Mikrosirkulasi Tubuh
DISUSUN OLEH:
Muhammad Fatah A G992102040
PEMBIMBING:
Paramita Putri Hapsari, dr., Sp. An, M. Kes
Mikrosirkulasi Tubuh
Oleh:
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI MIKROSIRKULASI
Dinding kapiler setebal 1 µm, terdiri dari satu lapisan sel endotel yang
dikelilingi oleh membran dasar tipis di bagian luar (Gambar 14-18) .12
Struktur dinding kapiler bervariasi dari satu jaringan ke jaringan lainnya,
namun pada banyak organ, termasuk otot skeletal, jantung, dan polos,
persimpangan interdigitasi antara sel endotel memungkinkan terbentuknya
molekul berdiameter hingga 10 nm. Selain itu, sitoplasma sel endotel
dilemahkan untuk membentuk celah atau pori-pori yang berdiameter 20 sampai
100 nm. Pori-pori ini mengizinkan pelepasan molekul yang relatif besar. Juga
terlihat bahwa plasma dan protein terlarutnya diambil oleh endositosis,
diangkut melintasi sel endotel, dan dikeluarkan oleh eksositosis ke cairan
interstisial. Di otak, kapiler menyerupai otot skeletal, kecuali persimpangan
interdigitasi antara sel endotel lebih ketat (sawar darah otak), yang
memungkinkan hanya ada molekul kecil (Ganong, 2012).
Diameter pori kapiler sekitar 25 kali diameter molekul air (0,3 nm),
yang merupakan molekul terkecil yang biasanya melewati saluran kapiler.
Protein plasma memiliki diameter yang melebihi lebar pori kapiler. Zat lain,
4
seperti natrium, kalium, dan ion klorida dan glukosa, memiliki diameter antara
(0,39 sampai 0,86 nm) sehingga permeabilitas pori kapiler untuk zat yang
berbeda bervariasi sesuai dengan berat molekulnya. Oksigen dan karbon
dioksida larut dalam lipid dan mudah melewati sel endotel. Kapiler sejati tidak
memiliki otot polos dan karena itu tidak mampu aktif menyempitkan.
Meskipun demikian, sel endotel yang membentuknya mengandung aktin dan
miosin dan dapat mengubah bentuknya sebagai respons terhadap rangsangan
kimia tertentu. Diameter kapiler (7 sampai 9 mm) cukup untuk memungkinkan
eritrosit masuk ke dalam satu file. Dinding tipis kapiler mampu menahan
tekanan intraluminal yang tinggi karena diameternya yang kecil mencegah
ketegangan dinding yang berlebihan (Laplace law) (Ganong, 2012).
B. Fisiologi Mikrosirkulasi
Gagasan bahwa endotel kapiler adalah inert lapisan sel tunggal yang
berfungsi hanya sebagai filter pasif untuk mengizinkan masuknya air dan
molekul kecil di dinding pembuluh darah tidak lagi dianggap valid.
Sebaliknya, endotelium sekarang diakui sebagai sumber penting zat yang
menyebabkan kontraksi atau relaksasi pembuluh darah otot polos. Salah
satu zat ini adalah prostasiklin yang bisa mengendurkan otot polos
5
pembuluh darah melalui peningkatan konsentrasi adenosin monofosfat
siklik. Prostacyclin terbentuk di endotelium dari asam arakidonat dan
reaksinya dikatalisis oleh prostasiklin sintase. Fungsi utama prostasiklin
adalah untuk menghambat kepatuhan platelet terhadap endotelium dan
agregasi trombosit dan dengan demikian mencegah pembentukan gumpalan
intravaskular.
Pelarut dan gerakan zat terlarut melewati sel endotel kapiler terjadi
melalui filtrasi, difusi, dan pinositosis melalui vesikel endotel. Difusi
merupakan proses yang paling penting untuk pertukaran transcapillary dan
pinocytosis adalah yang paling penting. Penting untuk membedakan antara
filtrasi dan difusi melalui membran kapiler. Filtrasi adalah gerakan keluar
bersih cairan di ujung arteri kapiler. Difusi cairan terjadi di kedua arah
melalui membran kapiler.
