Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acquired Immune Deficuency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi
oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis (Vinay
Kumar,2007). Pengidap AIDS umumnya berada dalam situasi yang membuat
mereka merasakan menjelang kematian dalam waktu dekat. Situasi tersebut
mereka antisipasi secara khusus. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV,
sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial (hidup dalam
stress, depresi, merasa kurangnya dukungan social, dan perubahan perilaku
(Nasronudin, 2005).
Pada suatu studi longitudinal ditemukan hasil dimana jumlah CD4+
limfosit menurun 38% lebih besar pada penderita HIV yang tidak mengalami
depresi. Pada suatu studi longitudinal dilaporkan prevalensi depresi
meningkat dari 15-27% pada 36 bulan sebelum diagnosis AIDS hingga 34%
pada saat 6 bulan sebelum diagnosis AIDS dan 43% pada saat 6 bulan
sesudah diagnosis (Tandiono, 2007).
Penolakan terhadap diagnosis HIV akan membuat penderita jatuh
pada keadaan stress berkepanjangan dan berdampak pada penurunan
system imun, sehingga mempercepatprogresivitas HIV ke AIDS. Berdasarkan
pendekatan ilmu Psychoneuroimunology dapat dijelaskan, kondisi emosional
berupa penolakan dan stress yang dialami penderita terinfeksi HIV akan
memodulasi system imun melelui jalur Hipothalamus-Pituitary-Adenocorticol
(HPA) axis dan system limbic (control emosi dan Learning Process),
melepaskan neuroleptik Corticotropin Realising Factor (CRF). Counter
Regulasi ini mrningkatkan produksi dari kotekolamin, kortisol dan
argininvasopresin (AVP) (Nasronudin,  2005).
Motivasi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan seseorang baik
berupa motivasi ekstrinsik (dukungan orang tua, teman dan sebagainya)
maupun motivasi intrinsic (dari individu sendiri). Dukungan social
mempengaruhi kesehatan dan melindungi seseorang terhadap efek negative
stress berat (Nursalam, 2007). Perawat merupakan faktor yang mempunyai
peran penting pada pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan
mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi
dengan sakitnya dan pemberian dukungan sosial, berupa dukungan
emosional, informasi, dan material (Batuman, 1990; Bear, 1996; Folkman &
Lazarus, 1988).
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana cara pengkajian berdasarkan biologi?
2. Bagaimana cara pengkajian berdasarkan psikologi?
3. Bagaimana asuhan keperawatan HIV/AIDS yang meliputi pengkajian bio,
psiko, sosial,spiritual dan kultural?
4. Apa saja diagnosa keperawatan pada pasien HIV AIDS?
5. Apa aja pelaksanaanpada pasien HIV AIDS
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi HIV/AIDS


HIV ( Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan
AIDS. HIV termasuk keluarga virus retro yaitu virus yang memasukan materi
genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan cara infeksi dengan cara
yang berbeda (retro), yaitu dari RNA menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam
DNA sel tuan rumah, membentuk pro virus dan kemudian melakukan replikasi.
Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih
yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia
yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan  penyakit walaupun yang
sangat ringan sekalipun. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi
tempat  berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak
dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan
tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak
memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia akibat terkena
pilek biasa.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan dampak atau efek
dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV
membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan
sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya
sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih
yang banyak dirusak oleh Virus HIV.

Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi
AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS
yang mematikan. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat
menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS.

2.2 Cara Penularan HIV

HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa seperti
jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan  peralatan
makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau
WC/Jamban yang sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA).

Cara penularan HIV  ada tiga :

1. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, ataupun anal dengan


seorang pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi,. Lebih
mudah terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan
ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Resiko pada seks anal
lebih besar disbanding seks vaginal dan resiko juga lebih besar pada
yang reseptive dari pada yang insertive.

2. Kontak langsung dengan darah / produk darah / jarum suntik.


a) Transfusi darah yang tercemar HIV
b) Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik
dan sempritnya pada para pencandu narkotik suntik.
c) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas
kesehatan.

3. Secara vertical dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik
selama hamil, saat melahirkan ataupun setelah melahirkan.

2.3 Tanda dan Gejala pengidap HIV/AIDS

Gejala AIDS beraneka ragam dan tergantung pada manifestasi khusus


penyakit tersebut. Sebagai contoh, pasien AIDS dengan infeksi paru dapat
mengalami demam dan keluar keringat malam sementara pasien tumor kulit akan
menderita lesi kulit. Gejala non spesifik pada pasien AIDS mencakup rasa letih yang
mencolok, pembengkakan kelenjar leher, ketiak serta lipat paha, penurunan berat
badan yang tidak jelas sebabnya dan diare yang berlarut-larut.
Karena gejala-gejala yang belakangan ini dapat dijumpai pada banyak kondisi
lainnya, maka hanya kalau kondisi ini sudah disingkirkan dan gejala tersebut tetap
ada, barulah diagnosis AIDS di pertimbangkan, khususnya pada orang-orang yang
bukan termasuk kelompok resiko tinggi.

