PENDAHULUAN
Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi
AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS
yang mematikan. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat
menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS.
HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti
jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan
makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau
WC/Jamban yang sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA).
3. Secara vertical dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik
selama hamil, saat melahirkan ataupun setelah melahirkan.
Penyebaran HIV di Indonesia memiliki dua pola setelah masuk pada tahun
1987 sampai dengan 1996. Pada awalnya hanya muncul pada kelompok
homoseksual. Pada tahun 1990, model penyebarannya melalui hubungan seks
heteroseksual. Prosentase terbesar pengidap HIV AIDS ditemukan pada kelompok
usia produktif (15-49 tahun): 82,9%, sedangkan kecenderungan cara penularan
yang paling banyak adalah melalui hubungan seksual berisiko (95.7%), yang terbagi
dari heteroseksual 62,6% dan pria homoseksual/biseksual 33,1%. (Stranas 1994).
Jumlah Kumulatif Kasus HIV dan AIDS menurut Faktor Resiko s/d Desember
1996
2. Periode 1997-2006
Penularan pada perempuan akan berlanjut dengan penularan pada bayi pada
masa kehamilan. Risiko penularannya berkisar 15-40%. Selain itu bayi yang lahir
dari seorang ibu dengan HIV mungkin akan terinfeksi HIV sebelum, selama, atau
sesudah proses kelahirannya. Penularan juga dapat terjadi melalui Air Susu Ibu
(ASI). Pelaporan kasus AIDS HIV/AIDS pada tahun 1997 baru dilakukan oleh 22
propinsi, sedangkan pada tahun 2006 pelaporan kasus HIV/AIDS sudah mencapai
33 propinsi. Yang menarik adalah distribusi prevalensi kasus AIDS per 100.000
penduduk berdasarkan propinsi dimana Propinsi Papua menempati urutan pertama
(51,45) diikuti dengan DKI Jakarta (28.15). Hal ini terjadi karena kepadatan
penduduk Propinsi Papua lebih kecil dibanding dengan kepadatan penduduk DKI
Jakarta. Tampak bahwa peningkatan kasus AIDS di Propinsi Papua sangat tinggi
sampai tahun 2006. Selanjutnya, proporsi kasus AIDS terbanyak dilaporkan pada
kelompok umur 20-29 tahun yaitu sebanyak 54,76%. Disusul kelompok umur 30-39
tahun sebanyak 27,17% dan kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 7,90%. Dengan
demikian, sebagian besar kasus AIDS terjadi pada kelompok usia produktif yaitu 20-
49 tahun. Jumlahnya mencapai 7.369 kasus atau 89,93%.
Mencermati kasus pada periode ini adalah munculnya kasus AIDS pada bayi
atau anak kurang dari 15 tahun. Anak-anak dengan HIV/AIDS kemungkinan tertular
melalui ibunya saat kehamilan, persalinan ataupun saat pemberian ASI, transfusi
darah/komponen darah (misalnya pada penderita hemofilia) atau akibat pemaksaan
seksual oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, anak-anak juga
mempunyai risiko besar terinfeksi karena pengetahuan mereka tentang cara
penularan dan melindungi diri dari HIV sangat terbatas. Kasus AIDS menurut cara
penularannya yang dilaporkan sampai dengan 31 Desember 2006, ternyata paling
banyak terjadi melalui penggunaan NAPZA suntik (IDU), disusul penularan melalui
hubungan heteroseksual. Ke-4 cara penularan lainnya adalah melalui hubungan
homoseksual, transfusi darah, transmisi perinatal, dan penularan lain yang tidak
diketahui.
Epidemi HIV meningkat secara nyata diantara pekerja seks (PS) pada tahun
2000. Epidemi ini bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Di Tanjung
Balai Karimun, Propinsi Riau misalnya, pada tahun 1995/1996 hanya ada 1% PS
dengan HIV, sedangkan tahun 2000 menjadi 8,38% PS dengan HIV. Prevalensi PS
dengan HIV di Merauke sebesar 26,5%, Jakarta Utara sebesar 3,36%, dan di Jawa
Barat sebesar 5,5%.iii
Sampai akhir tahun 2005, jumlah kumulatif penularan HIV karena perilaku
seksual berisiko pada PSK beserta langganannya sebanyak 1.920 kasus.
