aglutinin S. thypi H sebanyak 44 orang (48,9%). Hal ini menunjukkan bahwa

adanya peningkatan titer widal pada individu sehat di kedua kelompok

lingkungan sanitasi baik dan lingkungan sanitasi buruk yang didominasi oleh

aglutinin S.thypi O.

Hasil penelitian ini jelas menunjukkan bahwa aglutininSalmonella

umumnya terdapat pada orang-orang yang tampaknya sehat dan tidak sedang

menderita demam saat diperiksakan darahnya pada populasi dan sanitasi yang

berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian Vollaard (2004)di Jakarta, bahwa

pemeriksaan widal adalah mudah tapi memiliki keterbatasan terutama di

daerah endemik seperti Indonesia, dimana sulit untuk mendapatkan hasil yang

tepat. Orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yangbertempat tinggaldidaerah

endemik kemungkinanuntuk menelan S.typhi dalam dosis subterinfeksilebih

besar, sehingga uji Widal dapat memberikanambang atas titer rujukan yang

Universitas Sumatera Utara


berbeda-beda antardaerah endemik yang satu dengan yang lainnya.Bergantung

dari derajat endemisnya dan jugaperbedaan keadaan antara anak di bawah

umur 10tahun dan orang dewasa.Didasari hal tersebutdi atas, biIa uji Widal

masih diperlukan untukmenunjang diagnosis demam tifoid, ambang atastiter

rujukannya baik anak maupun orang dewasaperlu ditentukan.

Besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosisdemam tifoid di

lndonesia belum terdapat kesesuaian.Dari hasil beberapa penelitian

menunjukkan bahwakegunaan uji Widal untuk diagnosis demam

tifoidbergantung prosedur yang digunakan di masing-masingrumah sakit atau

laboratorium. Menurutpenelitian Loho et al. uji Widal dianggap positif

bilatiter antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O maupunH dengan kriteria

diagnostik tunggal atau gabungan.Bila dipakai kriteria tunggal maka aglutinin

O lebihbernilai diagnostik daripada aglutinin H(Wardhani et al., 2005).

Hasil penelitian di RS Dr. M. Djamil Padang, titer antibodi terhadap

antigen O S. typhi yang sering ditemukan adalah titer 1/160 dengan nilai titer

antibodi tertinggi yakni 1/320 lebih sering ditemukan pada lama demam

dengan rentang 6 – 8 hari. Titer antibodi terhadap antigen H S.typhi yang

sering ditemukan adalah titer 1/160 dengan nilai titer antibodi tertinggi yakni

1/640 ditemukan pada lama demam dengan rentang 6 - 8 hari(Velina, Hanif

dan Efrida, 2014).Berdasarkan hasil penelitian pada individu sehat di Kota

Langsa nilai aglutinin mencapai titer tertinggi 1/320 (Tabel 4.6 dan Tabel 4.7),

hal ini sejalan dengan penelitian Bahadur dan Peerapur (2013) pada individu

sehat di Karnataka, India bahwa 107 serum individu sehat didapatkan nilai

tertinggi tes Widal adalah 1/320. Maka bila didapatkan titer Widal yang sama

Universitas Sumatera Utara


pada pasien dengan suspek demam tifoid yang berobat di fasilitas pelayanan

kesehatan di Kota Langsa, mengandalkan Widal sebagai satu-satunya tes

laboratorium untuk menegakkan diagnosa demam tifoid akan menghasilkan

diagnosa yang keliru (misleading diagnosa), kemungkinan adalah positif

palsu. Maka perlu dilakukan pemeriksaan lain yang lebih akurat seperti kultur

untuk menentukan penyebab infeksi. Hal ini sejalan dengan

penelitianAndualem,etal.(2014) yang mengevaluasi nilai fase akut tes tunggal

Widal dibandingkan dengan kultur darah untuk mendiagnosa demam tifoid

pada pasien dengan suspek demam tifoid di RS St. Paulus Addis Ababa,

Ethiopia, dari 270 sampel subjek penelitian dengan tes Widal positif aglutinin

O dan H kemudian dilakukan kultur darah didapatkan hasil yang terbanyak

adalah negative blood culture 201(74,4%), S.thypi 7(2,6%), S.parathypi

4(1,5%), Non thyphoidal Salmonella 7(2,6%) dan bakteri lainnya

51(18,9%)(Andualem et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan yang telah dijabarkan,

didapatkan kesimpulan bahwa terdapat peningkatan titer Widal individu sehat

pada lingkungan sanitasi baik dan lingkungan sanitasi buruk di Kota Langsa.

Hasil analisis menggunakan Odds Ratio dan uji Chi Square menunjukkan

ada hubungan kondisi sanitasi terhadap peningkatan titer Widal positif, bahwa

individu sehat yang tinggal di lingkungan sanitasi buruk berisiko memiliki 3,348

kali titer widal S. thypi H yang positif dibandingkan dengan individu sehat yang

tinggal di lingkungan sanitasi baik.

