Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu Linguistik sampai saat ini masih dianggap sulit oleh sebagian besar manusia. Padahal Ilmu Linguistik
bersifat umum yang hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada
umumnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Ilmu Linguistik umum merupakan media
komunikasi penting yang bersifat komunikatif.

Banyak yang beranggapan bahwa Ilmu Linguistik itu sulit dan perlu segera ditepis. Masalahnya sekarang,
sampai saat ini panduan Ilmu Linguistik umum yang benar-benar dan detai masih sangat sulit untuk
ditemukan. Padahal buku jenis Ilmu Linguistik akan sangat membantu para penulis pemula untuk mulai
mengasah kemampuan.

Problematika diatas perlu segera dipecahkan, salah satu langka yang dapat ditempuh adalah menyajikan
makalah tentang ke Ilmuan Linguistik Umum.. Secara umum makalah ini dapat dikategorikan kedalam
bagian besar yakni begian awal berupa pembahasan objek keilmuan Linguistik dalam bahasa dan bagian
akhir yang membahasa tatanan dan sejarah Linguistik. serta menyajikan tatanan sejarah keilmuan
Linguistik sampai saat ini belum banyak ditemukan.

B. Rumusan Masalah

a. Apakah hakikat bahasa dan hakikat linguistik?

b. Bagaimanakah prinsip-prinsip fonologi dan morfologi?

c. Bagaimanakah prinsip sintaksis dalam menjelaskan gejala sintaksis suatu bahasa?

d. Bagaimanakah prinsip semantik dalam menerangkan gejala makna satuan bahasa?

e. Bagaimanakah prinsip wacana dalam menjelaskan gejala kewacanaan suatu bahasa

f. Bagaimanakah prinsip-prinsip sosiolinguistik?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:

a. Hakikat bahasa dan hakikat linguistik;

b. Prinsip-prinsip fonologi dan morfologi;

c. Prinsip sintaksis dalam menjelaskan gejala sintaksis suatu bahasa;


d. Prinsip semantik dalam menerangkan gejala makna satuan bahasa;

e. Prinsip wacana dalam menjelaskan gejala kewacanaan suatu bahasa;

f. Prinsip-prinsip sosiolinguistik

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Bahasa Dan Hakikat Linguistik

Sesungguhnya, para penyelidik hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan tunggal tentang asal-
usul bahasa. Diskusi tentang asal-usul bahasa sudah dimulai ratusan tahun lalu, Malahan masyarakat
linguistik Perancis pada tahun 1866 sempat melarang mendiskusikan asal-usul bahasa. Menurut mereka
mendiskusikan hal tersebut tidak bermanfaat, tidak ada artinya karena hanya bersifat
spekulasi.Penelitian Antropologi telah membuktikan bahwa kebanyakan kebudayaan primitif meyakini
keterlibatan Tuhan atau Dewa dalam permulaan sejarah berbahasa. Teori-teori ini dikenal dengan istilah
divine origin (teori berdasarkan kedewaan/kepercayaan) pada pertengahan abad ke-18. Namun teori-
teori tersebut tidak bertahan lama. Teori yang agak bertahan adalah Bow-wow theory, disebut juga
onomatopoetic atau echoic theory Menurut teori ini kata-kata yang pertama kali adalah tiruan terhadap
bunyi alami seperti nyanyian ombak, burung, sungai, suara guntur, dan sebagainya. Ada pula teori lain
yang disebut Gesture theory yang menyatakan bahwa isyarat mendahului ujaran.Teori-teori yang lahir
dengan pendekatan modern tidak lagi menghubungkan Tuhan atau Dewa sebagai pencipta bahasa.
Teori-teori tersebut lebih memfokuskan pada anugerah Tuhan kepada manusia sehingg dapat
berbahasa. Para ahli Antropologi menyoroti asal-usul bahasa dengan cara menghubungkannya dengan
perkembangan manusia itu sendiri.

Dari sudut pandang para antropolog disimpulkan bahwa manusia dan bahasa berkembang bersama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia menjadi homo sapiens juga mempengaruhi
perkembangan bahasanya. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa pada manusia berkembang sejalan
dengan proses evolusi manusia. Perkembangan otak manusia mengubah dia dari agak manusia menjadi
manusia sesungguhnya. Hingga akalnya manusia mempunyai kemampuan berbicara. Pembicaraan
tentang asal-usul bahasa dapat dibicarakan dari dua pendekatan, pendekatan tradisional dari modern
para ahli dari beberapa disiplin ilmu masing-masing mengemukakan pandangannya dengan berbagai
argumentasi. Diskusi tentang hal ini hingga sekarang belum menemukan kesepakatan, pendapat mana
dan pendapat siapa yang paling tepat.