Sedangkan, penularan AIDS berjumlah 3.302 kasus pada akhir tahun 2006. Pola
penularan HIV/AIDS juga ditemukan pada ibu rumahtangga, yaitu seorang ibu
rumahtangga yang sedang hamil diketahui terinfeksi HIV karena tertular dari
pasangannya. Bayi yang dilahirkan juga positif terinfeksi HIV. Inilah awal kasus
penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi. Pada tahun 1997, jumlah kumulatif HIV karena
transmisi perinatal sebanyak 3 kasus dan AIDS sebanyak 1 kasus (Tabel 1) i. Di
kelompok ibu hamil, di Propinsi Riau dan Papua, angka kejadian infeksi HIV sebesar
0,35% dan 0,25% sedangkan di DKI Jakarta sebesar 2,86% iii.
Fakta bahwa penyebaran HIV terjadi sangat cepat dan mudah disebabkan
oleh penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian oleh pengguna
napza. Perilaku ini bukan hanya menyebarkan HIV tetapi juga mempercepat
penyebaran virus Hepatitis C.
Berdasarkan jenis kelamin, dari 4.118 kasus AIDS di tahun 2006, terdapat 3.807
kasus IDU pada laki-laki, sedangkan 274 kasus pada perempuan, dan sisanya 37
kasus tidak diketahui jenis kelaminnyai. Data menunjukkan bahwa pengguna napza
suntik paling banyak adalah pada usia 20-29 tahun. Jika ditambahkan dengan
penasun yang berusia 15-19, 30-39 dan 40-49, maka jumlahh kasus AIDS pada
penasun akan semakin meningkat pada usia produktif. Pengguna Napza suntik
terbanyak ada di 5 (lima) propinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Sumatera Utara.
Penularan HIV melalui jarum suntik justru lebih ‘efisien’ dibanding jalur seks.
Beberapa hal yang dapat mempercepat penularan HIV melalui jarum suntik
diantaranya adalah banyaknya teman yagn menyuntik bersama, berapa lama
menjadi penasun, frekuensi patungan, frekuensi menyuntik secara bersama, akses
untuk mendapatkan jarum bersih, pernah dipenjara dan menyuntik dipenjara, dan
mobilitas pengguna narkoba suntik atau menyuntik bersama di kota lain v.
Data prevalensi HIV pada waria di tahun 1997-206 sangat terbatas. Depkes
hanya memiliki data dari DKI Jakarta yaitu pada tahun 2002 yaitu dengan prevalensi
sebesar 21,7 . Namun, data dari Integrated Biological-Behavioral Surveilance (IBBS)
mencatat tentang hal ini. Waria adalah laki-laki yang mengganggap dirinya memiliki
identitas sebagai wanita disebut juga transgender atau transvestities. Penemuan
IBBS 2007 adalah tentang waria di 5 (lima) kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, dan Malang. Data perilaku diambil dari 5 kota tersebut, sedangkan data
biologi diambil dari tiga kota yaitu (Jakarta, Bandung, dan Surabaya). Estimasi
jumlah waria di Indonesia adalah 20.960 sampai 35.300 orang di tahun 2006.
Prevalensi HIV pada Waria di Jakarta tahun 1995-2007
Mayoritas Waria yaitu 80% di 4 kota tersebut dilaporkan menjual seks kepada
pelanggan laki-laki satu tahun terakhir. Rata-rata waria telah melakukannya selama
9 sampai 13 tahun. Tetapi sebanyak 40-50% waria memiliki pasangan regular
namun bukan pelanggan laki-laki pembeli jasa seks, yang mereka sebut “suami”.
Terdapat bukti bahwa penularan HIV juga terjadi di dalam penjara. Data
surveilans dari sebuah penjara di Jawa Barat telah menunjukkan bahwa prevalensi
HIV melonjak dari 1% pada 1999 menjadi 21%, kemudian “jatuh” tajam ke 5% di
tahun 2002. “Penurunan” pada 2002 ternyata hanyalah tidak menunjukkan
gambaran yang sebenarnya, meskipun mencerminkan perubahan pada metode
pengambilan sampel: hanya narapidana yang baru masuk yang dites HIV. Ketika
pada 2003 metode sampel acak kembali digunakan hasilnya adalah tingkat
prevalensi 21%. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa HIV ditularkan di penjara, baik
melalui penyuntikan narkoba dengan menggunakan jarum yang tercemar ataupun
melalui hubungan seks anal tanpa menggunakan pelindung antar narapidana.