Berikut Tanda dan Gejala klinis penderita AIDS :


1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari1 bulan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis
5. Dimensia/HIV ensefalopati.

2.4 Sejarah HIV


1. Periode Awal (1987 – 1996)

Berawal dari penemuan kasus AIDS pertamakali di Indonesia tahun 1987.


Dalam kurun waktu 10 tahun sejak AIDS pertama kali ditemukan, pada akhir 1996
jumlah kasus HIV positif mencapai 381 dan 154 kasus AIDS. Kasus AIDS mendapat
respon dari pemerintah setelah seorang pasien berkebangsaan Belanda meninggal
di Rumah Sakit Sanglah Bali. Kasus ini dilanjutkan dengan pelaporan kasus ke
WHO sehinga Indonesia adalah negara ke 13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS
ditahun 1987. Sebenarnya pada tahun 1985, sudah ada pasien Rumah Sakit Islam
Jakarta yang diduga menderita AIDS. Oleh karena kasus pertama kali ditemukan
pada seorang homoseksual, ada dugaan bahwa pola penyebaran AIDS di Indonesia
serupa dengan di negara-negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, gejala AIDS
ini ditemukan pada pasien-pasien yang memiliki latar belakang sebagai sebagai
Pekerja Seks Perempuan (WPS) serta pelanggannya.

Penyebaran HIV di Indonesia memiliki dua pola setelah masuk pada tahun
1987 sampai dengan 1996. Pada awalnya hanya muncul pada kelompok
homoseksual. Pada tahun 1990, model penyebarannya melalui hubungan seks
heteroseksual. Prosentase terbesar pengidap HIV AIDS ditemukan pada kelompok
usia produktif (15-49 tahun): 82,9%, sedangkan kecenderungan cara penularan
yang paling banyak adalah melalui hubungan seksual berisiko (95.7%), yang terbagi
dari heteroseksual 62,6% dan pria homoseksual/biseksual 33,1%. (Stranas 1994).
Jumlah Kumulatif Kasus HIV dan AIDS menurut Faktor Resiko s/d Desember
1996

2. Periode 1997-2006

Hingga 31 Desember 2006, jumlah kumulatif ODHA yang dilaporkan


mencapai 13.424 kasus. Jumlah tersebut terdiri dari 5.230 kasus HIV dan 8.194
kasus AIDS. Selama 10 tahun, yaitu sejak tahun 1997-2006, jumlah kematian
karena AIDS mencapai 1.871 orang. Jumlah kasus AIDS yang ada yaitu 8.194
kasus, dapat dibedakan menurut jenis kelamin. Laki-laki dengan AIDS berjumlah
6.604 (82%), perempuan dengan AIDS berjumlah 1.529 (16%), dan 61 (2%) kasus
tidak diketahui jenis kelaminnya.i rasio kasus AIDS antara laki-laki dengan
perempuan aalah 4,3 : 1. Meskipun jumlah perempuan penderita HIV/AIDS lebih
sedikit, dampak pada perempuan akan selalu lebih besar, baik dalam masalah
kesehatan maupun sosial ekonomi. Perempuan lebih rentan tertular dan lebih
menderita akibat infeksi ini. Beberapa studi menunjukkan bahwa penularan HIV dari
laki-laki ke perempuan melalui hubungan seks adalah dua kali lipat dibandingkan
dari perempuan ke laki-laki.

Penularan pada perempuan akan berlanjut dengan penularan pada bayi pada
masa kehamilan. Risiko penularannya berkisar 15-40%. Selain itu bayi yang lahir
dari seorang ibu dengan HIV mungkin akan terinfeksi HIV sebelum, selama, atau
sesudah proses kelahirannya. Penularan juga dapat terjadi melalui Air Susu Ibu
(ASI). Pelaporan kasus AIDS HIV/AIDS pada tahun 1997 baru dilakukan oleh 22
propinsi, sedangkan pada tahun 2006 pelaporan kasus HIV/AIDS sudah mencapai
33 propinsi. Yang menarik adalah distribusi prevalensi kasus AIDS per 100.000
penduduk berdasarkan propinsi dimana Propinsi Papua menempati urutan pertama
(51,45) diikuti dengan DKI Jakarta (28.15). Hal ini terjadi karena kepadatan
penduduk Propinsi Papua lebih kecil dibanding dengan kepadatan penduduk DKI
Jakarta. Tampak bahwa peningkatan kasus AIDS di Propinsi Papua sangat tinggi
sampai tahun 2006. Selanjutnya, proporsi kasus AIDS terbanyak dilaporkan pada
kelompok umur 20-29 tahun yaitu sebanyak 54,76%. Disusul kelompok umur 30-39
tahun sebanyak 27,17% dan kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 7,90%. Dengan
demikian, sebagian besar kasus AIDS terjadi pada kelompok usia produktif yaitu 20-
49 tahun. Jumlahnya mencapai 7.369 kasus atau 89,93%.