Banyak definisi tentang konsep bahasa yang dinyatakan para ahli bahasa. Pada umumnya definisi
tersebut berpendapat bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang bersifat arbitrer dan konvensional,
merupakan lambang bunyi. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai

ciri-ciri bahasa, yaitu (1) bahasa itu adalah sebuah sistem, (2) bahasa itu berwujud lambang, (3) bahasa
itu berupa bunyi, (4) bahasa itu bersifat arbitrer, (5) bahasa itu bermakna, (6) bahasa itu bersifat
konvensional, (7) bahasa itu bersifat unik, (8) bahasa itu bersifat universal, (9) bahasa itu bersifat
produktif, (10) bahasa itu bervariasi, (11) bahasa itu bersifat dinamis, (12) bahasa itu bersifat manusiawi.

Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua yang berarti bahasa. Orang
yang ahli dalam ilmu linguistik disebut linguis. Ilmu linguistik sering juga disebut linguistik umum
(general linguistic) karena tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja. Ferdinand de Saussure seorang
sarjana Swiss dianggap sebagai pelopor linguistik modern. Bukunya yang terkenal adalah Cours de
Linguistique Generale (1916). Buku tersebut dianggap sebagai dasar linguistik modern. Beberapa istilah
yang digunakan olehnya menjadi istilah yang digunakan dalam linguistik. Istilah tersebut adalah langue,
language, dan parole.

Langue mengacu pada suatu sistem bahasa tertentu yang ada dalam benak seseorang yang disebut
competence oleh Chomsky. Langue ini akan muncul dalam bentuk parole, yaitu ujaran yang diucapkan
atau yang didengar oleh kita. Jadi, parole merupakan performance dari langue. Parole inilah yang dapat
diamati langsung oleh para linguis. Sedangkan language adalah satu kemampuan berbahasa yang ada
pada setiap, manusia yang sifatnya pembawaan. Pembawaan ini pun harus dikembangkan melalui
stimulus-stimulus. Jika dikaitkan dengan istilah-istilah dari Ferdenand de Saussure, maka yang menjadi
objek dalam linguistik adalah hal-hal yang dapat diamati dari bahasa yakni parole dan yang
melandasinya yaitu langue.

Bagi linguis, pengetahuan yang luas tentang linguistik tentu akan sangat membantu dalam
menyelesaikan dan melaksanakan tugasnya. Seorang linguis dituntut untuk dapat menjelaskan berbagai
gejala bahasa dan memprediksi gejala berikutnya. Bagi peneliti, kritikus, dan peminat sastra, linguistik
akan membantu mereka dalam memahami karya-karya sastra dengan lebih baik. Bagi guru bahasa
pengetahuan tentang seluruh subdisiplin linguistik fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) akan
sangat diperlukan. Sebagai guru bahasa, selain dituntut untuk mampu berbahasa dengan baik dan benar
mereka juga dituntut untuk dapat menjelaskan masalah dan gejala-gejala bahasa. Pengetahuan tentang
linguistik akan menjadi bekal untuk melaksanakan tugas tersebut.

Bagi penyusun kamus, pengetahuan tentang linguistik akan sangat membantu dalam menjalankan
tugasnya. Penyusun kamus yang baik harus dapat memahami fonem-fonem bahasa yang akan
dikamuskan, penulisan fonem tersebut, makna seluruh morfem yang akan dikamuskan, dan sebagainya.
Para penyusur buku pelajaran tentu banyak membutuhkan konsep-konsep linguistik dalam benaknya.
Buku pelajaran yang akan disusun harus menggunakan kalimat yang sesuai dengan tingkat pemahaman
siswa yang akan membaca buku tersebut. Di samping itu mereka harus mampu menyajikan materi
dengan kosakata dan kalimat yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Linguistik akan sangat
bermanfaat bagi mereka.

Sebagai sebuah gejala yang kompleks, bahasa dapat diamati atau dikaji dari berbagai segi. Hal ini
melahirkan berbagai cabang linguistik. Berdasarkan segi keluasan objek kajiannya, dapat dibedakan
adanya linguistik umum dan linguistik khusus. Berdasarkan segi keluasan objek kajiannya, dapat
dibedakan adanya linguistik sinkronik dan diakronik. Berdasarkan bagian-bagian bahasa mana yang
dikaji, dapat dibedakan adanya linguistik mikro dan makro yang sering juga diistilahkan dengan
mikrolinguistik dan makrolinguistik. Berdasarkan tujuannya, dapat dibedakan antara linguistik teoritis
dan linguistik terapan. Berdasarkan alirannya, linguislik dapat diklasifikasikan atas linguistik tradisional,
linguistik struktural, linguistik trasformasional, linguistik generatif, linguistik relasional, dan linguistik
sistemik. Di samping cabang-cabang linguistik di atas, Verhaar juga memasukkan pembahasan fonetik
dan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik sebagai cabang linguistik.

Sejarah linguistik yang sangat panjang telah melahirkan berbagai aliran-aliran linguistik yang pada
akhirnya mempengaruhi pengajaran bahasa. Masing-masing aliran tersebut memiliki pandangan yang
berbeda-beda tentang bahasa sehingga melahirkan berbagai tata bahasa.

Aliran tradisional telah melahirkan sekumpulan penjelasan dan aturan tata bahasa yang dipakai kurang
lebih selama dua ratus tahun lalu. Menurut para ahli sejarah, tata bahasa yang dilahirkan oleh aliran ini
merupakan warisan dari studi preskriptif (abad ke 18). Studi preskriptif adalah studi yang pada
prinsipnya ingin merumuskan aturan-aturan berbahasa yang benar.