5.2 SARAN

Dilihat dari hasil pemeriksaan widal individu sehat pada penelitian ini,

didapatkan banyak hasil yang positif (titer > 1/80), maka perlu berhati-hati dalam

pemeriksaan Widal terutama bila tanpa indikasi.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan cut off (ambang

batas) titer Widal di Kota Langsa.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Airlangga. 2017. Waspadai Diagnosis Tifus yang Sering tidak Benar. [Online]
Diunduh dari:www.dokterindonesiaonline.com.
Andualem, G. et al. 2014. A Comparative Study of Widal Test with Blood
Culture in The Diagnosis of Typhoid Fever in Febrile Patients. BMC.
pp.1–6.

Artanti,N.W.2013. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan,


dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012.

Bahadur, A. K. dan Peerapur, B. V . 2013. Baseline Titre of Widal amongst


Healthy Blood Donors in Raichur , Karnataka. Journal of Krishna Institute
ofMedical Sciences University, 2(2): 30–36.

Budijanto, D. 2015. Sampling Dan Besar Sampel. Pusat Data Dan Informasi
KementerianKesehatan Republik Indonesia. Diunduh dari:
www.Risbinkes.Litbang.Depkes.Go.Id/.../Sampling-Dan-Besar-..

Bhutta, Z. A. 2006. Typhoid fever: Current Concepts. Infectious Diseases in


Clinical Practice, 14: 266–272.

Chen, K. 2010. Mengapa saya menderita Tifus berulang kali ?. [Online]


Diunduh dari: http://drkhiechen.blogspot.co.id
[Diakses 23 June2010].

Darmawati, T. 1990. Serodiagnosis Demam Tifoid, s.l.: Sari Pustaka.


Depkes. 2006. KEPMENKES No.365/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid. [Online].
Dinkes. 2012. 2014. Propil Kesehatan Provinsi Aceh. Banda Aceh: s.n.
Dinkes. 2015. Propil Kesehatan Kota Langsa Tahun 2015. Langsa: s.n.

Elisabeth Purba, I. et al.2016. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia:


Tantangan dan Peluang, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
26(2): 99–108.

Fatmawati Rachman, A. dan Arkhaesi, N. 2011. Uji Diagnostik Tes Serologi


Widal Dibandingkan dengan Kultur Darah sebagai Baku Emas Untuk
Diagnosis Demam Tifoid pada Anak Di RSUP Dr. Kariadi Semarang, pp.
1–15.

Hanggara, D. S. 2017. Penggunaan Tes Widal pada Diagnosis Demam Tifoid.


[Online] Diunduh dari: www,patologiklinik.com.
Ichwanudin. 2016. Kajian Dampak Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Terhadap

Universitas Sumatera Utara


Akses Sanitasi di Kabupaten Wonogiri.Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia, 15(2): 46–49.

IDAI. 2012.Pitfalls in Pediatric Practices. Diedit oleh P. Trihono et al. Ikatan


Dokter Anak Indonesia, Cabang DKI Jakarta.

Judarwanto,W.2017. Penanganan Terkini Demam Tifoid. [Online]


Diunduh dari: www.jurnalpediatri.com
Juwono, R.1998. Demam Tifoid. Dalam: H. S. Noer, editor.Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp. 435-442.
Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan Dan Lingkungan Pemukiman.Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 2(1): 29–42.

Masitoh, D.2009.Hubungan antara Perilaku Higiene Perseorangan dengan


Kejadian Demam Tifoid pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Islam
Hadlirin Jepara Tahun 2009. Universitas Negeri Semarang.

Mishra, N. et al. 2016. Prevalence of Typhoid Fever in Healthy People: A


Descriptive Study,” Age (years), 2(2): 9.

Muliawan, S. Y. et al.2000. Validitas Pemeriksaan Uji Aglutinin O dan HS.Typhi


dalam Menegakkan Diagnosis Dini Demam Tifoid. J.KedokteranTrisakti,
19(2),hal.826. Diunduh
dari:http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2011/02/Vol.19_no.2_6.
pdf.

Mundiatun, Daryanto, 2015. Sanitasi Lingkungan. Dalam: D. A. Suprihatin,


editor. Pengelolaan Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Gava
Media.
Nelwan, R., 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Cermin Dunia
Kedokteran, 39(4): 247-250.
Olopoenia, L. A. dan King, A. L. 2000. Widal agglutination test− 100 years later:
still plagued by controversy.,” Postgraduate medical journal, 76: 80–84.
Osman, Z dan Mulyantari, N.K. 2016. Prevalensi Antibodi IgM Anti-Salmonella
pada Penderita Diduga Demam Tifoid di Rumah Sakit Puri Bunda,
Denpasar bulan April – Oktober 2014. e-jurnal Medika,5(10).
P2PL, 2010. Kepmenkes No: 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman
Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
P2PL, 2015. Rencana Aksi Program PP dan PL 2015-2019, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Universitas Sumatera Utara


Parry, C. M., 2005. Epidemiological and Clinical Aspects of Human Thyphoid
Fever.[Online] Available at: www.cambridge.org [Diakses 27 July 2016].
Putri Satwika, A. A. dan Wiradewi Lestari, A.2015. Uji Diagnostik Tes Serologi
Widal Dibandingkan dengan Tes IgM Anti Salmonella Typhi sebagai
Baku Emas pada Pasien Suspect Demam Tifoid di Rumah Sakit Surya
Husadha pada Bulan Januari sampai dengan Desember 2013. E-Jurnal
Medika Udayana [Online], 4(8). Diunduh
dari:https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/17681.