Mencermati kasus pada periode ini adalah munculnya kasus AIDS pada bayi
atau anak kurang dari 15 tahun. Anak-anak dengan HIV/AIDS kemungkinan tertular
melalui ibunya saat kehamilan, persalinan ataupun saat pemberian ASI, transfusi
darah/komponen darah (misalnya pada penderita hemofilia) atau akibat pemaksaan
seksual oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, anak-anak juga
mempunyai risiko besar terinfeksi karena pengetahuan mereka tentang cara
penularan dan melindungi diri dari HIV sangat terbatas. Kasus AIDS menurut cara
penularannya yang dilaporkan sampai dengan 31 Desember 2006, ternyata paling
banyak terjadi melalui penggunaan NAPZA suntik (IDU), disusul penularan melalui
hubungan heteroseksual. Ke-4 cara penularan lainnya adalah melalui hubungan
homoseksual, transfusi darah, transmisi perinatal, dan penularan lain yang tidak
diketahui.

Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS menurut Faktor Risiko

Berdasarkan faktor risiko, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi karena


hubungan seksual berisiko yaitu pada pekerja seks komersial (PSK) beserta
langganannya dan kaum homoseksual. Berdasarkan Data Statistik Kasus HIV/AIDS
di Indonesia Tahun 1997, jumlah kasus AIDS kumulatif adalah 153 kasus dan HIV
positif sebanyak 466 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel.
Penularan sebesar 70% melalui hubungan seksual berisiko [i](Tabel 1)i.

Epidemi HIV meningkat secara nyata diantara pekerja seks (PS) pada tahun
2000. Epidemi ini bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Di Tanjung
Balai Karimun, Propinsi Riau misalnya, pada tahun 1995/1996 hanya ada 1% PS
dengan HIV, sedangkan tahun 2000 menjadi 8,38% PS dengan HIV. Prevalensi PS
dengan HIV di Merauke sebesar 26,5%, Jakarta Utara sebesar 3,36%, dan di Jawa
Barat sebesar 5,5%.iii

Jumlah Kumulatif Penularan HIV/AIDS karena Perilaku Seksual Berisiko PSK


beserta Pasangannya (Heteroseksual) sampai Desember 2005

Sampai akhir tahun 2005, jumlah kumulatif penularan HIV karena perilaku
seksual berisiko pada PSK beserta langganannya sebanyak 1.920 kasus.
Sedangkan, penularan AIDS berjumlah 3.302 kasus pada akhir tahun 2006. Pola
penularan HIV/AIDS juga ditemukan pada ibu rumahtangga, yaitu seorang ibu
rumahtangga yang sedang hamil diketahui terinfeksi HIV karena tertular dari
pasangannya. Bayi yang dilahirkan juga positif terinfeksi HIV. Inilah awal kasus
penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi. Pada tahun 1997, jumlah kumulatif HIV karena
transmisi perinatal sebanyak 3 kasus dan AIDS sebanyak 1 kasus (Tabel 1) i. Di
kelompok ibu hamil, di Propinsi Riau dan Papua, angka kejadian infeksi HIV sebesar
0,35% dan 0,25% sedangkan di DKI Jakarta sebesar 2,86% iii.

Selanjutnya, pada tahun 1999, ada fenomena baru dalam penularan


HIV/AIDS, yaitu infeksi HIV/AIDS pada pengguna napza suntik (penasun).
Penularan ini sangat cepat terjadi karena penggunaan jarum suntik bersama.
Jumlah penasun dengan HIV yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
(RSKO) Jakarta pada tahun 1999 sejumlah 18%, meningkat menjadi 40% pada
tahun 2000, dan 48% pada tahun 2001. Sedangkan pada tahun 2000, di Kampung
Bali di Jakarta ada 90% pengguna NAPZA suntik yang terinfeksi HIV iii. Data dari
Pusat Rehabilitasi Yakita Bogor menunjukkan bahwa jumlah penasun yang
menderita HIV tahun 1999 adalah 14 kasus dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 45 kasus (Grafik 9) iii.