Sejak tahun 1930-an sampai akhir tahun 1950-an aliran linguistik yang paling berpengaruh adalah aliran
struktural. Tokoh linguis dari Amerika yang dianggap berperan penting pada era ini adalah Bloomfield.
Linguistik Bloomfield berbeda dari yang lain. Dia melandasi teorinya berdasarkan psikologi
behaviorisme. Menurut Behaviorisme ujaran dapat dijelaskan dengan kondisi-kondisi eksternal yang ada
di sekitar kejadiannya. Kelompok Bloomfield menyebut teori ini mechanism, sebagai kebalikan dari
mentalism.

Bloomfield berusaha rnenjadikan linguistik sebagai suatu ilmu yang besifat empiris. Karena bunyi-bunyi
ujaran merupakan fenomena yang dapat diamati langsung maka ujaran mendapatkan perhatian yang
istimewa. Akibatnya, kaum strukturalis memberikan fokus perhatiannya pada fonologi, morfologi,
sedikit sekali pada sintaksis, dan sama sekali tidak pada semantik.

Tata bahasa tagmemik dipelopori oleh Kenneth L. Pike, Bukunya yang terkenal adalah Linguage in
Relation to a United Theory of The Structure of Human Behaviour (1954). Menurut aliran Ini, satuan
dasar dari sintaksis adalah tagmem (bahasa Yunani yang berarti susunan). Tagmem adalah korelasi
antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling
dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut.

Linguistik transformasi melahirkan tata bahasa Transformational Generative Grammar yang sering
disebut dengan istilah tata bahasa transformasi atau tata babasa generatif. Tokoh linguistik transformasi
yang terkenal adalah Noam Comsky dengan bukunya Syntactic Structure (1957). Buku tersebut terus
diperbaiki oleh Chomsky sehingga terlahir buku kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Sintax.

Chomsky menyatakan bahwa setiap tata bahasa dari suatu bahasa merupakan teori dari bahasa itu
sendiri. Syarat tata bahasa menurutnya adalah: Pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu
harus dapat diterima oleh pemakai bahwa tersebut sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.
Kedua, tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa sehingga satuan atau istilah yang
digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya harus sejajar dengan teori
linguistik tertentu (Chaer, 1994). Selain hal di atas konsep dari Chomsky yang populer hingga sekarang
adalah istilah dan competence, dan performance. Competence adalah pengetahuan yang dimiliki
pemakai bahasa mengenai bahasanya. Hal ini tersimpan dalam benak para pengguna bahasa. Sedangkan
performance adalah penggunaan suatu bahasa dalam keadaan real (situasi sesungguhnya). Kedua
konsep ini kiranya sejalan dengan konsep langue dan parole yang dikemukakan de Saussure.

Menurut teori semantik generatif, struktur sintaksis dan semantik dapat diteliti bersamaan karena
keduanya adalah satu. Struktur semantik ini serupa dengan logika, berupa ikatan tidak berkala antara
predikat dengan seperangkat argumen dalam suatu proposisi. Menurut teori ini argumen adalah segala
sesuatu yang dibicarakan, predikat adalah semua yang menunjukkan hubungan, perbuatan, sifat,
keanggotaan, dan sebagainva. Jadi, dalam menganalisis sebuah kalimat, teori ini berusaha untuk
menguraikannya lebih jauh sampai diperoleh predikat yang tidak dapat diuraikan lagi. Charles J. Fillmore
dalam buku The Case for Case tahun 1968 yang pertama kali memperkenalkan tata bahasa kasus. Dalam
bukunya ini Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan
adverbia; dan (2) proposisi terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus (Chaer, 1994).
Pengertian kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba dengan nomina. Verba di sini sama
dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif. Hanya
argumen dalam teori ini diberi label kasus. Dalam tata bahasa kasus dikenal istilah-istilah seperti agent
(pelaku), experiencer (pengalami), object (objek, yang dikenai perbuatan), source (keadaan, tempat,
waktu), goal (tujuan), dan referential (acuan).

1. Fonologi

Fonetik merupakan cabang ilmu linguistik yang meneliti dasar fisik bunyi-bunyi bahasa, tanpa
memperhatikan apakah bunyi tersebut berfungsi sebagai pembeda makna. Objek kajian fonetik adalah
fon. Fonemik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji bunyi bahasa sebagai pembeda makna. Objek
kajian fonemik adalah fonem.

Alat-alat ucap yang digunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa adalah paru-paru, pangkal
tenggorokkan, rongga kerongkongan, langit-langit lunak, langit-langit keras, gusi, gigi, bibir, dan lidah.
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna kata. Untuk
menetapkan apakah suatu bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan harus dicari pasangan
minimalnya.