Rezeki, S., 2015. Sanitasi Air dan Pengelolaan Sampah. Dalam: Sanitasi Hiegiene
dan K3 ( Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Bandung: Penerbit
Rekayasa Sains, pp. 9 - 43.
Rohana, Y., 2016. Perbedaan Pengetahuan dan Pencegahan Primer Demam Tifoid
Balita antara Orang Tua di Pedesaaan dan Perkotaan. Jurnal Berkala
Epidemiologi, September 2016, 4 (3): 384-395.
Rakhman, A. et al.2009. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Demam Tifoid Pada Orang Dewasa. Berita Kedokteran
Masyarakat. 25(4): 167-175.

Retnosari, S. dan Tumbelaka, A. R.2000. Pendekatan Diagnostik Serologik dan


Pelacak Antigen Salmonella typhi,” Sari Pediatri, 2(2): 90–95.

Soegijanto, S., 2002. Demam Tifoid. Dalam:Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa &
Penatalaksanaan. edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.
Sucipta, A. M., 2015. Baku Emas Pemeriksaan Laboratorium Demam Tifoid pada
Anak. Jurnal Skala Husada , 12: 22 - 26.
Sumantri, A., 2013. Sanitasi Makanan. Edisi Revisi penyunt. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group .
Supardi, 2009. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan.
Bandung: Alumni.
Trihono, P.P., et al. 2012. Pitfalls in Pediatric Practices, DKI Jakarta: Ikatan
Dokter anak Indonesia.
Velina, V. R., Hanif, A.M. dan Efrida. 2014. Gambaran Hasil Uji Widal
Berdasarkan Lama Demam pada Pasien Suspek Demam Tifoid,” Jurnal
Kesehatan Andalas, 5(3): 687–691.

Vollaard, A. M., 2004. Typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia;


Epidemiology and risk factors. JAMA (The Journal of the American
Medical Association) .
Wardhani, P. et al. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen
Import dan Antigen Lokal,” Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, 12(1): 31–37. Diunduh dari:

Universitas Sumatera Utara


http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-IJCPML-12-1-07.pdf.

[WHO] World Health Organization. 2014. Focus on Typhoid fever, Weekly


Summaries. Available at:
http://www.wpro.who.int/phillipines/typhoon_haiyan/en/index.html.

Widodo, D dan Hasan, I. 1999. Perkembangan Diagnosa laboratorium Demam


Tifoid. Majalah Kedokteran Indonesia, 49: 256-262.
Widodo, D., 2009. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo, A.W.,et al. editor. Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Internal Publishing, pp. 1774-
1778.
Widodo, D., 2014. Demam Tifoid. Dalam: Setiati, S.,et.al.editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid I. Jakarta: Internal Publishing, p. 549.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2

LEMBAR PENJELASAN SINGKAT KEPADA CALON SUBYEK

PENELITIAN

Assalamu’alaikum Wr Wb

Saya dr.Leni Afriani, mahasiswa program studi magister Ilmu Kedokteran

Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, saat ini sedang

melakukan penelitian yang berjudul: “Perbandingan Titer Widal Individu

Sehat pada Lingkungan Sanitasi Baik dan Sanitasi Buruk di Kota Langsa”.

Tujuanpenelitian ini adalah untuk membandingkanhasil pemeriksaan widal

orang sehat pada daerah yang memiliki lingkungan dengan sanitasi yang baik dan

sanitasi yang buruk.

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

kuman,hingga saat ini masih memiliki angka kesakitan dan kematian yang tinggi

di dunia dan juga di Indonesia. Demam tifoid dapat ditularkan dari tinja dan

muntahan penderita demam tifoid yang mengandung kuman dengan nama

Salmonella typhi. Kuman tersebut dapat juga ditularkan melalui makanan atau

minuman yang tercemar, di mana lalat akan hinggap di makanan atau minuman

tersebut yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila kurang memperhatikan

kebersihan dirinya seperti mencuci tangan, makadengan memakan makanan yang

tercemar oleh kuman tersebut, kemudian kuman akan masuk ke tubuh

menyebabkan orang sehat tersebut akan menjadi sakit. Pemeriksaan yang

dilakukan untuk mengetahui

ada tidaknya kuman tifoid pada manusia salah satunya adalah tes Widal dengan

cara pengambilan darah.

Universitas Sumatera Utara


Penelitian yang pernah dilakukan didapatkan banyak orang sehat yang

diperiksa darahnya dengan tes Widal didapatkan hasil yang positif (ada kuman

penyebab demam tifoid dalam darah), oleh karena itu jika bersedia mengikuti

penelitian ini, saya akan mengambil sedikitdarah untuk dilakukan pemeriksaan di

laboratorium untuk mengetahuiada tidaknya kuman penyebab demam tifoid pada

darah. Semua hasil yang saya dapatkan menjadi rahasia penelitian, tidak akan

disebarluaskan, dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian.

