Anda di halaman 1dari 13

Hadis shahih dan Syarat-syaratnya

Imron Maulana
Email: imronmaulana22@gmail.com
Abstrak: Hadis berdasarkan kualitasnya salah satunya bernama Hadis Shahih.
Pertanyaan mendasarnya setelah mengetahui apa itu hadis ialah apa
yang dimaksud dengan hadis shahih? Apa yang menjadi musabab hadis
tersebut mempunyai gelar hadis shahih? Dan siapa yang menetapkan
hadis tersebut menjadi hadis shahih?
Sederhananya hadis shahih ialah hadis yang memiliki kriteria seperti: a.
Sanadnya bersambung (iitishal al-sanad); b. Perawinya bersifat adil
(„adalat al-rawi); c. Perawinya bersifat dhabit (dhabth al-rawi); d.
Terhindar dari syadz („adam al-syadz); e. Terhindar dari illat („adam
„illat). Hadis shahih dibagi menjadi dua macam diantaranya “Hadis
Shahih Li-dzatihi” dan “Hadis Shahih Li-ghairihi”.
Hadis shahih merupakan hadis yang di klasifikasikan berdasarkan
kualitasnya memberikan peran yang cukup besar dalam sumber hukum
dan ajaran Islam. Dengan cara penyeleksiannya yang cukup berat hadis
ini memang menyajikan kebenaran yang tidak bisa diragukan. Mulai
dari sanadnya yang bersambung, perawinya yang „adil, dhabit,
terhindar dari kerancuan, dan terhindar dari cacat.
Kata Kunci: Hadis shahih, syarat.

Sebuah Permulaan
Dalam tulisan ini penulis ingin memulai dengan pengetahuan klasik yang
mungkin semua pembaca tulisan ini telah tahu. Pengetahuan klasik itu adalah
tentang sumber hukum dan ajaran Islam, dimana pengetahuan tersebut
memberikan informasi bahwa sumber hukum Islam yang paling utama dan
pertama dalam Islam ada dua. Sebut saja yang pertama Al-Qur‟an dan yang kedua
hadis.
Dua sumber utama tersebut memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai
sumber hukum dan ajaran Islam. Makanya penulis menyebut sumber tersebut
adalah sumber utama dan pertama. Memahami kedua sumber hukum tersebut
sebenarnya mempunyai tingkat kerumitan tersendiri, sebab ada banyak cabang
ilmu yang secara mendalam mengkaji tentang keduanya.
Tapi dalam tulisan ini penulis tidak ingin membahas cabang ilmu yang akan
mengkaji kedua sumber hukum atau ajaran Islam itu. melainkan penulis ingin

1
membahas bagian kecil dari cabang ilmu tersebut. Lebih husus pada sumber
hukum Islam yang bernama hadis. Karena saking kecilnya muncullah kepala
tulisan ini bernama Hadis Shahih dan Syarat-syaratnya.
Seperti tulisan yang sudah-sudah tentunya para pembaca telah mengerti apa
yang dimaksud dengan hadis? Mengapa disebut hadis? Dan yang terpenting
mengapa sebagai umat Islam harus mempelajari hadis? Karena semua pertanyaan
ini telah terjawab pada tulisan-tilisan itu maka besar harapan dan jangan terlalu
optimis pada tulisan penulis kali ini akan menemukan penjelaskan tentang
pertanyaan-pertanyaan itu.
Sebab pada tulisan ini seperti telah dikatakan diatas hanya akan membahas
bagian terkecil dari hadis itu sendiri. Bagian terkecil itu akan dimulai dengan
mengusik tulisan sebelumnya tentang pembagian hadis berdasarkan sifatnya. Ada
hadis yang dibagi atas kuantitas hadis dan ada pula yang dibagi atas kualitas
hadis. Nah, tulisan ini spesifik pada yang disebutkan terakhir yaitu hadis yang
dibagi atas dasar kualitasnya. Hadis berdasarkan kualitasnya tersebut lebih
spesifik lagi pada hadis yang bernama Hadis Shahih. Pertanyaan mendasarnya
setelah mengetahui apa itu hadis ialah apa yang dimaksud dengan hadis shahih?
Apa yang menjadi musabab hadis tersebut mempunyai gelar hadis shahih? Dan
siapa yang menetapkan hadis tersebut menjadi hadis shahih?