Alofon merupakan realisasi sebuah fonem. Alofon dapat dilambangkan dalam wujud tulisan atau
transkripsi fonetik yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi, dan tandanya adalah […]. Grafem
merupakan pelambangan fonem ke dalam transkripsi ortografis, yaitu penulisan fonem-fonem suatu
bahasa menurut sistem ejaan yang berlaku pada suatu bahasa, atau penulisan menurut huruf dan ejaan
suatu bahasa.
Fonem dapat dibagi atas vokal dan konsonan. Pembedaan kedua fonem ini didasarkan ada tidaknya
hambatan pada alat bicara. Sebuah bunyi disebut vokal apabila tidak ada hambatan pada alat bicara.
Sebuah bunyi disebut konsonan apabila dibentuk dengan cara menghambat arus udara pada sebagian
alat bicara. Fonem yang berwujud bunyi disebut fonem segmental. Fonem dapat pula tidak berwujud
bunyi, tetapi merupakan tambahan terhadap bunyi yaitu tekanan, jangka, dan nada yang disebut ciri
suprasegmental atau fonem nonsegmental.

Asimilasi merupakan peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi lain sebagai akibat dari bunyi
yang ada di lingkungannya. Disimilasi yaitu perubahan dua buah fonem yang sama menjadi fonem yang
berlainan. Kontraksi adalah pemendekan bentuk ujaran yang ditandai dengan hilangnya sebuah fonem
atau lebih.

2. Morfologi

Morfologi atau tata kata adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk pembentukan kata.
Morfologi mengkaji seluk-beluk morfem, bagaimana mengenali sebuah morfem, dan bagaimana
morfem berproses membentuk kata.

Morfem adalah bentuk bahasa yang dapat dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil, yang
kemudian dapat dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecil lagi begitu seterusnya sampai ke bentuk
yang jika dipotong lagi tidak mempunyai makna. Morfem yang dapat berdiri sendiri dinamakan morfem
bebas, sedangkan morfem yang melekat pada bentuk lain dinamakan morfem terikat. Alomorf adalah
bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama. Morf adalah sebuah bentuk yang belum
diketahui statusnya.

Untuk menentukan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan, harus dibandingkan bentuk tersebut di
dalam kehadirannya dengan bentuk-bentuk lain. Morfem utuh yaitu morfem yang merupakan satu
kesatuan yang utuh. Morfem terbagi yaitu morfem yang merupakan dua bagian yang terpisah atau
terbagi karena disisipi oleh morfem lain.

Kata adalah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata dapat berwujud dasar yaitu terdiri atas satu
morfem dan ada kata yang berafiks. Kata secara umum dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok
yaitu verba, adjektiva, averbia, nomina, dan kata tugas.

Dalam bahasa Indonesia kita kenal ada proses morfologis; afiksasi, reduplikasi, komposisi, abreviasi,
metanalisis, dan derivasi balik. Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Di
dalam bahasa Indonesia dikenal jenis-jenis afiks yang dapat diklasifikasikan menjadi prefiks, infiks, sufiks,
simulfiks, konfiks, dan kombinasi afiks.

Reduplikasi merupakan pengulangan bentuk. Ada 3 macam jenis reduplikasi, yaitu reduplikasi fonologis,
reduplikasi morfemis, dan reduplikasi sintaktis. Reduplikasi juga dapat dibagi atas: dwipurwa, dwilingga,
dwilingga salin swara, dwiwasana, dan trilingga.
Pemajemukan atau komposisi adalah proses penghubungan dua leksem atau lebih yang membentuk
kata. Secara empiris ciri-ciri pembeda kata majemuk dari frasa adalah ketaktersisipan, ketakterluasan,
dan ketakterbalikan.

Abreviasi adalah proses penggalangan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem
sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Istilah lain untuk abreviasi ialah pemendekan,
sedangkan hasil prosesnya disebut kependekan. Bentuk kependekan itu dapat dibagi atas singkatan,
penggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf, derivasi balik adalah proses pembentukan kata
berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya.

3. Sintaksis

Secara etimologi, sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti dengan dan tattein yang
berarti menempatkan. Jadi, sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok
kata atau kalimat.

Dalam setiap bahasa ada seperangkat kaidah yang sangat menentukan apakah kata-kata yang
ditempatkan bersama-sama tersebut akan berterima atau tidak. Perangkat kaidah ini sering disebut
sebagai alat-alat sintaksis, yaitu urutan kata, bentuk kata, intonasi, dan konektor yang biasanya berupa
konjungsi.

Keunikan setiap bahasa berhubungan dengan alat-alat sintaksis ini. Ada bahasa yang lebih
mementingkan urutan kata daripada bentuk kata. Ada pula bahasa yang lebih mementingkan intonasi
daripada bentuk kata. Bahasa Latin sangat mementingkan bentuk kata daripada urutan kata. Sebaliknya,
bahasa Indonesia lebih mementingkan urutan kata.