3. Periode 2007-2013
Pada akhir tahun 2007 diperkirakan 4,9 juta orang telah terinfeksi HIV di Asia.
Dari jumlah ini, 440.000 adalah orang-orang dengan infeksi HIV baru, dimana
300.000 sudah meninggal. Meskipun cara penularan HIV bervariasi di Asia, epidemi
umumnya didorong oleh hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi HIV
dan tanpa menggunakan kondom, dan melalui jarum suntik. Lebih dari dua dekade
sejak kasus pertama HIV di Indonesia hingga saat ini telah terdapat 3.492 orang
meninggal akibat penyakit ini. Dari 11.856 kasus yang dilaporkan pada tahun 2009,
6962 diantaranya berusia produktif (< 30 tahun), termasuk 55 orang bayi di bawah 1
tahun. Kasus yang tinggi terkonsentrasi pada kelompok berisiko termasuk penasun,
pekerja seks dan kliennya, pria homoseksual, dan bayi yang tertular melalui ibunya.
Pada tahun 2009 diperkirakan jumlah ODHA meningkat menjadi 333.200 orang,
yang 25% diantaranya adalah perempuan. Angka ini menunjukkan feminisasi
epidemi AIDS di Indonesia.
Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia pada WPS adalah 56% (WPSL) dan
49% (WPSTL). Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia rektal lebih tinggi ditemukan di
waria (43%) daripada LSL (33%). Secara keseluruhan prevalensi Gonore dan/atau
Klamidia tidak mengalami perubahan dibandingkan pada tahun 2007, termasuk di
daerah yang mendapatkan PPB.
Epidemi AIDS di Indonesia adalah salah satu yang paling cepat berkembang
di Asia. Kementrian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan bahwa tanpa
meningkatkan upaya pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan dari
masing-masing daerah jumlah ODHA diestimasikan naik menjadi 501.400 orang
pada 2014 dari 227.700 ditahun 2008.
Hasil STBP tahun 2011 menunjukan bahwa prevalensi HIV tertinggi terdapat
di kelompok penasun (36%), lalu diikuti kelompok waria, WPSL, LSL, narapidana,
WPSTL, dan pria risti. Pola tersebut hampir sama dengan STBP 2007. Bila
dibandingkan dengan 2007, prevalensi HIV di WPSL, WPSTL, pria risti dan waria
tidak mengalami perubahan. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi di kelompok
LSL yaitu meningkat 2-3 kalinya. Sementara itu, pada kelompok penasun mengalami
penurunan sebesar 10% (Jakarta) sampai dengan 20% (Medan). STBP 2011
melakukan pengukuran prevalensi IMS yaitu Sifilis, Klamidia, dan Gonore.
Prevalensi Sifilis tertinggi pada kelompok Waria (25%). Dibandingkan dengan tahun
2007, prevalensi Sifilis mengalami penurunan pada kelompok WPSL dan WPSTL (4-
8 kali), kelompok waria (20%) dan pria risti (3%). Penurunan tersebut terutama
terjadi di lokasi-lokasi yang mendapatkan program Pengobatan Presumtif Berkala
(PPB). Hal yang berbeda terjadi pada kelompok LSL dimana prevalensi Sifilis
meningkat 2-5 kali dibanding tahun 2007.
Penggunaan kondom secara konsisten pada seks berisiko masih rendah. Bila
dibandingkan dengan seluruh kelompok sasaran, perilaku penggunaan kondom
secara konsisten di waria paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Bila
dibandingkan dengan tahun 2007, penggunaan kondom secara konsisten saat
melakukan seks berisiko di setiap kelompok sasaran cenderung tidak banyak
mengalami perubahan, kecuali pada waria terjadi penurunan dan pada WPSL terjadi
peningkatan.
Bila dibandingkan dengan data 2007 di daerah yang sama, proporsi kelompok
sasaran selain penasun yang pernah menggunakan napza suntik cenderung tetap.