Pemeriksaanini lazimnya tidak menimbulkan hal-hal yang berbahaya dan tidak

dipungut biaya. Kami sangat mengharapkan keikutsertaan Anda dalam penelitian

ini.Jika Anda bersedia diperiksa, maka saya mengharapkan kesukarelaan anda

agar menandatangani lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP). Apabila

dijumpai keluhan atau efek samping berkelanjutan pada anda sehubungan dengan

pemeriksaan yang telah dilakukan misalnya dijumpai tanda memar atau infeksi di

tempat pengambilan darah, yaitu bengkak, kemerahan, teraba lebih hangat dari

kulit sekitar, serta nyeri, anda dapat menghubungi saya,dr. Leni afriani di nomor

08126921761.

Demikian penjelasan ini saya sampaikan, semoga penelitian inidapat

mencegah dan menanggulangi penyakit demam tifoid di daerah kita dan memberi

manfaat bagi kita semua.

Langsa, 2018

(dr. Leni Afriani)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ................................................................. Umur : ...... tahun


Alamat : ................................................................
Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan
Nomer Telepon : ..................................................................

setelah mendapat penjelasan mengenaimanfaat dan hal-hal yang berhubungan


dengan penelitian mengenai“PERBANDINGAN TITER WIDAL INDIVIDU
SEHAT PADA LINGKUNGAN SANITASI BAIK DAN SANITASI BURUK
DI KOTA LANGSA”.
Maka dengan ini saya menyatakan bahwa saya dengan sukarela ikut serta dalam
penelitian ini. Bila suatu ketika merasa dirugikan dalam bentuk apapun saya
berhak membatalkan persetujuan ini.
Demikian surat persetujuan ini saya buat tanpa paksaan dari pihak manapun.

Langsa, 2018

( ......................... )
Yang membuat Pernyataan

Lampiran 4

Universitas Sumatera Utara


FORMULIR SAMPEL PENELITIAN

No. urut pengambilan sampel darah :


Tanggal pemeriksaan :

A. Identitas Sampel Penelitian


1. Nama :
2. Umur :
3. Jenis Kelamin :
4. Agama :
5. Alamat :
Desa :
Kecamatan :
6. Pekerjaan : ( ) Petani, ( ) Wiraswasta, ( ) Pegawai Negeri ( )
Mahasiswa
( ) Lain-lain (Sebutkan) …….
7. Penghasilan : Rp. /bulan
8. Pendidikan :
( ) Tidak Sekolah
( ) Tidak Tamat SD
( ) Tamat SD
( ) Tamat SMP
( ) Tamat SLTA
( ) Akademi/Perguruan Tinggi

9. Pemeriksaan Suhu Tubuh Aksila : °Celsius

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5

Lembar Observasi Sanitasi Dasar Lingkungan


menurut Kepmenkes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999
tentang persyaratan Kesehatan Perumahan
No Komponen yang Kriteria Nilai Bobot
dinilai
Sarana Sanitasi 25
1. Sarana Air Bersih a. Tidak ada 0
b. Ada, bukan milik sendiri, berbau, 1
berwarna dan berasa
c. Ada, milik sendiri, berbau, 2
berwarna dan berasa
d. Ada, milik sendiri, tidak berbau, 3
tidak berwarna, tidak berasa
e. Ada, bukan milik sendiri 4
(PDAM), tidak berbau, tidak
berwarna, tidak berasa
2. Jamban (sarana a.Tidak ada 0
Pembuangan b. Ada, bukan leher angsa, tidak 1
kotoran) ada tutup, disalurkan
kesungai/kolam
c.Ada, bukan leher angsa, ada 2
tutup, disalurkan kesungai atau
kekolam
d. Ada, bukan leher angsa, ada 3
tutup, septic tank
e. Ada, leher angsa, septic tank 4
3. Sarana Pembuangan a. Tidak ada, sehingga tergenang 0
Air Limbah (SPAL) tidak teratur dihalaman
b. Ada, diresapkan tetapi 1
mencemari sumber air (Jarak
sumber air jarak dari sumber < 10
meter)
c. Ada, dialirkan keselokan terbuka 2
d.Ada , diresapkan dan tidak 3
mencemari sumber air (jarak
dengan sumber air > 10 meter)
e. Ada, dialirkan keselokan tertutup 4
(saluran kota) untuk diolah lebih
lanjut

Universitas Sumatera Utara


4 Sarana Pembuangan a. Tidak ada 0
Sampah b. Ada, tetapi tidak kedap air 1
c. Ada, kedap air dan tidak bertutup 2
d. Ada, kedap air dan bertutup 3