Mengenal Hadis Shahih


Sebuah pribahasa mengatakan bahwa “tak kenal maka tak sayang” agar
pembaca perlahan menanam bibit kasih sayang, penulis ingin membantu
mengenalkan pembaca pada hadis shahih. Banyak para intelektual muslim yang
selanjutnya akan disebut dengan ulama mengartikan tentang hadis shahih.
Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh
rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang juga adil dan dhabit sampai akhir
sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).1
Secara umum para ulama mengartikan hadis shahih seperti yang disebutkan
pada paragraf sebelumnya. Yang secara eksplisit pengertian tersebut sebanarnya
diambil dari sayarat-sayarat hadis shahih. Pengertian tersebut mulai terbentuk

1
Nurudin `Itr, Ulumul Hadis trj. Mujiyo (Bandung: PT. Rosda Karya, 2016), hlm. 240.

2
setelah Imam Syafii memberikan ketentuan bahwa riwayat suatu hadis dapat
dijadikan hujjah, apabila:2
1. Diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengalaman
agamanya; dikenal sebagai orang yang jujur, memahami dengan baik
hadis yang diriwayatkannya, mengetahui perubahan arti hadis bila
terjadi perubahan pelafadzannya; terpelihara hafalannya, bila
meriwayatkan hadis secara lafadz, bunyi hadis yang diriwayatkan sama
dengan bunyi hadis yang diriwayatakan oleh orang lain; dan terlepas
dari tadlis (penyembunyian cacat).
2. Rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau
dapat juga tidak sampai pada nabi.
Sederhananya hadis shahih ialah hadis yang memiliki kriteria seperti: a.
Sanadnya bersambung (iitishal al-sanad); b. Perawinya bersifat adil („adalat al-
rawi); c. Perawinya bersifat dhabit (dhabth al-rawi); d. Terhindar dari syadz
(„adam al-syadz); e. Terhindar dari illat („adam „illat).

Mengapa dikatakan Hadis Shahih?


Jawaban dari pertanyaan tersebut sebenarnya telah terjawab oleh pengertian
hadis diatas. Namun, pertanyaan ini tidak hanya berakhir pada jawaban apa,
melainkan membutuhkan jawaban yang bersifat continue. Hadis shahih bisa
dikatan shahih apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Sanadnya bersambung (iitishal al-sanad)
Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah setiap periwayat
hadis dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat yang
terdekat sebelumnya; keadaan semacam itu terus berlangsung demikian
sampai akhir sanad hadis.3 Artinya adalah sanad tersambung mulai dari
mukharrij hadis sampai pada periwayat pertama (kalangan sahabat)
yang memang lansung bersangkutan dengan nabi. Dalam istilah lain,
sanad bersambung sejak sanad pertama hingga sanad yang terakhir
(kalangan sahabat) hingga nabi, atau dibalik, sanad pertama sejak dari

2
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2011), hlm. 127.
3
Idri, Studi Hadis,(Jakarta: Kencana Predata Group, 2010), hlm. 160.