Peningkatan Jumlah HIV karena Penggunaan Napza Suntik di Dua Pusat


Rehabilitasi (RSKO dan Yakita Bogor

Fakta bahwa penyebaran HIV terjadi sangat cepat dan mudah disebabkan
oleh penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian oleh pengguna
napza. Perilaku ini bukan hanya menyebarkan HIV tetapi juga mempercepat
penyebaran virus Hepatitis C.
Berdasarkan jenis kelamin, dari 4.118 kasus AIDS di tahun 2006, terdapat 3.807
kasus IDU pada laki-laki, sedangkan 274 kasus pada perempuan, dan sisanya 37
kasus tidak diketahui jenis kelaminnyai. Data menunjukkan bahwa pengguna napza
suntik paling banyak adalah pada usia 20-29 tahun. Jika ditambahkan dengan
penasun yang berusia 15-19, 30-39 dan 40-49, maka jumlahh kasus AIDS pada
penasun akan semakin meningkat pada usia produktif. Pengguna Napza suntik
terbanyak ada di 5 (lima) propinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Sumatera Utara.

Penularan HIV melalui jarum suntik justru lebih ‘efisien’ dibanding jalur seks.
Beberapa hal yang dapat mempercepat penularan HIV melalui jarum suntik
diantaranya adalah banyaknya teman yagn menyuntik bersama, berapa lama
menjadi penasun, frekuensi patungan, frekuensi menyuntik secara bersama, akses
untuk mendapatkan jarum bersih, pernah dipenjara dan menyuntik dipenjara, dan
mobilitas pengguna narkoba suntik atau menyuntik bersama di kota lain v.

Data prevalensi HIV pada waria di tahun 1997-206 sangat terbatas. Depkes
hanya memiliki data dari DKI Jakarta yaitu pada tahun 2002 yaitu dengan prevalensi
sebesar 21,7 . Namun, data dari Integrated Biological-Behavioral Surveilance (IBBS)
mencatat tentang hal ini. Waria adalah laki-laki yang mengganggap dirinya memiliki
identitas sebagai wanita disebut juga transgender atau transvestities. Penemuan
IBBS 2007 adalah tentang waria di 5 (lima) kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, dan Malang. Data perilaku diambil dari 5 kota tersebut, sedangkan data
biologi diambil dari tiga kota yaitu (Jakarta, Bandung, dan Surabaya). Estimasi
jumlah waria di Indonesia adalah 20.960 sampai 35.300 orang di tahun 2006.
Prevalensi HIV pada Waria di Jakarta tahun 1995-2007

Mayoritas Waria yaitu 80% di 4 kota tersebut dilaporkan menjual seks kepada
pelanggan laki-laki satu tahun terakhir. Rata-rata waria telah melakukannya selama
9 sampai 13 tahun. Tetapi sebanyak 40-50% waria memiliki pasangan regular
namun bukan pelanggan laki-laki pembeli jasa seks, yang mereka sebut “suami”.

Prevalensi HIV di penjara-penjara di Jakarta mulai meningkat pada tahun


1999, dan dua tahun kemudian terjadi peningkatan tajam terutama dikalangan IDU,
mencapai 25% pada 2002. Peningkatan ini juga mencerminkan bahwa besar
kemungkinan banyak IDU yang telah terinfeksi sebelum mereka masuk penjara.
Prevalensi HIV tertinggi pada narapidana di beberapa propinsi pada tahun 2000-
2005, adalah sebagai berikut:
Prevalensi HIV pada Narapidana di Beberapa Provinsi tahun 2000-2005

Terdapat bukti bahwa penularan HIV juga terjadi di dalam penjara. Data
surveilans dari sebuah penjara di Jawa Barat telah menunjukkan bahwa prevalensi
HIV melonjak dari 1% pada 1999 menjadi 21%, kemudian “jatuh” tajam ke 5% di
tahun 2002. “Penurunan” pada 2002 ternyata hanyalah tidak menunjukkan
gambaran yang sebenarnya, meskipun mencerminkan perubahan pada metode
pengambilan sampel: hanya narapidana yang baru masuk yang dites HIV. Ketika
pada 2003 metode sampel acak kembali digunakan hasilnya adalah tingkat
prevalensi 21%. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa HIV ditularkan di penjara, baik
melalui penyuntikan narkoba dengan menggunakan jarum yang tercemar ataupun
melalui hubungan seks anal tanpa menggunakan pelindung antar narapidana.