TOTAL HASIL PENILAIAN

Keterangan Nilai x Bobot

Kriteria
1. Sanitasi Baik > atau = 334
2. Sanitasi Buruk < 334

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6

OUTPUT ANALISIS

Crosstabs
Case Processing Summary
Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jk * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%


kerja * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%
didik * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%

jk * sanitasi Crosstabulation
Sanitasi

buruk Baik Total

jk Pria Count 28 33 61

% within jk 45.9% 54.1% 100.0%

% within sanitasi 31.1% 36.7% 33.9%

wanita Count 62 57 119

% within jk 52.1% 47.9% 100.0%

% within sanitasi 68.9% 63.3% 66.1%


Total Count 90 90 180

% within jk 50.0% 50.0% 100.0%

% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

pekerjaan * sanitasi Crosstabulation


Sanitasi

Buruk Baik Total

pekerjaan IRT Count 40 19 59

% within sanitasi 44.4% 21.1% 32.8%

Pelajar/Mahasiswa Count 4 4 8

% within sanitasi 4.4% 4.4% 4.4%

Pensiunan Count 1 5 6

% within sanitasi 1.1% 5.6% 3.3%

Petani Count 26 0 26

Universitas Sumatera Utara


% within sanitasi 28.9% 0.0% 14.4%

PNS Count 5 34 39

% within sanitasi 5.6% 37.8% 21.7%

Tidak bekerja Count 2 3 5

% within sanitasi 2.2% 3.3% 2.8%

wiraswasta Count 12 25 37

% within sanitasi 13.3% 27.8% 20.6%


Total Count 90 90 180

% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

didik * sanitasi Crosstabulation


Sanitasi
Buruk baik Total

didik Akademi/Perg.Tinggi Count 9 48 57

% within didik 15.8% 84.2% 100.0%

% within sanitasi 10.0% 53.3% 31.7%

SMA Count 38 28 66

% within didik 57.6% 42.4% 100.0%

% within sanitasi 42.2% 31.1% 36.7%

SMEA Count 0 1 1

% within didik 0.0% 100.0% 100.0%

% within sanitasi 0.0% 1.1% 0.6%


SMP Count 22 2 24

% within didik 91.7% 8.3% 100.0%

% within sanitasi 24.4% 2.2% 13.3%

Tamat SD Count 11 6 17

% within didik 64.7% 35.3% 100.0%

% within sanitasi 12.2% 6.7% 9.4%

Tidak sekolah Count 4 0 4

% within didik 100.0% 0.0% 100.0%

% within sanitasi 4.4% 0.0% 2.2%

Tidak Sekolah Count 0 1 1

% within didik 0.0% 100.0% 100.0%

% within sanitasi 0.0% 1.1% 0.6%

Tidak tamat SD Count 6 4 10

% within didik 60.0% 40.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


% within sanitasi 6.7% 4.4% 5.6%
Total Count 90 90 180

% within didik 50.0% 50.0% 100.0%

% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Crosstabs

Notes
Output Created 13-JUN-2018 21:57:41
Comments
Input Data D:\aaPROJECT\STATISTIK\PAT
OLOGI KLINIK\Leni\data dr
Leni.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
180
File
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are
treated as missing.
Cases Used Statistics for each table are based
on all the cases with valid data in
the specified range(s) for all
variables in each table.
Syntax CROSSTABS
/TABLES=STO SpAO SParaBO
STyphiCO STyphiH SParaAH
SParaBH SParaCH BY kel
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT EXPECTED
ROW COLUMN
/COUNT ROUND CELL.
Resources Processor Time 00:00:00.02

Elapsed Time 00:00:00.08

Dimensions Requested 2

Cells Available 174734

Universitas Sumatera Utara


[DataSet1] D:\aaPROJECT\STATISTIK\PATOLOGI KLINIK\Leni\data dr Leni.sa

Case Processing Summary


Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

STO * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%


SpAO * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%
SParaBO * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%
STyphiCO * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%
STyphiH * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%
SParaAH * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%
SParaBH * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%
SParaCH * sanitasi 180 100.0% 0 0.0% 180 100.0%

STO * sanitasi
Crosstab
Sanitasi

buruk Baik Total

STO + Count 55 60 115

Expected Count 57.5 57.5 115.0

% within STO 47.8% 52.2% 100.0%

% within sanitasi 61.1% 66.7% 63.9%

- Count 35 30 65

Expected Count 32.5 32.5 65.0

% within STO 53.8% 46.2% 100.0%

% within sanitasi 38.9% 33.3% 36.1%


Total Count 90 90 180
Expected Count 90.0 90.0 180.0

% within STO 50.0% 50.0% 100.0%

% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square .602a 1 .438


b
Continuity Correction .385 1 .535
Likelihood Ratio .602 1 .438
Fisher's Exact Test .535 .267
Linear-by-Linear Association .599 1 .439
N of Valid Cases 180

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 32.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper

Odds Ratio for STO (+ / -) .786 .427 1.446


For cohort sanitasi = buruk .888 .661 1.193
For cohort sanitasi = baik 1.130 .825 1.550
N of Valid Cases 180

SpAO * sanitasi
Crosstab
sanitasi

buruk baik Total

SpAO + Count 24 33 57

Expected Count 28.5 28.5 57.0

% within SpAO 42.1% 57.9% 100.0%

% within sanitasi 26.7% 36.7% 31.7%

- Count 66 57 123

Expected Count 61.5 61.5 123.0

% within SpAO 53.7% 46.3% 100.0%

% within sanitasi 73.3% 63.3% 68.3%


Total Count 90 90 180

Expected Count 90.0 90.0 180.0

% within SpAO 50.0% 50.0% 100.0%


% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value Df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.080a 1 .149


b
Continuity Correction 1.643 1 .200
Likelihood Ratio 2.086 1 .149
Fisher's Exact Test .200 .100
Linear-by-Linear
2.068 1 .150
Association
N of Valid Cases 180