Hal tersebut harus mendapatkan perhatian karena napza suntik dapat menjadi
media penularan HIV yang efektif dan dapat melipatgandakan risiko terkena HIV
pada kelompok risiko tinggi di luar penasun. Proporsi berbagi jarum tertinggi
terdapat di Jakarta (27%) dan terendah di Medan (7%). Perilaku berbagi jarum
dipengaruhi oleh tingkat pengetahun komprehensif tentang HIV-AIDS, dan frekuensi
dikontak oleh petugas lapangan. Bila dibandingkan dengan data tahun 2004, 2007
dan 2011 di kota yang sama, proporsi penasun yang berbagi jarum cenderung turun.
A. Pengkajian
1. Biologis
a. Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun
kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik
akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan
luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi
dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC).
Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian
sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya
masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse
transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada
inti yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun
kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli.
Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA
pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan
masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus
disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit
CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4
mengalami sitolisis (Stewart, 1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk
dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama
monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta,
sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel
langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah
encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis (Stewart,
1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut
biasanya baru disadari pasien.
Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan.
Pasien yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan
gejala selama bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel
CD4+ mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi
menjadi sekitar 200 – 300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart,
1997).
2. Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
a. Shock (kaget, goncangan batin) Merasa bersalah, marah, tidak berdaya
Rasa takut, hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out
b. Mengucilkan diri, Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi orang lain, murung
c. Membuka status secara terbatas, Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan
stres, ingin dicintai Penolakan, stres, konfrontasi
d. Mencari orang lain yang HIV positif Berbagi rasa, pengenalan,
kepercayaan, penguatan, dukungan sosial Ketergantungan, campur
tangan, tidak percaya pada pemegang rahasia dirinya
e. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus,
perbedaan menjadi hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya
Ketergantungan, dikotomi kita dan mereka (sema orang dilihat sebagai
terinfeksi HIV dan direspon seperti itu), over identification
f. Perilaku mementingkan orang lain Komitmen dan kesatuan kelompok,
kepuasan memberi dan berbagi, perasaan sebagi kelompok Pemadaman,
reaksi dan kompensasi yang berlebihan
g. Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri,
keseimbangan antara kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa
menyebutkan kondisi seseorang Apatis, sulit berubah.
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler „Ross (1974)
menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu.
a. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan
karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan
mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap
sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.”
Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan
pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan
laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat
yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok tampak
menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk
menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat
sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi
kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi,
maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara
karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan
mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul
penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah
perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut,
cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau
bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian
dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak,
yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini akan
menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien
akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai
timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan,
meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi
akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau
berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan
marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara
konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan
keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya,
tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu
untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam
keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit
(Netty, 1999). e) Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya
waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang
menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai
seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang
cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak
membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu
memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996).
Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang
kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel.
Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat
terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori adaptasi dari
Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
3. Sosial
Interaksi social
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan
karabat/orang terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk
mengungkapkannya pada orang lain, takut akan penolakan/kehilangan
pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan yang
meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri,
tidak mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.
4. Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan
Kauman & Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan
sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat
orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada
pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan
ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan
kepada pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang
dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud
dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus
menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan
selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati
dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang
kuat, akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut
biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat
menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau
mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al.
Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang
diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya.
5. Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini
dimana banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS
dari suaminya yang sering melakukan hubungan seksual selain dengan
istrinya. Hal ini disebabkan oleh budaya permisif yang sangat berat dan
perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai bargaining position (posisi
rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar perempuan tidak
memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi
masalah HIV /AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial
pencegahan HIV /AIDS, pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi
penderita HIV /AIDS yang tidak mampu. Selain itu adanya pemberian
pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar kematian dapat
dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS dapat
berperan sosial dengan baik dalam kehidupannya.
d. Mulut
Infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang yang
terinfeksi HIV. Dokter akan akan melakukan pemeriksaan mulut pada
setiap kunjungan. pemeriksakan gigi setidaknya dua kali setahun. Jika
Anda beresiko terkena penyakit gusi (penyakit periodontal), Anda perlu ke
dokter gigi Anda lebih sering.
f. Perut.
g. Kulit.
h. Ginekologi terinfeksi.
Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons), Ninuk Dian K, S.Kep.Ners, Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Terinfeksi HIV, Salemba Medika, Jakarta 2013
Adler, M. W. (1996). Petunjuk Penting AIDS. EGC. Jakarta. Arif Mansjoer. (2000). Kapita
Selekta Kedokteran. Media Aesculapiuus. Jakarta.