3. Periode 2007-2013

Pada akhir tahun 2007 diperkirakan 4,9 juta orang telah terinfeksi HIV di Asia.
Dari jumlah ini, 440.000 adalah orang-orang dengan infeksi HIV baru, dimana
300.000 sudah meninggal. Meskipun cara penularan HIV bervariasi di Asia, epidemi
umumnya didorong oleh hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi HIV
dan tanpa menggunakan kondom, dan melalui jarum suntik. Lebih dari dua dekade
sejak kasus pertama HIV di Indonesia hingga saat ini telah terdapat 3.492 orang
meninggal akibat penyakit ini. Dari 11.856 kasus yang dilaporkan pada tahun 2009,
6962 diantaranya berusia produktif (< 30 tahun), termasuk 55 orang bayi di bawah 1
tahun. Kasus yang tinggi terkonsentrasi pada kelompok berisiko termasuk penasun,
pekerja seks dan kliennya, pria homoseksual, dan bayi yang tertular melalui ibunya.
Pada tahun 2009 diperkirakan jumlah ODHA meningkat menjadi 333.200 orang,
yang 25% diantaranya adalah perempuan. Angka ini menunjukkan feminisasi
epidemi AIDS di Indonesia.

Hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) di Indonesia pada


tahun 2007 menunjukkan prevalensi HIV pada pekerja seks langsung sebesar
10.4%, 4.6% pada pekerja seks tidak langsung, sebesar 24.4% pada waria, 0.8%
pada pelanggan wanita pekerja seks, 5.2% pada Lelaki berhubungan Seks dengan
Lelaki (LSL), dan 52.4% pada pengguna jarum suntik. Dari Surveilans Terpadu
Biologis dan Perilaku yang dilakukan di Tanah Papua menegaskan bahwa
prevalensi HIV di antara populasi umum usia produktif (15 – 49 tahun) telah
mencapai 2,4%.

Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia pada WPS adalah 56% (WPSL) dan
49% (WPSTL). Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia rektal lebih tinggi ditemukan di
waria (43%) daripada LSL (33%). Secara keseluruhan prevalensi Gonore dan/atau
Klamidia tidak mengalami perubahan dibandingkan pada tahun 2007, termasuk di
daerah yang mendapatkan PPB.

Epidemi AIDS di Indonesia adalah salah satu yang paling cepat berkembang
di Asia. Kementrian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan bahwa tanpa
meningkatkan upaya pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan dari
masing-masing daerah jumlah ODHA diestimasikan naik menjadi 501.400 orang
pada 2014 dari 227.700 ditahun 2008.

Hasil STBP tahun 2011 menunjukan bahwa prevalensi HIV tertinggi terdapat
di kelompok penasun (36%), lalu diikuti kelompok waria, WPSL, LSL, narapidana,
WPSTL, dan pria risti. Pola tersebut hampir sama dengan STBP 2007. Bila
dibandingkan dengan 2007, prevalensi HIV di WPSL, WPSTL, pria risti dan waria
tidak mengalami perubahan. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi di kelompok
LSL yaitu meningkat 2-3 kalinya. Sementara itu, pada kelompok penasun mengalami
penurunan sebesar 10% (Jakarta) sampai dengan 20% (Medan). STBP 2011
melakukan pengukuran prevalensi IMS yaitu Sifilis, Klamidia, dan Gonore.
Prevalensi Sifilis tertinggi pada kelompok Waria (25%). Dibandingkan dengan tahun
2007, prevalensi Sifilis mengalami penurunan pada kelompok WPSL dan WPSTL (4-
8 kali), kelompok waria (20%) dan pria risti (3%). Penurunan tersebut terutama
terjadi di lokasi-lokasi yang mendapatkan program Pengobatan Presumtif Berkala
(PPB). Hal yang berbeda terjadi pada kelompok LSL dimana prevalensi Sifilis
meningkat 2-5 kali dibanding tahun 2007.

Penggunaan kondom secara konsisten pada seks berisiko masih rendah. Bila
dibandingkan dengan seluruh kelompok sasaran, perilaku penggunaan kondom
secara konsisten di waria paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Bila
dibandingkan dengan tahun 2007, penggunaan kondom secara konsisten saat
melakukan seks berisiko di setiap kelompok sasaran cenderung tidak banyak
mengalami perubahan, kecuali pada waria terjadi penurunan dan pada WPSL terjadi
peningkatan.

