Anda di halaman 1dari 13

TAFSIR

” Pengertian Thaharah Menurut Ulama Fiqh dan Sufi ”


(Surah Al – Ahzab : 53 dan Surah Al – Mujadalah : 12)

DOSEN PENGAMPU :
Dra.Agustini, M.Ag

DISUSUN OLEH :
Ahmmad Rohiman (2011420035)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SOEKARNO
BENGKULU
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang mana telah memberikan rahmat dan hidayah
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pengertian

Thaharah Menurut Ulama Fiqh dan Sufi” ini dengan tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir dengan dosen pengampuh Ibu Dra. Agustini, M.Ag. Makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan para mahasiswa untuk dijadikan sebagai bahan
referensi terkait materi yang dibahas didalamnya. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Dra. Agustini M.Ag yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga makalah dapat terselesaikan. Kami menyadari, makalah
yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warahmtullaahi wabarakaatuh.

Bengkulu, 4 Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................5
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................................................5
D. Manfaat Penulisan....................................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................7
A. Surah Al- Ahzab ayat : 53..........................................................................................................7
B. Surah AL – Mujadalah ayat : 12................................................................................................8
C. Pengertian Thaharah Menurut Ulama Fiqh................................................................................9
D. Pengertian Thaharah Menurut Ulama Sufi...............................................................................11
BAB III................................................................................................................................................12
PENUTUP.......................................................................................................................................12
A. Kesimpulan..............................................................................................................................12
B. Saran........................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................13
ii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Babagan tentang Thaharah termasuk babagan yang penting yang perlu


dipahami dan dimengerti oleh seluruh umat islam. Bahkan para ulama penulis kitab
fikih mendahulukan kitab at-thaharaoh atas selainnya. Imam ash-Shan’ani berkata:
“Beliau (ibnu Hajar) memulai dengan (kitab) thaharah karena mengikuti tata cara para
penulis (buku fikih) dan untuk mendahulukan perkara agama dari selainnya. Juga
untuk memperhatikan amalan yang terpenting, yaitu shalat. Ketika thaharah menjadi
salah satu syarat shalat, maka beliau memulai dengannya. Kemudian ketika air adalah
yang diperintahkan secara asal untuk dijadikan alat bersuci maka beliau dahulukan
juga”.
Demikian juga imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani menjelaskan sebab
didahulukannya kitab ath-thaharah dari yang lainnya dalampenulisan kitab fikih
dengan menyatakan: “ketika kunci shalat yang merupakan tiang agama maka para
penulis kitab fikih membuka karya tulis mereka dengannya”.Berikut akan kita kaji
terkait perbedaan para imam madzhab dalam hal sesuci, baik itu alat yang digunakan
untuk bersuci, tata cara wudhu, mandi wajib, tayamum, serta beberapa hal yang
membatalkannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian thaharah menurut ulama fiqh ?
2. Bagaiamana pengertian thaharah menurut ulama sufi ?
3. Apa maksud dari surah Al – ahzab : 53 ?
4. Apa maksud dari surah Al- Mujadalah :12 ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari thaharah menurut ulama fiqh.
2. Untuk mengetahui maksud dari thaharah menurut ulama sufi.
3. Supaya dapat membandingkan antara keduanya susuai dengan surah al – ahzab :
53, dan surah Al- mujadalah : 12.
1

D. Manfaat Penulisan
Dengan adanya makalah ini maka dapat menambah referensi pengetahuan dari
agama Shintoisme, dapat dijadikan sebagai pengetahuan baru untuk rekan-rekan
seperjuangan.
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Surah Al- Ahzab ayat : 53

‫وت ال َّن ِب ِّي ِإال َأنْ ُي ْؤ َذنَ لَ ُك ْم ِإلَى َط َع ٍام َغ ْي َر َن اظِ ِرينَ ِإ َن اهُ َولَكِنْ ِإ َذا‬ َ ‫{ َيا َأ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنوا اَل َت دْ ُخلُوا ُب ُي‬
‫ث ِإنَّ َذلِ ُك ْم َكانَ ُيْؤ ذِي ال َّن ِب َّي َف َي ْس َت ْح ِيي ِم ْن ُك ْم‬ٍ ‫ُد ِعي ُت ْم َفادْ ُخلُوا َفِإ َذا َطع ِْم ُت ْم َفا ْن َتشِ ُروا َوال ُم ْس َتْأنِسِ ينَ ل َِحدِي‬
‫ب َذلِ ُك ْم َأ ْط َه ُر لِقُلُ وبِ ُك ْم‬ ٍ ‫اس َألُوهُنَّ مِنْ َو َراءِ ح َِج ا‬ َ ‫َوهَّللا ُ اَل َي ْس َت ْحيِي مِنَ ا ْل َح ِّق َوِإ َذا‬
ْ ‫س َأ ْل ُت ُموهُنَّ َم َتا ًع ا َف‬
َ‫اج ُه مِنْ َب ْع ِد ِه َأ َب دًا ِإنَّ َذلِ ُك ْم َك انَ عِ ْن د‬ َ ‫سول َ هَّللا ِ َوال َأنْ َت ْن ِك ُحوا َأ ْز َو‬
ُ ‫وب ِهنَّ َو َما َكانَ لَ ُك ْم َأنْ ُتْؤ ُذوا َر‬ ِ ُ‫َوقُل‬
} )54( ‫ش ْي ٍء َعلِي ًما‬ َ ِّ ‫ش ْيًئ ا َأ ْو ُت ْخفُوهُ َفِإنَّ هَّللا َ َكانَ ِب ُكل‬
َ ‫) ِإنْ ُت ْبدُوا‬53( ‫هَّللا ِ َعظِ ي ًما‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah


Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu
masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu
kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang
benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi
hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan
tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. AL –
Ahzab : 53)

Inilah ayat hijab yang di dalamnya terkandung hukum-hukum dan etika-etika


syar’iyyah.Penurunan ayat ini bertepatan dengan perkataan sahabat Umar ibnul Khattab r.a.,
sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab sahihain yang bersumber darinya.
Disebutkan bahwa Umar pernah berkata, "Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga
perkara, yaitu aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan maqam
Ibrahim sebagai tempat salat," lalu Allah menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian
maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125),

3
Dan aku pernah berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu banyak
ditemui oleh orang-orang, di antaranya ada yang bertakwa dan ada yang durhaka (yakni ada
yang baik dan ada yang buruk), maka sekiranya engkau buatkan hijab untuk mereka,' lalu
turunlah ayat hijab ini.

Dan aku pernah berkata kepada istri-istri"Nabi Saw. pada saat mereka bersekongkol
memprotes Nabi Saw. karena terdorong oleh rasa cemburu mereka, 'Jika Nabi menceraikan
kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih"baik
daripada kamu.' Maka turunlah ayat yang menyebutkan hal yang sama," yaitu firman-Nya:
Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri
yang lebih baik daripada kamu. ' (At-Tahrim: 5).1

(Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi


kecuali bila kalian diizinkan) memasukinya karena mendapat undangan (untuk makan)
kemudian kalian boleh memasukinya (dengan tidak menunggu-nunggu) tanpa menunggu lagi
(waktu masak makanannya) yakni sampai makanan masak terlebih dahulu; Inaa berakar dari
kata Anaa Ya-niy (tetapi jika kalian diundang maka masuklah dan bila kalian selesai makan,
keluarlah kalian tanpa) berdiam lagi (asyik memperpanjang percakapan) sebagian dari kalian
kepada sebagian yang lain. (Sesungguhnya yang demikian itu) yakni berdiamnya kalian
sesudah makan (akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepada kalian) untuk menyuruh kalian
keluar (dan Allah tidak malu menerangkan yang hak) yakni menerangkan supaya kalian
keluar; atau dengan kata lain Dia tidak akan mengabaikan penjelasannya. Menurut qiraat
yang lain lafal Yastahyi dibaca dengan hanya memakai satu huruf Ya sehingga bacaannya
menjadi Yastahiy. (Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka) kepada istri-istri Nabi
saw. (yakni suatu keperluan, maka mintalah dari belakang tabir) dari belakang hijab. (Cara
yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka) dari perasaan-perasaan yang
mencurigakan. (Dan tidak boleh kalian menyakiti hati Rasulullah) dengan sesuatu perbuatan
apa pun (dan tidak pula mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya.
Sesungguhnya perbuatan itu di sisi Allah) dosanya (besar).2

1
Buku kitab Ibnu Katsir
2
Kitab Tafsir jalalyn, hlm : 158 - 160
B. Surah AL – Mujadalah ayat : 12

‫ص دَ َق ًة َذلِ َك َخ ْي ٌر لَ ُك ْم َوَأ ْط َه ُر َف ِإنْ َل ْم‬ ْ ‫سول َ َف َق ِّد ُموا َب ْينَ َيد‬


َ ‫َي َن ْج َوا ُك ْم‬ َ ‫{ َيا َأ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنوا ِإ َذا َن‬
َّ ‫اج ْي ُت ُم‬
ُ ‫الر‬
)12( ‫َت ِجدُوا َفِإنَّ هَّللا َ َغفُو ٌر َرحِي ٌم‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan
itu. Yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang
akan disedekahkan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al – Mujadalah : 12 )
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus
dengan rasul) yakni kalian bermaksud untuk melakukannya dengan dia (hendaklah kalian
mengeluarkan sebelum pembicaraan kalian itu) sebelum pembicaraan khusus itu diadakan
(sedekah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kalian dan lebih bersih) artinya lebih
membersihkan dosa-dosa kalian (jika kalian tidak menemukan) apa yang kalian sedekahkan
(maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadap pembicaraan khusus yang akan
kalian lakukan itu (lagi Maha Penyayang) terhadap kalian. Makna yang dimaksud, tiada dosa
bagi kalian untuk melakukan pembicaraan khusus itu sekalipun tanpa sedekah.3
Wahai orang-orang yang mempercayai Allah dan Rasul-Nya, apabila kalian hendak
melakukan pembicaraan khusus dengan Rasulullah, maka bersedekahlah lebih dahulu karena
hal itu lebih baik bagi kalian dan lebih dapat membersihkan hati. Apabila kalian tidak
mempunyai sesuatu yang disedekahkan, maka Allah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.4