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for SpAO (+ / -) .628 .333 1.184


For cohort sanitasi = buruk .785 .555 1.109
For cohort sanitasi = baik 1.249 .933 1.673
N of Valid Cases 180

SParaBO * sanitasi
Crosstab
sanitasi

buruk baik Total

SParaBO + Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

% within SparaBO 50.0% 50.0% 100.0%


% within sanitasi 33.3% 33.3% 33.3%

- Count 60 60 120

Expected Count 60.0 60.0 120.0

% within SparaBO 50.0% 50.0% 100.0%

% within sanitasi 66.7% 66.7% 66.7%


Total Count 90 90 180

Expected Count 90.0 90.0 180.0

% within SParaBO 50.0% 50.0% 100.0%

% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square .000a 1 1.000


b
Continuity Correction .000 1 1.000
Likelihood Ratio .000 1 1.000
Fisher's Exact Test 1.000 .563
Linear-by-Linear Association .000 1 1.000
N of Valid Cases 180

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 30.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for SParaBO (+ / -) 1.000 .538 1.859


For cohort sanitasi = buruk 1.000 .734 1.363
For cohort sanitasi = baik 1.000 .734 1.363
N of Valid Cases 180

STyphiCO * sanitasi
Crosstab
sanitasi

buruk baik Total

STyphiCO + Count 15 32 47

Expected Count 23.5 23.5 47.0

% within STyphiCO 31.9% 68.1% 100.0%

% within sanitasi 16.7% 35.6% 26.1%

- Count 75 58 133

Expected Count 66.5 66.5 133.0

% within STyphiCO 56.4% 43.6% 100.0%

% within sanitasi 83.3% 64.4% 73.9%


Total Count 90 90 180

Expected Count 90.0 90.0 180.0

% within StyphiCO 50.0% 50.0% 100.0%

% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 8.322a 1 .004


b
Continuity Correction 7.372 1 .007
Likelihood Ratio 8.469 1 .004
Fisher's Exact Test .006 .003
Linear-by-Linear Association 8.276 1 .004
N of Valid Cases 180

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper

Odds Ratio for STyphiCO (+ /


.363 .180 .732
-)
For cohort sanitasi = buruk .566 .363 .882
For cohort sanitasi = baik 1.561 1.186 2.056
N of Valid Cases 180

STyphiH * sanitasi
Crosstab
sanitasi

buruk baik Total

STyphiH + Count 44 20 64

Expected Count 32.0 32.0 64.0

% within STyphiH 68.8% 31.3% 100.0%

% within sanitasi 48.9% 22.2% 35.6%

- Count 46 70 116

Expected Count 58.0 58.0 116.0

% within STyphiH 39.7% 60.3% 100.0%

% within sanitasi 51.1% 77.8% 64.4%


Total Count 90 90 180

Expected Count 90.0 90.0 180.0

% within STyphiH 50.0% 50.0% 100.0%

% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 13.966a 1 .000


b
Continuity Correction 12.826 1 .000
Likelihood Ratio 14.225 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 13.888 1 .000
N of Valid Cases 180

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 32.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper

Odds Ratio for STyphiH (+ / -) 3.348 1.754 6.390


For cohort sanitasi = buruk 1.734 1.312 2.291
For cohort sanitasi = baik .518 .350 .767
N of Valid Cases 180

SParaAH * sanitasi
Crosstab
sanitasi

buruk baik Total

SParaAH + Count 20 15 35

Expected Count 17.5 17.5 35.0

% within SParaAH 57.1% 42.9% 100.0%

% within sanitasi 22.2% 16.7% 19.4%

- Count 70 75 145

Expected Count 72.5 72.5 145.0

% within SParaAH 48.3% 51.7% 100.0%

% within sanitasi 77.8% 83.3% 80.6%


Total Count 90 90 180

Expected Count 90.0 90.0 180.0

% within SParaAH 50.0% 50.0% 100.0%


% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square .887a 1 .346


b
Continuity Correction .567 1 .451
Likelihood Ratio .889 1 .346
Fisher's Exact Test .452 .226
Linear-by-Linear Association .882 1 .348
N of Valid Cases 180

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is17.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper

Odds Ratio for SParaAH (+ / -) 1.429 .679 3.008


For cohort sanitasi = buruk 1.184 .849 1.651
For cohort sanitasi = baik .829 .548 1.253
N of Valid Cases 180

SParaBH * sanitasi
Crosstab
sanitasi

buruk baik Total

SParaBH + Count 23 13 36

Expected Count 18.0 18.0 36.0

% within SParaBH 63.9% 36.1% 100.0%

% within sanitasi 25.6% 14.4% 20.0%

- Count 67 77 144

Expected Count 72.0 72.0 144.0

% within SParaBH 46.5% 53.5% 100.0%

% within sanitasi 74.4% 85.6% 80.0%


Total Count 90 90 180

Expected Count 90.0 90.0 180.0

% within SParaBH 50.0% 50.0% 100.0%

% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.472a 1 .062


b
Continuity Correction 2.813 1 .094
Likelihood Ratio 3.510 1 .061
Fisher's Exact Test .093 .046
Linear-by-Linear Association 3.453 1 .063
N of Valid Cases 180

