Anda di halaman 1dari 23

REFERENSI ARTIKEL

Mikrosirkulasi Tubuh

DISUSUN OLEH:
Muhammad Fatah A G992102040

PEMBIMBING:
Paramita Putri Hapsari, dr., Sp. An, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI


DOKTER BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS
MARET RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD Dr. Moewardi. Referensi artikel dengan judul:

Mikrosirkulasi Tubuh

Hari, tanggal : Jumat, 9 April 2021

Oleh:

Muhammad Fatah A G992102040

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel

Paramita Putri Hapsari, dr., Sp. An., M.Kes


BAB I

PENDAHULUAN

Mikrosirkulasi adalah suatu bagian pembuluh darah yang sangat kecil


berukuran <100 nano meter. Pembuluh darah tersebut terderi dari arteriol, venula,
dan pembuluh kapiler. Pembuluh darah tersebut mencakup 10 milliar kapiler dan
dilapisi oleh sel-sel endothelial. Arteriol terbentuk oleh jaringan endotel dan otot
polos. Arteriol bertanggung jawab untuk menyalurkan darah ke jaringan perifer dan
mengatur kecepatan dari penyaluran aliran darah tubuh. Pembuluh kapiler
mempunyai dinding yang tipis dan bertanggung jawab untuk pertukaran oksigen
antara darah dengan jaringan (Ince, 2016)
Mikrosirkulasi bertanggung jawab untuk mengatur penyesuaian tonus
vaskular agar sesuai dengan perfusi jaringan lokal dan kebutuhan oksigen.
Mikrovaskular memainkan peran penting dalam memodulasi tonus vaskular
dengan pelepasan endotel dari senyawa yang sangat beragam termasuk nitrat
oksida, oksigen reaktif lainnya, dan metabolit asam arakidonat. Mikrosirkulasi
mempunyai fungsi yang sangat penting dari suatu organisme yaitu: Mengatur
hantaran oksigen ke jaringan, pertukaran nutrisi dan bahan buangan (waste
products) dan modulasi infamasi dan koagulasi. Mikrosirkulasi memegang peranan
penting dalam pertukaran cairan antara darah dan jaringan, pengiriman hormon dari
kelenjar endokrin menuju organ target, pengiriman dalam jumlah besar antar organ
untuk penyimpanan atau pembuatan dan sebagai garis pertahanan terhadap kuman
patogen yang masuk. Sebagian besar regulasi terhadap mikrosirkulasi diatur oleh
sel endotel yang melepaskan signal biologis untuk mengatur aliran darah lokal,
adhesi sel, permeabilitas pembuluh darah dan aktivasi faktor-faktor koagulasi.
(Gutterman et al., 2016).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI MIKROSIRKULASI

Arterioles akan berlanjut menjadi metarterioles, yang kemudian


berlanjut menjadi kapiler (Gambar 1). Metarteriol berfungsi sebagai saluran
jalan menuju venula, melewati kapiler bed. Kapiler mengalir melalui venula
pengumpul pendek ke venula. Darah mengalir melalui kapiler diatur oleh otot
sphincters prapillular yang hadir pada pembukaan kapiler. Arteriole,
metarterioles, dan venula mengandung otot polos. Akibatnya, arterioles
berfungsi sebagai bejana resistansi utama dan mengatur aliran darah regional
ke kapiler bed, sedangkan venula dan vena berfungsi terutama sebagai saluran
pengumpulan dan penyimpanan atau kapasitansi (Ganong, 2012).

Dinding kapiler setebal 1 µm, terdiri dari satu lapisan sel endotel yang
dikelilingi oleh membran dasar tipis di bagian luar (Gambar 14-18) .12
Struktur dinding kapiler bervariasi dari satu jaringan ke jaringan lainnya,
namun pada banyak organ, termasuk otot skeletal, jantung, dan polos,
persimpangan interdigitasi antara sel endotel memungkinkan terbentuknya
molekul berdiameter hingga 10 nm. Selain itu, sitoplasma sel endotel
dilemahkan untuk membentuk celah atau pori-pori yang berdiameter 20 sampai
100 nm. Pori-pori ini mengizinkan pelepasan molekul yang relatif besar. Juga
terlihat bahwa plasma dan protein terlarutnya diambil oleh endositosis,
diangkut melintasi sel endotel, dan dikeluarkan oleh eksositosis ke cairan
interstisial. Di otak, kapiler menyerupai otot skeletal, kecuali persimpangan
interdigitasi antara sel endotel lebih ketat (sawar darah otak), yang
memungkinkan hanya ada molekul kecil (Ganong, 2012).
Diameter pori kapiler sekitar 25 kali diameter molekul air (0,3 nm),
yang merupakan molekul terkecil yang biasanya melewati saluran kapiler.
Protein plasma memiliki diameter yang melebihi lebar pori kapiler. Zat lain,

4
seperti natrium, kalium, dan ion klorida dan glukosa, memiliki diameter antara
(0,39 sampai 0,86 nm) sehingga permeabilitas pori kapiler untuk zat yang
berbeda bervariasi sesuai dengan berat molekulnya. Oksigen dan karbon
dioksida larut dalam lipid dan mudah melewati sel endotel. Kapiler sejati tidak
memiliki otot polos dan karena itu tidak mampu aktif menyempitkan.
Meskipun demikian, sel endotel yang membentuknya mengandung aktin dan
miosin dan dapat mengubah bentuknya sebagai respons terhadap rangsangan
kimia tertentu. Diameter kapiler (7 sampai 9 mm) cukup untuk memungkinkan
eritrosit masuk ke dalam satu file. Dinding tipis kapiler mampu menahan
tekanan intraluminal yang tinggi karena diameternya yang kecil mencegah
ketegangan dinding yang berlebihan (Laplace law) (Ganong, 2012).