5
C. Pengertian Thaharah Menurut Ulama Fiqh
3
Kitab Tafsir Jalalyn
4
Menurut pendapat Dari Tafsir Quraiys Shihab.
Secara umum, kata thaharah menurut bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang
kotor, baik yang kotor itu bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera), maupun
maknawi (sebaliknya).[1] Kotor yang bersifat maknawi ini diartikan sebagai dosa,
sebagaimana hadist riwayat Ibnu ‘Abbas r.a, Bahwa baginda Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Sakit akan menjadi pembersih (thahurun) dalam bagimu insyaAllah”.
Dalam hadist lain, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya sakit itu adalah
pencuci sebagian dosa”.
Thaharah, secara istilah apabila dikaji menurut beberapa madzhab, madzhab
Hanafi misalnya, beliau mengartikan “thaharah” adalah bersih dari hadats atau
khabas. Bersih disini maksudnya mungkin sengaja dibersihkan atau juga bersih
dengan sendirinya, seperti terkena air yang banyak sehingga najisnya hilang. Hadats
adalah suatu yang bersifat syar’i yang menempati pada sebagian atau seluruh badan
sehingga menghilangkan kesucian. Hadats disebut juga najasah hukmiyyah, artinya
sang pembuat syariat menghukumi jika seorang berhadats maka dia dianggap
memiliki najis dan dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana juga dilarang
ketika dia memiliki najis yang dzahir. Sedangkan khabats, secara istilah adalah suatu
jenis materi yang kotor dan menjijikkan yang diperintahkan oleh pemilik syariat
untuk dihilangkan dan dibersihkan.
Menurut madzhab Maliki, “thaharah” ialah sifat hukmiyyah yang orang
memilikinya dibolehkan shalat dengan pakaian yang dipakainya dan tempat yang dia
pakai untuk shalat. Sifat hukmiyyah berarti sifat yang bersifat maknawi yang
ditentukan oleh sang pemilik hukum sebagai syarat sahnya shalat.[3] Dari pemikiran
madzhab ini menurut Mahmud Syalthut, bahwa thaharah merupakan sesuatu yang
bersifat bathiniy, yang lebih bersifat perkiraan (Dzaniniyyah), bukan sesuatu yang
dapat dirasakan oleh indera (hissiy).5

5
Kitab fiqh bab 1 thaharah
Madzhab Syafi’i, thaharah digunakan untuk dua makna. Pertama;
mengerjakan sesuatu yang dengannya diperbolehkan shalat, seperti wudhu,
tayammum dan menghilangkan najis, atau mengerjakan sesuatu yang semakna
dengan wudhu dan tayamum, seperti wudhu ketika masih keadaan berwudhu,
tayamum sunnah dan mandi sunnah. Singkatnya, thaharah adalah nama untuk
perbuatan seseorang. Kedua; thaharah berarti juga suci dari semua najis.[5] Mahmud
menambahkannya dengan hadast,[6] hadast dapat dihilangkan dengan wudhu dan
mandi besar apabila menanggung hadast besar. Adapun najis dapat hilang dengan
mencucinya. Inilah yang menjadi tujuan dari Thaharah. Sehingga apabila diucabkan,
pengertiannya adalah hilangnya najis dan hadast sekaligus.
Menurut Al Hanabillah, Thaharah menurut syara’ ialah hilangnya hadast atau
yang semisalnya serta hilangnya najis atau huku hadast dan najis itu sendiri. Adapun
hilangnya hadast berarti hilangnya sifat yang menghalangi sholat dan yang searti
dengannya. 6

D. Pengertian Thaharah Menurut Ulama Sufi


Sedangkan thahrah secara pandangan ulama shufi adalah suatu kegiatan atau
proses membersihkan diri dari berbagai penyakit hati seperti iri, dengki, hasad,
sombong dan lain sebagainnya.

6
Kitab fiqh perbandingan 4 mazhab
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jadi kesimpulannya thaharah adalah bersuci dari kotoran baik yang bersifat lahiliyah
berupah najis, dan hadas da nada juga thaharah dalam lingkup batin, yaitu upaya
pembersihan rohani diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu sebagai seorang manusia
hendaknya kita senantiasa bemuhasabah diri dan selalu meningkatkan kulitas
keimananan kita kepada Allah Swt.
B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, pemakalah berharap akan menambah wawasan
pembaca dan dapat berguna dalam menambah ilmu dan pengetahuan. Saya menyadari
dalam pembuatan makalah ini tentu masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari pembaca yang mendidik sangat saya butuhkan. Terimakasih.

8
DAFTAR PUSTAKA

Buku tafsir ibnu katsir, Buku terjemahan kitab jalalyn


Buku Fiqh perbandingan 4 mazhab
BukuFiqh syariyah

9
9

Anda mungkin juga menyukai