3
Nabi sebagai periwayat pertama hingga berakhir pada periwayat
terakhir (mukharrij hadist).
Namun atas bersambungnya sanad masih belum bisa serta-merta
dikatakan hadis shahih. Sebab ada yang mengistilahkan hadis yang
bersambung sanadnya tersebut dengan istilah hadis musnad. Menurut
Ibn „Abd al-Barr hadis musnad adalah hadis yang didasarkan pada
hadis Nabi (sebagai hadis marfu‟), sanad hadis musnad ada yang
bersambung (muttashil) dan ada pula yang terputus (munqathi‟).4 Hadis
ini bisa dijadikan patokan menetukan keshahihan hadis, para ulama
hadis bersepakat bahwa hadis musnad pasti marfu‟ dan bersambung
sanadnya, tapi hadis marfu‟ belum tentu hadis musnad.
Ada pula yang mengistilahkan dengan sebutan hadis muttashil atau
mawshul. Ibn al-Shalah dan al-Nawawi memberikan pengertian bahwa
hadis muttashil atau mawshul adalah hadis yang bersambung sanadnya,
baik bersambung sampai kepada Nabi (marfu‟) maupun hanya mentok
pada sahabat Nabi (mawquf) saja. Selain keterputasan terdapat pada
sahabat Nabi hadis muttashil atau mawshul ada juga yang maqthu‟
(disandarkan pada tabi‟in).5 Dengan demikian hadis ini tidak bisa
dijadikan patokan untuk menentukan keshahihan hadis beda dengan
hadis musnad. Dari keterputasan tersebut di khawatirkan adanya
keterputusan informasi dari Nabi.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, bagaimana untuk mengetahui
bersambung atau tidaknya sanad hadis? Jawabannya silahkan simak
kata M. Syuhudi Ismail. Para ulama biasanya menempuh tata kerja
penelitian sebagai berikut:6
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat yang
dilakukan; hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah periwayat
tersebut dikenal sebagai orang yang tsiqah (adil dan dhabith),
serta bukan termasuk dari orang yang tadlis. Juga untuk

4
Ibid., 161.
5
Ibid.
6
Ibid., 161-162.

4
mendeteksi ada hubungan sezaman antara guru-murid dalam
periwayatan hadis.
c. Meneliti kata yang menghubungkan antara perawi dengan
perawi yang terdekat dalam sanad. Misalnya berupa:
haddatsana, haddatsani, akhbarani, akhbarana, sami‟tu, „an,
„anna, dan banyak lagi yang lainnya.
Melalui cara diatas dapat diketahui ketersambungan sanad hadis.
Dengan mengetahui kedekatan perawi antara perawi satu dengan perawi
sebelumnya.

2. Perawinya bersifat adil („adalat al-rawi)


Tentang perawi yang bersifat adil ini ada banyak pandangan
dikalangan para ulama hadis. Dan banyak pandangan ini sudah biasa
dalam menetapkan suatu ketentuan, biarkan saja jangan terlalu baper
menghadapinya. Diantara beda pandangan itu ialah pendapat dari Al-
Hakim ia menyatakan bahwa seorang bisa dikatakan „adil ketika ia
beragama Islam, tidak berbuat bid‟ah, dan tidak berbuat maksiat.
Beda dengan Al-Irsyad katanya yang dimaksud adil ialah orang
yang berpegang teguh terhadap pedoman adab-adab syara‟.7 Beda pula
yang keluar dari kepala seorang Ar-Razi, „adil baginya adalah tenaga
jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar,
menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru‟ah; makan sambil
berdiri di jalanan, buang air kecil di tempat yang bukan disediakan
untuknya, dan bergurau yang berlebih-lebihan.8
Ada pula yang menyatakan bahwa „adil itu
ِ‫م ِن است َقام ِدي نُو وحسن خلُ ُقو وسلِم ِمن الْ ِفس ِق وخوا ِرِم الْمروءة‬
َ ُْ ُ َ َ َ ْ َ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ
Adil adalah orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama,
baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah.9

7
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l Hadits (Bandung: PT Alma‟arif, 1974), hlm. 119.
8
Badri Khaerruman, Ulumul Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 120.
9
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 151.

5
Dari sekian pandangan tersebut M. Syuhudi Ismail dalam buku
yang diramu oleh Kasman yang berjudul Hadits dalam Pandangan
Muhammadiyah meringkas semuanya menjadi empat kriteria perawi
yang „adil diantaranya adalah: a. Beragama Islam; b. Mukallaf; c.
Melakukan ketentuan agama; dan d. Memelihara mur‟ah.10
Kemudian muncul pertanyaan lantas untuk mengetahui kualitas ke-
„adilan perawi bagaimana? Para ulama menetapkan untuk menetukan
hal tersebut berdasarkan: a. Popularitas keutamaan periwayat tersebut di
kalangan ulama hadis tersebut; b. Penilaian dari para kritikus periwayat
hadis penilaian ini mencakup kelebihan atau kekurangan yang terdapat
pada periwayat hadis tersebut, hal ini bisa ditelaah melalui „ilmu al-jarh
wa al-ta‟dil; c. Penerapan ilmu al-jarh wa al-ta‟dil di pakai apabila dari
kalangan kritik hadis tidak menemukan kesepakatan tentang kualitas
pribadi periwayat tertentu.11