Gambar 1. Anatomi pembuluh kapiler.

B. Fisiologi Mikrosirkulasi

Peran Vasoaktif Kapiler Endothelium

Gagasan bahwa endotel kapiler adalah inert lapisan sel tunggal yang
berfungsi hanya sebagai filter pasif untuk mengizinkan masuknya air dan
molekul kecil di dinding pembuluh darah tidak lagi dianggap valid.
Sebaliknya, endotelium sekarang diakui sebagai sumber penting zat yang
menyebabkan kontraksi atau relaksasi pembuluh darah otot polos. Salah
satu zat ini adalah prostasiklin yang bisa mengendurkan otot polos

5
pembuluh darah melalui peningkatan konsentrasi adenosin monofosfat
siklik. Prostacyclin terbentuk di endotelium dari asam arakidonat dan
reaksinya dikatalisis oleh prostasiklin sintase. Fungsi utama prostasiklin
adalah untuk menghambat kepatuhan platelet terhadap endotelium dan
agregasi trombosit dan dengan demikian mencegah pembentukan gumpalan
intravaskular.

Pembentukan dan pelepasan nitric oxide (NO) juga penting dalam


pelebaran vaskular endotelium. NO dilepaskan saat sel endotel dirangsang
oleh asetilkolin atau zat vasodilator lainnya (adenosine trifosfat, bradikinin,
serotonin, zat P, dan histamin). Pelepasan NO dapat distimulasi oleh
tegangan geser aliran darah pada endotelium. Peptida vasokonstriktor yang
disintesis oleh endothelium kapiler adalah endotelin. Endothelin dapat
mempengaruhi tonus vaskular dan tekanan darah.

Gerakan Cairan melalui Membran Kapiler

Pelarut dan gerakan zat terlarut melewati sel endotel kapiler terjadi
melalui filtrasi, difusi, dan pinositosis melalui vesikel endotel. Difusi
merupakan proses yang paling penting untuk pertukaran transcapillary dan
pinocytosis adalah yang paling penting. Penting untuk membedakan antara
filtrasi dan difusi melalui membran kapiler. Filtrasi adalah gerakan keluar
bersih cairan di ujung arteri kapiler. Difusi cairan terjadi di kedua arah
melalui membran kapiler.

Penyaringan (Filtrasi)

Empat tekanan yang menentukan apakah cairan akan bergerak


keluar melintasi membran kapiler (filtrasi) atau ke dalam membran kapiler
(reabsorpsi) adalah tekanan kapiler, tekanan cairan interstisial, tekanan
osmotik koloid plasma, dan tekanan osmotik koloid interstisial. Efek bersih
dari keempat tekanan ini adalah tekanan filtrasi positif pada ujung arteri
kapiler, yang menyebabkan cairan bergerak keluar melintasi membran sel
ke dalam ruang cairan interstisial (Tabel 1). Pada ujung kapiler vena, efek

6
bersih dari keempat tekanan ini adalah tekanan reabsorpsi positif yang
menyebabkan fluida bergerak ke dalam melintasi membran kapiler ke
dalam kapiler (Tabel 1). Secara keseluruhan, nilai ratarata dari empat
tekanan yang bekerja di membran kapiler hampir identik sehingga jumlah
cairan yang disaring hampir sama dengan jumlah yang diserap kembali
(Tabel 2). Cairan apa pun yang tidak diserap akan masuk ke pembuluh
limfe.

Tabel 1. Filtrasi Cairan dan Reabsorpsi Cairan pada ujung kapiler

Secara tradisional, filtrasi danggap terjadi pada ujung arteri kapiler


dan penyerapan terjadi pada ujung vena karena tekanan gradien hidrostatik
di sepanjang kapiler. Walau demikian, banyak kapiler hanya menyaring,
sedangkan yang lain hanya menyerap. Di beberapa bantalan vaskular seperti
glomerulus ginjal, tekanan hidrostatik pada kapiler cukup untuk
menyebabkan terjadinya filtrasi di sepanjang kapiler.

7
Tekanan Kapiler

Tekanan kapiler cenderung menggerakkan cairan ke luar melintasi


ujung arteri membran kapiler. Diperkirakan bahwa tekanan kapiler pada
ujung arteri kapiler adalah 25 mmHg, sedangkan tekanan pada ujung kapiler
vena adalah 10 mmHg, sesuai dengan tekanan venula. Tekanan kapiler rata-
rata sekitar 17 mmHg. Perubahan tekanan arterial memiliki sedikit
pengaruh pada tekanan dan aliran kapiler karena adanya penyesuaian
tahanan pembuluh precapillary. Autoregulasi menggambarkan
pemeliharaan dari aliran darah pada jaringan yang tidak berubah meskipun
terjadi perubahan tekanan perfusi.