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper

Odds Ratio for SParaBH (+ / -) 2.033 .956 4.325


For cohort sanitasi = buruk 1.373 1.016 1.857
For cohort sanitasi = baik .675 .426 1.070
N of Valid Cases 180

SParaCH * sanitasi
Crosstab
sanitasi

buruk baik Total

SParaCH + Count 21 16 37

Expected Count 18.5 18.5 37.0

% within SParaCH 56.8% 43.2% 100.0%

% within sanitasi 23.3% 17.8% 20.6%

- Count 69 74 143

Expected Count 71.5 71.5 143.0

% within SParaCH 48.3% 51.7% 100.0%

% within sanitasi 76.7% 82.2% 79.4%


Total Count 90 90 180

Expected Count 90.0 90.0 180.0

% within SParaCH 50.0% 50.0% 100.0%


% within sanitasi 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara


Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)

Pearson Chi-Square .851a 1 .356


b
Continuity Correction .544 1 .461
Likelihood Ratio .853 1 .356
Fisher's Exact Test .461 .230
Linear-by-Linear Association .846 1 .358
N of Valid Cases 180

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper

Odds Ratio for SParaCH (+ / -) 1.408 .679 2.916


For cohort sanitasi = buruk 1.176 .847 1.634
For cohort sanitasi = baik .836 .559 1.249
N of Valid Cases 180

Universitas Sumatera Utara


ungoh 1/80 1/80 1/80 1/320 1/320 1/80 1/320 SMA P
1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 1/320 A Pe
1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 A Pe
1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 A IR
1/80 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/320 A W
1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 A PN
1/80 1/320 1/320 1/80 1/320 1/80 1/160 A PN
1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 A W
1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 Tamat SD IR

Universitas Sumatera Utara


1/80 1/80 1/320 1/160 1/80 1/80 1/80 A PN
1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 Tidak tamat SD W
1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 A PN
1/80 1/320 1/80 1/160 1/160 1/160 1/320 A PN
ungoh 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/160 1/160 A IR
ungoh 1/160 1/80 1/80 1/160 1/320 1/80 1/320 A W
ungoh 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 A IR
1/160 1/80 1/80 1/160 1/160 1/80 1/320 A PN
1/80 1/320 1/80 1/160 1/160 1/160 1/160 SMP IR
1/80 1/160 1/80 1/80 1/160 1/160 1/160 A Pe
1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/320 A W
1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 A PN
ungoh 1/80 1/80 1/80 1/320 1/160 1/160 1/320 SMA P
1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 A Pe
1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 1/320 A PN
1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 A W
1/80 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/320 SMA Pe
1/320 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 Tidak Sekolah IR
1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA IR
1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA PN
1/320 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA IR
1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/320 SMA IR
1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/160 SMA W
aratyphi C H S. paratyphi B
S.Htyphi A HS. typhi H S. paratyphi C O S. paratyphi B O S S. typhi O
P Pek
Titer Widal
RESPONDEN LIN
ah 1/80 1/80 1/160 1/80 1/320 1/320 1/320 SMA PNS
ah 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 SMA PNS
h 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 SMA PNS
ah 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 A PNS
ah 1/80 1/80 1/160 1/80 1/320 1/160 1/320 A PNS
h 1/160 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 A PNS
h 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 A PNS
Teungoh 1/80 1/80 1/160 1/320 1/320 1/320 1/320 SMA Wiras
Teungoh 1/80 1/80 1/160 1/320 1/320 1/80 1/320 SMA Wiras

Universitas Sumatera Utara


Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/320 Tidak tamat SD Wiras
Teungoh 1/80 1/320 1/80 1/80 1/160 1/160 1/80 A IRT
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 Tamat SD Wiras
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 SMA Wiras
Teungoh 1/80 1/80 1/320 1/320 1/320 1/320 1/320 SMA IRT /160 1/80 1/80
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA Wiras/160 1/160 1/80
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 SMP Wiras/160 1/80 1/80
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/320 SMA Wiras/80 1/80 1/160
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 A PNS /80 1/80 1/160
Teungoh 1/80 1/80 1/320 1/320 1/320 1/80 1/320 A Tidak/80 1/80 1/80
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA Wiras/80 1/80 1/160
Teungoh 1/160 1/80 1/160 1/80 1/80 1/160 1/160 A Wiras/80 1/80 1/160
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/320 Tamat SD IRT /80 1/80 1/80
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 Tidak tamat SD Wiras/320 1/80 1/80
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/160 1/160 A PNS
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 Tamat SD IRT
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/160 SMA Tidak
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 1/320 A PNS
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/320 1/160 SMA PNS
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/160 Tidak tamat SD Wiras
Teungoh 1/160 1/80 1/80 1/160 1/160 1/320 1/320 SMA Wiras
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 Tamat SD IRT
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/320 1/80 1/320 1/320 SMA Wiras
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 A Wiras
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/60 1/160 1/80 1/320 A IRT
Teungoh 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/160 1/320 A PNS
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/320 A PNS
Teungoh 1/320 1/80 1/320 1/160 1/160 1/320 1/320 SMA IRT
Teungoh 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 A Tidak
Teungoh 1/80 1/160 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 Tamat SD IRT
0 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 SMA IR
0 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/320 SMP IR
0 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA pe
0 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/320 SMP pe
0 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/160 Tamat SD IR
0 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMP Pe
0 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 SMP Pe
0 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/320 1/160 SMP IR