Satuan Sintaksis dan Hubungan Antarsatuan Sintaksis

Sintaksis memiliki unsur-unsur pembentuk yang disebut dengan istilah satuan sintaksis. Satuan tersebut
adalah kata, frase, klausa, dan kalimat. Pembahasan kata dalam tataran sintaksis berbeda dengan
pembahasan kata pada tataran morfologi. Dalam tataran sintaksis, kata merupakan satuan terkecil yang
membentuk frase, klausa, dan kalimat. Oleh karena itu kata sangat berperan penting dalam sintaksis,
sebagai pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan sebagai perangkai satuan-satuan
sintaksis. Kata dapat dibedakan atas dua klasifikasi yaitu kata penuh dan kata tugas.

Frase biasa didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih dan tidak
memiliki unsur predikat. Unsur-unsur yang membentuk frase adalah morfem bebas. Berdasarkan
bentuknya, frase dapat dibedakan atas frase eksosentrik, frase endosentrik, dan frase koordinatif.
Klausa adalah satuan sintaksis berbentuk rangkaian kata-kata yang berkonstruksi predikatif. Di dalam
klausa ada kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat. Selain itu, ada pula kata atau frase yang
berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.

Kalimat adalah satuan sintaksis yang terdiri dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa,
dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan dan disertai intonasi final.

4. Analisis Sintaksi

Struktur kalimat dapat dianalisis dari tiga segi, yaitu segi fungsi, kategori, dan peran semantis.
Berdasarkan segi fungsi, struktur kalimat dapat terdiri atas unsur subjek, predikat, objek, pelengkap, dan
keterangan. Subjek biasanya didefinisikan sebagai sesuatu yang menjadi pokok, dasar, atau hal yang
ingin dikemukakan oleh pembicara atau penulis. Predikat adalah pernyataan mengenai subjek atau hal
yang berhubungan dengan subjek. Setelah predikat, biasanya diletakkan objek. Keberadaan objek sangat
tergantung pada predikatnya. Jika predikatnya berbentuk verba transitif maka akan muncul objek.
Namun, jika predikatnya berbentuk verba intransitif maka yang akan muncul kemudian adalah
pelengkap. Unsur selanjutnya adalah keterangan, yaitu unsur kalimat yang berisi informasi tambahan.
Informasi tersebut biasanya berhubungan dengan tempat, waktu, cara, dan sebagainya.

Kalimat dapat pula dianalisis berdasarkan kategorinya. Dalam tata bahasa tradisional, istilah kategori
sering disebut dengan istilah kelas kata. Dalam bahasa Indonesia ada empat kategori sintaksis utama,
yaitu:

a. Nomina atau kata benda,

b. Verba atau kata kerja,

c. Ajektiva atau kata sifat, dan

d. Adverbia atau kata keterangan.

Analisis yang ketiga adalah analisis sintaksis dari segi peran. Analisis ini berhubungan dengan semantis.
Suatu kata dalam konteks kalimat memiliki peran semantis tertentu. Beberapa pakar linguistik

menggunakan istilah yang berbeda untuk pembicaraan peran-peran dalam sintaksis, namun sebenarnya
substansinya sama.

5. Semantik

Semantik, baru banyak dibicarakan orang ketika Chomsky sebagai tokoh linguistik transformasi
mengungkapkan pentingnya makna dalam linguistik, dan menyatakan bahwa semantik adalah bagian
dari tatabahasa. Komunikasi berbahasa hanya dapat berjalan dengan baik jika para pelaku komunikasi
memahami makna yang disampaikan. Untuk itu, studi tentang makna (semantik) sudah selayaknya
diperhatikan.

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (katabenda) yang berarti tanda atau lambang. Kata
kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau
lambang di sini adalah tanda linguistik (signe) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure,
yaitu yang terdiri dari:

a. Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa

b. Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Jadi, setiap tanda linguistik
terdiri dari unsur bunyi dan makna. Keduanya merupakan unsur dalam bahasa (intralingual) yang
merujuk pada hal-hal di luar bahasa (ekstralingual).

Pada perkembangannya kemudian, kata semantik ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam
bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya. Atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti
dalam bahasa. (Chaer, 1995).

Sebagai studi linguistik, semantik tidak mempelajari makna-makna yang berhubungan dengan
tanda-tanda nonlinguistik seperti bahasa bunga, bahasa warna, morse, dan bahasa perangko. Hal-hal itu
menjadi persoalan semiotika yaitu bidang studi yang mempelajari arti dari suatu tanda atau lambang
pada umumnya. Sedangkan semantik hanyalah mempelajari makna bahasa sebagai alat komunikasi
verbal.

Mengkaji makna bahasa (sebagai alat komunikasi verbal) tentu tidak dapat terlepas dari para
penggunanya. Pengguna bahasa adalah masyarakat. Oleh karena itu studi semantik sangat erat
kaitannya dengan ilmu sosial lain, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan filsafat.

Jenis-jenis Makna

Pembicaraan tentang jenis makna dapat menggunakan berbagai kriteria atau sudut pandang.
Berdasarkan jenis semantiknya, makna dapat diklasifikasikan atas makna leksikal dan gramatikal,
berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial
dan nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya
makna konotatif dan denotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan istilah
atau makna khusus dan umum. Agar lebih jelas Anda dapat memperhatikan tabel berikut ini.