Bila dibandingkan dengan data 2007 di daerah yang sama, proporsi kelompok
sasaran selain penasun yang pernah menggunakan napza suntik cenderung tetap.
Hal tersebut harus mendapatkan perhatian karena napza suntik dapat menjadi
media penularan HIV yang efektif dan dapat melipatgandakan risiko terkena HIV
pada kelompok risiko tinggi di luar penasun. Proporsi berbagi jarum tertinggi
terdapat di Jakarta (27%) dan terendah di Medan (7%). Perilaku berbagi jarum
dipengaruhi oleh tingkat pengetahun komprehensif tentang HIV-AIDS, dan frekuensi
dikontak oleh petugas lapangan. Bila dibandingkan dengan data tahun 2004, 2007
dan 2011 di kota yang sama, proporsi penasun yang berbagi jarum cenderung turun.

TB merupakan infeksi oportunistik terbesar pada penderita HIV dan AIDS,


yang pada tahun 2010 diestimasikan prevalensi HIV di antara kasus TB adalah 3,3
% dalam skala nasional. Di Papua, berdasarkan hasil survei seroprevalensi pada
tahun 2008, angka kejadian TB dari pasien ODHA mencapai 14%.

2.1 Kecenderungan Epidemi ke Depan

KPAN dan Kementerian Kesehatan membuat perkiraaan dengan sistem


permodelan.  Kecenderungan epidemi HIV ke depan dengan pemodelan
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penularan HIV saat ini dan
perubahannya ke depan. Proses pemodelan tersebut menggunakan data
demografi , perilaku dan epidemiologi pada populasi kunci. Dari hasil proyeksi
diperkirakan akan terjadi hal-hal berikut:
1. Peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari 0,21% pada
tahun 2008 menjadi 0,4% di tahun 2014
2. Peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada perempuan, sehingga akan
berdampak meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak.
3. Peningkatan infeksi baru yang signifi kan pada seluruh kelompok LSL
4. Perlu adanya kewaspadaan terhadap potensi meningkatnya infeksi baru pada
pasangan seksual (intimate partner) dari masing-masing populasi kunci
5. Peningkatan jumlah ODHA dari sekitar 404.600 pada tahun 2010 menjadi
813.720 pada tahun 2014. Peningkatan kebutuhan ART dari 50.400 pada
tahun 2010 menjadi 86.800 pada tahun 2014 vii. Meningkatnya jumlah ODHA
yang memerlukan ART, di atas akan lebih meningkat jika ada kebijakan
perubahan kriteria CD4 dalam penetapan kebutuhan ART, misalnya dari 200
menjadi 350.

A. Pengkajian
1. Biologis
a. Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut
limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun
kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik
akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan
luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi
dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC).
Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian
sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya
masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse
transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada
inti yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun
kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli.
Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA
pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja,
2000).
Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan
masuk ke inti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus
disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit
CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4
mengalami sitolisis (Stewart, 1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk
dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama
monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta,
sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel- sel epitel pada usus, dan sel
langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah
encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis (Stewart,
1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut
biasanya baru disadari pasien.
Setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan.
Pasien yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan
gejala selama bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel
CD4+ mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi
menjadi sekitar 200 – 300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart,
1997).

2. Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
a. Shock (kaget, goncangan batin) Merasa bersalah, marah, tidak berdaya
Rasa takut, hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out
b. Mengucilkan diri, Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri, Khawatir
menginfeksi orang lain, murung
c. Membuka status secara terbatas, Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan
stres, ingin dicintai Penolakan, stres, konfrontasi
d. Mencari orang lain yang HIV positif Berbagi rasa, pengenalan,
kepercayaan, penguatan, dukungan sosial Ketergantungan, campur
tangan, tidak percaya pada pemegang rahasia dirinya
e. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus,
perbedaan menjadi hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya
Ketergantungan, dikotomi kita dan mereka (sema orang dilihat sebagai
terinfeksi HIV dan direspon seperti itu), over identification
f. Perilaku mementingkan orang lain Komitmen dan kesatuan kelompok,
kepuasan memberi dan berbagi, perasaan sebagi kelompok Pemadaman,
reaksi dan kompensasi yang berlebihan
g. Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri,
keseimbangan antara kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa
menyebutkan kondisi seseorang Apatis, sulit berubah.
Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler „Ross (1974)
menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu.
a. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan
karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan
mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap
sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.”
Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan
pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan
laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat
yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok tampak
menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk
menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat
sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi
kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi,
maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara
karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan
mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya.
Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul
penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah
perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut,
cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau
bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian
dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak,
yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini akan
menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien
akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai
timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan,
meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi
akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau
berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan
marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara
konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan
keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya,
tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu
untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam
keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit
(Netty, 1999). e) Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya
waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang
menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai
seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang
cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak
membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu
memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996).
Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang
kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel.
Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat
terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori adaptasi dari
Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
3. Sosial
Interaksi social
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan
karabat/orang terdekat, teman, pendukung rasa takut untuk
mengungkapkannya pada orang lain, takut akan penolakan/kehilangan
pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan yang
meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri,
tidak mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.
4. Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan
Kauman & Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan
sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat
orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada
pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan
ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan
kepada pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang
dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud
dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus
menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan
selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati
dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang
kuat, akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut
biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat
menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau
mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan
memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al.
Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang
diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam
kehidupannya.
5. Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini
dimana banyak ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS
dari suaminya yang sering melakukan hubungan seksual selain dengan
istrinya. Hal ini disebabkan oleh budaya permisif yang sangat berat dan
perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai bargaining position (posisi
rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar perempuan tidak
memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi
masalah HIV /AIDS Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial
pencegahan HIV /AIDS, pemberian konseling dan pelayanan sosial bagi
penderita HIV /AIDS yang tidak mampu. Selain itu adanya pemberian
pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar kematian dapat
dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS dapat
berperan sosial dengan baik dalam kehidupannya.

B. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik, Tanda dan Gejala


1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik HIV dilakukan oleh dokter untuk mengetahui kondisi
kesehatan pasien saat ini. Pemeriksaan HIV meliputi antara lain:
a. Suhu
Demam umum pada orang yang terinfeksi HIV, bahkan bila tidak ada
gejala lain. Demam kadang-kadang bisa menjadi tanda dari jenis penyakit
infeksi tertentu atau kanker yang lebih umum pada orang yang
mempunyai sistem kekebalan tubuh lemah . Dokter akan memeriksa suhu
Anda pada setiap kunjungan.
b. Berat.
Pemeriksaan berat badan dilakukan pada setiap kunjungan. Kehilangan
10% atau lebih dari berat badan Anda mungkin akibat dari sindrom
wasting, yang merupakan salah satu tanda-tanda AIDS , dan yang paling
parah Tahap terakhir infeksi HIV. Diperlukan bantuan tambahan gizi yang
cukup jika Anda telah kehilangan berat badan.
c. Mata.
Cytomegalovirus (CMV) retinitis adalah komplikasi umum AIDS. Hal ini
terjadi lebih sering pada orang yang memiliki CD4 jumlah kurang dari 100
sel per mikroliter (MCL). Termasuk gejala floaters, penglihatan kabur, atau
kehilangan penglihatan. Jika terdapat gejala retinitis CMV, diharuskan
memeriksakan diri ke dokter mata sesegera mungkin. Beberapa dokter
menyarankan kunjungan dokter mata setiap 3 sampai 6 bulan jika jumlah
CD4 anda kurang dari 100 sel per mikroliter (MCL).

d. Mulut
Infeksi Jamur mulut dan luka mulut lainnya sangat umum pada orang yang
terinfeksi HIV. Dokter akan akan melakukan pemeriksaan mulut pada
setiap kunjungan. pemeriksakan gigi setidaknya dua kali setahun. Jika
Anda beresiko terkena penyakit gusi (penyakit periodontal), Anda perlu ke
dokter gigi Anda lebih sering.

e. Kelenjar getah bening


Pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) tidak selalu disebabkan
oleh HIV. Pada pemeriksaan kelenjar getah bening yang semakin
membesar atau jika ditemukan ukuran yang berbeda, Dokter akan
memeriksa kelenjar getah bening Anda pada setiap kunjungan.

f. Perut.

Pemeriksaan abdomen mungkin menunjukkan hati yang membesar


(hepatomegali) atau pembesaran limpa (splenomegali). Kondisi ini dapat
disebabkan oleh infeksi baru atau mungkin menunjukkan kanker. Dokter
akan melakukan pemeriksaan perut pada kunjungan setiap atau jika Anda
mengalami gejala-gejala seperti nyeri di kanan atas atau bagian kiri atas
perut Anda.

g. Kulit.

Kulit merupakan masalah yang umum untuk penderita HIV. pemeriksaan


yang teratur dapat mengungkapkan kondisi yang dapat diobati mulai
tingkat keparahan dari dermatitis seboroik dapat sarkoma Kaposi . Dokter
akan melakukan pemeriksaan kulit setiap 6 bulan atau kapan gejala
berkembang.

h. Ginekologi terinfeksi.