Universitas Sumatera Utara


0 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/160 SMA PN
0 1/320 1/320 1/320 1/80 1/80 1/320 1/320 SMA IR
0 1/320 1/320 1/320 1/320 1/320 1/80 1/80 A PN
20
ara 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 SMA wi
0ara 1/80 1/320 1/320 1/160 1/160 1/160 1/160 Tidak sekolah pe
0ara 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/160 A IR
0ara 1/80 1/80 1/320 1/80 1/160 1/160 1/80 SMA IR
0ara 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 Tidak sekolah Pe
20
ara 1/80 1/320 1/320 1/160 1/160 1/160 1/160 SMP IR
0ara 1/320 1/80 1/320 1/80 1/160 1/160 1/160 Tidak sekolah Pe
0ara 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 SMA IR
0ara 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 SMA IR
0ara 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMP Pe
20
ara 1/160 1/320 1/320 1/80 1/80 1/80 1/320 Tidak tamat SD Pe
20
ara 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/320 1/320 SMA IR
0ara 1/160 1/80 1/160 1/80 1/80 1/160 1/160 SMA Pe
20
ara 1/160 1/320 1/320 1/80 1/80 1/80 1/320 Tamat SD IR
0ara 1/80 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/320 SMA Pe
0ara 1/160 1/80 1/160 1/80 1/80 1/160 1/160 SMP P
0ara 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 A P
60
ara 1/320 1/80 1/80 1/320 1/160 1/80 1/80 A P
0ara 1/80 1/80 1/160 1/160 1/80 1/160 1/160 SMP P
0ara 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/160 1/160 SMA IR
0ara 1/160 1/80 1/320 1/80 1/160 1/320 1/80 A wi
aratyphi C H S. paratyphi S.
B Htyphi A HS. typhi H S. paratyphi C O S. paratyphi B O S S. typhi O P
Pek
Titer Widal
RESPONDEN LING
1/320
ui 1/320 1/80 1/80 1/160 1/160 1/80 1/160 SMA Tidak
29
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 Tamat SD IRT69
1/80
ui 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/320 SMA IRT25
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 SMP IRT60
1/80
ui 1/160 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA Petan
50
1/320
ui 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/80 1/160 A Pensi
56
1/80
ui 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMP IRT53
1/80
ui 1/80 1/80 1/160 1/80 1/160 1/80 1/80 SMA IRT52
1/80
ui 1/160 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA Petan
60

Universitas Sumatera Utara


1/160
ui 1/160 1/160 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA wiras
34
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/160 1/320 SMA petan
55
1/160
ui 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/160 1/80 SMA petan
39
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/80 1/320 1/320 1/320 SMA IRT26
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 Tamat SD IRT90 1/80 1/160 1/
1/80
ui 1/80 1/80 1/320 1/80 1/160 1/80 1/80 Tidak tamat SD IRT42 1/80 1/80 1/
1/160
ui 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA petan
42 1/80 1/80 1/
1/80
ui 1/80 1/160 1/320 1/80 1/80 1/80 1/160 SMA wiras
38 1/80 1/80 1/
1/80
ui 1/160 1/80 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA petan
34 1/80 1/80 1/
1/160
ui 1/320 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMP IRT46 1/80 1/160 1/
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 Tamat SD IRT48 1/80 1/160 1/
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 SMA IRT32 1/80 1/80 1/
1/80
ui 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/320 SMA IRT44 1/80 1/160 1/
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/80 1/160 Tamat SD IRT45 1/160 1/80 1/
1/160
ui 1/80 1/80 1/160 1/160 1/80 1/160 1/160 Tamat SD wiras
33
1/80
ui 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 SMP Petan
56
1/320
ui 1/80 1/80 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 SMA Tidak
19
1/160
ui 1/80 1/80 1/160 1/80 1/160 1/160 1/320 Tamat SD IRT55
1/80
ui 1/80 1/80 1/80 1/160 1/160 1/80 1/160 SMP IRT32
1/80
ui 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/320 SMP IRT38
1/320
ui 1/320 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMP IRT34
1/80
gai 1/160 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 SMP IRT27
1/80
gai 1/160 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/160 SMA Petan
42
1/80
gai 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 SMA Petan
31
1/80
gai 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 SMA Petan
35
1/80
gai 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 A PNS36
1/160
gai 1/80 1/160 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 SMA wiras
40
1/80
gai 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 1/80 Tidak tamat SD Petan
38
1/80
gai 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/80 Tidak tamat SD petan
30
1/80
gai 1/320 1/80 1/160 1/80 1/320 1/80 1/320 Tidak tamat SD wiras
26
1/80
gai 1/80 1/80 1/160 1/80 1/80 1/80 1/160 SMP wiras
58

Anda mungkin juga menyukai