SUDUT PANDANG JENIS MAKNA

a. jenis semantik makna leksikal dan gramatikal

b. referen makna referensial dan nonreferensial

c. nilai rasa makna konotatif dan denotatif


d. ketepatan makna kata dan istilah

makna khusus dan umum

Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem atau bersifat kata.
Karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai referennya, makna sesuai
dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam hidup kita. Makna
gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti afiksasi, reduplikasi,
dan komposisi.

Referen, adalah sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh suatu kata. Bila suatu kata mempunyai referen,
maka kata tersebut dikatakan bermakna referensial. Sebaliknya, jika suatu kata tidak mempunyai
referen maka kata tersebut bermakna nonreferensial.

Sebuah kata disebut bermakna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa positif maupun negatif.
Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi atau disebut netral.

Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna referensial. Makna ini biasanya diberi penjelasan
sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan)
atau pengalaman lainnya. Pada dua kata yang bermakna denotasi sama dapat melekat nilai rasa yang
berbeda sehingga memunculkan makna konotasi.

Jika suatu kata digunakan secara umum maka yang muncul adalah makna kata yang bersifat umum,
sedangkan jika kata-kata tersebut digunakan sebagai istilah dalam suatu bidang maka akan muncul
makna istilah yang bersifat khusus. Istilah memiliki makna tetap dan pasti karena istilah hanya
digunakan dalam bidang ilmu tertentu.

Relasi Makna dan Perubahan Makna

Relasi makna atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan
bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan ini dapat berupa
kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna
(homonimi), ketercakupan makna (hiponimi), dan ambiguitas.

Secara harafiah, kata sinonimi berarti nama lain untuk benda atau hal yang sama. Sedangkan Verharr
secara semantik mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frase, atau kalimat)
yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Verhaar, 1981).

Sinonimi dapat dibedakan atas beberapa jenis, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Yang
harus diingat dalam sinonim adalah dua buah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) sebenarnya tidak
memiliki makna yang persis sama. Menurut Verhaar yang sama adalah informasinya. Hal ini sesuai
dengan prinsip semantik yang mengatakan bahwa apabila bentuk berbeda maka makna pun akan
berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Selain itu, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang
bersinonim belum tentu dapat dipertukarkan begitu saja.
Antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma yang berarti nama, dan anti yang
berarti melawan. Arti harfiahnya adalah nama lain untuk benda lain pula. Menurut Verhaar antonim
ialah ungkapan (biasanya kata, frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan
lain.

Polisemi adalah satuan bahasa yang memiliki makna lebih dari satu. Namun sebenarnya makna tersebut
masih berhubungan. Polisemi kadangkala disamakan saja dengan homonimi, padahal keduanya
berbeda. Homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan homos yang
berarti sama. Jadi, secara harafiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda lain’.
Secara semantis, Verhaar mendefinisikan homonimi sebagai ungkapan (kata, frase, atau kalimat) yang
bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi berbeda makna.

Kata-kata yang berhomonim dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu: Homonim yang:

(a) homograf,

(b) homofon, dan

(c) homograf dan homofon.

Kata hiponimi berasal dari Yunani Kuno yang terdiri dari kata onoma ‘nama’ dan hypo’di bawah’. Secara
harfiah hiponimi berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain (Verhaar, 1993). Secara semantis,
hiponimi dapat didefinisikan sebagai ungkapan (kata, frase, ata kalimat) yang maknanya dianggap
merupakan bagian dari makna ungkapan lain.

Istilah ambiguitas berasal dari bahasa Inggris (ambiguity) yang menurut Kridalaksana berarti suatu
konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti (Kridalaksana, 1982).Ambiguitas dapat terjadi pada
komunikasi lisan maupun tulisan. Namun, biasanya terjadi pada komunikasi tulisan. Dalam komunikasi
lisan, ambiguitas dapat dihindari dengan penggunaan intonasi yang tepat. Ambiguitas pada komunikasi
tulisan dapat dihindari dengan penggunaan tanda baca yang tepat. Makna-makna dalam bahasa
Indonesia dapat mengalami perubahan makna, seperti perluasan makna, penyempitan makna,
penghalusan makna, dan pengasaran makna.

6. Wacana

Wacana adalah rangkaian ujaran lisan maupun tulisan yang mengungkapkan suatu hal, disajikan secara
teratur (memiliki kohesi dan koherensi), dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental bahasa.

Mempelajari wacana berarti pula mempelajari bahasa dalam pemakaian. Di samping itu, pembicaraan
tentang wacana membutuhkan pengetahuan tentang kalimat dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan kalimat.

Untuk mencapai wacana yang kohesi dan koherensi diperlukan alat-alat wacana. Baik yang berupa alat
gramatikal , aspek semantik,atau gabungan keduanya. Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan agar
suatu wacana menjadi kohesi, antara lain adalah (a) konjungsi, (b) kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan
itu sebagai rujukan anaforis, (c ) menggunakan elipsis (Chaer, 1994).