3. Perawinya bersifat dhabit (dhabth al-rawi)


Dhabit menurut bahasa mempunyai makna kokoh, yang kuat, yang
hafal secara sempurna.12 Seorang perawi mempunyai daya ingat yang
kuat dan sempurna terhadap hadis yang diriwayatkan. Ibn Hajar Al-
Asqolani berkomentar bahwa perawi yang dhabit itu adalah dia yang
kuat hafalannya terhadap apa yang pernah di dengarnya, kemudian
mampu menyampaikan hafalan tersebut pada saat dibutuhkan.13
Artinya, seorang perawi mempunyai kualitas kesehatan yang maksimal
mulai dari kesehatan pendengaran, otak, psikis, dan oral. Hal ini sangat
menjadi bagian penting bagi perawi sebab dengan pendengaran yang
kuat ia mampu mendengarkan secara utuh isi apa yang didengar,
mampu memahami dengan baik, tersimpan dalam memori otaknya,
kemudian mampu menyampaikan dengan fasih dan benar kepada orang
lain.

10
Kasman, Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), hlm.
39.
11
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-MALIK PRESS, 2010), hlm. 116.
12
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hlm. 132.
13
Ibid.

6
Lebih spesifik lagi dhabit dibelah menjadi dua macam diantaranya
adalah dhabit hati dan dhabit kitab. Dhabit hati maksudnya ialan
seorang perawi mampu menghafal setiap hadis yang di dengarnya dan
sewaktu-waktu dia bisa mengungkapnya atau sederhanya terpelihara
periwayatan dalam ingatan sejak menerima hadis sampai
menyampaikan kembali kepada orang lain, sedangkan dhabit kitab ialah
seorang perawi yang ketika meriwayatkan hadis secara tertulis,
tulisannya sudah mendapatkan tashhih dan selalu terjaga.14
Sifat-sifat kedhabitan itu bisa dideteksi melalui; kesaksian para
ulama dan berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat orang
lain yang telah dikenal kedhabitannya.15 Yang menjadi pertanyaan bagi
penulis mungkinkan menemukan orang yang sempurna? Atau
mungkinkah perawi yang dhabit ini benar-benar terpelihara tanpa
pernah melakukan kesalahan sekecil kacang ijo pun?

4. Terhindar dari syadz („adam al-syadz)


Syadz disini berarti hadis yang diriwayatkan tidak mengalami
kerancuan atau terjadi sangsi dengan hadis yang diriwayatkan oleh
orang lain yang tingkat „adil dan dhabitnya lebih tinggi. Mukhalafat al-
tsiqah li man huwa awtsaq minhu.16
Para ulama sepakat berikut adalah syarat syudzudz: a. Periwayat
hadis tersebut harus tsiqah; b. Orang tsiqah meriwayatkan hadis yang
berbeda dengan yang lebih tsiqah baik dari segi hafalan, jumlah orang
yang diriwayatkan atau yang lainnya; c. Perbedaan tersebut bisa berupa
penambahan atau mengurangi dalam hal sanad dan matn; d. Periwayat
tersebut menimbulkan kerancuan yang begitu pelik sehingga tidak bisa
dikompromikan; e. Adanya kesamaan guru dari hadis yang
diriwayatkan.17

14
Muhammad Alawi Al- Maliki, Ilmu Ushul Hadis, trj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pusta Pelajar,
2012), hlm. 53.
15
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hlm. 132-133.
16
Kasman, Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah, hlm. 42.
17
Ibid., 42-43.