Penyaringan (Filtrasi)
6
bersih dari keempat tekanan ini adalah tekanan reabsorpsi positif yang
menyebabkan fluida bergerak ke dalam melintasi membran kapiler ke
dalam kapiler (Tabel 1). Secara keseluruhan, nilai ratarata dari empat
tekanan yang bekerja di membran kapiler hampir identik sehingga jumlah
cairan yang disaring hampir sama dengan jumlah yang diserap kembali
(Tabel 2). Cairan apa pun yang tidak diserap akan masuk ke pembuluh
limfe.
7
Tekanan Kapiler
8
ruang jaringan yang dikenal sebagai edema.
9
rata hanya seperempatnya dalam plasma atau sekitar 1,8 g/dL. Kandungan
protein cairan interstisial juga tetap rendah karena protein tidak dapat
dengan mudah berdifusi melintasi membran kapiler, dan setiap persilangan
kemungkinan akan dikeluarkan oleh pembuluh getah bening.
Difusi
A. Glikokaliks Endothel
10
membatasi akses molekul tertentu ke membran sel endotel (Reitsma et al.,
2017).
11
pengembangan edema interstisial di beberapa pasien, terutama mereka
dengan kondisi inflamasi seperti sepsis (Aldecoa et al., 2020).
Cidera Iskemia-reperfusi
Syok hemoragik
Hiperglikemia
12
permeabilitas vaskular (Aldecoa et al., 2020).
Sebagai hasil dari posisinya yang unik langsung di antara darah dan
dinding pembuluh darah, glikokaliks endotel berperan peran penting dalam
fisiologi mikrovaskular, khususnya dengan mengatur permeabilitas endotel
vaskular, tonus vaskular, dan koagulasi. Selama peradangan yang
disebabkan oleh sepsis atau trauma besar, glikokaliks menjadi "aktif," dan
terlibat langsung dalam penyebaran kerusakan endotel sehingga
berkontribusi terhadap disfungsi mikrovaskular.
13
Dengan demikian, ada marker patofisiologis yang kuat untuk
menargetkan penanda kerusakan endotel selama sepsis. Hingga sekarang,
lebih dari 1.200 artikel asli serta beberapa ulasan telah telah diterbitkan
mengevaluasi penanda aktivasi endotel pada pasien sakit kritis. Paragraf
berikut bertujuan untuk membahas potensi yang baru diselidiki penanda
kerusakan endotel, seperti syndecan-1, heparan sulfat, heparanase, endocan,
dan angiopoietins sebagai alat diagnostik pada sepsis(Martin et al., 2016).
Syndecan-1
Heparanase
14
dan pasien sehat terlihat perbedaan yang signifikan. Peneliti menemukan
level yang jauh lebih tinggi dan aktivitas heparanase plasma pada pasien
syok septik dibandingkan dengan sukarelawan sehat (Martin et al., 2016).
Endocan
15
dioda pemancar cahaya yang direfleksikan oleh hemoglobin dan dideteksi
oleh kamera SDF. Kepadatan pembuluh darah total, kepadatan pembuluh
darah perfusi, proporsi pembuluh darah perfusi dan indeks aliran
mikrovaskuler secara tradisional dapat dilihat oleh analisis komputer,
meskipun, baru-baru ini, pendekatan point-of-care menggunakan platform
perangkat lunak otomatis yang divalidasi telah ditemukan. Deteksi
pencitraan SDF dari sel darah merah adalah digunakan sebagai penanda
perfusi mikrovaskular, dan pengukuran daerah batas perfusi sebagai
penanda tidak langsung untuk dimensi penghalang glikokaliks endotel
(Aldecoa et al., 2020).
16
jaringan dapat mempertahankan kebutuhan oksigennya dengan cara
meningkatkan ekstraksi oksigen ketika terjadi penurunan DO2. Apabila
DO2 berada di bawah nilai kritis, maka mekanisme kompensasi tidak akan
terjadi lagi sehingga VO2 akan tergantung terhadap DO2 yang kemudian
akan menyebabkan hipoksia jaringan.
Terdapat perbedaan makna antara nilai ScvO2 dan SvO2. Pengukuran
SvO2 untuk memberikan informasi mengenai oksigenasi jaringan secara
global dapat dilakukan melalui pemasangan kateter arteri pulmonal.
Terdapat beberapa keterbatasan dan kemungkinan komplikasi akibat
pemasangan kateter arteri pulmonal, sehingga pengukuran SvO 2 dapat
diwakilkan dengan pengukuran saturasi oksigen vena sentral (ScvO 2)
melalui pemasangan kateter vena sentral dengan ujung kateter berada di
vena cava superior dan muara atrium kanan. Pengukuran ScvO2 ini memiliki
keterbatasan, yaitu tidak mencakup darah vena yang berasal dari sinus
koronarius, sehingga tidak mencerminkan oksigenasi miokardium.
Nilai ScvO2 lebih tinggi 2-3% dibandingkan SvO 2, walaupun pada
pasien sepsis dan kondisi syok, nilai ScvO2 akan lebih besar sekitar 8%
dibandingkan SvO2 karena adanya penurunan aliran ke mesenterika dan
ginjal dengan kompensasi terjadinya peningkatan ekstraksi oksigen.
Pemantauan nilai ScvO2 ini telah banyak digunakan sebagai
parameter target resusitasi dan nilai ScvO2< 70% akan meningkatkan
angka morbiditas dan mortalitas. Penelitian Rivers dkk di instalasi gawat
darurat pada pasien sepsis menggunakan ScvO2 sebagai parameter akhir
keberhasilan resusitasi, menyimpulkan bahwa kelompok yang dilakukan
resusitasi berdasarkan ScvO2 dapat menurunkan angka kematian secara
signifikan sebesar 16,5% dibandingkan dengan kelompok yang
menggunakan parameter CVC, MAP dan produksi urin (Bendjelid, K,
2017).
17
hemoglobin rendah, dan atau (iii) rendahnyatingkat tekanan oksigen arteri
(PaO2). Sebaliknya tingkat ScvO2 tinggi berarti (i) pengiriman oksigen
yang sangat tinggi lebih dari permintaan jaringan dan atau (ii) penurunan
konsumsi oksigen seluler (disfungsi mitokondria) dan atau (iii) lebih jarang
adanya shunting besar arterio– venous ( Bendjelid, K, 2017).
D. Laktat
18
terdapat keseimbangan antara produksi dan metabolisme laktat, dengan nilai
normal antara 0,5-1,8 mmol/L.
Dengan memahami metabolisme tersebut, dapat dimengerti bahwa
peningkatan kadar laktat merupakan cerminan adanya hipoperfusi jaringan
yang dapat terjadi secara nyata dengan perubahan parameter hemodinamik
makrosirkulasi, maupun secara tidak nyata dengan perubahan parameter
hemodinamik mikrosirkulasi yaitu pada keadaan sepsis berat. Pada pasien
sepsis berat, laktat telah diteliti memiliki peran baik pada aspek diagnosis,
inisiasi resusitasi, parameter akhir resusitasi, bahkan penentuan prognosis.
Berdasarkan kriteria diagnosis menurut Surviving Sepsis Campaign 2012,
yang mengadopsi kriteria the Society of Critical Care Medicine, The
European Society of Intensive Care Medicine, the American College of
Chest Physicians, the American Thoracic Society, and the Surgical Infection
Society (SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS) tahun 2001, kadar laktat
merupakan salah satu komponen variabel perfusi jaringan yang turut
mendefinisikan seorang pasien dengan infeksi, terdokumentasi atau
tersangka, ke dalam diagnosis sepsis.
Lebih lanjut, pasien sepsis dengan kadar laktat melebihi batas atas
nilai normal laboratorium akan digolongkan dalam kelompok sepsis berat.
Demikian pentingnya kadar laktat dalam diagnosis dan stratifikasi pasien
sepsis sehingga pemeriksaan laktat termasuk salah satu komponen yang
harus dikerjakan pada 3 dan 6 jam pertama tata laksana sepsis (three and six
hour surviving sepsis campign bundle). Penggunaan kadar laktat >4 mmol/L
sebagai salah satu parameter inisiasi resusitasi telah berkembang luas,
seiring banyak penelitian yang menunjukkan hubungan kuat dengan
kejadian gagal multi organ dan kematian. Tinjauan sistematik terhadap 33
penelitian yang dilakukan oleh Kruse, dkk. menunjukkan kadar laktat pada
awal masuk rumah sakit dapat digunakan untuk memprediksi kematian
pasien sakit kritis.
Pada pasien sepsis, pasien dengan kadar laktat >4 mmol/L memiliki
risiko kematian tertinggi. Pasien sepsis dengan kadar laktat >2,5 mmol/L
19
harus diamati untuk menilai perburukan klinis yang terjadi. Perubahan
kadar laktat pasca resusitasi, yang dinyatakan dengan bersihan laktat, juga
dapat digunakan untuk menilai risiko kematian pasien, dengan demikian
menjadi salah satu parameter akhir resusitasi. Ngunyen dkk. menunjukkan
pasien dengan bersihan laktat >10% dalam 6 jam resusitasi menunjukkan
risiko mortalitas 60 hari yang lebih rendah secara bermakna dibandingkan
mereka dengan bersihan laktat 10%) dan rendah (bersihan laktat 4 mmol/L
telah dijadikan salah satu inidikasi memulai resusitasi awal. Resusitasi
dianjurkan untuk dikerjakan hingga kadar laktat mencapai nilai normal.
Data penelitian-penelitian tersebut kiranya dapat menggambarkan
pentingnya pemeriksaan kadar laktat dalam tata laksana sepsis. Kepatuhan
pada pedoman tata laksana sepsis, antara lain dengan melakukan
pemeriksaan kadar laktat secara rutin pada setiap pasien sepsis dan
menindaklanjuti hasil pemeriksaan tersebut dengan tepat, kiranya dapat
membantu menurunkan morbiditas dan mortalitas sepsis di Indonesia.
Bukan tidak mungkin, data retrospektif yang nantinya terkumpul dapat
menjadi bahan pengembangan penelitian untuk memberikan kontribusi
pada tata laksana sepsis di Indonesia secara khusus dan di dunia.
20
3. Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi
sedangkan penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi.
4. Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2
sebesar 1.3 mmHg (Bhisrowo et al., 2015).
21
BAB III
SIMPULAN
Mikrosirkulasi masih adalah suatu yang penting dalam ilmu terapi intensif.
Sampai sekarang penggunaan piranti pemantau mikrosirkulasi masih belum rutin
dilakukan di ICU. Sehubungan dengan hal tersebut belum terdapat terapi yang
efektif dan spesifik dalam memperbaiki mikrosirkulasi. Tindakan resusitasi cairan
yang cepat dan dalam volume yang besar merupakan salah satu faktor yang dapat
memperbaiki mikrosirkulasi. Perbaikan parameter makrohemodinamik pada
resusitasi cairan tidak linier dengan pulihnya mikrosirkulasi. Pulihnya
mikrosirkulasi akan memberikan luaran pasien yang lebih baik terhadap morbiditas
dan mortalitas pasien yang di rawat ICU. Perlu dilakukan monitoring
makrohemodinamik dan perbaikan mikrosirkulasi dalam tatalaksana pasien di
ruang intensif.
22
DAFTAR PUSTAKA
Farhan AR, Calcarina FRW, Bhisrowo YP. Aplikasi Klinis Analisis Gas Darah
Pendekatan Stewart Pada Periode Perioperatif. Vol 3, No 1 2015
Ganong WF. Review of Medical Physiology. 22st ed. New York, NY: McGraw-
Hill; 2012.
Ince C. The Microcirculationj is the motor of sepsis. Crit Care.
2005;9(Suppl4):S13−19.
23