Penggunaan aspek semantik juga dapat dilakukan agar suatu wacana menjadi kohesi dan koherensi.
Menurut Chaer hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) menggunakan hubungan
pertentangan antarkalimat, (2) menggunakan hubungan generik-spesifik atau sebaliknya spesifik-
generik, (3) menggunakan hubungan perbandingan antara dua kalimat dalam satu wacana, (4)

menggunakan hubungan sebab akibat antara dua kalimat, (5) menggunakan hubungan tujuan dalam
satu wacana, dan (6) menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua kalimat dalam satu wacana.

Jenis-jenis Wacana Wacana dapat dikaji dari


segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut
realitasnya, wacana dapat digolongkan atas wacana verbal dan nonverbal. Berdasarkan media
komunikasinya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana lisan dan tulisan. Berdasarkan cara
pemaparannya, wacana dapat digolongkan atas wacana naratif, deskriptif, prosedural, ekspositori, dan
hortatori. Sedangkan darisegi jenis pemakaiannya, wacana dapat kita klasifikasikan atas wacana
monolog, dialog, dan polilog. Jenis-jenis wacana tersebut dapat ditabelkan seperti di bawah ini

SUDUT PANDANG JENIS WACANA

Eksistensi/realitas verbal

nonverbal

Media Komunikasi lisan

tulisan

Cara Pemaparan naratif

deskriptif

prosedural ekspositori

hortator

Jenis Pemakaian monolog

dialog

polilog

Analisis Wacana

Dalam studi wacana kita tidak hanya menelaah bagian-bagian bahasa sebagai unsur kalimat, tetapi juga
harus mempertimbangkan unsur kalimat sebagai bagian dari kesatuan yang utuh. Di Eropa penelitian
wacana dikenal sebagai penelitian texlinguistics atau textgrammar. Para sarjana Eropa tidak
membedakan teks dari wacana; wacana adalah alat dari teks (Djajasudarma, 1994).

Analisis wacana dapat dilakukan pada wacana dialog maupun monolog. Analisis wacana dialog atau
wacana percakapan dapat dibagi dua macam, yaitu analisis pada dialog sesungguhnya (real
conversation) dan dialog teks. Analisis wacana pada dialog sesungguhnya adalah analisis pada
percakapan spontan yang ditunjang dengan segala situasinya, dialog jenis ini dilakukan dengan cara
tatap muka. Selain itu, percakapan di sini bukan merupakan percakapan imitasi atau hafalan dari suatu
teks seperti drama.

Analisis pada dialog teks adalah analisis pada percakapan imitasi. Percakapan imitasi terjadi jika suatu
teks dilatihkan sebagai bahan percakapan, seperti teks drama, film, dan percakapan lain yang dituliskan.
Dialog jenis ini pun memerlukan tatap muka. Namun, kalau teks itu tidak dipercakapkan maka tatap
muka tidak diperlukan.

Menurut Jack Richard dalam Syamsudddin dkk., hal-hal pokok yang harus menjadi perhatian analisis
wacana dialog, yaitu aspek :

1) kerjasama partisipan percakapan,

2) tindak tutur,

3) penggalan pasangan percakapan,

4) pembukaan dan penutupan percakapan,

5) pokok pembicaraan,

6) giliran bicara,

7)percakapan lanjutan,

8) unsur tatabahasa percakapan, dan

9) sifat rangkaian percakapan.

Bentuk bahasa lisan atau tulisan yang tidak termasuk dalam lingkup percakapan atau tanya jawab
digolongkan sebagai jenis wacana monolog. Yang termasuk jenis ini antara lain, pidato, dan khotbah,
yang dituliskan. Selain itu juga berita yang tertuang dalam bentuk teks seperti surat kabar, sepucuk
surat, dan lain-lain. Analisis wacana ini sebenarnya banyak kesamaannya dengan analisis dialog. Namun,
pada wacana monolog tidak ada aspek: tatap muka, penggalan pasangan percakapan, dan kesempatan
berbicara.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis wacana monolog adalah hal-hal yang berhubungan
dengan

(1) rangkaian dan kaitan tuturan (cohesions and coherents)


(2) penunjukan atau perujukan (references), dan (3) pola pikiran dan pengembangan wacana (topic and
logical development).

B. Masyarakat bahasa dan variasi bahasa

Berdasarkan segi penutur, variasi bahasa Corder dalam Alwasilah menyatakan bahwa suatu masyarakat
bahasa atau masyarakat ujaran adalah sekelompok orang yang satu sama lain bisa saling mengerti
sewaktu mereka berbicara. Sedangkan Fishman menyatakan suatu masyarakat bahasa adalah satu
masyarakat yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma
untuk pemakaiannya yang cocok. Dari definisi ini jelaslah bahwa persetujuan dari para anggota
masyarakat suatu bahasa tentang penggunaan kata-kata untuk merujuk pada makna tertentu sangat
memegang peranan penting. Dalam definisi Fishman malah ditambahkan tentang kesamaan norma-
norma dalam pemakaiannya. Jika ada penutur yang tidak menggunakan norma-norma pemakaian
bahasa tersebut maka kemungkinan besar penutur tersebut akan sulit berkomunikasi dalam masyarakat
itu.