7
5. Terhindar dari illat („adam „illat)
Maksudnya adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari
cacat kesahihannya. Yakni hadis tersebut terbebas dari sifat-sifat samar
yang membuatnya cacat, meskipun secara kasat mata hadis tersebut
tidak menujukkan adanya cacat. Menurut Ibn al-Shalah, an-Nawawi,
dan Nur al-Din „Itr menyatakan bahwa „illat merupakan sebab yang
tersembunyi yang menjadi benalu (merusak) kualitas hadis, yang
menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih
menjadi tidak shahih.18
Menurut Mahmud al-Thahhan, hadis yang mengandung „illat bisa
di lacak ketika mengandung kriteria berikut: a. Periwayatnya
menyendiri; b. Periwayat lain bertentangan dengannya; c. Qarinah-
qarinah lain yang berkaitan dengan keduanya. Detailnya untuk
mengetahui adanya „illat hadis bisa melakukan: a. Menghimpun seluruh
sanad, dengan maksud untuk mengetahui ada tidaknya tawabi‟ dan/atau
syawahid; b. Melihat perbedaan di antara para periwayatnya; dan c.
Memerhatikan status kualitas para periwayat baik berkenaan dengan
keadilan, maupun ke-dhabitan masing-masing periwayat.19

Klasifikasi Hadis Shahih


Pada bagian ini pembaca akan menemukan dua anak kembar (macam-
macam) dari hadis shahih diantaranya mempunyai nama “Hadis Shahih Li-
dzatihi” dan “Hadis Shahih Li-ghairihi”.
Hadis Shahih Li-dzatihi dikenal dengan hadis yang telah memenuhi kriteria
kelima hadis shahih diatas.20 Sedangkan Hadis Shahih Li-ghairihi sebenarnya
pada tubuh hadis ini tidak memenuhi kualitas hadis shahih yang disebabkan oleh
perawinya yang memiliki kekurangan dari kriteria hadis shahih.21 Misalnya ada
perawi yang jelas sudah „adil tapi ke-dhabitannya kurang. Hadis ini bisa naik

18
Idri, Studi Hadis, hlm. 170.
19
Ibid.171-172.
20
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, tt), hlm. 180.
21
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hlm. 134.

8
kualitasnya terhadap hadis shahih apabila ada dalil yang lebih shahih mendukung
hadis tersebut.

Contoh Hadis Shahih


Tulisan ini akan menjadi garing apabila sekian teori yang telah dibahas
diatas hanya dibiarkan mengambang begitu saja diatas kolam ide pembacanya.
Apabila teori tersebut tidak disertai contoh. Supaya kegaringan tersebut tidak
menimpa tulisan ini maka penulis ingin mengajak pembaca untuk merenungi dan
mengkaji hadis-hadis shahih berikut:
Contoh hadis shahih;

َ َ‫َحدَّثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْ ُن َسعِْي ٍد َحدَّثَنَا َج ِريْ ُر َع ْن عُ َم َارَة بْ ِن ال َق ْع َق ٍاع َع ْن اَِِب ُزْر َعةَ َع ْن اَِِب ُىَريْ َرَة ق‬
:‫ال‬

:‫ص َحابَِِت؟ قَ َل‬ ِ َ ‫اّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَ َق‬


ّ ‫صلَّى‬ ِ ‫جاء رجل اِ ََل رس‬
َ ‫ يَ َار ُس ْوُُل ّّلل َم ْن اَ َح ُّق ِبُ ْس ِن‬:‫ال‬ َ ‫اّلل‬
ّ ‫ول‬ َُ ٌ َُ َ َ
‫ (رواه البخار‬.‫ ُُثَّ َم ْن؟ قَ َل ُُثَّ اَبُ ْو َك‬:‫ قَ َل‬.‫ك‬
َ ‫ اُُّم‬:‫ ُُثَّ َم ْن؟ قَ َل‬:‫ قَ َل‬.‫ك‬
َ ‫ اُُّم‬:‫ ُُثَّ َم ْن؟ قَ َل‬:‫ قَ َل‬.‫ك‬
َ ‫اُُّم‬

)‫و املسلم‬
Artinya:
Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said, ia bertakata: “meriwayatkan
kepada kami Jarir dari „Umarah bin al-Qa‟qa‟ dari Abu Zur‟ah dari Abu Hurairah,
ia berkata: „datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw., lalu berkata: „ya
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang
baik?‟ Rasulullah menjawab: „ibumu‟. Orang itu bertanya lagi: „kemudian siapa?‟
Rasulullah menjawab: „ibumu‟. Orang itu bertanya lagi: „kemudian siapa?‟
Rasulullah menjawab: „ibumu‟. Orang itu bertanya lagi: „kemudian siapa?‟
Rasulullah menjawab: „kemudian bapakmu‟”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Contoh hadis shahih li-dzatihi;


ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫اّلل‬
ّ ‫ اَملُ ْسل ُم َم ْن َسل َم اْملُ ْسل ُم ْو َن م َّن ل َسانو َويَده والْ ُم َهاج ُر َم ْن َى َجَرَما نَ َهَر‬.‫م‬.‫اّلل ص‬
ّ ‫ول‬ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ق‬

)‫(متفق عليو‬

9
Artinya:
Rasulullah bersabda: “yang dimaksud dengan orang Islam (muslim) ialah
orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan lidahnya
maupun dengan tangannya; dan yang dimaksud dengan orang yang berhijrah
adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah. (HR. Mutafaqun
Alaih)
Contoh hadis shahih li-ghairihi;

)‫ص ََل ٍة (رواه البخارى‬ ِ ِ ِ‫َّاس ََلَمرتُهم ب‬


ّ ْ ُ ْ َ ِ ‫لى اَُّم ِِت اَْو َعلَى الن‬
َ ‫الس َواك َم َع ُك ِّل‬ َ ‫َش َّق َع‬
ُ ‫لَ ْوَُل اَ ْن أ‬
Artinya:
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan
bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat”. (HR.Bukhari)

Rekomendasi Kitab-kitab Hadis Shahih


Berikut penulis ingin merekomandasikan kitab-kitab yang memuat hadis
shahih, diantaranya adalah:22
1. Al-Muawaththa‟ karya Imam Malik bin Anas.
2. Al-Jami al-Shahih al-Bukhari disusun oleh Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari al-Ju‟fi.
3. Al-Musnad al-Shahih atau yang juga disebut al-Jami‟ al-Shahi disusun
oleh Imam Abul Husen Muslim bin al-Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi.
4. Shahih Ibnu Khuzaimah disusun oleh Imam Abu Abdillah Abu Bakar
Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah.
5. Sahih Ibnu Hibban nama asli kitabnya al-Taqasim wa al-Anwa disusun
oleh Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busti. Kitab ini
kurang di sepakati oleh para ulama sebab hanya berisi hadis shahih
yang diteropong dari syarat penyusunnya saja, juga antara Imam
Hibban dan Imam Khuzaimah terlalu mudah dalam mensahihkan hadis.
6. Al-Mukhtarah alias kitab al-Hadits al-Jiyad al-Mukhtarah mimma
Laisa fi al-Shahihain au Ahadihima disusun oleh al-Hafizh
Dhiya‟uddin Muhammad bin Abdul Wahid al-Maqdisi.

22
Nurudin `Itr, Ulumul Hadis, hlm. 251-260.

10
Selain yang disebutkan ini ada sebuah istilah yang menunjukkan kumpulan
hadis shahih yaitu al-Kutubu al-Sittah, diantaranya adalah:23
1. Al-Jami al-Shahih al-Bukhari disusun oleh Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari al-Ju‟fi.
2. Al-Musnad al-Shahih atau yang juga disebut al-Jami‟ al-Shahi atau
yang lebih terkenal Shahih Muslim disusun oleh Imam Husen Muslim
bin al-Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi.
3. Sunan Abudaud disusun oleh Abu daud al-Sijistani.
4. Sunan Al-Turmudzi disusun oleh Abu Isa al-Turmudzi.
5. Sunan al-Nasa‟i disusun oleh Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib bin
Ali al-Nasa‟i.
6. Sunan Ibn Majah disusun oleh Muhammad bin Yazin al-Qazwaini yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ibn Majah.

The Power of Hadis Shahih


Pertanyaan demi pertanyaan mungkin selalu muncul bagi pembaca yang
kuriositasnya tinggi. Setelah mengetahui atau bisa menentukan hadis shahih lantas
untuk apa hadis harus di beri gelar shahih? Atau muncul pertanyaan yang agak
liar kekuatan apa yang ditawarkan hadis shahih terhadap manusia?
Benar, dilihat secara kualitasnya hadis shahih mempunyai kekuatan
memberi faedah qhat‟i (pasti kebenarannya) dan wajib diterima serta diamalkan
sebagai hujah atau dalil syara‟ sesuai dengan ijma‟ ulama.24
Sebagai ulama dari kalangan Ahlusunnah dan Ibnu Hazm al-Zhahiri
menyatakan bahwa hadis shahih memberikan kepastian dan harus diyakini; dan
bahwa ilmu yang pasti selalu rasional dan argumentatif yang tidak dapat dicapai,
kecuali oleh mereka yang pengetahuannya luas (dalam bidang hadis) dan mengerti
kriteria para rawi dan cacat hadis.25
Hadis shahih merupakan hadis yang memang dikenal kredibilitasnya,
sehingga untuk menjadikan hujah sudah tidak diragukan lagi. Bahkan hadis

23
Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), hlm. 232-242.
24
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, hlm. 155-156.
25
Nurudin `Itr, Ulumul Hadis, hlm. 245.

11
shahih diwajibkan untuk diterima meskipun tidak ada orang yang mengamalkan
apalagi mengamalkan. Sebab dalam hadis shahih sudah tidak ada lagi yang perlu
di khawatirkan apabila dilihat dari kriteria hadisnya, tidak mungkin dalam hadis
shahih terpelintir sedikipun berita atau informasi yang mengandung hoax.

Titik Akhir
Hadis shahih merupakan hadis yang di klasifikasikan berdasarkan
kualitasnya memberikan peran yang cukup besar dalam sumber hukum dan ajaran
Islam. Dengan cara penyeleksiannya yang cukup berat hadis ini memang
menyajikan kebenaran yang tidak bisa diragukan. Mulai dari sanadnya yang
bersambung, perawinya yang „adil, dhabit, terhindar dari kerancuan, dan terhindar
dari cacat.
Sehingga hadis shahih tidak sembarangan keluar dari kepala orang-orang
yang tidak bertanggun jawab. Semunya keluar dari kepala orang yang mendekat
dan menrindukan ridha Allah serta mencintai Rasulullah Saw. hidupnya
terpelihara dari barang-barang yang membawa dirinya pada perbuatan dosa,
sekecil apapun.
Kebenaran yang tidak diragukan itu menjadikan hadis shahih wajib untuk
diterima dan dilaksanakan. Hadis shahih mengajak pembaca sekaligus
pengamalnya agar mempunyai kualitas intelektual yang luas, dilihat dari
periwayat hadis shahih yang harus dhabit. Pembaca harusnya termotivasi agar
tidak berhenti belajar dan terus menggali kuriositasnya.
Akhirnya secara batiniah ataupun nanti si pembaca berkarya yang berbentuk
tulisan mampu menyampaikan kebenaran yang benar-benar benar. Dimana dalam
dirinya telah tertanam sifat rububiyah yang selalu melahirkan energi positif dan
sealu mengajak bertindak positif. Demikian tulisan ini penulis buat semoga
bermanfaat, apabila ada kesalah dan kritik silahkan di tegur dengan kritik
membangun.

12
Daftar Rujukan
`Itr, Nurudin .Ulumul Hadis trj. Mujiyo, Bandung: PT. Rosda Karya, 2016.

Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2011.

Al- Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis, trj. Adnan Qohar, Yogyakarta:

Pusta Pelajar, 2012.

Idri, Studi Hadis,Jakarta: Kencana Predata Group, 2010.

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, tt.

Kasman, Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah, Yogyakarta: Mitra Pustaka,

2012.

Khaerruman, Badri. Ulumul Al-Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2010.

Rahman, Fatchur Ikhtisar Mushthalahu‟l Hadits, Bandung: PT Alma‟arif, 1974.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-MALIK PRESS, 2010.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2011.

13

Anda mungkin juga menyukai