Tekanan Interstisial Cairan

Tekanan cairan interstisial cenderung bergerak ke luar cairan


melintasi membran kapiler. Diperkirakan bahwa tekanan cairan interstisial
rata-rata adalah -6,3 mmHg. Tekanan negatif ini bertindak sebagai vakum
untuk menahan jaringan secara bersamaan dan mempertahankan jarak
minimal untuk difusi nutrisi. Dalam kondisi normal, hampir seluruh cairan
interstisial ditahan dalam gel yang mengisi ruang antar sel. Gel ini
mengandung mucopolysaccharides dalam jumlah besar, dimana komposisi
didalamnya yang paling melimpah adalah asam hyaluronic. Kehilangan
tekanan negatif cairan interstisial memungkinkan cairan menumpuk di

8
ruang jaringan yang dikenal sebagai edema.

Tekanan Osmotik Koloid Plasma

Protein plasma pada dasarnya bertanggung jawab atas tekanan


osmotik koloid plasma (onkotik) yang cenderung menyebabkan pergerakan
cairan masuk ke dalam melalui membran kapiler. Setiap gram albumin
mengandung dua kali tekanan osmotik koloid dari tiap gram globulin.
Karena ada sekitar dua kali lipat albumin seperti globulin di dalam plasma,
sekitar 70% dari total tekanan osmotik koloid hasil albumin dan hanya
sekitar 30% dari globulin dan fibrinogen. Fenomena khusus yang dikenal
sebagai keseimbangan Donnan menyebabkan tekanan osmotik koloid
menjadi sekitar 50% lebih besar daripada yang disebabkan oleh protein saja.
Ini mencerminkan karakteristik muatan negatif protein yang mengharuskan
adanya jumlah ion positif yang seimbang, terutama ion natrium, pada sisi
yang sama dari membran kapiler seperti pada peran dari protein. Ion positif
ekstra ini meningkatkan jumlah zat aktif osmotik dan dengan demikian
meningkatkan tekanan osmotik koloid. Memang, sekitar sepertiga dari
tekanan osmotik koloid plasma normal yaitu 28 mm Hg disebabkan oleh
ion bermuatan positif yang dimiliki protein di dalam plasma. Karena hal
tersebut, protein plasma ini tidak dapat digantikan oleh zat inert, seperti
dekstran, tanpa sedikit penurunan tekanan osmotik koloid plasma.

Tekanan Osmotik Koloid Interstisial

Protein yang ada dalam cairan interstisial pada dasarnya


bertanggung jawab atas tekanan osmotik koloid cairan interstisial sekitar 5
mmHg, yang cenderung menyebabkan pergerakan cairan ke luar membran
kapiler. Albumin, karena ukurannya yang kecil, biasanya bocor 1,6 kali
secepat globulin melewati kapiler, yang menyebabkan protein dalam cairan
interstisial memiliki rasio albumin terhadap rasio globulin yang tidak
proporsional. Kandungan protein total cairan interstisial mirip dengan
kandungan protein total plasma, namun karena volume cairan interstisial
adalah empat kali volume plasma, kandungan protein cairan interstisial rata-

9
rata hanya seperempatnya dalam plasma atau sekitar 1,8 g/dL. Kandungan
protein cairan interstisial juga tetap rendah karena protein tidak dapat
dengan mudah berdifusi melintasi membran kapiler, dan setiap persilangan
kemungkinan akan dikeluarkan oleh pembuluh getah bening.

Difusi

Difusi adalah mekanisme yang paling penting untuk transfer nutrisi


antara plasma dan cairan interstisial. Oksigen, karbon dioksida, dan gas
anestesi adalah contoh molekul larut lemak yang dapat berdifusi secara
langsung melalui membran kapiler secara bebas dari pori-pori. Ion natrium,
kalium, dan klorida serta glukosa tidak larut dalam membran kapiler lipid
dan oleh karena itu harus melewati poripori untuk mendapatkan akses
terhadap cairan interstisial. Kecepatan difusi molekul larut lemak melalui
membran kapiler di kedua arah sebanding dengan perbedaan konsentrasi
antara kedua sisi membran. Untuk alasan ini, sejumlah besar oksigen
bergerak dari kapiler ke jaringan, sedangkan karbon dioksida bergerak ke
arah yang berlawanan. Biasanya, hanya terdapat sedikit perbedaan tekanan
parsial untuk mempertahankan pengangkutan oksigen yang memadai antara
cairan plasma dan interstisial.

C. Parameter Penilaian Perfusi Mikrosirkulasi

A. Glikokaliks Endothel

Glikokaliks adalah lapisan yang kaya karbohidrat yang melapisi


endotel pembuluh darah. Glikokaliks terhubung ke endotelium melalui
beberapa molekul "tulang punggung", terutama proteoglikan dan juga
glikoprotein. Secara luminal, glikokaliks dibentuk oleh komponen plasma
terlarut yang terkait satu sama lain secara langsung atau melalui
proteoglikan larut dan/atau glikosaminoglikan (Reitsma et al., 2007).