Pada prinsipnya menurut Alwasilah, masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian,
terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik (seperti sistem bunyi, sintaksis, dan
semantik). Hal senada juga dikemukakan oleh Bloomfield yang menyatakan bahwa sekelompok orang
yang menggunakan sistem tanda-tanda ujaran yang sama disebut satu masyarakat bahasa Sekarang, jika
pedoman yang digunakan untuk menentukan masyarakat bahasa adalah segi sosial psikologi “merasa
menggunakan bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas atau sempit.
Masyarakat bahasa Inggris akan sangat luas, melewati batas benua.

Keadaan masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika memungkinkan masyarakatnya menjadi
anggota masyarakat bahasa ganda. Maksudnya, selain menjadi anggota masyarakat bahasa Indonesia,
pada umumnya orang Indonesia pun menjadi anggota masyarakat bahasa daerahnya.

Variasi Bahasa

Masyarakat sebagai pengguna bahasa terdiri atas berbagai anggota yang memiliki berbagai latar
belakang. Baik latar belakang usia, jenis kelamin, pendidikan, maupun pekerjaan. Setiap anggota
masyarakat tersebut tentu saja melakukan kegiatan yang beragam pula. Atau secara sederhana dapat
dikatakan kita semua memiliki urusan masing-masing.

Keberagaman latar belakang dan kegiatan kita sebagai anggota masyarakat akhirnya berdampak pula
pada keragaman bahasa yang kita gunakan sebagai alat komunikasi. Cabang linguistik yang berusaha
menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-
ciri sosial kemasyarakatan adalah Sosiolinguistik.

Ada dua pandangan untuk melihat hal variasi bahasa. Pertama, variasi bahasa dilihat sebagai akibat
adanya keragaman sosial penutur bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang
homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi itu tidak akan ada,
artinya bahasa menjadi seragam.
Banyak pakar linguis mencoba untuk membedakan variasi bahasa dengan menggunakan berbagai sudut
pandang. Di antaranya adalah Preston dan Shuy (1979) yang membedakan variasi bahasa (bahasa Inggris
Amerika) berdasarkan (1) penutur, (2) interaksi, (3) kode, dan (4) realisasi. Sedangkan Mc David (1969)
membagi variasi bahasa berdasarkan dimensi regional, (2) dimensi sosial, dan (3) dimensi temporal
(Chaer, 1995), dapat dibedakan atas idiolek, dialek, kronolek, dan sosiolek. Berdasarkan segi pemakaian
atau fungsiolek, variasi bahasa dapat dibedakan atas bahasa sastra, jurnalistik, militer, pertanian,
pelayaran, dan kegiatan keilmuan. Berdasarkan tingkat keformalannya Martin Joos dalam Chaer
membagi variasi bahasa atas lima macam, yakni ragam beku, ragam formal, ragam konsultatif atau
usaha, ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate). Berdasarkan segi sarananya, variasi bahasa
dapat dibedakan atas ragam lisan dan tulisan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitia bahasa sudah di mulai sejaksejak abad ke 6 SM, bahkan perpustakaan besar yang menjadi
pusat penelitian bahasa dan kesusastraan sudah dibangub sejak awal abad ke 3 SM di kota Alexandrea.
Kamus bahasa Inggris, Dectionary of the English Language, yang terdiri atas dua volume, pertama kali
diterbitkan pada tahun 1755; dan pda tahun 1884 telah diterbitkan Ocford English Dectionary yang
terdiri atas 12 volume. Antara 1820 – 1870 para ahi linguistik berhasl membangun hubungan sistematis
di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologis.

Salah satu buku awal yang menjelaskan mengenai ilmu bahasa adalah An Introduction as Lingualistic
Science yang di tulis Bloomfield pada tahun 1914. Jurnal ilmiah internasuonal ilmu bahasa, yang berjudul
Unternational Jurnal of American Linguistics, pertama kali diterbitkan pada tahun 1917.

Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan.
Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bdang linguistic di berbagai
universitas terkemuka (UCLA, MIT, Ocford, dll). Buku-buku karya ahli bahasa pun semakin mendapat
perhatian. Salah satu bukunya adalah buku The

Comprehensive Grammer of the English Language, yang terdiri atas 1778 halaman., yang acara
peluncurannya dibuka oleh Margareth

Thatcher, pada tahun 1985. Respon yang luar biasa terhadap buku tersebut membuatnya dicetak
sebanyak tiga kali dalam tahun yang sama. Buku tata bahasa yang terbaru, The Cambridge Grammer of
the English Language, tahun 2002, yang terdiri atas 1842 halaman, ditulis oleh para ahli bahasa yang
bergabung dalam tim peneliti Internasional dari lima negara.
A. Saran

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menganggap perlu menyampaikan

Saran. Saran tersebut sebagai berikut:

1. Penulis mengharapkan kepada pembaca untuk lebih memahami materi dalam makalah ini karena
sangat berguna bagi mahasiswa yang mempelajari Linguistik.

2. Penulis mengharapkan agar pembaca dapat mengetahui gambaran umum linguistik melalui
pemaparan makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai