Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua
sisi kulumna vertebralis (Wilson, 2006). Ginjal membuang produksi sampah
hasil ekskresi berupa urine tersebut sehingga jumlahnya menjadi normal atau
rendah dalam tubuh. Bila ginjal tidak bekerja sebagai mana mestinya maka
akan timbul masalah kesehatan seperti Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
(Cahyaningsih, 2008:11 dalam Rantini, 2012).
Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa jumlah
kematian global di dunia pada tahun 2012 adalah 56 juta jiwa, sebanyak 38
juta jiwa disebabkan oleh penyakit tidak menular (WHO, 2015). Di Indonesia
kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat dari 41,7%
menjadi 59,5% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008).
Penyakit tidak menular yang perkembangannya perlu mendapatkan
perhatian adalah PGK. PGK adalah suatu keadaan dimana ginjal mengalami
penurunan fungsi dan gangguan struktur, dalam waktu lebih dari tiga bulan.
Klasifikasi PGK dibagi menjadi lima stadium yang ditentukan berdasarkan
tingkat penurunan Laju Firtrasi Glomerulus (LFR) (Damay, 2013).
Terdapat dua jenis terapi pengganti ginjal yaitu dialisis dan transplantasi
ginjal. Terapi pengganti ginjal jenis dialisis terdiri dari terapi Hemodialisis
(HD) dan terapi peritoneal dialisis. Terapi pengganti ginjal jenis HD lebih
banyak dipilih dibandingkan dengan terapi peritoneal dialisis karena proses
yang lebih singkat dan lebih efisien terhadap pengeluaran zat-zat dengan
berat molekul rendah (Ignatavicius & Workman 2006 dalam Sukariani,
2016). Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium V atau End
Stage Renal Dysease (ESRD). HD merupakan suatu proses yang digunakan

1
2

oleh pasien dengan pengganti ginjal stadium akhir (ESRD) yang memerlukan
terapi jangka panjang atau permanen (Sudoyo 2009 dalam Sukariani, 2016).
Menurut data dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2011, tercatat
sekitar 12 ribu pasien PGK yang menjalani terapi pengganti ginjal di seluruh
Indonesia dan meningkat menjadi sekitar 16 ribu pasien PGK pada tahun
2012. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) melaporkan setiap
tahunnya terdapat 200.000 kasus baru PGK stadium akhir (DepkesRI, 2016).
Di Bali pada tahun 2012 tercatat sekitar 1.847 pasien yang menjalani terapi
pengganti ginjal (Registry, 2013). Data dinas kesehatan Provinsi Bali dan
BRSU Tabanan, angka kejadian PGK tertinggi di Provinsi Bali dengan
jumlah penderita 489 orang pada tahun 2014 yaitu di BRSU Tabanan dan
yang menjalani program HD rutin sebanyak 240 orang (Budiarsa, 2016).
Secara umum permasalahan yang dialami oleh pasien PGK meliputi
permasalahan psikologis dan fisik. Permasalahan psikologis yang banyak
dialami antara lain depresi, perilaku bunuh diri, delirium, gejala panik dan
kecemasan (Sousa 2008, dalam Rakhmawati, 2016), sedangkan permasalahan
fisik yang sering dialami oleh pasien hemodialisis meliputi kelelahan,
gangguan tidur, disfungsi seksual, hipertensi, penurunan nafsu makan,
anemia, sulit berkonsentrasi, gangguan kulit, nyeri otot dan tulang, infeksi
pada fistula (Heidarzadeh 2010 dalam Rakhmawati, 2016).
Permasalahan psikologis yang dialami pasien PGK ditunjukkan dari
semenjak pertama kali pasien divonis mengalami gagal ginjal (Iskandarsyah
2006 dalam Permana, 2014). Salah satu bentuknya adalah kecemasan (Stuart
2002 dalam Permana, 2014). Bahkan ada seseorng pasien marah pada dokter,
bahwa dirinya harus menjalani hemodialisa. Mereka menilai bahwa dari
semenjak menderita penyakit, hidupnya selalu dalam keadaan ketidak
beruntungan, tidak memiliki harapan dan sangat sensitif terhadap kritik dan
saran (Iskandarsyah 2006 dalam Permana, 2014).
Menurut penelitian yang dilakukan Royani (2014) tentang gambaran
tingkat kecemasan pada pasien PGK yang menjalani proses HD sebanyak 50
responden menunjukan bahwa pasien yang mengalami kecemasan dengan
3

distribusi hasil penelitian diperoleh sebanyak 40% responden memiliki


tingkat kecemasan sedang, 32% responden tingkat kecemasan berat, 20%
responden tingkat kecemasan ringan, 8% panik dari 50 responden.
Berdasarkan dari hasil penelitian Permana (2014) tentang hubungan
antara lama menjalani HD dengan tingkat kecemasan pada pasien PGK yang
menjalani terapi HD dengan jumlah responden sebanyak 69 orang, 33 orang
(47,8%) yang menjalani HD lebih dari satu tahun didapatkan hasil, sebagian
besar pasien dalam ketegori kecemasan berat yaitu 20 orang (29,1%).
Hasil penelitian Cahyani, Tyaswati, & Rachmawati (2015) tentang
hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas hidup pada pasien PGK
yang menjalani terapi HD dengan jumlah responden sebanyak 30 orang
didapatkan hasil, sebesar 16,67% responden mengalami kecemasan ringan
(10% dengan kualitas hidup baik dan 6,67% dengan kualitas hidup buruk),
sebesar 40% responden mengalami kecemasan sedang (10% dengan kualitas
hidup baik dan 30% dengan kualitas hidup buruk), dan responden yang
mengalami kecemasan berat sebesar 43,33% dengan kualitas hidup buruk.
Berdasarkan data hasil penelitian yang telah terkumpul mengatakan bahwa
ada hubungan di setiap penelitian yang telah dilakukan mengenai tingkat
kecemasan pasien PGK dan dapat disimpulkan masih tingginya angka pasien
PGK yang mengalami kecemasan dalam katagori sedang dan berat yang
masih dalam proses menjalani HD.
Selain kecemasan, permasalahan lain pasien PGK yang menjalani terapi
HD adalah gangguan kualitas tidur. Penelitian yang dilakukan oleh Rompas,
Tangka, & Rottie, (2013) tentang hubungan kadar hemoglobin dengan
kualitas tidur pada pasien PGK dengan 40 orang responden di dapatkan hasil
penelitian bahwa pasien yang memiliki kadar hemoglobin dibawah rata-rata
9,76 gr/dl memiliki kualitas tidur yang buruk sedangkan pasien yang
memiliki kadar hemoglobin diatas rata-rata 9,76 gr/dl memiliki kualitas tidur
cukup baik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vitorino (2015) tentang
gambaran kualitas tidur pada pasien PGK yang menjalani terapi HD yang
terdiri dari 50 orang responden di dapatkan hasil pasien PGK yang menjalani
4

terapi HD masih mengalami gangguan kualitas tidur sebanyak 60% selama


mendapatkan terapi HD.
Penelitian yang dilakukan oleh Elsa (2014) tentang pengaruh teknik
relaksasi benson terhadap skor kualitas tidur pasien PGK yang menjalani
terapi HD yang terdiri dari 20 orang responden di dapatkan hasil pasien PGK
dengan uremia yang menjalani perawatan HD sering mengalami gangguan
kualitas tidur sebanyak 50-80% selama mendapatkan terapi HD. Berdasarkan
data hasil penelitian yang telah terkumpul mengatakan bahwa pasien PGK
masaih mengalami gangguan kualitas tidur. Dapat disimpulkan bahwa masih
tingginya angka pasien PGK yang mengalami gangguan tidur dalam katagori
sedang dan berat yang masih dalam proses menjalani HD.
Maryunani (2015) menyatakan tidur merupakan perubahan status
kesadaran berulang-ulang pada periode tertentu, dimana dengan tidur dapat
memberikan waktu perbaikan dan penyembuhan sistem tubuh. Banyak faktor
yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, salah satu diantaranya
adalah kecemasan (Chayatin & Mubrak, 2007 dalam Budayani, 2015).
Kecemasan dapat meningkatkan saraf simpatis yang dapat menimbulkan
gangguan tidur (Maryunani, 2015). Kecemasan meningkatkan kadar
norepinefrin dalam darah melalui stimulus sistem saraf simpatis. Perubahan
kimia ini menyebabkan kurangnya waktu tidur tahap IV NREM dan tidur
REM serta lebih banyak perubahan dalam tahap tidur lain dan lebih sering
terbangun (Kozier et.al, 2010 dalam Budayani, 2015).
Dari hasil survei yang dilakukan di BRSU Tabanan, didapatkan data
pasien yang menjalani hemodialisis regular pada bulan November 2016
adalah sebanyak 216 pasien yang menjalani program HD terjadwal atau rutin.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan dan tingginya angka pasien PGK
yang mengalami kecemasan dalam katagori sedang dan berat serta tingginya
angka pasien PGK yang mengalami gangguan tidur dalam katagori sedang
dan berat yang masih dalam proses menjalani HD, peneliti tertarik untuk
meneliti “Hubungan antara Kecemasan dengan Kualitas Tidur pada pasien
PGK yang Menjalani Terapi HD di Ruang HD Nyitdah BRSU Tabanan”.
5

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan pada latar belakang maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah hubungan
antara kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien PGK yang menjalani
terapi HD di Ruang HD Nyitdah BRSU Tabanan?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas
tidur pada pasien PGK yang menjalani terapi Hemodialisa di ruang HD
Nyitdah BRSU Tabanan.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi kecemasan pada pasien PGK yang menjalani terapi
HD di Ruang HD BRSU Tabanan.
b. Mengidentifikasi kualitas tidur pada pasien PGK yang menjalani
terapi HD di Ruang HD Nyitdah BRSU Tabanan.
c. Menganalisis hubungan antara kecemasan dengan kualitas tidur pada
pasien PGK yang menjalani terapi HD di Ruang HD Nyitdah BRSU
Tabanan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memepunyai beberapa
manfaat antara lain:
1. Manfaat dari segi teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang keperawatan penyakit dalam khususnya pada
penyakit ginjal kronik yang nantinya juga dapat dipakai sebagai bahan
informasi bagi penelitian lain dan praktisi yang ingin mengadakan
penelitian selanjutnya.
6

2. Manfaat dari segi praktis


a. Bagi Komunitas (Pasien dan Keluarga)
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi
mengenai cara meningkatkan kualitas tidur pada pasien PGK yang
menjalani terapi hemodialisa sehingga dapat mempraktekkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
b. Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi
perawat untuk memberikan sosialisasi pada pasien PGK yang
menjalani terapi hemodialisa dalam hal meningkatkan kualitas
kualitas tidur.
c. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam
memberikan asuhan keperawatan di Instansi Rumah Sakit terutama
pada Ruang Hemodialisis sehingga terjadi peningkatan mutu dan
kualitas bagi Instansi atau Rumah Sakit.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)


1. Pengertian
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah adanya kelainan structural atau
fungsional pada ginjal yang berlangsung minimal 3 bulan, dapat berupa,
kelainan struktural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium
(albuminuria, sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal), pemeriksaan
histologi, pencitraan atau riwayat transplantasi ginjal atau gangguan fungsi
ginjal dengan lajut filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/menit/1,73 m 2 (Tanto,
2014).
PGK adalah kemunduran fungsi ginjal yang progresif dan irreversible
dimana terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang mengakibatkan uremia
atau azotemia (Brunner & Suddarth, 2002 dalam Wijaya, 2013).
2. Permasalahan atau Dampak PGK
Secara umum permasalahan yang dialami oleh pasien PGK meliputi
permasalahan psikologis dan fisik. Permasalahan psikologis yang banyak
dialami antara lain depresi, perilaku bunuh diri, delirium, gejala panik dan
kecemasan (Sousa 2008, dalam Rakhmawati, 2016), sedangkan
permasalahan fisik yang sering dialami oleh pasien hemodialisis meliputi
kelelahan, gangguan tidur, disfungsi seksual, hipertensi, penurunan nafsu
makan, anemia, sulit berkonsentrasi, gangguan kulit, nyeri otot dan tulang,
infeksi pada fistula (Heidarzadeh 2010 dalam Rakhmawati, 2016).
Menurut Potter & Perry (2012) dalam Dwijayanti (2015), tidur
bermanfaat untuk menjaga keseimbangan mental, emosional dan kesehatan.
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, salah
satu diantaranya adalah kecemasan (Chayatin & Mubrak, 2007 dalam
8

Budayani, 2015). Kecemasan dapat meningkatkan saraf simpatis yang dapat


menimbulkan gangguan tidur (Maryunani, 2015). Kecemasan meningkatkan
kadar norepinefrin dalam darah melalui stimulus sistem saraf simpatis.
Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu tidur tahap IV NREM
dan tidur REM serta lebih banyak perubahan dalam tahap tidur lain dan
lebih sering terbangun (Kozier et.al, 2010 dalam Budayani, 2015).

B. Hemodialisa
1. Pengertian
Dialysis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh. Tujuan dialysis adalah untuk
mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal
pulih kembali. Metode terapi mencakup hemodialisa, hemofiltrasi dan
peritoneal dialysis (Smeltzer, Suzane C. & Bare, 2001).
Hemodialisa adalah proses pembuangan zat – zat sisa metabolisme, zat
toksik lainnya melalui membrane semi permeable sebagai pemisah antara
darah dan cairan diaksat yang sengaja dibuat dalam dialyzer (Hundak dan
Gallo, 1996 dalam Wijaya & Putri, 2013)
Hemodialisa adalah terapi pengganti pada gagal ginjal terminal dengan
mengalirkan darah ke dalam suatu zat yang terdiri dari 2 kompartemen,
yaitu:
a. Kelompok darah yang didalamnya mengalir darah dibatasi oleh selaput
semipermiabel buatan.
Kompartemen yang berisi cairan dialisat bebas pirogen berisi larutan dengan
komposisi elektrolit mirip serum normal (Soeparman 1993 dalam Wijaya &
Putri, 2013).
2. Tujuan
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat – zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebih (Smeltzer,
Suzane C. & Bare, 2001).
Selain itu tujuan hemodialisa yang lain adalah:
9

a. Membuang sisa produk metabolisme protein seperti: urea, kreatinin dan


asam urat.
b. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
d. Mempetahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
(Wijaya & Putri, 2013)
3. Indikasi
a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien PGK dan PGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrsi < 5 ml).
b. Pasien – pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila
terdapat indikasi:
1) Hiperkalemia (K+ darah > 6 meq/l)
2) Asidosis
3) Kegagalan terapi konservatif
4) Kadar ureum/ kreatinin tinggi dalam darah (ureum > 200 mg%,
kreatinin serum > 6 mEq/l
5) Kelebihan cairan
6) Mual dan muntah hebat
c. Intoksikasi obat dan zat kimia
d. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
e. Sindrom hepatorenal dengan kriteria:
1) K+ pH darah < 7,10 Asidosis
2) Oliguria/ anurin > 5 hr
3) GFR < 5 ml/i pada GGK
4) Ureum darah > 200 mg/dl (Wijaya & Putri, 2013)

C. Kecemasaan
1. Pengertian Kecemasaan
Kecemasan adalah gangguan yang disebabkan oleh konflik yang tidak
disadari mngenai keyakinan, nilai krisis situasional, maturasi, ancaman
10

pada diri sendiri, penyakit yang dipersepsikan sebagai ancaman dalam


kehidupan atau kebutuhan untuk bertahan yang tidak terpenuhi (Pieter,
2010). Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada
waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan adalah gangguan alam
perasaan yang ditandai dengan adnya rasa takut dan khawatir yang
mendalam dan berkelanjutan, serta adanya gangguan perilaku namun
masih dalam batas-batas normal (Hawari 2006 dalam Murdiningsih,
2013).
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengeani ketegangan
mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan
mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak
menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan
menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Kholil Lur
Rochman 2010 dalam Astira, 2015).
2. Faktor-faktor Kecemasan
Menurut Kaplan dan sadock (1997) dalam Murdiningsih (2013) ,faktor
yang mempengaruhi kecemasan antara lain :
a. Faktor-faktor intrinsik, antara lain :
1) Usia
Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, sering pada
usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar
kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun.
2) Pengalaman menjalani pengobatan
Mengatakan pengalaman awal dalam pengobatan merupakan
pengalaman-pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada
individu terutama untuk masa-masa yang akan datang
3) Konsep diri dan peran
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan
pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan
mempengaruhi individu berhubungan dengan orang lain
11

b. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain :


1) Kondisi medis (diagnosis penyakit)
Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan
kondidi medis sering ditemukan walaupun insidensi gangguan
bervariasi untuk masing-masing kondisi medis.
2) Tingkat pendidikan
Pedidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing.
Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir,
pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan. Tingkat
pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam mengidentifikasi
stresor dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya.
1. Tingkat kecemasan
Menurut Peplau dalam widodo (2010) dalam Astira (2015), ada empat
tingkat kecemasanyang dapat dialami individu yaitu :
a. Kecemasan Ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari,
individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas,
menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan
mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreativitas.
b. Kecemasan Sedang
Individu hanya terfokus pada pikiran yang menjadi perhatiannya,
terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan
sesuatu dengan arahan orang lain.
c. Kecemasan Berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya
pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berfikir tentang hal-hal
lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan
perlu banya perintah/ arahan untuk terfokus pada area lain.
12

d. Berat sekali (Panik)


Pada tingkat ini individu kehilangan kendali diri dan deti
perhatian. Karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu untuk
elakukan apapun meski tanpa perintah. Terjadi peningkatan aktivitas
motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain,
penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu
berfungsi secara efektif. Biasanya disertai dengan diorganisasi
kepribadian.
1. Gejala-gejala Kecemasan
Gejala-gejala kecemasan umum dalam Pieter (2010) yaitu :
a. Gejala fisik
Ketegangan motorik seperti (gemetar, gugup, nyeri otot, dan
mudah lelah), nafas pendek atau perasaan tercekik, tangan dingin
dan berkeringat, mulut kering dan pusing, mual, diare atau tidak
nyaman abdomen, sering berkemih, tiba-tiba panas atau menggigil,
dan tekanan darah meningkat.
b. Gejala psikologis
Kegelisahan yang berlebihan, waspada yang berlebihan, sulit
berkonsentrasi, respon kaget yang berlebihan, sulit tidur, mudah
tersinggung, dan hipersensitif.
1. Gangguan kecemasan
Gangguan kecemasan merupakan suatu gangguan yang memiliki ciri
kecemasan atau ketakutan yang tidak realistik, juga irasional dan tidak
dapat secara intensif ditampilkan dalam cara-cara yang jelas. Fitri
Fauziah & Julianty Widuri (2007) dalam Astira (2015) membagi
gangguan kecemaan dalam beberapa jenis, yaitu :
a. Fobia spesifik
Yaitu suatu ketakutan yang tidak diinginkan karena kehadiran
atau antisipasi terhadap obyek atau situasi yang spesifik.
13

b. Fobia sosial
Merupakan suatu ketakutan yang tidak rasional dan menetap,
biasanya berhubungan dengan kehadiran orang lain. Individu
menghindari situasi dimana dirinya dievaluasi atau dikritik, yang
membuatnya merasa terhina atau dipermalukan, dan menunjukan
tanda-tanda kecemaan atau menampilkan perilaku lain yang
memalukan.
c. Gangguan panik
Gangguan panik memiliki karakteristik terjadinya serangan panik
yang sepontan dan tidak terduga. Beberapa simtom yang dapat muncul
pada gangguan panik antara lain sulit bernafas, jantung berdetak
kencang, mual, rasa sakit didada, berkeringat dingin, dan gemetar. Hal
ini yang penting dalam diagnosa gangguan panik adalah bahwa
individu merasa setiap serangan panik merupakan pertanda datangnya
kematian atau kecacatan.
d. Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorde)
GAD adalah kekhawatiran yang berlebihan dan bersifat pervasif,
disertai dengan berbagai simtom somatik, yang menyebabkan
gangguan signifikan dalam kehidupan sosial atau pekerjaan pada
penderita, atau menimbulkan stres yang nyata.
2. Dampak dari kecemasan
a. Fisik (fisiologis) antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh,
pernafasan, mual, muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan, berat badan menurun ekstrim, kelelahan yang luar biasa.
b. Gejala gangguan tingkah laku, antara lain aktivitas psikomotorik
bertambah atau berkurang, sikap menolak, berbicara kasar, sukar
tidur, gerakan yang aneh-aneh.
c. Gejala gangguan mental, antar lain kurang konsentrasi, pikiran
meloncat-loncat, kehilangan kemampuan persepsi, kehilangan ingatan,
phobia, ilusi dan halusinasi.
14

3. Alat ukur kecemasan


Untuk mengetahui tingkat kecemasan seseorang apakah ringan,
sedang, berat ataupun panik, dapat menggunakan instrument (alat ukur)
yang dinamakan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Alat ukur ini
sudah dianggap baku yang terdiri dari 14 item beserta gejala dan
mengukur antara kecemasan psikis (agitasi mental dan kesedihan
psikologis) dan kecemasan fisik (masalah fisik yang berhubungan dengan
kecemasan). Adapun 14 item HARS tersebut adalah (Hamilton M.The
assessment anxietystates by rating. Br. J Med Psychol.
a. Perasaan cemas meliputi firasat buruk, takut akan pikiran sendiri,
mudah tersinggung dan emosi.
b. Ketegangan meliputi rasa tegang, lesu, mudah terkejut, tidak dapat
istirahat dengan nyenyak, mudah menangis, gemetar, gelisah.
c. Ketakutan meliputi pada gelap, takut pada orang asing, ditinggal
sendiri, pada binatang, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan
orang banyak.
d. Gangguan tidur meliputi sukar memulai tidur, terbangun malam hari,
tidak pulas, bangun lesu, mimpi buruk, dan mimpi menakutkan.
e. Gangguan kecerdasan meliputi sulit dalam berkonsentrasi dan daya
ingat yang buruk.
f. Gejala depresi meliputi kehilangan minat, berkurangnya minat pada
hobi, sedih,bangun dini hari dan perasaan berubah-ubah sepanjang
hari
g. Gejala somatic meliputi nyeri dan sakit otot, kaku, kesemutan, gigi
gemeretak, dan suara tidak stabil.
h. Gejala sensosik meliputi telinga sering berdenging, pengelihatan kabu,
muka merah dan pucat, hilang sensasi rasa, merasa lemah dan
perasaan ditusuk-tusuk.
i. Gejala kardiovaskuler meliputi denyut nadi cepat, berdebar-debar
nyeri dada, denyut nadi mengeras, rasa lemah seperti mau pingsan dan
detak jantung hilang sekejap
15

j. Gejala pernafasan meliputi rasa tertekan didada, perasaan tercecik,


merasa nafas pendek/ sesak dan sering menarik nafas pendek.
k. Gejala gastrointestinal meliputi sulit menelan, perut terasa terbakar,
dan kembung, perut terasa penuh, mual muntah, adanya suara
keroncongan pada perut, buang air besar lembek, berat badan
menurun, sukar buang air besar.
l. Gejala genitourinaria meliputi sering kencing, tidak dapat menahan
kencing, tidak datang bulan, nyeri haid, ereksi melemah, impontensi.
m. Gejala vegetatife meliputi mulut kering, mulut merah, pucat, mudah
berkeringat, pusing, sakit kepala, dan bulu roma berdiri.
n. Gejala perilaku meliputi gelisah, tidak tenang, mengerutkan dahi,
mukak tegang, tonus atau kekuatan otot meningkat, nafas pendek, dan
cepat, muka merah.
Pada masing-masing kelompok gejala diberikan penilaian angka
(score) antara 0-4 yang berarti :
Nilai 0 = tidak ada gejala
Nilai 1 = gejala ringan
Nilai 2 = gejala sedang
Nilai 3 = gejala berat
Nilai 4 = gejala berat sekali
Masing-masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala-gejala
tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat
diketahui sejauh mana kecemasan yang dirasakan seseorang.

D. Tidur
1. Pengertian Tidur
Menurut Pieter (2011) dalam Dwijayanti (2015) tidur merupakan
salah satu kebutuhan pokok manusia yang memiliki fungsi perbaikan dan
homeostatik (mengembalikan keseimbangan fungsi-fungsi normal tubuh),
serta penting pula dalam pengaturan suhu dan cadangan energi normal
dalam keadaan badan segar dan normal, hipotalamus bekerja baik
16

sehingga dapat memberi respon normal pada perubahan tubuh atau


lingkungan.
Menurut Asmadi (2008) dalam Novianty (2014) tidur merupakan
suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi individu terhadap
lingkungan menurun atau menghilang dan dapat dibangunkan kembali
dengan rangsangan
Potter & Perry (2009) tidur adalah proses fisiologis yang berputar dan
bergantian, dengan periode jaga yang lebih lama. Siklus tidur bangun
memengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan respon perilaku.
Maryunani (2015) menyatakan tidur merupakan perubahan status
kesadaran berulang-ulang pada periode tertentu, dimana dengan tidur
dapat memberikan waktu perbaikan dan penyembuhan sistem tubuh.
2. Fisiologis Tidur
Menurut Pieter (2011) dalam Dwijayanti (2015) tidur terdiri dari dua
keadaan fisiologis, yaitu tidur dengan mata tidak cepat (NREM = Non
Rapid Eye Movement) dan tidur dengan gerakkan mata cepat (REM =
Rapid Eye Movement).
a. NREM
Tidur NREM disebut juga sebagai tidur gelombang pendek karena
gelombang otak yang ditunjukkan oleh orang yang tidur lebih pendek
dari pada gelombang alfa dan beta yang ditunjukkan orang yang sadar.
Tidur NREM terbagi atas 4 tahap. Tahap I-II disebut sebagai tidur
ringan (light sleep) dan tahap III-IV disebut sebagai tidur dalam (deep
sleep).
1) Tahap I NREM
a) Tahap meliputi tingkat paling dangkal dari tidur
b) Tahap berakhir beberapa menit
c) Pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penurunan secara
bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme
d) Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti
suara
17

e) Seseorang ketika terbangun merasa seperti telah melamun


2) Tahap II NREM
a) Tahap ini merupakan periode tidur bersuara
b) Kemajuan relaksasi
c) Terbangun masih relatif mudah
d) Tahap berakhir 10 hingga 20 menit
e) Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban
3) Tahap III NREM
a) Tahap 3 meliputi tahap awal dari tidur yang dalam
b) Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak
c) Otot-otot dalam keadaan santai penuh
d) Tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur
e) Tahap berakhir 15 hingga 30 menit
4) Tahap IV NREM
a) Tahap tidur terdalam
b) Sangat sulit untuk membangunkan orang yang tidur
c) Tahap berakhir kurang lebih 15-30 menit
d) Tidur sambil berjalan dan anuresis dapat terjadi
b. REM
Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM dan sebagian besar
mimpi terjadi pada tahap ini. Otak cenderung aktif selama tidur REM
dan metabolisme meningkat 20%. Tahap ini individu menjadi sulit
untuk dibangunkan atau dapat bangun dengan tiba-tiba, sekresi
lambung meningkat, dan frekuensi jantung dan pernapasan sering kali
tidak teratur.
Karakteristik tidur REM :
1) Mimpi yang penuh warna dan tampak hidup dapat terjadi pada REM.
Mimpi yang kurang indah dapat terjadi pada tahap yang lain
2) Tahap ini biasanya dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur
3) Peningkatan sekresi lambung
18

4) Dicirikan dengan respon otonom dari pergerakkan mata yang cepat,


fluktuasi jantung dan peningkatan atau fluktuasi tekanan darah
5) Durasi dari tidur REM meningkat pada tiap siklus dan rata-rata 20
menit.
3. Klasifikasi Gangguan Tidur
Menurut Pieter 2011 dalam Dwijayanti (2015) klasifikasi dari
gangguan tidur dikelompokkan menjadi disomnia dan parasomnia.
a. Disomnia
Disomnia dicirikan sebagai perubahan jumlah, kualitas, dan waktu
tidur. Kelompok disomnia adalah insomnia, hipersomnia,
narkolepsi, sleep apnea dan ritme sirkadian.
1) Insomnia
Copel (2006) dalam Pieter dkk (2011) insomnia adalah
suatu keadaan yang mana seseorang mengalami kesulitan untuk
tidur di malam hari dan mereka sering terbangun lebih awal dan
tidak dapat tidur lagi dengan nyenyak.
2) Hipersomnia
Durand dan Barlow (2007) dalam Pieter (2011) mengatakan
bahwa gangguan hipersomnia adalah keluhan mengantuk yang
eksesif dalam bentuk episode-episode tidur yang terlalu lama
atau episode tidur di siang hari. Dengan kata lain adanya pola
tidur yang abnormal dimana penderitanya selalu tidur bebrapa
kali dalam sehari.
3) Narkolepsi
Durand dan Barlow (2007) dalam Pieter (2011) narkolepsi
adalah gangguan neurologi yang menyebabkan kantuk ekstrim
dan bahkan mungkin membuat orang jatuh tertidur tiba-tiba dan
tanpa peringatan. Serangan tidur yang dialami penderita
narkolepsi terjadi tiba-tiba sekalipun penderita nya sudah
banyak tidur di malam hari.
19

4) Sleep Apnea
Sleep apnea merupakan salah satu bentuk gangguan tidur
yang umum bisa berpotensi sangat serius, bahkan dapat juga
mengancam jiwa. Dalam sleep apnea, pernapasan seseorang
akan berhenti sejenak dan akan sangat sedikit saat sedang tidur.
Menurut American Asociation Psychiatry (APA, 2000) dalam
Pieter dkk (2011) orang yang menderita gangguan sleep apnea
ditandai dengan mendengkur sekeras-kerasnya, beberapa kali
napasnya terhenti pada saat tidur dan bangun di pagi hari dengan
mulut yang kering dan rasa sakit kepala.
5) Ritme Sirkadian
Gangguan ritme sirkadian adalah gangguan tidur yang
menyebabkan perasaan mengantuk atau insomnia yang
diakibatkan ketidakmampuan tubuh untuk menyinkronkan pola
tidurnya dengan pola tidur siang dan malam. Artinya ada
ketidaksesuaian timbul diantara pola bangun dan tidur yang
normal dan siklus tidur bangun yang dibutuhkan oleh
lingkungan seseorang.
b. Parasomnia
Gangguan parasomnia ditandai dengan adanya peristiwa yang
tidak wajar selama orang itu tidur. Gangguan tidur parasomnia
berhubungan dengan sistem saraf otonom, sistem motorik, atau
perubahan kognitif yang terjadi selama siklus tidur. Gangguan tidur
parasomnia antar lain:
1) Gangguan Mimpi Buruk
Menurut American Sleep Association (ASA) dalam Pieter
(2011) beberapa obat juga memicu mimpi buruk, seperti obat
penenang. Orang dengan gangguan mimpi buruk sering terbangun
dengan keringat dingin akibat adanya mimpi yang mengerikan
yang akan membuat takut untuk tidur lagi.
20

2) Tidur Berjalan (Sleep Walking)


Sleep walking bisa dipicu stress, tidur tidak nyenyak dan
genetika. Sebuah studi yang dipublikasikan pada tahun 2003 dalam
jurnal Molecular Psychiatry, menemukan bahwa 19% orang
dewasa yang berjalan dalam tidur, jatuh merupakan bahaya
terbesar.
3) Teror Malam
Hal ini biasanya terjadi pada anak-anak. Orang yang
mengalami teror malam tiba-tiba akan duduk tegak, mata terbuka,
meskipun mereka sebenarnya tidak melakukan pandangan.
4) Halusinasi Mengantuk
Apabila kita melihat hal-hal aneh dalam mimpi yaitu bagian
dari mimpi. Tetapi apabila kita melihatnya saat sedang tidak
bermimpi disebut dengan hypnagogic hallucination yang terjadi
selama transisi dari bangun tidur. Biasanya mereka mendengar atau
melihat hal-hal aneh disekita mereka.
5) Sindrom Kepala Meledak
Gangguan ini terjadi selama tidur nyenyak, ketika orang tiba-
tiba bangun dengan terkejut oleh suara keras dan tajam. Penyebab
pasti belum diketahui, tetapi diyakini hal ini terkait dengan
penyakit serius.
6) Perilaku Gangguan REM
Gangguan perilaku tidur REM terjadi paling sering pada orang
dewasa yang lebih tua dan dapat merupakan gejala penyakit
Parkinson, gangguan neurologis degeneratif.
7) Gangguan Tidur yang berhubungan dengan Makanan
Orang dengan gangguan ini akan makan pada saat malam hari
dan biasanya orang yang mengalami hal ini akan kehilangan
sedikit memori keesokan harinya. Beberapa kasus cukup
membahayakan, karena bisa saja menggunakan pisau atau
menyalakan kompor.
21

8) Seksomnia
Seksomnia atau Sexual Behaviour in Sleep (SBS) adalah
kebiasaan seksual yang terjadi ketika seseorang sedang tidur.
Seksomnia bisa mengganggu karena ada serangan seks yang keras,
berbahaya (masturbasi) atau bahkan kriminal (kekerasan seksual
atau pemerkosaan).
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tidur
a. Usia
Ketika seseorang masih bayi membutuhkan waktu tidur sekitar 13
sampai 16 jam, tetapi ketika telah tumbuh menjadi seorang anak
kebutuhan tidur sedikit menurun sekitar delapan sampai 12 jam.
Kebutuhan waktu dan lama tidurnya akan terus menurun atau
berkurang seiring dengan berjalannya waktu atau usianya hingga
dewasa hanya sekitar tujuh sampai delapan jam. Begitu juga bila
seseorang menjadi semakin tua, umumnya kemampuan untuk tetap
tidur akan menjadi semakin berkurang menjadi enam jam (Potter,
2012).
b. Penyakit Fisik
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik
(mis. kesulitan bernafas) atau masalah suasana hati, seperti kecemasan
atau depresi, dapat menyebabkan masalah tidur (Potter, 2012).
c. Obat-Obatan dan Substansi
Potter (2012) menerangkan bahwa dari daftar obat di Physicians
Desk Reference (PDR) 1990, dengan 584 obat resep atau obat bebas
menuliskan mengantuk sebagai salah satu efek samping, 486 menulis
gangguan tidur, dan 281 menyebabkan kelelahan mempengaruhi
kualitas tidur seseorang.
d. Gaya Hidup
Rutinitas harian seseorang dapat mempengaruhi pola tidur. Selain
pengaturan jam kerja yang tidak menentu (mis. dari siang ke malam
atau sebaliknya), perubahan lain dalam rutinitas yang dapat
22

mengganggu pola tidur meliputi kerja berat yang tidak biasa, terlibat
dalam aktivitas sosial pada larut malam, dan perubahan waktu makan
malam (Potter, 2012).
e. Mengantuk Berlebihan pada Siang Hari
Mengantuk menjadi patologis ketika mengantuk terjadi pada
waktu ketika individu harus atau ingin terjaga. Mengantuk berlebihan
pada siang hari disebabkan karena seseorang mengalami kehilangan
waktu tidur di malam hari ketika harus mengikuti kegiatan sosial
malam yang aktif atau jadwal kerja yang memanjang. Lebih lanjut
dinyatakan dalam Potter (2012) bahwa kondisi mengantuk yang
berlebihan pada siang hari seringkali menyebabkan kerusakan pada
fungsi terjaga, penampilan kerja yang buruk, kecelakaan saat
mengemudi atau menggunakan peralatan, dan masalah perilaku atau
emosional.
f. Kecemasan dan Stres Emosional
Kecemasan dapat meningkatkan saraf simpatis yang dapat
menimbulkan gangguan tidur (Maryunani, 2015). Kecemasan
meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui stimulus sistem
saraf simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu
tidur tahap IV NREM dan tidur REM serta lebih banyak perubahan
dalam tahap tidur lain dan lebih sering terbangun (Kozier et.al, 2010
dalam Budayani, 2015).
Menurut Bliwise (1993) dalam Potter (2012) menyebutkan
kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu
tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk
tertidur, sering terbangun selama siklus tidur sehingga dapat
mengganggu tidur. Gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan
kehilangan keamanan ekonomi merupakan situasi yang
mempredisposisi untuk cemas dan depresi. Keadaan dapat tersebut
menyebabkan mengalami perlambatan untuk jatuh tertidur,
23

munculnya tidur REM secara dini, seringkali terjaga, peningkatan


total waktu tidur, perasaan tidur yang kurang, dan terbangun cepat.
g. Lingkungan
Hal yang tidak kalah pentingnya yang dapat mempengaruhi
kualitas tidur adalah lingkungan fisik seperti ventilasi, ukuran,
kekerasan, dan posisi tempat tidur, tingkat cahaya, dan suhu ruangan
(Potter & Perry, 2006). Webster & Thompson (1986) dalam Potter
(2012) menyebutkan bahwa suara juga dapat mempengaruhi tidur
tergantung tingkat suaranya.
h. Latihan Fisik dan Kelelahan
Kelelahan yang berlebihan yang dihasilkan dari kerja atau latihan
fisik yang meletihkan atau penuh stres dapat membuat seseorang sulit
untuk tertidur (Potter & Perry, 2006).
i. Asupan Makanan dan Kalori
Hauri & Linde (1990) dalam Potter (2012) menyatakan bahwa
orang tidur lebih baik ketika sehat sehingga mengikuti kebiasaan
makan yang baik adalah penting untuk kesehatan yang tepat dan tidur.
Kehilangan atau peningkatan berat badan juga dikatakan dapat
mempengaruhi pola tidur. Ketika berat badan bertambah, maka
periode tidur akan menjadi lebih panjang dengan lebih sedikit
interupsi, sedangkan kehilangan berat badan menyebabkan tidur
pendek dan terputus-putus.
5. Kualitas tidur
Menurut Sandjaya (2007) dalam Novianty (2014) mengatakan
bahwa kualitas tidur mempengaruhi kesehatan manusia baik untuk
hari itu maupun dalam jangka panjang. Kebugaran ketika bangun
tidur ditentukan oleh kualitas tidur sepanjang malam. Kualitas tidur
yang baik dapat membantu kita lebih segar di pagi hari.
Menurut Siregar (2011) dalam Novianty (2014) kualitas tidur
adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani seorang individu
menghasilkan kesegaran dan kebugaran ketika terbangun. Kualitas
24

tidur mencakup aspek kuantitatif seperti durasi tidur, latensi tidur,


serta aspek subjektif seperti tidur dalam dan istirahat. Kualitas dan
kuantitas tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor psikologis,
fisiologis dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas
tidur. Kualitas tidak bergantung pada kuantitasnya namun
dipengaruhi oleh faktor yang sama. Kualitas tersebut dapat
menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan
memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Oktora (2013) dalam Novianty (2014) kualitas tidur
seseorang dikatakan baik apabila tidak menunjukan tanda-tanda
kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam tidurnya.
Tanda-tanda kekurangan tidur dapat dibedakan menjadi tanda fisik
dan tanda psikologis. Tanda–tanda fisik akibat kekurangan tidur
antara lain ekspresi wajah (area gelap disekitar mata, bengkak di
kelopak mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung),
kantuk yang berlebihan, tidak mampu berkonsentrasi, terlihat tanda –
tanda keletihan. Sedangkan tanda–tanda psikologis antara lain
menarik diri, apatis, merasa tidak enak badan, malas, daya ingat
menurun, bingung, halusinasi, ilusi penglihatan dan kemampuan
mengambil keputusan menurun.
6. Cara Pengukuran Kualitas Tidur
Instrumen adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan
untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan
tentang pribadinya untuk hal-hal yang telah diketahui (Arikunto
2013 dalam Dwijayanti, 2015). Berbagai macam instrumen dapat
digunakan untuk mengukur kualitas tidur diantaranya Stanford
Sleepiness Scale (SSS), The Epworth Sleepiness Scale (ESS), The
Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI). Dimana SSS dan ESS
digunakan untuk mengukur perasaan mengantuk atau kelelahan pada
waktu tertentu, tetapi ESS lebih mengukur kecenderungan tertidur
dan jatuh tidur pada waktu tertentu. Sedangkan PSQI adalah
25

kuesioner yang dikembangkan untuk mengukur kualitas tidur dan


gangguan tidur orang dewasa dalam satu bulan. Hasil pengukuran
berupa indeks tidur (sleeping index) yang menggambarkan seberapa
baik kualitas tidur seseorang, yang telah memiliki internal
homogenitas, reliabilitas, dan validitas yang memadai untuk
digunakan dalam penelitian dan praktek klinis psikiatris (Buysse et
al 1989 dalam Dwijayanti, 2015). PSQI mempunyai 7 item
digunakan untuk mengukur kualitas tidur subyektif, latensi tidur,
durasi tidur, kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur,
dan disfungsi siang hari selama satu bulan terakhir. Penilaian dengan
skala PSQI ini menggunakan kunci skoring untuk keseluruhan tujuh
pasien, yang masing-masing berkisar dari 0 sampai 3. Semua nilai
dihitung dan menghasilkan nilai keseluruhan yang berkisar dari 0
sampai 21. Nilai keseluruhan 0-5 menunjukkan kualitas tidur yang
baik dan semntara nilai yang diperoleh 6-21 menunjukan kualitas
tidur buruk (Carole, 2012). Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji
validitas dan uji reabilitas karena kuesioner yang digunakan sudah
baku. Validitas kuesioner ini telah dilakukan uji realibilitas dengan
nilai koivisien reabilitas α cronbach 0,83 (Carole, 2012).
7. Dampak Gangguan Tidur pada Pasien PGK
Menurut Potter & Perry (2005) dalam Dwijayanti, (2015) tidur
bermanfaat untuk menjaga keseimbangan mental, emosional dan
kesehatan. Secara umum terdapat dua efek fisiologis tidur, pertama
efek terhadap sistem syaraf yang diperkirakan dapat memulihkan
kepekaan normal dan keseimbangan diantara berbagai susunan
syaraf; kedua, efek pada struktur tubuh dengan memulihkan
kesegaran dan fungsi organ dalam tubuh, mengingat terjadinya
penurunan aktivitas organ-organ tubuh tersebut selama tidur.
Terjadinya gangguan tidur akan menyebabkan menurunnya
kondisi tubuh terutama sistem imun yang menyebabkan seseorang
berisiko tinggi untuk mengalami infeksi. Selain itu, saat tidur pula
26

seluruh organ akan mengalami fase metabolism yang optimal dan


memperbaiki kondisinya saat kondisi tidur, sehingga orang yang
mengalami kurang tidur akan berpotensi tinggi untuk mengalami
gangguan hati, jantung, ginjal dan lain-lain. Selain itu, gangguan
tidur juga berefek terhadap emosi seseorang, dengan kurang tidur
yang terus menerus seseorang lebih mudah mengalami stres ataupun
cemas.
8. Penatalaksanaan Gangguan Tidur
Penatalaksanaan gangguan tidur terdiri dari farmakologi dan non
farmakologi dalam Dwijayanti, (2015) yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Farmakologi
Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan
pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun
sekunder. Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak
disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein seperti l-
triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat
digunakan.
Penggunaan jangka panjang obat hipnotik tidak dianjurkan.
Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau
untuk mengatasi insomnia jangka pendek. Dosis harus kecil dan
durasi pemberian harus singkat. Benzodiazepin dapat
direkomendasikan untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang
tidak lebih dari tiga kali. Penggunaan jangka panjang dapat
menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi penyakit yang
mendasari. Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien
penyakit paru obstruktif kronik, obesitas, gangguan jantung
dengan hipoventilasi Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi
pada apnea tidur. Efek samping berupa penurunan kognitif dan
terjatuh akibat gangguan koordinasi motorik sering ditemukan.
27

Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin pada lansia harus


hati-hati dan dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan
zolpidem) merupakan obat pilihan untuk membantu orang-orang
yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu paruhnya
panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk
penderita yang mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang
kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki ansietas di siang hari
dan insomnia di malam hari. Sebagian obat golongan
benzodiazepin di metabolisme di hepar. Oleh karena itu,
pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi sitokrom (seperti
simetidin, estrogen, INH, eritromisin, dan fluoxetine) dapat
menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari.
Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada
pasien COPD ringan-sedang yang mengalami insomnia.
Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia sekunder terhadap
delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti
lorazepam digunakan untuk memperkuat efek neuroleptik
terhadap tidur. Antidepresan yang bersifat sedatif seperti
trazodone dapat diberikan bersamaan dengan benzodiazepin pada
awal malam. Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk
gangguan gerakan terkait tidur (RLS) (Amir, 2007 dalam
(Dwijayanti, 2015).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan
noradrenergic and specific serotonin antidepressant (NaSSA). Ia
dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang, dan
meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur,
kontinuitas tidur, serta efisiensi tidur meningkat pada pemberian
mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita depresi dengan
insomnia tidur.
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan
28

monoamin oksidase inhibitor pada lansia karena dapat


menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu kontinuitas
tidur akibat efek samping poliuria. Khloralhidrat dan barbiturat
jarang digunakan karena cenderung menekan pernafasan.
Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk beberapa
pasien tapi penggunaannya harus hati-hati karena dapat
menginduksi delirium Melatonin merupakan hormon yang
disekresikan oleh glandula pineal. Ia berperan mengatur siklus
tidur. Efek hipnotiknya terlihat pada pasien gangguan tidur
primer. Ia juga memperbaiki tidur pada penderita depresi mayor.
Melatonin juga dapat memperbaiki tidur, tanpa efek samping,
pada lansia dengan insomnia, melatonin dapat ditambahkan ke
dalam makanan.
b. Non Farmakologi
1) Higiene Tidur
Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif
untuk tidur merupakan syarat mutlak untuk gangguan tidur.
Jaduwal tidur-bangun dan latihan fisik sehari-hari yang
teratur perlu dipertahankan. Kamar tidur dijauhkan dari
suasana tidak nyaman. Penderita diminta menghindari latihan
fisik berat sebelum tidur. Tempat tidur jangan dijadikan
tempat untuk menumpahkan kemarahan. Perubahan
kebiasaan, sikap, dan lingkungan ini efektif untuk
memperbaiki tidur. Edukasi tentang hygene tidur merupakan
intervensi efektif yang tidak memerlukan biaya.
2) Terapi pengontrolan stimulus
Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang
sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur.
Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif
yang sering ditemukan pada insomnia. Ada beberapa
instruksi yang harus diikuti oleh penderita insomnia :
29

a) Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk


b) Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur
c) Jangan menonton TV, membaca, makan, dan menelpon di
tempat tidur
d) Jangan berbaring-baring di tempat tidur karena bisa
bertambah frustrasi jika tidak bisa tidur
e) Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus
bangun, pergi ke ruang lain, kerjakan sesuatu yang tidak
membuat terjaga, masuk kamar tidur setelah kantuk datang
kembali
f) Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa
menghiraukan waktu tidur, total tidur, atau hari (misalnya
hari Minggu)
g) Menghindari tidur di siang hari
h) Jangan menggunakan stimulansia (kopi, rokok, dll) dalam
4-6 jam sebelum tidur
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan
pertama. Bila kebiasaan ini terus dipraktikkan, gangguan
tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun beratnya.
3) Sleep Restriction Therapy
Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu
mengkonsolidasikan tidur .Terapi ini bermanfaat untuk
pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur.
Misalnya, bila pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur
lima jam dari delapan jam waktu yang dihabiskannya di
tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur
di siang hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak
di siang hari yaitu sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien
mencapai 85% (rata-rata setelah lima hari), waktu di tempat
tidurnya boleh ditambah 15 menit.Terapi pembatasan tidur,
30

secara berangsur-angsur, dapat mengurangi frekuensi dan


durasi terbangun di malam hari.
4) Terapi relaksasi dan biofeedback
Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik.
Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan
nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif
untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang
cukup dan serius. Biofeedback yaitu memberikan umpan-
balik perubahan fisiologik yang terjadi setelah relaksasi.
Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien
tentang perbaikan yang didapat. Teknik ini dapat dikombinasi
dengan higiene tidur dan terapi pengontrolon tidur.

E. Penelitian Terkait
1. Hasil penelitian oleh Ida Royani (2014) tentang gambaran tingkat
kecemasan pada pasien PGK yang menjalani proses HD di RSUD Dr.
Hardjono Ponogoro. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif
dengan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling yaitu dari 50 responden didapatkan
hasil bahwa pasien yang mengalami kecemasan dengan distribusi hasil
penelitian diperoleh sebanyak 40% responden memiliki tingkat kecemasan
sedang, 32% responden tingkat kecemasan berat, 20% responden tingkat
kecemasan ringan, dan 8% responden mengalami panik. Kesimpulan dari
penelitian ini menyatakan bahwa pasien PGK yang menjalani terapi HD
masih mengalami tingkat kecemasan yang sedang dan berat.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ardian Indra Permana (2014) tentang
hubungan antara lama menjalani HD dengan tingkat kecemasan pada
pasien PGK yang menjalani terapi HD di PKU Muhammadiyah Gombong.
Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik korelasi dengan
pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel menggunakan
purposive sampling yaitu sebanyak 69 responden, jenis data menggunakan
31

data primer, alat ukur menggunakan kuesioner dengan analisis univariat


dan bivariat yaitu dengan uji analisis Chi Square, 33 orang (47,8%) yang
menjalani HD lebih dari satu tahun didapatkan hasil, sebagian besar pasien
dalam ketegori kecemasan berat yaitu 20 orang (29,1%). Setelah dilakukan
uji chi square diperoleh hasil bahwa lama hemodialisa berhubungan
signifikan dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di
RSU PKU Muhammadiyah Gombong, dibuktikan dengan 2 hitung > 2
tabel (16,465 > 15,507) dan nilai p<0,05 (0,036 < 0,05). Kesimpulan dari
penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
lama menjalani HD dengan tingkat kecemasan pada pasien PGK.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Novita Dwi Cahyani, Justina Evy
Tyaswati, & Dwita Aryadina Rachmawati (2016) tentang hubungan antara
tingkat kecemasan dengan kualitas hidup pada pasien PGK yang menjalani
terapi HD di RSD dr. Soebandi Jember. Penelitian menggunakan Cross
Sectional Design dengan jumlah responden sebanyak 30 orang dan
dilakukan pada bulan November 2015 dan didapatkan hasil, sebesar
16,67% responden mengalami kecemasan ringan (10% dengan kualitas
hidup baik dan 6,67% dengan kualitas buruk), sebesar 40% responden
mengalami kecemasan sedang (10% dengan kualitas hidup baik dan 30%
dengan kualitas hidup buruk), dan responden yang mengalami kecemasan
berat sebesar 43,33% dengan kualitas hidup buruk. Uji korelasi Spearman
menunjukkan signifikansi (p) sebesar 0,00 dengan koefisien korelasi (r) -
0,517. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan
antara tingkat kecemasan dengan kualitas hidup pada pasien PGK.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Althasian Boas Rompas, Jon Tangka, &
Julia Rottie (2013) di Poli Ginjal Dan Hipertensi Blu RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado tentang hubungan kadar hemoglobin dengan kualitas
tidur pada pasien PGK dengan 40 orang responden di dapatkan hasil
penelitian bahwa pasien yang memiliki kadar hemoglobin dibawah rata-
rata 9,76 gr/dl memiliki kualitas tidur yang buruk sedangkan pasien yang
memiliki kadar hemoglobin diatas rata-rata 9,76 gr/dl memiliki kualitas
32

tidur cukup baik. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian


survey analitik dengan predikat Cros Sectional. Hasil penelitian
menunjukan dengan menggunakan uji Chi Squere yang di dapat p value =
0,003 <0,005. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin dengan kualitas tidur
pada pasien PGK.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Vitorino (2015) tentang gambaran kualitas
tidur pada pasien PGK yang menjalani terapi HD di RSUP Sanglah
Denpasar. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan
pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel dengan purposive
sampling yang terdiri dari 50 orang responden di dapatkan hasil pasien
PGK yang menjalani perawatan HD mengalami gangguan kualitas tidur
sebanyak 60% selama mendapatkan terapi HD. Menurut hasil analisis
korelasi Pearson, usia tidak berkorelasi secara signifikan dengan PSQI
skor (r = 0,163, P = 0,257), Jenis Kelamin (r = 0.036, P = 0.804), albumin
( r =0.088. P = 0.543 ), KtV (r= -0.073, P= 0.613 ), body mass index ( r = -
0.052, P= 0.718 ), lama dialisis (r = -0.024, P= 0.866), URR (r = -0.90, P=
0.536), Tekenan darah sistolik ( r = 0.111, P = 0.444 ), Tekanan darah
diastolik ( r = 0.058, P=0.961). Hemoglobin ( r = -0.033, P= 0.822).
Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa masih banyak pasien
yang mengalami gangguan kualitas tidur pada pasien PGK.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Elsa Hazila (2014) tentang pengaruh teknik
relaksasi benson terhadap skor kualitas tidur pasien PGK yang menjalani
terapi HD di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Desain penelitian yang
digunakan adalah quasi eksperiment design dengan repeated measurement.
Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling yang terdiri dari
20 orang responden yang berusia 29-66 tahun. Di dapatkan hasil pasien
PGK dengan uremia yang menjalani perawatan HD sering mengalami
gangguan kualitas tidur sebanyak 50-80% selama mendapatkan terapi HD.
Berdasarkan statistik didapatkan nilai p<0,05 yang artinya terdapat
pengaruh teknik relaksasi benson terhadap kualitas tidur pasien yang
33

mendapatkan terapi hemodialisis. Kesimpulan dari penelitian ini


menyatakan bahwa ada pengaruh teknik relaksasi benson terhadap skor
kualitas tidur pada pasien PGK.
34

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI


OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep yang lainnya. Kerangka ini didapatkan dari konsep
ilmu/teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang dihubungkan
dengan garis sesuai variabel yang diteliti (Setiadi, 2013).

Faktor-faktor yang Faktor-faktor yang


mempengaruri tingkat mempengaruhi kualitas tidur:
kecemasan:
1. Usia
Penyakit 1. Faktor intrinsik (usia, 2. Obat-obatan & substansi
ginjal kronis pengalaman menjalani
derajat V pengobatan, konsep 3. Gaya hidup
yang diri dan peran) 4. Stres emosional
menjalani
terapi HD 2. Faktor ekstrinsik 5. Lingkungan
(tingkat pendidikan,
6. Asupan makana dan kalori
kondisi medis (diagnosa
penyakit) 7. Penyakit fisik

Tingkat kecemasan: Kualitas tidur:

1. Tidak cemas 1. Baik


2. Cemasa 2. Buruk

Variabel indevenden Variabel devenden

Berdampak terhadap kualitas tidur


pada pasien PGK: sistem imun,
hati, jantung, dan ginjal.
Keterangan :
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
: alur pikir
35

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian hubungan antara kecemasan


dengan kulitas tidur pada pasien PGK yang menjalani terapi HD
di ruang HD Nyitdah BRSU Tabanan 2017.
36

Penjelasan :
Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah kecemasan dan kualitas
tidur. Kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan
variabel independen (bebas) yang mempengaruhi variabel dependen (terikat)
yaitu kualitas tidur. Pemenuhan kualitas tidur yang baik akan meningkatan
derajat kesehatan pasien PGK.

A. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam
bentuk kalimat penelitian (Sugiyono, 2012).
Dalam penelitian, dikenal dua jenis hipotesis, yaitu (Thomas et al., 2010
dalam Swarjana, 2015):
1. Hipotesis Alternatif (alternative hipothesis)
Hipotesis alternatif disebut juga hipotesis kerja. Hipotesis ini menyatakan
adanya hubungan diantara satu variabel dengan variabel yang lainnya.
Hipotesis alternatif ini ditulis dengan ”Ha”.
2. Hipotesis Nol (null hypothesis)
Hipotesis nol adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya hubungan
di antara variabel penelitian. Hipotesis nol ini ditulis dengan ”Ho”
Pada penelitian ini peneliti menyatakan hipotesis alternatif (Ha)
yaitu ada hubungan antara kecemasan dengan kulitas tidur pada pasien
PGK yang menjalani terapi HD di ruang HD Nyitdah BRSU Tabanan
2017.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


1. Variabel Penelitian
Menurut (Swarjana, 2015) variabel adalah sebuah konsep yang
dioperasionalkan. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel
bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang dapat
mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan timbulnya variabel terikat
37

(Nasir, 2011). Variabel bebas pada penelitian ini adalah tingkat


kecemasan. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Nasir, 2011). Variabel
terikat pada penelitian ini adalah kualitas tidur.
2. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel adalah pengertian variabel (yang
diungkap dalam definisi konsep) tersebut, secara operasional, secara
praktik, secara riil, secara nyata dalam lingkup objek penelitian/ objek
yang diteliti (Nasir, 2011).

Tabel 3.1 Definisi Operasional hubungan antara kecemasan dengan


kualitas tidur pada pasien PGK.
No Variabel Definisi Alat Ukur dan Hasil Skala
Operasional Cara ukur Pengukuran
1 Kecemasan Respon Mengajukan Nilai setiap Interval
emosional pertanyaan pertanyaa
yang melalui dijumlahkan
menggambarka kuesioner menjadi skor
n keadaan HARS global 0-56
khawatir, (Hamilton
gelisah, takut, Anxiety Rating Semakin
tidak tentram Scale). tinggi skor
disertai yang di
berbagai peroleh maka
keluhan fisik mengalami
kecemasan
Semakin
rendah tingkat
skor yang di
peroleh maka
tidak ada
kecemasan

2 Kualitas Suatu keadaan Mengajukan Nilai setiap Interval


Tidur dimana tidur pertanyaan komponen
yang dijalani melalui dijumlahkan
seseorang kuesioner menjadi skor
menghasilkan global 0-21
kesegaran dan PSQI
kebugaran (Pittsburg Semakin
ketika Sleep Quality tinggi skor
38

terbangun. Index), yang di


peroleh maka
kualitas tidur
dikatakan
buruk
Semakin
rendah skor
yang diperoleh
maka kualitas
tidur dikatakan
baik
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
penelitian yang merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat
oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan
(Nursalam, 2013). Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan desain
analitik korelasi yaitu desain yang menjelaskan suatu hubungan,
memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang ada (Nursalam, 2013).
Pendekatan waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional. Pendekatan cross sectional adalah jenis penelitian dimana
pengukuran/ observasi data variabel independen dan dependen dilakukan
hanya satu kali pada satu saat dan tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2013).
Pada penelitian ini peneliti tidak melakukan intervensi, melainkan hanya
untuk mengetahui hubungan antara kecemasan dengan kulitas tidur pada
pasien PGK yang menjalani terapi HD di ruang HD Nyitdah BRSU Tabanan
2017 tiap subjek dilakukan pengukuran hanya sekali yaitu ketika dilakukan
penelitian.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Ruang HD Nyitdah BRSU Tabanan.
Dengan jumlah tempat tidur untuk pasien sebanyak 27 dan 27 unit alat
HD yang digunakan sebanyak 182 pasien secara bergantian.
2. Waktu penelitian
Penelitian ini telah dimulai dari pembuatan proposal, yaitu dari bulan
Oktober 182 sampai bulan Januari 2017. Pengumpulan data penelitian
dilakukan dari bulan Februar s/d April 2017. Pengolahan data dilakukan
dari tanggal 7 April sampai 8 April 2017. Penyusunan hasil penelitian
40

dilaksanakan langsung setelah selesai pengolahan data (POA terlampir


pada lampiran 1).

C. Populasi, Sampel, Sampling


1. Populasi
Populasi adalah kumpulan dari individu atau objek atau fenomena
yang secara potensial dapat diukur sebagai bagian dari penelitian
(Mazhindu and Scott 2005 dalam (Swarjana, 2015). Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh pasien PGK yang mengikuti terapi HD di
ruang Nyitdah BRSU Tabanan berjumlah 182 orang.
2. Sampel
Sampel adalah kumpulan individu-individu atau objek-objek yang
dapat diukur yang mewakili populasi (Swarjana, 2015).
a. Besar sampel
Ukuran sampel atau besarnya sampel diambil dari populasi.
Besar sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi yaitu 182
sampel.
b. Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
Menurut Nursalam (2013) kriteria inklusi adalah karakteristik
umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau
dan akan diteliti. Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a) Pasien PGK yang mengikuti program HD 1 atau 2 kali dalam
seminggu.
b) Pasien PGK yang sudah mengikuti program HD > 6 bulan.
c) Pasien PGK yang sedang terjadwal HD dan hadir pada saat
pengumpulan data.
d) Pasien dengan keadaan umum baik (pasien sadar, bisa
berbicara, medengarkan dan mengerti saat diajak
berkomunikasi.
41

e) Pasien PGK yang bersedia menjadi responden dengan


menandatangani inform concent.
2) Kriteria Eksklusi
Menurut (Nursalam, 2013) kriteria eksklusi adalah menghilangkan
atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari
studi karena berbagai sebab. Adapun kriteria eksklusi pada
penelitian ini adalah pasien yang mengalami komplikasi, indikasi
yang menyebabkan gangguan faal berupa keluhan dan tidak
mampu diajak berkomunikasi untuk menjawab pertanyaan.
3. Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi unit yang diobservasi dari
keseluruhan populasi yang akan diteliti, sehingga kelompok yang
diobservasi dapat digunakan untuk membuat kesimpulan atau
membuat inferensi tentang populasi tersebut (Babbie, 2006 dalam
Swarjana, 2015).
Metode sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode non probability sampling yaitu sampling jenuh dimana teknik
penentuan sampel ini digunakan bila semua anggota populasi
digunakan sebagai sampel (Sugiyono, 2012). Pada penelitian ini
menggunakan sampling jenuh yaitu menggunakan seluruh populasi
pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisa di ruang HD Nyitdah
BRSU Tabanan 2017, selanjutnya peneliti melakukan seleksi pada
populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi
berdasarkan ketetapan kriteria sampel pada penelitian ini.

D. Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa
lembar kuesioner untuk mengidentifikasi tingkat kecemasana serta kualitas
tidur pada pasien PGK yang menjalani terapi HD di ruang Nyitdah BRSU
Tabanan. Peneliti mengumpulkan data secara formal kepada subjek untuk
42

menjawab pertanyaan secara tertulis dan secara terstruktur (Nursalam,


2013). Kuesioner itu sendiri nantinya diisi langsung oleh responden yang
mampu membaca dan menulis. Sedangkan untuk responden yang tidak
mampu membaca dan menulis, proses pengisisan kuesioner akan dibantu
peneliti dengan membacakan pertanyaan dan pernyataan yang tercantum
dalam lembar kuesioner kemudian dijawab oleh responden. Pengumpulan
data akan dilaksanakan pada saat pasien PGK menjalani terapi hemodilasa
di ruang Nyitdah BRSU Tabanan pada hari senin, selasa, rabu, kamis jumat
dan sabtu yaitu pada pagi, siang, sore, dan malam hari.
2. Alat Pengumpulan Data
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini adalah pedoman kuesioner yang telah berisi deretan
pertanyaan yang diajukan kepada responden. Untuk mengukur kecemasan
pada pasien penyakit ginjal kronik, peneliti menggunakan kuesioner
Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Kuesioner ini pertama kali
digunakan pada tahun 1959 yang diperkenalkan oleh Max Hamilton. Skala
HARS ini telah dibuktikan mamiliki nilai validitas 0,93 dan reliabilitas
(Chronbach Alpha ) sebesar 0,97. Pada penelitian didapatkan nilai
reliabilitas sebesar 0,89 yang menunjukan kuesioner HARS ini sangat
handal dalam mengukur kecemasan (Hair, et al, 2010 dalam Swarjana,
2015).
Kuesioner HARS ini menggunakan skala Likert yang terdiri dari 14
item/ gejala. Dari masing-masing gejala diberikan penilaian angka dari 0-4
yang berarti nilai 0 adalah tidak ada gejala (keluhan), nilai 1 adalah gejala
ringan, nilai 2 adalah gejala sedang, nilai 3 adalah gejala berat dan nilai 4
adalah gejala berat sekali. Selanjutnya nilai angka (score) dari 14 kelompok
gejala-gejala tersebut dijumlahkan dengan hasil 0-56. Dari hasil
penjumlahan tersebut dapat diketahui sejauh mana kecemasan yang
dirasakan seseorang. Karena penelitian ini dilaksanakan di Indonesia maka
kuesioner HARS yang menggunakan bahasa Inggris dilakukan back
translation.
43

Penilaian koesioner kualitas tidur berjumlah 19 pertanyaan.


Kuesioner ini menggunakan skala ukur interval. Carole (2012) dalam
Dwijayanti (2015), menyatakan bahwa PSQI merupakan instrumen yang
efektif digunakan untuk mengukur kualitas dan pola tidur. PSQI mengkaji 7
dimensi dalam kualitas tidur yaitu kualitas tidur subjektif, sleep latensi,
durasi tidur, gangguan tidur, efisiensi kebiasaan tidur, penggunaan obat
tidur, dan disfungsi tidur di siang hari. 1 dan 3 untuk dimensi efisiensi
kebiasaan tidur, pertanyaan 2 dan 5a untuk dimensi latensi tidur, pertanyaan
4 untuk dimensi durasi tidur, pertanyaan 5b sampai 5j untuk dimensi
gangguan tidur, pertanyaan 6 untuk penggunaan obat tidur, pertanyaan 7
dan 8 untuk disfungsi tidur siang, dan pertanyaan nomer 9 untuk dimensi
kualitas tidur secara subjektif. Tiap dimensi nilainya berkisar antara 0 (tidak
ada masalah) sampai 3 (masalah berat). Nilai tiap komponen dijumlahnya
menjadi skor global 0-21. Skor global < 5 dianggap memiliki kualitas tidur
baik. Dan skor global > 6 dianggap memeiliki kualitas tidur buruk.
Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan uji reabilitas
karena kuesioner yang digunakan sudah baku. Validitas kuesioner ini telah
dilakukan uji realibilitas dengan nilai koivisien reabilitas α cronbach 0,83
(Carole, 2012).
3. Uji Validitas
Oleh karena instrumen penelitian valid dalam versi bahas inggris
sementara penelitian dilakukan di Indonesia maka peneliti melakukan back
translation terhadap kuesioner tersebut. Kemudian untuk menguji dan
menilai kelayakan kuesioner tersebut maka dilakukan uji validitas lebih
lanjut.
Validitas adalah derajat dimana instrumen mengukur apa yang
seharusnya diukur (Thomas et al., 2010 dalam Swarjana, 2015). Uji
validitas yang digunakan pada kuesioner ini adalah face validity. Menurut
Bryman (2004) dikutip di Swarjana (2015), face validity merupakan
pertanyaan yang dianggap valid apabila pertanyaan yang disusun kelihatan
sudah valid. Uji validitas pada kuesioner ini dilakukan oleh dua orang
44

expert. Uji validitas pada kuesioner dilakukan setelah peneliti memperoleh


persetujuan dan rekomendasi oleh pembimbing I dan pembimbing II.
Setelah memperoleh rekomendasi, peneliti melakukan pengisian formulir
keterangan uji validitas dan meminta persetujuan kepada pembimbing I
perihal pelaksanaan uji expert.
Peneliti melakukan komunikasi untuk kontrak waktu pelaksanaan uji
validitas dengan kedua expert. Selama satu minngu, peneliti melakukan 2
kali bimbingan dengan exspert I dan 3 kali melakukan bimbingan dengan
exspert II.Penilaian dan pengujian dilakukan secara terpisah oleh expert.
Bentuk penilaian disampaikan menurut pendapat expert berdasarkan bidang
keilmuan yang didalami dan pengalaman expert. Penilaian dan koreksi yang
dilakukan expert selanjutnya disampaikan ke peneliti. Setelah dikoreksi
oleh expert, peneliti melakukan perbaikan terhadap hasil koreksi tersebut.
Perbaikan kuesioner serta lembar pernyataan uji face validity selanjutnya
diserahkan kepada pembimbing I dan pembimbing II sebagai bukti uji
validitas telah dilakukan. Selanjutnya pembimbing I dan pembimbing II
mengambil keputusan perihal penggunaan kuesioner tersebut.
4. Tehnik pengumpulan data
a. Tahap persiapan
Hal-hal yang akan disiapkan dalam penelitian ini, antara lain :
1) Peneliti mempersiapkan materi dan konsep yang mendukung
penelitian.
2) Peneliti mendapatkan ijin dari pihak STIKES Bali untuk melakukan
studi pendahuluan dengan nomor surat: DL.02.02.1557.TU.IX.16 di
BRSU Tabanan, kemudian peneliti meminta ijin kepada BRSU
Tabanan untuk pengambilan data di Ruang HD Nyitdah dengan
nomor surat: 445/7169/DAL/BRSU.
3) Peneliti menyusun proposal yang telah disetujui oleh kedua
pembimbing.
4) Peneliti mengurus surat ijin penelitian di STIKES Bali untuk
memohon ijin dilakukannya penelitian dengan nomor surat:
45

DL.02.02.0161.TU.II.17, kemudian surat di bawa ke Dinas Perizinan


dan Penanaman Modal Propinsi Bali (BPMP). Dari BPMP diberikan
surat tembusan dengan nomer surat 070/01175/DPMPTSP-B/2017
yang dibawa ke Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Tabanan untuk
mendapatkan surat ijin penelitian. Surat pengantar dari Kesbangpol
dan Linmas Kabupaten Tabanan dengan nomer 071/304/BKBP
diantarkan ke bagian Diklat BRSU Tabanan. Sehingga mendapatkan
ijin dari BRSU Tabanan untuk melakukan penelitian.
5) Peneliti mendapat ijin dari Unit BRSU dengan nomor surat
445/0978/Dal/BRSU dan mengumpulkan soft copy proposal yang
telah dibuat untuk djadikan arsip pihak BRSU Tabanan.
6) Menyiapkan instrument penelitian berupa lembar kuesioner.
7) Mengurus lembar permohonan untuk menjadi responden.
8) Mengurus lembar persetujuan untuk menjadi responden (informed
consent).
9) Peneliti menyiapkan dua orang asisten untuk membantu saat
pengumpulan data.
10) Sebelum asisten dapat membantu mengumpulkan data, maka harus
dilakukan uji interrater reliability yang bertujuan untuk menyamakan
persepsi antara peneliti dan asisten pengumpul data agar data yang
dihasilkan valid. Alat yang digunakan untuk uji ini adalah statistik
Kappa. Prinsip dari uji Kappa yaitu bila nilai koefisien Kappa > 0,6
atau p velue ≤ alpha (0,05) maka persepsi peneliti dengan si
pengumpul data sama. Bila nilai koefisien Kappa < 0,6 atau p velue ≥
alpha (0,05) maka persepsi peneliti dengan si pengumpul data terjadi
perbedaan (Agus Riyanto, 2009). Teknik yang digunakan dalam uji
interrater reliability dalam penelitian ini dimana peneliti dan dua
orang asistenn yang dipilih akan menjawab kuesioner yang akan
dipakai dalam penelitian. Setelah menjawab kuesioner tersebut, nilai
skor si peneliti dan dua orang asistennya diolah dalam SPSS untuk
mengetahi apakah ada persamaan persepsi atau tidak diantara peneliti
46

dan asisten peneliti. Hasil uji Kppa menunjukan bahwa terdapat nilai
koefisien kppa yaitu 1,000 dan p velue ≥ 0,05 (lampiran 5). Hal ini
berarti ada persamaan persepsi antara peneliti dengan asisten peneliti.
b. Tahap pelaksanaan
Setelah ijin penelitian diperoleh, akan dilanjutkan ke tahap pelaksanaan.
1) Sebelum melakukan penelitian peneliti sudah mendapatkan ijin dari
Direktur BRSU Tabanan
2) Peneliti dan asisten menuju Ruang Hemodialisa (HD) Nyitdah BRSU
Tabanan untuk melaksanakan penelitian dengan menggunakan teknik
sampling jenuh, sampai sampel terpenuhi (182 responden).
Pengambilan sampel dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan
dengan mengambil sampel sesuai dengan jumlah pasien yang
mengikuti terapi HD.
3) Pada hari penelitian yang telah ditentukan, peneliti dan asisten
mengumpulkan data sesuai dengan jadwal HD yang ada yaitu senin,
selasa dan rabu yaitu pada pagi, siang, sore, dan malam hari.
4) Pengambilan sampel
5) Pengambilan sampel dibantu oleh dua orang asisten saat pengumpulan
data. Karena ada 4 shif yaitu pada shif pagi, shif siang, shif sore, shif
malam dan setiap shif yang menjalani terapi HD sebanyak 17 orang.
Maka setiap asisten diberi 5 orang responden untuk menjelaskan
kuesioner dan peneliti sendiri akan menjelaskan kuesioner kepada
responden sebanyak 7 orang.
6) Setelah mendapatkan calon responden yang sesuai dengan kriteria
inklusi peneliti dan asisten memberikan salam dan memperkenalkan
diri kepada calon responden.
7) Peneliti atau asisten memberikan lembar informasi yang berisi
penjelasan mengenai tujuan dan manfaat penelitian serta tata cara
pengisian 2 kuesioner. Calon responden juga diberikan kesempatan
atau waktu ±5 menit untuk membaca isi dari informed consent.
Apabila calon responden bersedia menjadi responden, wajib untuk
47

menandatangani informed consent sebagai bukti persetujuan menjadi


responden.
8) Peneliti atau asisten memberikan kuesioner kepada responden yang
berisikan pernyataan mengenai tingkat kecemasan dan kualitas tidur
pasien PGK yang manjalani terapi HD yang dijawab dengan waktu
25-30 menit.
9) Dalam proses pengisian kuesioner ada beberapa responden yang
merasa kurang jelas atau mengerti dengan pernyataan yang terdapat
pada kuesioner, sehingga responden bertanya kepada peneliti atau
asisten menjelaskan isi dari pernyataan yang ada pada kuesioner.
10) Peneliti atau asisten mendampingi responden selama pengisian
kuesioner. Setelah semua pernyataan terjawab, lembar kuesioner
dikumpulkan kembali oleh peneliti atau asisten dan dilakukan
pengecekan kembali. Jika ada kuesioner yang belum terjawab dengan
lengkap maka peneliti menyerahkan kembali kepada responden dan
dilakukan pengecekan kembali sampai kuesioner terisi dengan
lengkap. Pada penelitian ini kuesioner sudah dijawab lengkap oleh
responden.
11) Pengumpulan data dilakukan dalam satu kali pertemuan pada
responden.
12) Terakhir peneliti mengucapkan terima kasih kepada responden atas
partisipasinya dalam penelitian.
13) Setelah sampel tercukupi dan data-data telah terkumpul, kemudian
dilakukan pengolahan data dan analisa data.

E. Teknik Analisa Data


1. Teknik Pengolahan Data
Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus
ditempuh (Hidayat,2010) :
48

a. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Dalam penelitian ini editing dilakukan
pada tahap pengumpulan data dan setelah data terkumpul dengan
melihat atau memeriksa kembali kelengkapan kuesioner, yaitu
kelengkapan data umum (nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan) dan memastikan bahwa setiap pernyataan
dalam kuesioner telah terisi semua. Dalam melakukan pemeriksaan
tersebut, peneliti tidak melakukan penggantian atau penafsiran
jawaban.
b. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode angka terhadap data yang
terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila
pengolahan dan analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam
pemberian kode juga dibuat daftar kode dan artinya dalam satu buku
(code book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti dari
suatu kode dari suatu variabel. Dalam penelitian ini coding dilakukan
setelah melakukan penelitian, peneliti melakukan coding sesuai dengan
karakteristik responden dalam kuisioner untuk memudahkan proses
pengolahan data. Peneliti melakukan coding, yaitu
1) Pada karakteristik responden :
a) Karakteristik responden berdasarkan umur diisi secara manual
dan diketik langsung pada kolom yang tersedia.
b) Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, laki-laki
diberi kode 1, sedangkan untuk perempuan diberi kode 2.
c) Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
terakhir, pada responden yang tidak bersekolah diberi kode 1,
SD diberi kode 2, SMP diberi kode 3, SMA diberi kode 4 dan
Perguruan Tinggi diberi kode 5.
49

d) Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan, kode 1 untuk


PNS, kode 2 untuk wiraswasta, kode 3 untuk PNS/TNI/Polri,
kode 4 untuk petani, kode 5 untuk tidak bekerja.
c. Entry data
Entry data adalah kegiatan memasukkan data yang telah
dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer, kemudian
membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel
kontigensi (Hidayat, 2010). Dalam tahap ini, peneliti memasukkan
data yang telah terkumpul ke dalam program komputer Microsoft
Excel 2010 yang selanjutnya data yang telah dimasukkan akan diolah
dalam program pengolah data komputerisasi SPSS 20.0 for windows.
d. Cleaning
Apabila semua data dari setiap responden sudah selesai
dimasukkan, perlu dilakukan pengecekan ulang untuk melihat
kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini
disebut dengan pembersihan data (data cleaning). Dalam penelitian
ini peneliti memeriksa kembali apakah sudah benar kode yang
dimasukkan, dan melihat apakah ada missing data, lalu dilanjutkan
dengan analisa data. Setelah dilakukan cleaning didapatkan bahwa
tidak ada missing data.
2. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisa univariat merupakan analisis yang bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel
penelitian (Notoatmodjo, 2012). Variabel dalam penelitian ini adalah
hubungan antara kecemasan dengan kualitas tidur pada pasien PGK
yang menjalani terapi HD di ruang HD Nyitdah BRSU Tabanan 2017.
1) Analisa data tingkat kecemasan
Variabel tingkat kecemasan yang berdistribusi normal
disajikan dalam bentuk tabel dengan mencantumkan distribusi
50

frekuensi, dan menampilkan nilai mean, nilai maksimum, nilai


minimum dan standar deviasi, sedangkan bila berdistribusi tidak
normal disajikan dalam bentuk tabel dengan mencantumkan
distribusi frekuensi, dan menampilkan nilai median, nilai
maksimum, nilai minimum dan standar deviasi.
2) Analisa data untuk kualitas tidur
Variabel tingkat kecemasan yang berdistribusi normal
disajikan dalam bentuk tabel dengan mencantumkan distribusi
frekuensi, dan menampilkan nilai mean, nilai maksimum, nilai
minimum dan standar deviasi, sedangkan bila berdistribusi tidak
normal disajikan dalam bentuk tabel dengan mencantumkan
distribusi frekuensi, dan menampilkan nilai median, nilai
maksimum, nilai minimum dan standar deviasi.
b. Analisa bivariat
Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian
ini, karena skala berbentuk numerik yaitu interval maka dilakukan uji
normalitas. Uji normalitas data dilakukan pada variabel kecemasan
dan kualitas tidur yang diuji dengan membandingkan nilai Skewness
dengan standar eror (Swarjana, 2016). Jika diperoleh hasil berada
diantara -1, 96 sampai + 1, 96 hal tersebut berarti data berdistribusi
normal maka uji yang dipergunakan yaitu uji statistic parametrik
Pearson Product Moment. Statistic parametrik Pearson Product
Moment merupakan teknik korelasi yang digunakan untuk mencari
hubungan dan membuktikan hipotesis hubungan dua variabel bila data
kedua variabel berbentuk interval atau rasio dan sumber data dari dua
variabel atau lebih tersebut adalah sama (Sugiyono, 2012). Sementara
jika data tidak terdistribusi normal maka uji alternatif yang digunakan
yaitu uji statistic nonparametrik Spearman Rank (rho). Menurut
Hidayat (2010) statistic nonparametrik Spearman Rank (rho)
51

digunakan untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua


variabel yang berskala ordinal.
Hasil dari pengujian bivariat akan dilihat berdasarkan nilai P,
kekuatan koefisien korelasi dan arah korelasi yang dihasilkan.
Pengujian analisis dilakukan menggunakan program SPSS 20.0
dengan tingkat kesalahan 5%. Apabila didapatkan nilai P <0,05, maka
Ha diterima dan Ho ditolak. Dari koefisien korelasi yang didapatkan,
dapat digunakan untuk mengukur tingkat korelasi antara kedua
variabel. Nilai korelasi menurut Sugiyono (2010), dalam
menginterpretasikan koefisien korelasi diuraikan dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1 Koefisien Korelasi Variabel Menurut (Sugiyono, 2012)


Koefisien Korelasi Interpretasi
0,00-0,199 Sangat lemah
0,20-0,399 Rendah
0,40-0,599 Sedang
0,60-0,799 Kuat
0,80-1,000 Sangat Kuat

Selain itu, hasil akan dilihat dari arah korelasi yang dihasilkan. Tipe
korelasi ada dua, yakni korelasi positif dan korelasi negatif (Hidayat,
2010). Adapun arah korelasi yang dimaksud adalah:
a) Korelasi positif artinya hubungan searah yakni X naik maka Y naik
(Hidayat, 2010). Arah korelasi positif apabila nilai dari tingkat
kecemasan pasien PGK baik maka nilai pemenuhan kualitas tidur pada
pasiem PGK juga baik, begitu pula sebaliknya apabila nilai tingkat
kecemasan lansia kurang maka nilai dari pemenuhan kualitas tidur juga
kurang. Ini menunjukan bahwa variabel dalam penelitian ini bersifat
satu arah atau paralel.
b) Korelasi negatif menunjukkan hubungan terbalik yakni X naik, maka Y
turun (Hidayat, 2010). Arah korelasi negatif apabila nilai dari tingkat
kecemasn pasien PGK baik sedangkan nilai dari pemenuhan kualitas
pada pasien PGK tidur kurang, atau sebaliknya apabila nilai dari tingkat
52

kecemasan pada pasien PGK kurang akan tetapi nilai dari pemenuhan
kualitas tidur pada pasien PGK baik.

F. Etika Penelitian
Masalah etika penelitian dalam keperawatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam penelitian dimana penelitian keperawatan berhubungan
langsung dengan manusia. Masalah etika penelitian yang harus diperhatikan
menurut Nursalam (2013), antara lain.
1. Prinsip manfaat
a. Bebas dari penderitaan
Dalam penelitian ini peneliti tidak ada melakukan tindakan khusus.
Peneliti hanya menyebarkan kuesioner saja.
b. Bebas dari eksploitasi
Dalam penelitian ini peneliti menjaga informasi yang telah diberikan
responden. Peneliti menjaga identitas yang diberikan responden dan
tidak mempublikasikan kepada orang lain.
c. Risiko
Peneliti berhati-hati dalam mempertimbangkan segala risiko dan
keuntungan yang didapatkan dari penelitian ini.
2. Prinsip menghargai hak asasi manusia
a. Hak untuk ikut atau tidak menjadi responden.
Peneliti memperlakukan responden secara manusiawi. Responden
diberikan hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi responden
atau tidak.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan.
Peneliti memberikan penjelasan secara rinci serta bertanggung jawab
terhadap sesuatu yang terjadi kepada responden.
c. Inform consent
Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti memberikan
informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian yang dilaksanakan.
53

Tidak terdapat responden yang menolak untuk dijadikan sampel


penelitian.
3. Prinsip keadilan
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil
Peneliti memperlakukan responden secara adil baik sebelum, selama
dan sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya
diskriminasi.
b. Hak dijaga kerahasiaannya
Dalam penelitian ini peneliti menjaga kerahasiaan identitas dan
jawaban yang telah diberikan responden.

Anda mungkin juga menyukai