Glikokaliks endotel berfungsi sebagai penjaga gerbang endotel yang


terletak di antara aliran darah dan endotelium, glikokaliks endotel
merupakan penentu penting dari permeabilitas vaskular. Glikokaliks dapat

10
membatasi akses molekul tertentu ke membran sel endotel (Reitsma et al.,
2017).

Peran Fisiologis Glikokaliks

Glikokaliks endotel secara khusus menunjukkan peran penting


dalam produksi oksida nitrat serta enzim pelindung vaskular (misalnya,
superoksida dismutase) dan berbagai faktor antikoagulan (misalnya,
antitrombin, protein C , dan inhibitor jalur faktor jaringan). Selain itu,
glikokaliks endotel memodulasi respon inflamasi dengan memediasi adhesi
leukosit serta pengikatan beberapa mediator inflamasi, seperti kemokin,
sitokin, dan faktor pertumbuhan. Selain tugas modulasi ini, glikokaliks
endotel sangat penting untuk pemeliharaan penghalang vaskular. Pada
tahun 1896, Starling menggambarkan rantai sel endotel sebagai membran
impermeabel untuk protein. Menurut prinsip ini, sel-sel endotel
memisahkan interstitium, lapisan plasma yang rendah protein, dari ruang
intravaskular yang kaya protein. Namun, prinsip ini tidak
mempertimbangkan pengurangan ekstravasasi cairan oleh glikokaliks
endotel. Kesimpulannya, dengan pengetahuan terkini tentang peran
glikokaliks endotel, prinsip Starling harus direvisi, dengan
mempertimbangkan aspek-aspek berikut: reabsorpsi vena, jumlah filtrasi
kapiler, dan perlawanan terhadap filtrasi kapiler (Martin et al., 2016).

Perubahan Glikokaliks saat Terjadi Proses Patologis

Glikokaliks dan kerusakan sel endotel, atau endoteliopati seperti


yang diketahui, terjadi pada beberapa situasi klinis termasuk cedera
iskemia-reperfusi, hipoksia/reoksigenasi, inflamasi, sepsis, syok
hemoragik, hipervolemia, dan hiperglikemia. Cedera ini menentukan
perubahan patologis pada glikokaliks endotel seperti gangguan
mekanotransduksi, peningkatan keluarnya leukosit, hilangnya kontrol
koagulasi, hilangnya pertahanan anti-oksidan, hilangnya faktor
pertumbuhan yang disimpan, dan peningkatan permeabilitas vaskular. Di
konteks klinis, gangguan lapisan glikokaliks endotel dapat menyebabkan

11
pengembangan edema interstisial di beberapa pasien, terutama mereka
dengan kondisi inflamasi seperti sepsis (Aldecoa et al., 2020).

Cidera Iskemia-reperfusi

Cedera iskemia-reperfusi menghasilkan kerusakan jaringan setelah


gangguan glikokaliks. Disfungsi sel endotel mikrovaskuler menghasilkan
disfungsi lokal atau sistemik, termasuk sindrom respon inflamasi sistemik.
Cedera iskemia jantung-reperfusi dapat terjadi selama prosedur seperti
bypass arteri koroner, angioplasti koroner perkutan, dan transplantasi
jantung operasi, operasi jantung sendiri terkadang juga menghasilkan
kerusakan glikokaliks (Aldecoa et al., 2020).

Syok hemoragik

Pelepasan glikokaliks endotel telah terbukti pada model hewan tikus


syok hemoragik, meskipun mekanisme yang mendasari belum diketahui,
tikus yang mengalami syok hemoragik non-trauma menunjukkan degradasi
glikokaliks yang tidak tergantung pada peningkatan permeabilitas sawar
pembuluh darah (Aldecoa et al., 2020).

Hiperglikemia

Hiperglikemia akut dan kronis dapat menyebabkan kerusakan


glikokaliks. Penyakit DM dan kardiovaskular menjadi penyebab paling
umum morbiditas dan mortalitas pada pasien. Peran heparan sulfat dalam
perkembangan kerusakan endotel vaskular yang luas menyebabkan
albuminuria dan komplikasi terkait pada pasien dengan DM tipe 1. Menurut
Deckert (2021) yang merumuskan 'hipotesis Steno' menyebutkan bahwa
kebocoran albumin adalah hasil dari kerusakan pembuluh darah yang
ektensif. Paparan endotel vaskular sel menjadi hiperglikemia dan akhir
glikosilasi lanjut produk menyebabkan disintegrasi glikokaliks dengan
peningkatan keluarnya leukosit dan pelepasan protease yang diaktifkan
agonis reseptor 2, bersama dengan pelepasan NO sintase endotel,
mengakibatkan berkurangnya ketersediaan NO dan peningkatan

12
permeabilitas vaskular (Aldecoa et al., 2020).