Perempuan yang HIV-memiliki lebih serviks kelainan sel daripada wanita


yang tidak memiliki HIV. Perubahan ini sel dapat dideteksi dengan tes
Pap. Anda harus memiliki dua tes Pap selama tahun pertama setelah
anda telah didiagnosa dengan HIV. Jika kedua pemeriksaan Pap Smear
hasilnya normal, Anda harus melakukan tes Pap sekali setahun. Anda
mungkin harus memiliki tes Pap lebih sering jika Anda pernah memiliki
hasil tes abnormal.

Pemeriksaan fisik secara menyeluruh akan memberikan informasi tentang


keadaan kesehatan Anda saat ini. Pada Pemeriksaan selanjutnya dokter
akan menggunakan informasi ini untuk melihat apakah status kesehatan
Anda berubah.

2. Tanda dan gejala


Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala y
aitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
a. Gejala mayor:
1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
5) Demensia/ HIV ensefalopati
b. Gejala minor:
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis generalisata
3) Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
4) Kandidias orofaringeal
5) Herpes simpleks kronis progresif
6) Limfadenopati generalisata
7) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
8) Retinitis virus Sitomegalo

C. Penatalaksanaan Pasien Dengan HIV/AIDS


Penatalaksanaan HIV -AIDS pada dasarnya meliputi aspek Medis Klinis,
Psikologis dan Aspek Sosial.
1. Aspek Medis meliputi :
a. Pengobatan Suportif.
Penilaian gizi penderita sangat perlu dilakukan dari awal sehingga
tidak terjadi hal hal yang berlebihan dalam pemberian nutrisi atau terjadi
kekurangan nutrisi yang dapat menyebabkan perburukan keadaan
penderita dengan cepat. Penyajian makanan hendaknya bervariatif
sehingga penderita dapat tetap berselera makan. Bila nafsu makan
penderita sangat menurun dapat dipertimbangkan pemakaian obat
Anabolik Steroid.
Proses Penyedian makanan sangat perlu diperhatikan agar pada saat
proses tidak terjadi penularan yang fatal tanpa kita sadari. Seperti
misalnya pemakaian alat-alat memasak, pisau untuk memotong daging
tidak boleh digunakan untuk mengupas buah, hal ini di maksudkan untuk
mencegah terjadinya penularan Toksoplasma, begitu juga sebaliknya
untuk mencegah penularan jamur.

b. Pencegahan dan pengobatan infeksi Oportunistik.


Meliputi penyakit infeksi Oportunistik yang sering terdapat pada penderita
infeksi HIV dan AIDS.
1) Tuberkulosis
Sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali. Dosis INH
300 mg setiap hari dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk masa satu
tahun.
2) Toksoplasmosis
Sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak terutama
daging yang kurang matang. Obat :  TMP-SMX  1 dosis/hari.
3) CMV
Virus ini dapat menyebabkan Retinitis dan dapat menimbulkan
kebutaam. Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran cernak
yang dapat menyebabkan luka pada usus. Obat  :  Gansiklovir kapsul
1 gram tiga kali sehari.
4) Jamur
Jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah
jamur Kandida. Obat  :  Nistatin  500.000 u per hari Flukonazol 100
mg per hari.

c. Pengobatan Antiretroviral (ARV)


1) Jangan gunakan obat tunggal atau 2 obat.
2) Selalu gunakan minimal kombinasi 3 ARV disebut “HAART” (Highly
Active Anti Retroviral therapy).
3) Kombinasi ARV lini pertama pasien naïve (belum pernah pakai ARV
sebelumnya) yang dianjurkan : 2NRTI + 1 NNRTI.
2. Aspek Psikologis, meliputi :
a. Perawatan personal dan dihargai.
b. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-masalahnya.
c. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya.
d. Tindak lanjut medis.
e. Mengurangi penghalang untuk pengobatan.
f. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
3. Aspek Sosial.
a. Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk dukungan
dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3 hal:
b. Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan.
c. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
d. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang
dalam mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007).
e. Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau
kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan
sumber dukungan sosial yang paling penting. House (2006) membedakan
empat jenis dimensi dukungan social :
f. Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap pasien
dengan HIV AIDS yang bersangkutan
g. Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu
dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain
h. Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman uang,
kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk pengobatannya
i. Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons), Ninuk Dian K, S.Kep.Ners, Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Terinfeksi HIV, Salemba Medika, Jakarta 2013

Nursalam, S.Kep.Ners dkk, Jurnal Keperawatan edisi bulan November,Fakultas


Keperawatan Universitas Airlangga 2007

Adler, M. W. (1996). Petunjuk Penting AIDS. EGC. Jakarta. Arif Mansjoer. (2000). Kapita
Selekta Kedokteran. Media Aesculapiuus. Jakarta.

Diagnosa nanda nic-noc, 2010.

Anda mungkin juga menyukai