Perubahan Glikokaliks saat Sepsis

Perubahan komposisi glikokaliks setelah terpapar mediator


inflamasi adalah salah satu fitur paling awal selama sepsis. Penghancuran
glikokaliks menyebabkan kebocoran kapiler, peradangan yang cepat,
agregasi trombosit, koagulasi, dan hilangnya tonus vaskular. Dengan
ekspresi molekul adhesi seperti molekul adhesi antar sel 1 (ICAM1) atau
molekul adhesi sel vaskular 1 (VCAM1), sel endotel memungkinkan
perlekatan leukosit, rolling, dan migrasi. Khususnya, granulosit neutrofil
dikenali sebagai aktor berwajah dua selama sepsis. Mereka memiliki peran
mendasar dalam pembersihan patogen, tetapi aktivasi neutrofil juga
dikaitkan dengan kerusakan jaringan. Dalam pengaturan ini, sekresi dan
aktivasi sheddases merusak integritas jaringan oleh degradasi matriks
ekstraseluler dan komponen perangkap ekstraseluler neutrofil (NET)
bertindak sebagai DAMP. Heparanase mewakili salah satu enzim ini dan
diaktifkan oleh sitokin proinflamasi. Enzim yang sangat spesifik ini adalah
endo-glukuronidase, yang melepaskan rantai samping heparan sulfat dari
proteoglikan(Gambar 1). Juga ada penelitian yang menunjukkan bahwa
heparan sulfat yang bersirkulasi dalam serum pasien syok septik
menginduksi proinflamasi yang kuat respon dalam kardiomiosit, sehingga
menyebabkan disfungsi mitokondria jantung (Martin et al., 2016).

Marker Penurunan Glikokaliks sebagai Alat Diagnostik.

Sebagai hasil dari posisinya yang unik langsung di antara darah dan
dinding pembuluh darah, glikokaliks endotel berperan peran penting dalam
fisiologi mikrovaskular, khususnya dengan mengatur permeabilitas endotel
vaskular, tonus vaskular, dan koagulasi. Selama peradangan yang
disebabkan oleh sepsis atau trauma besar, glikokaliks menjadi "aktif," dan
terlibat langsung dalam penyebaran kerusakan endotel sehingga
berkontribusi terhadap disfungsi mikrovaskular.

13
Dengan demikian, ada marker patofisiologis yang kuat untuk
menargetkan penanda kerusakan endotel selama sepsis. Hingga sekarang,
lebih dari 1.200 artikel asli serta beberapa ulasan telah telah diterbitkan
mengevaluasi penanda aktivasi endotel pada pasien sakit kritis. Paragraf
berikut bertujuan untuk membahas potensi yang baru diselidiki penanda
kerusakan endotel, seperti syndecan-1, heparan sulfat, heparanase, endocan,
dan angiopoietins sebagai alat diagnostik pada sepsis(Martin et al., 2016).

Syndecan-1

Tingkat sirkulasi syndecan-1 terkait dengan kerusakan endotel dan


degradasi glikokaliks. Rehm (2021) menyelidiki tingkat syndecan-1 dalam
darah arteri pasien yang menjalani operasi aorta asendens. Selama reperfusi
dini setelah iskemia dengan henti sirkulasi, ia melaporkan peningkatan
transien 42 kali lipat pada syndecan-1. Selanjutnya, mikroskop elektron
pada kelinci percobaan menunjukkan pelepasan glikokaliks dengan
kehilangan berturut-turut syndecan-1 setelah iskemia dan reperfusi (I/R). Di
faktanya, selain temuan ini, syndecan-1 berkorelasi dengan koagulopati dan
peningkatan mortalitas pada pasien sepsis (Martin et al., 2016).

Heparanase

Ekspresi heparanase yang meningkat telah dilaporkan dalam


beberapa penelitian yang mengevaluasi keganasan pada manusia. Ekspresi
heparanase berkorelasi dengan peningkatan penyebaran metastasis lokal
dan jauh, peningkatan kepadatan pembuluh darah, dan penurunan
kelangsungan hidup manusia pasca operasi. Lebih-lebih lagi, kadar
heparanase meningkat dalam urin dan plasma pasien dengan diabetes dan
berkorelasi dengan kadar glukosa darah. Dua penelitian menunjukkan
bahwa ekspresi heparanase adalah meningkat selama sepsis terkait
kegagalan fungsi paru dan ginjal kegagalan. Namun, pengukuran ini
terbatas pada tingkat jaringan pada organ tertentu. Penelitian yang
dilakukan oleh Martin (2016) menunjukkan bahwa tingkat dan aktivitas
heparanase dalam sampel plasma dari 18 pasien yang menderita syok septik

14
dan pasien sehat terlihat perbedaan yang signifikan. Peneliti menemukan
level yang jauh lebih tinggi dan aktivitas heparanase plasma pada pasien
syok septik dibandingkan dengan sukarelawan sehat (Martin et al., 2016).

Endocan

Endocan adalah proteoglikan endotel yang larut, diketahui


dilepaskan selama respon inflamasi. Dengan demikian, endocan dianggap
sebagai biomarker yang menentukan disfungsi endotel pada sepsis. Pasien
yang menderita sepsis atau syok septik, kadar plasma endocan
menunjukkan nilai yang sangat prediktif untuk mendiagnosis pasien dengan
sepsis dan syok septik dan menguatkan informasi prognostik untuk tingkat
morbiditas dan mortalitas pasien (Martin et al., 2016).

Memonitoring Mikrosirkulasi dan Kerusakan Glikokaliks


Endothel.

Beberapa teknik tersedia untuk memantau mikrosirkulasi dan


kerusakan endotel. Ini termasuk: mikroskop intravital dalam model hewan
in vivo untuk visualisasi peristiwa dinamis vaskular seperti permeabilitas
mikrovaskular, vasotone dan aliran darah atau glikokaliks; penilaian
mikrosirkulasi dengan potensi untuk mengukur glikokaliks pada pasien
sakit kritis; penerapan spektroskopi inframerah-dekat untuk mengukur
oksigenasi jaringan; mengukur bintik-bintik kulit di atas permukaan
anterior lutut; mengukur mikroalbuminuria; biomarker cedera ginjal akut;
mengukur konsentrasi protein dalam lavage cairan alveolar; dan biomarker
terkait hemostasis, misalnya, faktor VIII, von Faktor Willebrand, Rasio
Normalisasi Internasional, waktu tromboplastin parsial dan jumlah
trombosit (Aldecoa et al., 2020).

Mikroskop intravital menggunakan sidestream darkfeld (SDF)


pencitraan adalah metode non-invasif yang semakin banyak digunakan
untuk menganalisis mikrosirkulasi sublingual. Teknik memvisualisasikan
eritrosit dalam mikrovaskular karena cahaya yang dipancarkan oleh probe

15
dioda pemancar cahaya yang direfleksikan oleh hemoglobin dan dideteksi
oleh kamera SDF. Kepadatan pembuluh darah total, kepadatan pembuluh
darah perfusi, proporsi pembuluh darah perfusi dan indeks aliran
mikrovaskuler secara tradisional dapat dilihat oleh analisis komputer,
meskipun, baru-baru ini, pendekatan point-of-care menggunakan platform
perangkat lunak otomatis yang divalidasi telah ditemukan. Deteksi
pencitraan SDF dari sel darah merah adalah digunakan sebagai penanda
perfusi mikrovaskular, dan pengukuran daerah batas perfusi sebagai
penanda tidak langsung untuk dimensi penghalang glikokaliks endotel
(Aldecoa et al., 2020).

B. Waktu pengisian kapiler (CRT)

Waktu pengisian kapiler (CRT) adalah metrik yang berguna dan


cepat dalam menentukan status volume intravaskular pasien. Terutama
mereka dengan kondisi yang timbul atau akibat dari hipovolemia. Informasi
yang diperoleh dari penilaian CRT kemudian dapat memandu
penatalaksanaan resusitasi cairan, dan menilai kembali terapi yang
diterapkan, dan menentukan titik akhir pengobatan. Status volume juga
dapat dinilai melalui bermacam-macam pemeriksaan klinis dan pengukuran
objektif lainnya. Secara singkat, penanda penurunan perfusi dapat dilihat
melalui tanda-tanda vital abnormal seperti (hipotensi, takikardia,
peningkatan variasi tekanan nadi), temuan pemeriksaan fisik yang
menyimpang (CRT tertunda, membran mukosa kering, turgor kulit buruk,
tidak adanya diaforesis, perubahan status mental). Indikator hipovolemia
yang lebih objektif termasuk kelainan laboratorium (peningkatan BUN,
peningkatan kreatinin, peningkatan laktat, fluktuasi kadar hemoglobin,
peningkatan berat jenis urin, adanya oliguria/anuria). Sementara penilaian
akurat status volume intravaskular paling baik dicapai melalui kombinasi
metode ini. (McGuire, 2021).

C. SVO2 dan SCVO2

Konsumsi oksigen (VO2) tidak tergantung dari DO2 karena

16
jaringan dapat mempertahankan kebutuhan oksigennya dengan cara
meningkatkan ekstraksi oksigen ketika terjadi penurunan DO2. Apabila
DO2 berada di bawah nilai kritis, maka mekanisme kompensasi tidak akan
terjadi lagi sehingga VO2 akan tergantung terhadap DO2 yang kemudian
akan menyebabkan hipoksia jaringan.
Terdapat perbedaan makna antara nilai ScvO2 dan SvO2. Pengukuran
SvO2 untuk memberikan informasi mengenai oksigenasi jaringan secara
global dapat dilakukan melalui pemasangan kateter arteri pulmonal.
Terdapat beberapa keterbatasan dan kemungkinan komplikasi akibat
pemasangan kateter arteri pulmonal, sehingga pengukuran SvO 2 dapat
diwakilkan dengan pengukuran saturasi oksigen vena sentral (ScvO 2)
melalui pemasangan kateter vena sentral dengan ujung kateter berada di
vena cava superior dan muara atrium kanan. Pengukuran ScvO2 ini memiliki
keterbatasan, yaitu tidak mencakup darah vena yang berasal dari sinus
koronarius, sehingga tidak mencerminkan oksigenasi miokardium.
Nilai ScvO2 lebih tinggi 2-3% dibandingkan SvO 2, walaupun pada
pasien sepsis dan kondisi syok, nilai ScvO2 akan lebih besar sekitar 8%
dibandingkan SvO2 karena adanya penurunan aliran ke mesenterika dan
ginjal dengan kompensasi terjadinya peningkatan ekstraksi oksigen.
Pemantauan nilai ScvO2 ini telah banyak digunakan sebagai
parameter target resusitasi dan nilai ScvO2< 70% akan meningkatkan
angka morbiditas dan mortalitas. Penelitian Rivers dkk di instalasi gawat
darurat pada pasien sepsis menggunakan ScvO2 sebagai parameter akhir
keberhasilan resusitasi, menyimpulkan bahwa kelompok yang dilakukan
resusitasi berdasarkan ScvO2 dapat menurunkan angka kematian secara
signifikan sebesar 16,5% dibandingkan dengan kelompok yang
menggunakan parameter CVC, MAP dan produksi urin (Bendjelid, K,
2017).

Tingkat ScvO2 rendah mencerminkan (1) output jantung yang tidak


memadai dengan ekstraksi oksigen yang berlebihan, (ii) konsentrasi

17
hemoglobin rendah, dan atau (iii) rendahnyatingkat tekanan oksigen arteri
(PaO2). Sebaliknya tingkat ScvO2 tinggi berarti (i) pengiriman oksigen
yang sangat tinggi lebih dari permintaan jaringan dan atau (ii) penurunan
konsumsi oksigen seluler (disfungsi mitokondria) dan atau (iii) lebih jarang
adanya shunting besar arterio– venous ( Bendjelid, K, 2017).

Seperti telah dijelaskan di atas, nilai ScvO2 tergantung dari saturasi


oksigen arteri, curah jantung, kadar hemoglobin, adanya shunting dan
konsumsi oksigen. Kemampuan ScvO2 untuk menggambarkan
keseimbangan antara penghantaran dan konsumsi oksigen tidak selalu
konstan. Hal ini tergantung dari beberapa kondisi seperti pemakaian
sedasi, ventilator, ujung kateter vena sentral yang dipengaruhi oleh posisi
tubuh, dan hal-hal lainnya. Interpretasi nilai ScvO2 sebaiknya dilakukan
bersamaan dengan pemantauan parameter mikrosirkulasi lainnya, seperti
kadar laktat darah atau P(cv-a)CO2 ( Bendjelid, K, 2017).

D. Laktat

Salah satu biomarker yang banyak diteliti dan menjadi tumpuan


pengembangan tatalaksana sepsis adalah kadar laktat. Laktat adalah produk
metabolisme hasil reduksi piruvat yang terbentuk pada keadaan anaerob
atau pada keadaan ketidakmampuan tubuh menjalankan metabolisme
oksidatif. Pada proses ini, selain laktat, akan dihasilkan pula regenerasi
nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+ ) dari nicotinamide adenine
dinucleotide hydrogen (NADH) yang selanjutnya akan digunakan pada
proses glikolisis dan adenosine tri phosphate (ATP). Laktat akan kembali
ke dalam sirkulasi dan dapat menyebabkan penurunan pH. Jika kebutuhan
O2 terpenuhi kembali, laktat akan diubah di hati menjadi piruvat dan
selanjutnya masuk kembali ke siklus Krebs. Dalam keadaan normal,

18
terdapat keseimbangan antara produksi dan metabolisme laktat, dengan nilai
normal antara 0,5-1,8 mmol/L.
Dengan memahami metabolisme tersebut, dapat dimengerti bahwa
peningkatan kadar laktat merupakan cerminan adanya hipoperfusi jaringan
yang dapat terjadi secara nyata dengan perubahan parameter hemodinamik
makrosirkulasi, maupun secara tidak nyata dengan perubahan parameter
hemodinamik mikrosirkulasi yaitu pada keadaan sepsis berat. Pada pasien
sepsis berat, laktat telah diteliti memiliki peran baik pada aspek diagnosis,
inisiasi resusitasi, parameter akhir resusitasi, bahkan penentuan prognosis.
Berdasarkan kriteria diagnosis menurut Surviving Sepsis Campaign 2012,
yang mengadopsi kriteria the Society of Critical Care Medicine, The
European Society of Intensive Care Medicine, the American College of
Chest Physicians, the American Thoracic Society, and the Surgical Infection
Society (SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS) tahun 2001, kadar laktat
merupakan salah satu komponen variabel perfusi jaringan yang turut
mendefinisikan seorang pasien dengan infeksi, terdokumentasi atau
tersangka, ke dalam diagnosis sepsis.
Lebih lanjut, pasien sepsis dengan kadar laktat melebihi batas atas
nilai normal laboratorium akan digolongkan dalam kelompok sepsis berat.
Demikian pentingnya kadar laktat dalam diagnosis dan stratifikasi pasien
sepsis sehingga pemeriksaan laktat termasuk salah satu komponen yang
harus dikerjakan pada 3 dan 6 jam pertama tata laksana sepsis (three and six
hour surviving sepsis campign bundle). Penggunaan kadar laktat >4 mmol/L
sebagai salah satu parameter inisiasi resusitasi telah berkembang luas,
seiring banyak penelitian yang menunjukkan hubungan kuat dengan
kejadian gagal multi organ dan kematian. Tinjauan sistematik terhadap 33
penelitian yang dilakukan oleh Kruse, dkk. menunjukkan kadar laktat pada
awal masuk rumah sakit dapat digunakan untuk memprediksi kematian
pasien sakit kritis.
Pada pasien sepsis, pasien dengan kadar laktat >4 mmol/L memiliki
risiko kematian tertinggi. Pasien sepsis dengan kadar laktat >2,5 mmol/L

19
harus diamati untuk menilai perburukan klinis yang terjadi. Perubahan
kadar laktat pasca resusitasi, yang dinyatakan dengan bersihan laktat, juga
dapat digunakan untuk menilai risiko kematian pasien, dengan demikian
menjadi salah satu parameter akhir resusitasi. Ngunyen dkk. menunjukkan
pasien dengan bersihan laktat >10% dalam 6 jam resusitasi menunjukkan
risiko mortalitas 60 hari yang lebih rendah secara bermakna dibandingkan
mereka dengan bersihan laktat 10%) dan rendah (bersihan laktat 4 mmol/L
telah dijadikan salah satu inidikasi memulai resusitasi awal. Resusitasi
dianjurkan untuk dikerjakan hingga kadar laktat mencapai nilai normal.
Data penelitian-penelitian tersebut kiranya dapat menggambarkan
pentingnya pemeriksaan kadar laktat dalam tata laksana sepsis. Kepatuhan
pada pedoman tata laksana sepsis, antara lain dengan melakukan
pemeriksaan kadar laktat secara rutin pada setiap pasien sepsis dan
menindaklanjuti hasil pemeriksaan tersebut dengan tepat, kiranya dapat
membantu menurunkan morbiditas dan mortalitas sepsis di Indonesia.
Bukan tidak mungkin, data retrospektif yang nantinya terkumpul dapat
menjadi bahan pengembangan penelitian untuk memberikan kontribusi
pada tata laksana sepsis di Indonesia secara khusus dan di dunia.

E. PaCO2 dan PaO2


PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 yang
terlarut dalam plasma. Dapat digunakan untuk menetukan efektifitas
ventilasi dan keadaan asam basa dalam darah. Nilai Normal : 35 - 45 mmHg
.
Implikasi Klinik:
1. Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/ nervousness
dan emboli paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapatkan perhatiaan
khusus.
2. Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau
penurunan fungsi pusat pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mmHg perlu
mendapat perhatian khusus.

20
3. Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi
sedangkan penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi.
4. Biasanya penurunan 1 mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2
sebesar 1.3 mmHg (Bhisrowo et al., 2015).

Sedangkan PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan


oleh sejumlah oksigen yang terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan
kemampuan paru-paru dalam menyediakan oksigen bagi darah. Nilai
Normal (suhu kamar, tergantung umur): 75 - 100 mmHg
Implikasi Klinik:
1. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik,
PPOK, penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan
fisik atau neoromuskular dan gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2
kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan perhatian khusus.
2. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2
oleh alat bantu, contohnya nasal prongs, alat ventilasi mekanik
hiperventilasi dan polisitemia, peningkatan sel darah merah dan daya
angkut oksigen (Bhisrowo et al., 2015).

21
BAB III

SIMPULAN

Mikrosirkulasi masih adalah suatu yang penting dalam ilmu terapi intensif.
Sampai sekarang penggunaan piranti pemantau mikrosirkulasi masih belum rutin
dilakukan di ICU. Sehubungan dengan hal tersebut belum terdapat terapi yang
efektif dan spesifik dalam memperbaiki mikrosirkulasi. Tindakan resusitasi cairan
yang cepat dan dalam volume yang besar merupakan salah satu faktor yang dapat
memperbaiki mikrosirkulasi. Perbaikan parameter makrohemodinamik pada
resusitasi cairan tidak linier dengan pulihnya mikrosirkulasi. Pulihnya
mikrosirkulasi akan memberikan luaran pasien yang lebih baik terhadap morbiditas
dan mortalitas pasien yang di rawat ICU. Perlu dilakukan monitoring
makrohemodinamik dan perbaikan mikrosirkulasi dalam tatalaksana pasien di
ruang intensif.

22
DAFTAR PUSTAKA

Cesar Aldecoa, Juan V lau, Xavier Nuvials. Role of Albumin in preservation of


Endothelilal Glycocalyx Intergrity and the microcirculation: A review. Ann of
Intensive Care. 2020
David Gutterman, Dawid Chabowski.The Human Microcirculation.AHA
Journals.Vol 118, No 1 2016

Farhan AR, Calcarina FRW, Bhisrowo YP. Aplikasi Klinis Analisis Gas Darah
Pendekatan Stewart Pada Periode Perioperatif. Vol 3, No 1 2015

Ganong WF. Review of Medical Physiology. 22st ed. New York, NY: McGraw-
Hill; 2012.
Ince C. The Microcirculationj is the motor of sepsis. Crit Care.
2005;9(Suppl4):S13−19.

Lukas Martin, Patrick kozsera, Elizabeth Zechendorf. The Endothelial Glycocalyx:


New Diagnostic and Theurapeutic Approaches in Sepsis. Hindawi. 2016

Sietze Reitsma, Dick W Slaaf, Hans Vink. The Endothelial Glycocalyx:


compotitions, functions, and visualization. Eur J Physiol. 2007
Opsina-Tascon G, Neves AP, Occhipinti G, Donadello K, Buchele G, Simion D,
dkk. Efects of fuids on microvasculer perfusion in patients with severe sepsis.
Intensive Care Med. 2010;36(6):949−55.
Xu JY, Ma SQ, He HL, Cai SX, Hu SL, Liu AR, dkk. A high mean arterial pressure
target is associated with improved microcirculation in septic shock patients
with previous hypertension: a prospective open label study. Critical Care.
2015;19:130−38.

23

Anda mungkin juga menyukai